
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Dunia tidak lagi berubah perlahan. Ia bergerak dengan kecepatan yang tak terduga, penuh ketidakpastian, dan sering kali membuat cemas.
Kita hidup di era yang oleh banyak ahli disebut sebagai era VUCA—Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous—yang kini bahkan telah berkembang menjadi BANI—Brittle, Anxious, Nonlinear, dan Incomprehensible. Dalam dunia seperti ini, bekal utama seseorang bukan lagi seberapa banyak ia tahu, tetapi seberapa cepat dan berani ia belajar ulang.
Inilah mengapa konsep lifelong learning atau pembelajaran sepanjang hayat tak lagi bisa dianggap sebagai jargon seminar. Ia telah menjadi kompetensi inti yang membedakan siapa yang bisa bertahan dan berkembang, dengan siapa yang hanya mengandalkan pengetahuan lama.
Pendidikan tinggi tidak cukup hanya menghasilkan lulusan yang tahu teori, tapi harus menyiapkan pembelajar sejati—mereka yang siap tumbuh, menyesuaikan diri, dan terus belajar kapan pun dan di mana pun.
Dalam psikologi pendidikan, salah satu teori penting yang relevan adalah constructivism, yang menyatakan bahwa belajar bukanlah proses menyalin informasi, tapi membangun makna secara aktif. Jean Piaget dan Lev Vygotsky sama-sama menekankan bahwa pengalaman belajar yang otentik dan sosial akan mendorong seseorang untuk menjadi lebih reflektif, mandiri, dan siap menghadapi perubahan. Dalam konteks ini, lifelong learning bukan sekadar aktivitas tambahan, tetapi sikap hidup yang tumbuh dari dalam.
Masalahnya, banyak lulusan masih menjadikan gelar akademik sebagai akhir dari perjalanan belajar. Mereka berpikir, “Setelah wisuda, hore… aku merdeka, selesai belajar.”
Padahal, dunia kerja, kehidupan sosial, bahkan relasi personal, terus menuntut keterampilan dan pemahaman baru. Di sinilah pendidikan tinggi perlu menanamkan mindset bahwa setiap orang harus siap belajar ulang, memperbarui diri, dan tidak malu untuk bertanya atau mengakui ketidaktahuannya.
Kampus adalah tempat terbaik untuk membangun fondasi pembelajar sepanjang hayat. Tapi ini hanya bisa terjadi jika kurikulum tidak hanya berisi teori, tetapi juga ruang eksplorasi, refleksi, dan koneksi nyata dengan dunia luar. Mahasiswa perlu diberi kesempatan untuk memilih, untuk siap salah, mencoba ulang, dan tumbuh. Dosen tidak lagi cukup sebagai pemberi jawaban, tapi fasilitator yang menumbuhkan rasa ingin tahu.
Inilah sebabnya mengapa Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dalam Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 mewajibkan adanya kemampuan berpikir kritis, mandiri, dan berorientasi pada pembelajaran sepanjang hayat. Kampus perlu merumuskan SKL dengan mempertimbangkan bahwa lulusan hari ini akan menghadapi dunia yang tidak bisa diprediksi.
Maka, selain menguasai keilmuan, mahasiswa juga harus dilatih untuk menjadi “pembelajar tangguh” yang mampu menavigasi perubahan dengan reflektif dan fleksibel.
Agar lifelong learning benar-benar menjadi budaya, kampus perlu mengintegrasikannya ke dalam sistem mutu internal. Di sinilah peran SPMI (Sistem Penjaminan Mutu Internal) menjadi strategis.
Dalam regulasi yang berlaku, SPMI tidak hanya menjadi alat kontrol, tapi kerangka kerja yang memastikan bahwa capaian lulusan, metode belajar, dan suasana akademik mendukung tumbuhnya pembelajar sejati. SPMI bisa menjamin bahwa proses belajar tidak berhenti pada soal dan nilai, tetapi berlanjut menjadi pengalaman yang mendorong pertumbuhan pribadi.
Lebih dari itu, siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan—berperan sebagai mesin kaizen dalam kampus. Dengan PPEPP, setiap pengalaman belajar mahasiswa bisa dianalisis dan dikembangkan secara berkelanjutan. Kampus dapat mengidentifikasi apakah mahasiswa merasa diberi ruang untuk eksplorasi? Apakah metode pengajaran sudah menumbuhkan rasa ingin tahu? Apakah dosen sudah membuka diskusi, bukan hanya ceramah?
Proses PPEPP memungkinkan kampus untuk terus menyempurnakan cara belajar dan cara mengajar agar lifelong learning benar-benar hidup di ruang-ruang kelas.
Lifelong learning bukan tren, melainkan kebutuhan dasar manusia di zaman ini. Dunia terlalu cepat berubah untuk dihadapi dengan ilmu lama dan cara pikir lama.
Oleh karena itu, tugas kampus bukan hanya mencetak lulusan dengan indeks prestasi tinggi, tapi membentuk manusia yang mau dan mampu terus belajar—dengan akhlak terpuji, penuh semangat, dan daya tahan.
Melalui SPMI yang dijalankan dengan sungguh-sungguh dan PPEPP yang aktif menumbuhkan perbaikan berkelanjutan, perguruan tinggi dapat menjadi tempat lahirnya generasi pembelajar yang siap menghadapi dunia. Dan jika itu terjadi, maka kampus telah menjalankan fungsinya dengan penuh makna: bukan hanya tempat mendapatkan gelar, tetapi tempat “memulai perjalanan”, sebagai pembelajar seumur hidup. Stay Relevant
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Mission differentiation bukan sekadar jargon strategi, melainkan pondasi penting agar perguruan tinggi tidak terjebak dalam kompetisi seragam yang memaksa semua kampus berlomba menjadi “world class university” tanpa mempertimbangkan kekhasan dan potensi lokalnya. Dalam era VUCA dan BANI yang penuh ketidakpastian, justru kekhasan dan otentisitas inilah yang menjadi nilai jual utama kampus.
Kampus yang mampu mengenali siapa dirinya dan siapa yang ia layani, berpeluang lebih besar untuk tumbuh berkelanjutan.
Pedoman Implementasi SPMI 2024 menyatakan bahwa sistem penjaminan mutu tidak dapat diberlakukan secara seragam, tetapi harus dikembangkan sesuai misi perguruan tinggi. Oleh karena itu, rumusan misi yang jelas, berbeda, dan relevan menjadi titik awal dari semua proses peningkatan mutu.
Tidak hanya sebagai tagline, mission differentiation perlu dirancang melalui pendekatan sistemik—yang bisa dijalankan, diukur, dan dijaga melalui siklus PPEPP (penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian dan peningkatan standar).
Baca juga: Mission Differentiation: Rahasia Kampus Kecil Bisa Unggul di Tengah Kompetisi Nasional
Langkah pertama dalam merumuskan mission differentiation adalah menggali DNA institusi. Ini mencakup sejarah berdirinya, nilai-nilai yang dianut, potensi unggulan yang dimiliki, serta kebutuhan masyarakat sekitar. Jangan buru-buru meniru universitas ternama; justru keunggulan Anda bisa tersembunyi dalam kekhasan yang selama ini dianggap biasa.
Menurut pendekatan TQM (Total Quality Management) dari Edward Sallis, pendidikan berkualitas berasal dari pemahaman terhadap pelanggan—dalam hal ini mahasiswa, masyarakat, dan pengguna lulusan.
Maka misi yang baik, lahir dari refleksi jujur terhadap kekuatan internal dan kebutuhan eksternal yang nyata.
Baca juga: SPMI dan Ironi Lulusan Menganggur: Mutu di Atas Kertas, Bukan di Lapangan?
Konsep marketing modern menawarkan alat penting untuk mission differentiation: STP (Segmentation, Targeting, Positioning). Kampus harus memahami siapa segmen utamanya—apakah anak muda dari daerah industri, komunitas pesantren, wirausaha pemula, atau pekerja profesional yang ingin kuliah malam?
Setelah segmen ditentukan, langkah berikutnya adalah memilih target spesifik. Di sinilah kampus perlu realistis dan fokus: tidak semua orang harus dilayani.
Target yang jelas akan memandu strategi akademik, pemilihan dosen, hingga promosi kampus. Kampus kecil bisa besar di hati masyarakat jika tahu untuk siapa ia hadir.
Baca juga: Mutu adalah Kepemimpinan, Bukan Sekadar Administrasi
Misi bukan sekadar kalimat indah. Dalam konteks SPMI, misi harus bisa diturunkan menjadi indikator dan standar mutu. Oleh karena itu, rumusan misi sebaiknya singkat, tajam, dan menyentuh aspek diferensial kampus Anda.
Hindari istilah generik seperti “unggul” atau “berdaya saing global” jika tidak dibarengi arah spesifik.
Dalam PPEPP, misi menjadi bagian dari tahap Penetapan. Misi yang kuat akan memandu seluruh penetapan standar dan dokumen turunan lainnya, seperti RIP, Renstra, dan SPMI. Bahkan, menurut Pedoman Implementasi SPMI 2024, misi harus menjadi referensi utama dalam penyusunan dan evaluasi standar mutu pendidikan tinggi.
Baca juga: GKM di Kampus: Antara Idealitas Mutu dan Realitas Kinerja
Langkah 4: Integrasikan SPMI
Setelah misi ditetapkan, langkah berikutnya adalah menjadikan misi sebagai “roh” dari sistem mutu SPMI (Sistem Penjaminan Mutu Internal).
Di sinilah peran PPEPP sangat krusial. Semua standar dikembangkan dan dieksekusi dengan mempertimbangkan misi kampus. Evaluasi, pengendalian, dan peningkatan mutu pun harus menjawab satu pertanyaan kunci: “Apakah ini mendekatkan kita ke misi?”
Pedoman SPMI 2024 menekankan bahwa standar tidak boleh dilepaskan dari konteks institusi. Kampus vokasi tentu punya indikator mutu yang berbeda dengan kampus riset. Maka, diferensiasi misi bukan hanya branding, tapi juga memengaruhi sistem mutu dan arah pengembangan institusi.
Baca juga: SPMI dan Dunia Kerja: Sudahkah Kampus Dengarkan Industri?
Mission differentiation tidak akan berdampak bila hanya disimpan dalam dokumen. Ia harus dikomunikasikan secara konsisten ke publik—baik melalui situs web, media sosial, maupun dalam narasi akademik sehari-hari.
Inilah positioning sejati: bagaimana kampus ingin diingat dan diakui oleh masyarakat.
Dalam konteks manajemen PPEPP, komunikasi misi adalah bagian dari Pelaksanaan Standar. Masyarakat yang memahami keunikan kampus akan lebih mudah percaya, dan mitra akan lebih tertarik bekerja sama. Bahkan dalam akreditasi, kejelasan misi akan memperkuat kesan bahwa kampus punya arah yang otentik dan realistis.
Baca juga: SPMI Tanpa Teknologi Digital? Bersiaplah Hadapi Kegagalan!
Menjadi otentik tidak berarti menjadi eksklusif. Justru dengan membangun diferensiasi misi yang kuat, kampus akan lebih inklusif—mampu melayani segmen yang tepat dengan cara yang paling relevan.
Di era disrupsi, kekhasan bukan kelemahan. Justru itu kekuatan.
Dengan mengikuti 5 (lima) langkah ini dan menjadikannya bagian dari sistem PPEPP dan SPMI, kampus tidak hanya berbeda, tetapi luar biasa (extraordinary). Seperti yang dikatakan dalam prinsip Blue Ocean Strategy, “The only way to beat the competition is to stop trying to beat the competition.” Maka berhentilah meniru. Mulailah menjadi dirimu sendiri—secara strategis, terukur, dan bermutu. Stay Relevant!
Baca juga: Paradoks Mutu: Saat SPMI Tak Bicara Soal Dunia Kerja
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Hari ini, gelar akademik bisa diperoleh siapa saja. Bahkan, beberapa orang mampu menyelesaikan studinya dalam waktu yang sangat singkat. Tapi pertanyaannya: apakah mereka benar-benar siap?
Apakah mereka menguasai kompetensi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah nyata, bekerja dalam tim, atau bahkan terus belajar seumur hidup? Lulus itu penting, tentu saja. Tapi pendidikan yang bermakna jauh lebih dari sekadar menamatkan SKS dan menerima ijazah.
Dalam dunia pendidikan tinggi, makna itu sebenarnya sudah dirumuskan dalam satu hal yang sangat mendasar, tapi sering terlupakan: Standar Kompetensi Lulusan (SKL). SKL bukan hanya sekumpulan kalimat dalam dokumen kurikulum. Ia adalah gambaran utuh tentang siapa yang ingin dibentuk oleh perguruan tinggi. Tanpa SKL yang kuat dan dihayati, pendidikan berisiko kehilangan esensinya.
Baca juga: Peran Dosen yang Berkembang: Mengajar, Membimbing, dan Menginspirasi
Kita hidup di zaman ketika nilai akademik tidak lagi cukup menjadi indikator keberhasilan. Seorang mahasiswa bisa lulus dengan IPK 4.00, tapi jika ia tidak bisa bekerja dalam tekanan, tidak mampu menjelaskan ide dengan jelas, atau bingung ketika diminta mengambil keputusan, maka angka itu kehilangan maknanya.
Pendidikan sejatinya adalah proses membangun kompetensi—kemampuan nyata yang dibutuhkan di dunia nyata.
Di sinilah pentingnya pendekatan pendidikan berbasis kompetensi. Perguruan tinggi yang sungguh-sungguh menjalankan SKL akan memastikan bahwa setiap mata kuliah, proyek, hingga kegiatan mahasiswa, semua diarahkan untuk membentuk karakter dan kemampuan yang utuh. Mahasiswa tidak hanya belajar untuk diuji, tapi untuk menjalani peran di masyarakat. Dengan SKL yang kuat, kuliah bukan lagi sekadar rutinitas akademik, tapi proses tumbuh menjadi individu yang bernilai.
Baca juga: Mutu, Otonomi, dan Kepercayaan: Menata Ulang Relasi Negara dan Kampus
Salah satu keunggulan dari pendekatan berbasis SKL adalah kemampuannya untuk menanamkan semangat belajar sepanjang hayat (lifelong learning). Ketika mahasiswa tidak hanya didorong untuk menghafal teori, tetapi juga untuk berpikir kritis, memecahkan masalah, dan beradaptasi, maka ia akan tumbuh menjadi pembelajar sejati. Ini adalah kualitas yang sangat dibutuhkan di dunia kerja yang terus berubah.
Standar Kompetensi Lulusan yang dirancang dengan baik akan mencakup keterampilan berpikir reflektif, sikap terbuka terhadap pembaruan, dan rasa ingin tahu yang tinggi.
Lulusan dengan kompetensi seperti ini tidak akan “habis masa pakainya” setelah wisuda. Mereka akan terus berkembang, mengambil peluang belajar baru, dan mampu merespon perubahan zaman dengan percaya diri.
Baca juga: Mengapa Standar Pengelolaan Harus Merata Hingga ke Prodi
Dampak jangka panjang dari mengabaikan SKL bisa sangat serius. Kurikulum bisa menjadi tumpukan mata kuliah tanpa arah.
Dosen mengajar hanya untuk menyelesaikan silabus. Mahasiswa kuliah hanya demi nilai. Dan pada akhirnya, lulusan yang dihasilkan tidak memiliki identitas kompetensi yang jelas. Mereka mungkin bekerja, tapi tidak siap. Mereka mungkin pintar, tapi tidak relevan.
Lebih dari itu, kampus yang mengabaikan SKL juga kehilangan daya saing. Di tengah persaingan global, kualitas lulusan menjadi indikator langsung dari kualitas institusi. Tanpa SKL yang dirancang dan dijalankan dengan serius, perguruan tinggi akan kesulitan menjawab tantangan dunia kerja, bahkan tuntutan akreditasi nasional dan internasional. Pendidikan berubah menjadi proses mekanis—jauh dari makna idealnya.
Baca juga: Kunci Mutu Prodi: Saatnya SDM Pengelola Naik Level!
Mari kita lihat contoh-contoh lulusan yang benar-benar sukses karena menguasai kompetensinya. Seorang alumni Prodi Manajemen dari sebuah kampus negeri di Jawa Tengah, misalnya, memimpin tim riset pasar di sebuah perusahaan multinasional. Ia tidak hanya tahu cara membaca data, tapi mampu mengolahnya menjadi strategi pemasaran yang efektif. Ketika ditanya kuncinya, ia menjawab, “Saya dilatih sejak kuliah untuk berpikir analitis dan melihat data dari berbagai sudut. Itu bagian dari capaian pembelajaran di prodi saya.”
Contoh lain datang dari alumni Teknik Informatika yang sekarang menjadi software engineer di luar negeri. Ia mengaku bahwa tantangan terberat bukanlah bahasa pemrograman, tapi cara berpikir dan menyelesaikan masalah. “Dari semester awal, saya diminta untuk menyelesaikan proyek nyata. Bukan tugas fiktif. Saya jadi terbiasa menghadapi ketidakpastian, dan itu yang bikin saya survive sampai sekarang.”
Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa keberhasilan bukan semata hasil nilai tinggi, tapi karena kompetensi cara berpikir dan menyelesaikan masalah yang ditanamkan sejak awal.
Baca juga: Mengukur Ulang Keberhasilan Pembelajaran: Antara Skor Nilai dan Kompetensi
Agar SKL tidak hanya menjadi wacana, perguruan tinggi membutuhkan sistem yang memastikan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Inilah peran SPMI – Sistem Penjaminan Mutu Internal. Sistem ini diatur secara resmi dalam Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, dan menjadi landasan utama bagi kampus untuk menjamin kualitas pendidikan, termasuk dalam perumusan dan pelaksanaan SKL.
SPMI memastikan bahwa SKL tidak hanya disusun, tetapi juga dijalankan, dievaluasi, dan ditingkatkan secara berkala.
Lewat audit internal, umpan balik dari mahasiswa dan alumni, serta pelibatan dosen dalam evaluasi mutu, SKL menjadi instrumen yang hidup. Sistem ini membantu perguruan tinggi untuk terus menjaga arah pendidikan—agar tidak sekadar meluluskan, tapi membentuk lulusan yang punya makna.
Baca juga: Transformasi Mutu Kampus Melalui Benchmarking Digital: Mungkinkah?
Agar mutu pendidikan terus meningkat, SPMI tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus dijalankan dalam satu siklus perbaikan berkelanjutan yang dikenal sebagai PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan. Ini adalah bentuk nyata dari filosofi kaizen—perbaikan kecil, terus-menerus, yang menghasilkan dampak besar dalam jangka panjang.
Dengan PPEPP, SKL yang telah ditetapkan bisa terus dikaji ulang. Apakah masih relevan dengan perkembangan industri? Apakah lulusan benar-benar mencapainya?
Jika ada gap, maka kampus melakukan penyesuaian—baik melalui revisi kurikulum, pelatihan dosen, atau penambahan pengalaman belajar mahasiswa. Inilah cara kampus membuktikan komitmennya: pendidikan bukan sekadar rutinitas, tapi proses tumbuh yang tak pernah selesai.
Baca juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik
Kuliah seharusnya tidak hanya menjadi proses menyelesaikan SKS. Ia adalah perjalanan menjadi seseorang yang kompeten, siap menghadapi tantangan, dan terus belajar sepanjang hayat. Di tengah perubahan dunia yang cepat dan penuh ketidakpastian, kompetensi adalah bekal paling nyata yang bisa kita miliki.
Standar Kompetensi Lulusan adalah titik awal dari pendidikan bermakna itu. Dengan sistem mutu seperti SPMI dan filosofi perbaikan berkelanjutan melalui PPEPP, kampus memiliki semua alat untuk menciptakan lulusan yang bukan hanya lulus, tapi juga bermakna. Dan dalam dunia yang haus akan kontribusi nyata, itu adalah nilai yang tak ternilai. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Perubahan zaman tak hanya membawa teknologi baru, tapi juga menantang ulang cara kita memahami peran seorang dosen dalam dunia pendidikan tinggi.
Dahulu, dosen adalah sumber utama pengetahuan, satu-satunya yang memegang otoritas akademik di kelas. Namun, di era digital dan informasi terbuka seperti sekarang, peran itu tak lagi cukup.
Mahasiswa memiliki akses ke ribuan jurnal, video ilmiah, dan platform belajar daring. Maka, pertanyaannya: apakah dosen masih relevan? Jawabannya bukan hanya iya, tapi mereka justru kunci dari transformasi pendidikan yang lebih bermakna.
Psikologi pembelajaran menegaskan pentingnya peran guru sebagai fasilitator, bukan sekadar informator. Teori konstruktivisme, misalnya, menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif yang membangun sendiri pengetahuannya. Dalam konteks ini, dosen dituntut menjadi pendamping intelektual, pembimbing proses berpikir kritis, dan perancang pengalaman belajar yang kaya makna. Dengan kata lain, dosen harus bertransformasi dari “pengajar” menjadi “arsitek pembelajaran”.
Baca juga: Evaluasi Dosen: Membangun Budaya Reflektif dalam Pendidikan dan Pengajaran
Perubahan tidak dimulai dari teknologi, melainkan dari paradigma. Dosen yang masih terpaku pada pendekatan ceramah satu arah mulai tertinggal dari kebutuhan zaman. Mahasiswa hari ini membutuhkan ruang dialog, kolaborasi, dan refleksi.
Mahasiswa tidak sekadar ingin “diberi tahu”, tetapi ingin diajak mengeksplorasi, mempertanyakan, bahkan menantang konsep-konsep yang diajarkan.
Peran dosen pun berubah menjadi fasilitator proses berpikir, bukan penentu jawaban.
Perubahan peran ini juga menuntut kompetensi pedagogis yang kuat. Mengajar tidak lagi cukup bermodal penguasaan materi, tetapi juga kemampuan membangun relasi edukatif, merancang asesmen otentik, dan mengintegrasikan teknologi secara efektif. Teori motivasi belajar seperti Self-Determination Theory (Deci & Ryan) menekankan pentingnya otonomi, keterhubungan, dan kompetensi dalam membangun motivasi intrinsik. Dosen abad 21 perlu memahami itu, agar proses belajar benar-benar hidup dan bermakna. Tiga Elemen Kunci dalam SDT (Self-Determination Theory):
Baca juga: Ketika Dosen dan Staf Gagal Paham SPMI, Siapa yang Bertanggung Jawab?
Mahasiswa masa kini datang dengan karakteristik yang berbeda. Mereka adalah digital native, terbiasa belajar dari berbagai sumber dan lebih tertarik pada konteks nyata ketimbang hafalan teoritis.
Maka, dosen tidak lagi berdiri di menara gading. Mereka harus turun menjadi mitra belajar yang terbuka, pendidik, adaptif, dan mampu mengelola dinamika kelas yang lebih cair.
Hubungan dosen-mahasiswa menjadi lebih dialogis dan setara, meskipun tetap dengan tanggung jawab akademik yang tegas.
Dalam relasi seperti ini, peran dosen meluas: bukan hanya mengajar, tetapi juga membimbing penelitian, memfasilitasi proyek sosial, bahkan membantu mahasiswa merancang jalur karier. Proses pembelajaran pun tidak lagi eksklusif dalam ruang kelas. Kolaborasi lintas kampus, magang industri, atau proyek berbasis komunitas menjadi bagian dari desain pembelajaran. Semua ini membutuhkan kehadiran dosen yang transformatif, yang mampu menjembatani dunia akademik dan dunia nyata.
Baca juga: Rahasia Kampus Unggul: Mereka Punya Standar Lulusan yang Jelas
Reposisi peran dosen tentu tidak bisa berjalan sendiri. Ia membutuhkan sistem yang mendukung, salah satunya adalah Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI).
Dalam regulasi terbaru, Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, SPMI menjadi instrumen wajib bagi setiap perguruan tinggi untuk memastikan bahwa seluruh proses pendidikan—including transformasi peran dosen—berjalan sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan dan ditingkatkan secara berkelanjutan.
Melalui SPMI, dosen tidak hanya menjalankan tugas ajar, tetapi juga terlibat dalam proses evaluasi dan peningkatan mutu secara sistematis. Ini berarti ada ruang untuk refleksi: apakah metode yang digunakan efektif? Apakah mahasiswa benar-benar belajar? Bagaimana hasil belajar diukur dan digunakan untuk perbaikan? Dengan pendekatan ini, kualitas pembelajaran tidak hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi bagian dari budaya institusional.
Baca juga: Mengapa Standar Pengelolaan Harus Merata Hingga ke Prodi
Salah satu kekuatan utama SPMI adalah kerangka PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan. Dalam konteks peran dosen, PPEPP menjadi alat untuk menilai dan memperbaiki praktik mengajar secara berkelanjutan. Ini selaras dengan semangat kaizen, yakni filosofi Jepang tentang perbaikan terus-menerus yang dilakukan langkah demi langkah.
Dosen tidak perlu langsung menjadi sempurna, tetapi dituntut untuk selalu lebih baik dari kemarin.
Misalnya, setelah pelaksanaan perkuliahan, dosen dapat melakukan evaluasi berbasis umpan balik mahasiswa, hasil asesmen, atau refleksi pribadi. Hasil evaluasi itu kemudian menjadi dasar untuk mengendalikan dan memperbaiki pendekatan di pertemuan berikutnya. Ini bukan hanya memenuhi regulasi, tetapi menjadi praktik reflektif yang memperkuat kompetensi pedagogis dan kepedulian terhadap pengalaman belajar mahasiswa.
Baca juga: Kunci Mutu Prodi: Saatnya SDM Pengelola Naik Level!
Era pendidikan tinggi abad 21 menuntut lebih dari sekadar perubahan kurikulum atau teknologi. Ia menuntut perubahan cara pandang: bahwa dosen bukan sekadar pengajar, tetapi pembelajar, pendidik, inovator, dan pemimpin transformasi akademik.
Reposisi peran dosen bukan agenda temporer, melainkan keharusan struktural untuk menjawab tantangan zaman.
Dengan dukungan sistem mutu seperti SPMI dan alat evaluasi seperti PPEPP, dosen memiliki fondasi dan arah untuk bertumbuh secara profesional. Karena sejatinya, pendidikan bermutu dimulai dari pembelajaran yang bermakna—dan pembelajaran bermakna dimulai dari dosen yang berdaya dan berjiwa belajar. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Amran, seorang lulusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir dari UIN, merasa percaya diri saat menyelesaikan kuliahnya. Ia aktif berdiskusi, paham banyak teori, dan bahkan lulus tepat waktu. Namun, rasa percaya diri itu perlahan memudar saat ia terjun ke dunia nyata.
Di tengah derasnya persaingan kerja, Amran menyadari satu hal: ia bingung harus melangkah ke mana. Pengetahuannya memang dalam, tapi keterampilannya minim.
Ia tidak tahu harus menawarkan apa ke pasar kerja, selain ijazah dan semangat belajar.
Cerita seperti Amran bukan hal yang asing. Banyak lulusan, terutama dari program studi keagamaan, merasa bingung begitu keluar dari kampus. Di sinilah kita perlu mulai bertanya secara jujur—apakah Standar Kompetensi Lulusan (SKL) kita selama ini cukup tajam dan relevan? Apakah SKL hanya menargetkan pemahaman kognitif, ataukah juga merangkul keterampilan nyata (psikomotorik) yang dibutuhkan di era kerja yang penuh gejolak ini (disrupsi)?
Baca juga: Lulus Kuliah, Tapi Nggak Siap Kerja? Mungkin Standar Kompetensinya Bermasalah!
Dalam manajemen pendidikan, teori Ralph Tyler yang menekankan curriculum as planned learning experiences mengingatkan kita bahwa kurikulum seharusnya disusun berdasarkan kebutuhan peserta didik dan tujuan pendidikan.
Namun, dikhawatirkan kampus masih terjebak pada paradigma lama: kuliah adalah tempat mentransfer teori, bukan menyiapkan manusia untuk hidup di dunia nyata.
Ini menjadi problem mendasar ketika SKL disusun hanya sebagai dokumen formal—dengan rumusan ideal, tapi tanpa keterhubungan dengan dunia kerja, keterampilan abad 21, atau kebutuhan spesifik lulusan.
Lulusan paham isi ayat kitab suci, tapi tak bisa membuat konten dakwah digital. Lulusan menguasai teori tafsir, tapi tak bisa mengelola program pengembangan masyarakat berbasis masjid.
Ketika lulusan keagamaan tidak bisa menjawab pertanyaan “apa kompetensi saya?”, maka kita sebagai institusi juga perlu bertanya: “apa yang sebenarnya sudah kita rumuskan dalam SKL mereka?”
Baca juga: Merancang Capaian Pembelajaran Abad 21: Kunci SKL yang Adaptif dan Visioner
Dalam konteks pendidikan tinggi modern, SKL tidak boleh berhenti pada rumusan sikap, pengetahuan, dan keterampilan generik. Merujuk pada Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 dan Pedoman Implementasi SPMI 2024, SKL seharusnya menjadi peta jalan yang menyatukan misi kampus, kebutuhan dunia kerja, serta karakter khas prodi. Dengan demikian, SKL bisa menjelma sebagai jembatan antara “nilai-nilai luhur” dalam kelas dengan “kemampuan bertahan hidup” di luar kampus.
Era VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous) dan BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, Incomprehensible) menuntut lulusan yang reflektif, adaptif, dan mampu menghidupi nilai-nilai ilmunya secara kontekstual.
SKL yang dirumuskan dengan mendalam—melibatkan dunia usaha, dunia industri, bahkan tokoh masyarakat—akan membantu lulusan melihat di mana perannya di tengah masyarakat, bukan hanya di ruang kelas.
Baca juga: Bukan Copy-Paste! Begini Cara Bikin Standar Kompetensi Lulusan yang Tajam dan Relevan
Solusi sistemiknya? Jawabannya bukan hanya revisi kurikulum, tapi penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) yang benar-benar dijalankan sesuai regulasi.
SPMI memberi ruang bagi kampus untuk merefleksikan capaian lulusan, memperkuat sinergi dosen-prodi-alumni, dan mendesain pengalaman belajar yang otentik. Seperti tertuang dalam buku pedoman SPMI 2024, kampus harus berani menjalankan PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) secara konsisten untuk mewujudkan SKL sebagai alat ukur yang hidup, bukan sekadar arsip akreditasi.
Setiap tahap PPEPP membuka ruang untuk mendengar: apakah mahasiswa merasa siap? Apakah alumni merasa kompetensinya nyambung dengan pekerjaannya sekarang? Apakah dosen punya ruang untuk menyesuaikan metode ajarnya? Inilah yang disebut “kaizen” dalam konteks mutu kampus: perbaikan terus-menerus yang tumbuh dari dalam, bukan karena desakan luar.
Baca juga: SPMI dan Ironi Lulusan Menganggur: Mutu di Atas Kertas, Bukan di Lapangan?
Kisah Amran bukan sekadar kritik pada kurikulum keagamaan. Ini adalah cermin bagi semua kampus.
Bahwa lulusan yang gagap melangkah bukan hanya gagal sendiri, tapi juga membawa pesan tentang sistem yang perlu dibenahi.
Pendidikan tinggi tak boleh puas meluluskan orang pintar teori, tapi perlu membekali mereka agar bisa hidup, bekerja, dan berkontribusi di tengah masyarakat yang berubah cepat.
Saatnya SKL disusun bukan dari ruang rapat saja, tapi dari hasil mendengar, berdialog, dan memahami arah hidup para mahasiswa. Dengan SPMI yang dijalankan secara menyeluruh, dan PPEPP yang aktif, kampus-kampus keagamaan bisa kembali menjadi tempat lahirnya lulusan yang tak hanya tahu apa itu kebenaran—tapi juga mampu menyampaikannya dengan cara yang relevan dan membumi. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Dalam dinamika perguruan tinggi masa kini, tuntutan terhadap peningkatan mutu pendidikan semakin kompleks. Berbagai regulasi nasional seperti Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 telah mengarahkan institusi pendidikan tinggi untuk membangun sistem penjaminan mutu yang sistematis, terencana, dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, Gugus Kendali Mutu (GKM) seharusnya memainkan peran penting sebagai elemen penggerak mutu di tingkat unit kerja seperti fakultas dan program studi. Sayangnya, di banyak institusi, peran strategis GKM belum benar-benar terwujud.
Banyak GKM masih terjebak dalam rutinitas administratif. Alih-alih menjadi penggerak perubahan, keberadaan GKM sering kali sebatas pengisi laporan mutu tahunan atau pelengkap saat audit dan akreditasi berlangsung.
Kondisi ini memperlihatkan adanya persoalan mendasar: ketidakjelasan struktur dan wewenang yang menyebabkan GKM berjalan tanpa arah yang kuat. Akibatnya, potensi GKM sebagai mitra transformasi mutu justru melemah di saat lembaga sangat membutuhkannya.
Baca juga: Mutu, Otonomi, dan Kepercayaan: Menata Ulang Relasi Negara dan Kampus
Di banyak perguruan tinggi, GKM dibentuk secara formal, namun tidak diikuti oleh kejelasan posisi dalam struktur organisasi.
GKM seolah berada dalam “wilayah abu-abu”—mereka tidak sepenuhnya otonom, sehingga kurang memiliki kuasa yang cukup untuk mendorong perubahan.
Dalam beberapa kasus, GKM tidak dilibatkan dalam penyusunan program strategis fakultas, padahal mereka memiliki data dan hasil evaluasi mutu yang berharga.
Menurut Ricky W. Griffin, struktur organisasi yang tidak jelas menciptakan kebingungan peran, memperlemah pengambilan keputusan, dan mengganggu efektivitas manajemen. Hal ini berimplikasi langsung pada disengagement anggota GKM, di mana mereka merasa tugasnya tidak berdampak nyata. Dalam perspektif Stephen Robbins, ini adalah bentuk dari disonansi peran, yang akan berdampak pada penurunan motivasi dan semangat kerja. Maka tak heran jika banyak GKM bekerja dalam mode bertahan, bukan mode tumbuh.
Baca juga: Mengapa Standar Pengelolaan Harus Merata Hingga ke Prodi
Harapan terhadap GKM untuk menjadi motor mutu kerap tidak diimbangi dengan sumber daya yang memadai. Tanpa pelatihan, pendampingan, dan pengakuan institusional, GKM cenderung bekerja secara reaktif.
Bahkan dalam beberapa fakultas, GKM hanya aktif saat diminta mengisi borang atau saat menghadapi asesmen eksternal.
Hal ini berbanding terbalik dengan semangat Total Quality Management (TQM) yang seharusnya tumbuh subur dalam sistem manajemen mutu perguruan tinggi.
Padahal, di dalam kerangka Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), GKM memiliki ruang besar untuk berperan. SPMI dirancang sebagai sistem mutu otonom yang sesuai dengan regulasi nasional. Ia memberi ruang bagi setiap unit untuk mengelola mutu secara kontekstual, berakar dari kebutuhan internal, dan mengarah pada perbaikan berkelanjutan.
Dalam konteks ini, GKM seharusnya menjadi jantung dari siklus mutu di tingkat program studi dan fakultas, bukan hanya sebagai pelengkap “penderita”.
Baca juga: Kunci Mutu Prodi: Saatnya SDM Pengelola Naik Level!
Salah satu kekuatan utama dari SPMI adalah keberadaan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan). Jika dijalankan dengan benar, PPEPP adalah alat manajerial yang sangat kuat. Ia bukan hanya sistematika kerja, tetapi juga cerminan dari prinsip kaizen—konsep perbaikan terus-menerus yang menjadi jiwa dari TQM. GKM memiliki peran penting dalam memastikan PPEPP benar-benar hidup dan dinamis di unit kerja masing-masing.
Namun realitasnya, PPEPP sering kali hanya dijalankan secara simbolik. Penetapan dan pelaksanaan berlangsung, tetapi evaluasi, pengendalian, dan peningkatan sering terlewat atau minim tindak lanjut. Ini terjadi karena GKM belum sepenuhnya diberdayakan untuk mendampingi pelaksanaan PPEPP secara menyeluruh.
Jika GKM diberikan kewenangan dan dukungan yang cukup, maka siklus PPEPP bisa menjadi alat perubahan yang konkret—bukan sekadar retorika dalam dokumen mutu.
Baca juga: Bukan Copy-Paste! Begini Cara Bikin Standar Kompetensi Lulusan yang Tajam dan Relevan
Agar GKM tidak terus berada di persimpangan peran, dibutuhkan intervensi strategis dari pimpinan perguruan tinggi. Pertama, perlu dibuat regulasi internal yang jelas mengenai kedudukan, wewenang, dan mekanisme kerja GKM, termasuk hubungan koordinatif dan fungsional dengan LPM dan pimpinan unit. Kedua, anggota GKM perlu diberikan pelatihan kompetensi mutu secara berkala, agar memiliki bekal untuk menjadi fasilitator, konsultan, sekaligus pendorong perubahan.
Selain itu, penting juga bagi institusi untuk menciptakan budaya organisasi yang menghargai suara GKM. Rekomendasi yang dihasilkan GKM sebaiknya dibahas dalam forum strategis seperti rapat pimpinan fakultas.
Dengan begitu, hasil evaluasi tidak hanya berhenti di laporan, tetapi menjadi dasar dalam pengambilan keputusan akademik dan manajerial. GKM pun akan merasakan bahwa peran mereka bermakna dan berdampak, sesuai dengan semangat partisipatif dalam pengelolaan mutu.
Baca juga: Kebijakan SPMI: Blueprint Masa Depan Kampus yang Sering Diabaikan
GKM tidak boleh dibiarkan terombang-ambing antara harapan dan kenyataan. Mereka harus diposisikan secara tegas sebagai mitra strategis dalam sistem penjaminan mutu internal, bukan sekadar pelengkap administratif.
Untuk itu, perguruan tinggi perlu mengubah cara pandang terhadap GKM, dari unit teknis menjadi pilar transformasi.
Dengan penguatan kelembagaan, peningkatan kompetensi, serta integrasi yang kuat dalam struktur pengambilan keputusan, GKM akan mampu menjalankan perannya sebagai pengawal mutu yang sesungguhnya. Dalam ekosistem SPMI yang sehat, ditopang oleh siklus PPEPP yang hidup, GKM bisa menjadi ujung tombak kaizen di ruang-ruang akademik. Dan ketika itu terjadi, mutu bukan hanya slogan, tapi kenyataan yang bisa dirasakan oleh seluruh sivitas kampus. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Disclaimer:
“Tulisan ini disusun dalam dua semangat berbeda: pertama, sebagai inspirasi teknis bagi rekan-rekan kampus yang harus tetap menjalankan regulasi; lihat blog Inspirasi SPMI, kedua, sebagai masukan kritis apabila ruang revisi kebijakan masih terbuka. Kritik bukan berarti menolak mutu, tapi menuntut sistem yang lebih sehat.”
Dalam diskusi mengenai penjaminan mutu pendidikan tinggi, terdapat satu pertanyaan penting yang perlu dikedepankan: sampai sejauh mana negara percaya kepada kampus? Pertanyaan ini tidak bersifat provokatif, melainkan reflektif—menyentuh pada relasi antara negara sebagai penjamin kepentingan publik dan perguruan tinggi sebagai pemegang mandat otonomi akademik.
Semangat untuk menjaga mutu tentu tidak perlu dipertentangkan, namun cara kita menata hubungan antaraktor justru menentukan bagaimana mutu itu bisa tumbuh secara sehat.
Regulasi terbaru seperti Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 hadir dengan tekad untuk memperkuat sistem mutu. Namun dalam pelaksanaannya, muncul kegelisahan bahwa pengaturan yang sangat teknis bisa berpotensi membatasi ruang kreatif dan reflektif kampus. Ketika perangkat mutu sudah ditentukan format dan siklusnya, maka yang berkembang bukan sistem mutu berbasis nilai dan kebutuhan institusi, melainkan sistem pelaporan administratif yang seragam.
Baca juga: Mutu yang Tumbuh dari Dalam: Pelajaran Global dan Refleksi atas Permendikbudristek 53/2023
Salah satu perdebatan yang muncul dari regulasi ini adalah kewajiban menjalankan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) melalui model PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan. Model ini pada dasarnya adalah adaptasi dari pendekatan PDCA (Plan-Do-Check-Act) dalam manajemen mutu.
Namun dalam implementasi, PPEPP sering kali tidak diterjemahkan sebagai siklus hidup yang dinamis, melainkan sebagai dokumen yang harus diisi dalam lima bagian sesuai urutan.
Kondisi ini membuat banyak kampus menjalankan proses mutu sekadar untuk memenuhi kewajiban, bukan sebagai ruang refleksi yang mendorong perbaikan berkelanjutan. Di sinilah muncul dilema: ketika mutu diperlakukan sebagai urusan teknis yang harus dikendalikan dari luar, institusi kehilangan insentif untuk membangun kesadaran internal. Dalam teori administrasi publik modern, Denhardt dan Denhardt (2007) menyebut bahwa fungsi pemerintah seharusnya bukan sekadar steering (mengendalikan arah), melainkan serving (memfasilitasi dan memberdayakan). Prinsip ini penting untuk direnungkan kembali dalam konteks kebijakan mutu kita.
Baca juga: Mengapa Standar Pengelolaan Harus Merata Hingga ke Prodi
Penting untuk melakukan benchmarking digital guna mencari inspirasi menata ulang pendekatan penjaminan mutu.
Universitas kelas dunia seperti Oxford, NUS, atau Harvard memiliki satu kesamaan penting: kebebasan untuk membentuk sistem mutu internal yang selaras dengan karakter organisasinya.
Mereka tetap tunduk pada kerangka akreditasi nasional atau regional, tetapi diberi kewenangan untuk menetapkan instrumen, model siklus, dan mekanisme refleksi yang sesuai dengan kondisi lokal.
Di NUS, misalnya, sistem mutu dikembangkan dalam kerangka Quality Assurance Framework for Universities (QAFU) yang memberi pedoman tetapi tidak mendikte. Sementara Oxford mengembangkan kerangka QA berbasis fakultas yang disesuaikan dengan budaya dan konteks keilmuannya. Hal ini menunjukkan bahwa akuntabilitas bisa tetap terjaga tanpa harus mengorbankan kemandirian institusi. Justru dari kepercayaan itulah, muncul sistem mutu yang lebih kontekstual dan bertanggung jawab.
Baca juga: Kunci Mutu Prodi: Saatnya SDM Pengelola Naik Level!
Dalam semangat tersebut, mungkin sudah saatnya kita membuka ruang dialog untuk meninjau ulang aspek-aspek teknis dari regulasi mutu yang berlaku saat ini. Revisi bukanlah bentuk penolakan, melainkan upaya untuk menyelaraskan semangat kebijakan dengan praktik lapangan.
Misalnya, ketimbang mewajibkan satu siklus seperti PPEPP, regulasi bisa membuka pilihan bagi kampus untuk menggunakan kerangka lain yang setara secara filosofis dan fungsional.
Seperti misalnya: PDCA / Deming Cycle – Plan, Do, Check, Act, PDSA – Plan, Do, Study, Act (versi lain dari PDCA), DMAIC – Define, Measure, Analyze, Improve, Control (Six Sigma), DMAIC – Balanced Scorecard (BSC), POAC – Planning, Organizing, Actuating, Controlling, POLC – Planning, Organizing, Leading, Controlling, Agile Management, dan lain sebagainya. Termasuk kemungkinan untuk mengembangkan model inovasi sendiri atau pemakaian sistem mutu internal berbasis kearifan lokal yang tumbuh subur di daerah setempat.
Demikian pula dengan perangkat dan format pelaporan, alangkah lebih sehat jika disusun sebagai pedoman terbuka yang dapat dimodifikasi. Setiap kampus bisa menunjukkan proses penjaminan mutunya dengan cara yang berbeda, selama prinsip perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan peningkatan tetap dijalankan. Ketika diberikan ruang seperti ini, kampus akan lebih terdorong untuk membangun sistem mutu yang dimiliki bersama, bukan yang sekadar ditaati.
Baca juga: Transformasi Mutu Kampus Melalui Benchmarking Digital: Mungkinkah?
Mutu, otonomi, dan kepercayaan bukanlah konsep yang saling bertentangan. Ketiganya justru saling memperkuat apabila ditempatkan dalam relasi yang sehat. Negara tetap memiliki peran strategis untuk menjaga standar dan menjamin keadilan dalam sistem pendidikan tinggi. Namun dalam menjalankan peran itu, negara juga perlu memberi ruang kepada kampus untuk tumbuh dengan kekhasannya sendiri.
Ketika perguruan tinggi dipercaya, mereka akan menunjukkan tanggung jawab. Ketika diberi ruang, mereka akan tumbuh.
Maka tugas kebijakan publik bukan untuk mengatur setiap langkah, melainkan untuk membuka jalan dan menemani perjalanan itu. Mungkin di sanalah kita bisa mulai menata ulang relasi antara negara dan kampus—dari relasi kendali, menuju relasi kepercayaan. Stay Relevant!
Kategori: Administrasi Publik, Benchmarking, Internasional
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Disclaimer:
“Tulisan ini disusun dalam dua semangat berbeda: pertama, sebagai inspirasi teknis bagi rekan-rekan kampus yang harus tetap menjalankan regulasi; lihat blog Inspirasi SPMI, kedua, sebagai masukan kritis apabila ruang revisi kebijakan masih terbuka. Kritik bukan berarti menolak mutu, tapi menuntut sistem yang lebih sehat.”
Ketika berbicara tentang mutu pendidikan tinggi, kita sering kali terburu-buru mencari format, instrumen, atau sistem yang bisa langsung diadopsi. Namun, jika kita melihat ke kampus-kampus terbaik di dunia seperti Harvard, MIT, Oxford, dan NUS, yang tampak justru bukan keseragaman bentuk, melainkan keluwesan sistem. Mereka tidak menjadikan mutu sebagai soal kepatuhan administratif, tetapi sebagai bagian dari budaya berpikir, berdiskusi, dan terus bertumbuh.
Di tengah arus regulasi mutu yang masih terasa teknis dan rinci, melakukan benchmarking digital ke kampus-kampus besar dunia membuka mata bahwa penjaminan mutu tidak selalu harus kaku.
Justru, semakin tinggi reputasi sebuah institusi, semakin longgar sistemnya terlihat di permukaan. Tapi jangan salah, kelonggaran itu bukan kelemahan, melainkan cermin dari kedewasaan manajerial dan kuatnya budaya akademik yang menopang sistem tersebut dari dalam.
Universitas seperti NUS di Singapura, sejak menjadi universitas otonom pada tahun 2006, mengembangkan sistem mutu internal yang kontekstual. Mereka mengikuti kerangka nasional QAFU, tetapi diberi keleluasaan penuh untuk menentukan bagaimana standar, proses evaluasi, dan tindak lanjutnya dilakukan (MOE Singapore, 2006). Siklus PDCA digunakan sebagai filosofi umum manajemen mutu, namun tidak diwajibkan dalam bentuk format yang kaku.
MIT dan Harvard, misalnya, menjalankan akreditasi melalui badan regional NECHE, namun tetap bebas membangun sistem mutu internal.
Fokus utama mereka bukan pada dokumentasi administratif, melainkan pada refleksi institusional melalui umpan balik mahasiswa, diskusi akademik, dan evaluasi lintas unit. Seperti yang dikemukakan Deming (1986), mutu sejati adalah hasil dari pembelajaran terus-menerus, bukan kepatuhan sesaat terhadap indikator atau target jangka pendek.
Oxford University memiliki sistem penjaminan mutu yang kuat tetapi tidak seragam. Setiap fakultas memiliki otonomi dalam menyusun proses refleksi dan pengendalian mutu sesuai dengan kebutuhan keilmuannya masing-masing.
Prinsip dasar yang dianut adalah transparansi, kolaborasi, dan kemampuan untuk menyesuaikan sistem dengan perubahan konteks akademik dan sosial (QAA UK, 2022).
Di Harvard, sistem QA dikembangkan secara desentralistik, dengan unit-unit seperti Harvard Business School atau School of Public Health membentuk kerangka mutu internal mereka sendiri. Masing-masing menjalankan siklus evaluasi dan peningkatan mutu yang tidak dibatasi oleh template formal. Ini sejalan dengan pendekatan total quality yang menekankan kualitas sebagai bagian dari budaya kerja, bukan sebagai aktivitas yang berdiri sendiri (Goetsch & Davis, 2014).
Salah satu ciri khas sistem mutu di kampus top dunia adalah adanya kepemilikan bersama. Mutu bukan hanya menjadi tugas unit penjaminan mutu, tetapi menjadi komitmen kolektif seluruh sivitas akademika.
Mahasiswa dilibatkan dalam penyusunan kebijakan akademik, dosen menjadi aktor utama dalam evaluasi dan pengembangan, dan pimpinan memfasilitasi proses refleksi ini secara strategis (Yukl, 2010; Goetsch & Davis, 2014).
Dalam kerangka manajemen, pendekatan ini merupakan integrasi antara POLC (fungsi manajemen: Planning, Organizing, Leading, Controlling) dan PDCA (siklus Plan, Do, Check, Act). Griffin (2022) menyebut bahwa perencanaan strategis dan siklus pengendalian adalah dua sisi dari koin yang sama—yang satu membentuk struktur, yang lain menghidupkannya.
Apa yang kita pelajari dari kampus-kampus dunia adalah bahwa mutu tumbuh dari partisipasi dan refleksi, bukan dari kepatuhan administratif semata. Dalam konteks Indonesia, Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 masih membawa semangat pengaturan yang sangat teknis.
Kewajiban penggunaan format PPEPP dan perangkat mutu yang seragam dikhawatirkan berisiko mengkerdilkan otonomi kampus dan menggeser fokus mutu dari budaya menjadi borang.
Menurut Denhardt & Denhardt (2007), dalam administrasi publik modern, peran pemerintah bukan lagi sebagai pengatur (steering), tetapi sebagai fasilitator (serving, not steering). Prinsip ini seharusnya menjadi pijakan dalam merancang regulasi mutu pendidikan tinggi. Pemerintah perlu memberi kerangka umum dan indikator dasar, namun membiarkan institusi menentukan jalannya sendiri. Ketika otonomi tumbuh, akuntabilitas justru menguat dari dalam.
Sebagai masukan terhadap Permen 53/2023, pendekatan yang lebih fleksibel dan kontekstual sangat dibutuhkan. Sistem mutu internal seharusnya memungkinkan variasi metodologi, istilah, dan instrumen, asalkan memenuhi prinsip evaluasi dan peningkatan berkelanjutan. Negara tidak perlu mengatur cara berpikir kampus, cukup menetapkan hasil yang ingin dicapai dan membuka ruang dialog.
Belajar dari kampus dunia tidak berarti menyalin. Yang kita petik adalah semangatnya: membangun mutu yang tumbuh dari refleksi dan keterlibatan, bukan dari pemenuhan administratif semata. Mutu yang luwes justru lebih kuat, karena ia terhubung dengan kenyataan di dalam institusi, bukan hanya ekspektasi dari luar.
Kita tidak harus menjadi Oxford, Harvard atau MIT. Tapi kita bisa menanamkan prinsip yang sama: bahwa mutu sejati tumbuh dari rasa memiliki, dari refleksi yang jujur, dan dari kepercayaan bahwa setiap kampus tahu cara terbaik untuk berkembang.
Benchmarking bukanlah tentang meniru angka, tetapi memahami napas dari sistem yang hidup dan berkembang dalam ritme mereka sendiri – dengan irama mutu yang tumbuh dari dalam. Stay Relevant!
Kategori: Administrasi Publik, Benchmarking, Internasional
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Di banyak perguruan tinggi, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) sering kali hanya dipahami sebagai tumpukan dokumen yang harus dipenuhi untuk keperluan akreditasi. Formatnya dipatuhi, isinya dilengkapi, tetapi semangat dasarnya sering luput dari perhatian: bahwa SPMI bukanlah sekadar formalitas, melainkan strategi manajemen mutu yang dirancang untuk menciptakan keunggulan institusional secara berkelanjutan.
Dalam konteks regulasi nasional, khususnya Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, SPMI menjadi bagian yang tak terpisahkan dari manajemen perguruan tinggi.
Namun esensinya jauh melampaui kepatuhan administratif. Ia adalah platform yang memberi ruang bagi organisasi untuk menata proses kerja, membangun budaya mutu, dan menciptakan perubahan yang nyata. Di sinilah empat perangkat SPMI memainkan peran penting—mereka bukan sekadar dokumen, melainkan pengungkit strategis.
Baca juga: Kebijakan SPMI: Blueprint Masa Depan Kampus yang Sering Diabaikan
Perangkat pertama dan paling mendasar adalah “Kebijakan SPMI”. Dokumen ini bukan hanya pernyataan niat, melainkan arah strategis mutu yang disepakati oleh pimpinan tertinggi perguruan tinggi.
Dokumen Kebijakan SPMI mengandung prinsip-prinsip dasar, nilai, serta komitmen institusi dalam membangun budaya mutu yang terstruktur dan sistematis. Dalam perspektif manajemen modern seperti dikemukakan Griffin, kebijakan yang jelas adalah pondasi dari fungsi manajerial pertama: perencanaan.
Kebijakan SPMI idealnya lahir dari kesadaran akan posisi strategis institusi (diferensiasi misi) di tengah ekosistem pendidikan tinggi. Ia menjadi kompas yang memandu penyusunan standar dan proses mutu. Tanpa arah yang jelas, sistem mutu akan mudah terjebak pada pendekatan reaktif—sekadar menjawab tuntutan luar, tanpa membangun kekuatan dari dalam.
Baca juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik
Perangkat kedua adalah “Pedoman Penerapan Siklus PPEPP“—yang menjabarkan proses Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan. Di sinilah filosofi kaizen atau perbaikan berkelanjutan hidup dalam konteks pendidikan tinggi. Siklus ini bukan hanya prosedur administratif, melainkan instrumen strategis untuk memastikan mutu tidak stagnan, melainkan terus berkembang seiring waktu.
Dalam teori manajemen, PPEPP berfungsi sebagai sistem kontrol internal yang dinamis. Seperti dijelaskan oleh Griffin dalam Fundamentals of Management, fungsi kontrol memungkinkan organisasi menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan (Era VUCA dan BANI), memperkecil kesalahan, dan mengarahkan sumber daya ke tujuan yang tepat.
Dengan PPEPP yang efektif, perguruan tinggi tak hanya bertahan, tetapi mampu memimpin perubahan secara proaktif.
Baca juga: PPEPP Bukan Beban, Tapi Solusi, Benarkah?
Perangkat ketiga, yaitu “Standar Mutu“, adalah bentuk konkret dari ekspektasi mutu dalam Tridharma perguruan tinggi. Standar ini mencakup kriteria masukan, proses, dan luaran yang harus dicapai oleh unit-unit kerja. Dalam konteks manajerial, standar berfungsi sebagai ukuran kinerja yang objektif—sebagaimana dijelaskan dalam kerangka pengendalian organisasi modern.
Standar mutu dalam SPMI bukan alat untuk menyeragamkan, melainkan fondasi untuk membangun keunikan institusi (diferensiasi misi).
Setiap perguruan tinggi diberi ruang untuk merumuskan standar berdasarkan karakter dan misi masing-masing. Ini sejalan dengan pendekatan kontingensi dalam manajemen, yang menekankan bahwa tidak ada satu solusi universal; strategi terbaik adalah yang paling sesuai dengan konteks spesifik organisasi.
Baca juga: Mission Differentiation: Rahasia Kampus Kecil Bisa Unggul di Tengah Kompetisi Nasional
Perangkat terakhir dalam SPMI sering kali dipahami hanya sebagai formulir, laporan, atau bukti-bukti administratif. Padahal, Tata Cara Pendokumentasian justru menjadi penghubung utama antara dokumen dan tindakan, antara rencana dan pembuktian. Di sinilah kerja mutu yang tak kasat mata menjadi nyata dan tertelusuri.
Dalam praktik terbaik manajemen mutu, sistem ini diwujudkan melalui Document Control Center (DCC).
DCC bukan sekadar tempat penyimpanan file atau folder digital; ia adalah mekanisme pengendalian dokumen yang memastikan semua informasi mutu—mulai dari kebijakan, standar, hingga bukti pelaksanaan—dikelola secara terstruktur, terkendali, dan terdokumentasi dengan baik.
DCC memainkan peran penting dalam menjamin bahwa dokumen yang digunakan di seluruh unit kerja adalah versi terbaru dan sah. Ini bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga soal integritas sistem mutu. Dalam konteks PPEPP sebagai alat kaizen, DCC memfasilitasi proses evaluasi dan pengendalian yang dapat ditindaklanjuti, karena semua informasi terdokumentasi dengan akurasi dan keterlacakan yang tinggi.
Menurut Griffin (2022), salah satu fungsi penting dalam sistem kontrol organisasi adalah kemampuannya untuk mengumpulkan, menganalisis, dan mengelola informasi guna mendukung pengambilan keputusan yang lebih baik.
DCC adalah wujud konkret dari fungsi tersebut dalam ranah SPMI. Dengan dukungan DCC, perguruan tinggi tidak hanya siap menghadapi audit eksternal atau akreditasi, tetapi juga lebih siap untuk mengelola perubahan dan memperbaiki diri secara berkelanjutan.
Baca juga: Revisi Dokumen Strategis Kampus: Mana yang Harus Diperbarui Lebih Dulu?
SPMI tidak bisa dipandang hanya sebagai serangkaian kewajiban administratif. Ia adalah sistem strategis, alat manajerial, dan budaya institusional yang berorientasi pada perbaikan terus-menerus.
Empat perangkat utama—kebijakan, pedoman siklus PPEPP, standar mutu, dan tata cara dokumentasi—bukan sekadar format, melainkan pilar utama yang menopang mutu dan masa depan sebuah kampus.
Dengan menjadikan PPEPP sebagai alat kaizen dan mendesain standar mutu yang kontekstual, serta mengimplementasikan DCC sebagai sistem kendali informasi, perguruan tinggi dapat menjawab tantangan era disrupsi dengan kepercayaan diri. Lebih dari itu, melalui implementasi SPMI yang tepat, kampus tak hanya memenuhi regulasi, tetapi juga menciptakan nilai baru yang berkelanjutan—bagi mahasiswa, dosen, masyarakat, dan bangsa. Stay Relevant!
Baca juga: SPMI Stagnan? Mungkin Program Pelatihan Terabaikan!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Evaluasi dosen selama ini masih sering dipahami sebagai kewajiban administratif belaka. Mahasiswa diminta mengisi kuesioner di akhir semester, lalu hasilnya dikompilasi dan dijadikan bahan laporan. Dalam banyak kasus, hasil evaluasi hanya menjadi angka statistik yang dilihat sekilas oleh pimpinan atau dosen, tanpa proses reflektif yang bermakna. Padahal, di balik praktik evaluasi yang terkesan rutin ini, tersembunyi potensi besar untuk mendorong transformasi dalam budaya pengajaran dan pengembangan profesional dosen.
Dalam konteks pendidikan tinggi yang berorientasi mutu, evaluasi dosen seharusnya tidak lagi dilihat sebagai instrumen pengawasan semata, melainkan sebagai cermin pembelajaran bersama.
Evaluasi bukan tentang menghakimi, melainkan memahami. Ia menjadi ruang untuk bertanya: apa yang sudah berhasil? Apa yang perlu diperbaiki? Dan bagaimana pengajaran bisa lebih bermakna bagi mahasiswa?
Inilah semangat evaluasi yang menciptakan budaya reflektif—budaya yang menempatkan dosen sebagai pembelajar sepanjang hayat.
Baca juga: Mengapa Standar Pengelolaan Harus Merata Hingga ke Prodi
Evaluasi dosen yang bermakna tidak cukup dilakukan hanya dengan menyebar kuesioner standar di akhir semester. Format semacam itu memang memiliki tempat dalam sistem mutu, tetapi tidak boleh menjadi satu-satunya bentuk umpan balik. Evaluasi sejati harus melibatkan proses refleksi dua arah: dari mahasiswa sebagai penerima manfaat langsung pembelajaran, dan dari dosen sendiri sebagai pelaksana proses akademik.
Evaluasi yang baik justru mendorong dosen untuk mengajukan pertanyaan kritis terhadap dirinya sendiri—tentang metode yang digunakan, respons mahasiswa, dan efektivitas pendekatan yang diterapkan.
Psikologi pembelajaran modern menggarisbawahi pentingnya umpan balik dalam proses belajar, baik bagi mahasiswa maupun pengajarnya. Dalam teori pembelajaran konstruktivis, seperti yang dikembangkan oleh Jerome Bruner dan John Dewey, proses belajar akan lebih kuat jika dilengkapi dengan refleksi terhadap pengalaman.
Menurut Dewey (1938), pengalaman tanpa refleksi adalah pengalaman yang tidak menghasilkan pembelajaran bermakna. Hal ini senada dengan pandangan Bruner (1960), bahwa pembelajaran efektif terjadi ketika peserta didik terlibat aktif dalam proses membangun makna dari pengalaman mereka.
Jika mahasiswa diharapkan belajar melalui refleksi, maka dosen pun harus berada dalam siklus pembelajaran yang sama—belajar dari pengalaman mengajar, dari dinamika kelas, dan dari suara mahasiswa. Evaluasi bukan akhir dari proses, tapi bagian dari siklus pembelajaran yang terus berkembang.
Baca juga: Bukan Copy-Paste! Begini Cara Bikin Standar Kompetensi Lulusan yang Tajam dan Relevan
Di dunia akademik, refleksi bukan sekadar kontemplasi pribadi, tetapi bagian dari tanggung jawab profesional. Seorang dosen tidak hanya mengajar untuk memenuhi beban SKS, melainkan untuk membentuk manusia pembelajar yang kritis, adaptif, dan bermakna bagi lingkungannya. Dalam konteks ini, evaluasi dosen dapat menjadi jembatan antara kompetensi pedagogik dan pertumbuhan profesional berkelanjutan.
Refleksi atas hasil evaluasi memungkinkan dosen melihat dirinya dari sudut pandang mahasiswa—dan ini membuka ruang untuk perubahan.
Dalam manajemen pendidikan, konsep continuous improvement atau perbaikan berkelanjutan menjadi prinsip dasar. Ini selaras dengan pemikiran bahwa mutu tidak akan pernah tercapai secara final, tetapi terus dibangun melalui siklus belajar dan perbaikan.
“Quality is a journey not a destination” – Quality Gurus
Ketika refleksi menjadi kebiasaan, maka evaluasi bukan lagi momen yang menegangkan, melainkan kesempatan untuk mengasah kepekaan pedagogis dan menyesuaikan pendekatan agar lebih kontekstual dan relevan dengan zaman.
Baca juga: Transformasi Mutu Kampus Melalui Benchmarking Digital: Mungkinkah?
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di lingkungan pendidikan tinggi hadir bukan sekadar untuk memeriksa kelengkapan dokumen, tetapi untuk memastikan bahwa proses pendidikan—termasuk evaluasi dosen—berjalan dalam bingkai mutu yang terukur dan dapat ditingkatkan.
Evaluasi dosen menjadi bagian penting dalam siklus mutu yang dicanangkan oleh SPMI karena dari sinilah kampus dapat melihat wajah sebenarnya dari proses belajar-mengajar yang terjadi di ruang kelas.
SPMI mengharuskan setiap unit kerja di perguruan tinggi, termasuk program studi, untuk melakukan evaluasi dan perbaikan berdasarkan data dan umpan balik yang valid. Evaluasi dosen tidak boleh berhenti di angka, tetapi harus menjadi titik awal untuk menyusun program pengembangan dosen, pembaruan metode pembelajaran, dan peningkatan hubungan dosen-mahasiswa. Jika SPMI dijalankan secara konsisten dan reflektif, maka evaluasi dosen bukan hanya menjadi indikator administratif, tetapi pendorong utama dalam pembentukan budaya akademik yang sehat dan dinamis.
Baca Juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik
Untuk menjadikan evaluasi dosen sebagai alat perbaikan nyata, perguruan tinggi perlu menjalankan siklus PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan.
Dalam konteks evaluasi dosen, ini berarti menetapkan standar kompetensi dan etika mengajar, melaksanakan proses evaluasi secara sistematis, menganalisis hasilnya, mengendalikan mutu melalui pelatihan atau mentoring, dan melakukan peningkatan berbasis refleksi.
Siklus PPEPP memberi struktur yang kuat untuk membangun budaya kaizen—yakni semangat perbaikan kecil yang dilakukan secara terus-menerus. Evaluasi dosen, ketika dilihat sebagai bagian dari siklus ini, akan menjadi salah satu elemen strategis dalam pengembangan mutu pendidikan secara menyeluruh. Institusi tidak hanya berorientasi pada hasil evaluasi sebagai angka, tapi lebih pada makna dan tindak lanjutnya. Di sinilah refleksi menjadi jembatan antara evaluasi dan transformasi.
Baca juga: Membumikan Strategi Kampus: Semua Unit Paham dan Bergerak Sesuai Arah
Evaluasi dosen yang bermakna tidak bisa dibangun dalam sistem yang hanya melihat angka statistik semata. Ia memerlukan semangat refleksi, ruang dialog, dan kemauan bersama untuk tumbuh. Di era ketika pembelajaran menuntut relevansi, inovasi, dan koneksi emosional antara pengajar dan peserta didik, budaya evaluasi juga harus berkembang. Evaluasi dosen harus menjadi bagian dari ekosistem belajar yang menumbuhkan kesadaran, bukan ketakutan.
Dengan menjalankan SPMI secara konsisten dan menerapkan PPEPP sebagai siklus penggerak mutu, perguruan tinggi dapat menumbuhkan budaya reflektif di kalangan dosen.
Evaluasi bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan profesional yang lebih matang, adaptif, dan berdampak. Karena sejatinya, dosen yang baik adalah mereka yang terus belajar—termasuk dari cermin evaluasi yang jujur dan membangun. Stay Relevant!
Baca juga: Mission Differentiation: Rahasia Kampus Kecil Bisa Unggul di Tengah Kompetisi Nasional
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi