
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan tuntutan global yang semakin kompleks, pendidikan tinggi tak lagi bisa berpuas diri dengan standar lulusan yang hanya berorientasi pada capaian akademik. Dunia kerja menuntut lulusan yang adaptif, inovatif, dan mampu terus belajar sepanjang hayat.
Oleh karena itu, merancang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang visioner dan kontekstual dengan dinamika abad ke-21 menjadi keniscayaan.
SKL bukan sekadar dokumen normatif, melainkan titik temu antara visi institusi pendidikan dengan harapan masyarakat, dunia kerja, dan masa depan itu sendiri. Dalam konteks ini, SKL harus menjadi jembatan antara kurikulum dan kebutuhan nyata di lapangan. Ia harus mencerminkan keterampilan hidup abad ke-21 seperti critical thinking, creativity, collaboration, dan communication—dikenal sebagai 4C—serta literasi digital dan kemampuan beradaptasi dalam dunia yang terus berubah.
Baca juga: Kunci Mutu Prodi: Saatnya SDM Pengelola Naik Level!
Transformasi besar dalam penyusunan SKL saat ini adalah pergeseran paradigma dari pendekatan berbasis konten ke capaian berbasis kompetensi. Jika sebelumnya SKL lebih menekankan pada seberapa banyak materi yang harus dikuasai, kini penekanannya bergeser pada apa yang mampu dilakukan lulusan dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.
Pendekatan ini sejalan dengan amanat Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, yang menekankan pada capaian pembelajaran sebagai basis dari sistem penjaminan mutu internal perguruan tinggi.
SKL yang baik akan melandasi pengembangan kurikulum berbasis outcome dan mengarahkan pembelajaran kepada hasil yang berdampak nyata.
Di sinilah pentingnya “constructive alignment“, yaitu keterpaduan antara SKL, strategi pembelajaran, dan sistem asesmen.
Baca juga: Transformasi Mutu Kampus Melalui Benchmarking Digital: Mungkinkah?
Tidak ada satu formulasi tunggal yang bisa diterapkan untuk semua program studi. SKL di bidang teknik tentu berbeda dengan yang ada di ilmu sosial, kesehatan, atau seni. Oleh karena itu, penyusunannya harus dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik keilmuan, profil lulusan yang diharapkan, serta kebutuhan masyarakat dan industri.
Sebagai contoh, SKL untuk prodi teknik informatika bisa menekankan kemampuan merancang sistem berbasis AI yang beretika, sementara untuk ilmu komunikasi lebih menekankan pada kecakapan mengelola informasi digital secara kritis.
Namun, keduanya tetap harus memuat dimensi soft skills, sikap profesional, serta kemampuan belajar mandiri yang kuat. Inilah esensi dari lifelong learner yang menjadi kunci daya saing bangsa.
Baca juga: Kebijakan SPMI: Blueprint Masa Depan Kampus yang Sering Diabaikan
Untuk menciptakan SKL yang visioner, penting sekali untuk merujuk pada future skills framework yang dikembangkan oleh berbagai lembaga global, seperti World Economic Forum (WEF), UNESCO, dan OECD. Keterampilan seperti emotional intelligence, kemampuan berinovasi, kepemimpinan kolaboratif, hingga literasi data sudah semestinya diinternalisasi dalam SKL setiap program studi.
Penting untuk diingat bahwa SKL bukan hanya tanggung jawab akademisi, tetapi juga perlu melibatkan pemangku kepentingan eksternal, termasuk asosiasi profesi dan pengguna lulusan.
Proses ini dapat difasilitasi melalui mekanisme SPMI, yaitu Sistem Penjaminan Mutu Internal, yang telah menjadi fondasi regulatif pendidikan tinggi di Indonesia. SPMI tidak hanya menjamin kesesuaian standar, tetapi juga menjadi alat refleksi untuk terus menyesuaikan diri dengan tantangan masa depan.
Baca juga: Membumikan Strategi Kampus: Semua Unit Paham dan Bergerak Sesuai Arah
Dalam upaya menciptakan SKL yang terus relevan, pendekatan PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) menjadi alat yang sangat efektif.
PPEPP pada dasarnya merupakan siklus reflektif yang membawa semangat kaizen—perbaikan berkelanjutan—ke dalam sistem pendidikan tinggi.
Melalui evaluasi berkala, baik lewat tracer study maupun audit mutu internal, institusi bisa menilai apakah SKL yang ditetapkan masih relevan dan terjangkau oleh mahasiswa. Jika ditemukan ketidaksesuaian antara harapan dunia kerja dan kompetensi lulusan, maka PPEPP mendorong tindakan korektif dan preventif berbasis data dan analisis akar masalah. Dengan demikian, SKL tidak menjadi dokumen mati, tetapi terus hidup dan tumbuh bersama dinamika zaman.
Baca juga: Mission Differentiation: Rahasia Kampus Kecil Bisa Unggul di Tengah Kompetisi Nasional
Merancang SKL yang tajam dan relevan di era abad ke-21 bukanlah pekerjaan sekali jadi. Ia membutuhkan visi, partisipasi luas, serta komitmen terhadap mutu dan keberlanjutan.
Dalam konteks ini, SPMI dan PPEPP bukan sekadar alat administratif, tetapi jantung dari proses refleksi institusi untuk menghasilkan lulusan yang benar-benar siap menghadapi masa depan.
Jika perguruan tinggi serius membangun budaya mutu dan menghayati pentingnya SKL sebagai kompas capaian pembelajaran, maka lulusan yang dihasilkan tak hanya kompeten di atas kertas, tetapi juga relevan dan tahan banting di tengah arus perubahan global (era VUCA dan BANI) yang tak terelakkan. Pendidikan tinggi harus menjadi ekosistem yang membentuk insan pembelajar sepanjang hayat—dan semuanya berawal dari sebuah SKL yang dirancang dengan cermat dan bijak. Stay Relevant!
Baca juga: Mutu adalah Kepemimpinan, Bukan Sekadar Administrasi
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi