بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Perguruan tinggi tidak hanya menjadi pusat pembelajaran bagi para mahasiswa, namun juga merupakan tempat bekerja bagi segenap dosen dan karyawan. Sebagai pilar utama pendidikan tinggi, tenaga pendidik dan kependidikan memerlukan lingkungan kerja yang nyaman, yang mendukung kesehatan fisik, mental, dan sosial. Lingkungan kerja yang nyaman tidak hanya meningkatkan motivasi dan produktivitas, namun juga membangun suasana yang harmonis dan menyenangkan, sehingga mendukung performance SDM secara keseluruhan.
Sayangnya, di beberapa kampus, perhatian utama sering kali hanya tertuju pada pengembangan fasilitas akademik, sementara kebutuhan kesejahteraan tenaga kerja kurang tersentuh. Padahal, keseimbangan antara fasilitas kerja yang nyaman dan lingkungan yang kondusif sangat penting untuk menjaga kesehatan, semangat, dan produktivitas para dosen dan karyawan. Tanpa dukungan lingkungan yang ideal, beban kerja yang berat “berisiko” menurunkan motivasi, kinerja dan kepuasan kerja. Oleh karena itu, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perlu mengatur dengan jelas standar sarana dan prasarana yang mendukung kesejahteraan tenaga kerja (SDM di Kampus). Dengan adanya standar ini, perguruan tinggi memiliki acuan yang jelas untuk membangun lingkungan kerja yang optimal, yang pada akhirnya memperkuat mutu pendidikan tinggi secara holistik.
Baca juga: Kampus Impian: Seperti Apa Sarana dan Prasarana yang Ideal di Mata Mahasiswa?
Ruang istirahat dan ruang bersantai adalah elemen penting dalam menciptakan keseimbangan kerja yang sehat. Sebuah ruang yang dirancang dengan cermat—dilengkapi sofa nyaman, dispenser air, mesin kopi, bahan bacaan ringan dan dekorasi yang menenangkan—memberikan tempat bagi dosen dan karyawan untuk melepaskan rasa jenuh, penat dan mengisi ulang energi (recharging energy). Di tengah jadwal mengajar yang padat atau beban administratif yang menumpuk, ruang istirahat menjadi “oasis kecil” yang menyegarkan pikiran dan tubuh. Bila perlu dapat dilengkapi sofa pijat refleksi dan layar karaoke untuk self healing.
Ruang istirahat (ruang santai) tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk beristirahat. Lebih dari sekedar tempat bersantai, ia menjadi ruang sosial (pertemuan informal) yang mempererat hubungan antar pimpinan, dosen dan staf, menciptakan suasana kerja yang hangat, harmonis dan kolaboratif. Percakapan santai (brainstorming) yang terjadi di ruang ini sering kali melahirkan ide-ide segar atau solusi inovatif untuk tantangan yang dihadapi dalam pekerjaan sehari-hari. Oleh karena itu, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perlu menetapkan ruang istirahat sebagai bagian penting dari standar sarana dan prasarana kampus. Fasilitas ini tidak hanya menjamin kenyamanan staf, namun juga mendukung keharmonisan dan efisiensi dalam lingkungan kerja institusi perguruan tinggi.
Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat
Fasilitas olahraga seperti meja pingpong, lapangan tenis, basket atau jalur jogging di kampus tidak hanya ditujukan bagi mahasiswa, tetapi juga menjadi kebutuhan penting bagi dosen dan karyawan. Aktivitas fisik terbukti mampu meningkatkan motivasi, mengurangi stres kerja, dan menjaga kesehatan mental. Dengan tubuh yang sehat dan bugar, tenaga kerja kampus akan dapat menjalankan tugas mereka dengan lebih fokus, produktif, dan penuh semangat.
Selain olahraga, kampus juga dapat menyediakan ruang rekreasi seperti taman yang asri, kolam atau area hijau yang dirancang untuk relaksasi. Lingkungan semacam ini memberikan kesempatan bagi staf untuk melepas penat, meredakan stres, atau sekadar menikmati suasana alam di sela-sela kesibukan kerja. Standar sarana dan prasarana yang diatur dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dapat menjadi panduan untuk memastikan bahwa fasilitas olahraga dan rekreasi tersedia, dikelola dengan baik, dan benar-benar mendukung kesejahteraan seluruh tenaga kerja kampus. Dengan fasilitas yang memadai, kampus menjadi tempat kerja yang lebih menyenangkan, sehat, harmonis, dan inspiratif.
Baca juga: Inovasi Sarana dan Prasarana: Menjawab Tantangan Pendidikan Masa Depan
Richard P. Dober dalam bukunya Campus Design menekankan pentingnya “placemaking“, yaitu menciptakan ruang yang mampu memenuhi kebutuhan fungsional, dan juga memperkuat identitas institusi dan mendukung produktifitas SDM yang memakainya. Dalam konteks dosen dan tenaga kependidikan, ruang kerja yang ideal harus dirancang untuk memberikan keseimbangan antara produktivitas dan kenyamanan. Ruang yang berfungsi sebagai tempat menyelesaikan tugas, melaksanakan penelitian atau mempersiapkan bahan pengajaran. Ruang yang ideal adalah yang mampu menciptakan suasana kerja (mood) yang inspiratif dan mendukung semangat kolaborasi.
Dober juga menekankan pentingnya “konektivitas” (keterhubungan) antar ruang-ruang dalam kampus. Lokasi ruang kerja harus strategis, misalnya, dekat dengan perpustakaan, kantin, laboratorium, atau fasilitas akademik lainnya. Sirkulasi antar ruang harus dapat meningkatkan efisiensi dan mempermudah komunikasi dan interaksi lintas departemen. Elemen keindahan (estetika) seperti furnitur ergonomis, pencahayaan alami, dan desain interior dapat memperkuat identitas ruang dan menumbuhkan rasa kebanggaan bagi pemakainya. Dengan menerapkan prinsip-prinsip tersebut, ruang kerja dokar (dosen dan karyawan) dapat menjadi bagian integral dari lingkungan yang mendukung budaya mutu perguruan tinggi.
Baca juga: Tak Kenal Maka Tak Sayang: Mengenal Lebih Dekat 6 Tujuan SPMI
Layanan kesehatan yang dekat dan mudah diakses adalah faktor penting. Sebuah klinik kesehatan yang menyediakan fasilitas pertolongan pertama, pemeriksaan rutin, hingga layanan konseling menjadi pendukung utama dalam menjaga kesehatan fisik dan mental dosen serta karyawan. Dengan keberadaan klinik yang representatif di kampus, staf tidak perlu menghabiskan waktu dan tenaga untuk mencari layanan medis di luar, sehingga mereka dapat tetap fokus pada pekerjaan di kantor.
Kesejahteraan mental (psikologi) tidak kalah penting dibandingkan kesehatan fisik. Program dukungan seperti sesi konsultasi, terapi self-healing, atau seminar manajemen stres dapat membantu staf menghadapi tekanan kerja dengan lebih baik. Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perlu memasukkan layanan kesehatan sebagai bagian integral dari standar sarana prasarana kampus. Dengan layanan ini, perguruan tinggi dapat menumbuhkan lingkungan kerja yang suporting, inklusif dan penuh perhatian, di mana setiap tenaga kerja merasa dihormati, dihargai dan dijaga kesejahteraannya. Kampus yang peduli pada kesehatan fisik dan mental para staf adalah kampus yang siap untuk maju dan tumbuh bersama.
Baca juga: Connecting The Dots: Transformasi SPMI melalui Kolaborasi Tim
Bagi kampus yang masih bergelut dengan keterbatasan budget, menyediakan sarana dan prasarana ideal mungkin terasa seperti tantangan besar. Namun, keterbatasan dana bukan berarti mengorbankan kenyamanan dan kesejahteraan tenaga kerja. Pendekatan strategis dan inovatif merupakan cara terbaik untuk memaksimalkan sumber daya (resources) yang ada.
Salah satu solusi adalah dengan memprioritaskan kebutuhan paling urgen. Contoh kampus dapat menyediakan area “multifungsi” sederhana seperti taman atau lapangan kecil yang dapat digunakan untuk berbagai aktivitas, baik olahraga, pentas seni maupun rekreasi. Kampus kecil juga dapat berkolaborasi dengan pemkot, komunitas atau mitra lokal untuk menyediakan layanan kesehatan atau konseling bagi tenaga kerja, sehingga dapat memberi manfaat dengan biaya yang hemat.
Kreasi dan Inovasi juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan yang terbatas. Misal, ruang istirahat kecil dapat “disulap” multifungsi dengan tambahan fasilitas sederhana seperti ruang musik dengan piano, mesin kopi, dispenser air, dan tempat duduk yang nyaman. Meskipun sederhana, langkah kecil ini dapat memberikan dampak positif yang signifikan.
Dengan kreasi dan inovasi, kampus kecil tetap dapat menciptakan lingkungan kerja yang mendukung. Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) juga dapat memberikan panduan fleksibel yang mempertimbangkan kapasitas dan anggaran yang terbatas, sehingga manajemen dapat mengoptimalkan apa yang dimiliki untuk kesejahteraan dosen dan karyawan. Dengan cara ini, meskipun budget terbatas, kampus kecil tetap mampu menjadi tempat kerja yang layak dan menarik.
Baca juga: Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku: Pilar Utama Budaya Mutu SPMI
Kesejahteraan dosen dan tenaga kependidikan bukanlah hal sekunder, melainkan prinsip penting untuk membangun kampus yang menyenangkan, produktif, dan berdaya saing tinggi. Dengan menyediakan sarana yang mendukung keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan, perguruan tinggi dapat memenuhi tanggung jawab moralnya sekaligus memastikan keberlanjutan organisasi.
Bagi kampus kecil yang menghadapi keterbatasan anggaran, menciptakan keseimbangan ini mungkin membutuhkan inovasi dan pengelolaan prioritas yang cermat. Solusi sederhana namun efektif, seperti memanfaatkan ruang multifungsi atau menjalin kolaborasi dengan komunitas lokal, tetap dapat memberikan dampak signifikan terhadap kesejahteraan tenaga kerja. Pendekatan ini menunjukkan bahwa kapasitas finansial yang terbatas bukanlah penghalang untuk menciptakan lingkungan kerja yang nyaman.
Lingkungan kerja yang seimbang memiliki manfaat ganda, tidak hanya bagi karyawan yang bekerja, namun juga bagi institusi secara keseluruhan. Tenaga pendidik dan kependidikan yang bahagia serta sehat, dapat membawa perguruan tinggi, untuk terus berkembang sebagai tempat belajar, bekerja, dan tumbuh bersama. Oleh karena itu, implementasi standar SPMI yang mencakup sarana dan prasarana untuk kesejahteraan dosen dan karyawan menjadi langkah konkret yang harus diprioritaskan. Dengan demikian, semua kampus, tanpa memandang skalanya, Insya Allah akan mampu menciptakan lingkungan kerja yang optimal pada pencapaian visi-misi organisasi. Stay Relevant!
Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Kemajuan teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI), telah merevolusi berbagai sendi-sendi kehidupan, termasuk dunia pendidikan tinggi. Dalam konteks implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), tantangan baru muncul di tengah kebutuhan untuk memadukan kecanggihan teknologi AI dengan sentuhan manusiawi (human relation skills). Pertanyaannya kini bukan hanya apakah pemimpin perguruan tinggi mampu menghadapi perubahan ini, tetapi juga apakah mereka bersedia (mau) menyesuaikan gaya kepemimpinan mereka agar tetap relevan dan efektif di era AI yang terus berkembang.
AI membuka peluang banyak hal untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pekerjaan. Dalam sekejap AI mampu pengumpulan data, analisis, hingga evaluasi mutu pendidikan. Namun, persoalannya meski teknologi ini menawarkan keunggulan signifikan, ia tidak dapat menggantikan peran penting hubungan antar manusia khususnya leadership skills dalam membangun budaya mutu (quality culture) yang kokoh. Untuk itu, keterampilan kepemimpinan untuk memberikan arahan, membimbing, dan mendelegasikan menjadi sangat penting. Gaya kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Paul Hersey dan Ken Blanchard menawarkan pendekatan yang fleksibel. Dengan gaya kepemimpinan situasional memungkinkan pemimpin menghadapi dinamika perubahan teknologi sambil tetap menjaga keterlibatan emosional dan kepercayaan antar anggota tim.
Baca juga: Kampus dan Industri: Mengapa Respons Perguruan Tinggi Jadi Penentu di Era AI?
Era AI sungguh luar biasa, menuntut integrasi teknologi dalam proses SPMI, seperti penerapan siklus PPEPP (penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian dan peningkatan standar) dalam manajemen mutu pendidikan di perguruan tinggi. Contoh integrasi penggunaan perangkat lunak untuk analisis data mutu akademik atau sistem pemantauan pembelajaran, akan sangat membantu efisien pekerjaan. Namun, keberhasilan teknologi ini sangat bergantung pada kesiapan SDM yang memakainya. Gaya kepemimpinan situasional yang dikembangkan Hersey dan Blanchard, memungkinkan pemimpin perguruan tinggi dari rektor, dekan dan struktural lainnya untuk menyesuaikan gaya memimpin berdasarkan tingkat kesiapan teknis dan emosional anak buah. Ketika staf merasa tidak percaya diri dengan teknologi baru, gaya “Directing” (perintah) dapat digunakan untuk memberikan arahan dan bimbingan yang jelas.
Namun, lain lagi, bila anggota tim yang mulai memahami teknologi tetapi masih ragu dan membutuhkan dorongan, pemimpin dapat beralih ke gaya “Coaching” (membimbing). Dengan gaya ini pemimpin memberikan semangat, motivasi dan panduan yang diperlukan agar teknologi yang baru dipelajari dapat bejalan efektif. Adapun, bagi anggota staf yang sudah pandai dan mahir, pemimpin dapat mendelegasikan tanggung jawab penuh dengan gaya “Delegating” (delegasi). Dengan gaya ini memungkinkan anak buah bersemangat untuk bebas menjalankan peran mereka secara mandiri sambil tetap ada pantauan oleh pimpinan. Dalam kasus diatas, pemimpin berperan optimal sebagai jembatan antara inovasi teknologi dengan dinamika kemampuan bawahan yang heterogen.
Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat
Dalam dunia yang semakin dipengaruhi oleh teknologi AI, kekhawatiran akan kehilangan pekerjaan atau ketidakpastian sering kali menjadi bayangan yang menghantui para pegawai. Resistensi terhadap perubahan ini dapat menjadi penghambat keberhasilan implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Di sinilah gaya kepemimpinan “Supporting” (dukungan / merangkul) memainkan peran penting. Dengan berempati dan mendengarkan kekhawatiran staf, pemimpin menunjukkan bahwa AI dirancang bukan untuk menggantikan, namun untuk memudahkan pekerjaan mereka. Dengan gaya ini (supporting), pemimpin dapat membangun kepercayaan dan mengikis keragu-raguan yang muncul.
Lebih jauh lagi, pemimpin yang adaptif harus mampu memanfaatkan teknologi untuk mengurangi tugas-tugas administratif yang repetitif, dengan cara ini, pemimpin memberikan ruang bagi staf untuk fokus pada inovasi dan pengembangan mutu pendidikan (SPMI). Dengan pendekatan gaya situasional, pemimpin tidak hanya mengelola perubahan namun juga mengubah kekhawatiran menjadi peluang. Resistensi (penolakan) yang awalnya ditakuti dapat dirubah menjadi energi untuk menciptakan inovasi dan budaya mutu yang lebih baik.
Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI
Era AI bukan sekadar tentang teknologi, tetapi juga tentang cara kita memimpin, berkomunikasi, dan beradaptasi. Sumber Daya Manusia (SDM) di perguruan tinggi harus mampu memandang teknologi sebagai peluang untuk berkembang, bukan sebagai ancaman. Dengan mengadopsi gaya kepemimpinan situasional, rektor, dekan, dan para pemimpin lainnya dapat memastikan bahwa setiap individu dalam organisasi berkontribusi secara produktif dalam proses Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan).
Transformasi ini memerlukan kesadaran mendalam (awareness) bahwa keberhasilan SPMI tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan AI yang digunakan, namun juga oleh cara AI tersebut diintegrasikan secara harmonis ke dalam ekosistem manusia di perguruan tinggi. Gaya kepemimpinan yang adaptif menjadi kunci untuk menciptakan keseimbangan ideal antara teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan, memperkuat peran pendidikan tinggi sebagai pilar inovasi dan kemajuan.
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Pada akhirnya, tujuan utama SPMI adalah menciptakan budaya mutu yang berkelanjutan. AI dapat membantu dalam menyediakan data dan wawasan yang lebih baik, tetapi manusia tetap menjadi penggerak utama dalam menciptakan perubahan yang berarti. Gaya kepemimpinan situasional memungkinkan pemimpin untuk mengarahkan, mendukung, dan mendelegasikan peran dengan cara yang ideal yang mampu memberdayakan seluruh elemen organisasi.
Di tengah tantangan era AI, pemimpin yang fleksibel dan adaptif akan mampu membangun kolaborasi yang solid antara manusia dan teknologi. Ketika semua pihak merasa didukung, dihargai dan diberdayakan, keberhasilan SPMI bukan lagi sekadar visi, melainkan realitas yang bakal terwujud. Apakah Anda benar-benar siap memimpin tantangan perubahan ini? Stay Relevant!
Baca juga: SPMI dan Teori Kepemimpinan Manajerial Grid
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Mutu pendidikan tinggi adalah landasan utama dalam menghasilkan lulusan yang relevan dengan kebutuhan zaman. Mutu ini mencakup berbagai aspek, mulai dari kurikulum, staf dosen yang kompeten, hingga fasilitas sarana prasarana yang memadai. Mutu pendidikan tinggi tidak hanya bicara tentang pencapaian akademik, namun juga tentang bagaimana perguruan tinggi dapat berkiprah sebagai pusat inovasi dan solusi atas segala problem yang dihadapi pemangku kepentingan.
Lebih lanjut, mutu pendidikan tinggi adalah mutu keseluruhan (totalitas) dari proses pendidikan yang mampu memenuhi tuntutan standar nasional maupun internasional. Hal ini mencakup kemampuan menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi akademis, keterampilan praktis, dan sikap kerja (attitude) yang profesional. Mutu pendidikan tinggi adalah tolok ukur (indikator) keberhasilan perguruan tinggi dalam mempersiapkan mahasiswa untuk berkiprah di dunia nyata.
Mutu pendidikan tinggi memiliki dampak langsung pada mahasiswa. Lulusan dari institusi yang bermutu lebih siap menghadapi tantangan dunia nyata karena mereka telah dibekali dengan berbagai ketrampilan, diantaranya keterampilan kritis (hard skills dan soft skills), ketrampilan berkolaborasi, dan daya adaptasi yang tinggi. Mereka tidak hanya menjadi pekerja yang kompeten dan berintegritas, namun juga siap untuk memimpin masa depan yang berubah dengan cepat.
Dampak mutu pendidikan tinggi tentu akan dirasakan juga oleh masyarakat luas. Perguruan tinggi yang bermutu akan berkontribusi pada kemajuan sosial dan ekonomi. Mereka akan menghasilkan penelitian yang aplikatif dan inovatif. Institusi yang bermutu akan mampu menjadi mitra strategis dalam pembangunan, membantu mengatasi problematik yang dihadapi masyarakat, seperti kelaparan, ketimpangan, dan konflik sosial politik.
Sebaliknya, perguruan tinggi yang kurang bermutu cenderung menghasilkan lulusan yang tidak siap berkompetisi. Lulusannya memiliki keterampilan yang kurang relevan dan daya saing yang rendah. Institusi yang kurang bermutu, sering kali gagal memanfaatkan potensi penelitian dan pengabdian masyarakat untuk memberikan solusi nyata bagi pemangku kepentingan.
Baca juga: Penguatan SPMI dengan 10 Peran Manajer ala Mintzberg
Era AI menghadirkan tantangan dan peluang baru bagi relevansi mutu pendidikan tinggi. Kemajuan dalam teknologi kecerdasan buatan (AI) mengubah banyak hal terkait cara belajar, cara bekerja, dan cara berinovasi. Oleh sebab itu, perguruan tinggi harus mampu mengintegrasikan teknologi AI ke dalam semua standar pendidikan yang relevan untuk menghadirkan pembelajaran yang bermutu tinggi. Dengan dukungan AI, mahasiswa dapat menikmati pembelajaran yang relevan disesuaikan dengan harapan dan kebutuhan semua pihak.
Lebih jauh lagi, institusi perlu memastikan bahwa lulusan siap menghadapi dunia kerja yang akan didominasi oleh teknologi AI. Ini berarti mencakup banyak hal seperti pembelajaran tentang etika AI, keterampilan digital tingkat lanjut, dan pemahaman bagaimana AI dapat diterapkan dalam berbagai tipe indusri. Perguruan tinggi yang bermutu akan menyiapkan lulusan yang trampil sebagai pengguna AI, dan juga “sekaligus” trampil sebagai inovator AI.
Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi
Mutu pendidikan tinggi tidak dapat dicapai instan hanya dengan satu kali ikhtiar; ini adalah proses terus menerus tanpa henti, yang memerlukan evaluasi dan perbaikan secara ajeg. Institusi pendidikan tinggi perlu memastikan bahwa semua aktivitas dan program kerja, mulai dari kurikulum hingga pelayanan kepada mahasiswa, berjalan sesuai standar yang telah ditetapkan. Sistem penjaminan mutu internal (SPMI) adalah salah satu cara untuk memastikan hal tersebut.
Baca juga: Kebijakan SPMI: Pilar Utama Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi
Di samping itu, umpan balik (feed back) dari mahasiswa, alumni, dan dunia kerja (DUDI) memainkan peran krusial dalam proses peningkatan mutu. Dengan mendengar masukan dari pemangku kepentingan (customer voice), perguruan tinggi akan mampu melakukan inovasi yang relevan dengan tuntutan nyata mereka. Langkah ini tidak hanya memperkuat kepercayaan (trust) dari pemangku kepentingan, namun juga mendukung institusi untuk siap bertransformasi agar senantiasa relevan di tengah-tengah masyarakat.
Baca juga: Kemalasan Sosial: Musuh Tersembunyi SPMI
Mutu pendidikan tinggi adalah kunci penting untuk menghasilkan lulusan yang kompeten, unggul, dan siap menghadapi tantangan di era AI. Dengan memahami esensi mutu dan dampaknya, perguruan tinggi didorong untuk terus berinovasi dalam memberikan pendidikan yang bermanfaat bagi masyarakat. Melalui upaya adaptasi teknologi AI, evaluasi rutin, dan kolaborasi strategis, pendidikan tinggi Insya Allah akan menjadi motor penggerak bagi kemajuan bangsa di masa yang serba digital. Stay Relevant!
Baca juga: Knowledge Management: Rekomendasi untuk Revisi Permendikbudristek 53 Tahun 2023
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan sistem mutu yang diatur Undang-Undang Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012 yang berfungsi untuk menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Namun, di tengah percepatan transformasi digital dan kompleksitas global yang sering dirangkum dengan istilah era BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, Incomprehensible), SPMI menghadapi tantangan yang semakin dinamis.
SPMI dituntut tidak hanya sekadar mempertahankan relevansinya, namun juga harus mampu beradaptasi untuk mendukung keberlanjutan mutu. Dalam konteks ini, integrasi Knowledge Management (KM) menjadi pilihan strategis yang perlu dipertimbangkan untuk memperkuat daya respons institusi terhadap perubahan.
Baca juga: Permendikbudristek 53/2023: Mengapa ‘Budaya Mutu’ Harus Jadi Fokus Utama?
Knowledge Management (KM) adalah pendekatan sistematis yang bertujuan mengidentifikasi, mengelola, dan mendistribusikan pengetahuan di dalam organisasi. Dalam konteks pendidikan tinggi, KM memainkan peran penting untuk memastikan bahwa pengetahuan yang diperoleh institusi—baik dari hasil pemantauan, audit mutu, hingga praktik terbaik—dapat terdokumentasi dengan baik, dan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung proses pengambilan keputusan dalam organisasi. Melalui KM, institusi pendidikan dapat mengolah data yang telah dikumpulkan menjadi wawasan (informasi) yang berharga. Wawasan tersebut tentu akan menjadi daya dorong untuk menciptakan inovasi, dan memperkuat daya saing institusi.
Artikel ini bertujuan untuk mengusulkan penambahan Knowledge Management (KM) sebagai elemen inti dalam revisi Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023. Dengan mengintegrasikan KM, diharapkan SPMI memiliki daya dorong yang lebih kuat untuk menghadapi tantangan dinamis era BANI.
SPMI, sebagaimana diatur dalam Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, khususnya pada Pasal 67 hingga 70, mewajibkan perguruan tinggi untuk melaksanakan siklus PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian dan Peningkatan Standar Mutu secara berkelanjutan.
Jika Knowledge Management (KM) diintegrasikan dalam revisi Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, hal ini diharapkan mampu menghadirkan kerangka kerja strategis yang memastikan proses PPEPP tidak sekadar menjadi rutinitas administratif, tetapi berkembang menjadi sistem pembelajaran yang dinamis, adaptif, dan berdaya guna bagi organisasi.
Seperti yang dipaparkan oleh Edward Sallis, dalam bukunya Total Quality Management in Education, KM memungkinkan institusi untuk mengelola dua jenis pengetahuan, yakni: tacit (pengetahuan yang tidak terdokumentasi) dan eksplisit (pengetahuan yang terdokumentasi). Dalam konteks SPMI, KM berfungsi mengolah semua informasi yang relevan seperti hasil evaluasi diri, audit mutu internal, dan pengendalian mutu lainnya menjadi wawasan strategis yang dapat digunakan untuk inovasi dan peningkatan berkelanjutan (kaizen).
Baca juga: Evaluasi Permendikbudristek 53/2023: Kecepatan versus Akuntabilitas
Agar Knowledge Management (KM) dapat diintegrasikan secara efektif ke dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), diperlukan regulasi yang menyediakan landasan hukum yang kokoh serta panduan operasional yang jelas dan terarah.
Langkah pertama adalah mendefinisikan KM sebagai proses sistematis untuk mengelola informasi, pengalaman, dan keahlian guna mendukung peningkatan mutu pendidikan tinggi. Definisi ini dapat dimasukkan dalam bagian Ketentuan Umum revisi Permendikbudristek 53 Tahun 2023, sehingga KM secara eksplisit diakui sebagai elemen penting dalam sistem penjaminan mutu internal (SPMI).
Langkah kedua adalah memastikan integrasi KM dalam siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan). Dalam tahap Penetapan, KM mendukung perguruan tinggi untuk menetapkan standar mutu berbasis data historis, praktik terbaik, dan pengalaman terdokumentasi. Pada tahap Pelaksanaan, KM membantu memastikan implementasi standar berjalan sesuai rencana dengan memanfaatkan pengetahuan yang terdokumentasi sebagai panduan operasional. KM juga dapat berfungsi sebagai alat untuk menyimpan dan mendistribusikan informasi penting selama pelaksanaan.
Pada tahap Evaluasi, KM berperan dalam mengumpulkan data dan informasi dari evaluasi diri, pemantauan, audit mutu internal, asesmen dan pelaporan mutu. Data ini kemudian diolah menjadi wawasan strategis pada tahap Pengendalian, di mana informasi digunakan untuk mengidentifikasi kesenjangan mutu dan memberikan umpan balik kepada manajemen. Akhirnya, pada tahap Peningkatan, KM mendukung penyebaran pengetahuan kepada pemangku kepentingan internal dan eksternal, sehingga memastikan hasil evaluasi dan pengendalian mutu digunakan untuk merancang Peningkatan Standar dan perbaikan berkelanjutan. Dengan demikian, KM menjadi elemen integral yang memperkuat setiap tahap dalam siklus PPEPP.
Baca juga: Inovasi Penjaminan Mutu: Masukan Untuk Evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023
Untuk mengintegrasikan KM dalam revisi Permendikbudristek 53 Tahun 2023, berikut adalah usulan isi pasal yang dapat dipertimbangkan:
Baca juga: Usulan Revisi Permendikbudristek No. 53/2023: Otonomi dan Fleksibilitas Penjaminan Mutu
Integrasi Knowledge Management (KM) ke dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) tidak hanya memperkuat mekanisme penjaminan mutu melalui siklus PPEPP, tetapi juga membangun dan menanamkan budaya pembelajaran organisasi (learning organization) yang berkelanjutan dan dinamis.
Dengan KM, perguruan tinggi akan mampu mengelola pengetahuan secara sistematis, memungkinkan adaptasi yang lebih cepat, dan meningkatkan efisiensi dalam mengembangan inovasi pendidikan. Revisi Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 yang mengakomodasi KM diharapkan dapat menjadi milestone menuju pendidikan tinggi yang unggul, inovatif, dan berkelanjutan. Stay relevant!
Baca juga: Kebijakan SPMI: Pilar Utama Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Korupsi selalu menjadi ancaman laten yang tak hanya merugikan keuangan negara (PTN) atau Badan Penyelenggara (PTS), namun juga mencederai sistem mutu pendidikan tinggi. Dalam konteks Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), korupsi dapat menghancurkan landasan utama yang dibangun di atas prinsip transparansi, akuntabilitas dan perbaikan berkelanjutan. SPMI disusun untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi memberikan layanan bermutu untuk segenap pemangku kepentingan, namun bila tidak waspada, perilaku korupsi dapat menghancurkan prinsip-prinsip SPMI yang telah dibangun.
Penyimpangan seperti gratifikasi dalam proses PMB, korupsi waktu, penggelapan dana, nepotisme dalam rekrutmen, hingga manipulasi laporan kinerja menjadi contoh nyata yang mengancam keberhasilan SPMI.
Lebih dari sekadar pelanggaran hukum, korupsi di institusi perguruan tinggi adalah pengkhianatan terhadap komitmen SPMI untuk menyediakan pendidikan yang bermutu.
Perguruan tinggi sepatutnya harus mulai melihat ancaman ini sebagai “musuh besar” yang harus diberantas demi menjaga marwah, kredibilitas dan integritas SPMI.
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Langkah terpenting untuk mencegah perilaku korupsi adalah membangun budaya integritas di seluruh aras (level) institusi pendidikan.
Integritas harus diupayakan untuk menjadi nilai inti yang tertanam dalam setiap kebijakan, keputusan, dan tindakan. Hal ini tentu saja tidak mudah, harus dimulai dengan memberi contoh (teladan) dari level pimpinan. Ketika pimpinan (role model) mencontohkan komitmen terhadap transparansi, hal itu tentu akan menciptakan efek domino positif, bergulir di seluruh level organisasi.
Pimpinan perguruan tinggi juga wajib menginternalisasi nilai-nilai integritas dalam setiap proses pengambilan keputusan. Contoh, dalam pengelolaan dana dan rekrutmen staf akademik, proses harus dilakukan terbuka dan tranparan mengikut prosedur yang telah dibakukan. Proses ini harus dilengkapi dengan mekanisme pengendalian yang melibatkan pihak independen, seperti auditor atau satuan pengawas internal (SPI). Dengan pendekatan ini, budaya integritas tidak hanya menjadi slogan yang ada di banner, poster atau spanduk, namun telah menjadi prinsip yang terinternalisasi dalam budaya organisasi.
Baca juga: Permendikbudristek 53/2023: Mengapa ‘Budaya Mutu’ Harus Jadi Fokus Utama?
Pengawasan (control) yang efektif merupakan elemen penting dalam mencegah praktik korupsi.
Perguruan tinggi harus memiliki tim audit mutu internal (AMI) yang kritis, independen dan berdaya guna. Audit mutu internal tidak hanya berfungsi sebagai alat evaluasi, namun juga sebagai sistem peringatan dini (early warning system) untuk mendeteksi risiko dan potensi penyimpangan sebelum menjadi masalah besar.
Selain audit, penggunaan teknologi (IT) dalam pengawasan juga dapat meningkatkan transparansi. Sistem digital untuk pelaporan dan pengelolaan data memungkinkan semua pihak yang berkepentingan untuk monitoring kinerja SPMI secara real-time (waktu nyata). Dengan akses terbuka terhadap informasi yang relevan, peluang untuk melakukan penyimpangan akan dapat dihindari, dan kepercayaan terhadap SPMI akan dapat meningkat.
Baca juga: SPMI Tanpa Knowledge Management? Jurang Kegagalan!
Kesadaran (awareness) akan bahaya korupsi harus terus diingatkan di kalangan sivitas akademika.
Program workshop, pendidikan dan pelatihan di kampus-kampus juga dapat meningkatkan pemahaman staf dan mahasiswa tentang dampak buruk korupsi. Program ini juga bisa mencakup berbagai media seperti ceramah, video, atau simulasi (kasus nyata) untuk menunjukkan bagaimana korupsi mampu merusak sistem dan membahayakan reputasi perguruan tinggi.
Program pendidikan dan pelatihan juga harus mampu untuk melatih keterampilan tertentu seperti laporan dugaan penyimpangan melalui saluran yang aman. Sistem whistleblowing (pengungkapan pelanggaran) dan pelaporan anonim tidak hanya melindungi pelapor, namun juga menjadi salah satu metode efektif untuk mengidentifikasi pelanggaran yang mungkin terjadi.
Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI
Sebagai penutup, SPMI bukan sekadar alat administratif, namun wujud komitmen perguruan tinggi untuk meningkatkan mutu pendidikan secara berkelanjutan.
Setiap bentuk perilaku korupsi yang menodai SPMI akan mengikis kepercayaan (trust) publik terhadap institusi. Oleh sebab itu, menjaga integritas SPMI berarti menjaga reputasi, marwah dan masa depan perguruan tinggi.
Dengan tindakan preventif (pencegahan) yang konsisten dan komprehensif, institusi akan dapat memastikan bahwa SPMI berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Institusi yang mampu menjaga kejujuran dan akuntabilitas implementasi SPMI Insya Allah akan mencetak lulusan bermutu yang siap bersaing di tingkat internasional. Oleh karena itu jangan biarkan perilaku korupsi menghancurkan misi perguruan tinggi yang mulia ini. Stay Relevant!
Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi adalah langkah penting untuk menjaga relevansi mutu pendidikan tinggi. Siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) didesain untuk memastikan proses yang berkesinambungan dalam peningkatan mutu (kaizen). Akan tetapi, sebagaimana disampaikan Christopher Booker dalam buku Groupthink: A Study in Self Delusion, dinamika kelompok yang disfungsional, atau groupthink, sering menjadi “penghambat tersembunyi” dalam proses pengambilan keputusan.
Groupthink (pemikiran kelompok) adalah kondisi di mana kelompok lebih mengutamakan harmoni internal dibandingkan dengan mempertanyakan keputusan secara kritis.
Dalam konteks SPMI, tim gugus kendali mutu (GKM) atau pimpinan dikhawatirkan terlalu fokus pada mencapai kesepakatan / kekompakan, sehingga mengabaikan fakta-fakta atau data yang bertentangan. Hal ini menciptakan suasana yang tampaknya menyenangkan dan solid, namun sebenarnya rapuh karena kurangnya evaluasi kritis.
Booker berpendapat, ketika kelompok kerja terjebak dalam pola pikir yang sama, mereka cenderung mengabaikan pandangan kritis dan merasionalisasi keputusan-keputusan yang keliru. Dalam situasi ini, ide-ide yang berbeda yang seharusnya menjadi masukan berharga sering kali diabaikan. Akibatnya, evaluasi cenderung formalitas saja, tanpa perbaikan-perbaikan yang substansial.
Keputusan dalam kondisi groupthink, bukan hanya kurang efektif, namun berisiko memperburuk masalah yang ada. Oleh sebab itu, untuk memastikan keberhasilan SPMI, penting bagi perguruan tinggi untuk waspada fenomena groupthink dan mendorong keterbukaan terhadap perbedaan pendapat (budaya kritis).
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Salah satu dampak dari groupthink, terciptanya “harmoni palsu” dalam kelompok. Dalam konteks SPMI, harmoni semacam ini sering muncul ketika evaluasi mutu (monev atau audit mutu) dilakukan tanpa benar-benar mengidentifikasi akar permasalahan. Unit kerja mungkin hanya mencari bukti yang mendukung bahwa standar telah terpenuhi, tanpa mempertanyakan apakah bukti-bukti tersebut mencerminkan fakta di lapangan.
Ketika “harmoni palsu” dijadikan tameng untuk menjaga citra kekompakan, kritik, dan gagasan yang tak nyaman disingkirkan. Dalam situasi ini, evaluasi dan pengendalian kehilangan makna, membuat siklus PPEPP tak lebih dari formalitas tanpa substansi.
Kelompok yang terjebak dalam pola pikir “harmoni palsu” kehilangan kemampuan untuk melihat situasi dari sudut pandang lain, sulit untuk berpikir out of the box. Dalam bukunya, Booker memberikan contoh bagaimana decision yang diambil tanpa mempertimbangkan pandangan alternatif sering kali gagal menghasilkan solusi yang baik. Hal ini menghambat upaya perbaikan yang seharusnya menjadi intisari dari implemenasi SPMI.
Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier
Untuk mencegah munculnya groupthink dalam SPMI, institusi harus membangun budaya yang mendorong refleksi kritis dan menghargai perbedaan pendapat. Unit kerja dapat menghindari jebakan “harmoni palsu” bila mereka siap menghadapi fakta yang tidak sesuai dengan harapan pribadi.
Dalam siklus PPEPP, keberanian untuk “mencari akar masalah” menjadi kunci di setiap tahap, dari penetapan, pelaksanaan hingga peningkatan standar.
Ada beberapa ide untuk mencegah munculnya groupthink. Institusi dapat melibatkan pihak eksternal (seperti konsultan atau auditor eksternal) sebagai langkah praktis untuk memberikan perspektif yang objektif. Pandangan kritis dari pihak eksternal membantu memecahkan bias kelompok dan memastikan evaluasi didasarkan pada data yang relevan dan obyektif, bukan sekedar hasil konsensus internal.
Solusi lain, penting bagi unit kerja untuk memiliki pemahaman mendalam (literasi) tentang prinsip-prinsip SPMI. Ketrampilan menggunakan data dan keberanian menyampaikan pandangan yang berbeda dapat mendorong proses pengambilan keputusan yang lebih obyektif. Dengan langkah-langkah ini, SPMI tidak hanya sekedar menjadi prosedur administratif, namun alat strategis untuk menubuhkan perubahan nyata dalam organisasi.
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Christopher Booker juga menyoroti bahwa groupthink sering terjadi pada organisasi dengan pola kepemimpinan yang terlalu dominan (otokratis). Dalam pelaksanaan SPMI, risiko ini muncul ketika pimpinan perguruan tinggi terlalu mendikte arah evaluasi dan pengendalian, sehingga anggota kelompok merasa enggan untuk menyuarakan ide dan pendapat yang berbeda. Akibatnya, dinamika kelompok menjadi terhambat, proses PPEPP selanjutnya hanya menjadi formalitas belaka, yang tidak menghasilkan peningkatan substansial.
Pada tahap peningkatan (dalam PPEPP), dinamika kelompok yang sehat menjadi sangat penting. Peningkatan standar SPMI memerlukan keberanian untuk mengambil keputusan berdasarkan fakta-fakta yang mungkin tidak populer.
Jika tim atau unit kerja tidak memiliki ruang untuk menyampaikan gagasan kritis, maka keputusan yang diambil cenderung hanya mempertahankan status quo saja.
Misalnya keputusan untuk peningkatan target dan indikator standar, gaya kepemimpinan partisipatif mungkin menjadi lebih relevan dengan mendorong unit kerja untuk siap menerima tantangan baru. Ancaman groupthink dapat dicegah dengan komunikasi 2 arah untuk menetapkan target dan strategi baru sesuai dengan prinsip MBO (management by objective).
Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI
Buku menarik Groupthink: A Study in Self Delusion, menegaskan bahwa groupthink adalah cerminan kegagalan produktifitas kelompok demi menyeimbangkan kebutuhan sosial dengan evaluasi kritis. Dalam konteks SPMI, ini menjadi pelajaran berharga bahwa “harmoni palsu” dapat menjadi musuh nyata yang merusak esensi penguatan SPMI. Tanpa keberanian untuk mengungkapkan fakta dan kebenaran, siklus PPEPP hanya akan menjadi formalitas-administratif belaka, yang kehilangan potensinya untuk mendorong perbaikan yang berkelanjutan (kaizen).
Untuk mencapai pendidikan tinggi yang bermutu, perguruan tinggi harus berani membangun budaya refleksi kritis yang mendorong keberagaman pandangan. Mencegah groupthink tidak hanya soal keberanian menyuarakan perbedaan, namun juga penting menciptakan SPMI yang kondusif, dan kepemimpinan yang inklusif. Dengan gagasan ini, SPMI dapat menjadi alat transformasi yang benar-benar strategis, dan bukan sekadar pemenuhan regulasi-formalitas belaka.
George Bernard Shaw seorang penulis dan dramawan pernah mengatakan, “Kemajuan tidak mungkin tanpa perubahan, dan mereka yang tidak dapat mengubah pikiran mereka tidak dapat mengubah apa pun.”
Demikian juga Pendidikan tinggi, membutuhkan keberanian untuk berubah, dimulai dari saat ini dengan keberanian berpikir berbeda. Stay Relevant!
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Ketika mengkaji mutu pendidikan tinggi, sering kali kita mendengar terminologi seperti kebijakan, standar, evaluasi, dan akreditasi. Namun, ada satu konsep fundamental yang sangat penting yaitu: budaya mutu.
Namun sangat disayangkan, dalam Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 Tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, istilah “budaya mutu” tidak muncul secara eksplisit.
Penulis tergerak untuk bertanya: Mengapa hal ini terjadi? Padahal, budaya mutu (quality culture) adalah inti dari keberlanjutan peningkatan kualitas pendidikan tinggi (kaizen).
Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 Pasal 68, memang menekankan pentingnya siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar), namun tanpa menyebut budaya mutu, kita kehilangan kesempatan untuk menanamkan prinsip bahwa budaya mutu harus menjadi DNA dari seluruh elemen sendi-sendi perguruan tinggi. Budaya mutu lebih dari sekadar prosedural; ini adalah ruh nilai-nilai (values) yang menggerakkan sivitas akademika dalam organisasi untuk secara sadar bekerja keras meningkatkan mutu pendidikan. Bila istilah budaya mutu tidak ditegaskan, penulis khawatir perguruan tinggi cenderung melihat penjaminan mutu hanya sebagai tugas administratif belaka, bukan sebagai misi transformatif.
Baca juga: Evaluasi Permendikbudristek 53/2023: Kecepatan versus Akuntabilitas
Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, khususnya Pasal 69 ayat (1) huruf b, mengamanatkan perguruan tinggi untuk mengintegrasikan implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) ke dalam manajemen perguruan tinggi. Ini adalah langkah sangat penting, namun tantangan besar masih menghadang. Banyak institusi perguruan tinggi yang melihat SPMI sebagai tanggung jawab terpisah, terbatas pada unit tertentu (unit LPM), tanpa integrasi ke dalam struktur organisasi secara holistik.
Sudah kita maklumi bersama, integrasi SPMI dengan manajemen perguruan tinggi adalah kunci penting untuk membangun budaya mutu yang berkelanjutan. SPMI harus menjadi satu kesatuan, bagian dari proses pengambilan keputusan, perencanaan strategis, hingga pengelolaan sumber daya manusia.
Tanpa integrasi ini, SPMI hanya akan menjadi sekumpulan dokumen formalitas yang tidak memiliki makna apa-apa. Sebaliknya, bila SPMI mampu diintegrasikan secara strategis, ia akan menjadi tool strategis untuk mencapai tujuan institusi dengan mendorong kolaborasi, kreatifitas, dan komitmen kolektif terhadap mutu pendidikan.
Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI
Melalui Surat Edaran Nomor 15 Tahun 2024, Menteri mengundang pemangku kepentingan untuk memberikan masukan, saran dan pertimbangan atas evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023. Sebagai bagian dari pemangku kepentingan, penulis merespon Surat Edaran tersebut, dengan mengusulkan agar diksi “budaya mutu” dimunculkan secara eksplisit dalam revisi mendatang. Regulasi ini memiliki potensi penting untuk mendorong transformasi pendidikan tinggi. Apabila diksi budaya mutu tidak secara eksplisit muncul sebagai inti dari Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi (SPM Dikti) dikhawatirkan tidak menjadi fokus perhatian. Tanpa pengakuan ini, upaya penguatan SPMI berpotensi kehilangan arah, dan terjebak dalam formalitas yang dangkal.
Sekali lagi, revisi regulasi dianjurkan mencakup pernyataan eksplisit bahwa tujuan akhir dari SPMI adalah membangun budaya mutu (pola pikir, pola sikap dan pola perilaku) yang kuat di setiap perguruan tinggi.
Dengan cara ini, regulasi akan memberi fokus dan arahan yang jelas bahwa mutu bukan hanya tentang kepatuhan terhadap standar, namun juga tentang perubahan paradigma (mindset) dan perilaku. Institusi perguruan tinggi dengan budaya mutu yang unggul tidak hanya fokus pada hasil akreditasi, namun juga pada dampak keberlanjutan terhadap kepuasan mahasiswa, masyarakat, dan bangsa.
Baca juga: Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku: Pilar Utama Budaya Mutu SPMI
Kehadiran budaya mutu di perguruan tinggi Insya Allah akan membawa perubahan paradigma yang besar. Perguruan tinggi tidak lagi mengejar angka-angka akreditasi semata, namun menjadikan budaya mutu sebagai prinsip (habit) kerja sehari-hari. Budaya mutu berarti segenap pimpinan, dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi pada mutu, tidak hanya dalam tugas formal pekerjaan, namun juga dalam perilaku dan nilai-nilai keseharian, hal ini sesuai dengan kutipan dari seorang pakar mutu bernama Edwards Deming “quality is everyone’s responsibility”.
Saat perguruan tinggi mengadopsi tuntutan regulasi budaya mutu, mereka akan berusaha membangun ekosistem yang mendukung siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar) menuju inovasi, pembelajaran berkelanjutan, dan kolaborasi.
Ini adalah paradigma yang sangat urgen untuk menghadapi tantangan globalisasi dan perkembangan teknologi (era BANI). Dengan regulasi yang tepat, budaya mutu akan menjadi tulang punggung pendidikan tinggi yang benar-benar kompetitif di tingkat nasional dan internasional.
Sesungguhnya pendidikan tinggi di Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar standar dan akreditasi. Pendidikan tinggi memerlukan panduan dan nilai-nilai yang membimbing perjalanan institusi menuju mutu pendidikan yang relevan. Budaya mutu adalah jawaban cerdas atas tuntutan ini, karena pada dasarnya mutu dibangun untuk mencapai kepuasan (customer satisfaction) untuk segenap pemangku kepentingan.
Dengan mencantumkan istilah “budaya mutu” secara eksplisit dalam regulasi, pemerintah tidak hanya memberikan arahan, namun juga menanamkan semangat kolektif untuk membangun masa depan yang lebih cerah bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah komponen penting dalam tata kelola perguruan tinggi. Kebijakan SPMI menjadi elemen esesial yang tidak hanya mendefinisikan arah peningkatan mutu, namun juga memastikan bahwa institusi mampu memenuhi tuntutan standar nasional pendidikan tinggi. Dalam penerapannya, kebijakan SPMI harus dirancang dengan mempertimbangkan banyak hal seperti visi strategis perguruan tinggi, regulasi yang berlaku, dan kebutuhan stakeholder lainnya.
Namun dalam praktiknya, tidak jarang Kebijakan SPMI dipandang sebagai dokumen administratif yang sulit dimengerti oleh sebagian besar sivitas akademika. Padahal, kebijakan ini memuat banyak hal penting seperti komitmen, standar SPMI dan pedoman strategis yang dapat mempermudah pengelolaan mutu di perguruan tinggi.
Artikel ini akan mencoba mengenalkan hal penting apa saja yang minimal harus ada dalam isi dokumen Kebijakan SPMI. Kebijakan yang dirancang dengan baik akan menjadi panduan yang terpercaya bagi segenap Sivitas akademika. Dengan pendekatan yang holistik, Kebijakan SPMI akan dapat menjadi alat strategis untuk membangun budaya mutu yang berkelanjutan.
Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi
Visi dan misi perguruan tinggi menjadi elemen penting “yang harus diintegrasikan” dalam Kebijakan SPMI. Visi mencerminkan tujuan (cita-cita) jangka panjang institusi, sedangkan misi adalah langkah strategis yang mendukung tercapainya visi institusi. Dalam konteks ini, Kebijakan SPMI tidak hanya berfungsi sebagai pedoman teknis, tetapi juga sebagai alat strategis untuk menyelaraskan upaya peningkatan mutu “dengan berpedoman” sesuai arah visi misi perguruan tinggi.
Oleh karena itu, visi dan misi “harus di update terlebih dahulu” agar tetap relevan dengan perubahan lingkungan eksternal. Bila visi dan misi belum ter-update, maka upaya integrasi dengan kebijakan SPMI akan sia-sia, karena pada dasarnya perangkat SPMI dibangun dengan tujuan untuk mendukung pencapaian visi dan misi.
Mission Differentiation juga merupakah hal penting yang harus dikelola terlebih dahulu. Dengan keunikan dan positioning yang tepat, dokumen turunan seperti perangkat SPMI, akan disesuaikan agar terintegrasi dan mendukung pencapai visi dan misi unik yang telah dirancang sebelumnya.
Dengan kata lain, Kebijakan SPMI tidak akan memiliki makna apa apa, apabila pernyataan visi dan misi unik masih belum relevan.
Sebagai contoh, institusi yang memiliki visi menjadi pusat unggulan dalam penelitian harus memastikan bahwa Kebijakan SPMI berkomitmen dan mendukung penguatan standar penelitian. Hal ini dapat dilakukan dengan menetapkan standar mutu penelitian yang unggul, yang spesifik, seperti jumlah publikasi internasional yang ditargetkan setiap tahun. Dengan integrasi ini, Kebijakan SPMI dapat menjadi motor penggerak utama dalam mewujudkan visi dan misi institusi.
Baca juga: Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku: Pilar Utama Budaya Mutu SPMI
Agar Kebijakan SPMI menjadi bermakna dan mudah dipahami, harus dirancang menarik dan sistematis. Kebijakan SPMI sangat dianjurkan memiliki uraian latar belakang dan tujuan yang jelas agar relevan dan aplikatif. Latar belakang biasanya mencakup info terkait tantangan global yang dihadapi perguruan tinggi, seperti tantangan era BANI, kebutuhan untuk meningkatkan akreditasi, daya saing global, atau adaptasi terhadap regulasi baru.
Sementara itu, tujuan dalam Kebijakan SPMI juga harus dirumuskan secara spesifik dan terukur. Alangkah baiknya bila tujuan kebijakan dirumuskan untuk jangka pendek tahunan, sehingga setiap tahun sekali (minimal) dokumen kebijakan SPMI perlu di update.
Contoh tujuan kebijakan seperti mencapai akreditasi unggul, mendukung budaya mutu, atau meningkatkan kepuasan pemangku kepentingan.
Sebagai ilustrasi, perguruan tinggi yang memiliki visi kuat dalam pengabdian kepada masyarakat (mission differentiation) dapat menjadikan Kebijakan SPMI sebagai alat strategis untuk mengoptimalkan program-program pengabdian yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat lokal. Dengan menerapkan standar mutu yang spesifik untuk pengabdian masyarakat, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa program yang dirancang tidak hanya relevan, juga juga memberikan dampak yang terukur bagi pengembangan komunitas (community development).
Contoh, Kebijakan SPMI dapat menetapkan indikator keberhasilan seperti jumlah pengabdian yang berbasis riset, tingkat kepuasan masyarakat , atau jumlah kolaborasi dengan pemerintah daerah dan sektor swasta. Melalui pendekatan ini, perguruan tinggi tidak hanya memenuhi tanggung jawab sosialnya namun juga memperkuat perannya sebagai katalisator perubahan di tengah masyarakat. Kebijakan SPMI yang dirancang dengan baik mampu menjadikan program pengabdian masyarakat sebagai bagian integral dari strategi mutu perguruan tinggi.
Baca juga: SPMI Berbasis Pengetahuan: Aset Utama Perguruan Tinggi
Berikut akan disampaikan informasi apa saja yang dianjurkan ada dalam isi Kebijakan SPMI:
Kebijakan SPMI sebaiknya mencantumkan asas-asas fundamental seperti transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan sebagai landasan utama dalam implementasi mutu. Selain itu, prinsip-prinsip yang mendukung budaya mutu juga perlu dirumuskan secara eksplisit untuk mencerminkan nilai-nilai yang dianut perguruan tinggi. Dalam merumuskan asas dan prinsip, perguruan tinggi tidak harus mengikuti model dari institusi lain. Sebaliknya, institusi dapat mengembangkan sendiri asas dan prinsip tersebut dengan mengintegrasikan kearifan lokal yang relevan dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing. Pendekatan ini tidak hanya membuat kebijakan lebih autentik tetapi juga memperkuat identitas institusi dalam mengelola mutu secara berkelanjutan.
Selain mencantumkan tujuan umum, Kebijakan SPMI juga dianjurkan untuk merumuskan strategi spesifik yang mencerminkan arah strategis perguruan tinggi, termasuk pilihan mission differentiation yang ditetapkan sebagai positioning institusi. Strategi spesifik ini dapat meliputi, misalnya, penerapan teknologi dalam manajemen mutu untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi, atau memperkuat kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan, seperti industri, pemerintah, dan masyarakat. Pendekatan ini tidak hanya memperjelas langkah implementasi kebijakan tetapi juga memperkuat daya saing perguruan tinggi melalui inovasi dan keterlibatan yang lebih luas.
Ruang lingkup kebijakan SPMI mencakup bidang akademik, seperti kurikulum, pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, serta bidang non-akademik, seperti layanan administrasi, keuangan, dan manajemen sumber daya manusia (SDM). Pendekatan yang holistik ini memastikan bahwa kebijakan tidak hanya berfokus pada satu aspek, tetapi mencakup seluruh aktivitas institusi yang mendukung tercapainya mutu secara menyeluruh. Penjelasan yang jelas mengenai ruang lingkup ini sangat penting agar seluruh sivitas akademika memahami perannya masing-masing dan dapat memberikan dukungan aktif dalam implementasi kebijakan. Dengan demikian, ruang lingkup yang terdefinisi baik akan membantu menciptakan sinergi di seluruh unit kerja perguruan tinggi.
Manajemen SPMI berpusat pada siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar), yang menjadi inti dari upaya penjaminan mutu di perguruan tinggi. Siklus ini dirancang untuk memastikan bahwa setiap proses dan aktivitas institusi dilakukan secara sistematis, terukur, dan berorientasi pada perbaikan berkelanjutan. Dalam isi Kebijakan SPMI, perlu menjelaskan secara garis besar bagaimana setiap tahap dalam siklus PPEPP diterapkan baik akademik maupun non-akademik. Penjelasan ini akan memberikan panduan yang jelas kepada semua unit kerja, sehingga siklus PPEPP dapat diimplementasikan secara konsisten untuk mencapai dan melampaui standar mutu yang telah ditetapkan. Dianjurkan untuk menambahkan tautan (link) bagi pembaca yang ingin mengetahui lebih dalam tentang PPEPP.
Pengorganisasian SPMI memerlukan struktur organisasi yang jelas untuk memastikan pelaksanaan sistem penjaminan mutu berjalan secara efektif. Struktur ini dapat mencakup pembentukan unit khusus seperti Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) yang bertanggung jawab secara langsung terhadap implementasi dan pengawasan SPMI. Alternatif lain adalah “mengintegrasikan” fungsi penjaminan mutu ke dalam manajemen perguruan tinggi, dengan melibatkan unit-unit kerja terkait di bawah koordinasi pimpinan.
Agar dokumen Kebijakan SPMI tidak terlalu tebal, kami menyarankan menguraikan secara garis besar bagaimana struktur ini dirancang, termasuk pembagian tugas, tanggung jawab, dan wewenang masing-masing unit. Namun perlu diingat, bahwa penjelasan detail juga sangat penting, oleh karena itu sertakan “tautan (link) yang dapat di klik” bila pengguna ingin membaca penjelasan detail tentang struktur organisasi.
Kebijakan SPMI perlu mencantumkan secara jelas nama-nama standar yang berlaku sebagai acuan utama dalam penjaminan mutu. Nama standar yang dapat dicantumkan diantaranya Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi Pembelajaran, Standar Proses Pembelajaran, Standar Penilaian Pembelajaran, Standar Penelitian, Standar Pengabdian kepada Masyarakat, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, serta Standar Pembiayaan.
Dengan mencantumkan jumlah dan nama-nama standar, Kebijakan SPMI memberikan kejelasan cakupan dan fokus mutu yang ingin dicapai, sehingga membantu seluruh elemen institusi bekerja menuju target yang sama secara konsisten dan terukur.
Penjelasan lebih rinci tentang setiap standar dapat disampaikan dalam dokumen pendukung atau sangat dianjurkan untuk menyertakan tautan (link) agar pengguna punya kesempatan untuk mengunjungi dengan mudah.
Baca juga: Kemalasan Sosial: Musuh Tersembunyi SPMI
Kebijakan SPMI tidak dapat berjalan efektif tanpa perangkat pendukung yang dirancang dengan baik. Perangkat pendukung minimal meliputi pedoman penerapan siklus PPEPP, standar dan kriteria mutu, serta tata cara pendokumentasian implementasi.
Perangkat-perangkat ini harus dirancang dengan baik untuk mempermudah setiap langkah dalam siklus penjaminan mutu, mulai dari perencanaan hingga evaluasi.
Ketrampilan menyusun perangkat SPMI perlu terus ditingkatkan. Penyusunan Perangkat SPMI memerlukan ketrampilan multi disiplin keilmuan seperti manajemen kualitas, manajemen strategik, dan ilmu perilaku keorganisasian, karena keberhasilan SPMI tidak terlepas dari dari ketrampilan leadership, motivasi dan komunikasi.
Pedoman penerapan siklus PPEPP dapat mencakup contoh nyata dari langkah evaluasi mutu, seperti bagaimana mengukur kepuasan mahasiswa terhadap proses pembelajaran, serta bagaimana melibatkan semua pemangku kepentingan dalam memberikan umpan balik yang konstruktif. Selain itu, penerapan perangkat SPMI yang komprehensif memerlukan integrasi antara manajemen strategis dan ilmu perilaku keorganisasian untuk memastikan setiap elemen dalam siklus PPEPP berjalan dengan efektif. Manajemen yang baik akan membantu dalam perencanaan, pengelolaan sumber daya, dan pengambilan keputusan berbasis data, sedangkan pendekatan perilaku keorganisasian penting untuk memahami motivasi, komunikasi, dan dinamika tim di dalam institusi.
Pendokumentasian yang baik juga menjadi kunci untuk memastikan bahwa setiap langkah dalam siklus dapat diaudit dan ditingkatkan secara berkelanjutan. Dengan menggabungkan manajemen strategis dan perilaku keorganisasian, perangkat SPMI dapat dirancang agar tidak hanya aplikatif tetapi juga relevan dengan budaya kerja institusi. Hal ini memastikan bahwa Kebijakan SPMI mampu menjawab kebutuhan institusi secara menyeluruh dan berorientasi pada peningkatan mutu yang berkelanjutan.
Baca juga: Transformasi SPMI: Komunikasi Internal sebagai Game-Changer
Kebijakan SPMI harus memiliki keterkaitan yang erat (terintegrasi) dengan dokumen strategis perguruan tinggi lainnya, seperti statuta, rencana strategis (Renstra), dan dokumen akreditasi.
Hubungan ini memastikan bahwa Kebijakan SPMI tidak berdiri sendiri, namun menjadi bagian integral dari tata kelola institusi. Sebagai contoh, standar mutu dalam Kebijakan SPMI harus mendukung pencapaian target yang ditetapkan dalam Renstra. Apabila target Renstra dirancang untuk target 5 tahun kedepan, maka standar SPMI dapat dirancang menjadi target tahunan, yang perlu terus di update setiap tahun.
Integrasi Kebijakan SPMI dengan dokumen strategis lainnya memberikan kejelasan arah bagi seluruh pemangku kepentingan di perguruan tinggi. Dosen dan staf dapat dengan mudah memahami bagaimana kebijakan SPMI mendukung pencapaian tujuan strategis institusi, sehingga mereka merasa lebih termotivasi untuk berkontribusi dalam implementasinya. Dengan pendekatan ini, Kebijakan SPMI tidak hanya berfungsi sebagai dokumen administratif, tetapi juga sebagai panduan strategis yang relevan dan aplikatif.
Alih-alih berfokus langsung pada capaian dalam Renstra, Kebijakan SPMI memungkinkan perguruan tinggi untuk lebih mudah fokus pada target-target tahunan yang telah diuraikan dalam perangkat SPMI. Hal ini terjadi karena target dalam perangkat SPMI sudah dirancang sebagai hasil breakdown yang terstruktur dari target yang lebih besar di Renstra.
Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI
Kebijakan SPMI adalah elemen penting dalam sistem tata kelola perguruan tinggi. Dengan menyusun kebijakan yang holistik yang mencakup visi, tujuan, perangkat pendukung, dan keterkaitan dengan dokumen strategis lainnya, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa standar mutu akan dapat diimplementasikan secara efektif dan konsisten. Lebih dari itu, Kebijakan SPMI juga berperan dalam menciptakan budaya mutu yang berkelanjutan, yang menjadi landasan bagi keunggulan institusi di tingkat nasional maupun global. Dalam era persaingan pendidikan tinggi yang semakin ketat, Kebijakan SPMI yang dirancang dengan baik InsyaAllah menjadi kunci keberhasilan perguruan tinggi. Stay Relevant!
Bila kutitipkan harapku pada kebijakan,
Pastilah ia menjalin budaya mutu.
Bila kutitipkan langkahku pada visi,
Pastilah ia menuntun menuju kejayaan.
Bila kutitipkan mimpiku pada strategi,
Pastilah ia menganyam tujuan bersama.
Bila kutitipkan perjuanganku pada renstra,
Pastilah ia melahirkan keunggulan.
Yaa Allah Yaa Rabb…Bismillah
Kan kusimpan keyakinan dalam panduan ini,
Kusulam mutu dalam napas institusi.
Kan kujaga harapan dalam terang visi,
Kutanam semangat di tanah prestasi.
Baca juga: SPMI Tanpa Knowledge Management? Jurang Kegagalan!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah tool penting dalam pengelolaan mutu institusi perguruan tinggi. Melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar), SPMI dikembangkan untuk memastikan kesinambungan mutu dan kemampuan institusi dalam merespons kebutuhan pemangku kepentingan yang terus berubah. Siklus ini, kemudian menjadi fondasi bagi perguruan tinggi untuk menjalankan misi unik (mission differentiation) secara efektif dan efisien.
Keberhasilan SPMI tentu tidak mudah, banyak faktor yang saling mempengaruhi. SPMI tidak hanya bertumpu pada aturan regulasi dan prosedur teknis semata, namun juga sangat dipengaruhi oleh perilaku anggota organisasinya (psikologi manajerial).
Teori X dan Y yang dikembangkan oleh Douglas McGregor memberi framework yang relevan untuk penguatan SPMI. Teori X dan Y menggambarkan bagaimana asumsi tentang perilaku manusia dapat mempengaruhi banyak hal dalam elemen organisasi, seperti motivasi, pengambilan keputusan, gaya kepemimpinan, dan penciptaan budaya mutu yang berkelanjutan. Buku Mc Gregor berjudul The Human Side of Enterprise, dianggap sebagai salah satu karya klasik, referensi penting dalam literatur ilmu psikologi dan manajemen.
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
McGregor memperkenalkan dua asumsi tentang motivasi manusia, yaitu: Teori X dan Teori Y.
Teori X berasumsi pegawai sebagai pribadi yang cenderung malas, memerlukan kontrol ketat, dan hanya termotivasi oleh ancaman atau insentif.
Sebaliknya, Teori Y berasumsi manusia sebagai pribadi yang kreatif, bertanggung jawab, dan secara natural termotivasi untuk mencapai target jika diberikan lingkungan yang suportif.
Dalam konteks pengelolaan manajemen mutu di perguruan tinggi, teori X dan Y menawarkan perspektif yang menarik. Implementasi SPMI dan PPEPP, yang sering menggunakan pendekatan bottom-up atau top-down, dapat memanfaatkan kombinasi Teori X dan Y untuk memotivasi dan mengelola SDM perguruan tinggi.
Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!
Pada tahap penetapan standar (dalam siklus PPEPP), terkadang institusi memerlukan pedoman dan kontrol yang jelas untuk membangun kerangka kerja yang terstruktur. Dalam konteks ini, pendekatan berbasis Teori X sering kali lebih cocok, terutama ketika standar baru harus ditetapkan. Misalnya, dalam menetapkan standar kompetensi lulusan, perguruan tinggi perlu menetapkan kriteria yang spesifik, seperti kemampuan analitis, keterampilan teknis, atau penguasaan teknologi terkini sesuai kebutuhan industri. Pendekaan top-down, lebih cocok, dimana pimpinan (manajemen) menetapkan standar yang tegas dan menantang (challenge) sesuai dengan “misi unik” (mission differentiation) perguruan tinggi.
Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?
Kontrol ketat dan tegas dapat membantu memastikan bahwa semua unit memahami target dan indikator yang ditetapkan. Contoh, dalam penetapan standar kompetensi lulusan, pengawasan ketat dapat berupa pengembangan prosedur yang detail, pelatihan manajemen strategik untuk menyusun mission differentiation menjadi sangat urgen.
Pimpinan dapat fokus untuk membangun misi unik organisasi dan menetapkan dokumen standar yang visioner. Bila manajemen menetapkan bahwa lulusan program teknik harus memiliki sertifikasi keahlian tertentu, maka perguruan tinggi dapat menerapkan target dan indikator kebijakan sertifikasi, yang implementasinya wajib diawasi secara berkala oleh UPPS / fakultas.
Pendekatan Teori X juga berguna dalam menghadapi penolakan (resistensi) terhadap munculnya standar baru yang dirasa cukup memberatkan. Contoh, bila ada pihak yang kurang berkenan pada isi standar kompetensi lulusan, manajemen dapat menggunakan kebijakan tegas, seperti kewajiban memasukkan capaian pembelajaran sesuai standar dalam setiap kurikulum. Walau ada resistensi di awal, langkah ini membantu memastikan bahwa proses penetapan standar dapat berjalan sesuai visi-misi dan renstra. Sebaliknya, bila menerapkan pendekatan bottom-up (dalam penetapan standar SPMI), ada kekhawatiran, bawahan akan menyusun target yang rendah, mudah dicapai dan bahkan tidak relevan.
Setelah standar SPMI ditetapkan (langkah awal), tahap berikutnya adalah tahap pelaksanaan (dalam siklus PPEPP). Tahap ini memerlukan semangat dan keterlibatan aktif dari semua anggota organisasi (sivitas akademika). Penerapan Teori Y, dipandang lebih cocok pada tahap ini karena mendorong motivasi, partisipasi dan tanggung jawab bersama. Misal, dalam pelaksanaan standar proses pembelajaran, tim dosen dapat dilibatkan dalam menyusun metode pengajaran yang inovatif, sementara mahasiswa diberikan ruang untuk memberikan feedback terkait bentuk dan format perkuliahan. Sumbang saran dari mahasiswa dapat dilakukan dalam berbagai media seperti forum diskusi, kotak saran atau sesi feedback bulanan.
Contoh lain, saat evaluasi pelaksanaan standar SPMI, misal evaluasi pelaksanaan standar proses pembelajaran, manajemen dan auditor dapat menggunakan prinsip Teori Y (pendekatan yang partisipatif). Institusi dapat mengadakan sesi evaluasi (monev, audit atau tinjauan manajemen) bersama dosen dan mahasiswa untuk mengevaluasi sejauh mana efektivitas proses pembelajaran yang sudah berjalan atau sedang berlangsung. Survei kepuasan mahasiswa terhadap metode pembelajaran berbasis proyek, misalnya, dapat digunakan untuk mengidentifikasi area-area mana saja yang perlu diperbaiki (tindakan korektif dan preventif).
Pendekatan teori Y membantu menumbuhkan rasa memiliki terhadap standar SPMI, baik dosen, tendik maupun mahasiswa. Ketika semua pihak merasa dihargai, semangat untuk bekerja sama menjadi optimal dan hasil evaluasi menjadi lebih relevan dan akurat, yang pada akhirnya membantu institusi untuk melakukan pengukuran standar dengan baik.
Baca juga: Teori 2 Faktor: Memadukan SPMI dengan Motivasi Intrinsik
Tahap pengendalian (dalam siklus PPEPP) sangat krusial untuk memastikan bahwa pelaksanaan standar SPMI sudah sesuai dengan yang telah ditetapkan. Dengan menerapkan prinsip Teori Y, pimpinan dapat melibatkan unit-unit kerja, seperti fakultas, UPPS dan program studi, untuk “secara mandiri” memantau pencapaian target kinerja masing-masing. Program studi dapat diberikan tanggung jawab untuk memeriksa apakah standar kurikulum telah memenuhi capaian pembelajaran yang dipersyaratkan. Pendekatan Teori Y ini mendorong iklim “rasa kepemilikan” terhadap capaian mutu kurikulum di masing-masing program studi.
Tahap peningkatan standar (dalam PPEPP) dapat menggunakan asumsi teori Y (situasional). Asumsi Teori Y dapat dipilih untuk mendorong kreativitas dan inovasi dari semua pihak. Misal, dosen dapat dilibatkan dalam pengembangan standar baru untuk mata kuliah yang relevan dengan tren perkembangan industri. di sisi lain mahasiswa juga dapat memberikan ide dan saran melalui wawancara, survei atau diskusi mengenai relevansi isi standar kurikulum bagi mahasiswa.
Pemakaian asumsi Teori Y juga dapat menumbuhkan kolaborasi yang kuat antar unit kerja maupun stakeholder lainnya. Peningkatan mutu tidak hanya menjadi tanggung jawab manajemen, namun melibatkan semua elemen dalam institusi. Dengan pendekatan ini, harapannya perguruan tinggi dapat membangun kurikulum yang lebih adaptif, relevan, dan sesuai dengan tuntutan perubahan zaman.
Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI
Pendekatan Teori X dalam tahap peningkatan standar (dalam PPEPP) dapat juga menjadi relevan. Dalam situasi tertentu, kadang kala ketegasan dan perubahan signifikan diperlukan. Hal ini memerlukan kepatuhan awal yang ketat.
Teori X, yang fokus pada kontrol, pengawasan, dan arahan langsung, cocok sekali digunakan untuk memastikan bahwa seluruh elemen dalam organisasi memahami urgensi dan pentingnya peningkatan standar. Tahapan ini sering kali membutuhkan disiplin tinggi untuk menghindari penyimpangan dari target yang telah ditetapkan.
Contoh, dalam peningkatan standar keluaran (output) penelitian di perguruan tinggi, kebijakan yang mewajibkan dosen mempublikasikan artikel di jurnal internasional bereputasi dapat diterapkan dengan kontrol ketat. Manajemen dapat membuat target spesifik, seperti jumlah publikasi minimal per tahun, dan melakukan pemantauan secara ketat terhadap capaian individu maupun unit kerja. Dengan demikian, peran kontrol dan kepatuhan menjadi krusial untuk memastikan bahwa target standar keluaran penelitian dapat dicapai dalam waktu yang ditetapkan, disinilah asumsi teori X dapat digunakan.
Pendekatan Teori X juga dapat dipakai dalam situasi di mana penolakan (resistensi) anggota organisasi cukup tinggi. Bila dosen atau staf menunjukkan tanda tanda kurang inisiatif tentang peningkatan standar, maka, perintah (instruksi), arahan langsung dan regulasi yang tegas diharapkan dapat mengatasi hambatan ini. Walau demikian, pendekatan Teori X sebaiknya tidak digunakan secara terus menerus, sesekali saja untuk membangun pondasi yang kuat sebelum beralih ke metode yang lebih fleksibel dan partisipatif. Teori X dapat digunakan sebagai alat kepatuhan awal sebelum membangun “budaya mutu” untuk peningkatan standar yang lebih mandiri dan partisipatif.
Baca juga: SPMI Berbasis Pengetahuan: Aset Utama Perguruan Tinggi
Membangun budaya mutu di perguruan tinggi memerlukan kombinasi yang proporsional antara pendekatan Teori X dan Teori Y.
Dalam penetapan standar dosen, dalam situasi awal, pendekatan Teori X dapat digunakan, misal ditetapkan standar kualifikasi dosen minimal S2 dan kewajiban memiliki sertifikasi profesional. Kebijakan tegas dan kontrol ketat diperlukan untuk memastikan bahwa semua dosen mematuhi standar yang ditetapkan.
Di sisi lain, untuk membangun budaya mutu yang berkelanjutan, pendekatan Teori Y menjadi sangat relevan. Setelah standar dasar terlaksana, perguruan tinggi dapat memberdayakan tenaga pengajar melalui program pengembangan profesional, misalnya dukungan untuk pelatihan metodologi penelitian dan pelatihan pedagogi inovatif. Dosen yang diberi kepercayaan dan otonomi dalam mengembangkan metode pengajaran, cenderung lebih bersemangat untuk berinovasi. Tenaga kependidikan yang terlibat dalam pengembangan sistem layanan berbasis teknologi informasi cenderung puas dan termotivasi, karena merasa memiliki andil (berkontribusi) terhadap pencapaian mutu.
McGregor menekankan pentingnya memandang pegawai sebagai pribadi yang memiliki kebutuhan psikologis, bukan hanya sebagai “mesin” produksi. Pandangan ini mendorong perubahan paradigma (mindset) dalam ilmu manajemen, yang sebelumnya sering menggunakan pendekatan otoriter, sekarang cenderung pendekatan partisipatif.
Kombinasi (tergantung situasional) elemen teori X dan Y, memungkinkan institusi membangun budaya mutu yang kuat dan mendorong keberlanjutan dalam peningkatan mutu. Elemen Teori X digunakan untuk memastikan kepatuhan dan elemen Teori Y digunakan untuk pemberdayaan potensi dosen dan tenaga kependidikan agar dapat bekerja dengan baik.
Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits
Masa depan SPMI dan PPEPP di perguruan tinggi memerlukan harmoni antara pendekatan struktural (tegas) dan pemberdayaan yang fokus pada kebutuhan psikologi manusia.
Teori X berperan penting dalam membangun landasan dan kepatuhan awal, sementara Teori Y menjadi landasan untuk menciptakan inovasi dan kolaborasi yang berkelanjutan. Harmoni diperlukan untuk memastikan bahwa proses SPMI (PPEPP) tidak hanya fokus pada kepatuhan formal-administratif, namun juga pada perbaikan nilai-nilai organisasi (values) yang berdampak pada mutu pendidikan.
Sistem yang humanis dan berorientasi pada pengembangan SDM akan mendorong pegawai untuk berkontribusi lebih optimal dalam pencapaian mutu. Hal ini memungkinkan perguruan tinggi tidak hanya mampu bertahan hidup (survive) namun juga berkembang dan menjadi unggul di tengah dinamika global yang terus berubah.
Peter Drucker pernah mengatakan, “The best way to predict the future is to create it.” Dengan memanfaatkan keunggulan Teori X dan Y, perguruan tinggi dapat membangun harmoni indah yang menjadikan mutu sebagai budaya organisasi. Stay Relevant!
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Di sebuah perguruan tinggi bernama Universitas Sangkuriang (fiktif), rektor baru menghadapi tantangan besar. Meskipun akreditasi institusi telah mencapai peringkat unggul, suara mahasiswa dan dosen menyuarakan ketidakpuasan terhadap mutu pembelajaran dan administrasi. Evaluasi SPMI menunjukkan bahwa proses penjaminan mutu sering kali bersifat formalitas administratif belaka, tanpa menghasilkan dampak nyata yang subtantif.
Dalam rapat strategis para pimpinan, seorang dekan bertanya, “Apakah ada cara untuk mengubah sistem SPMI ini agar benar-benar meningkatkan mutu pendidikan secara riil, bukan sekadar memenuhi syarat formalitas regulasi?”
Pertanyaan yang menjadi renungan bersama ini, akhirnya membuka jalan menuju eksplorasi makna filosofi dari model Total Quality Management (TQM). Hal menarik apa yang bisa dipetik dari pendekatan TQM? Apakah TQM, yang terbukti berhasil di beberapa industri manufaktur, dapat diimplementasikan pada pendidikan tinggi (industri jasa)?
Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah kerangka kerja (framework) wajib bagi perguruan tinggi di Indonesia. Berdasarkan Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar (Siklus PPEPP) menjadi tulang punggung implementasi mutu pendidikan tinggi. Namun, realitanya, masih terdengar pelaksanaan SPMI sering kali terjebak dalam formalitas administratif tanpa ada dampak signifikan terhadap mutu pendidikan.
Di sinilah kebutuhan akan “upgrade SPMI” muncul. Total Quality Management, sebagaimana dibahas Edward Sallis dalam Total Quality Management in Education, menawarkan pendekatan holistik untuk perbaikan berkelanjutan.
Prinsip-prinsip TQM dapat memberikan nafas baru dalam implementasi SPMI, mengubahnya dari sekadar alat pemenuhan regulasi (formalitas), namun menjadi instrumen utama transformasi mutu pendidikan.
Baca juga: SPMI Tanpa Knowledge Management? Jurang Kegagalan!
Edward Sallis dalam bukunya menjelaskan bahwa TQM bukan hanya alat manajerial, tetapi filosofi yang menekankan tentang pentingnya perbaikan berkelanjutan (continuous improvement) dan fokus pada pelanggan. Ada tiga gagasan utama yang relevan untuk pendidikan tinggi:
Gagasan pertama adalah “Kaizen dan Perbaikan Berkelanjutan”. Dalam konsep Kaizen, setiap individu di organisasi, mulai dari pemimpin hingga staf terendah, memiliki peran dalam memperbaiki sistem. Sallis menegaskan bahwa budaya ini tidak hanya berlaku di pabrik, tetapi juga di ruang kelas dan administrasi pendidikan. Sebagai contoh, di Universitas Sangkuriang, semua anggota organisasi—dari rektor hingga satpam—diminta untuk mengidentifikasi satu hal yang dapat diperbaiki di lingkup tugas mereka. Seorang satpam, misalnya, mengusulkan agar pintu akses mahasiswa dibuka lebih awal untuk mendukung ketepatan waktu kuliah. Usulan sederhana ini diterima dan ternyata meningkatkan kenyamanan mahasiswa. Namun, tantangannya adalah membangun mindset perbaikan berkelanjutan di setiap level. Apakah perguruan tinggi siap melatih semua staf untuk berpikir dalam kerangka mutu yang berkelanjutan? Apakah mampu membangun pola pikir, pola sikap dan pola perilaku (budaya mutu) yang sesuai dengan standar SPMI? Kembali kepada lembaga masing-masing, apakah siap menghadapi tantangan ini!
Mahasiswa, sebagai pelanggan utama, harus menjadi pusat dari setiap keputusan institusi. Lebih jauh lagi, dosen, staf, dan masyarakat adalah pelanggan internal dan eksternal yang harus didengarkan dan dilibatkan. Di sinilah peran penting semangat pelayanan prima (service excellence) dipahami dan diterapkan secara bersama-sama. Di Universitas Sangkuriang, pelatihan pelayanan prima diadakan untuk semua staf, baik dosen maupun petugas administrasi. Dalam simulasi, staf administrasi belajar cara memberikan solusi cepat bagi mahasiswa yang kehilangan dokumen penting, alih-alih mengarahkan mereka ke departemen lain. Hasilnya, mahasiswa merasa lebih dihargai karena semua kebutuhan mereka diselesaikan di satu tempat melalui layanan terpadu (one-stop service). Komitmen seperti ini mencerminkan bagaimana layanan prima dapat menjadi bagian integral dari budaya organisasi.
Sallis juga memperkenalkan model “Organisasi Piramida Terbalik”, di mana mahasiswa berada di puncak piramida, dan administrasi berfungsi untuk mendukung pembelajaran mereka. Namun, penerapan model ini kerap menemui hambatan di perguruan tinggi yang masih mengutamakan struktur hierarkis tradisional. Di Universitas Sangkuriang, misalnya, seorang dekan yang terbiasa dilayani merasa keberatan ketika diminta untuk duduk bersama mahasiswa dalam forum diskusi terbuka. Untuk mengatasi hal ini, universitas mulai memperkenalkan program “Pemimpin Melayani”, di mana pejabat kampus secara bergantian melayani mahasiswa di layanan administrasi selama satu hari penuh. Melalui pengalaman langsung ini, para pemimpin kampus mulai memahami kesulitan dan kebutuhan mahasiswa, sehingga perlahan mengubah mindset dari “dilayani” menjadi “melayani”.
Baca juga: Misi SPMI: Menjadikan Kualitas sebagai DNA Perguruan Tinggi
Untuk mengintegrasikan SPMI dengan TQM, perguruan tinggi perlu mengambil langkah-langkah strategis yang relevan dengan kebutuhan organisasi.
Revisi Standar SPMI menjadi salah satu langkah krusial. Standar yang ditetapkan dalam PPEPP perlu dirancang ulang secara periodik dengan pendekatan yang lebih humanis dan berbasis kebutuhan pelanggan.
Misalnya, di Universitas Sangkuriang, standar penilaian kinerja dosen tidak lagi hanya mengandalkan publikasi jurnal bereputasi, namun juga mencakup survei kepuasan mahasiswa terhadap pembelajaran. Survei ini menjadi komponen penting dalam mendesain ulang metode pengajaran yang lebih relevan dengan dunia kerja. Penting juga untuk mengembangkan standar penilaian kinerja dengan memasukkan kompenen ide keratif yang di hasilkan dosen, langkah ini menjadi bagian penting untuk menumbuhkan budaya inovasi di perguruan tinggi.
Budaya “Kaizen” juga harus dibangun melalui proses evaluasi yang inspiratif.
Proses evaluasi dan pengendalian dalam PPEPP tidak boleh sekadar menjadi ritual tahunan atau semesteran, namun harus menjadi momen refleksi kritis bersama.
Contohnya, Universitas Sangkuriang mengadakan forum evaluasi terbuka setiap 3 bulan, di mana dosen dan mahasiswa saling bertukar masukan. Hasil dari forum diskusi ini kemudian diterjemahkan ke dalam rencana aksi nyata, seperti peningkatan fasilitas laboratorium atau penambahkan koleksi ebook di perpustakaan.
Penguatan komponen leadership adalah elemen kunci. Pemimpin perguruan tinggi harus berkomitmen untuk bisa menjadi teladan dalam membangun budaya mutu.
Di Universitas Sangkuriang, rektor menginisiasi program mentorship, di mana pimpinan fakultas bersama-sama mendampingi dosen-dosen muda dalam menyusun rencana pengajaran yang inovatif. Langkah ini tidak hanya memperkuat kompetensi dosen, namun juga menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kolaborasi dan inovasi.
Integrasi SPMI dan TQM tidak hanya memberikan arah baru dalam pengelolaan mutu pendidikan tinggi, namun juga menanamkan budaya mutu yang berkelanjutan (kaizen).
Dengan menjadikan mutu sebagai prioritas utama, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa setiap proses, dari perencanaan hingga evaluasi, menciptakan dampak nyata yang dirasakan oleh seluruh stakeholder. Sebagaimana dikatakan oleh Crosby, salah satu tokoh TQM, “Quality is free. It’s not a gift, but it’s free. What costs money are the unquality things — all the actions that involve not doing jobs right the first time.” Pendidikan tinggi yang bermutu adalah hasil dari kebiasaan kolektif untuk selalu bertanya, memperbaiki, dan melayani dengan lebih baik.
Saatnya SPMI dan PPEPP belajar dari TQM, SPMI bukan sekadar formalitas-administratif belaka, namun jantung dari transformasi pendidikan tinggi di Indonesia. Stay Relevant!
Baca juga: Connecting The Dots: Transformasi SPMI melalui Kolaborasi Tim
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi