• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Materi SPMI

Lifelong Learning: Soft Skill Penting di Tengah Dinamika Zaman

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Kita hidup di era yang oleh banyak ahli disebut sebagai era VUCA—Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous—yang kini bahkan telah berkembang menjadi BANI—Brittle, Anxious, Nonlinear, dan Incomprehensible. Dalam dunia seperti ini, bekal utama seseorang bukan lagi seberapa banyak ia tahu, tetapi seberapa cepat dan berani ia belajar ulang.

Inilah mengapa konsep lifelong learning atau pembelajaran sepanjang hayat tak lagi bisa dianggap sebagai jargon seminar. Ia telah menjadi kompetensi inti yang membedakan siapa yang bisa bertahan dan berkembang, dengan siapa yang hanya mengandalkan pengetahuan lama.

Bukan Cuma Hafal, Tapi Siap Belajar Ulang

Dalam psikologi pendidikan, salah satu teori penting yang relevan adalah constructivism, yang menyatakan bahwa belajar bukanlah proses menyalin informasi, tapi membangun makna secara aktif. Jean Piaget dan Lev Vygotsky sama-sama menekankan bahwa pengalaman belajar yang otentik dan sosial akan mendorong seseorang untuk menjadi lebih reflektif, mandiri, dan siap menghadapi perubahan. Dalam konteks ini, lifelong learning bukan sekadar aktivitas tambahan, tetapi sikap hidup yang tumbuh dari dalam.

Padahal, dunia kerja, kehidupan sosial, bahkan relasi personal, terus menuntut keterampilan dan pemahaman baru. Di sinilah pendidikan tinggi perlu menanamkan mindset bahwa setiap orang harus siap belajar ulang, memperbarui diri, dan tidak malu untuk bertanya atau mengakui ketidaktahuannya.

Lifelong Learning Harus Dimulai di Kampus

Kampus adalah tempat terbaik untuk membangun fondasi pembelajar sepanjang hayat. Tapi ini hanya bisa terjadi jika kurikulum tidak hanya berisi teori, tetapi juga ruang eksplorasi, refleksi, dan koneksi nyata dengan dunia luar. Mahasiswa perlu diberi kesempatan untuk memilih, untuk siap salah, mencoba ulang, dan tumbuh. Dosen tidak lagi cukup sebagai pemberi jawaban, tapi fasilitator yang menumbuhkan rasa ingin tahu.

Inilah sebabnya mengapa Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dalam Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 mewajibkan adanya kemampuan berpikir kritis, mandiri, dan berorientasi pada pembelajaran sepanjang hayat. Kampus perlu merumuskan SKL dengan mempertimbangkan bahwa lulusan hari ini akan menghadapi dunia yang tidak bisa diprediksi.

PDCA dan PPEPP 2
Dengan PPEPP, setiap pengalaman belajar mahasiswa bisa dianalisis dan dikembangkan secara berkelanjutan.

SPMI dan PPEPP: Bukan Sekadar Sistem, Tapi Penjamin Daya Tumbuh

Dalam regulasi yang berlaku, SPMI tidak hanya menjadi alat kontrol, tapi kerangka kerja yang memastikan bahwa capaian lulusan, metode belajar, dan suasana akademik mendukung tumbuhnya pembelajar sejati. SPMI bisa menjamin bahwa proses belajar tidak berhenti pada soal dan nilai, tetapi berlanjut menjadi pengalaman yang mendorong pertumbuhan pribadi.

Lebih dari itu, siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan—berperan sebagai mesin kaizen dalam kampus. Dengan PPEPP, setiap pengalaman belajar mahasiswa bisa dianalisis dan dikembangkan secara berkelanjutan. Kampus dapat mengidentifikasi apakah mahasiswa merasa diberi ruang untuk eksplorasi? Apakah metode pengajaran sudah menumbuhkan rasa ingin tahu? Apakah dosen sudah membuka diskusi, bukan hanya ceramah?

Penutup

Lifelong learning bukan tren, melainkan kebutuhan dasar manusia di zaman ini. Dunia terlalu cepat berubah untuk dihadapi dengan ilmu lama dan cara pikir lama.

Melalui SPMI yang dijalankan dengan sungguh-sungguh dan PPEPP yang aktif menumbuhkan perbaikan berkelanjutan, perguruan tinggi dapat menjadi tempat lahirnya generasi pembelajar yang siap menghadapi dunia. Dan jika itu terjadi, maka kampus telah menjalankan fungsinya dengan penuh makna: bukan hanya tempat mendapatkan gelar, tetapi tempat “memulai perjalanan”, sebagai pembelajar seumur hidup. Stay Relevant


Referensi

  1. Bruner, J. S. (1960). The process of education. Cambridge, MA: Harvard University Press.
  2. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  3. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  4. Kim, W. C., & Mauborgne, R. (2005). Blue ocean strategy: How to create uncontested market space and make the competition irrelevant. Harvard Business School Press.
  5. OpenAI. (2025). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  6. Ornstein, A.C. & Hunkins, F.P. (2018). Curriculum: Foundations, Principles, and Issues. Pearson.
  7. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  8. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2024). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  9. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  10. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Akreditasi 2

Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Mission differentiation bukan sekadar jargon strategi, melainkan pondasi penting agar perguruan tinggi tidak terjebak dalam kompetisi seragam yang memaksa semua kampus berlomba menjadi “world class university” tanpa mempertimbangkan kekhasan dan potensi lokalnya. Dalam era VUCA dan BANI yang penuh ketidakpastian, justru kekhasan dan otentisitas inilah yang menjadi nilai jual utama kampus.

Pedoman Implementasi SPMI 2024 menyatakan bahwa sistem penjaminan mutu tidak dapat diberlakukan secara seragam, tetapi harus dikembangkan sesuai misi perguruan tinggi. Oleh karena itu, rumusan misi yang jelas, berbeda, dan relevan menjadi titik awal dari semua proses peningkatan mutu.

Baca juga: Mission Differentiation: Rahasia Kampus Kecil Bisa Unggul di Tengah Kompetisi Nasional

Langkah dalam merumuskan mission differentiation

Langkah 1: Kenali DNA

Langkah pertama dalam merumuskan mission differentiation adalah menggali DNA institusi. Ini mencakup sejarah berdirinya, nilai-nilai yang dianut, potensi unggulan yang dimiliki, serta kebutuhan masyarakat sekitar. Jangan buru-buru meniru universitas ternama; justru keunggulan Anda bisa tersembunyi dalam kekhasan yang selama ini dianggap biasa.

Menurut pendekatan TQM (Total Quality Management) dari Edward Sallis, pendidikan berkualitas berasal dari pemahaman terhadap pelanggan—dalam hal ini mahasiswa, masyarakat, dan pengguna lulusan.

Baca juga: SPMI dan Ironi Lulusan Menganggur: Mutu di Atas Kertas, Bukan di Lapangan?

Langkah 2: Segmentasi dan Targeting

Konsep marketing modern menawarkan alat penting untuk mission differentiation: STP (Segmentation, Targeting, Positioning). Kampus harus memahami siapa segmen utamanya—apakah anak muda dari daerah industri, komunitas pesantren, wirausaha pemula, atau pekerja profesional yang ingin kuliah malam?

Setelah segmen ditentukan, langkah berikutnya adalah memilih target spesifik. Di sinilah kampus perlu realistis dan fokus: tidak semua orang harus dilayani.

Baca juga: Mutu adalah Kepemimpinan, Bukan Sekadar Administrasi

Langkah 3: Rumuskan Misi Unik

Misi bukan sekadar kalimat indah. Dalam konteks SPMI, misi harus bisa diturunkan menjadi indikator dan standar mutu. Oleh karena itu, rumusan misi sebaiknya singkat, tajam, dan menyentuh aspek diferensial kampus Anda.

Dalam PPEPP, misi menjadi bagian dari tahap Penetapan. Misi yang kuat akan memandu seluruh penetapan standar dan dokumen turunan lainnya, seperti RIP, Renstra, dan SPMI. Bahkan, menurut Pedoman Implementasi SPMI 2024, misi harus menjadi referensi utama dalam penyusunan dan evaluasi standar mutu pendidikan tinggi.

Baca juga: GKM di Kampus: Antara Idealitas Mutu dan Realitas Kinerja

PDCA dan PPEPP 2
Di sinilah peran PPEPP sangat krusial. Semua standar dikembangkan dan dieksekusi dengan mempertimbangkan “misi unik” kampus

Langkah 4: Integrasikan SPMI

Di sinilah peran PPEPP sangat krusial. Semua standar dikembangkan dan dieksekusi dengan mempertimbangkan misi kampus. Evaluasi, pengendalian, dan peningkatan mutu pun harus menjawab satu pertanyaan kunci: “Apakah ini mendekatkan kita ke misi?”

Pedoman SPMI 2024 menekankan bahwa standar tidak boleh dilepaskan dari konteks institusi. Kampus vokasi tentu punya indikator mutu yang berbeda dengan kampus riset. Maka, diferensiasi misi bukan hanya branding, tapi juga memengaruhi sistem mutu dan arah pengembangan institusi.

Baca juga: SPMI dan Dunia Kerja: Sudahkah Kampus Dengarkan Industri?

Langkah 5: Perkuat Positioning

Inilah positioning sejati: bagaimana kampus ingin diingat dan diakui oleh masyarakat.

Dalam konteks manajemen PPEPP, komunikasi misi adalah bagian dari Pelaksanaan Standar. Masyarakat yang memahami keunikan kampus akan lebih mudah percaya, dan mitra akan lebih tertarik bekerja sama. Bahkan dalam akreditasi, kejelasan misi akan memperkuat kesan bahwa kampus punya arah yang otentik dan realistis.

Baca juga: SPMI Tanpa Teknologi Digital? Bersiaplah Hadapi Kegagalan!

Penutup

Di era disrupsi, kekhasan bukan kelemahan. Justru itu kekuatan.

Dengan mengikuti 5 (lima) langkah ini dan menjadikannya bagian dari sistem PPEPP dan SPMI, kampus tidak hanya berbeda, tetapi luar biasa (extraordinary). Seperti yang dikatakan dalam prinsip Blue Ocean Strategy, “The only way to beat the competition is to stop trying to beat the competition.” Maka berhentilah meniru. Mulailah menjadi dirimu sendiri—secara strategis, terukur, dan bermutu. Stay Relevant!

Baca juga: Paradoks Mutu: Saat SPMI Tak Bicara Soal Dunia Kerja


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. Kim, W. C., & Mauborgne, R. (2005). Blue ocean strategy: How to create uncontested market space and make the competition irrelevant. Harvard Business School Press.
  4. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  5. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  6. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  7. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  8. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Conecting the dots dan SPMI

Mengapa SKL Penting Dirancang dengan Sungguh-sungguh?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Apakah mereka menguasai kompetensi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah nyata, bekerja dalam tim, atau bahkan terus belajar seumur hidup? Lulus itu penting, tentu saja. Tapi pendidikan yang bermakna jauh lebih dari sekadar menamatkan SKS dan menerima ijazah.

Dalam dunia pendidikan tinggi, makna itu sebenarnya sudah dirumuskan dalam satu hal yang sangat mendasar, tapi sering terlupakan: Standar Kompetensi Lulusan (SKL). SKL bukan hanya sekumpulan kalimat dalam dokumen kurikulum. Ia adalah gambaran utuh tentang siapa yang ingin dibentuk oleh perguruan tinggi. Tanpa SKL yang kuat dan dihayati, pendidikan berisiko kehilangan esensinya.

Baca juga: Peran Dosen yang Berkembang: Mengajar, Membimbing, dan Menginspirasi

Pendidikan Harus Menghasilkan Kompetensi

Kita hidup di zaman ketika nilai akademik tidak lagi cukup menjadi indikator keberhasilan. Seorang mahasiswa bisa lulus dengan IPK 4.00, tapi jika ia tidak bisa bekerja dalam tekanan, tidak mampu menjelaskan ide dengan jelas, atau bingung ketika diminta mengambil keputusan, maka angka itu kehilangan maknanya.

Di sinilah pentingnya pendekatan pendidikan berbasis kompetensi. Perguruan tinggi yang sungguh-sungguh menjalankan SKL akan memastikan bahwa setiap mata kuliah, proyek, hingga kegiatan mahasiswa, semua diarahkan untuk membentuk karakter dan kemampuan yang utuh. Mahasiswa tidak hanya belajar untuk diuji, tapi untuk menjalani peran di masyarakat. Dengan SKL yang kuat, kuliah bukan lagi sekadar rutinitas akademik, tapi proses tumbuh menjadi individu yang bernilai.

Baca juga: Mutu, Otonomi, dan Kepercayaan: Menata Ulang Relasi Negara dan Kampus

SKL dan Lifelong Learning

Salah satu keunggulan dari pendekatan berbasis SKL adalah kemampuannya untuk menanamkan semangat belajar sepanjang hayat (lifelong learning). Ketika mahasiswa tidak hanya didorong untuk menghafal teori, tetapi juga untuk berpikir kritis, memecahkan masalah, dan beradaptasi, maka ia akan tumbuh menjadi pembelajar sejati. Ini adalah kualitas yang sangat dibutuhkan di dunia kerja yang terus berubah.

Lulusan dengan kompetensi seperti ini tidak akan “habis masa pakainya” setelah wisuda. Mereka akan terus berkembang, mengambil peluang belajar baru, dan mampu merespon perubahan zaman dengan percaya diri.

Baca juga: Mengapa Standar Pengelolaan Harus Merata Hingga ke Prodi

Ketika SKL Diabaikan

Dosen mengajar hanya untuk menyelesaikan silabus. Mahasiswa kuliah hanya demi nilai. Dan pada akhirnya, lulusan yang dihasilkan tidak memiliki identitas kompetensi yang jelas. Mereka mungkin bekerja, tapi tidak siap. Mereka mungkin pintar, tapi tidak relevan.

Lebih dari itu, kampus yang mengabaikan SKL juga kehilangan daya saing. Di tengah persaingan global, kualitas lulusan menjadi indikator langsung dari kualitas institusi. Tanpa SKL yang dirancang dan dijalankan dengan serius, perguruan tinggi akan kesulitan menjawab tantangan dunia kerja, bahkan tuntutan akreditasi nasional dan internasional. Pendidikan berubah menjadi proses mekanis—jauh dari makna idealnya.

Baca juga: Kunci Mutu Prodi: Saatnya SDM Pengelola Naik Level!

Kisah Lulusan Hebat

Mari kita lihat contoh-contoh lulusan yang benar-benar sukses karena menguasai kompetensinya. Seorang alumni Prodi Manajemen dari sebuah kampus negeri di Jawa Tengah, misalnya, memimpin tim riset pasar di sebuah perusahaan multinasional. Ia tidak hanya tahu cara membaca data, tapi mampu mengolahnya menjadi strategi pemasaran yang efektif. Ketika ditanya kuncinya, ia menjawab, “Saya dilatih sejak kuliah untuk berpikir analitis dan melihat data dari berbagai sudut. Itu bagian dari capaian pembelajaran di prodi saya.”

Contoh lain datang dari alumni Teknik Informatika yang sekarang menjadi software engineer di luar negeri. Ia mengaku bahwa tantangan terberat bukanlah bahasa pemrograman, tapi cara berpikir dan menyelesaikan masalah. “Dari semester awal, saya diminta untuk menyelesaikan proyek nyata. Bukan tugas fiktif. Saya jadi terbiasa menghadapi ketidakpastian, dan itu yang bikin saya survive sampai sekarang.”

Baca juga: Mengukur Ulang Keberhasilan Pembelajaran: Antara Skor Nilai dan Kompetensi

SPMI: Sistem untuk Pendidikan Bermakna

Agar SKL tidak hanya menjadi wacana, perguruan tinggi membutuhkan sistem yang memastikan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Inilah peran SPMI – Sistem Penjaminan Mutu Internal. Sistem ini diatur secara resmi dalam Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, dan menjadi landasan utama bagi kampus untuk menjamin kualitas pendidikan, termasuk dalam perumusan dan pelaksanaan SKL.

Lewat audit internal, umpan balik dari mahasiswa dan alumni, serta pelibatan dosen dalam evaluasi mutu, SKL menjadi instrumen yang hidup. Sistem ini membantu perguruan tinggi untuk terus menjaga arah pendidikan—agar tidak sekadar meluluskan, tapi membentuk lulusan yang punya makna.

Baca juga: Transformasi Mutu Kampus Melalui Benchmarking Digital: Mungkinkah?

PDCA dan PPEPP 2
Dengan PPEPP, SKL yang telah ditetapkan bisa terus dikaji ulang. Apakah masih relevan?

PPEPP: Kaizen dalam Dunia Kampus

Agar mutu pendidikan terus meningkat, SPMI tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus dijalankan dalam satu siklus perbaikan berkelanjutan yang dikenal sebagai PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan. Ini adalah bentuk nyata dari filosofi kaizen—perbaikan kecil, terus-menerus, yang menghasilkan dampak besar dalam jangka panjang.

Jika ada gap, maka kampus melakukan penyesuaian—baik melalui revisi kurikulum, pelatihan dosen, atau penambahan pengalaman belajar mahasiswa. Inilah cara kampus membuktikan komitmennya: pendidikan bukan sekadar rutinitas, tapi proses tumbuh yang tak pernah selesai.

Baca juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik

Penutup

Kuliah seharusnya tidak hanya menjadi proses menyelesaikan SKS. Ia adalah perjalanan menjadi seseorang yang kompeten, siap menghadapi tantangan, dan terus belajar sepanjang hayat. Di tengah perubahan dunia yang cepat dan penuh ketidakpastian, kompetensi adalah bekal paling nyata yang bisa kita miliki.

Standar Kompetensi Lulusan adalah titik awal dari pendidikan bermakna itu. Dengan sistem mutu seperti SPMI dan filosofi perbaikan berkelanjutan melalui PPEPP, kampus memiliki semua alat untuk menciptakan lulusan yang bukan hanya lulus, tapi juga bermakna. Dan dalam dunia yang haus akan kontribusi nyata, itu adalah nilai yang tak ternilai. Stay Relevant!


Referensi

  1. Bruner, J. S. (1960). The process of education. Cambridge, MA: Harvard University Press.
  2. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  3. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  4. Kim, W. C., & Mauborgne, R. (2005). Blue ocean strategy: How to create uncontested market space and make the competition irrelevant. Harvard Business School Press.
  5. OpenAI. (2025). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  6. Ornstein, A.C. & Hunkins, F.P. (2018). Curriculum: Foundations, Principles, and Issues. Pearson.
  7. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  8. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2024). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  9. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  10. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Standar Proses Pembelajaran

Peran Dosen yang Berkembang: Mengajar, Membimbing, dan Menginspirasi

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Perubahan zaman tak hanya membawa teknologi baru, tapi juga menantang ulang cara kita memahami peran seorang dosen dalam dunia pendidikan tinggi.

Mahasiswa memiliki akses ke ribuan jurnal, video ilmiah, dan platform belajar daring. Maka, pertanyaannya: apakah dosen masih relevan? Jawabannya bukan hanya iya, tapi mereka justru kunci dari transformasi pendidikan yang lebih bermakna.

Psikologi pembelajaran menegaskan pentingnya peran guru sebagai fasilitator, bukan sekadar informator. Teori konstruktivisme, misalnya, menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif yang membangun sendiri pengetahuannya. Dalam konteks ini, dosen dituntut menjadi pendamping intelektual, pembimbing proses berpikir kritis, dan perancang pengalaman belajar yang kaya makna. Dengan kata lain, dosen harus bertransformasi dari “pengajar” menjadi “arsitek pembelajaran”.

Baca juga: Evaluasi Dosen: Membangun Budaya Reflektif dalam Pendidikan dan Pengajaran

Self-Determination Theory (Deci & Ryan) menekankan pentingnya otonomi, keterhubungan, dan kompetensi dalam membangun motivasi intrinsik

Dari Papan Tulis ke Peran Strategis

Perubahan tidak dimulai dari teknologi, melainkan dari paradigma. Dosen yang masih terpaku pada pendekatan ceramah satu arah mulai tertinggal dari kebutuhan zaman. Mahasiswa hari ini membutuhkan ruang dialog, kolaborasi, dan refleksi.

Peran dosen pun berubah menjadi fasilitator proses berpikir, bukan penentu jawaban.

Perubahan peran ini juga menuntut kompetensi pedagogis yang kuat. Mengajar tidak lagi cukup bermodal penguasaan materi, tetapi juga kemampuan membangun relasi edukatif, merancang asesmen otentik, dan mengintegrasikan teknologi secara efektif. Teori motivasi belajar seperti Self-Determination Theory (Deci & Ryan) menekankan pentingnya otonomi, keterhubungan, dan kompetensi dalam membangun motivasi intrinsik. Dosen abad 21 perlu memahami itu, agar proses belajar benar-benar hidup dan bermakna. Tiga Elemen Kunci dalam SDT (Self-Determination Theory):

  1. Autonomy (Otonomi)
    Merasa memiliki kendali atas pilihan dan tindakan sendiri. Dalam konteks belajar, mahasiswa akan lebih termotivasi jika merasa bahwa mereka belajar karena kemauan sendiri, bukan karena paksaan.
  2. Competence (Kompetensi)
    Merasa mampu dan efektif dalam melakukan tugas. Ketika mahasiswa merasakan kemajuan dan keberhasilan, motivasi intrinsik mereka meningkat.
  3. Relatedness (Keterhubungan)
    Merasa terhubung secara sosial dengan orang lain, seperti dosen, teman, atau komunitas belajar. Lingkungan sosial yang suportif memperkuat motivasi dan keterlibatan dalam belajar.

Baca juga: Ketika Dosen dan Staf Gagal Paham SPMI, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Menjadi Mitra Belajar Mahasiswa

Mahasiswa masa kini datang dengan karakteristik yang berbeda. Mereka adalah digital native, terbiasa belajar dari berbagai sumber dan lebih tertarik pada konteks nyata ketimbang hafalan teoritis.

Hubungan dosen-mahasiswa menjadi lebih dialogis dan setara, meskipun tetap dengan tanggung jawab akademik yang tegas.

Dalam relasi seperti ini, peran dosen meluas: bukan hanya mengajar, tetapi juga membimbing penelitian, memfasilitasi proyek sosial, bahkan membantu mahasiswa merancang jalur karier. Proses pembelajaran pun tidak lagi eksklusif dalam ruang kelas. Kolaborasi lintas kampus, magang industri, atau proyek berbasis komunitas menjadi bagian dari desain pembelajaran. Semua ini membutuhkan kehadiran dosen yang transformatif, yang mampu menjembatani dunia akademik dan dunia nyata.

Baca juga: Rahasia Kampus Unggul: Mereka Punya Standar Lulusan yang Jelas

SPMI dan Reposisi Peran Dosen

Dalam regulasi terbaru, Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, SPMI menjadi instrumen wajib bagi setiap perguruan tinggi untuk memastikan bahwa seluruh proses pendidikan—including transformasi peran dosen—berjalan sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan dan ditingkatkan secara berkelanjutan.

Melalui SPMI, dosen tidak hanya menjalankan tugas ajar, tetapi juga terlibat dalam proses evaluasi dan peningkatan mutu secara sistematis. Ini berarti ada ruang untuk refleksi: apakah metode yang digunakan efektif? Apakah mahasiswa benar-benar belajar? Bagaimana hasil belajar diukur dan digunakan untuk perbaikan? Dengan pendekatan ini, kualitas pembelajaran tidak hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi bagian dari budaya institusional.

Baca juga: Mengapa Standar Pengelolaan Harus Merata Hingga ke Prodi

PDCA dan PPEPP 2
PPEPP: Dosen tidak perlu langsung menjadi sempurna, tetapi dituntut untuk selalu lebih baik dari kemarin.

PPEPP dan Semangat Kaizen di Kelas

Salah satu kekuatan utama SPMI adalah kerangka PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan. Dalam konteks peran dosen, PPEPP menjadi alat untuk menilai dan memperbaiki praktik mengajar secara berkelanjutan. Ini selaras dengan semangat kaizen, yakni filosofi Jepang tentang perbaikan terus-menerus yang dilakukan langkah demi langkah.

Misalnya, setelah pelaksanaan perkuliahan, dosen dapat melakukan evaluasi berbasis umpan balik mahasiswa, hasil asesmen, atau refleksi pribadi. Hasil evaluasi itu kemudian menjadi dasar untuk mengendalikan dan memperbaiki pendekatan di pertemuan berikutnya. Ini bukan hanya memenuhi regulasi, tetapi menjadi praktik reflektif yang memperkuat kompetensi pedagogis dan kepedulian terhadap pengalaman belajar mahasiswa.

Baca juga: Kunci Mutu Prodi: Saatnya SDM Pengelola Naik Level!

Penutup

Reposisi peran dosen bukan agenda temporer, melainkan keharusan struktural untuk menjawab tantangan zaman.

Dengan dukungan sistem mutu seperti SPMI dan alat evaluasi seperti PPEPP, dosen memiliki fondasi dan arah untuk bertumbuh secara profesional. Karena sejatinya, pendidikan bermutu dimulai dari pembelajaran yang bermakna—dan pembelajaran bermakna dimulai dari dosen yang berdaya dan berjiwa belajar. Stay Relevant!


Referensi

  1. Bruner, J. S. (1960). The process of education. Cambridge, MA: Harvard University Press.
  2. Dewey, J. (1938). Experience and education. New York, NY: Macmillan.
  3. Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2000). The “what” and “why” of goal pursuits: Human needs and the self-determination of behavior. Psychological Inquiry
  4. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  5. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  6. Kim, W. C., & Mauborgne, R. (2005). Blue ocean strategy: How to create uncontested market space and make the competition irrelevant. Harvard Business School Press.
  7. OpenAI. (2025). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  8. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  9. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2024). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  10. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  11. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan SKL

Ketika Lulusan Keagamaan Ragu Melangkah: Apa yang Bisa Diperbaiki dari SKL Kita?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Amran, seorang lulusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir dari UIN, merasa percaya diri saat menyelesaikan kuliahnya. Ia aktif berdiskusi, paham banyak teori, dan bahkan lulus tepat waktu. Namun, rasa percaya diri itu perlahan memudar saat ia terjun ke dunia nyata.

Ia tidak tahu harus menawarkan apa ke pasar kerja, selain ijazah dan semangat belajar.

Cerita seperti Amran bukan hal yang asing. Banyak lulusan, terutama dari program studi keagamaan, merasa bingung begitu keluar dari kampus. Di sinilah kita perlu mulai bertanya secara jujur—apakah Standar Kompetensi Lulusan (SKL) kita selama ini cukup tajam dan relevan? Apakah SKL hanya menargetkan pemahaman kognitif, ataukah juga merangkul keterampilan nyata (psikomotorik) yang dibutuhkan di era kerja yang penuh gejolak ini (disrupsi)?

Baca juga: Lulus Kuliah, Tapi Nggak Siap Kerja? Mungkin Standar Kompetensinya Bermasalah!

Menjembatani Ilmu dan Dunia Nyata

Dalam manajemen pendidikan, teori Ralph Tyler yang menekankan curriculum as planned learning experiences mengingatkan kita bahwa kurikulum seharusnya disusun berdasarkan kebutuhan peserta didik dan tujuan pendidikan.

Ini menjadi problem mendasar ketika SKL disusun hanya sebagai dokumen formal—dengan rumusan ideal, tapi tanpa keterhubungan dengan dunia kerja, keterampilan abad 21, atau kebutuhan spesifik lulusan.

Ketika lulusan keagamaan tidak bisa menjawab pertanyaan “apa kompetensi saya?”, maka kita sebagai institusi juga perlu bertanya: “apa yang sebenarnya sudah kita rumuskan dalam SKL mereka?”

Baca juga: Merancang Capaian Pembelajaran Abad 21: Kunci SKL yang Adaptif dan Visioner

SKL bisa menjelma sebagai jembatan antara “nilai-nilai luhur” dalam kelas dengan “kemampuan bertahan hidup” di luar kampus.

Menyiapkan Lulusan untuk Dunia Setelah Wisuda

Dalam konteks pendidikan tinggi modern, SKL tidak boleh berhenti pada rumusan sikap, pengetahuan, dan keterampilan generik. Merujuk pada Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 dan Pedoman Implementasi SPMI 2024, SKL seharusnya menjadi peta jalan yang menyatukan misi kampus, kebutuhan dunia kerja, serta karakter khas prodi. Dengan demikian, SKL bisa menjelma sebagai jembatan antara “nilai-nilai luhur” dalam kelas dengan “kemampuan bertahan hidup” di luar kampus.

Era VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous) dan BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, Incomprehensible) menuntut lulusan yang reflektif, adaptif, dan mampu menghidupi nilai-nilai ilmunya secara kontekstual.

Baca juga: Bukan Copy-Paste! Begini Cara Bikin Standar Kompetensi Lulusan yang Tajam dan Relevan

PDCA dan PPEPP 2
Setiap tahap PPEPP membuka ruang untuk mendengar: apakah mahasiswa merasa siap?

Menjadikan SPMI dan PPEPP Bagian dari Budaya Belajar

SPMI memberi ruang bagi kampus untuk merefleksikan capaian lulusan, memperkuat sinergi dosen-prodi-alumni, dan mendesain pengalaman belajar yang otentik. Seperti tertuang dalam buku pedoman SPMI 2024, kampus harus berani menjalankan PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) secara konsisten untuk mewujudkan SKL sebagai alat ukur yang hidup, bukan sekadar arsip akreditasi.

Setiap tahap PPEPP membuka ruang untuk mendengar: apakah mahasiswa merasa siap? Apakah alumni merasa kompetensinya nyambung dengan pekerjaannya sekarang? Apakah dosen punya ruang untuk menyesuaikan metode ajarnya? Inilah yang disebut “kaizen” dalam konteks mutu kampus: perbaikan terus-menerus yang tumbuh dari dalam, bukan karena desakan luar.

Baca juga: SPMI dan Ironi Lulusan Menganggur: Mutu di Atas Kertas, Bukan di Lapangan?

Penutup

Kisah Amran bukan sekadar kritik pada kurikulum keagamaan. Ini adalah cermin bagi semua kampus.

Pendidikan tinggi tak boleh puas meluluskan orang pintar teori, tapi perlu membekali mereka agar bisa hidup, bekerja, dan berkontribusi di tengah masyarakat yang berubah cepat.

Saatnya SKL disusun bukan dari ruang rapat saja, tapi dari hasil mendengar, berdialog, dan memahami arah hidup para mahasiswa. Dengan SPMI yang dijalankan secara menyeluruh, dan PPEPP yang aktif, kampus-kampus keagamaan bisa kembali menjadi tempat lahirnya lulusan yang tak hanya tahu apa itu kebenaran—tapi juga mampu menyampaikannya dengan cara yang relevan dan membumi. Stay Relevant!


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. Kim, W. C., & Mauborgne, R. (2005). Blue ocean strategy: How to create uncontested market space and make the competition irrelevant. Harvard Business School Press.
  4. OpenAI. (2025). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  5. Ornstein, A.C. & Hunkins, F.P. (2018). Curriculum: Foundations, Principles, and Issues. Pearson.
  6. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  7. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  8. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  9. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Memberi Solusi bagi Pengembangan Mutu Pendidikan & SPMI

GKM di Persimpangan Jalan: Pengawal Mutu atau Sekadar Pengisi Laporan?


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Dalam dinamika perguruan tinggi masa kini, tuntutan terhadap peningkatan mutu pendidikan semakin kompleks. Berbagai regulasi nasional seperti Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 telah mengarahkan institusi pendidikan tinggi untuk membangun sistem penjaminan mutu yang sistematis, terencana, dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, Gugus Kendali Mutu (GKM) seharusnya memainkan peran penting sebagai elemen penggerak mutu di tingkat unit kerja seperti fakultas dan program studi. Sayangnya, di banyak institusi, peran strategis GKM belum benar-benar terwujud.

Kondisi ini memperlihatkan adanya persoalan mendasar: ketidakjelasan struktur dan wewenang yang menyebabkan GKM berjalan tanpa arah yang kuat. Akibatnya, potensi GKM sebagai mitra transformasi mutu justru melemah di saat lembaga sangat membutuhkannya.

Baca juga: Mutu, Otonomi, dan Kepercayaan: Menata Ulang Relasi Negara dan Kampus

Tugas Ada, Tapi Tak Bertaring

Di banyak perguruan tinggi, GKM dibentuk secara formal, namun tidak diikuti oleh kejelasan posisi dalam struktur organisasi.

Dalam beberapa kasus, GKM tidak dilibatkan dalam penyusunan program strategis fakultas, padahal mereka memiliki data dan hasil evaluasi mutu yang berharga.

Menurut Ricky W. Griffin, struktur organisasi yang tidak jelas menciptakan kebingungan peran, memperlemah pengambilan keputusan, dan mengganggu efektivitas manajemen. Hal ini berimplikasi langsung pada disengagement anggota GKM, di mana mereka merasa tugasnya tidak berdampak nyata. Dalam perspektif Stephen Robbins, ini adalah bentuk dari disonansi peran, yang akan berdampak pada penurunan motivasi dan semangat kerja. Maka tak heran jika banyak GKM bekerja dalam mode bertahan, bukan mode tumbuh.

Baca juga: Mengapa Standar Pengelolaan Harus Merata Hingga ke Prodi

Antara Beban dan Harapan

Harapan terhadap GKM untuk menjadi motor mutu kerap tidak diimbangi dengan sumber daya yang memadai. Tanpa pelatihan, pendampingan, dan pengakuan institusional, GKM cenderung bekerja secara reaktif.

Hal ini berbanding terbalik dengan semangat Total Quality Management (TQM) yang seharusnya tumbuh subur dalam sistem manajemen mutu perguruan tinggi.

Padahal, di dalam kerangka Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), GKM memiliki ruang besar untuk berperan. SPMI dirancang sebagai sistem mutu otonom yang sesuai dengan regulasi nasional. Ia memberi ruang bagi setiap unit untuk mengelola mutu secara kontekstual, berakar dari kebutuhan internal, dan mengarah pada perbaikan berkelanjutan.

Baca juga: Kunci Mutu Prodi: Saatnya SDM Pengelola Naik Level!

PDCA dan PPEPP 2
Sayangnya, PPEPP sering kali hanya dijalankan secara simbolik.

PPEPP dan Kaizen

Salah satu kekuatan utama dari SPMI adalah keberadaan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan). Jika dijalankan dengan benar, PPEPP adalah alat manajerial yang sangat kuat. Ia bukan hanya sistematika kerja, tetapi juga cerminan dari prinsip kaizen—konsep perbaikan terus-menerus yang menjadi jiwa dari TQM. GKM memiliki peran penting dalam memastikan PPEPP benar-benar hidup dan dinamis di unit kerja masing-masing.

Namun realitasnya, PPEPP sering kali hanya dijalankan secara simbolik. Penetapan dan pelaksanaan berlangsung, tetapi evaluasi, pengendalian, dan peningkatan sering terlewat atau minim tindak lanjut. Ini terjadi karena GKM belum sepenuhnya diberdayakan untuk mendampingi pelaksanaan PPEPP secara menyeluruh.

Baca juga: Bukan Copy-Paste! Begini Cara Bikin Standar Kompetensi Lulusan yang Tajam dan Relevan

Solusi di Tengah Kebuntuan

Agar GKM tidak terus berada di persimpangan peran, dibutuhkan intervensi strategis dari pimpinan perguruan tinggi. Pertama, perlu dibuat regulasi internal yang jelas mengenai kedudukan, wewenang, dan mekanisme kerja GKM, termasuk hubungan koordinatif dan fungsional dengan LPM dan pimpinan unit. Kedua, anggota GKM perlu diberikan pelatihan kompetensi mutu secara berkala, agar memiliki bekal untuk menjadi fasilitator, konsultan, sekaligus pendorong perubahan.

Dengan begitu, hasil evaluasi tidak hanya berhenti di laporan, tetapi menjadi dasar dalam pengambilan keputusan akademik dan manajerial. GKM pun akan merasakan bahwa peran mereka bermakna dan berdampak, sesuai dengan semangat partisipatif dalam pengelolaan mutu.

Baca juga: Kebijakan SPMI: Blueprint Masa Depan Kampus yang Sering Diabaikan

Penutup

Untuk itu, perguruan tinggi perlu mengubah cara pandang terhadap GKM, dari unit teknis menjadi pilar transformasi.

Dengan penguatan kelembagaan, peningkatan kompetensi, serta integrasi yang kuat dalam struktur pengambilan keputusan, GKM akan mampu menjalankan perannya sebagai pengawal mutu yang sesungguhnya. Dalam ekosistem SPMI yang sehat, ditopang oleh siklus PPEPP yang hidup, GKM bisa menjadi ujung tombak kaizen di ruang-ruang akademik. Dan ketika itu terjadi, mutu bukan hanya slogan, tapi kenyataan yang bisa dirasakan oleh seluruh sivitas kampus. Stay Relevant!


Referensi

  1. Bruner, J. S. (1960). The process of education. Cambridge, MA: Harvard University Press.
  2. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  3. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  4. Kim, W. C., & Mauborgne, R. (2005). Blue ocean strategy: How to create uncontested market space and make the competition irrelevant. Harvard Business School Press.
  5. OpenAI. (2025). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  6. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  7. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2024). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  8. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  9. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMi dan Peran Regulasi Pemerintah

Mutu, Otonomi, dan Kepercayaan: Menata Ulang Relasi Negara dan Kampus

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Disclaimer:

“Tulisan ini disusun dalam dua semangat berbeda: pertama, sebagai inspirasi teknis bagi rekan-rekan kampus yang harus tetap menjalankan regulasi; lihat blog Inspirasi SPMIkedua, sebagai masukan kritis apabila ruang revisi kebijakan masih terbuka. Kritik bukan berarti menolak mutu, tapi menuntut sistem yang lebih sehat.”


Pendahuluan

Dalam diskusi mengenai penjaminan mutu pendidikan tinggi, terdapat satu pertanyaan penting yang perlu dikedepankan: sampai sejauh mana negara percaya kepada kampus? Pertanyaan ini tidak bersifat provokatif, melainkan reflektif—menyentuh pada relasi antara negara sebagai penjamin kepentingan publik dan perguruan tinggi sebagai pemegang mandat otonomi akademik.

Regulasi terbaru seperti Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 hadir dengan tekad untuk memperkuat sistem mutu. Namun dalam pelaksanaannya, muncul kegelisahan bahwa pengaturan yang sangat teknis bisa berpotensi membatasi ruang kreatif dan reflektif kampus. Ketika perangkat mutu sudah ditentukan format dan siklusnya, maka yang berkembang bukan sistem mutu berbasis nilai dan kebutuhan institusi, melainkan sistem pelaporan administratif yang seragam.

Baca juga: Mutu yang Tumbuh dari Dalam: Pelajaran Global dan Refleksi atas Permendikbudristek 53/2023

Diatur atau Didampingi

Salah satu perdebatan yang muncul dari regulasi ini adalah kewajiban menjalankan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) melalui model PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan. Model ini pada dasarnya adalah adaptasi dari pendekatan PDCA (Plan-Do-Check-Act) dalam manajemen mutu.

Kondisi ini membuat banyak kampus menjalankan proses mutu sekadar untuk memenuhi kewajiban, bukan sebagai ruang refleksi yang mendorong perbaikan berkelanjutan. Di sinilah muncul dilema: ketika mutu diperlakukan sebagai urusan teknis yang harus dikendalikan dari luar, institusi kehilangan insentif untuk membangun kesadaran internal. Dalam teori administrasi publik modern, Denhardt dan Denhardt (2007) menyebut bahwa fungsi pemerintah seharusnya bukan sekadar steering (mengendalikan arah), melainkan serving (memfasilitasi dan memberdayakan). Prinsip ini penting untuk direnungkan kembali dalam konteks kebijakan mutu kita.

Baca juga: Mengapa Standar Pengelolaan Harus Merata Hingga ke Prodi

Praktik Baik dari Sistem yang Luwes

Penting untuk melakukan benchmarking digital guna mencari inspirasi menata ulang pendekatan penjaminan mutu.

Mereka tetap tunduk pada kerangka akreditasi nasional atau regional, tetapi diberi kewenangan untuk menetapkan instrumen, model siklus, dan mekanisme refleksi yang sesuai dengan kondisi lokal.

Di NUS, misalnya, sistem mutu dikembangkan dalam kerangka Quality Assurance Framework for Universities (QAFU) yang memberi pedoman tetapi tidak mendikte. Sementara Oxford mengembangkan kerangka QA berbasis fakultas yang disesuaikan dengan budaya dan konteks keilmuannya. Hal ini menunjukkan bahwa akuntabilitas bisa tetap terjaga tanpa harus mengorbankan kemandirian institusi. Justru dari kepercayaan itulah, muncul sistem mutu yang lebih kontekstual dan bertanggung jawab.

Baca juga: Kunci Mutu Prodi: Saatnya SDM Pengelola Naik Level!

Merevisi Bukan Melemahkan

Dalam semangat tersebut, mungkin sudah saatnya kita membuka ruang dialog untuk meninjau ulang aspek-aspek teknis dari regulasi mutu yang berlaku saat ini. Revisi bukanlah bentuk penolakan, melainkan upaya untuk menyelaraskan semangat kebijakan dengan praktik lapangan.

Seperti misalnya: PDCA / Deming Cycle – Plan, Do, Check, Act, PDSA – Plan, Do, Study, Act (versi lain dari PDCA), DMAIC – Define, Measure, Analyze, Improve, Control (Six Sigma), DMAIC – Balanced Scorecard (BSC), POAC – Planning, Organizing, Actuating, Controlling, POLC – Planning, Organizing, Leading, Controlling, Agile Management, dan lain sebagainya. Termasuk kemungkinan untuk mengembangkan model inovasi sendiri atau pemakaian sistem mutu internal berbasis kearifan lokal yang tumbuh subur di daerah setempat.

Demikian pula dengan perangkat dan format pelaporan, alangkah lebih sehat jika disusun sebagai pedoman terbuka yang dapat dimodifikasi. Setiap kampus bisa menunjukkan proses penjaminan mutunya dengan cara yang berbeda, selama prinsip perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan peningkatan tetap dijalankan. Ketika diberikan ruang seperti ini, kampus akan lebih terdorong untuk membangun sistem mutu yang dimiliki bersama, bukan yang sekadar ditaati.

Baca juga: Transformasi Mutu Kampus Melalui Benchmarking Digital: Mungkinkah?

Penutup

Mutu, otonomi, dan kepercayaan bukanlah konsep yang saling bertentangan. Ketiganya justru saling memperkuat apabila ditempatkan dalam relasi yang sehat. Negara tetap memiliki peran strategis untuk menjaga standar dan menjamin keadilan dalam sistem pendidikan tinggi. Namun dalam menjalankan peran itu, negara juga perlu memberi ruang kepada kampus untuk tumbuh dengan kekhasannya sendiri.

Maka tugas kebijakan publik bukan untuk mengatur setiap langkah, melainkan untuk membuka jalan dan menemani perjalanan itu. Mungkin di sanalah kita bisa mulai menata ulang relasi antara negara dan kampus—dari relasi kendali, menuju relasi kepercayaan. Stay Relevant!


Referensi

  1. Deming, W. E. (1986). Out of the crisis. MIT Press.
  2. Denhardt, J. V., & Denhardt, R. B. (2007). The new public service: Serving, not steering. M.E. Sharpe.
  3. Goetsch, D. L., & Davis, S. B. (2014). Quality management for organizational excellence: Introduction to total quality (7th ed.). Pearson Education.
  4. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  5. Ministry of Education Singapore. (2006). QAFU: Quality Assurance Framework for Universities.
  6. OpenAI. (2025). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  7. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  8. Quality Assurance Agency for Higher Education (QAA UK). (2022). UK Quality Code for Higher Education.
  9. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  10. Yukl, G. A. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Kategori: Administrasi Publik, Benchmarking, Internasional


Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Analisis Peluang Eksternal

Mutu yang Tumbuh dari Dalam: Pelajaran Global dan Refleksi atas Permendikbudristek 53/2023

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Disclaimer:

“Tulisan ini disusun dalam dua semangat berbeda: pertama, sebagai inspirasi teknis bagi rekan-rekan kampus yang harus tetap menjalankan regulasi; lihat blog Inspirasi SPMI, kedua, sebagai masukan kritis apabila ruang revisi kebijakan masih terbuka. Kritik bukan berarti menolak mutu, tapi menuntut sistem yang lebih sehat.”


Pendahuluan

Ketika berbicara tentang mutu pendidikan tinggi, kita sering kali terburu-buru mencari format, instrumen, atau sistem yang bisa langsung diadopsi. Namun, jika kita melihat ke kampus-kampus terbaik di dunia seperti Harvard, MIT, Oxford, dan NUS, yang tampak justru bukan keseragaman bentuk, melainkan keluwesan sistem. Mereka tidak menjadikan mutu sebagai soal kepatuhan administratif, tetapi sebagai bagian dari budaya berpikir, berdiskusi, dan terus bertumbuh.

Justru, semakin tinggi reputasi sebuah institusi, semakin longgar sistemnya terlihat di permukaan. Tapi jangan salah, kelonggaran itu bukan kelemahan, melainkan cermin dari kedewasaan manajerial dan kuatnya budaya akademik yang menopang sistem tersebut dari dalam.

Konteks yang Dibentuk Sendiri

Universitas seperti NUS di Singapura, sejak menjadi universitas otonom pada tahun 2006, mengembangkan sistem mutu internal yang kontekstual. Mereka mengikuti kerangka nasional QAFU, tetapi diberi keleluasaan penuh untuk menentukan bagaimana standar, proses evaluasi, dan tindak lanjutnya dilakukan (MOE Singapore, 2006). Siklus PDCA digunakan sebagai filosofi umum manajemen mutu, namun tidak diwajibkan dalam bentuk format yang kaku.

Fokus utama mereka bukan pada dokumentasi administratif, melainkan pada refleksi institusional melalui umpan balik mahasiswa, diskusi akademik, dan evaluasi lintas unit. Seperti yang dikemukakan Deming (1986), mutu sejati adalah hasil dari pembelajaran terus-menerus, bukan kepatuhan sesaat terhadap indikator atau target jangka pendek.

Struktur Tidak Selalu Sama

Prinsip dasar yang dianut adalah transparansi, kolaborasi, dan kemampuan untuk menyesuaikan sistem dengan perubahan konteks akademik dan sosial (QAA UK, 2022).

Di Harvard, sistem QA dikembangkan secara desentralistik, dengan unit-unit seperti Harvard Business School atau School of Public Health membentuk kerangka mutu internal mereka sendiri. Masing-masing menjalankan siklus evaluasi dan peningkatan mutu yang tidak dibatasi oleh template formal. Ini sejalan dengan pendekatan total quality yang menekankan kualitas sebagai bagian dari budaya kerja, bukan sebagai aktivitas yang berdiri sendiri (Goetsch & Davis, 2014).

Mutu yang Dimiliki Bersama

Mahasiswa dilibatkan dalam penyusunan kebijakan akademik, dosen menjadi aktor utama dalam evaluasi dan pengembangan, dan pimpinan memfasilitasi proses refleksi ini secara strategis (Yukl, 2010; Goetsch & Davis, 2014).

Dalam kerangka manajemen, pendekatan ini merupakan integrasi antara POLC (fungsi manajemen: Planning, Organizing, Leading, Controlling) dan PDCA (siklus Plan, Do, Check, Act). Griffin (2022) menyebut bahwa perencanaan strategis dan siklus pengendalian adalah dua sisi dari koin yang sama—yang satu membentuk struktur, yang lain menghidupkannya.

Mutu tumbuh dari partisipasi dan refleksi, bukan dari kepatuhan administratif semata

Refleksi untuk Regulasi di Tanah Air

Apa yang kita pelajari dari kampus-kampus dunia adalah bahwa mutu tumbuh dari partisipasi dan refleksi, bukan dari kepatuhan administratif semata. Dalam konteks Indonesia, Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 masih membawa semangat pengaturan yang sangat teknis.

Menurut Denhardt & Denhardt (2007), dalam administrasi publik modern, peran pemerintah bukan lagi sebagai pengatur (steering), tetapi sebagai fasilitator (serving, not steering). Prinsip ini seharusnya menjadi pijakan dalam merancang regulasi mutu pendidikan tinggi. Pemerintah perlu memberi kerangka umum dan indikator dasar, namun membiarkan institusi menentukan jalannya sendiri. Ketika otonomi tumbuh, akuntabilitas justru menguat dari dalam.

Sebagai masukan terhadap Permen 53/2023, pendekatan yang lebih fleksibel dan kontekstual sangat dibutuhkan. Sistem mutu internal seharusnya memungkinkan variasi metodologi, istilah, dan instrumen, asalkan memenuhi prinsip evaluasi dan peningkatan berkelanjutan. Negara tidak perlu mengatur cara berpikir kampus, cukup menetapkan hasil yang ingin dicapai dan membuka ruang dialog.

Penutup

Belajar dari kampus dunia tidak berarti menyalin. Yang kita petik adalah semangatnya: membangun mutu yang tumbuh dari refleksi dan keterlibatan, bukan dari pemenuhan administratif semata. Mutu yang luwes justru lebih kuat, karena ia terhubung dengan kenyataan di dalam institusi, bukan hanya ekspektasi dari luar.

Benchmarking bukanlah tentang meniru angka, tetapi memahami napas dari sistem yang hidup dan berkembang dalam ritme mereka sendiri – dengan irama mutu yang tumbuh dari dalam. Stay Relevant!


Referensi

  1. Deming, W. E. (1986). Out of the crisis. MIT Press.
  2. Denhardt, J. V., & Denhardt, R. B. (2007). The new public service: Serving, not steering. M.E. Sharpe.
  3. Goetsch, D. L., & Davis, S. B. (2014). Quality management for organizational excellence: Introduction to total quality (7th ed.). Pearson Education.
  4. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  5. Ministry of Education Singapore. (2006). QAFU: Quality Assurance Framework for Universities.
  6. OpenAI. (2025). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  7. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  8. Quality Assurance Agency for Higher Education (QAA UK). (2022). UK Quality Code for Higher Education.
  9. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  10. Yukl, G. A. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Kategori: Administrasi Publik, Benchmarking, Internasional


Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com


Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan 4 perangkat

4 Perangkat SPMI yang Menentukan Masa Depan Kampus Anda

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Di banyak perguruan tinggi, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) sering kali hanya dipahami sebagai tumpukan dokumen yang harus dipenuhi untuk keperluan akreditasi. Formatnya dipatuhi, isinya dilengkapi, tetapi semangat dasarnya sering luput dari perhatian: bahwa SPMI bukanlah sekadar formalitas, melainkan strategi manajemen mutu yang dirancang untuk menciptakan keunggulan institusional secara berkelanjutan.

Namun esensinya jauh melampaui kepatuhan administratif. Ia adalah platform yang memberi ruang bagi organisasi untuk menata proses kerja, membangun budaya mutu, dan menciptakan perubahan yang nyata. Di sinilah empat perangkat SPMI memainkan peran penting—mereka bukan sekadar dokumen, melainkan pengungkit strategis.

Baca juga: Kebijakan SPMI: Blueprint Masa Depan Kampus yang Sering Diabaikan

Kebijakan SPMI: Kompas Institusional

Dokumen Kebijakan SPMI mengandung prinsip-prinsip dasar, nilai, serta komitmen institusi dalam membangun budaya mutu yang terstruktur dan sistematis. Dalam perspektif manajemen modern seperti dikemukakan Griffin, kebijakan yang jelas adalah pondasi dari fungsi manajerial pertama: perencanaan.

Kebijakan SPMI idealnya lahir dari kesadaran akan posisi strategis institusi (diferensiasi misi) di tengah ekosistem pendidikan tinggi. Ia menjadi kompas yang memandu penyusunan standar dan proses mutu. Tanpa arah yang jelas, sistem mutu akan mudah terjebak pada pendekatan reaktif—sekadar menjawab tuntutan luar, tanpa membangun kekuatan dari dalam.

Baca juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik

PDCA dan PPEPP 2
Dalam teori manajemen, PPEPP berfungsi sebagai sistem kontrol internal yang dinamis

Siklus PPEPP: Mesin Kaizen

Perangkat kedua adalah “Pedoman Penerapan Siklus PPEPP“—yang menjabarkan proses Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan. Di sinilah filosofi kaizen atau perbaikan berkelanjutan hidup dalam konteks pendidikan tinggi. Siklus ini bukan hanya prosedur administratif, melainkan instrumen strategis untuk memastikan mutu tidak stagnan, melainkan terus berkembang seiring waktu.

Dalam teori manajemen, PPEPP berfungsi sebagai sistem kontrol internal yang dinamis. Seperti dijelaskan oleh Griffin dalam Fundamentals of Management, fungsi kontrol memungkinkan organisasi menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan (Era VUCA dan BANI), memperkecil kesalahan, dan mengarahkan sumber daya ke tujuan yang tepat.

Baca juga: PPEPP Bukan Beban, Tapi Solusi, Benarkah?

Standar Mutu: Pilar Pembeda

Perangkat ketiga, yaitu “Standar Mutu“, adalah bentuk konkret dari ekspektasi mutu dalam Tridharma perguruan tinggi. Standar ini mencakup kriteria masukan, proses, dan luaran yang harus dicapai oleh unit-unit kerja. Dalam konteks manajerial, standar berfungsi sebagai ukuran kinerja yang objektif—sebagaimana dijelaskan dalam kerangka pengendalian organisasi modern.

Setiap perguruan tinggi diberi ruang untuk merumuskan standar berdasarkan karakter dan misi masing-masing. Ini sejalan dengan pendekatan kontingensi dalam manajemen, yang menekankan bahwa tidak ada satu solusi universal; strategi terbaik adalah yang paling sesuai dengan konteks spesifik organisasi.

Baca juga: Mission Differentiation: Rahasia Kampus Kecil Bisa Unggul di Tengah Kompetisi Nasional

Pengendalian Dokumen: Jejak Mutu yang Tertelusuri

Perangkat terakhir dalam SPMI sering kali dipahami hanya sebagai formulir, laporan, atau bukti-bukti administratif. Padahal, Tata Cara Pendokumentasian justru menjadi penghubung utama antara dokumen dan tindakan, antara rencana dan pembuktian. Di sinilah kerja mutu yang tak kasat mata menjadi nyata dan tertelusuri.

Dalam praktik terbaik manajemen mutu, sistem ini diwujudkan melalui Document Control Center (DCC).

DCC memainkan peran penting dalam menjamin bahwa dokumen yang digunakan di seluruh unit kerja adalah versi terbaru dan sah. Ini bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga soal integritas sistem mutu. Dalam konteks PPEPP sebagai alat kaizen, DCC memfasilitasi proses evaluasi dan pengendalian yang dapat ditindaklanjuti, karena semua informasi terdokumentasi dengan akurasi dan keterlacakan yang tinggi.

DCC adalah wujud konkret dari fungsi tersebut dalam ranah SPMI. Dengan dukungan DCC, perguruan tinggi tidak hanya siap menghadapi audit eksternal atau akreditasi, tetapi juga lebih siap untuk mengelola perubahan dan memperbaiki diri secara berkelanjutan.

Baca juga: Revisi Dokumen Strategis Kampus: Mana yang Harus Diperbarui Lebih Dulu?

Penutup

SPMI tidak bisa dipandang hanya sebagai serangkaian kewajiban administratif. Ia adalah sistem strategis, alat manajerial, dan budaya institusional yang berorientasi pada perbaikan terus-menerus.

Dengan menjadikan PPEPP sebagai alat kaizen dan mendesain standar mutu yang kontekstual, serta mengimplementasikan DCC sebagai sistem kendali informasi, perguruan tinggi dapat menjawab tantangan era disrupsi dengan kepercayaan diri. Lebih dari itu, melalui implementasi SPMI yang tepat, kampus tak hanya memenuhi regulasi, tetapi juga menciptakan nilai baru yang berkelanjutan—bagi mahasiswa, dosen, masyarakat, dan bangsa. Stay Relevant!

Baca juga: SPMI Stagnan? Mungkin Program Pelatihan Terabaikan!


Referensi

  1. Bruner, J. S. (1960). The process of education. Cambridge, MA: Harvard University Press.
  2. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  3. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  4. Kim, W. C., & Mauborgne, R. (2005). Blue ocean strategy: How to create uncontested market space and make the competition irrelevant. Harvard Business School Press.
  5. OpenAI. (2025). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  6. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  7. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2024). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  8. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  9. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Standar Proses Pembelajaran

Evaluasi Dosen: Membangun Budaya Reflektif dalam Pendidikan dan Pengajaran

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Evaluasi dosen selama ini masih sering dipahami sebagai kewajiban administratif belaka. Mahasiswa diminta mengisi kuesioner di akhir semester, lalu hasilnya dikompilasi dan dijadikan bahan laporan. Dalam banyak kasus, hasil evaluasi hanya menjadi angka statistik yang dilihat sekilas oleh pimpinan atau dosen, tanpa proses reflektif yang bermakna. Padahal, di balik praktik evaluasi yang terkesan rutin ini, tersembunyi potensi besar untuk mendorong transformasi dalam budaya pengajaran dan pengembangan profesional dosen.

Dalam konteks pendidikan tinggi yang berorientasi mutu, evaluasi dosen seharusnya tidak lagi dilihat sebagai instrumen pengawasan semata, melainkan sebagai cermin pembelajaran bersama.

Inilah semangat evaluasi yang menciptakan budaya reflektif—budaya yang menempatkan dosen sebagai pembelajar sepanjang hayat.

Baca juga: Mengapa Standar Pengelolaan Harus Merata Hingga ke Prodi

Lebih dari Sekadar Kuesioner

Evaluasi dosen yang bermakna tidak cukup dilakukan hanya dengan menyebar kuesioner standar di akhir semester. Format semacam itu memang memiliki tempat dalam sistem mutu, tetapi tidak boleh menjadi satu-satunya bentuk umpan balik. Evaluasi sejati harus melibatkan proses refleksi dua arah: dari mahasiswa sebagai penerima manfaat langsung pembelajaran, dan dari dosen sendiri sebagai pelaksana proses akademik.

Psikologi pembelajaran modern menggarisbawahi pentingnya umpan balik dalam proses belajar, baik bagi mahasiswa maupun pengajarnya. Dalam teori pembelajaran konstruktivis, seperti yang dikembangkan oleh Jerome Bruner dan John Dewey, proses belajar akan lebih kuat jika dilengkapi dengan refleksi terhadap pengalaman.

Jika mahasiswa diharapkan belajar melalui refleksi, maka dosen pun harus berada dalam siklus pembelajaran yang sama—belajar dari pengalaman mengajar, dari dinamika kelas, dan dari suara mahasiswa. Evaluasi bukan akhir dari proses, tapi bagian dari siklus pembelajaran yang terus berkembang.

Baca juga: Bukan Copy-Paste! Begini Cara Bikin Standar Kompetensi Lulusan yang Tajam dan Relevan

Refleksi sebagai Pilar Profesionalisme

Di dunia akademik, refleksi bukan sekadar kontemplasi pribadi, tetapi bagian dari tanggung jawab profesional. Seorang dosen tidak hanya mengajar untuk memenuhi beban SKS, melainkan untuk membentuk manusia pembelajar yang kritis, adaptif, dan bermakna bagi lingkungannya. Dalam konteks ini, evaluasi dosen dapat menjadi jembatan antara kompetensi pedagogik dan pertumbuhan profesional berkelanjutan.

Dalam manajemen pendidikan, konsep continuous improvement atau perbaikan berkelanjutan menjadi prinsip dasar. Ini selaras dengan pemikiran bahwa mutu tidak akan pernah tercapai secara final, tetapi terus dibangun melalui siklus belajar dan perbaikan.

Ketika refleksi menjadi kebiasaan, maka evaluasi bukan lagi momen yang menegangkan, melainkan kesempatan untuk mengasah kepekaan pedagogis dan menyesuaikan pendekatan agar lebih kontekstual dan relevan dengan zaman.

Baca juga: Transformasi Mutu Kampus Melalui Benchmarking Digital: Mungkinkah?

SPMI sebagai Sistem Penggerak Mutu Evaluasi

Evaluasi dosen menjadi bagian penting dalam siklus mutu yang dicanangkan oleh SPMI karena dari sinilah kampus dapat melihat wajah sebenarnya dari proses belajar-mengajar yang terjadi di ruang kelas.

SPMI mengharuskan setiap unit kerja di perguruan tinggi, termasuk program studi, untuk melakukan evaluasi dan perbaikan berdasarkan data dan umpan balik yang valid. Evaluasi dosen tidak boleh berhenti di angka, tetapi harus menjadi titik awal untuk menyusun program pengembangan dosen, pembaruan metode pembelajaran, dan peningkatan hubungan dosen-mahasiswa. Jika SPMI dijalankan secara konsisten dan reflektif, maka evaluasi dosen bukan hanya menjadi indikator administratif, tetapi pendorong utama dalam pembentukan budaya akademik yang sehat dan dinamis.

Baca Juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik

PDCA dan PPEPP 2
Siklus PPEPP memberi struktur yang kuat untuk membangun budaya kaizen

PPEPP dan Perbaikan Berkelanjutan

Dalam konteks evaluasi dosen, ini berarti menetapkan standar kompetensi dan etika mengajar, melaksanakan proses evaluasi secara sistematis, menganalisis hasilnya, mengendalikan mutu melalui pelatihan atau mentoring, dan melakukan peningkatan berbasis refleksi.

Siklus PPEPP memberi struktur yang kuat untuk membangun budaya kaizen—yakni semangat perbaikan kecil yang dilakukan secara terus-menerus. Evaluasi dosen, ketika dilihat sebagai bagian dari siklus ini, akan menjadi salah satu elemen strategis dalam pengembangan mutu pendidikan secara menyeluruh. Institusi tidak hanya berorientasi pada hasil evaluasi sebagai angka, tapi lebih pada makna dan tindak lanjutnya. Di sinilah refleksi menjadi jembatan antara evaluasi dan transformasi.

Baca juga: Membumikan Strategi Kampus: Semua Unit Paham dan Bergerak Sesuai Arah

Penutup

Evaluasi dosen yang bermakna tidak bisa dibangun dalam sistem yang hanya melihat angka statistik semata. Ia memerlukan semangat refleksi, ruang dialog, dan kemauan bersama untuk tumbuh. Di era ketika pembelajaran menuntut relevansi, inovasi, dan koneksi emosional antara pengajar dan peserta didik, budaya evaluasi juga harus berkembang. Evaluasi dosen harus menjadi bagian dari ekosistem belajar yang menumbuhkan kesadaran, bukan ketakutan.

Dengan menjalankan SPMI secara konsisten dan menerapkan PPEPP sebagai siklus penggerak mutu, perguruan tinggi dapat menumbuhkan budaya reflektif di kalangan dosen.

Baca juga: Mission Differentiation: Rahasia Kampus Kecil Bisa Unggul di Tengah Kompetisi Nasional


Referensi

  1. Bruner, J. S. (1960). The process of education. Cambridge, MA: Harvard University Press.
  2. Dewey, J. (1938). Experience and education. New York, NY: Macmillan.
  3. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  4. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  5. Kim, W. C., & Mauborgne, R. (2005). Blue ocean strategy: How to create uncontested market space and make the competition irrelevant. Harvard Business School Press.
  6. OpenAI. (2025). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  7. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  8. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2024). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  9. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  10. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

×

Layanan Informasi

× Hubungi Kami