• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Berita dan Wawasan SPMI

SPMI dan DMS

SPMI Tanpa Teknologi Digital? Bersiaplah Hadapi Kegagalan!

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Di era digital saat ini, perguruan tinggi dituntut untuk menerapkan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) yang tidak hanya berfokus pada pemenuhan standar mutu, tetapi juga memanfaatkan teknologi digital agar implementasinya lebih efektif dan efisien. Sayangnya, masih banyak institusi yang bergantung pada proses manual, seperti dokumentasi berbasis kertas, komunikasi yang tidak terdokumentasi dengan baik, serta evaluasi mutu (monev dan audit) yang masih dilakukan secara konvensional.

Tanpa integrasi teknologi digital, SPMI hanya akan menjadi sekadar dokumen administratif yang tersimpan rapi di rak lemari kabinet, tanpa penerapan nyata dalam kehidupan akademik. Perguruan tinggi yang masih mengandalkan metode manual dalam pengelolaan mutu akan menghadapi berbagai tantangan, mulai dari ketidakefisienan dalam pengelolaan data, keterlambatan dalam pelaporan, hingga minimnya transparansi dalam komunikasi antarunit kerja. Jika kondisi ini terus dibiarkan, perguruan tinggi bukan hanya akan mengalami hambatan dalam mencapai standar SPMI, tetapi juga berisiko tertinggal dalam persaingan akademik. Saatnya berubah atau bersiaplah menghadapi kegagalan.

Ketika SPMI Gagal

Bayangkan sebuah perguruan tinggi yang harus melakukan evaluasi mutu secara berkala, baik melalui asesmen, monitoring dan evaluasi (monev), maupun audit, tetapi masih bergantung pada sistem manual berbasis kertas dan spreadsheet. Setiap unit harus mengisi laporan secara terpisah, mengirimkannya melalui email, lalu menunggu proses pengolahan data yang memakan waktu berminggu-minggu. Ketika data akhirnya tersedia, sering kali informasi yang terkandung di dalamnya sudah usang dan tidak lagi mencerminkan kondisi terkini. Akibatnya, keputusan strategis yang seharusnya dapat diambil secara cepat dan tepat justru tertunda, karena kurangnya akurasi dan keterlambatan dalam pelaporan.

Ketidakefisienan ini semakin diperparah dengan komunikasi yang tidak terdokumentasi dengan baik, yang menyebabkan standar mutu diterjemahkan secara berbeda oleh setiap unit kerja. Pedoman yang seharusnya menjadi acuan bersama justru diinterpretasikan secara tidak seragam, sehingga menghambat keselarasan dalam implementasi mutu di seluruh institusi. Tanpa teknologi digital, pelaksanaan SPMI menjadi lamban, tidak efisien, serta sulit dipantau secara real-time, yang pada akhirnya menghambat perguruan tinggi dalam mencapai standar mutu yang diharapkan.

SPMI dan Akreditasi 2
SPMI dan Teknologi Digital

Teknologi Digital Sebagai Solusi

Untuk mengatasi berbagai tantangan dalam implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), perguruan tinggi perlu segera mengadopsi teknologi digital sebagai bagian dari strategi penjaminan mutu yang lebih efektif dan berkelanjutan. Learning Management System (LMS) dapat dimanfaatkan tidak hanya sebagai pusat pembelajaran, tetapi juga sebagai tempat penyimpanan dokumen mutu yang terintegrasi, seperti kebijakan SPMI, siklus PPEPP, dan Standar SPMI. Dengan adanya basis data yang terhubung secara digital, institusi dapat mengakses informasi mutu kapan saja dan dari mana saja, selama terdapat koneksi internet. Hal ini menghilangkan ketergantungan pada dokumen fisik serta mengurangi prosedur administrasi manual yang memakan waktu dan kurang efisien.

Selain itu, perguruan tinggi perlu mengembangkan portal internal khusus yang memungkinkan setiap unit kerja mengakses kebijakan mutu, memantau pencapaian standar, serta memberikan umpan balik secara langsung. Dengan sistem yang transparan dan mudah diakses, seluruh pemangku kepentingan dapat berpartisipasi secara aktif dalam implementasi mutu, bukan sekadar menjadi penerima kebijakan. Keberadaan portal ini akan lebih efektif jika disajikan dalam bentuk infografis interaktif, sehingga pengguna dapat menelusuri dan mencari dokumen yang dibutuhkan dengan cepat dan intuitif. Teknologi tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga membantu membangun budaya mutu yang lebih kolaboratif dan dinamis dalam lingkungan akademik.

Membangun Budaya Mutu Melalui Digitalisasi

Teknologi digital tidak hanya berperan dalam pengelolaan dan pengendalian dokumen SPMI, tetapi juga menjadi katalisator dalam membangun budaya mutu yang lebih inklusif dan kolaboratif. Dengan adanya sistem komunikasi berbasis digital, seperti forum diskusi daring dan webinar, dosen, tenaga kependidikan, serta mahasiswa dapat lebih mudah berinteraksi, berbagi wawasan, dan berkontribusi aktif dalam menjaga serta meningkatkan standar mutu akademik dan non akademik (SPMI). Transformasi digital ini menciptakan lingkungan yang lebih dinamis, di mana setiap pemangku kepentingan memiliki akses yang lebih luas terhadap informasi dan peluang untuk berpartisipasi dalam pengembangan institusi.

Perguruan tinggi yang enggan beradaptasi dengan teknologi digital akan menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan daya saing dan reputasi akademiknya di tingkat global. Digitalisasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan. Institusi yang ingin tetap relevan dan kompetitif harus segera bertransformasi, meninggalkan cara-cara lama yang tidak lagi efektif, dan mengadopsi teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi serta transparansi dalam implementasi mutu.

Dengan penerapan teknologi digital, SPMI dapat dijalankan dengan lebih efisien, transparan, dan berkelanjutan. Kini, pertanyaannya adalah: apakah institusi Anda sudah siap untuk beradaptasi dengan perubahan ini, atau masih bertahan dengan sistem lama yang penuh keterbatasan? Stay Relevant!


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Kegagalan Komunikasi

SPMI Gagal Total? Jangan Salahkan Sistem, Perbaiki Komunikasi!

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Banyak perguruan tinggi, karena regulasi telah mengadopsi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) sebagai langkah strategis untuk meningkatkan kualitas akademik dan layanan institusi. Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit yang justru menghadapi stagnasi atau bahkan kegagalan dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Ketika hal ini terjadi, “sistem mutu” sering kali menjadi kambing hitam—dari prosedur yang dianggap terlalu rumit hingga regulasi yang dinilai kaku dan membatasi fleksibilitas institusi.

Namun, sebelum terburu-buru menyalahkan sistem mutu, ada satu elemen fundamental yang sering diabaikan, yaitu: komunikasi internal. Sudahkah komunikasi internal berjalan dengan efektif? Apakah seluruh civitas akademika benar-benar memahami peran dan tanggung jawab mereka dalam menjaga mutu? Tanpa komunikasi yang jelas dan terstruktur, kebijakan mutu hanya akan berakhir sebagai dokumen formalitas yang tidak mudah untuk dipahami, apalagi diimplementasikan dengan baik.

Baca juga: SPMI Bukan Tanggung Jawab Satu Unit! Seluruh Civitas Akademika Harus Bergerak

Ketidaksepahaman

Salah satu faktor utama yang menyebabkan kegagalan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah kurangnya keselarasan pemahaman mengenai kebijakan mutu di antara dosen, tenaga kependidikan, dan pimpinan kampus. Ketika standar mutu tidak dikomunikasikan dengan jelas, setiap pihak dapat memiliki interpretasi yang berbeda, yang pada akhirnya memicu konflik pemahaman, ketidakseimbangan dalam implementasi, serta resistensi terhadap perubahan yang seharusnya membawa perbaikan.

Sebagai contoh, jika dosen tidak memahami standar evaluasi pembelajaran yang telah ditetapkan dalam SPMI, mereka mungkin tetap menggunakan metode penilaian model lama yang tidak sesuai dengan standar yang berlaku. Hal serupa terjadi dalam lingkup administrasi akademik, di mana tenaga kependidikan yang kurang memahami kebijakan mutu berisiko memberikan layanan yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Bahkan dalam aspek fasilitas kampus, seperti koleksi buku perpustakaan, ketidaksesuaian dengan standar SPMI sering kali terjadi akibat minimnya sosialisasi terkait kriteria pemilihan dan pengelolaan bahan pustaka.

Tanpa komunikasi yang efektif, standar SPMI hanya akan menjadi dokumen formalitas tanpa penerapan nyata.

Dengan komunikasi yang jelas dan pemahaman yang seragam, SPMI tidak hanya menjadi sistem yang berjalan di atas kertas, tetapi benar-benar berfungsi sebagai instrumen untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara berkelanjutan.

Baca juga: Kampus Ideal: Gabungan Estetika dan Fungsi

Pentingnya Transparansi

Agar Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dapat berjalan secara optimal, diperlukan komitmen dan transparansi dalam penyampaian informasi.

Sosialisasi kebijakan, siklus PPEPP dan standar mutu harus dilakukan secara berkala agar setiap individu dalam institusi memahami peran mereka dalam menjaga dan meningkatkan kualitas pendidikan. Pelatihan dan workshop dapat menjadi sarana yang efektif untuk memastikan bahwa setiap unit memahami standar mutu yang harus diterapkan dalam praktik sehari-hari. Selain itu, perguruan tinggi perlu menyediakan media komunikasi yang efisien, seperti portal internal, infografis, dan video edukasi, yang dapat menyebarkan informasi tentang kebijakan mutu secara lebih mudah dan menarik.

Lebih dari sekadar sosialisasi, institusi juga harus menerapkan mekanisme umpan balik yang terbuka, sehingga setiap anggota civitas akademika dapat menyampaikan kendala dan memberikan saran perbaikan terkait implementasi SPMI. Jika komunikasi internal berjalan dengan baik, setiap permasalahan dapat diidentifikasi dan diatasi sebelum berkembang menjadi hambatan yang lebih besar. Untuk mendukung hal ini, Gugus Kendali Mutu (Quality Circle) di kampus harus dioptimalkan fungsinya sebagai wadah diskusi yang kondusif, di mana semua pihak merasa nyaman dalam menyampaikan rekomendasi serta kritik yang membangun bagi kemajuan institusi.

Dengan komunikasi yang efektif, SPMI tidak hanya menjadi sekadar dokumen kebijakan, tetapi benar-benar menjadi alat transformasi yang mendorong peningkatan mutu secara berkelanjutan dan menyeluruh.

Baca juga: Kampus Impian: Seperti Apa Sarana dan Prasarana yang Ideal di Mata Mahasiswa?

Komunikasi dan Budaya Mutu

SPMI bukan sekadar sistem yang diberlakukan secara top-down (dipaksakan dari atas kebawah), tetapi harus menjadi bagian yang hidup dalam budaya organisasi perguruan tinggi. Untuk mewujudkan budaya mutu yang kokoh, setiap individu di dalam kampus harus ada “rasa memiliki” terhadap sistem ini. Mereka bukan hanya sekadar objek yang harus tunduk pada aturan, melainkan bagian dari ekosistem mutu yang berkontribusi aktif dalam membangun dan menjaga standar kualitas pendidikan.

Dosen perlu menyadari bahwa standar mutu bukan sekadar tuntutan administratif, tetapi merupakan alat untuk meningkatkan efektivitas pengajaran dan menciptakan pengalaman belajar yang lebih berkualitas bagi mahasiswa. Tenaga kependidikan juga memiliki peran penting dalam memastikan bahwa setiap proses administrasi berjalan sesuai standar, bukan sekadar formalitas, melainkan sebagai elemen kunci dalam mendukung keberhasilan akademik. Sementara itu, pimpinan perguruan tinggi harus menjadi teladan (role-model) dalam membangun budaya mutu dengan memastikan komunikasi internal mengenai kebijakan mutu berjalan dengan transparan dan efektif di seluruh unit kerja.

Dengan komunikasi yang efektif, setiap kebijakan mutu dapat diterapkan dengan lebih optimal, menciptakan lingkungan akademik yang kondusif, serta memastikan bahwa perguruan tinggi terus berkembang dan memiliki daya saing yang tinggi, baik di tingkat nasional, regional maupun internasional. Stay Relevant!

Baca juga: SPMI di Era AI: Apakah Gaya Kepemimpinan Anda Siap Beradaptasi?


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI Bukan Tanggung Jawab Satu Unit! Seluruh Civitas Akademika Harus Bergerak

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Akibatnya, banyak dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa menganggapnya sebagai sekadar urusan administratif yang terpisah dari aktivitas akademik dan non akademik sehari-hari. Jika pemahaman ini terus berlanjut, SPMI hanya akan menjadi rutinitas dokumentasi yang hadir tanpa makna, tanpa memberikan dampak nyata terhadap peningkatan mutu pendidikan.

Lebih dari sekadar memenuhi standar atau akreditasi, SPMI adalah “komitmen bersama” untuk membangun budaya mutu yang berkelanjutan, komitmen untuk bersinergi, komitmen untuk saling memperkuat. Keberhasilannya bergantung pada motivasi dan komunikasi internal yang kuat, yang menyatukan seluruh elemen dalam ekosistem perguruan tinggi. Dari pimpinan hingga mahasiswa, dari rektor hingga tenaga kebersihan dan keamanan, setiap sivitas akademika memegang peran penting dalam memastikan bahwa standar mutu tidak hanya diterapkan, tetapi juga menjadi bagian dari praktik akademik dan operasional sehari-hari (non akademik). Ketika seluruh SDM terlibat secara aktif, SPMI bukan lagi sekadar prosedur formalitas semata, melainkan cerminan dari dedikasi institusi dalam menciptakan pendidikan yang unggul dan berdaya saing.

Baca juga: Standar SPMI Harus Diperbarui, Kapan Waktu yang Tepat?

Risiko yang Mengancam

Misalnya, jika dosen tidak sepenuhnya memahami standar pembelajaran yang diharapkan, kualitas pengajaran akan menjadi tidak konsisten dan bervariasi. Dampaknya, pengalaman belajar mahasiswa pun tidak optimal, yang pada akhirnya berpengaruh pada daya saing lulusan di dunia kerja. Demikian pula, jika dosen kurang memahami standar kurikulum, penyusunan kurikulum berisiko tidak sesuai dengan panduan yang telah ditetapkan, yang berpotensi menghambat pencapaian tujuan akademik perguruan tinggi.

Lebih dari itu, tanpa keterlibatan aktif seluruh sivitas akademika, SPMI kerap hanya menjadi formalitas administratif yang hanya untuk memenuhi persyaratan regulasi belaka. SPMI baru mendapat perhatian disaat-saat tertentu saja, saat menghadapi evaluasi eksternal atau proses akreditasi. Kampus yang tidak memiliki budaya mutu yang kuat akan mengalami kesulitan dalam menjaga dan meningkatkan standar akademik secara berkelanjutan. Jika kondisi ini terus berlanjut, perguruan tinggi tidak hanya akan kesulitan mencapai standar mutu yang diharapkan, namun berisiko kehilangan reputasi dan kepercayaan dari mahasiswa, orang tua, serta mitra industri. Oleh karena itu, keterlibatan menyeluruh dari semua elemen kampus menjadi kunci dalam memastikan SPMI benar-benar menjadi alat transformasi mutu pendidikan, bukan sekadar formalitas persyaratan regulasi atau untuk akreditasi.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

SPMI adalah Sinergi Seluruh Civitas Akademika

Peran Dosen dan Tenaga Kependidikan

Dosen tidak hanya berperan sebagai staf pengajar, namun juga memiliki tanggung jawab strategis dalam memastikan standar mutu akademik diterapkan secara optimal. Setiap metode pengajaran, kurikulum, dan interaksi dengan mahasiswa merupakan bagian dari upaya berkelanjutan dalam meningkatkan mutu pendidikan. Dengan “memahami, mencintai dan menerapkan” standar Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), dosen dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih kondusif, sesuai dengan standar nasional maupun internasional. Namun, kurangnya sosialisasi mengenai standar ini masih menjadi kendala, menyebabkan banyak dosen belum sepenuhnya memahami dan menginternalisasi asas / prinsip-prinsip SPMI dalam praktik akademik dan non akademik.

Di sisi lain, tenaga kependidikan memainkan peran yang “tidak kalah penting” dalam menjaga mutu layanan akademik dan non akademik. Administrasi yang efisien, pelayanan mahasiswa yang responsif, serta sistem informasi yang transparan adalah elemen kunci dalam menunjang keberhasilan SPMI. Tanpa dukungan penuh dari tenaga kependidikan, sistem SPMI yang telah dirancang dengan baik tidak akan berjalan optimal, dan pengalaman belajar mahasiswa dapat terganggu. Lebih dari itu, yang paling penting, efektivitas layanan akademik dan non akademik juga bergantung pada kepemimpinan perguruan tinggi. Jika pimpinan tidak memberikan teladan serta contoh yang baik dalam mengedepankan budaya mutu, maka standar yang telah ditetapkan berisiko tidak diimplementasikan secara optimal di seluruh lini institusi.

Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat

Mahasiswa sebagai Agen Budaya Mutu

Mahasiswa sering kali dipandang hanya sebagai penerima manfaat dari sistem mutu, padahal mereka memiliki peran krusial dalam keberhasilan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Keterlibatan aktif mahasiswa dalam evaluasi pembelajaran, kepuasan akademik, serta berbagai kegiatan organisasi kampus dapat menjadi “sumber umpan balik yang berharga” (feedback) bagi pengembangan mutu pendidikan. Suara mahasiswa bukan sekadar refleksi pengalaman belajar mereka, tetapi juga menjadi cerminan kualitas institusi yang harus terus diperbaiki dan ditingkatkan.

Lebih dari itu, mahasiswa yang memiliki kesadaran terhadap pentingnya mutu pendidikan akan lebih proaktif dalam belajar, terlibat dalam diskusi akademik yang konstruktif, serta turut mendorong kampus untuk senantiasa meningkatkan standar layanan dan proses pembelajaran. Kesadaran ini bukan hanya membentuk lulusan yang unggul secara akademik, tetapi juga melahirkan individu yang memiliki jiwa inovasi, kepekaan terhadap kualitas, serta soft skills untuk menghadapi tantangan di dunia profesional.

Namun, mampukah para dosen menanamkan kesadaran ini di kalangan mahasiswa? Selain membangun partisipasi dalam program mutu, dosen juga memiliki tanggung jawab untuk membimbing mahasiswa dalam menanamkan akhlak, soft skills, dan budi pekerti yang baik. Pendidikan bukan hanya soal pencapaian akademik, tetapi juga tentang pembentukan karakter dan etika yang akan menjadi fondasi bagi generasi penerus bangsa. Oleh karena itu, sinergi antara pembelajaran akademik dan pendidikan karakter harus menjadi bagian dari strategi peningkatan mutu di perguruan tinggi.

Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?

Langkah Nyata yang Harus Dilakukan

Salah satu faktor kunci dalam keberhasilan implementasi SPMI adalah komunikasi internal yang efektif, sehingga setiap unit memahami perannya dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan. Sosialisasi dan pelatihan terkait SPMI harus dilakukan secara berkala guna menghindari kesenjangan pemahaman antarunit. Selain itu, penggunaan media visual seperti poster, banner, serta kampanye budaya mutu di berbagai sudut kampus dapat menjadi sarana efektif untuk menanamkan kesadaran bahwa “Quality is Everyone’s Responsibility”—mutu adalah tanggung jawab bersama.

Lebih dari sekadar sosialisasi, perguruan tinggi juga perlu menerapkan mekanisme umpan balik dan perbaikan berkelanjutan. Evaluasi yang dilakukan tidak boleh sekadar formalitas administratif, tetapi harus menjadi dasar bagi pengambilan keputusan strategis dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dan layanan akademik. Penguatan sistem evaluasi dapat dilakukan melalui monitoring terpadu, Audit Mutu Internal (AMI), serta program tinjauan manajemen (management reviews) yang memastikan seluruh standar dan kebijakan mutu diimplementasikan secara konsisten dan terus mengalami peningkatan. Dengan pendekatan ini, budaya mutu tidak hanya tertulis dalam dokumen kebijakan, tetapi benar-benar “terinternalisasi” menjadi bagian dari keseharian seluruh elemen kampus, mencerminkan komitmen perguruan tinggi dalam mencetak lulusan yang unggul dan berdaya saing tinggi.

Baca juga: Lima Prinsip SPMI: Fondasi Kokoh Menuju Keunggulan Institusi

Penutup

Keberhasilan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) tidak bisa dicapai hanya oleh satu unit, melainkan membutuhkan kolaborasi aktif seluruh civitas akademika.

Ketika setiap elemen kampus bergerak selaras dalam menjaga dan meningkatkan mutu, perguruan tinggi tidak hanya akan memiliki sistem SPMI yang kokoh, tetapi juga mampu membangun ekosistem akademik yang berkualitas, kompetitif, dan relevan dengan dinamika zaman. Budaya mutu yang tertanam dengan baik akan memastikan bahwa standar akademik tidak hanya dipenuhi, tetapi juga terus berkembang demi menghasilkan lulusan yang siap bersaing di tingkat global.

Namun, siapa yang paling bertanggung jawab untuk mengubah persepsi keliru bahwa SPMI hanyalah urusan satu unit? Jawabannya ada pada pimpinan! Dengan otoritas dan pengaruh yang dimilikinya, pimpinan perguruan tinggi memiliki kekuatan untuk menata ulang sistem, memperkuat komunikasi internal, serta mendorong keterlibatan seluruh elemen kampus dalam membangun budaya mutu. Kini, pertanyaannya adalah: Apakah para pemimpin perguruan tinggi siap mengambil peran ini? Stay Relevant!

Baca juga: Inovasi atau Mati: Integrasi PPEPP dengan Strategic Quality Management


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Conecting the dots dan SPMI

Standar SPMI Harus Diperbarui, Kapan Waktu yang Tepat?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) berperan sebagai fondasi dalam menjaga dan meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi pertanyaan mendasar muncul: seberapa sering standar ini harus diperbarui? Apakah cukup setiap lima tahun? Haruskah ditinjau setiap tahun? Atau justru perlu diperbarui secara real-time sesuai dinamika perubahan?

Di tengah derasnya arus perubahan regulasi, kemajuan pesat teknologi—terutama dalam era kecerdasan buatan (AI)—serta tuntutan dunia usaha dan industri (DUDI) yang semakin kompleks, standar yang stagnan tanpa pembaruan berkala berisiko menjadi usang dan kehilangan relevansinya. Jika perguruan tinggi tidak segera beradaptasi, lulusan yang dihasilkan mungkin tidak lagi siap menghadapi tantangan dunia kerja yang terus berevolusi. Pendidikan tinggi harus bergerak seiring perubahan, bukan tertinggal di belakang.

Baca juga: Dunia Berubah Cepat, Apakah Standar SPMI Kita Masih Relevan?

Siklus Lima Tahun: Sudah Usang?

Banyak perguruan tinggi masih menerapkan siklus revisi standar setiap lima tahun, umumnya selaras dengan dokumen Rencana Strategis (Renstra) yang telah ditetapkan. Namun, di era digital yang bergerak begitu cepat, muncul pertanyaan mendasar: apakah rentang waktu ini masih cukup untuk mengakomodasi perubahan pesat di dunia nyata?

Saat ini, perkembangan dunia kerja dan inovasi akademik berlangsung jauh lebih dinamis dibandingkan beberapa dekade lalu.

Oleh karena itu, perguruan tinggi perlu mempertimbangkan pendekatan yang lebih adaptif dan fleksibel, memastikan bahwa evaluasi dan revisi standar mutu dilakukan secara lebih dinamis agar tetap selaras dengan perkembangan zaman.

Baca juga: SPMI dan Fenomena The Death of Expertise

Standar bergerak bergerak naik mengikuti tuntutan stakeholder yang semakin dinamis

Pendekatan yang Lebih Adaptif

Pendekatan ini memungkinkan perguruan tinggi untuk lebih responsif dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi, dinamika akademik, dan tuntutan pasar kerja. Dengan meninjau standar sebelum dimulainya tahun akademik baru, institusi dapat memastikan kurikulum tetap relevan dan selaras dengan kebutuhan mahasiswa serta industri.

Lebih jauh, pemanfaatan evaluasi berbasis data dan kecerdasan buatan (AI) dapat meningkatkan efektivitas pembaruan standar. Dengan dukungan analitik data serta masukan dari berbagai pemangku kepentingan, proses revisi dapat dilakukan dengan lebih cepat dan akurat. Pendekatan ini tidak hanya berkontribusi pada peningkatan kualitas pendidikan, tetapi juga memastikan lulusan memiliki daya saing tinggi di dunia kerja yang terus berkembang.

Baca juga: Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?

Penutup

Tidak ada satu pendekatan yang dapat diterapkan secara universal di semua perguruan tinggi. Namun, penting bagi setiap institusi untuk mengadopsi strategi revisi standar yang lebih fleksibel, cepat, dan inovatif.

Pendidikan tinggi tidak boleh lagi terjebak dalam pola lama yang kaku dan tertinggal oleh kemajuan zaman. Institusi yang ingin tetap unggul harus mampu bergerak cepat, proaktif, dan adaptif dalam menanggapi perubahan. Jika dunia terus melaju dalam kecepatan tinggi, mengapa standar pendidikan harus tertinggal? Saatnya bertransformasi—tetap relevan, tetap maju! 🚀

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan budaya kritis

Dunia Berubah Cepat, Apakah Standar SPMI Kita Masih Relevan?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Setiap hari, bahkan dalam hitungan detik, dunia terus bergerak dalam kecepatan yang tak terduga. Kemajuan teknologi melesat pesat, lanskap industri terus berevolusi, dan pola pikir generasi muda mengalami perubahan yang begitu dinamis. Perguruan tinggi kini bukan sekadar ruang pembelajaran, tetapi juga menjadi pusat inovasi yang harus mampu beradaptasi dengan cepat. Di tengah derasnya arus perubahan ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah standar dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) yang kita gunakan masih relevan untuk menjaga kualitas pendidikan tinggi tetap unggul?

Di banyak kampus, standar SPMI kerap dipandang sebagai sekadar dokumen administratif yang ditetapkan sekali dan baru diperbarui setelah bertahun-tahun. Padahal, di era yang penuh gejolak ini, ekspektasi dunia kerja dan kebutuhan mahasiswa berkembang hampir setiap saat. Jika standar mutu tidak disesuaikan dengan perkembangan zaman, apa yang akan terjadi? Perguruan tinggi bukan hanya tertinggal, tetapi juga berisiko kehilangan relevansinya di tengah persaingan global yang semakin ketat.

Baca juga: PPEPP Bukan Beban, Tapi Solusi, Benarkah?

Apakah lulusan siap menghadapi perubahan lingkungan yang sangat dinamis?

Standar yang Statis di Dunia yang Dinamis

SPMI dirancang untuk memastikan bahwa mutu pendidikan tidak hanya terjaga, tetapi juga terus berkembang seiring waktu. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa masih ada perguruan tinggi yang tetap berpegang pada standar yang telah ditetapkan lima hingga sepuluh tahun lalu. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah standar SPMI yang dirancang sebelum era big data, kecerdasan buatan (AI), dan revolusi digital masih relevan? Jika dunia telah berubah begitu pesat, bagaimana mungkin standar lama mampu menjawab tantangan masa kini?

Beberapa perguruan tinggi masih menerapkan siklus peninjauan standar SPMI setiap lima tahun, menyesuaikan dengan periode perencanaan strategis (Renstra). Namun, dalam lingkungan yang bergerak dengan kecepatan luar biasa, rentang waktu ini terasa terlalu panjang. Bayangkan ketika teknologi AI berkembang dalam hitungan menit dan tren industri berubah setiap bulan, tetapi perguruan tinggi baru mengevaluasi kurikulumnya secara berkala setiap lima tahun. Kesenjangan ini berpotensi menciptakan gap besar antara kompetensi lulusan dengan tuntutan dunia usaha dan industri (DUDI), yang pada akhirnya dapat menghambat daya saing mereka di dunia kerja.

Baca juga: Kampus Impian: Seperti Apa Sarana dan Prasarana yang Ideal di Mata Mahasiswa?

Dampak Keterlambatan Revisi

Jika standar SPMI tidak diperbarui secara dinamis, dampaknya bisa sangat serius. Mahasiswa berisiko mengalami proses pembelajaran yang tidak lagi selaras dengan perkembangan industri, membuat mereka kurang siap menghadapi tantangan dunia kerja. Sementara itu, perguruan tinggi akan kesulitan mempertahankan daya saingnya, baik di tingkat nasional maupun global. Lulusan yang tidak dibekali keterampilan terkini akan menghadapi tantangan besar dalam memasuki dunia usaha dan industri yang terus berkembang.

Lebih jauh lagi, reputasi perguruan tinggi pun bisa terancam. Akreditasi unggul menjadi semakin sulit diraih jika standar mutu tidak diperbarui sesuai dengan kebutuhan zaman. Kampus yang lamban dalam menyesuaikan standar SPMI akan dipandang stagnan oleh calon mahasiswa, industri, dan pemangku kepentingan lainnya. Di era perubahan yang begitu cepat, perguruan tinggi tidak boleh tertinggal. Standar SPMI harus selalu berkembang dan mampu mengantisipasi tantangan masa depan agar institusi tetap relevan dan kompetitif.

Baca juga: SPMI di Era AI: Apakah Gaya Kepemimpinan Anda Siap Beradaptasi?

Standar harus terus bergerak ke atas

Standar yang Fleksibel dan Adaptif

Solusi yang diperlukan bukan sekadar mempercepat revisi standar secara berkala, tetapi juga merombak paradigma dalam penetapan standar itu sendiri. Perguruan tinggi harus mulai mengadopsi model SPMI yang lebih fleksibel, adaptif, dan berbasis data. Alih-alih menunggu hingga lima tahun untuk melakukan pembaruan, evaluasi standar sebaiknya dilakukan minimal setiap tahun atau bahkan secara real-time dengan dukungan teknologi yang canggih.

Lebih dari itu, keterlibatan pemangku kepentingan harus ditingkatkan agar standar SPMI benar-benar mencerminkan kebutuhan dunia nyata. Dunia usaha dan industri (DUDI), mahasiswa, serta pakar teknologi harus menjadi bagian integral dalam proses penyusunan standar. Teknologi terus berkembang, DUDI selalu beradaptasi, dan pendidikan tinggi harus mampu meresponsnya dengan cepat dan tepat. Tanpa respons yang cerdas dan proaktif, perguruan tinggi berisiko kehilangan relevansinya di tengah perubahan yang tak terhindarkan.

Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat

Penutup

Perlu dipahami bahwa SPMI bukan sekadar formalitas untuk memenuhi regulasi semata. Lebih dari itu, SPMI harus menjadi alat strategis yang benar-benar berfungsi dalam meningkatkan mutu pendidikan. Jika sebuah institusi ingin tetap relevan dan unggul, maka standar yang diterapkan harus selalu diperbarui, selaras dengan dinamika dan tren perkembangan zaman. Dunia terus bergerak maju, dan kita tidak bisa hanya diam di tempat.

Kini saatnya perguruan tinggi di Indonesia meninggalkan pendekatan birokratis yang kaku dan beralih ke sistem penjaminan mutu yang lebih fleksibel, adaptif, dan dinamis. Pendidikan tidak boleh terjebak dalam kebiasaan lama yang menghambat inovasi. Ingatlah, standar yang terus berkembang adalah standar yang benar-benar mampu menjamin masa depan. Tetap relevan, tetap maju!

Baca juga: Mutu Pendidikan Tinggi: Memahami Esensi dan Dampaknya


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan PDCA

PPEPP: Adaptasi PDCA untuk Pendidikan Tinggi Indonesia

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Siklus Plan-Do-Check-Act (PDCA) telah lama populer sebagai pendekatan fundamental dalam sistem manajemen mutu. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Walter Shewhart dan kemudian dipopulerkan oleh W. Edwards Deming sebagai metode untuk mendorong perbaikan berkelanjutan (continuous improvement) di berbagai sektor, mulai dari manufaktur, bisnis jasa hingga layanan publik.

Sebagai sebuah siklus iteratif, PDCA memungkinkan organisasi untuk merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, dan memperbaiki proses secara efektif dan sistematis, sehingga meningkatkan efisiensi dan mutu secara berkelanjutan. Kesederhanaan strukturnya menjadikan PDCA sebagai alat manajemen yang fleksibel dan mudah diterapkan di berbagai industri.

Hingga saat ini, PDCA telah menjadi panduan populer dalam praktik manajemen mutu, termasuk di dunia pendidikan tinggi. Banyak perguruan tinggi menerapkan siklus ini untuk memastikan standar akademik terpenuhi serta layanan pendidikan berjalan optimal. Namun, sesungguhnya setiap negara memiliki tantangan, budaya dan kebutuhan yang berbeda dalam implementasi sistem mutu.

PPEPP menjadi langkah inovatif dalam sistem mutu pendidikan tinggi di Indonesia, menyesuaikan prinsip manajemen mutu dengan konteks budaya dan regulasi nasional yang lebih relevan. Dengan penggunaan Bahasa Indonesia, konsep PPEPP diharapkan lebih mudah diingat, dihafal dan dipraktikkan perguruan tinggi di Indonesia.

Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”

PPEPP: Adaptasi Kontekstual

PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) dikembangkan sebagai model penjaminan mutu yang dirancang khusus perguruan tinggi di Indonesia. Berdasarkan Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, PPEPP tidak hanya bertujuan memastikan perguruan tinggi memenuhi Standar Nasional Dikti (sebagai standar minimal), tetapi juga mendorong institusi untuk secara sistematis melampaui standar nasional. Dengan demikian, PPEPP menjadi tools untuk peningkatan mutu pendidikan tinggi yang berkelanjutan dan berdaya saing tinggi.

Jika PDCA menitikberatkan pada tindakan evaluasi (check) dan korektif (act) sebagai dasar perbaikan, PPEPP menegaskan bahwa pengendalian (P) merupakan langkah strategis untuk menjaga konsistensi mutu, sementara peningkatan (P) menjadi komitmen berkelanjutan dalam mendorong standar mutu, naik ke tingkat yang lebih tinggi.

Dengan struktur iterasi yang lebih eksplisit dan sistematis, PPEPP memungkinkan perguruan tinggi beradaptasi secara dinamis terhadap perbaikan kebijakan dan tantangan dalam dunia pendidikan. PPEPP diharapkan dapat menjadi model yang lebih kontekstual bagi ekosistem pendidikan tinggi di Indonesia.

Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier

PDCA vs. PPEPP

Kesamaan antara PPEPP dan PDCA

Penetapan (P) standar dalam PPEPP sejalan dengan tahap Plan” dalam PDCA, di mana perguruan tinggi menyusun standar-standar dan target-target yang harus dicapai. Pelaksanaan (P) standar mencerminkan tahap Do”, yaitu menjalankan kebijakan dan strategi untuk memenuhi standar yang telah ditetapkan, secara efektif dan efisien.

Evaluasi (E) dalam PPEPP memiliki fungsi yang sama dengan tahapCheck” dalam PDCA, di mana lembaga melakukan evaluasi (monitoring, audit, menilai), apakah pelaksanaan standar telah sesuai dengan perencanaan awal (standar yang telah ditetapkan sebelumnya). Pengendalian (P) dan peningkatan (P) standar dalam PPEPP dapat dikaitkan dengan tahap Act dalam PDCA, yang bertujuan untuk melakukan tindakan koreksi, korektif dan preventif, bila ada ketidaksesuaian (KTS) dilapangan.

Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?

Perbedaan PPEPP dan PDCA

Meskipun PPEPP memiliki prinsip-prinsip yang sejalan dengan PDCA, terdapat beberapa perbedaan yang perlu diperhatikan.

Dalam PDCA, pengendalian (P) sering kali melebur dalam proses evaluasi dan tindakan perbaikan, sedangkan dalam PPEPP, aspek ini diberikan ruang yang lebih luas dan strategis.

Selain itu, PPEPP menempatkan peningkatan (P) sebagai tahap akhir yang lebih eksplisit dan berorientasi pada strategi jangka panjang. Jika PDCA menekankan perbaikan sebagai bagian dari siklus yang berulang, PPEPP menegaskan bahwa peningkatan (P) standar, harus menjadi target utama yang terus diperjuangkan oleh perguruan tinggi. Pendekatan ini mencerminkan komitmen pendidikan tinggi di Indonesia untuk tidak hanya memenuhi standar nasional Dikti (minimal), namun juga harus bisa melampaui dan terus berkembang menuju pencapaian standar internasional.

Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI

Baca juga: Revolusi Mutu Perguruan Tinggi dan SPMI Digital

Penutup

PPEPP menunjukkan bahwa konsep PDCA dapat diadaptasi secara fleksibel dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia dengan menyesuaikan karakteristik serta budaya institusional yang unik.

Pendekatan ini tidak hanya memastikan standar mutu terpenuhi, tetapi juga mendorong institusi untuk terus berkembang dan berinovasi secara berkelanjutan.

Bila terbuktif efektif dalam jangka panjang, PPEPP berpotensi menjadi inspirasi bagi pengembangan sistem penjaminan mutu di negara lain, terutama bagi mereka yang ingin membangun pendekatan yang lebih kontekstual dan selaras dengan karakter lokal. Kampus Anda ingin membuktikan? Stay Relevant!

Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Ancaman Lingkungan Ekternal

PPEPP Bukan Beban, Tapi Solusi, Benarkah?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Siklus ini sering dipersepsi sebagai beban tambahan yang tidak efisien, padahal PPEPP disusun dalam Undang-Undang no 12 tahun 2012 untuk memudahkan dan mengintegrasikan semua proses yang berhubungan dengan penjaminan mutu. Tantangan diduga terletak pada kurangnya pemahaman dan dukungan dari seluruh sivitas akademika, sehingga implementasinya dirasakan cukup berat.

Namun, jika dipahami, disosialisasikan dan dipraktikkan dengan tepat, PPEPP bukan sekadar prosedur administratif, namun sebuah solusi yang berpotensi untuk penguatan budaya kerja di perguruan tinggi. Siklus ini tidak hanya mendorong konsisten, namun juga membangun sistem kerja yang efisien dan berbasis pada peningkatan berkelanjutan. Dengan paradigma yang tepat, PPEPP dapat menjadi alat (tools) penting yang mendorong lembaga perguruan tinggi menuju mutu yang lebih baik secara menyeluruh.

Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?

PPEPP: Dipandang Beban?

Saat ini, menurut pengalaman penulis, masih banyak perguruan tinggi yang beranggapan bahwa PPEPP sebagai rangkaian proses yang birokratis dan sangat menyita waktu. Siklus PPEPP seperti evaluasi dan pengendalian sering kali dianggap sebagai tugas tambahan yang sulit dipraktikkan di tengah rutinitas pekerjaan sehari-hari.

Namun sebenarnya, jika dikelola dengan tepat, PPEPP bukanlah beban, melainkan solusi yang menyederhanakan proses kerja. Hal ini karena PPEPP dirancang untuk memberikan struktur yang jelas pada setiap aktivitas institusi, mulai dari penetapan hingga peningkatan standar. Dengan pendekatan ini, perguruan tinggi dapat mencegah kesalahan yang berulang melalui pengendalian yang sistematis dan menggunakan hasil evaluasi untuk melakukan peningkatan standar secara berkelanjutan.

Selain itu, PPEPP mendorong efisiensi melalui pemantauan (monitoring) rutin yang memastikan setiap langkah berjalan sesuai standar yang telah ditetapkan. Proses ini tidak hanya membantu organisasi bekerja lebih terorganisasi dan terukur, tetapi juga mengurangi beban pekerjaan di masa depan dengan mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah lebih awal. Dengan integrasi teknologi, seperti sistem manajemen mutu berbasis digital (sistem informasi manajemen), pelaksanaan PPEPP bahkan bisa dipermudah sehingga waktu dan sumber daya (resources) dapat dihemat tanpa mengurangi mutu pekerjaan.

Baca juga: Mutu Pendidikan Tinggi: Memahami Esensi dan Dampaknya

Tips Menerapkan PPEPP

Kunci utama agar PPEPP tidak terasa memberatkan adalah melakukan sosialisasi secara komprehensif kepada seluruh internal stakeholder. Semua pihak, mulai dari pimpinan hingga staf, perlu memahami jobdesk dan peran mereka dalam siklus ini. Jika semua pihak memahami manfaat siklus ini, mereka akan lebih mudah berpartisipasi secara aktif.

Tips berikutnya adalah menyederhanakan proses PPEPP dengan pemanfaatan teknologi. Aplikasi berbasis dashboard atau platform digital dapat membantu melacakan dokumen pelaksanaan, evaluasi, dan pengendalian secara otomatis melalui fitur “search”. Dengan demikian, PPEPP tidak lagi dianggap sebagai proses manual yang menyita waktu, namun menjadi proses yang praktis, efisien dan menyenangkan.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

SPMI dan Mutu Pendidikan Tinggi 1
SPMI dan Integrasi PPEPP

Integrasikan PPEPP

Hal ini sejalan dengan Permendikbudristek no 53 tahun 2023 pasal 1 (b) yang berbunyi: “Perguruan tinggi dalam mengimplementasikan SPMI mempunyai tugas: mengintegrasikan implementasi SPMI pada manajemen perguruan tinggi”. Contoh, penetapan standar SPMI dapat dilakukan bersamaan dengan rapat perencanaan awal semester. Evaluasi dan pengendalian dapat diintegrasikan ke dalam laporan mingguan atau bulanan. Sedangkan peningkatan standar dapat dilakukan pada saat program tinjauan manajemen bulanan.

Selain itu, komunikasikan dan sosialisasi hasil PPEPP perlu dilakukan kepada seluruh pihak agar mereka melihat dampaknya (impact) secara langsung. Ketika unit kerja, dosen dan staf memahami bahwa kontribusi mereka membawa hasil nyata, mereka akan semakin bersemangat dan merasa lebih termotivasi untuk terus terlibat dalam siklus ini.

Baca juga: Kebijakan SPMI: Pilar Utama Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi

Manfaat Besar PPEPP

PPEPP tidak hanya membantu lembaga perguruan tinggi mencapai akreditasi yang lebih baik, namun juga mendorong lingkungan kerja yang lebih transparan dan produktif. Evaluasi terbuka yang dilakukan secara rutin mendorong setiap unit untuk terus memperbaiki kinerjanya, sementara pengendalian dan peningkatan standar memastikan tidak ada penyimpangan yang merugikan.

Selain itu, PPEPP berperan penting dalam membangun budaya kerja yang berorientasi pada perbaikan berkelanjutan. Siklus yang diawat dengan baik akan mendorong setiap individu untuk terus meningkatkan mutu kerja mereka. Dampaknya tidak hanya terlihat pada peningkatan mutu pendidikan, namun juga pada terciptanya lingkungan kerja yang inklusif, di mana kontribusi setiap pihak diakui dan dihargai (diapresiasi), sehingga meningkatkan motivasi dan rasa memiliki terhadap lembaga perguruan tinggi.

Baca juga: Tak Kenal Maka Tak Sayang: Mengenal Lebih Dekat 6 Tujuan SPMI

Penutup

Siklus ini tidak hanya membantu perguruan tinggi memenuhi Standar Nasional Dikti (SN Dikti), namun juga membangun lingkungan kerja yang lebih sehat, efektif, dan berorientasi pada hasil. Dengan demikian SN Dikti tidak hanya dicapai, namun perguruan tinggi akan mampu melampaui dengan standar Dikti yang lebih tinggi.

Dengan paradigma (mindset) yang tepat, PPEPP Insya Alah dapat menjadi bagian dari DNA organisasi Anda. Sosialisasikan, sederhanakan, dan integrasikan ke dalam rutinitas sehari-hari. Siapkah? Jawabannya harus siap! Stay Relevant!

Baca juga: Lima Prinsip SPMI: Fondasi Kokoh Menuju Keunggulan Institusi


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dsn disinformation

SPMI dan Fenomena The Death of Expertise

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan`

Dalam bukunya The Death of Expertise, Tom Nichols menjelaskan sebuah fenomena yang cukup menarik: “masyarakat masa kini, era internet dan informasi, ditengarai semakin kehilangan kepercayaan terhadap otoritas ahli”. Beliau menjelaskan bagaimana era internet dengan akses informasi yang bebas tanpa batas telah melahirkan apa yang disebut sebagai ilusi pengetahuan, yang salah satu penyebabnya karena “kepercayaan berlebihan pada informasi internet”. Banyak kalangan (masyarakat) merasa bahwa dengan browsing di internet sudah cukup untuk menyamai pengetahuan mendalam dari para ahli, sudah merasa ahli. Fenomena ini, kombinasi antara keengganan untuk berpikir kritis, diinformasi dan ketidakpercayaan yang semakin meluas terhadap lembaga-lembaga, termasuk institusi pendidikan.

Kondisi perubahan eksternal ini akhirnya menjadi tantangan, termasuk untuk pendidikan tinggi dimana terdapat para ahli yang menekuni disiplin ilmu tertentu. Tantangan ini berarti tantangan terhadap Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), dimana SPMI dirancang untuk menjamin dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berkelanjutan.

Otoritas ahli di perguruan tinggi, seperti para profesor, dosen senior, dekan, atau rektor yang berpengalaman, sering kali menghadapi resistensi (penolakan) ketika mereka mencoba mempromosikan usulan (gagasan) kebijakan berbasis penelitian. Nah, bagaimana mengelola resistensi ini?

Nichols berpendapat, salah satu cara untuk memulihkan kepercayaan (trust) publik terhadap otoritas keahlian adalah dengan memastikan adanya bukti transparansi dan keterbukaan. Institusi perlu meyakinkan publik bahwa gagasan mereka didasarkan pada bukti-bukti yang sahih, integritas, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Baca juga: Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?

Literasi dan Berpikir Kritis

Masyarakat yang tidak terampil dalam memverifikasi informasi cenderung mengabaikan kompleksitas yang melekat pada informasi tersebut. Akhirnya informasi yang diterima ditelan mentah mentah. Dalam konteks pendidikan tinggi, literasi informasi adalah hal wajib yang harus dimiliki para lulusan perguruan tinggi. Perguruan tinggi wajib menghasilkan lulusan yang mampu berpikir kritis. Selain itu, untuk eksternal, melalui program pengabdian kepada masyarakat, perguruan tinggi dapat berkontribusi dalam mendorong literasi digital di kalangan masyarakat luas.

Standar kurikulum, standar proses dan standar penilaian dan standar terkait lainnya, (dalam dokumen SPMI) harus dirancang untuk mendorong program literasi. Dengan metode ini, mahasiswa tidak hanya belajar memahami fakta-fakta, namun juga menghargai bagaimana proses keilmuan terbentuk, baik melalui penelitian, verifikasi, dan dialog kritis. Dengan demikian, perguruan tinggi akan dapat berperan sebagai pioner dalam membangun generasi yang kritis dan tanggap terhadap tantangan era informasi.

Baca juga: Siapa Saja Stakeholder Perguruan Tinggi? Mengenal, Memahami dan Melayani

SPMI dan disinformation

Transparansi dan Relevansi

Seperti yang telah disampaikan diatas, Nichols mengkritik para ahli atas kurangnya transparansi dalam proses keilmuan mereka, hal tersebut menjadi salah satu penyebab hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap otoritas keahlian. Untuk mengembalikan marwah tersebut, penting sekali bagi para ahli untuk membuktikan bahwa penelitian dan standar mereka didasarkan pada data yang dapat diverifikasi. Dalam konteks pendidikan tinggi, Standar dan perangkat SPMI memiliki peran strategis dalam membangun ekosistem penjaminan mutu yang terbuka dan transparan. Langkah awal yang dapat ditempuh adalah mempublikasikan hasil evaluasi mutu pendidikan, sehingga dapat diakses, dimengerti dan dipahami oleh masyarakat luas.

SPMI harus dipastikan benar-benar relevan, oleh karena itu harus dipastikan ada keterlibatan pemangku kepentingan, seperti dunia usaha, dunia industri, masyarakat, dan pemerintah. Dialog rutin perguruan tinggi dengan publik adalah elemen penting untuk menjembatani kesenjangan tersebut. Dengan melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan standar SPMI, perguruan tinggi akan semakin mendapat legitimasi, dan juga memastikan bahwa model kurikulum yang ditawarkan tetap relevan dan sesuai dengan kebutuhan nyata.

Baca juga: Mutu Pendidikan Tinggi: Memahami Esensi dan Dampaknya

Melawan Skeptisisme

Dalam konteks SPMI, perguruan tinggi dapat menerapkan pendekatan “evaluasi berbasis dampak” yang secara langsung mengukur kontribusi layanan pendidikan terhadap masyarakat. Misalnya, perguruan tinggi dapat memantau sejauh mana mutu lulusan berhasil memberikan solusi terhadap berbagai problem sosial atau menciptakan inovasi yang relevan di dunia kerja.

Hasil evaluasi ini harus disampaikan kepada masyarakat secara jelas dan transparan. Cara ini dapat membangun narasi bahwa keahlian tidak hanya relevan, namun juga menghasilkan dampak nyata (impact) yang bermanfaat. Dengan cara ini, perguruan tinggi membuktikan bahwa proses akademik tidak hanya bersifat teoretis, namun tetap berkontribusi konkret dan menjawab kebutuhan masyarakat modern.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

Pemutakhiran Dokumen SPMI

Sebagai langkah konkret, dokumen SPMI dapat di update dengan menambahkan panduan tentang pelibatan pemangku kepentingan. Dunia usaha – dunia industri (DUDI) dapat dilibatkan untuk memberikan masukan (input) tentang kebutuhan hard skills dan soft skills yang sesuai dengan perkembangan industri. Selain itu, dokumen SPMI dapat berisi pedoman / panduan untuk memastikan bahwa hasil evaluasi mutu pendidikan dipublikasikan dalam format yang sederhana, transparan, dan mudah dipahami oleh masyarakat luas.

Perangkat SPMI juga harus diintegrasikan dengan teknologi berbasis data untuk meningkatkan efisiensi evaluasi dan pelaporan. Langkah ini sejalan dengan prinsip-prinsip manajemen mutu, membuktikan bahwa perguruan tinggi siap untuk merespons tantangan zaman dengan pendekatan teknologi berbasis data.

Baca juga: Kebijakan SPMI: Pilar Utama Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi

Penutup

Nichols dalam buku The Death of Expertise, menguraikan bahwa keahlian tidak dapat dipertahankan hanya melalui klaim otoritas semata, namun harus dibuktikan dengan semangat integritas, keterbukaan, dan “impact” nyata. Nichols menegaskan, akses informasi yang tanpa batas, disinformasi, dan budaya anti-intelektualisme telah merongrong penghormatan terhadap para ahli dan institusi. Dalam situasi ini, pendidikan tinggi (termasuk SPMI) menghadapi tantangan besar untuk memulihkan kepercayaan publik, apakah perguruan tinggi siap?

Dengan langkah-langkah strategis seperti penguatan literasi informasi, transparansi proses penjaminan mutu, dialog yang terbuka dengan masyarakat, dan evaluasi berbasis dampak nyata, perguruan tinggi dapat unggul dalam menjamin mutu pendidikan, dan juga menciptakan narasi baru yang menempatkan keahlian sebagai landasan utama kemajuan bangsa.

Perguruan tinggi harus tetap dijaga relevansinya, agar fenomena masyarakat yang semakin skeptis terhadap otoritas keilmuan dapat diperbaiki. Dengan SPMI, budaya mutu dan komitmen, perguruan tinggi Insya Allah dapat menjadi motor penggerak untuk perbaikan budaya penghormatan terhadap otoritas keahlian. Stay Relevant!

Baca juga: Lima Prinsip SPMI: Fondasi Kokoh Menuju Keunggulan Institusi


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. Nichols, T. (2017). The death of expertise: The campaign against established knowledge and why it matters. Oxford University Press.
  4. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  5. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  6. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  7. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  8. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Sarana Prasarana Kampus 6

Kampus Ideal: Gabungan Estetika dan Fungsi

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Dalam lingkungan pendidikan tinggi, sarana dan prasarana kampus (sering disingkat “sarpras”) memiliki peran krusial dalam mendukung proses belajar mengajar. Namun, sering muncul diskusi mengenai apakah prioritas utama harus diberikan pada “faktor estetika” atau “fungsionalitas”. Kenyataannya, kedua aspek tersebut sama pentingnya untuk menciptakan lingkungan belajar yang nyaman dan produktif bagi mahasiswa, dosen, staf serta stakeholder lainnya.

Don Norman dalam buku beliau The Design of Everyday Things menjelaskan bahwa desain yang baik harus intuitif fungsional dan estetis. Intuitif artinya user dapat menggunakan fasilitas sarpras tanpa kebingungan, sedangkan estetis bertujuan menciptakan daya tarik visual (keindahan) yang meningkatkan pengalaman pengguna. Bila hal tersebut diterapkan di kampus, gedung yang indah tidak hanya menarik secara emosional namun juga mampu memenuhi kebutuhan praktis proses belajar mengajar di kampus.

Baca juga: Kampus Impian: Seperti Apa Sarana dan Prasarana yang Ideal di Mata Mahasiswa?

Unsur-Unsur Estetika

Elemen-elemen unsur estetika seperti warna, bentuk, tekstur, dan pencahayaan, semuanya mempengaruhi persepsi pengguna. Misal pemilihan warna untuk ruang perpustakaan, dapat digunakan untuk menciptakan atmosfir tertentu—warna cerah dapat meningkatkan energi di ruang diskusi, warna netral cocok untuk ruang belajar yang tenang.

Selain itu, tekstur permukaan dan pencahayaan adalah elemen kunci dalam estetika desain sarana prasarana. Pencahayaan alami melalui kaca jendela dapat meningkatkan estetika ruang dan juga mampu membantu konsentrasi dan produktivitas. Elemen public space, ruang terbuka seperti area hijau, kolam atau taman dapat memberikan keseimbangan antara alam dan lingkungan, menciptakan tempat yang nyaman untuk diskusi dan interaksi sosial.

Baca juga: Lingkungan Kerja Ideal: Sarana Prasarana untuk Dosen dan Karyawan

Fungsionalitas Sebagai Dasar

Fungsionalitas sarpras kampus merupakan elemen krusial dalam mendukung proses pendidikan. Fungsionalitas memastikan bahwa fasilitas digunakan secara efektif dan efisien, memenuhi kebutuhan akademik dan operasional dengan optimal. Don Norman, dalam The Design of Everyday Things, menegaskan bahwa fungsionalitas dimulai dari desain yang responsif, mudah dipahami, dan nyaman digunakan. Contohnya, kampus dengan jalur navigasi yang jelas, lift yang mudah diakses, atau ruang kelas yang fleksibel untuk berbagai metode pengajaran memberikan pengalaman yang lebih baik bagi penggunanya.

Fungsionalitas juga erat kaitannya dengan efisiensi. Tata letak modular, misalnya, memungkinkan perguruan tinggi mengakomodasi berbagai kebutuhan, seperti seminar, diskusi kelompok, atau aktivitas kolaboratif, dengan fleksibilitas tinggi. Selain itu, perhatian pada keberlanjutan juga menjadi bagian dari fungsionalitas modern. Penggunaan bahan ramah lingkungan tidak hanya mencerminkan komitmen kampus terhadap pelestarian lingkungan, tetapi juga memberikan pesan kuat bahwa institusi pendidikan ini memahami dan mendukung prinsip keberlanjutan.

Baca juga: Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?

Tantangan dalam pengelolaan standar sarana prasarana

Menyatukan Estetika dan Fungsionalitas

Stakeholder kampus (pemangku kepentingan)—termasuk pimpinan, mahasiswa, dosen, alumni, dan mitra eksternal—menginginkan fasilitas sarpras yang mencerminkan nilai-nilai (values) institusi. Estetika memberikan daya tarik keindahan yang membuat mahasiswa “merasa bangga” dengan kampus mereka. Di sisi lain, fungsionalitas memastikan sarpras dapat digunakan dengan nyaman dan efisien.

Richard P. Dober dalam bukunya Campus Design menjelaskan bahwa desain kampus yang ideal harus mencerminkan “identitas” (jati diri) institusi. Gedung kampus bisa dirancang dengan berbagai pilihan model, misal dengan konsep estetika modern (kesan inovasi), atau dirancang dengan elemen tradisional (kesan budaya lokal). Semua pilihan ini tentu saja tidak boleh mengorbankan aspek fungsionalitas, seperti aksesibilitas atau kemudahan navigasi antar ruang.

Baca juga: Siapa Saja Stakeholder Perguruan Tinggi? Mengenal, Memahami dan Melayani

Mission Differentiation

Estetika dalam sarpras yang terpadu berfungsi sebagai alat “komunikasi visual” untuk memperkenalkan “misi unik” institusi (mission differentiation). Misal, kampus dengan misi ramah lingkungan (keberlanjutan) dapat menunjukkan komitmen melalui desain berbasis ekologi, seperti taman vertikal, daur ulang dan penggunaan material ramah lingkungan.

Don Norman menjelaskan, desain yang baik harus selaras dengan nilai-nilai (values) dan tujuan organisasi. Kampus dengan misi teknologi tinggi, dapat membangun gedung dengan desain masa depan (futuristik), pencahayaan berbasis LED, dan ruang-ruang yang terlihat modern. Adapun, universitas yang berbasis budaya, dengan misi melestarikan warisan lokal, dapat memasukkan unsur-unsur elemen tradisional sebagai bentuk komunikasi visual dari misi unik institusi.

Hal ini menjadi daya tarik bagi mahasiswa yang mencari kampus yang sesuai dengan nilai-nilai (minat dan bakat) mereka. Dengan demikian, estetika menjadi “alat strategis” untuk membangun identitas institusi yang unik dan relevan.

Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi

Baca juga: Merancang Mission Differentiation di Era BANI

Menyiasati Dana Terbatas

Bagi kampus dengan anggaran terbatas, membangun sarpras yang fungsional sekaligus estetik menjadi tantangan tersendiri. Konsep smart design dari Don Norman dalam The Design of Everyday Things menawarkan solusi. Norman menekankan pentingnya desain yang sederhana, multifungsi, ruang modular, hemat biaya, tetapi tetap memenuhi kebutuhan pengguna (prinsip user-centered design). Institusi dapat memprioritaskan elemen-elemen desain yang memberikan “high impact, low cost“, dampak besar dengan biaya minimal, seperti pencahayaan alami untuk mengurangi ketergantungan pada energi listrik.

Kampus juga dapat mengadopsi pendekatan bertahap (sedikit demi sedikit) dalam renovasi sarana prasarana. Prioritas utama diberikan pada area yang memiliki interaksi tinggi, seperti ruang belajar, perpustakaan, atau kafetaria. Pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan bahan dan material lokal yang terjangkau namun tidak kalah kualitas.

Elemen hijau seperti taman, kolam sederhana atau menambah mural kreatif di sudut-sudut kampus dapat menjadi solusi estetis yang murah meriah. Dengan metode ini, kampus kecil tetap dapat mengkomunikasikan misi unik-nya melalui estetika tanpa harus mengeluarkan biaya besar, sekaligus dapat mengembangkan lingkungan pendidikan yang inklusif dan inspiratif.

Baca juga: Inovasi Sarana dan Prasarana: Menjawab Tantangan Pendidikan Masa Depan

SPMI dan Standar Sarana Prasarana

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan kerangka manajemen mutu yang wajib diimplementasikan sesuai dengan regulasi pemerintah. Dalam dokumen SPMI, standar sarana dan prasarana menekankan bahwa fasilitas pendidikan harus memenuhi Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti). Lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan dasar (standar minimal), sarana prasarana yang baik harus dirancang untuk mendukung efektivitas pembelajaran dan inklusivitas bagi semua pengguna.

Panduan desain berbasis estetika dan fungsionalitas diperlukan untuk memastikan setiap elemen fasilitas tidak hanya memenuhi kebutuhan praktis, namun juga mencerminkan identitas, misi unik dan visi perguruan tinggi. Implementasi standar sarpras SPMI yang visioner, memberikan pengalaman belajar holistik bagi seluruh stakeholder, menjadikan kampus sebagai tempat kreativitas, kebanggaan, dan keberlanjutan.

Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan

Penutup

Bahkan bagi kampus dengan keterbatasan budget, pendekatan desain yang kreatif dapat membantu membangun fasilitas yang estetis dan fungsional tanpa membebani anggaran. Dengan pembangunan bertahap, dan memprioritaskan area-area utama, berlahan tapi pasti, kampus dapat menciptakan lingkungan yang inspiratif dan inklusif.

Standar sarana dan prasarana yang diterapkan harus dirancang tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tetapi juga untuk mendukung keberlanjutan dan visi jangka panjang perguruan tinggi.

Harmonisasi antara estetika, fungsionalitas, dan misi unik institusi akan menciptakan kampus sebagai ruang belajar yang tidak hanya memenuhi standar mutu, tetapi juga menginspirasi. Dengan pendekatan yang terpadu ini, perguruan tinggi dapat menjadi tempat pendidikan yang unggul, inovatif, dan tetap relevan di tengah dinamika global. Stay Relevant!

Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”


Referensi

  1. Dober, R. P. (1992). Campus design. John Wiley & Sons.
  2. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  3. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  4. Norman, D. A. (2013). The design of everyday things (Revised and expanded edition). Hachette UK.
  5. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  6. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  7. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  8. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  9. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Sarana Prasarana Kampus 2

Lingkungan Kerja Ideal: Sarana Prasarana untuk Dosen dan Karyawan

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Perguruan tinggi tidak hanya menjadi pusat pembelajaran bagi para mahasiswa, namun juga merupakan tempat bekerja bagi segenap dosen dan karyawan. Sebagai pilar penting pendidikan tinggi, tenaga pendidik dan kependidikan memerlukan lingkungan kerja yang nyaman, yang mendukung kesehatan, baik fisik, mental, maupun sosial. Lingkungan kerja yang nyaman tidak hanya meningkatkan motivasi dan produktivitas, namun juga membangun suasana yang harmonis dan menyenangkan, sehingga mendukung performance SDM secara keseluruhan.

Patut diduga, di beberapa kampus, perhatian utama masih sering tertuju pada pengembangan fasilitas akademik, sementara kebutuhan sarana prasarana untuk kesejahteraan tenaga kerja masih belum prioritas. Padahal, keseimbangan fasilitas kerja yang nyaman dan lingkungan yang kondusif sangat penting untuk menjaga kesehatan, semangat, dan produktivitas para dosen dan karyawan. Oleh karena itu, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perlu mengatur dengan jelas standar sarana dan prasarana yang mendukung kesejahteraan tenaga kerja. Dengan adanya standar ini, perguruan tinggi memiliki acuan yang jelas untuk membangun lingkungan kerja yang baik.

Baca juga: Kampus Impian: Seperti Apa Sarana dan Prasarana yang Ideal di Mata Mahasiswa?

Oase di Tengah Kesibukan

Ruang istirahat, ruang bersantai adalah elemen penting untuk menciptakan keseimbangan kerja. Sebuah ruang yang dirancang dengan cermat—dilengkapi sofa nyaman, dispenser air, mesin kopi, bahan bacaan ringan dan dekorasi yang menenangkan—memberikan tempat bagi dosen dan karyawan untuk melepaskan rasa jenuh dan mengisi ulang energi (recharging energy). Di tengah jadwal mengajar yang padat atau beban administratif yang menumpuk, ruang istirahat menjadi “oasis kecil” yang menyegarkan pikiran dan tubuh. Bila perlu dapat dilengkapi sofa elektrik untuk pijat refleksi dan layar karaoke untuk self healing.

Ruang istirahat (ruang santai) tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk beristirahat, ia menjadi ruang sosial (pertemuan informal) yang mempererat hubungan antar pimpinan, dosen dan staf, menciptakan suasana kerja yang hangat dan harmonis. Diskusi santai (brainstorming) yang terjadi di ruang ini sering melahirkan ide-ide segar atau solusi inovatif untuk tantangan pekerjaan sehari-hari. Oleh sebab itu, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perlu menetapkan ruang istirahat sebagai bagian penting dari standar sarana dan prasarana kampus.

Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat

Olahraga dan Rekreasi

Fasilitas olahraga seperti meja pingpong, lapangan tenis, lapangan basket, atau jalur jogging di kampus tidak hanya diperuntukkan bagi mahasiswa, tetapi juga menjadi kebutuhan penting bagi dosen dan karyawan. Aktivitas fisik telah terbukti mampu meningkatkan motivasi, meredakan stres kerja, dan menjaga kesehatan mental. Dengan tubuh yang bugar, tenaga pendidik dan kependidikan dapat menjalankan tugas mereka dengan lebih fokus, produktif, dan penuh energi.

Selain fasilitas olahraga, kampus juga perlu menyediakan ruang rekreasi seperti taman yang asri, kolam, atau area hijau yang dirancang khusus untuk relaksasi. Lingkungan semacam ini memberikan kesempatan bagi tenaga kerja untuk melepas penat, meredakan tekanan, atau sekadar menikmati suasana alam di sela-sela kesibukan. Standar sarana dan prasarana yang diatur dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dapat menjadi panduan penting untuk memastikan bahwa fasilitas olahraga dan ruang hijau tersedia dalam kondisi optimal, dikelola dengan baik, dan benar-benar mendukung kesejahteraan seluruh tenaga kerja di lingkungan kampus. Dengan pendekatan ini, kampus tidak hanya menjadi tempat kerja, tetapi juga ruang yang mendukung kesehatan fisik dan mental seluruh penghuninya.

Baca juga: Inovasi Sarana dan Prasarana: Menjawab Tantangan Pendidikan Masa Depan

Fasilitas Air Mancur di depan perpustakaan University Of Tokyo

Ruang Kerja yang Fungsional

Richard P. Dober dalam bukunya Campus Design menekankan pentingnya “placemaking“, yaitu menciptakan ruang-ruang yang mampu memenuhi kebutuhan fungsional, dan juga memperkuat identitas institusi. Dalam konteks dosen dan tenaga kependidikan, ruang kerja yang ideal harus dirancang untuk memberikan keseimbangan antara produktivitas dan kenyamanan. Ruang yang berfungsi sebagai tempat menyelesaikan tugas, melaksanakan penelitian atau mempersiapkan bahan pengajaran. Ruang yang mampu menumbuhkan suasana hati (mood) yang inspiratif dan mendukung semangat kolaborasi.

Dober juga menekankan pentingnya “konektivitas” (keterhubungan) antar ruang-ruang dalam kampus. Letak ruang kerja harus strategis, misalnya, dekat dengan perpustakaan, kantin, laboratorium, atau fasilitas akademik lainnya. Sirkulasi antar ruang harus dapat meningkatkan efisiensi dan mempermudah koordinasi lintas departemen. Elemen keindahan (estetika) seperti furnitur, pencahayaan alami, dan desain interior dapat memperkuat identitas ruang dan menumbuhkan rasa kebanggaan bagi pemakainya.

Baca juga: Tak Kenal Maka Tak Sayang: Mengenal Lebih Dekat 6 Tujuan SPMI

Fasilitas Kesehatan

Layanan kesehatan yang mudah diakses adalah elemen penting dalam mendukung kesejahteraan dosen dan karyawan. Sebuah klinik kesehatan yang menyediakan fasilitas pertolongan pertama, pemeriksaan rutin, hingga layanan konseling psikologis menjadi solusi yang esensial. Dengan adanya klinik yang representatif di dalam kampus, staf tidak perlu menghabiskan waktu dan tenaga untuk mencari layanan medis di luar, sehingga mereka dapat tetap fokus menjalankan tugas dengan tenang dan efisien.

Kesejahteraan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Program-program pendukung seperti sesi konseling, terapi self-healing, atau seminar manajemen stres dapat membantu staf mengelola tekanan kerja dengan lebih baik. Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perlu memasukkan layanan kesehatan sebagai bagian integral dari standar sarana prasarana kampus. Dengan keberadaan layanan ini, perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan kerja yang suportif, inklusif, dan penuh perhatian. Kampus yang peduli terhadap kesehatan fisik dan mental tenaga kerjanya adalah kampus yang siap untuk maju, dan siap tumbuh bersama seluruh anggotanya.

Baca juga: Connecting The Dots: Transformasi SPMI melalui Kolaborasi Tim

Kampus Kecil dengan Anggaran Terbatas

Bagi kampus yang masih bergelut dengan keterbatasan budget, menyediakan sarana dan prasarana ideal mungkin terasa seperti tantangan besar. Namun, keterbatasan dana bukan berarti mengorbankan kenyamanan dan kesejahteraan tenaga kerja. Pendekatan strategis dan inovatif merupakan cara terbaik untuk memaksimalkan sumber daya (resources) yang ada.

Salah satu solusi adalah dengan memprioritaskan kebutuhan paling urgen. Contoh kampus dapat menyediakan area “multifungsi” sederhana seperti taman atau lapangan kecil yang dapat digunakan untuk berbagai aktivitas, baik olahraga, pentas seni maupun rekreasi. Kampus kecil juga dapat berkolaborasi dengan pemkot, komunitas atau mitra lokal untuk menyediakan layanan kesehatan atau konseling bagi tenaga kerja, sehingga dapat memberi manfaat dengan biaya yang hemat.

Kreasi dan Inovasi juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan yang terbatas. Misal, ruang istirahat kecil dapat “disulap” multifungsi dengan tambahan fasilitas sederhana seperti ruang musik dengan piano, mesin kopi, dispenser air, dan tempat duduk yang nyaman. Meskipun sederhana, langkah kecil ini dapat memberikan dampak positif yang signifikan.

Dengan kreasi dan inovasi, kampus kecil tetap dapat menciptakan lingkungan kerja yang mendukung. Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) juga dapat memberikan panduan fleksibel yang mempertimbangkan kapasitas dan anggaran yang terbatas, sehingga manajemen dapat mengoptimalkan apa yang dimiliki untuk kesejahteraan dosen dan karyawan. Dengan cara ini, meskipun budget terbatas, kampus kecil tetap mampu menjadi tempat kerja yang layak dan menarik.

Baca juga: Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku: Pilar Utama Budaya Mutu SPMI

Penutup

Kesejahteraan dosen dan tenaga kependidikan bukanlah hal sekunder, melainkan prinsip penting untuk membangun kampus yang menyenangkan, produktif, dan berdaya saing tinggi. Dengan menyediakan sarana yang mendukung keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan, perguruan tinggi dapat memenuhi tanggung jawab moralnya sekaligus memastikan keberlanjutan organisasi.

Bagi kampus kecil yang menghadapi keterbatasan anggaran, menciptakan keseimbangan ini mungkin membutuhkan inovasi dan pengelolaan prioritas yang cermat. Solusi sederhana namun efektif, seperti memanfaatkan ruang multifungsi atau menjalin kolaborasi dengan komunitas lokal, tetap dapat memberikan dampak signifikan terhadap kesejahteraan tenaga kerja. Pendekatan ini menunjukkan bahwa kapasitas finansial yang terbatas bukanlah penghalang untuk menciptakan lingkungan kerja yang nyaman.

Lingkungan kerja yang seimbang memiliki manfaat ganda, tidak hanya bagi karyawan yang bekerja, namun juga bagi institusi secara keseluruhan. Tenaga pendidik dan kependidikan yang bahagia serta sehat, dapat membawa perguruan tinggi, untuk terus berkembang sebagai tempat belajar, bekerja, dan tumbuh bersama. Oleh karena itu, implementasi standar SPMI yang mencakup sarana dan prasarana untuk kesejahteraan dosen dan karyawan menjadi langkah konkret yang harus diprioritaskan. Dengan demikian, semua kampus, tanpa memandang skalanya, Insya Allah akan mampu menciptakan lingkungan kerja yang optimal untuk visi-misi organisasi. Stay Relevant!

Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Dober, R. P. (1992). Campus design. John Wiley & Sons.
  3. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  4. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  5. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  6. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  7. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  8. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

×

Layanan Informasi

× Hubungi Kami