
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Dalam lingkungan pendidikan tinggi, sarana dan prasarana kampus (sering disingkat “sarpras”) memiliki peran krusial dalam mendukung proses belajar mengajar. Namun, sering muncul diskusi mengenai apakah prioritas utama harus diberikan pada “faktor estetika” atau “fungsionalitas”. Kenyataannya, kedua aspek tersebut sama pentingnya untuk menciptakan lingkungan belajar yang nyaman dan produktif bagi mahasiswa, dosen, staf serta stakeholder lainnya.
Don Norman dalam buku beliau The Design of Everyday Things menjelaskan bahwa desain yang baik harus intuitif fungsional dan estetis. Intuitif artinya user dapat menggunakan fasilitas sarpras tanpa kebingungan, sedangkan estetis bertujuan menciptakan daya tarik visual (keindahan) yang meningkatkan pengalaman pengguna. Bila hal tersebut diterapkan di kampus, gedung yang indah tidak hanya menarik secara emosional namun juga mampu memenuhi kebutuhan praktis proses belajar mengajar di kampus.
Baca juga: Kampus Impian: Seperti Apa Sarana dan Prasarana yang Ideal di Mata Mahasiswa?
Elemen-elemen unsur estetika seperti warna, bentuk, tekstur, dan pencahayaan, semuanya mempengaruhi persepsi pengguna. Misal pemilihan warna untuk ruang perpustakaan, dapat digunakan untuk menciptakan atmosfir tertentu—warna cerah dapat meningkatkan energi di ruang diskusi, warna netral cocok untuk ruang belajar yang tenang.
Selain itu, tekstur permukaan dan pencahayaan adalah elemen kunci dalam estetika desain sarana prasarana. Pencahayaan alami melalui kaca jendela dapat meningkatkan estetika ruang dan juga mampu membantu konsentrasi dan produktivitas. Elemen public space, ruang terbuka seperti area hijau, kolam atau taman dapat memberikan keseimbangan antara alam dan lingkungan, menciptakan tempat yang nyaman untuk diskusi dan interaksi sosial.
Baca juga: Lingkungan Kerja Ideal: Sarana Prasarana untuk Dosen dan Karyawan
Fungsionalitas sarpras kampus merupakan elemen krusial dalam mendukung proses pendidikan. Fungsionalitas memastikan bahwa fasilitas digunakan secara efektif dan efisien, memenuhi kebutuhan akademik dan operasional dengan optimal. Don Norman, dalam The Design of Everyday Things, menegaskan bahwa fungsionalitas dimulai dari desain yang responsif, mudah dipahami, dan nyaman digunakan. Contohnya, kampus dengan jalur navigasi yang jelas, lift yang mudah diakses, atau ruang kelas yang fleksibel untuk berbagai metode pengajaran memberikan pengalaman yang lebih baik bagi penggunanya.
Fungsionalitas juga erat kaitannya dengan efisiensi. Tata letak modular, misalnya, memungkinkan perguruan tinggi mengakomodasi berbagai kebutuhan, seperti seminar, diskusi kelompok, atau aktivitas kolaboratif, dengan fleksibilitas tinggi. Selain itu, perhatian pada keberlanjutan juga menjadi bagian dari fungsionalitas modern. Penggunaan bahan ramah lingkungan tidak hanya mencerminkan komitmen kampus terhadap pelestarian lingkungan, tetapi juga memberikan pesan kuat bahwa institusi pendidikan ini memahami dan mendukung prinsip keberlanjutan.
Baca juga: Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?
Stakeholder kampus (pemangku kepentingan)—termasuk pimpinan, mahasiswa, dosen, alumni, dan mitra eksternal—menginginkan fasilitas sarpras yang mencerminkan nilai-nilai (values) institusi. Estetika memberikan daya tarik keindahan yang membuat mahasiswa “merasa bangga” dengan kampus mereka. Di sisi lain, fungsionalitas memastikan sarpras dapat digunakan dengan nyaman dan efisien.
Richard P. Dober dalam bukunya Campus Design menjelaskan bahwa desain kampus yang ideal harus mencerminkan “identitas” (jati diri) institusi. Gedung kampus bisa dirancang dengan berbagai pilihan model, misal dengan konsep estetika modern (kesan inovasi), atau dirancang dengan elemen tradisional (kesan budaya lokal). Semua pilihan ini tentu saja tidak boleh mengorbankan aspek fungsionalitas, seperti aksesibilitas atau kemudahan navigasi antar ruang.
Baca juga: Siapa Saja Stakeholder Perguruan Tinggi? Mengenal, Memahami dan Melayani
Estetika dalam sarpras yang terpadu berfungsi sebagai alat “komunikasi visual” untuk memperkenalkan “misi unik” institusi (mission differentiation). Misal, kampus dengan misi ramah lingkungan (keberlanjutan) dapat menunjukkan komitmen melalui desain berbasis ekologi, seperti taman vertikal, daur ulang dan penggunaan material ramah lingkungan.
Don Norman menjelaskan, desain yang baik harus selaras dengan nilai-nilai (values) dan tujuan organisasi. Kampus dengan misi teknologi tinggi, dapat membangun gedung dengan desain masa depan (futuristik), pencahayaan berbasis LED, dan ruang-ruang yang terlihat modern. Adapun, universitas yang berbasis budaya, dengan misi melestarikan warisan lokal, dapat memasukkan unsur-unsur elemen tradisional sebagai bentuk komunikasi visual dari misi unik institusi.
Ketika estetika diintegrasikan dengan “misi unik” institusi, tidak hanya ruang fisik yang diperindah, tetapi juga narasi institusi diperkuat.
Hal ini menjadi daya tarik bagi mahasiswa yang mencari kampus yang sesuai dengan nilai-nilai (minat dan bakat) mereka. Dengan demikian, estetika menjadi “alat strategis” untuk membangun identitas institusi yang unik dan relevan.
Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi
Bagi kampus dengan anggaran terbatas, membangun sarpras yang fungsional sekaligus estetik menjadi tantangan tersendiri. Konsep smart design dari Don Norman dalam The Design of Everyday Things menawarkan solusi. Norman menekankan pentingnya desain yang sederhana, multifungsi, ruang modular, hemat biaya, tetapi tetap memenuhi kebutuhan pengguna (prinsip user-centered design). Institusi dapat memprioritaskan elemen-elemen desain yang memberikan “high impact, low cost“, dampak besar dengan biaya minimal, seperti pencahayaan alami untuk mengurangi ketergantungan pada energi listrik.
Kampus juga dapat mengadopsi pendekatan bertahap (sedikit demi sedikit) dalam renovasi sarana prasarana. Prioritas utama diberikan pada area yang memiliki interaksi tinggi, seperti ruang belajar, perpustakaan, atau kafetaria. Pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan bahan dan material lokal yang terjangkau namun tidak kalah kualitas.
Elemen hijau seperti taman, kolam sederhana atau menambah mural kreatif di sudut-sudut kampus dapat menjadi solusi estetis yang murah meriah. Dengan metode ini, kampus kecil tetap dapat mengkomunikasikan misi unik-nya melalui estetika tanpa harus mengeluarkan biaya besar, sekaligus dapat mengembangkan lingkungan pendidikan yang inklusif dan inspiratif.
Baca juga: Inovasi Sarana dan Prasarana: Menjawab Tantangan Pendidikan Masa Depan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan kerangka manajemen mutu yang wajib diimplementasikan sesuai dengan regulasi pemerintah. Dalam dokumen SPMI, standar sarana dan prasarana menekankan bahwa fasilitas pendidikan harus memenuhi Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti). Lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan dasar (standar minimal), sarana prasarana yang baik harus dirancang untuk mendukung efektivitas pembelajaran dan inklusivitas bagi semua pengguna.
Dalam kaitannya dengan estetika dan fungsionalitas, institusi memiliki peluang untuk melampaui standar SN Dikti dengan menambahkan indikator baru yang lebih progresif.
Panduan desain berbasis estetika dan fungsionalitas diperlukan untuk memastikan setiap elemen fasilitas tidak hanya memenuhi kebutuhan praktis, namun juga mencerminkan identitas, misi unik dan visi perguruan tinggi. Implementasi standar sarpras SPMI yang visioner, memberikan pengalaman belajar holistik bagi seluruh stakeholder, menjadikan kampus sebagai tempat kreativitas, kebanggaan, dan keberlanjutan.
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
Estetika dan fungsionalitas bukanlah dua hal yang bertentangan, namun saling melengkapi. Integrasi keduanya juga berperan strategis dalam memperkuat mission differentiation, mencerminkan nilai-nilai unik institusi, dan membangun reputasi yang kuat.
Bahkan bagi kampus dengan keterbatasan budget, pendekatan desain yang kreatif dapat membantu membangun fasilitas yang estetis dan fungsional tanpa membebani anggaran. Dengan pembangunan bertahap, dan memprioritaskan area-area utama, berlahan tapi pasti, kampus dapat menciptakan lingkungan yang inspiratif dan inklusif.
Penerapan SPMI sebagai panduan manajemen mutu harus menjadi komitmen bersama yang dijalankan secara konsisten. SPMI tidak hanya perlu diimplementasikan, tetapi juga dievaluasi dan diperbarui secara berkelanjutan untuk memastikan relevansinya dengan kebutuhan zaman.
Standar sarana dan prasarana yang diterapkan harus dirancang tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tetapi juga untuk mendukung keberlanjutan dan visi jangka panjang perguruan tinggi.
Harmonisasi antara estetika, fungsionalitas, dan misi unik institusi akan menciptakan kampus sebagai ruang belajar yang tidak hanya memenuhi standar mutu, tetapi juga menginspirasi. Dengan pendekatan yang terpadu ini, perguruan tinggi dapat menjadi tempat pendidikan yang unggul, inovatif, dan tetap relevan di tengah dinamika global. Stay Relevant!
Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi