
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Di tengah transformasi pendidikan tinggi yang terus bergerak mengikuti arus zaman, pertanyaan mendasar yang seharusnya terus digaungkan adalah: “Apa sebenarnya indikator keberhasilan pembelajaran?” Apakah sekadar nilai A dalam transkrip akademik? Atau sejauh mana mahasiswa mampu menerapkan pengetahuannya dalam konteks dunia nyata? Pergeseran paradigma dari sekadar mengejar skor menuju pencapaian kompetensi sejatinya bukan hanya sebuah wacana, tetapi panggilan untuk berubah. Sebab, dalam dunia kerja yang dinamis dan kompleks saat ini, keberhasilan belajar bukan lagi dinilai dari seberapa banyak yang dihafal, melainkan seberapa dalam seseorang memahami dan mampu menerapkannya.
Psikologi pembelajaran menegaskan bahwa hasil belajar yang bermakna berasal dari proses aktif, konstruktif, dan kontekstual. David Ausubel, misalnya, menekankan pentingnya meaningful learning, di mana informasi yang diterima siswa harus dikaitkan dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki. Sementara itu, teori konstruktivisme menempatkan mahasiswa sebagai subjek aktif dalam membangun pengetahuannya sendiri.
Maka dari itu, bila proses belajar hanya berorientasi pada hasil skor akhir berupa angka, kita telah melewatkan esensi utama dari proses pendidikan.
Baca juga: Bukan Copy-Paste! Begini Cara Bikin Standar Kompetensi Lulusan yang Tajam dan Relevan
Tidak bisa dipungkiri, sistem nilai akademik masih menjadi rujukan utama dalam mengukur pencapaian mahasiswa. Namun, berapa banyak lulusan ber-IPK tinggi yang merasa canggung ketika menghadapi persoalan riil di tempat kerja?
Patut diduga, saat ini ada kesenjangan antara prestasi akademik dan keterampilan praktis di lapangan.
Hal ini bukan karena mahasiswa malas belajar, melainkan karena sistem pembelajarannya tidak memfasilitasi penguasaan kompetensi secara utuh.
Penilaian yang hanya mengandalkan ujian akhir tertulis, misalnya, lebih mengukur daya ingat jangka pendek ketimbang kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah. Padahal, teori kognitif modern seperti taksonomi Bloom yang diperbarui oleh Anderson dan Krathwohl menunjukkan bahwa kemampuan tingkat tinggi seperti menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta jauh lebih bernilai dibanding sekadar mengingat. Jika evaluasi hanya menyentuh ranah dasar, maka wajar bila pembelajaran kita terasa dangkal.
Baca juga: Antara Ideal dan Realitas: Apa Isi Kebijakan SPMI Kampusmu?
Dalam konteks ini, penting untuk mengaitkan pembelajaran dengan realitas dunia kerja dan kehidupan. Mahasiswa perlu mengalami proses belajar yang otentik, berbasis proyek, atau studi kasus yang memungkinkan mereka mengembangkan kompetensi secara kontekstual. Di sinilah tantangan terbesar institusi pendidikan tinggi: merancang pembelajaran yang tidak hanya informatif, tapi juga transformatif.
Kurikulum yang dirancang berbasis capaian pembelajaran (CPL) harus diterjemahkan secara serius dalam strategi dan metode pengajaran.
Dosen tidak cukup hanya menyampaikan materi, melainkan harus menjadi fasilitator belajar yang memicu diskusi kritis, kolaborasi, dan eksplorasi. Ketika proses ini terjadi secara konsisten, maka pembelajaran akan menyentuh lapisan kompetensi yang lebih dalam: bukan hanya tahu, tapi paham dan mampu.
Baca juga: SPMI Bukan Hanya Urusan LPM: Saatnya Kebijakan SPMI Dibaca Semua Civitas Akademika!
Untuk memastikan seluruh proses ini berjalan sistematis dan terarah, maka Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) menjadi kunci utama.
SPMI bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan fondasi untuk membangun budaya mutu di perguruan tinggi. Dalam Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, SPMI ditegaskan sebagai mekanisme otonom yang dimiliki perguruan tinggi untuk menjamin bahwa seluruh proses pendidikan, termasuk pembelajaran, berjalan sesuai standar dan terus meningkat mutunya.
SPMI mendorong dosen dan manajemen program studi untuk tidak hanya menjalankan pembelajaran, tapi juga secara berkala melakukan refleksi dan perbaikan. Ini menjadi alat yang sangat penting untuk memastikan bahwa proses pembelajaran tidak berhenti pada apa yang direncanakan, tetapi benar-benar dievaluasi berdasarkan apa yang dicapai dan bagaimana dampaknya bagi mahasiswa.
Baca juga: Membumikan Strategi Kampus: Semua Unit Paham dan Bergerak Sesuai Arah
Salah satu keunggulan dari SPMI adalah adanya siklus PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan.
Siklus ini bisa dianggap sebagai bentuk konkret dari filosofi kaizen—perbaikan berkelanjutan yang dilakukan secara sistematis dan berbasis data. Dalam konteks proses pembelajaran, PPEPP memberikan kerangka kerja untuk menilai efektivitas metode pengajaran, kualitas asesmen, hingga kepuasan dan capaian belajar mahasiswa.
Kaizen versi PPEPP ini mendorong semua pihak untuk tidak cepat puas. Setelah pembelajaran dilaksanakan, tidak cukup hanya mengecek absensi atau nilai akhir. Harus ada evaluasi mendalam: Apakah mahasiswa benar-benar mencapai kompetensi? Apa hambatannya? Bagaimana perbaikannya? Dengan begitu, kualitas pembelajaran bisa terus ditingkatkan dari waktu ke waktu, sesuai dengan dinamika zaman dan kebutuhan mahasiswa.
Baca juga: Gamifikasi SPMI: Mungkinkah Diterapkan di Perguruan Tinggi?
Kini, saatnya kita semua—dosen, pengelola prodi, hingga pimpinan perguruan tinggi—mengukur ulang bagaimana kita mendefinisikan keberhasilan pembelajaran.
Mari, kita jangan lagi terjebak pada sekadar angka di lembar nilai. Keberhasilan sejati terletak pada kompetensi yang dibentuk, karakter yang dibangun, dan kesiapan mahasiswa menghadapi tantangan nyata.
Dengan memanfaatkan SPMI sebagai pilar mutu dan PPEPP sebagai alat kaizen institusional, perguruan tinggi Indonesia dapat melampaui standar formalitas dan benar-benar menciptakan pembelajaran yang bermakna. Sebab, di dunia nyata, bukan IPK yang diuji, melainkan kapasitas berpikir, bersikap, dan berkontribusi. Stay Relevant!
Baca juga: Mengapa GKM Gagal? Studi Kebutuhan Maslow dalam Manajemen Mutu
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi