• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

SPMI dan Fenomena The Death of Expertise

SPMI dsn disinformation

SPMI dan Fenomena The Death of Expertise

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan`

Dalam bukunya The Death of Expertise, Tom Nichols menjelaskan sebuah fenomena yang cukup menarik: “masyarakat masa kini, era internet dan informasi, ditengarai semakin kehilangan kepercayaan terhadap otoritas ahli”. Beliau menjelaskan bagaimana era internet dengan akses informasi yang bebas tanpa batas telah melahirkan apa yang disebut sebagai ilusi pengetahuan, yang salah satu penyebabnya karena “kepercayaan berlebihan pada informasi internet”. Banyak kalangan (masyarakat) merasa bahwa dengan browsing di internet sudah cukup untuk menyamai pengetahuan mendalam dari para ahli, sudah merasa ahli. Fenomena ini, kombinasi antara keengganan untuk berpikir kritis, diinformasi dan ketidakpercayaan yang semakin meluas terhadap lembaga-lembaga, termasuk institusi pendidikan.

Kondisi perubahan eksternal ini akhirnya menjadi tantangan, termasuk untuk pendidikan tinggi dimana terdapat para ahli yang menekuni disiplin ilmu tertentu. Tantangan ini berarti tantangan terhadap Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), dimana SPMI dirancang untuk menjamin dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berkelanjutan.

Otoritas ahli di perguruan tinggi, seperti para profesor, dosen senior, dekan, atau rektor yang berpengalaman, sering kali menghadapi resistensi (penolakan) ketika mereka mencoba mempromosikan usulan (gagasan) kebijakan berbasis penelitian. Nah, bagaimana mengelola resistensi ini?

Nichols berpendapat, salah satu cara untuk memulihkan kepercayaan (trust) publik terhadap otoritas keahlian adalah dengan memastikan adanya bukti transparansi dan keterbukaan. Institusi perlu meyakinkan publik bahwa gagasan mereka didasarkan pada bukti-bukti yang sahih, integritas, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Baca juga: Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?

Literasi dan Berpikir Kritis

Masyarakat yang tidak terampil dalam memverifikasi informasi cenderung mengabaikan kompleksitas yang melekat pada informasi tersebut. Akhirnya informasi yang diterima ditelan mentah mentah. Dalam konteks pendidikan tinggi, literasi informasi adalah hal wajib yang harus dimiliki para lulusan perguruan tinggi. Perguruan tinggi wajib menghasilkan lulusan yang mampu berpikir kritis. Selain itu, untuk eksternal, melalui program pengabdian kepada masyarakat, perguruan tinggi dapat berkontribusi dalam mendorong literasi digital di kalangan masyarakat luas.

Standar kurikulum, standar proses dan standar penilaian dan standar terkait lainnya, (dalam dokumen SPMI) harus dirancang untuk mendorong program literasi. Dengan metode ini, mahasiswa tidak hanya belajar memahami fakta-fakta, namun juga menghargai bagaimana proses keilmuan terbentuk, baik melalui penelitian, verifikasi, dan dialog kritis. Dengan demikian, perguruan tinggi akan dapat berperan sebagai pioner dalam membangun generasi yang kritis dan tanggap terhadap tantangan era informasi.

Baca juga: Siapa Saja Stakeholder Perguruan Tinggi? Mengenal, Memahami dan Melayani

SPMI dan disinformation

Transparansi dan Relevansi

Seperti yang telah disampaikan diatas, Nichols mengkritik para ahli atas kurangnya transparansi dalam proses keilmuan mereka, hal tersebut menjadi salah satu penyebab hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap otoritas keahlian. Untuk mengembalikan marwah tersebut, penting sekali bagi para ahli untuk membuktikan bahwa penelitian dan standar mereka didasarkan pada data yang dapat diverifikasi. Dalam konteks pendidikan tinggi, Standar dan perangkat SPMI memiliki peran strategis dalam membangun ekosistem penjaminan mutu yang terbuka dan transparan. Langkah awal yang dapat ditempuh adalah mempublikasikan hasil evaluasi mutu pendidikan, sehingga dapat diakses, dimengerti dan dipahami oleh masyarakat luas.

SPMI harus dipastikan benar-benar relevan, oleh karena itu harus dipastikan ada keterlibatan pemangku kepentingan, seperti dunia usaha, dunia industri, masyarakat, dan pemerintah. Dialog rutin perguruan tinggi dengan publik adalah elemen penting untuk menjembatani kesenjangan tersebut. Dengan melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan standar SPMI, perguruan tinggi akan semakin mendapat legitimasi, dan juga memastikan bahwa model kurikulum yang ditawarkan tetap relevan dan sesuai dengan kebutuhan nyata.

Baca juga: Mutu Pendidikan Tinggi: Memahami Esensi dan Dampaknya

Melawan Skeptisisme

Dalam konteks SPMI, perguruan tinggi dapat menerapkan pendekatan “evaluasi berbasis dampak” yang secara langsung mengukur kontribusi layanan pendidikan terhadap masyarakat. Misalnya, perguruan tinggi dapat memantau sejauh mana mutu lulusan berhasil memberikan solusi terhadap berbagai problem sosial atau menciptakan inovasi yang relevan di dunia kerja.

Hasil evaluasi ini harus disampaikan kepada masyarakat secara jelas dan transparan. Cara ini dapat membangun narasi bahwa keahlian tidak hanya relevan, namun juga menghasilkan dampak nyata (impact) yang bermanfaat. Dengan cara ini, perguruan tinggi membuktikan bahwa proses akademik tidak hanya bersifat teoretis, namun tetap berkontribusi konkret dan menjawab kebutuhan masyarakat modern.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

Pemutakhiran Dokumen SPMI

Sebagai langkah konkret, dokumen SPMI dapat di update dengan menambahkan panduan tentang pelibatan pemangku kepentingan. Dunia usaha – dunia industri (DUDI) dapat dilibatkan untuk memberikan masukan (input) tentang kebutuhan hard skills dan soft skills yang sesuai dengan perkembangan industri. Selain itu, dokumen SPMI dapat berisi pedoman / panduan untuk memastikan bahwa hasil evaluasi mutu pendidikan dipublikasikan dalam format yang sederhana, transparan, dan mudah dipahami oleh masyarakat luas.

Perangkat SPMI juga harus diintegrasikan dengan teknologi berbasis data untuk meningkatkan efisiensi evaluasi dan pelaporan. Langkah ini sejalan dengan prinsip-prinsip manajemen mutu, membuktikan bahwa perguruan tinggi siap untuk merespons tantangan zaman dengan pendekatan teknologi berbasis data.

Baca juga: Kebijakan SPMI: Pilar Utama Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi

Penutup

Nichols dalam buku The Death of Expertise, menguraikan bahwa keahlian tidak dapat dipertahankan hanya melalui klaim otoritas semata, namun harus dibuktikan dengan semangat integritas, keterbukaan, dan “impact” nyata. Nichols menegaskan, akses informasi yang tanpa batas, disinformasi, dan budaya anti-intelektualisme telah merongrong penghormatan terhadap para ahli dan institusi. Dalam situasi ini, pendidikan tinggi (termasuk SPMI) menghadapi tantangan besar untuk memulihkan kepercayaan publik, apakah perguruan tinggi siap?

Dengan langkah-langkah strategis seperti penguatan literasi informasi, transparansi proses penjaminan mutu, dialog yang terbuka dengan masyarakat, dan evaluasi berbasis dampak nyata, perguruan tinggi dapat unggul dalam menjamin mutu pendidikan, dan juga menciptakan narasi baru yang menempatkan keahlian sebagai landasan utama kemajuan bangsa.

Perguruan tinggi harus tetap dijaga relevansinya, agar fenomena masyarakat yang semakin skeptis terhadap otoritas keilmuan dapat diperbaiki. Dengan SPMI, budaya mutu dan komitmen, perguruan tinggi Insya Allah dapat menjadi motor penggerak untuk perbaikan budaya penghormatan terhadap otoritas keahlian. Stay Relevant!

Baca juga: Lima Prinsip SPMI: Fondasi Kokoh Menuju Keunggulan Institusi


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. Nichols, T. (2017). The death of expertise: The campaign against established knowledge and why it matters. Oxford University Press.
  4. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  5. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  6. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  7. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  8. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

admin

MOTTO: Senantiasa bergerak dan berempati untuk menebar manfaat bagi Mutu Pendidikan di Indonesia

×

Layanan Informasi

× Hubungi Kami