بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi sangat penting untuk menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan yang berkelanjutan. Di tengah tantangan globalisasi dan aneka tuntutan stakeholder, perguruan tinggi harus bersungguh sungguh dalam menjaga mutu akademik dan non akademik. Untuk mencapai target tersebut, peran pemimpin tentu sangat penting, tidak hanya dalam aspek tata kelola namun juga sebagai teladan (role model) dalam membangun budaya mutu di seluruh aras (level) organisasi.
Pemimpin perguruan tinggi berfungsi sebagai “role model” yang mempengaruhi perilaku civitas akademika.
Dalam hal ini, Social Learning Theory (teori pembelajaran sosial) dari Albert Bandura memberi wawasan bagaimana peran penting pemimpin dalam membentuk budaya mutu. Melalui perilaku dan interaksi sosial yang terjadi di lingkungan kampus, pemimpin menunjukkan komitmen terhadap mutu pendidikan. Perilaku pemimpin akan menjadi contoh yang diikuti oleh segenap dosen, staf, dan mahasiswa.
Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?
SPMI adalah sistem yang dirancang untuk memastikan seluruh elemen perguruan tinggi, dari kebijakan hingga pengelolaan pendidikan, sesuai dengan standar SPMI yang telah ditetapkan. Untuk memperkuat efektivitas SPMI dan peningkatan standar, diterapkan pula siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian dan Peningkatan Standar). Siklus ini menekankan peran aktif seluruh civitas akademika dalam menjaga mutu pendidikan.
Agar SPMI berjalan dengan optimal, diperlukan “leader” yang tidak hanya memahami teknis PPEPP (SPMI), namun juga berperan aktif sebagai katalis dalam membangun budaya mutu.
Pemimpin perguruan tinggi (rektor, ketua, direktur, dekan dan kaprodi) harus mampu “menjadi inspirator” dan menggerakkan semua stakeholder terkait untuk berkomitmen pada mutu melalui pendekatan yang substantif dan konsisten.
Sebagai role model, pemimpin mencontohkan nilai-nilai mutu dalam setiap perilakunya. Contoh, bila pemimpin menunjukkan “komitmen tinggi” dan detail terhadap standar SPMI, baik dalam pengajaran maupun administrasi, maka dosen dan staf otomatis akan tergerak untuk mengikuti contoh tersebut.
Pemimpin yang konsisten dengan “komitmen mutu” akan menjadi teladan yang kuat. Sikap dan perilaku ini dapat menjadi inspirasi bagi segenap civitas akademika untuk mencapai target-target SPMI yang lebih tinggi.
Baca juga: SPMI dan Teori Kepemimpinan Edwin Ghiselli
Albert Bandura, melalui Social Learning Theory, menjelaskan, individu belajar tidak hanya melalui pengalaman langsung, namun juga dengan mengamati perilaku orang lain. Proses ini disebut modeling.
Dalam konteks perguruan tinggi, pemimpin yang menunjukkan perilaku positif dan konsisten dalam menjaga mutu pendidikan akan menjadi teladan (role model) bagi segenap dosen, staf, dan mahasiswa.
Ketika pemimpin aktif menampilkan perilaku yang sesuai standar SPMI, seluruh civitas akademika akan tergerak untuk meniru perilaku tersebut. Melalui proses observasi dan imitasi, nilai-nilai positif tersebut dapat tersosialisasikan, membentuk budaya SPMI di seluruh institusi. Pemimpin yang konsisten dalam penerapan nilai-nilai SPMI ini akan membentuk sikap kolektif yang berorientasi pada peningkatan mutu.
Selain konsep “modeling”, Bandura juga memperkenalkan konsep “self-efficacy”, yaitu keyakinan individu terhadap kemampuan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam SPMI, pemimpin yang memiliki keyakinan kuat untuk keberhasilan SPMI ini akan memberikan dampak positif pada rasa percaya diri anggota tim kerja. Mereka akan merasa lebih siap dan termotivasi untuk ikut serta dalam menjaga dan meningkatkan standar SPMI.
Contoh lain, pemimpin yang aktif dalam kegiatan evaluasi dan memberikan umpan balik konstruktif akan meningkatkan rasa percaya diri di antara tim kerja, dosen dan staf. Dengan kepercayaan diri yang lebih besar, mereka akan lebih bersemangat untuk mengutamakan mutu dalam kegiatan akademik dan non akademik.
Akhirnya, melalui keteladanan (memberi contoh-contoh positif) dan pemberdayaan “keyakinan diri” (self-efficacy), pemimpin berperan krusial dalam menanamkan budaya SPMI yang berkelanjutan di perguruan tinggi, sebagaimana digambarkan dalam Social Learning Theory Bandura.
Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”
Pemimpin institusi perguruan tinggi tidak hanya bertindak sebagai role model melalui perilaku sehari-hari, namun juga memiliki peran penting dalam menumbuhkan lingkungan sosial yang kondusif dan mendukung Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Dengan membangun jaringan komunikasi internal yang terbuka antara pimpinan, unit kerja, dosen, staf, dan mahasiswa, pemimpin dapat membentuk ekosistem yang optimal bagi pengembangan mutu pendidikan yang berkelanjutan.
Menurut Albert Bandura, pembelajaran sosial terjadi tidak hanya ternjadi pada level individu, namun juga dalam tingkat kelompok atau organisasi. Sehingga, pemimpin institusi perguruan tinggi yang mampu mendorong interaksi sosial positif di antara civitas akademika akan memperkuat penerapan SPMI dalam jangka panjang. Melalui komunikasi dan interaksi yang terbuka, nilai-nilai PPEPP (SPMI) akan lebih mudah dimengerti dan diimplementasikan bersama.
Pemimpin yang efektif (dalam mengelola SPMI) juga fokus pada membangun budaya yang mengutamakan mutu, bukan hanya pada mencari target hasil formal semata seperti akreditasi atau evaluasi eksternal. Lebih dari itu, pemimpin sebagai role model, fokus pada membangun budaya SPMI yang substantif. Hal ini tentu memberikan “Impact” yang lebih langgeng, karena mutu menjadi bagian dari rutinitas organisasi, bukan hanya sekadar target administratif. Sebagaimana disampaikan oleh filsuf Aristoteles, quality is not an act, it is a habit.
Melalui model kepemimpinan yang berbasis pembelajaran sosial, pemimpin dapat menginspirasi setiap individu untuk aktif menjaga dan meningkatkan standar SPMI. Inspirasi ini dilakukan melalui komunikasi internal yang terus menerus disampaikan dan juga melibatkan partisipasi banyak pihak.
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Keberhasilan SPMI di perguruan tinggi sangat bergantung pada kemampuan pemimpin untuk mengintegrasikan nilai-nilai mutu dalam setiap aspek organisasi. Tidak cukup jika hanya diajarkan sebagai konsep; nilai mutu harus muncul dan tercermin dalam perilaku sehari-hari. Pemimpin berperan sebagai inspirator bagi seluruh civitas akademika untuk senantiasa berkomitmen terhadap tujuan dan tantangan bersama.
Dalam konteks ini, teori pembelajaran sosial dari Bandura sangat relevan, di mana pemimpin bertindak sebagai role model atau teladan bagi orang lain. Ketika pimpinan memberikan komitmen pada mutu, unit kerja, dosen, staf, dan mahasiswa akan terinspirasi dan termotivasi untuk menerapkan pola standar yang sama. Tindak tanduk pemimpin yang konsisten memprioritaskan mutu secara efektif memperkuat budaya di semua level dalam institusi.
Selain memantau SPMI dalam praktik sehari-hari, pimpinan juga harus memperhatikan dan menjaga relevansi sistem ini. Keberhasilan SPMI jangka panjang tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan saat ini, namun juga oleh adaptasi, transformasi dan peningkatan berkelanjutan. Pemimpin harus terus memperbarui (update) pendekatan dalam pengelolaan mutu dan memfasilitasi pengembangan kapasitas seluruh stakeholder internal.
Komitmen pimpinan dalam memperkuat kompetensi, motivasi dan partisipasi tim kerja akan menciptakan sistem yang tangguh dan berkelanjutan. Pimpinan yang mendukung peningkatan kompetensi dosen dan pelibatan mahasiswa akan memupuk budaya SPMI dalam kehidupan kampus sehari-hari.
Akhirnya, budaya SPMI yang dibangun dan diperkuat, akan menjadi nilai yang dihayati dan diterapkan secara konsisten oleh seluruh anggota civitas akademika.
Membangun mutu pendidikan, bukan hanya sekedar memenuhi standar formal-administratif, namun juga membangun “identitas perguruan tinggi” yang kompetitif, unggul dan berkelanjutan.
Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier
Kepemimpinan SPMI memiliki peran penting dalam menumbuhkan kesadaran, motivasi dan komitmen terhadap mutu di semua level perguruan tinggi. Dengan implementasi prinsip-prinsip modeling dan self-efficacy, pemimpin dapat membentuk budaya SPMI yang lebih terinternalisasi, di mana setiap karyawan merasa terinspirasi untuk aktif dan turut serta dalam menjaga standar SPMI yang tinggi.
Pembelajaran sosial memungkinkan seluruh civitas akademika, dari pimpinan, unik kerja hingga mahasiswa, bersinergi untuk mencapai target mutu pendidikan. Melalui keteladanan dan komitmen, saatnya “mutu menjadi identitas kampus”, menjawab semua tantangan, masa kini maupun masa depan.
Sebagai penutup, ijinkan penulis menggemakan kembali kata-kata Albert Bandura: “People’s beliefs about their abilities have a profound effect on those abilities.” Stay Relevant!
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi