
" Your Path to Quality Education "
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Setiap hari, bahkan dalam hitungan detik, dunia terus bergerak dalam kecepatan yang tak terduga. Kemajuan teknologi melesat pesat, lanskap industri terus berevolusi, dan pola pikir generasi muda mengalami perubahan yang begitu dinamis. Perguruan tinggi kini bukan sekadar ruang pembelajaran, tetapi juga menjadi pusat inovasi yang harus mampu beradaptasi dengan cepat. Di tengah derasnya arus perubahan ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah standar dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) yang kita gunakan masih relevan untuk menjaga kualitas pendidikan tinggi tetap unggul?
Di banyak kampus, standar SPMI kerap dipandang sebagai sekadar dokumen administratif yang ditetapkan sekali dan baru diperbarui setelah bertahun-tahun. Padahal, di era yang penuh gejolak ini, ekspektasi dunia kerja dan kebutuhan mahasiswa berkembang hampir setiap saat. Jika standar mutu tidak disesuaikan dengan perkembangan zaman, apa yang akan terjadi? Perguruan tinggi bukan hanya tertinggal, tetapi juga berisiko kehilangan relevansinya di tengah persaingan global yang semakin ketat.
Baca juga: PPEPP Bukan Beban, Tapi Solusi, Benarkah?
SPMI dirancang untuk memastikan bahwa mutu pendidikan tidak hanya terjaga, tetapi juga terus berkembang seiring waktu. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa masih ada perguruan tinggi yang tetap berpegang pada standar yang telah ditetapkan lima hingga sepuluh tahun lalu. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah standar SPMI yang dirancang sebelum era big data, kecerdasan buatan (AI), dan revolusi digital masih relevan? Jika dunia telah berubah begitu pesat, bagaimana mungkin standar lama mampu menjawab tantangan masa kini?
Beberapa perguruan tinggi masih menerapkan siklus peninjauan standar SPMI setiap lima tahun, menyesuaikan dengan periode perencanaan strategis (Renstra). Namun, dalam lingkungan yang bergerak dengan kecepatan luar biasa, rentang waktu ini terasa terlalu panjang. Bayangkan ketika teknologi AI berkembang dalam hitungan menit dan tren industri berubah setiap bulan, tetapi perguruan tinggi baru mengevaluasi kurikulumnya secara berkala setiap lima tahun. Kesenjangan ini berpotensi menciptakan gap besar antara kompetensi lulusan dengan tuntutan dunia usaha dan industri (DUDI), yang pada akhirnya dapat menghambat daya saing mereka di dunia kerja.
Baca juga: Kampus Impian: Seperti Apa Sarana dan Prasarana yang Ideal di Mata Mahasiswa?
Jika standar SPMI tidak diperbarui secara dinamis, dampaknya bisa sangat serius. Mahasiswa berisiko mengalami proses pembelajaran yang tidak lagi selaras dengan perkembangan industri, membuat mereka kurang siap menghadapi tantangan dunia kerja. Sementara itu, perguruan tinggi akan kesulitan mempertahankan daya saingnya, baik di tingkat nasional maupun global. Lulusan yang tidak dibekali keterampilan terkini akan menghadapi tantangan besar dalam memasuki dunia usaha dan industri yang terus berkembang.
Lebih jauh lagi, reputasi perguruan tinggi pun bisa terancam. Akreditasi unggul menjadi semakin sulit diraih jika standar mutu tidak diperbarui sesuai dengan kebutuhan zaman. Kampus yang lamban dalam menyesuaikan standar SPMI akan dipandang stagnan oleh calon mahasiswa, industri, dan pemangku kepentingan lainnya. Di era perubahan yang begitu cepat, perguruan tinggi tidak boleh tertinggal. Standar SPMI harus selalu berkembang dan mampu mengantisipasi tantangan masa depan agar institusi tetap relevan dan kompetitif.
Baca juga: SPMI di Era AI: Apakah Gaya Kepemimpinan Anda Siap Beradaptasi?
Solusi yang diperlukan bukan sekadar mempercepat revisi standar secara berkala, tetapi juga merombak paradigma dalam penetapan standar itu sendiri. Perguruan tinggi harus mulai mengadopsi model SPMI yang lebih fleksibel, adaptif, dan berbasis data. Alih-alih menunggu hingga lima tahun untuk melakukan pembaruan, evaluasi standar sebaiknya dilakukan minimal setiap tahun atau bahkan secara real-time dengan dukungan teknologi yang canggih.
Lebih dari itu, keterlibatan pemangku kepentingan harus ditingkatkan agar standar SPMI benar-benar mencerminkan kebutuhan dunia nyata. Dunia usaha dan industri (DUDI), mahasiswa, serta pakar teknologi harus menjadi bagian integral dalam proses penyusunan standar. Teknologi terus berkembang, DUDI selalu beradaptasi, dan pendidikan tinggi harus mampu meresponsnya dengan cepat dan tepat. Tanpa respons yang cerdas dan proaktif, perguruan tinggi berisiko kehilangan relevansinya di tengah perubahan yang tak terhindarkan.
Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat
Perlu dipahami bahwa SPMI bukan sekadar formalitas untuk memenuhi regulasi semata. Lebih dari itu, SPMI harus menjadi alat strategis yang benar-benar berfungsi dalam meningkatkan mutu pendidikan. Jika sebuah institusi ingin tetap relevan dan unggul, maka standar yang diterapkan harus selalu diperbarui, selaras dengan dinamika dan tren perkembangan zaman. Dunia terus bergerak maju, dan kita tidak bisa hanya diam di tempat.
Kini saatnya perguruan tinggi di Indonesia meninggalkan pendekatan birokratis yang kaku dan beralih ke sistem penjaminan mutu yang lebih fleksibel, adaptif, dan dinamis. Pendidikan tidak boleh terjebak dalam kebiasaan lama yang menghambat inovasi. Ingatlah, standar yang terus berkembang adalah standar yang benar-benar mampu menjamin masa depan. Tetap relevan, tetap maju!
Baca juga: Mutu Pendidikan Tinggi: Memahami Esensi dan Dampaknya
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Siklus Plan-Do-Check-Act (PDCA) telah lama populer sebagai pendekatan fundamental dalam sistem manajemen mutu. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Walter Shewhart dan kemudian dipopulerkan oleh W. Edwards Deming sebagai metode untuk mendorong perbaikan berkelanjutan (continuous improvement) di berbagai sektor, mulai dari manufaktur, bisnis jasa hingga layanan publik.
Sebagai sebuah siklus iteratif, PDCA memungkinkan organisasi untuk merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, dan memperbaiki proses secara efektif dan sistematis, sehingga meningkatkan efisiensi dan mutu secara berkelanjutan. Kesederhanaan strukturnya menjadikan PDCA sebagai alat manajemen yang fleksibel dan mudah diterapkan di berbagai industri.
Hingga saat ini, PDCA telah menjadi panduan populer dalam praktik manajemen mutu, termasuk di dunia pendidikan tinggi. Banyak perguruan tinggi menerapkan siklus ini untuk memastikan standar akademik terpenuhi serta layanan pendidikan berjalan optimal. Namun, sesungguhnya setiap negara memiliki tantangan, budaya dan kebutuhan yang berbeda dalam implementasi sistem mutu.
Indonesia, mengembangkan kebijakan tersendiri untuk penguatan mutu pendidikan. Undang-Undang Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012 memperkenalkan konsep PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar), yang dalam pandangan penulis sejalan dengan prinsip PDCA.
PPEPP menjadi langkah inovatif dalam sistem mutu pendidikan tinggi di Indonesia, menyesuaikan prinsip manajemen mutu dengan konteks budaya dan regulasi nasional yang lebih relevan. Dengan penggunaan Bahasa Indonesia, konsep PPEPP diharapkan lebih mudah diingat, dihafal dan dipraktikkan perguruan tinggi di Indonesia.
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) dikembangkan sebagai model penjaminan mutu yang dirancang khusus perguruan tinggi di Indonesia. Berdasarkan Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, PPEPP tidak hanya bertujuan memastikan perguruan tinggi memenuhi Standar Nasional Dikti (sebagai standar minimal), tetapi juga mendorong institusi untuk secara sistematis melampaui standar nasional. Dengan demikian, PPEPP menjadi tools untuk peningkatan mutu pendidikan tinggi yang berkelanjutan dan berdaya saing tinggi.
“Sebagai inovasi dalam penjaminan mutu, PPEPP mengadaptasi prinsip PDCA dengan memberikan penekanan lebih besar pada elemen Pengendalian (P) sebagai tahap yang berdiri sendiri, memastikan bahwa standar mutu diterapkan secara konsisten sebelum memasuki tahap peningkatan berkelanjutan.”
Jika PDCA menitikberatkan pada tindakan evaluasi (check) dan korektif (act) sebagai dasar perbaikan, PPEPP menegaskan bahwa pengendalian (P) merupakan langkah strategis untuk menjaga konsistensi mutu, sementara peningkatan (P) menjadi komitmen berkelanjutan dalam mendorong standar mutu, naik ke tingkat yang lebih tinggi.
Dengan struktur iterasi yang lebih eksplisit dan sistematis, PPEPP memungkinkan perguruan tinggi beradaptasi secara dinamis terhadap perbaikan kebijakan dan tantangan dalam dunia pendidikan. PPEPP diharapkan dapat menjadi model yang lebih kontekstual bagi ekosistem pendidikan tinggi di Indonesia.
Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier
PPEPP dan PDCA, secara prinsip memiliki struktur yang sama, yakni sebagai upaya perbaikan berkelanjutan (kaizen).
Penetapan (P) standar dalam PPEPP sejalan dengan tahap “Plan” dalam PDCA, di mana perguruan tinggi menyusun standar-standar dan target-target yang harus dicapai. Pelaksanaan (P) standar mencerminkan tahap “Do”, yaitu menjalankan kebijakan dan strategi untuk memenuhi standar yang telah ditetapkan, secara efektif dan efisien.
Evaluasi (E) dalam PPEPP memiliki fungsi yang sama dengan tahap “Check” dalam PDCA, di mana lembaga melakukan evaluasi (monitoring, audit, menilai), apakah pelaksanaan standar telah sesuai dengan perencanaan awal (standar yang telah ditetapkan sebelumnya). Pengendalian (P) dan peningkatan (P) standar dalam PPEPP dapat dikaitkan dengan tahap Act dalam PDCA, yang bertujuan untuk melakukan tindakan koreksi, korektif dan preventif, bila ada ketidaksesuaian (KTS) dilapangan.
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Meskipun PPEPP memiliki prinsip-prinsip yang sejalan dengan PDCA, terdapat beberapa perbedaan yang perlu diperhatikan.
Salah satu keunggulan PPEPP terletak pada keberadaan elemen pengendalian (P), yang diberikan porsi khusus sebagai tahap mandiri dalam siklusnya.
Dalam PDCA, pengendalian (P) sering kali melebur dalam proses evaluasi dan tindakan perbaikan, sedangkan dalam PPEPP, aspek ini diberikan ruang yang lebih luas dan strategis.
Selain itu, PPEPP menempatkan peningkatan (P) sebagai tahap akhir yang lebih eksplisit dan berorientasi pada strategi jangka panjang. Jika PDCA menekankan perbaikan sebagai bagian dari siklus yang berulang, PPEPP menegaskan bahwa peningkatan (P) standar, harus menjadi target utama yang terus diperjuangkan oleh perguruan tinggi. Pendekatan ini mencerminkan komitmen pendidikan tinggi di Indonesia untuk tidak hanya memenuhi standar nasional Dikti (minimal), namun juga harus bisa melampaui dan terus berkembang menuju pencapaian standar internasional.
Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI
PPEPP menunjukkan bahwa konsep PDCA dapat diadaptasi secara fleksibel dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia dengan menyesuaikan karakteristik serta budaya institusional yang unik.
Dengan menempatkan pengendalian (P) dan peningkatan (P) sebagai elemen utama, PPEPP menjadi model yang lebih terarah dan sesuai dengan dinamika pendidikan tinggi di Indonesia.
Pendekatan ini tidak hanya memastikan standar mutu terpenuhi, tetapi juga mendorong institusi untuk terus berkembang dan berinovasi secara berkelanjutan.
Bila terbuktif efektif dalam jangka panjang, PPEPP berpotensi menjadi inspirasi bagi pengembangan sistem penjaminan mutu di negara lain, terutama bagi mereka yang ingin membangun pendekatan yang lebih kontekstual dan selaras dengan karakter lokal. Kampus Anda ingin membuktikan? Stay Relevant!
Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Implementasi Siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar) sering kali dianggap rumit dan membebani, terutama oleh lembaga perguruan tinggi yang belum terbiasa menggunakannya.
Siklus ini sering dipersepsi sebagai beban tambahan yang tidak efisien, padahal PPEPP disusun dalam Undang-Undang no 12 tahun 2012 untuk memudahkan dan mengintegrasikan semua proses yang berhubungan dengan penjaminan mutu. Tantangan diduga terletak pada kurangnya pemahaman dan dukungan dari seluruh sivitas akademika, sehingga implementasinya dirasakan cukup berat.
Namun, jika dipahami, disosialisasikan dan dipraktikkan dengan tepat, PPEPP bukan sekadar prosedur administratif, namun sebuah solusi yang berpotensi untuk penguatan budaya kerja di perguruan tinggi. Siklus ini tidak hanya mendorong konsisten, namun juga membangun sistem kerja yang efisien dan berbasis pada peningkatan berkelanjutan. Dengan paradigma yang tepat, PPEPP dapat menjadi alat (tools) penting yang mendorong lembaga perguruan tinggi menuju mutu yang lebih baik secara menyeluruh.
Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?
Saat ini, menurut pengalaman penulis, masih banyak perguruan tinggi yang beranggapan bahwa PPEPP sebagai rangkaian proses yang birokratis dan sangat menyita waktu. Siklus PPEPP seperti evaluasi dan pengendalian sering kali dianggap sebagai tugas tambahan yang sulit dipraktikkan di tengah rutinitas pekerjaan sehari-hari.
Namun sebenarnya, jika dikelola dengan tepat, PPEPP bukanlah beban, melainkan solusi yang menyederhanakan proses kerja. Hal ini karena PPEPP dirancang untuk memberikan struktur yang jelas pada setiap aktivitas institusi, mulai dari penetapan hingga peningkatan standar. Dengan pendekatan ini, perguruan tinggi dapat mencegah kesalahan yang berulang melalui pengendalian yang sistematis dan menggunakan hasil evaluasi untuk melakukan peningkatan standar secara berkelanjutan.
Selain itu, PPEPP mendorong efisiensi melalui pemantauan (monitoring) rutin yang memastikan setiap langkah berjalan sesuai standar yang telah ditetapkan. Proses ini tidak hanya membantu organisasi bekerja lebih terorganisasi dan terukur, tetapi juga mengurangi beban pekerjaan di masa depan dengan mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah lebih awal. Dengan integrasi teknologi, seperti sistem manajemen mutu berbasis digital (sistem informasi manajemen), pelaksanaan PPEPP bahkan bisa dipermudah sehingga waktu dan sumber daya (resources) dapat dihemat tanpa mengurangi mutu pekerjaan.
Baca juga: Mutu Pendidikan Tinggi: Memahami Esensi dan Dampaknya
Kunci utama agar PPEPP tidak terasa memberatkan adalah melakukan sosialisasi secara komprehensif kepada seluruh internal stakeholder. Semua pihak, mulai dari pimpinan hingga staf, perlu memahami jobdesk dan peran mereka dalam siklus ini. Jika semua pihak memahami manfaat siklus ini, mereka akan lebih mudah berpartisipasi secara aktif.
Tips berikutnya adalah menyederhanakan proses PPEPP dengan pemanfaatan teknologi. Aplikasi berbasis dashboard atau platform digital dapat membantu melacakan dokumen pelaksanaan, evaluasi, dan pengendalian secara otomatis melalui fitur “search”. Dengan demikian, PPEPP tidak lagi dianggap sebagai proses manual yang menyita waktu, namun menjadi proses yang praktis, efisien dan menyenangkan.
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Agar PPEPP dapat menjadi budaya kerja, perguruan tinggi harus menjadikan siklus ini sebagai bagian dari kegiatan rutin manajemen.
Hal ini sejalan dengan Permendikbudristek no 53 tahun 2023 pasal 1 (b) yang berbunyi: “Perguruan tinggi dalam mengimplementasikan SPMI mempunyai tugas: mengintegrasikan implementasi SPMI pada manajemen perguruan tinggi”. Contoh, penetapan standar SPMI dapat dilakukan bersamaan dengan rapat perencanaan awal semester. Evaluasi dan pengendalian dapat diintegrasikan ke dalam laporan mingguan atau bulanan. Sedangkan peningkatan standar dapat dilakukan pada saat program tinjauan manajemen bulanan.
Selain itu, komunikasikan dan sosialisasi hasil PPEPP perlu dilakukan kepada seluruh pihak agar mereka melihat dampaknya (impact) secara langsung. Ketika unit kerja, dosen dan staf memahami bahwa kontribusi mereka membawa hasil nyata, mereka akan semakin bersemangat dan merasa lebih termotivasi untuk terus terlibat dalam siklus ini.
Baca juga: Kebijakan SPMI: Pilar Utama Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi
PPEPP tidak hanya membantu lembaga perguruan tinggi mencapai akreditasi yang lebih baik, namun juga mendorong lingkungan kerja yang lebih transparan dan produktif. Evaluasi terbuka yang dilakukan secara rutin mendorong setiap unit untuk terus memperbaiki kinerjanya, sementara pengendalian dan peningkatan standar memastikan tidak ada penyimpangan yang merugikan.
Selain itu, PPEPP berperan penting dalam membangun budaya kerja yang berorientasi pada perbaikan berkelanjutan. Siklus yang diawat dengan baik akan mendorong setiap individu untuk terus meningkatkan mutu kerja mereka. Dampaknya tidak hanya terlihat pada peningkatan mutu pendidikan, namun juga pada terciptanya lingkungan kerja yang inklusif, di mana kontribusi setiap pihak diakui dan dihargai (diapresiasi), sehingga meningkatkan motivasi dan rasa memiliki terhadap lembaga perguruan tinggi.
Baca juga: Tak Kenal Maka Tak Sayang: Mengenal Lebih Dekat 6 Tujuan SPMI
Alih-alih menganggap PPEPP sebagai beban, kini saatnya merubah paradigma. PPEPP perlu dilihat sebagai solusi yang mengintegrasikan efektifitas, efisiensi dan mutu.
Siklus ini tidak hanya membantu perguruan tinggi memenuhi Standar Nasional Dikti (SN Dikti), namun juga membangun lingkungan kerja yang lebih sehat, efektif, dan berorientasi pada hasil. Dengan demikian SN Dikti tidak hanya dicapai, namun perguruan tinggi akan mampu melampaui dengan standar Dikti yang lebih tinggi.
Dengan paradigma (mindset) yang tepat, PPEPP Insya Alah dapat menjadi bagian dari DNA organisasi Anda. Sosialisasikan, sederhanakan, dan integrasikan ke dalam rutinitas sehari-hari. Siapkah? Jawabannya harus siap! Stay Relevant!
Baca juga: Lima Prinsip SPMI: Fondasi Kokoh Menuju Keunggulan Institusi
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Dalam bukunya The Death of Expertise, Tom Nichols menjelaskan sebuah fenomena yang cukup menarik: “masyarakat masa kini, era internet dan informasi, ditengarai semakin kehilangan kepercayaan terhadap otoritas ahli”. Beliau menjelaskan bagaimana era internet dengan akses informasi yang bebas tanpa batas telah melahirkan apa yang disebut sebagai ilusi pengetahuan, yang salah satu penyebabnya karena “kepercayaan berlebihan pada informasi internet”. Banyak kalangan (masyarakat) merasa bahwa dengan browsing di internet sudah cukup untuk menyamai pengetahuan mendalam dari para ahli, sudah merasa ahli. Fenomena ini, kombinasi antara keengganan untuk berpikir kritis, diinformasi dan ketidakpercayaan yang semakin meluas terhadap lembaga-lembaga, termasuk institusi pendidikan.
Kondisi perubahan eksternal ini akhirnya menjadi tantangan, termasuk untuk pendidikan tinggi dimana terdapat para ahli yang menekuni disiplin ilmu tertentu. Tantangan ini berarti tantangan terhadap Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), dimana SPMI dirancang untuk menjamin dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berkelanjutan.
Dalam konteks masyarakat yang semakin skeptis terhadap otoritas akademik, SPMI menghadapi tantangan berat untuk membuktikan relevansi dan transparansinya.
Otoritas ahli di perguruan tinggi, seperti para profesor, dosen senior, dekan, atau rektor yang berpengalaman, sering kali menghadapi resistensi (penolakan) ketika mereka mencoba mempromosikan usulan (gagasan) kebijakan berbasis penelitian. Nah, bagaimana mengelola resistensi ini?
Nichols berpendapat, salah satu cara untuk memulihkan kepercayaan (trust) publik terhadap otoritas keahlian adalah dengan memastikan adanya bukti transparansi dan keterbukaan. Institusi perlu meyakinkan publik bahwa gagasan mereka didasarkan pada bukti-bukti yang sahih, integritas, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Baca juga: Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?
Nichols menyatakan bahwa literasi informasi adalah salah satu cara paling efektif untuk melawan disinformasi (informasi yang simpang siur).
Masyarakat yang tidak terampil dalam memverifikasi informasi cenderung mengabaikan kompleksitas yang melekat pada informasi tersebut. Akhirnya informasi yang diterima ditelan mentah mentah. Dalam konteks pendidikan tinggi, literasi informasi adalah hal wajib yang harus dimiliki para lulusan perguruan tinggi. Perguruan tinggi wajib menghasilkan lulusan yang mampu berpikir kritis. Selain itu, untuk eksternal, melalui program pengabdian kepada masyarakat, perguruan tinggi dapat berkontribusi dalam mendorong literasi digital di kalangan masyarakat luas.
Standar kurikulum, standar proses dan standar penilaian dan standar terkait lainnya, (dalam dokumen SPMI) harus dirancang untuk mendorong program literasi. Dengan metode ini, mahasiswa tidak hanya belajar memahami fakta-fakta, namun juga menghargai bagaimana proses keilmuan terbentuk, baik melalui penelitian, verifikasi, dan dialog kritis. Dengan demikian, perguruan tinggi akan dapat berperan sebagai pioner dalam membangun generasi yang kritis dan tanggap terhadap tantangan era informasi.
Baca juga: Siapa Saja Stakeholder Perguruan Tinggi? Mengenal, Memahami dan Melayani
Seperti yang telah disampaikan diatas, Nichols mengkritik para ahli atas kurangnya transparansi dalam proses keilmuan mereka, hal tersebut menjadi salah satu penyebab hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap otoritas keahlian. Untuk mengembalikan marwah tersebut, penting sekali bagi para ahli untuk membuktikan bahwa penelitian dan standar mereka didasarkan pada data yang dapat diverifikasi. Dalam konteks pendidikan tinggi, Standar dan perangkat SPMI memiliki peran strategis dalam membangun ekosistem penjaminan mutu yang terbuka dan transparan. Langkah awal yang dapat ditempuh adalah mempublikasikan hasil evaluasi mutu pendidikan, sehingga dapat diakses, dimengerti dan dipahami oleh masyarakat luas.
SPMI harus dipastikan benar-benar relevan, oleh karena itu harus dipastikan ada keterlibatan pemangku kepentingan, seperti dunia usaha, dunia industri, masyarakat, dan pemerintah. Dialog rutin perguruan tinggi dengan publik adalah elemen penting untuk menjembatani kesenjangan tersebut. Dengan melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan standar SPMI, perguruan tinggi akan semakin mendapat legitimasi, dan juga memastikan bahwa model kurikulum yang ditawarkan tetap relevan dan sesuai dengan kebutuhan nyata.
Baca juga: Mutu Pendidikan Tinggi: Memahami Esensi dan Dampaknya
Nichols menekankan bahwa bukti empiris yang dapat diverifikasi adalah cara paling tepat untuk melawan skeptisisme terhadap otoritas keahlian.
Dalam konteks SPMI, perguruan tinggi dapat menerapkan pendekatan “evaluasi berbasis dampak” yang secara langsung mengukur kontribusi layanan pendidikan terhadap masyarakat. Misalnya, perguruan tinggi dapat memantau sejauh mana mutu lulusan berhasil memberikan solusi terhadap berbagai problem sosial atau menciptakan inovasi yang relevan di dunia kerja.
Hasil evaluasi ini harus disampaikan kepada masyarakat secara jelas dan transparan. Cara ini dapat membangun narasi bahwa keahlian tidak hanya relevan, namun juga menghasilkan dampak nyata (impact) yang bermanfaat. Dengan cara ini, perguruan tinggi membuktikan bahwa proses akademik tidak hanya bersifat teoretis, namun tetap berkontribusi konkret dan menjawab kebutuhan masyarakat modern.
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Sebagai langkah konkret, dokumen SPMI dapat di update dengan menambahkan panduan tentang pelibatan pemangku kepentingan. Dunia usaha – dunia industri (DUDI) dapat dilibatkan untuk memberikan masukan (input) tentang kebutuhan hard skills dan soft skills yang sesuai dengan perkembangan industri. Selain itu, dokumen SPMI dapat berisi pedoman / panduan untuk memastikan bahwa hasil evaluasi mutu pendidikan dipublikasikan dalam format yang sederhana, transparan, dan mudah dipahami oleh masyarakat luas.
Perangkat SPMI juga harus diintegrasikan dengan teknologi berbasis data untuk meningkatkan efisiensi evaluasi dan pelaporan. Langkah ini sejalan dengan prinsip-prinsip manajemen mutu, membuktikan bahwa perguruan tinggi siap untuk merespons tantangan zaman dengan pendekatan teknologi berbasis data.
Baca juga: Kebijakan SPMI: Pilar Utama Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi
Nichols dalam buku The Death of Expertise, menguraikan bahwa keahlian tidak dapat dipertahankan hanya melalui klaim otoritas semata, namun harus dibuktikan dengan semangat integritas, keterbukaan, dan “impact” nyata. Nichols menegaskan, akses informasi yang tanpa batas, disinformasi, dan budaya anti-intelektualisme telah merongrong penghormatan terhadap para ahli dan institusi. Dalam situasi ini, pendidikan tinggi (termasuk SPMI) menghadapi tantangan besar untuk memulihkan kepercayaan publik, apakah perguruan tinggi siap?
Kebijakan SPMI dan seluruh perangkat dokumennya (seperti siklus PPEPP, standar dan SOP) dapat menjadi instrumen strategis untuk menunjukkan bagaimana lembaga pendidikan tinggi dapat berperan optimal sebagai penjaga ilmu sekaligus penggerak transformasi sosial.
Dengan langkah-langkah strategis seperti penguatan literasi informasi, transparansi proses penjaminan mutu, dialog yang terbuka dengan masyarakat, dan evaluasi berbasis dampak nyata, perguruan tinggi dapat unggul dalam menjamin mutu pendidikan, dan juga menciptakan narasi baru yang menempatkan keahlian sebagai landasan utama kemajuan bangsa.
Perguruan tinggi harus tetap dijaga relevansinya, agar fenomena masyarakat yang semakin skeptis terhadap otoritas keilmuan dapat diperbaiki. Dengan SPMI, budaya mutu dan komitmen, perguruan tinggi Insya Allah dapat menjadi motor penggerak untuk perbaikan budaya penghormatan terhadap otoritas keahlian. Stay Relevant!
Baca juga: Lima Prinsip SPMI: Fondasi Kokoh Menuju Keunggulan Institusi
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Dalam lingkungan pendidikan tinggi, sarana dan prasarana kampus (sering disingkat “sarpras”) memiliki peran krusial dalam mendukung proses belajar mengajar. Namun, sering muncul diskusi mengenai apakah prioritas utama harus diberikan pada “faktor estetika” atau “fungsionalitas”. Kenyataannya, kedua aspek tersebut sama pentingnya untuk menciptakan lingkungan belajar yang nyaman dan produktif bagi mahasiswa, dosen, staf serta stakeholder lainnya.
Don Norman dalam buku beliau The Design of Everyday Things menjelaskan bahwa desain yang baik harus intuitif fungsional dan estetis. Intuitif artinya user dapat menggunakan fasilitas sarpras tanpa kebingungan, sedangkan estetis bertujuan menciptakan daya tarik visual (keindahan) yang meningkatkan pengalaman pengguna. Bila hal tersebut diterapkan di kampus, gedung yang indah tidak hanya menarik secara emosional namun juga mampu memenuhi kebutuhan praktis proses belajar mengajar di kampus.
Baca juga: Kampus Impian: Seperti Apa Sarana dan Prasarana yang Ideal di Mata Mahasiswa?
Elemen-elemen unsur estetika seperti warna, bentuk, tekstur, dan pencahayaan, semuanya mempengaruhi persepsi pengguna. Misal pemilihan warna untuk ruang perpustakaan, dapat digunakan untuk menciptakan atmosfir tertentu—warna cerah dapat meningkatkan energi di ruang diskusi, warna netral cocok untuk ruang belajar yang tenang.
Selain itu, tekstur permukaan dan pencahayaan adalah elemen kunci dalam estetika desain sarana prasarana. Pencahayaan alami melalui kaca jendela dapat meningkatkan estetika ruang dan juga mampu membantu konsentrasi dan produktivitas. Elemen public space, ruang terbuka seperti area hijau, kolam atau taman dapat memberikan keseimbangan antara alam dan lingkungan, menciptakan tempat yang nyaman untuk diskusi dan interaksi sosial.
Baca juga: Lingkungan Kerja Ideal: Sarana Prasarana untuk Dosen dan Karyawan
Fungsionalitas sarpras kampus merupakan elemen krusial dalam mendukung proses pendidikan. Fungsionalitas memastikan bahwa fasilitas digunakan secara efektif dan efisien, memenuhi kebutuhan akademik dan operasional dengan optimal. Don Norman, dalam The Design of Everyday Things, menegaskan bahwa fungsionalitas dimulai dari desain yang responsif, mudah dipahami, dan nyaman digunakan. Contohnya, kampus dengan jalur navigasi yang jelas, lift yang mudah diakses, atau ruang kelas yang fleksibel untuk berbagai metode pengajaran memberikan pengalaman yang lebih baik bagi penggunanya.
Fungsionalitas juga erat kaitannya dengan efisiensi. Tata letak modular, misalnya, memungkinkan perguruan tinggi mengakomodasi berbagai kebutuhan, seperti seminar, diskusi kelompok, atau aktivitas kolaboratif, dengan fleksibilitas tinggi. Selain itu, perhatian pada keberlanjutan juga menjadi bagian dari fungsionalitas modern. Penggunaan bahan ramah lingkungan tidak hanya mencerminkan komitmen kampus terhadap pelestarian lingkungan, tetapi juga memberikan pesan kuat bahwa institusi pendidikan ini memahami dan mendukung prinsip keberlanjutan.
Baca juga: Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?
Stakeholder kampus (pemangku kepentingan)—termasuk pimpinan, mahasiswa, dosen, alumni, dan mitra eksternal—menginginkan fasilitas sarpras yang mencerminkan nilai-nilai (values) institusi. Estetika memberikan daya tarik keindahan yang membuat mahasiswa “merasa bangga” dengan kampus mereka. Di sisi lain, fungsionalitas memastikan sarpras dapat digunakan dengan nyaman dan efisien.
Richard P. Dober dalam bukunya Campus Design menjelaskan bahwa desain kampus yang ideal harus mencerminkan “identitas” (jati diri) institusi. Gedung kampus bisa dirancang dengan berbagai pilihan model, misal dengan konsep estetika modern (kesan inovasi), atau dirancang dengan elemen tradisional (kesan budaya lokal). Semua pilihan ini tentu saja tidak boleh mengorbankan aspek fungsionalitas, seperti aksesibilitas atau kemudahan navigasi antar ruang.
Baca juga: Siapa Saja Stakeholder Perguruan Tinggi? Mengenal, Memahami dan Melayani
Estetika dalam sarpras yang terpadu berfungsi sebagai alat “komunikasi visual” untuk memperkenalkan “misi unik” institusi (mission differentiation). Misal, kampus dengan misi ramah lingkungan (keberlanjutan) dapat menunjukkan komitmen melalui desain berbasis ekologi, seperti taman vertikal, daur ulang dan penggunaan material ramah lingkungan.
Don Norman menjelaskan, desain yang baik harus selaras dengan nilai-nilai (values) dan tujuan organisasi. Kampus dengan misi teknologi tinggi, dapat membangun gedung dengan desain masa depan (futuristik), pencahayaan berbasis LED, dan ruang-ruang yang terlihat modern. Adapun, universitas yang berbasis budaya, dengan misi melestarikan warisan lokal, dapat memasukkan unsur-unsur elemen tradisional sebagai bentuk komunikasi visual dari misi unik institusi.
Ketika estetika diintegrasikan dengan “misi unik” institusi, tidak hanya ruang fisik yang diperindah, tetapi juga narasi institusi diperkuat.
Hal ini menjadi daya tarik bagi mahasiswa yang mencari kampus yang sesuai dengan nilai-nilai (minat dan bakat) mereka. Dengan demikian, estetika menjadi “alat strategis” untuk membangun identitas institusi yang unik dan relevan.
Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi
Bagi kampus dengan anggaran terbatas, membangun sarpras yang fungsional sekaligus estetik menjadi tantangan tersendiri. Konsep smart design dari Don Norman dalam The Design of Everyday Things menawarkan solusi. Norman menekankan pentingnya desain yang sederhana, multifungsi, ruang modular, hemat biaya, tetapi tetap memenuhi kebutuhan pengguna (prinsip user-centered design). Institusi dapat memprioritaskan elemen-elemen desain yang memberikan “high impact, low cost“, dampak besar dengan biaya minimal, seperti pencahayaan alami untuk mengurangi ketergantungan pada energi listrik.
Kampus juga dapat mengadopsi pendekatan bertahap (sedikit demi sedikit) dalam renovasi sarana prasarana. Prioritas utama diberikan pada area yang memiliki interaksi tinggi, seperti ruang belajar, perpustakaan, atau kafetaria. Pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan bahan dan material lokal yang terjangkau namun tidak kalah kualitas.
Elemen hijau seperti taman, kolam sederhana atau menambah mural kreatif di sudut-sudut kampus dapat menjadi solusi estetis yang murah meriah. Dengan metode ini, kampus kecil tetap dapat mengkomunikasikan misi unik-nya melalui estetika tanpa harus mengeluarkan biaya besar, sekaligus dapat mengembangkan lingkungan pendidikan yang inklusif dan inspiratif.
Baca juga: Inovasi Sarana dan Prasarana: Menjawab Tantangan Pendidikan Masa Depan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan kerangka manajemen mutu yang wajib diimplementasikan sesuai dengan regulasi pemerintah. Dalam dokumen SPMI, standar sarana dan prasarana menekankan bahwa fasilitas pendidikan harus memenuhi Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti). Lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan dasar (standar minimal), sarana prasarana yang baik harus dirancang untuk mendukung efektivitas pembelajaran dan inklusivitas bagi semua pengguna.
Dalam kaitannya dengan estetika dan fungsionalitas, institusi memiliki peluang untuk melampaui standar SN Dikti dengan menambahkan indikator baru yang lebih progresif.
Panduan desain berbasis estetika dan fungsionalitas diperlukan untuk memastikan setiap elemen fasilitas tidak hanya memenuhi kebutuhan praktis, namun juga mencerminkan identitas, misi unik dan visi perguruan tinggi. Implementasi standar sarpras SPMI yang visioner, memberikan pengalaman belajar holistik bagi seluruh stakeholder, menjadikan kampus sebagai tempat kreativitas, kebanggaan, dan keberlanjutan.
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
Estetika dan fungsionalitas bukanlah dua hal yang bertentangan, namun saling melengkapi. Integrasi keduanya juga berperan strategis dalam memperkuat mission differentiation, mencerminkan nilai-nilai unik institusi, dan membangun reputasi yang kuat.
Bahkan bagi kampus dengan keterbatasan budget, pendekatan desain yang kreatif dapat membantu membangun fasilitas yang estetis dan fungsional tanpa membebani anggaran. Dengan pembangunan bertahap, dan memprioritaskan area-area utama, berlahan tapi pasti, kampus dapat menciptakan lingkungan yang inspiratif dan inklusif.
Penerapan SPMI sebagai panduan manajemen mutu harus menjadi komitmen bersama yang dijalankan secara konsisten. SPMI tidak hanya perlu diimplementasikan, tetapi juga dievaluasi dan diperbarui secara berkelanjutan untuk memastikan relevansinya dengan kebutuhan zaman.
Standar sarana dan prasarana yang diterapkan harus dirancang tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tetapi juga untuk mendukung keberlanjutan dan visi jangka panjang perguruan tinggi.
Harmonisasi antara estetika, fungsionalitas, dan misi unik institusi akan menciptakan kampus sebagai ruang belajar yang tidak hanya memenuhi standar mutu, tetapi juga menginspirasi. Dengan pendekatan yang terpadu ini, perguruan tinggi dapat menjadi tempat pendidikan yang unggul, inovatif, dan tetap relevan di tengah dinamika global. Stay Relevant!
Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Perguruan tinggi tidak hanya menjadi pusat pembelajaran bagi para mahasiswa, namun juga merupakan tempat bekerja bagi segenap dosen dan karyawan. Sebagai pilar penting pendidikan tinggi, tenaga pendidik dan kependidikan memerlukan lingkungan kerja yang nyaman, yang mendukung kesehatan, baik fisik, mental, maupun sosial. Lingkungan kerja yang nyaman tidak hanya meningkatkan motivasi dan produktivitas, namun juga membangun suasana yang harmonis dan menyenangkan, sehingga mendukung performance SDM secara keseluruhan.
Patut diduga, di beberapa kampus, perhatian utama masih sering tertuju pada pengembangan fasilitas akademik, sementara kebutuhan sarana prasarana untuk kesejahteraan tenaga kerja masih belum prioritas. Padahal, keseimbangan fasilitas kerja yang nyaman dan lingkungan yang kondusif sangat penting untuk menjaga kesehatan, semangat, dan produktivitas para dosen dan karyawan. Oleh karena itu, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perlu mengatur dengan jelas standar sarana dan prasarana yang mendukung kesejahteraan tenaga kerja. Dengan adanya standar ini, perguruan tinggi memiliki acuan yang jelas untuk membangun lingkungan kerja yang baik.
Baca juga: Kampus Impian: Seperti Apa Sarana dan Prasarana yang Ideal di Mata Mahasiswa?
Ruang istirahat, ruang bersantai adalah elemen penting untuk menciptakan keseimbangan kerja. Sebuah ruang yang dirancang dengan cermat—dilengkapi sofa nyaman, dispenser air, mesin kopi, bahan bacaan ringan dan dekorasi yang menenangkan—memberikan tempat bagi dosen dan karyawan untuk melepaskan rasa jenuh dan mengisi ulang energi (recharging energy). Di tengah jadwal mengajar yang padat atau beban administratif yang menumpuk, ruang istirahat menjadi “oasis kecil” yang menyegarkan pikiran dan tubuh. Bila perlu dapat dilengkapi sofa elektrik untuk pijat refleksi dan layar karaoke untuk self healing.
Ruang istirahat (ruang santai) tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk beristirahat, ia menjadi ruang sosial (pertemuan informal) yang mempererat hubungan antar pimpinan, dosen dan staf, menciptakan suasana kerja yang hangat dan harmonis. Diskusi santai (brainstorming) yang terjadi di ruang ini sering melahirkan ide-ide segar atau solusi inovatif untuk tantangan pekerjaan sehari-hari. Oleh sebab itu, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perlu menetapkan ruang istirahat sebagai bagian penting dari standar sarana dan prasarana kampus.
Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat
Fasilitas olahraga seperti meja pingpong, lapangan tenis, lapangan basket, atau jalur jogging di kampus tidak hanya diperuntukkan bagi mahasiswa, tetapi juga menjadi kebutuhan penting bagi dosen dan karyawan. Aktivitas fisik telah terbukti mampu meningkatkan motivasi, meredakan stres kerja, dan menjaga kesehatan mental. Dengan tubuh yang bugar, tenaga pendidik dan kependidikan dapat menjalankan tugas mereka dengan lebih fokus, produktif, dan penuh energi.
Selain fasilitas olahraga, kampus juga perlu menyediakan ruang rekreasi seperti taman yang asri, kolam, atau area hijau yang dirancang khusus untuk relaksasi. Lingkungan semacam ini memberikan kesempatan bagi tenaga kerja untuk melepas penat, meredakan tekanan, atau sekadar menikmati suasana alam di sela-sela kesibukan. Standar sarana dan prasarana yang diatur dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dapat menjadi panduan penting untuk memastikan bahwa fasilitas olahraga dan ruang hijau tersedia dalam kondisi optimal, dikelola dengan baik, dan benar-benar mendukung kesejahteraan seluruh tenaga kerja di lingkungan kampus. Dengan pendekatan ini, kampus tidak hanya menjadi tempat kerja, tetapi juga ruang yang mendukung kesehatan fisik dan mental seluruh penghuninya.
Baca juga: Inovasi Sarana dan Prasarana: Menjawab Tantangan Pendidikan Masa Depan
Richard P. Dober dalam bukunya Campus Design menekankan pentingnya “placemaking“, yaitu menciptakan ruang-ruang yang mampu memenuhi kebutuhan fungsional, dan juga memperkuat identitas institusi. Dalam konteks dosen dan tenaga kependidikan, ruang kerja yang ideal harus dirancang untuk memberikan keseimbangan antara produktivitas dan kenyamanan. Ruang yang berfungsi sebagai tempat menyelesaikan tugas, melaksanakan penelitian atau mempersiapkan bahan pengajaran. Ruang yang mampu menumbuhkan suasana hati (mood) yang inspiratif dan mendukung semangat kolaborasi.
Dober juga menekankan pentingnya “konektivitas” (keterhubungan) antar ruang-ruang dalam kampus. Letak ruang kerja harus strategis, misalnya, dekat dengan perpustakaan, kantin, laboratorium, atau fasilitas akademik lainnya. Sirkulasi antar ruang harus dapat meningkatkan efisiensi dan mempermudah koordinasi lintas departemen. Elemen keindahan (estetika) seperti furnitur, pencahayaan alami, dan desain interior dapat memperkuat identitas ruang dan menumbuhkan rasa kebanggaan bagi pemakainya.
Baca juga: Tak Kenal Maka Tak Sayang: Mengenal Lebih Dekat 6 Tujuan SPMI
Layanan kesehatan yang mudah diakses adalah elemen penting dalam mendukung kesejahteraan dosen dan karyawan. Sebuah klinik kesehatan yang menyediakan fasilitas pertolongan pertama, pemeriksaan rutin, hingga layanan konseling psikologis menjadi solusi yang esensial. Dengan adanya klinik yang representatif di dalam kampus, staf tidak perlu menghabiskan waktu dan tenaga untuk mencari layanan medis di luar, sehingga mereka dapat tetap fokus menjalankan tugas dengan tenang dan efisien.
Kesejahteraan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Program-program pendukung seperti sesi konseling, terapi self-healing, atau seminar manajemen stres dapat membantu staf mengelola tekanan kerja dengan lebih baik. Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perlu memasukkan layanan kesehatan sebagai bagian integral dari standar sarana prasarana kampus. Dengan keberadaan layanan ini, perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan kerja yang suportif, inklusif, dan penuh perhatian. Kampus yang peduli terhadap kesehatan fisik dan mental tenaga kerjanya adalah kampus yang siap untuk maju, dan siap tumbuh bersama seluruh anggotanya.
Baca juga: Connecting The Dots: Transformasi SPMI melalui Kolaborasi Tim
Bagi kampus yang masih bergelut dengan keterbatasan budget, menyediakan sarana dan prasarana ideal mungkin terasa seperti tantangan besar. Namun, keterbatasan dana bukan berarti mengorbankan kenyamanan dan kesejahteraan tenaga kerja. Pendekatan strategis dan inovatif merupakan cara terbaik untuk memaksimalkan sumber daya (resources) yang ada.
Salah satu solusi adalah dengan memprioritaskan kebutuhan paling urgen. Contoh kampus dapat menyediakan area “multifungsi” sederhana seperti taman atau lapangan kecil yang dapat digunakan untuk berbagai aktivitas, baik olahraga, pentas seni maupun rekreasi. Kampus kecil juga dapat berkolaborasi dengan pemkot, komunitas atau mitra lokal untuk menyediakan layanan kesehatan atau konseling bagi tenaga kerja, sehingga dapat memberi manfaat dengan biaya yang hemat.
Kreasi dan Inovasi juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan yang terbatas. Misal, ruang istirahat kecil dapat “disulap” multifungsi dengan tambahan fasilitas sederhana seperti ruang musik dengan piano, mesin kopi, dispenser air, dan tempat duduk yang nyaman. Meskipun sederhana, langkah kecil ini dapat memberikan dampak positif yang signifikan.
Dengan kreasi dan inovasi, kampus kecil tetap dapat menciptakan lingkungan kerja yang mendukung. Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) juga dapat memberikan panduan fleksibel yang mempertimbangkan kapasitas dan anggaran yang terbatas, sehingga manajemen dapat mengoptimalkan apa yang dimiliki untuk kesejahteraan dosen dan karyawan. Dengan cara ini, meskipun budget terbatas, kampus kecil tetap mampu menjadi tempat kerja yang layak dan menarik.
Baca juga: Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku: Pilar Utama Budaya Mutu SPMI
Kesejahteraan dosen dan tenaga kependidikan bukanlah hal sekunder, melainkan prinsip penting untuk membangun kampus yang menyenangkan, produktif, dan berdaya saing tinggi. Dengan menyediakan sarana yang mendukung keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan, perguruan tinggi dapat memenuhi tanggung jawab moralnya sekaligus memastikan keberlanjutan organisasi.
Bagi kampus kecil yang menghadapi keterbatasan anggaran, menciptakan keseimbangan ini mungkin membutuhkan inovasi dan pengelolaan prioritas yang cermat. Solusi sederhana namun efektif, seperti memanfaatkan ruang multifungsi atau menjalin kolaborasi dengan komunitas lokal, tetap dapat memberikan dampak signifikan terhadap kesejahteraan tenaga kerja. Pendekatan ini menunjukkan bahwa kapasitas finansial yang terbatas bukanlah penghalang untuk menciptakan lingkungan kerja yang nyaman.
Lingkungan kerja yang seimbang memiliki manfaat ganda, tidak hanya bagi karyawan yang bekerja, namun juga bagi institusi secara keseluruhan. Tenaga pendidik dan kependidikan yang bahagia serta sehat, dapat membawa perguruan tinggi, untuk terus berkembang sebagai tempat belajar, bekerja, dan tumbuh bersama. Oleh karena itu, implementasi standar SPMI yang mencakup sarana dan prasarana untuk kesejahteraan dosen dan karyawan menjadi langkah konkret yang harus diprioritaskan. Dengan demikian, semua kampus, tanpa memandang skalanya, Insya Allah akan mampu menciptakan lingkungan kerja yang optimal untuk visi-misi organisasi. Stay Relevant!
Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Dalam dunia pendidikan tinggi yang semakin dinamis, mahasiswa masa kini—khususnya Generasi Z—tidak lagi sekadar mencari tempat untuk menimba ilmu. Mereka mendambakan lingkungan yang nyaman, yang artistik dan mendukung perkembangan diri secara holistik. Kampus idaman bukan hanya sekumpulan ruang-ruang belajar, melainkan sebuah ekosistem yang mengintegrasikan fasilitas modern dengan kebutuhan pembelajaran sekaligus pengembangan potensi terbaik individu. Ruang kelas yang nyaman, perpustakaan digital yang kaya sumber daya, hingga ruang terbuka hijau yang asri, kini menjadi elemen penting yang menentukan pengalaman pendidikan yang bermutu.
Di sisi lain, perguruan tinggi perlu memahami bahwa setiap mahasiswa membawa harapan dan kebutuhan yang beraneka ragam. Perbedaan ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti latar belakang, keluarga, bidang studi, dan aspirasi pribadi. Oleh karena itu, standar sarana dan prasarana dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) harus dirancang dengan mempertimbangkan suara mahasiswa sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) utama. Pendekatan partisipatif ini memastikan bahwa fasilitas kampus tidak hanya sekadar memenuhi persyaratan formal dari Standar Nasional (SN) Dikti, namun juga relevan, bermakna, dan mampu memberikan dampak nyata bagi pemangku kepentingan. Harapannya, kampus dapat menjadi tempat yang benar-benar menginspirasi dan memfasilitasi perjalanan akademik segenap mahasiswa.
Baca juga: Inovasi Sarana dan Prasarana: Menjawab Tantangan Pendidikan Masa Depan
Ruang kelas yang memadai adalah kebutuhan mendasar di setiap kampus. Idealnya, ruang kelas tidak hanya dilengkapi dengan meja dan kursi, namun juga didukung oleh teknologi modern seperti proyektor, akses internet yang stabil, serta sistem penghawaan dan pencahayaan yang optimal. Mahasiswa menginginkan suasana belajar yang kondusif, di mana mereka dapat fokus tanpa gangguan, baik dari aspek teknis maupun lingkungan. Untuk itu, standar dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perlu merumuskan kriteria yang jelas sebagai landasan dalam merancang ruang kelas bermutu tinggi.
Laboratorium, khususnya bagi program studi berbasis ilmu eksakta, sains dan teknologi, juga menjadi elemen yang sangat penting. Fasilitas laboratorium yang dilengkapi dengan peralatan mutakhir dan bahan praktikum yang memadai mencerminkan mutu pendidikan yang diberikan. Alat-alat ukur di laboratorium harus valid dan rutin di kalibrasi. Mahasiswa membutuhkan akses yang mudah dan adil terhadap fasilitas ini, tanpa harus berebut dan antri untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Oleh karena itu, pengelolaan laboratorium yang efisien dan inklusif harus menjadi bagian integral dari standar sarana dan prasarana yang ditetapkan dalam SPMI. Hal ini dilakukan guna memastikan pengalaman belajar yang mendukung eksplorasi akademik dan pengembangan keahlian secara optimal.
Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!
Di era digital, mahasiswa tidak hanya belajar dari buku, tetapi juga dari berbagai sumber online yang memerlukan infrastruktur teknologi canggih. Kampus yang ideal dilengkapi dengan Wi-Fi berkecepatan tinggi yang dapat diakses di seluruh area, termasuk ruang kelas, perpustakaan, dan area umum lainnya. Selain itu, keberadaan Learning Management System (LMS) yang andal menjadi hal penting untuk mendukung pembelajaran berbasis online. Standar Sarpras SPMI sebaiknya menekankan pentingnya integrasi teknologi ini sebagai bagian dari sarana perlu di perguruan tinggi.
Perpustakaan digital juga menjadi elemen penting dalam kampus modern. Mahasiswa membutuhkan akses ke berbagai jurnal ilmiah, e-book, dan sumber daya lainnya tanpa harus terbatas pada ruang dan waktu. Dengan adanya perpustakaan digital yang dirancang sesuai standar sarana prasarana, mahasiswa dapat meningkatkan kemampuan belajar secara mandiri dan memperluas wawasan.
Baca juga: Kampus dan Industri: Mengapa Respons Perguruan Tinggi Jadi Penentu di Era AI?
Kampus ideal adalah kampus yang mudah diakses oleh semua mahasiswa, tanpa terkecuali, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus. Jalur yang ramah difabel, fasilitas untuk pengguna kursi roda, lift yang memadai, hingga ruang kelas yang dirancang agar mudah diakses, menjadi contoh nyata dari upaya mendukung inklusivitas. Standar Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perlu mengakomodasi aspek aksesibilitas ini untuk memastikan bahwa setiap mahasiswa dapat belajar dalam lingkungan yang nyaman, menyenangkan, dan aman. Selain kenyamanan, perhatian pada risiko seperti gempa bumi atau kebakaran juga harus menjadi prioritas, dengan menyediakan alat pemadam api ringan (APAR), jalur evakuasi yang jelas, dan titik kumpul yang memadai.
Aksesibilitas juga berarti memberikan peluang yang setara bagi mahasiswa dari berbagai latar belakang ekonomi untuk memanfaatkan sarana yang tersedia. Misalnya, laboratorium komputer yang dapat diakses secara gratis, kantin dengan harga terjangkau, pusat karier yang mendukung masa depan mahasiswa, hingga layanan konsultasi yang dapat diakses oleh semua. Fasilitas-fasilitas ini mencerminkan komitmen kampus dalam mendukung keberagaman dan inklusi, menciptakan lingkungan yang benar-benar memfasilitasi perkembangan intelektual dan sosial bagi setiap individu.
Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?
Kegiatan mahasiswa tidak hanya terbatas di ruang kelas, tetapi meluas ke berbagai aktivitas di luar ranah akademik. Kampus yang ideal harus menjadi tempat yang mendorong pengembangan minat dan bakat mahasiswa. Fasilitas seperti ruang organisasi, pusat olahraga, aula serbaguna, dan ruang musik menjadi elemen penting yang memberikan ruang bagi mahasiswa untuk mengasah keterampilan kepemimpinan (soft skills), berkolaborasi, dan menyalurkan kreativitas mereka. Standar Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perlu mencakup fasilitas-fasilitas ini sebagai bagian integral dari sarana dan prasarana, guna menciptakan lingkungan kampus yang mendukung pertumbuhan individu yang holistik.
Selain itu, ruang hijau dan area relaksasi merupakan elemen yang tak kalah penting bagi mahasiswa. Taman, gazebo, atau area terbuka lainnya tidak hanya memberikan kesempatan untuk melepas penat, tetapi juga menjadi ruang untuk bersosialisasi dan membangun komunitas. Fasilitas-fasilitas ini menciptakan keseimbangan antara belajar dan relaksasi, sekaligus berkontribusi pada kesehatan mental mahasiswa. Dengan ruang-ruang yang dirancang untuk menyegarkan pikiran dan mendorong interaksi sosial, kampus menjadi lebih dari sekadar tempat belajar—ia menjadi rumah kedua yang nyaman dan inspiratif.
Baca juga: Jangan Biarkan Korupsi Menodai SPMI: Langkah Preventif bagi Perguruan Tinggi
Richard P. Dober, melalui bukunya Campus Design, menawarkan prinsip-prinsip desain yang relevan untuk menciptakan kampus yang tidak hanya fungsional tetapi juga bermakna. Salah satu konsep utama yang diusung Dober adalah placemaking—proses menciptakan ruang yang mendukung identitas institusi dan kebutuhan komunitasnya. Dalam konteks mahasiswa, ini berarti kampus harus dirancang untuk memfasilitasi pembelajaran, kolaborasi, dan interaksi sosial, sekaligus mencerminkan nilai-nilai dan karakteristik unik perguruan tinggi tersebut (mission differentiation).
Rekomendasi Dober juga menekankan pentingnya konektivitas fisik antarbagian kampus. Jalur pejalan kaki, taman, dan ruang terbuka hijau menjadi elemen vital yang tidak hanya mendukung mobilitas tetapi juga mendorong interaksi kasual antar mahasiswa dan dosen. Selain itu, Dober merekomendasikan penggunaan elemen visual khas, seperti bangunan ikonik, monumen, atau lanskap unik, yang memberikan identitas kuat bagi kampus. Elemen-elemen ini tidak hanya memperkuat “kebanggaan” mahasiswa terhadap institusinya tetapi juga menciptakan daya tarik bagi calon mahasiswa baru (PMB).
Dengan mengadaptasi prinsip-prinsip Dober ke dalam konteks lokal, kampus-kampus di Indonesia dapat menciptakan lingkungan yang lebih bermakna, nyaman, dan sesuai dengan kebutuhan iklim tropis serta keberagaman budaya. Misalnya, ruang-ruang terbuka yang rindang, bangunan dengan ventilasi alami, dan taman yang dirancang untuk kegiatan sosial maupun akademik akan memberikan pengalaman belajar yang optimal bagi mahasiswa. Inspirasi dari Dober ini menjadi pijakan yang kuat dalam membangun kampus yang tidak hanya memenuhi kebutuhan fungsional tetapi juga memberikan dampak emosional dan sosial yang mendalam.
Baca juga: Tak Kenal Maka Tak Sayang: Mengenal Lebih Dekat 6 Tujuan SPMI
Bagi kampus kecil dengan anggaran terbatas, membangun sarana dan prasarana yang ideal sering kali menjadi tantangan besar. Namun, keterbatasan finansial bukan berarti perguruan tinggi harus mengorbankan mutu. Pendekatan strategis dan kreatif dalam perencanaan dapat menjadi kunci untuk memaksimalkan penggunaan sumber daya yang tersedia. Salah satu caranya adalah dengan fokus pada prioritas utama yang sesuai dengan kebutuhan mendesak dan misi institusi. Misalnya, sebuah perguruan tinggi yang berfokus pada pendidikan teknologi dapat memprioritaskan laboratorium komputer dengan perangkat terkini dibandingkan dengan fasilitas olahraga yang representatif. Penyesuaian ini memungkinkan kampus kecil untuk tetap kompetitif tanpa harus meniru model perguruan tinggi besar. Namun demikian, secara bertahap, kampus kecil dapat meningkatkan mutu sarana prasarana untuk rencana di kemudian hari. Grand design (rencana besar pengembangan sarana prasarana) harus dibuat dulu, agar pembangunan yang bertahap tidak terkesan tambal sulam, tidak hemat dan tidak indah.
Baca juga: Inovasi atau Mati: Integrasi PPEPP dengan Strategic Quality Management
Selain itu, “tema” sarana prasarana juga perlu disesuaikan dengan mission differentiation atau diferensiasi misi dari perguruan tinggi. Setiap kampus memiliki tujuan dan karakteristik unik yang dapat tercermin dalam desain dan fungsi fasilitasnya. Kampus yang berorientasi pada keberlanjutan, misalnya, dapat memanfaatkan desain ramah lingkungan yang hemat biaya seperti penggunaan ventilasi alami atau pencahayaan pasif. Sementara itu, perguruan tinggi berbasis seni dapat memanfaatkan ruang kreatif seperti galeri atau studio seni yang fleksibel untuk mencerminkan misi mereka.
Dengan memusatkan pengembangan pada misi unik kampus, perguruan tinggi kecil tidak hanya dapat menghemat anggaran namun juga menciptakan nilai tambah yang membedakan mereka dari institusi lain. Strategi ini menjadikan sarana dan prasarana sebagai elemen yang mendukung keberlanjutan akademik sekaligus memperkuat daya tarik institusi di mata mahasiswa dan masyarakat.
Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi
Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?
Mahasiswa masa kini semakin sadar akan pentingnya keberlanjutan lingkungan. Kampus yang ideal adalah kampus yang mengadopsi praktik ramah lingkungan, seperti penggunaan energi terbarukan, pengelolaan limbah yang baik, dan inisiatif hijau lainnya. Standar SPMI dapat memasukkan keberlanjutan sebagai salah satu standar utama untuk memastikan bahwa kampus tidak hanya melayani generasi saat ini, tetapi juga generasi mendatang.
Prinsip desain yang bermakna, seperti yang direkomendasikan oleh Dober, dan strategi kreatif dalam menyiasati keterbatasan anggaran harus berjalan beriringan. Keduanya perlu berpadu dengan praktik keberlanjutan untuk menciptakan kampus yang tidak hanya relevan bagi generasi masa kini, tetapi juga mampu menghadirkan dampak positif yang melintasi waktu. Pendekatan ini memungkinkan kampus dari berbagai skala, baik besar maupun kecil, untuk mengoptimalkan fasilitas mereka sesuai dengan misi masing-masing.
Dengan fokus pada harapan mahasiswa (stakeholder utama), kampus dapat menjadi lebih dari sekadar tempat belajar. Ia akan menjadi ruang hidup yang mendukung pertumbuhan intelektual, emosional, dan sosial, menciptakan pengalaman pendidikan yang bermakna dan berdampak jangka panjang. Dalam konteks ini, kampus ideal tidak harus mahal, tetapi harus cerdas, adaptif, dan peduli terhadap keberlanjutan. Stay Relevant!
Baca juga: SPMI Tanpa Knowledge Management? Jurang Kegagalan!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Kepemimpinan dalam pendidikan tinggi semakin diuji di era Artificial Intelligence (AI) yang penuh dinamika ini. Dalam implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di Pendidikan Tinggi, kemampuan pemimpin untuk menyeimbangkan perhatian terhadap “tugas” (task) dan “manusia” (people) menjadi faktor penentu keberhasilan organisasi. Namun, tentu kita masih bertanya, apakah para pemimpin perguruan tinggi benar-benar memiliki kemampuan untuk mendekati atau mencapai skor 9,9—perpaduan ideal antara perhatian terhadap “tugas” dan perhatian terhadap “manusia”—dalam framework model Managerial Grid? Mari kita kupas bersama.
Model Managerial Grid, yang dikembangkan oleh Blake dan Mouton, menawarkan perspektif menarik tentang bagaimana pemimpin dapat mengelola tim (bawahan) secara efektif. Dalam konteks SPMI, hal ini berarti menjaga keseimbangan antara pencapaian kinerja standar SPMI (perhatian pada “tugas”) dengan pencapaian hubungan harmonis pada “manusia” (bawahan). Skor 9,9 bukan hanya sekadar angka biasa, namun refleksi dari kepemimpinan yang ideal (team management).
Baca juga: SPMI di Era AI: Apakah Gaya Kepemimpinan Anda Siap Beradaptasi?
Implementasi SPMI membutuhkan komitmen yang tinggi untuk menyusun dan mencapai standar mutu secara berkelanjutan. Komitmen ini harus dibangun bersama dengan budaya mutu yang terus berkembang, dan inti dari semua ini adalah fungsi kepemimpinan yang efektif. Lalu, seperti apa model kepemimpinan yang ideal untuk mendukung pencapaian standar SPMI? Dalam konteks ini, perhatian terhadap “tugas” (task) menjadi elemen yang sangat krusial. Pemimpin bertanggung jawab memastikan bahwa setiap tahap dalam siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar) dilakukan secara konsisten, berbasis data, dan berorientasi pada hasil. Fokus yang kuat pada “tugas” menjadi landasan untuk mencapai keunggulan operasional dan efektivitas implementasi.
Namun, fokus yang berlebihan pada target dan angka-angka dapat menjadi pedang bermata dua. Tekanan untuk memenuhi standar yang tinggi sering kali menciptakan konflik atau bahkan kelelahan emosional di kalangan tim. Inilah mengapa perhatian terhadap “manusia” (people) menjadi sama pentingnya. Model kepemimpinan dengan skor 9,9 dalam Managerial Grid menjadi pengingat bahwa di balik target yang ambisius terdapat individu-individu yang membutuhkan perhatian, pengakuan, dan motivasi. Ketika pemimpin memberikan perhatian yang tulus kepada kesejahteraan tim—seperti memastikan keseimbangan kerja-hidup, menyediakan dukungan emosional, atau mengapresiasi kontribusi mereka—mereka tidak hanya menciptakan lingkungan kerja yang sehat, tetapi juga mendorong tim untuk berkomitmen secara kolektif terhadap pencapaian standar mutu SPMI yang lebih tinggi. Dengan keseimbangan ini, kepemimpinan tidak hanya menjadi alat pencapaian target, namun juga landasan untuk membangun budaya mutu (quality culture) yang kokoh dan berkelanjutan.
Baca juga: Knowledge Management: Rekomendasi untuk Revisi Permendikbudristek 53 Tahun 2023
Keseimbangan antara fokus pada “tugas” dan “manusia”—yang tercermin dalam skor 9,9 pada Managerial Grid—tidak hanya menciptakan harmoni, namun juga memberdayakan tim untuk memberikan kinerja terbaik mereka. Ketika pemimpin menunjukkan perhatian tinggi terhadap “tugas” (yang direpresentasikan pada sumbu horizontal), mereka menetapkan target yang jelas, memberikan bimbingan strategis, dan memastikan setiap individu memahami tanggung jawab mereka dalam mencapai tujuan institusi. Tugas ini menjadi elemen kunci dalam implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), yang sering kali membutuhkan koordinasi yang solid lintas departemen atau unit kerja.
Namun, keberhasilan SPMI tidak cukup hanya dengan perhatian pada “tugas” saja. Perhatian terhadap manusia (sumbu vertikal) menjadi sama pentingnya, memastikan bahwa setiap sumber daya manusia merasa didengarkan, dihargai, dan didukung. Gaya kepemimpinan yang terlalu berorientasi pada tugas semata (tipe 9,1) berisiko memicu konflik dan resistensi dalam organisasi. Sebaliknya, Gaya kepemimpinan yang terlalu berorientasi pada “manusia” semata (tipe 1,9) berisiko organisasi tidak produktif sama sekali, karena pimpinan terlalu fokus satu sisi, hanya perhatian pada manusia saja, sehingga pelaksanaan tugas cenderung diabaikan. Lalu bagaimana yang ideal? Yang ideal adalah seorang pemimpin tipe 9,9—yang mewujudkan kepemimpinan berbasis team management—adalah pemimpin yang paling ideal yang mampu mengubah resistensi menjadi kolaborasi.
Pemimpin tipe 9,9 menunjukkan empati, mendengarkan kritik dan masukan dari anggota tim, serta melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Pendekatan ini tidak hanya menggerakkan tim untuk bekerja lebih efektif, tetapi juga menumbuhkan motivasi dan rasa memiliki yang mendalam terhadap organisasi. Pada akhirnya, gaya kepemimpinan ini menjadi landasan yang kokoh untuk mendorong keberhasilan SPMI sekaligus memperkuat budaya mutu dalam organisasi.
Baca juga: Jangan Biarkan Korupsi Menodai SPMI: Langkah Preventif bagi Perguruan Tinggi
Budaya mutu yang berkelanjutan tidak dapat dicapai bila hanya mengandalkan “ketersediaan” dokumen kebijakan, standar dan prosedur (not sufficient). Budaya mutu memerlukan leadership yang kuat, leader yang inspiratif dan mampu membangun sinergi antara “tugas” dan “manusia”. Skor 9,9 pada Managerial Grid menjadi simbol “kepemimpinan ideal” yang mampu membawa perubahan positif dan membangun landasan mutu yang kokoh.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah pemimpin di perguruan tinggi Anda telah mencapai keseimbangan ini? Jika belum, saatnya untuk berinvestasi dalam pengembangan kepemimpinan yang adaptif dan berorientasi pada keseimbangan. Stay Relevant!
Baca juga: Tools Canggih untuk SPMI: Tips Mengurai Benang Kusut
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Kemajuan teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI), telah merevolusi berbagai sendi-sendi kehidupan, termasuk dunia pendidikan tinggi. Dalam konteks implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), tantangan baru muncul di tengah kebutuhan untuk memadukan kecanggihan teknologi AI dengan sentuhan manusiawi (human relation skills). Pertanyaannya kini bukan hanya apakah pemimpin perguruan tinggi mampu menghadapi perubahan ini, tetapi juga apakah mereka bersedia (mau) menyesuaikan gaya kepemimpinan mereka agar tetap relevan dan efektif di era AI yang terus berkembang.
AI membuka peluang banyak hal untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pekerjaan. Dalam sekejap AI mampu pengumpulan data, analisis, hingga evaluasi mutu pendidikan. Namun, persoalannya meski teknologi ini menawarkan keunggulan signifikan, ia tidak dapat menggantikan peran penting hubungan antar manusia khususnya leadership skills dalam membangun budaya mutu (quality culture) yang kokoh. Untuk itu, keterampilan kepemimpinan untuk memberikan arahan, membimbing, dan mendelegasikan menjadi sangat penting. Gaya kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Paul Hersey dan Ken Blanchard menawarkan pendekatan yang fleksibel. Dengan gaya kepemimpinan situasional memungkinkan pemimpin menghadapi dinamika perubahan teknologi sambil tetap menjaga keterlibatan emosional dan kepercayaan antar anggota tim.
Baca juga: Kampus dan Industri: Mengapa Respons Perguruan Tinggi Jadi Penentu di Era AI?
Era AI sungguh luar biasa, menuntut integrasi teknologi dalam proses SPMI, seperti penerapan siklus PPEPP (penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian dan peningkatan standar) dalam manajemen mutu pendidikan di perguruan tinggi. Contoh integrasi penggunaan perangkat lunak untuk analisis data mutu akademik atau sistem pemantauan pembelajaran, akan sangat membantu efisien pekerjaan. Namun, keberhasilan teknologi ini sangat bergantung pada kesiapan SDM yang memakainya. Gaya kepemimpinan situasional yang dikembangkan Hersey dan Blanchard, memungkinkan pemimpin perguruan tinggi dari rektor, dekan dan struktural lainnya untuk menyesuaikan gaya memimpin berdasarkan tingkat kesiapan teknis dan emosional anak buah. Ketika staf merasa tidak percaya diri dengan teknologi baru, gaya “Directing” (perintah) dapat digunakan untuk memberikan arahan dan bimbingan yang jelas.
Namun, lain lagi, bila anggota tim yang mulai memahami teknologi tetapi masih ragu dan membutuhkan dorongan, pemimpin dapat beralih ke gaya “Coaching” (membimbing). Dengan gaya ini pemimpin memberikan semangat, motivasi dan panduan yang diperlukan agar teknologi yang baru dipelajari dapat bejalan efektif. Adapun, bagi anggota staf yang sudah pandai dan mahir, pemimpin dapat mendelegasikan tanggung jawab penuh dengan gaya “Delegating” (delegasi). Dengan gaya ini memungkinkan anak buah bersemangat untuk bebas menjalankan peran mereka secara mandiri sambil tetap ada pantauan oleh pimpinan. Dalam kasus diatas, pemimpin berperan optimal sebagai jembatan antara inovasi teknologi dengan dinamika kemampuan bawahan yang heterogen.
Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat
Dalam dunia yang semakin dipengaruhi oleh teknologi AI, kekhawatiran akan kehilangan pekerjaan atau ketidakpastian sering kali menjadi bayangan yang menghantui para pegawai. Resistensi terhadap perubahan ini dapat menjadi penghambat keberhasilan implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Di sinilah gaya kepemimpinan “Supporting” (dukungan / merangkul) memainkan peran penting. Dengan berempati dan mendengarkan kekhawatiran staf, pemimpin menunjukkan bahwa AI dirancang bukan untuk menggantikan, namun untuk memudahkan pekerjaan mereka. Dengan gaya ini (supporting), pemimpin dapat membangun kepercayaan dan mengikis keragu-raguan yang muncul.
Lebih jauh lagi, pemimpin yang adaptif harus mampu memanfaatkan teknologi untuk mengurangi tugas-tugas administratif yang repetitif, dengan cara ini, pemimpin memberikan ruang bagi staf untuk fokus pada inovasi dan pengembangan mutu pendidikan (SPMI). Dengan pendekatan gaya situasional, pemimpin tidak hanya mengelola perubahan namun juga mengubah kekhawatiran menjadi peluang. Resistensi (penolakan) yang awalnya ditakuti dapat dirubah menjadi energi untuk menciptakan inovasi dan budaya mutu yang lebih baik.
Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI
Era AI bukan sekadar tentang teknologi, tetapi juga tentang cara kita memimpin, berkomunikasi, dan beradaptasi. Sumber Daya Manusia (SDM) di perguruan tinggi harus mampu memandang teknologi sebagai peluang untuk berkembang, bukan sebagai ancaman. Dengan mengadopsi gaya kepemimpinan situasional, rektor, dekan, dan para pemimpin lainnya dapat memastikan bahwa setiap individu dalam organisasi berkontribusi secara produktif dalam proses Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan).
Transformasi ini memerlukan kesadaran mendalam (awareness) bahwa keberhasilan SPMI tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan AI yang digunakan, namun juga oleh cara AI tersebut diintegrasikan secara harmonis ke dalam ekosistem manusia di perguruan tinggi. Gaya kepemimpinan yang adaptif menjadi kunci untuk menciptakan keseimbangan ideal antara teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan, memperkuat peran pendidikan tinggi sebagai pilar inovasi dan kemajuan.
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Pada akhirnya, tujuan utama SPMI adalah menciptakan budaya mutu yang berkelanjutan. AI dapat membantu dalam menyediakan data dan wawasan yang lebih baik, tetapi manusia tetap menjadi penggerak utama dalam menciptakan perubahan yang berarti. Gaya kepemimpinan situasional memungkinkan pemimpin untuk mengarahkan, mendukung, dan mendelegasikan peran dengan cara yang ideal yang mampu memberdayakan seluruh elemen organisasi.
Di tengah tantangan era AI, pemimpin yang fleksibel dan adaptif akan mampu membangun kolaborasi yang solid antara manusia dan teknologi. Ketika semua pihak merasa didukung, dihargai dan diberdayakan, keberhasilan SPMI bukan lagi sekadar visi, melainkan realitas yang bakal terwujud. Apakah Anda benar-benar siap memimpin tantangan perubahan ini? Stay Relevant!
Baca juga: SPMI dan Teori Kepemimpinan Manajerial Grid
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Di era kecerdasan buatan (AI) yang terus tumbuh dan berkembang, hubungan antara perguruan tinggi dan dunia industri menjadi semakin kritis. Perubahan drastis yang dipicu oleh otomatisasi dan teknologi canggih telah menggeser kebutuhan sumber daya manusia (SDM), menuntut keterampilan baru yang lebih kompleks, kreatif dan multidisiplin. Dampaknya terasa nyata, dengan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda berbagai industri sebagai respons terhadap disrupsi teknologi. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan dasar: sudahkah perguruan tinggi merespons dengan tepat dan cepat kebutuhan dunia usaha dan industri di era AI? Dan bagaimana respons ini dapat menentukan keberhasilan lulusan serta menjaga relevansi institusi pendidikan tinggi di tengah perubahan yang begitu dinamis?
Kolaborasi dan kerja sama antara kampus dan industri di era AI tidak lagi sekadar tentang mencetak tenaga kerja yang siap memenuhi tuntutan pasar, namun juga tentang membentuk lulusan yang mampu menjadi inovator, problem solver, dan pemimpin perbaikan di masa depan. Perguruan tinggi harus bergerak cepat (speed) untuk beradaptasi dengan lanskap yang terus berubah ini, menyelaraskan kurikulum dan metode pengajaran dengan kebutuhan industri berbasis teknologi. Artikel ini mengajak kita untuk mengeksplorasi bagaimana perguruan tinggi dapat merespons dinamika ini dengan lebih cerdas dan strategis, serta mengapa kecepatan dan ketepatan respons menjadi penentu keberhasilan institusi.
Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat
Revolusi industri 4.0, yang ditandai dengan dominasi kecerdasan buatan (AI), big data, dan otomatisasi, telah menciptakan disrupsi dan lanskap baru dalam dunia kerja. Pekerjaan tradisional yang dahulu menjadi tulang punggung ekonomi kini berubah semua, perlahan tapi pasti tergantikan oleh teknologi canggih. Di sisi lain, kebutuhan akan keterampilan baru seperti analisis data, pemrograman, pembelajaran mesin, dan pemikiran kritis terus meningkat. Tak hanya itu, kemampuan emosional atau soft skills, seperti komunikasi, kerja tim, kreativitas, dan adaptabilitas, semakin menjadi penentu keberhasilan, melengkapi keunggulan teknis (technical skills) yang dimiliki individu.
Bagi perguruan tinggi, tantangan ini tentu harus menjadi panggilan untuk terus melakukan pembaruan besar dalam kurikulum, sarana prasarana dan pendekatan pengajaran. Tidak cukup hanya menawarkan program studi berbasis teknologi, institusi harus melatih mahasiswa untuk berpikir kritis, kreatif, bekerja secara kolaboratif dalam tim multidisiplin, serta mampu mengintegrasikan inovasi teknologi dengan solusi nyata bagi masyarakat. Respons yang lambat terhadap perubahan ini bukan hanya memperlebar kesenjangan, namun juga dapat membuat lulusan kehilangan relevansi di dunia kerja era AI yang bergerak sangat dinamis.
Baca juga: Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?
Di era kecerdasan buatan (AI), perguruan tinggi perlu memperkuat partnership dengan dunia industri dan dunia usaha untuk memastikan relevansi program pendidikan. Kerja sama ini dapat mencakup pengembangan kurikulum berbasis teknologi, penelitian bersama dalam bidang AI, hingga penyelenggaraan pelatihan dan magang yang melibatkan para profesional industri. Melalui kolaborasi semacam ini, mahasiswa tidak hanya belajar teori di laboratorium dan ruang kelas, namun juga mendapatkan pengalaman praktik langsung di lapangan. Pengalaman praktis ini menjadi elemen penting dalam menciptakan proses pembelajaran yang holistik dan aplikatif.
Selain itu, teknologi berbasis AI dapat menjadi jembatan untuk memperkuat hubungan partnership antara perguruan tinggi dan dunia industri. Platform digital dapat digunakan untuk memantau kebutuhan industri secara real-time, membantu perguruan tinggi merancang program kegiatan yang sesuai dengan tren dan tuntutan global. Program pembelajaran berbasis AI memungkinkan penyesuaian kurikulum, metode pengajaran dengan perkembangan terkini, menjadikan proses belajar mengajar lebih relevan. Namun, untuk mewujudkan semua ini, perguruan tinggi juga harus siap dengan SDM yang kompeten serta sarana prasarana yang memadai. Dengan langkah ini, perguruan tinggi tidak hanya memperkuat posisinya sebagai pusat pendidikan dan inovasi, namun juga sebagai mitra strategis dalam ekosistem industri yang terus berkembang.
Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?
Perguruan tinggi yang responsif terhadap perubahan di era kecerdasan buatan (AI) tidak hanya mencetak lulusan yang siap kerja, namun juga menjadi pelopor dalam menciptakan inovasi yang relevan dengan kebutuhan zaman. Respons yang tepat dan cepat mencakup pembaruan kurikulum, investasi pada teknologi pembelajaran mutakhir, serta pembentukan jejaring kerja yang erat dengan industri terkait. Lebih dari itu, perguruan tinggi diharapkan mampu menjadi pioner menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan di sektor yang belum ada saat ini, namun akan menjadi kebutuhan skills untuk masa depan. Hal ini akan menempatkan institusi sebagai perguruan tinggi unggulan yang visioner.
Namun, respons ini tidak cukup hanya sekadar cepat. Perguruan tinggi juga harus memastikan bahwa inovasi yang dilakukan tidak hanya menjawab kebutuhan saat ini, namun juga memiliki dampak berkelanjutan. Salah satu elemen kunci untuk mencapai visi ini adalah melalui proses evaluasi dan umpan balik (feedback) yang melibatkan mahasiswa, dosen, staf serta mitra industri. Proses ini memastikan bahwa setiap program tetap relevan, efektif, dan adaptif terhadap perubahan yang terjadi.
Penting pula bagi perguruan tinggi untuk secara berkala memperbarui dokumen mutu pendidikan mereka, seperti visi, misi, kebijakan, dan standar dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Dokumen-dokumen ini adalah peta jalan yang mengarahkan seluruh aktivitas akademik dan pengelolaan institusi, sekaligus menjadi landasan dalam menjawab tantangan era AI. Dengan melakukan pembaruan (update) yang terus menerus, perguruan tinggi dapat menjaga arah strategis yang sesuai dengan perkembangan zaman, memastikan bahwa misi unik (mission differentiation) mereka tetap relevan, kebijakan tetap proaktif, dan standar mutu SPMI terus ditingkatkan. Respons yang terarah dan didukung oleh dokumen mutu yang kuat inilah yang akan membawa perguruan tinggi ke masa depan yang lebih optimis.
Baca juga: Kebijakan SPMI: Pilar Utama Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi
Di era AI, respons perguruan tinggi terhadap kebutuhan dunia industri menjadi lebih krusial dari tahun-tahun sebelumnya. Kolaborasi yang erat, penggunaan teknologi yang cerdas, dan pendekatan inovatif dapat memastikan bahwa lulusan tidak hanya relevan, namun juga siap memimpin perubahan di masa depan. Perguruan tinggi yang responsif terhadap dinamika industri di era AI akan memainkan peran penting sebagai katalisator inovasi dan pembangunan. Keberhasilan institusi kini diukur dari kemampuannya untuk menjembatani pengetahuan dengan praktik, sekaligus menciptakan karya nyata bagi dunia yang terus berubah. Stay Relevant!
Baca juga: Lima Prinsip SPMI: Fondasi Kokoh Menuju Keunggulan Institusi
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Visi: Senantiasa Bergerak dan Berempati untuk Menebar Manfaat bagi Mutu Pendidikan di Indonesia
Misi: Penguatan SPMI, Siklus PPEPP dan Budaya Mutu Pendidikan
Badan Hukum: PT. Fokus Inovasi Andalan Sejahtera. Kemenkumham no. AHU-0065119.AH.01.02. Perijinan berusaha, Sertifikat: 12092200264270005
Copyright © 2025 | mutupendidikan.com