
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Dunia tidak lagi berubah perlahan. Ia bergerak dengan kecepatan yang tak terduga, penuh ketidakpastian, dan sering kali membuat cemas.
Kita hidup di era yang oleh banyak ahli disebut sebagai era VUCA—Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous—yang kini bahkan telah berkembang menjadi BANI—Brittle, Anxious, Nonlinear, dan Incomprehensible. Dalam dunia seperti ini, bekal utama seseorang bukan lagi seberapa banyak ia tahu, tetapi seberapa cepat dan berani ia belajar ulang.
Inilah mengapa konsep lifelong learning atau pembelajaran sepanjang hayat tak lagi bisa dianggap sebagai jargon seminar. Ia telah menjadi kompetensi inti yang membedakan siapa yang bisa bertahan dan berkembang, dengan siapa yang hanya mengandalkan pengetahuan lama.
Pendidikan tinggi tidak cukup hanya menghasilkan lulusan yang tahu teori, tapi harus menyiapkan pembelajar sejati—mereka yang siap tumbuh, menyesuaikan diri, dan terus belajar kapan pun dan di mana pun.
Dalam psikologi pendidikan, salah satu teori penting yang relevan adalah constructivism, yang menyatakan bahwa belajar bukanlah proses menyalin informasi, tapi membangun makna secara aktif. Jean Piaget dan Lev Vygotsky sama-sama menekankan bahwa pengalaman belajar yang otentik dan sosial akan mendorong seseorang untuk menjadi lebih reflektif, mandiri, dan siap menghadapi perubahan. Dalam konteks ini, lifelong learning bukan sekadar aktivitas tambahan, tetapi sikap hidup yang tumbuh dari dalam.
Masalahnya, banyak lulusan masih menjadikan gelar akademik sebagai akhir dari perjalanan belajar. Mereka berpikir, “Setelah wisuda, hore… aku merdeka, selesai belajar.”
Padahal, dunia kerja, kehidupan sosial, bahkan relasi personal, terus menuntut keterampilan dan pemahaman baru. Di sinilah pendidikan tinggi perlu menanamkan mindset bahwa setiap orang harus siap belajar ulang, memperbarui diri, dan tidak malu untuk bertanya atau mengakui ketidaktahuannya.
Kampus adalah tempat terbaik untuk membangun fondasi pembelajar sepanjang hayat. Tapi ini hanya bisa terjadi jika kurikulum tidak hanya berisi teori, tetapi juga ruang eksplorasi, refleksi, dan koneksi nyata dengan dunia luar. Mahasiswa perlu diberi kesempatan untuk memilih, untuk siap salah, mencoba ulang, dan tumbuh. Dosen tidak lagi cukup sebagai pemberi jawaban, tapi fasilitator yang menumbuhkan rasa ingin tahu.
Inilah sebabnya mengapa Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dalam Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 mewajibkan adanya kemampuan berpikir kritis, mandiri, dan berorientasi pada pembelajaran sepanjang hayat. Kampus perlu merumuskan SKL dengan mempertimbangkan bahwa lulusan hari ini akan menghadapi dunia yang tidak bisa diprediksi.
Maka, selain menguasai keilmuan, mahasiswa juga harus dilatih untuk menjadi “pembelajar tangguh” yang mampu menavigasi perubahan dengan reflektif dan fleksibel.
Agar lifelong learning benar-benar menjadi budaya, kampus perlu mengintegrasikannya ke dalam sistem mutu internal. Di sinilah peran SPMI (Sistem Penjaminan Mutu Internal) menjadi strategis.
Dalam regulasi yang berlaku, SPMI tidak hanya menjadi alat kontrol, tapi kerangka kerja yang memastikan bahwa capaian lulusan, metode belajar, dan suasana akademik mendukung tumbuhnya pembelajar sejati. SPMI bisa menjamin bahwa proses belajar tidak berhenti pada soal dan nilai, tetapi berlanjut menjadi pengalaman yang mendorong pertumbuhan pribadi.
Lebih dari itu, siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan—berperan sebagai mesin kaizen dalam kampus. Dengan PPEPP, setiap pengalaman belajar mahasiswa bisa dianalisis dan dikembangkan secara berkelanjutan. Kampus dapat mengidentifikasi apakah mahasiswa merasa diberi ruang untuk eksplorasi? Apakah metode pengajaran sudah menumbuhkan rasa ingin tahu? Apakah dosen sudah membuka diskusi, bukan hanya ceramah?
Proses PPEPP memungkinkan kampus untuk terus menyempurnakan cara belajar dan cara mengajar agar lifelong learning benar-benar hidup di ruang-ruang kelas.
Lifelong learning bukan tren, melainkan kebutuhan dasar manusia di zaman ini. Dunia terlalu cepat berubah untuk dihadapi dengan ilmu lama dan cara pikir lama.
Oleh karena itu, tugas kampus bukan hanya mencetak lulusan dengan indeks prestasi tinggi, tapi membentuk manusia yang mau dan mampu terus belajar—dengan akhlak terpuji, penuh semangat, dan daya tahan.
Melalui SPMI yang dijalankan dengan sungguh-sungguh dan PPEPP yang aktif menumbuhkan perbaikan berkelanjutan, perguruan tinggi dapat menjadi tempat lahirnya generasi pembelajar yang siap menghadapi dunia. Dan jika itu terjadi, maka kampus telah menjalankan fungsinya dengan penuh makna: bukan hanya tempat mendapatkan gelar, tetapi tempat “memulai perjalanan”, sebagai pembelajar seumur hidup. Stay Relevant
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan