Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi merupakan mekanisme yang dirancang untuk memastikan bahwa semua proses pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan.
Ketentuan Pemerintah Republik Indonesia tentang kebijakan SPMI diatur dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, pasal 67 sampai dengan pasal 70.
Dalam struktur organisasi perguruan tinggi, yang sering digunakan untuk menjalankan tugas-tugas SPMI adalah Unit Penjaminan Mutu (UPM) atau nama sejenis seperti Lembaga Penjaminan Mutu (LPM), Pusat Penjaminan Mutu (PPM) dan lain-lain.
Lebih lanjut, dalam pasal 69 ayat 1 dan 1(b), disebutkan: Perguruan tinggi dalam mengimplementasikan SPMI mempunyai tugas: mengintegrasikan implementasi SPMI pada manajemen perguruan tinggi.
Mengintegrasikan implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) pada manajemen perguruan tinggi berarti memasukkan kebijakan, prinsip, prosedur, dan standar mutu yang ditetapkan dalam SPMI ke dalam “seluruh aspek” manajemen perguruan tinggi.
Untuk mewujudkan hal tersebut, ada tiga alternatif pilihan struktur yang bisa digunakan:
Dari tiga alternatif diatas, manakah yang lebih cocok?
Untuk menjawab pertanyaan diatas, kita dapat belajar dari pengalaman penerapan fungsi Management Representative (MR) dalam standar ISO 9001.
ISO 9001 adalah standar internasional untuk sistem manajemen mutu yang berfokus pada konsistensi dan perbaikan berkelanjutan (kaizen). Salah satu elemen yang diatur dalam versi sebelumnya dari ISO 9001 adalah adanya fungsi Management Representative (MR), yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa sistem manajemen mutu dijalankan dengan benar dan sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Namun, dalam versi terbaru ISO 9001:2015, peran MR “tidak lagi diwajibkan”. Hal ini dilakukan untuk memberikan fleksibilitas lebih banyak kepada organisasi dalam mengelola sistem manajemen mutu mereka, dengan cara “mengintegrasikan” tanggung jawab mutu ke seluruh organisasi, daripada mengandalkan pada satu unit kerja saja.
Meniadakan peran MR dalam ISO 9001 (tidak mewajibkan) memberikan beberapa pelajaran penting yang dapat diaplikasikan dalam konteks SPMI di perguruan tinggi:
Meskipun ada pelajaran dari penghapusan peran MR dalam ISO 9001, beberapa kalangan masih menganggap UPM (unit penjaminan mutu) tetap diperlukan. UPM dianggap masih memiliki peran penting dalam konteks SPMI di perguruan tinggi. Alasannya yaitu:
Dalam konteks ini, masing-masing pilihan memiliki plus minus yang perlu dipertimbangkan, diantaranya:
Jadi terkait perlu tidaknya unit khusus SPMI, berikut ada beberapa pilihan yang bisa dipertimbangkan:
Opsi Menetapkan UPM:
Opsi Menghapus atau Mengadaptasi UPM:
Dalam konteks SPMI, struktur yang paling efektif adalah yang memastikan bahwa tanggung jawab mutu ditangani secara menyeluruh oleh manajemen puncak (embedded), sementara unit atau tim khusus seperti UPM dapat ditetapkan atau diadaptasi (situasional) sesuai dengan kebutuhan operasional dan kompleksitas lembaga pendidikan. Stay Relevant!
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah kebijakan yang dirancang untuk memastikan bahwa perguruan tinggi di Indonesia dapat mencapai dan mempertahankan standar mutu pendidikan yang tinggi.
Ketentuan tentang kebijakan SPMI diatur dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, pasal 67 sampai dengan pasal 70.
Meskipun SPMI telah cukup lama diimplementasikan di berbagai perguruan tinggi, namun tingkat keberhasilannya bervariasi. Masih ada perguruan tinggi yang belum maksimal mengimplementasikan SPMI dengan benar.
Artikel ini mencoba menggunakan model implementasi kebijakan George Edward III untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keberhasilan implementasi SPMI.
George Edward III, seorang akademisi dan penulis terkemuka dalam bidang ilmu politik dan kebijakan publik, mengidentifikasi empat variabel kunci yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan:
Berikut diuraikan kendala, analisis dan rekomendasi dari 4 (empat) variabel kunci:
Baca juga: Penguatan SPMI melalui Komunikasi Internal Perguruan Tinggi
Baca juga: Pentingnya Semangat Inovasi dalam SPMI
Baca juga: Program Pelatihan MutuPendidikan
Baca juga: Penguatan SPMI melalui Struktur “Agile” di Perguruan Tinggi
Model implementasi kebijakan George Edward III memberikan kerangka kerja yang komprehensif untuk memahami dan menganalisis keberhasilan implementasi SPMI.
Keempat variabel yang diidentifikasi oleh Edward III saling berhubungan, berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Misalnya, komunikasi internal yang efektif dapat membantu mengatasi kekurangan sumber daya dengan memastikan bahwa sumber daya yang ada digunakan secara optimal (efisien).
Saling mendukung dan saling memperkuat, disposisi pelaksana yang positif dapat mengimbangi kekurangan dalam struktur birokrasi, sementara sumber daya (resources) yang cukup dapat mendukung komunikasi yang lebih baik.
Baca juga: Kendala dan Tantangan Implementasi SPMI: Teori Van Meter dan Van Horn
Implementasi SPMI pada perguruan tinggi di Indonesia menghadapi berbagai kendala dan tantangan yang cukup kompleks. Ada yang berhasil mengimplementasikan, namun ada juga yang belum berhasil.
Dengan menggunakan model implementasi kebijakan dari George Edward III, artikel ini menguraikan 4 (empat) faktor kunci yang mempengaruhi keberhasilan implementasi SPMI.
Rekomendasi yang diberikan pada uraian diatas, diharapkan dapat membantu perguruan tinggi meningkatkan efektivitas implementasi SPMI dan mencapai tujuan peningkatan mutu pendidikan. Stay Relevant!
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan kebijakan publik yang dirancang untuk meningkatkan dan memastikan mutu pendidikan perguruan tinggi di Indonesia. SPMI melibatkan serangkaian proses yang sistematis untuk menetapkan, melaksanakan, mengevaluasi, mengendalikan, dan meningkatkan standar mutu pendidikan.
Kebijakan SPMI dituangkan dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, pasal 67 sampai dengan pasal 70.
Meskipun demikian, implementasi SPMI sering kali menghadapi berbagai kendala dan tantangan di lapangan. Masih cukup banyak perguruan tinggi yang belum memahami bagaimana melaksanakan proses implementasi SPMI dengan benar.
Artikel ini mencoba mengulas fenomena ini dengan menggunakan teori Van Meter dan Van Horn. Model ini dapat digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi SPMI di perguruan tinggi.
Teori implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn menekankan 6 (enam) variabel utama yang mempengaruhi implementasi kebijakan:
Berikut akan diuraikan satu persatu dalam enam variabel utama yang mempengaruhi keberhasilan kebijakan implementasi SPMI:
Baca juga: Penguatan SPMI melalui Komunikasi Internal Perguruan Tinggi
Baca juga: Dampak VUCA Terhadap SPMI
Baca juga: Membangun Komitmen dalam SPMI
Analisis kendala dan tantangan dalam implementasi SPMI menggunakan pendekatan teori Van Meter dan Van Horn menunjukkan bahwa keberhasilan implementasi Kebijakan SPMI sangat bergantung pada (6) enam variabel utama tersebut.
Dengan memahami dan mengatasi kendala serta tantangan tersebut, perguruan tinggi InsyaAllah akan dapat meningkatkan efektivitas implementasi SPMI dan mencapai tujuan peningkatan mutu pendidikan.
Implementasi SPMI di perguruan tinggi menghadapi berbagai kendala dan tantangan yang cukup kompleks termasuk perubahan faktor eksternal yang sangat dinamis.
Menggunakan pendekatan teori implementasi kebijakan dari Van Meter dan Van Horn, artikel ini menguraikan faktor-faktor kunci yang mempengaruhi keberhasilan implementasi SPMI.
Dengan strategi dan pendekatan yang tepat untuk mengatasi kendala dan tantangan ini, perguruan tinggi dapat meningkatkan mutu pendidikan secara berkelanjutan. Stay Relevant!
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan mekanisme yang esensial bagi perguruan tinggi untuk memastikan bahwa proses Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat) memenuhi standar mutu yang diinginkan.
Keberhasilan implementasi SPMI sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan yang digunakan.
Kurt Lewin, seorang pakar psikolog, mengajukan Teori 3 (tiga) Gaya Kepemimpinan yaitu: gaya otoriter, gaya demokratis, dan gaya laissez-faire.
Artikel singkat ini mencoba mengulas bagaimana model gaya kepemimpinan dari Lewin dapat diterapkan dalam konteks SPMI. Penerapan gaya kepemimpinan yang sesuai, InsyaAllah akan membantu untuk mencapai peningkatan mutu yang berkelanjutan di perguruan tinggi.
Hasil penelitian Kurt Lewin dan tim kerjanya mengidentifikasi 3 (tiga) gaya kepemimpinan utama, yaitu:
Proses “Kaizen” dalam SPMI dilakukan melalui “Siklus PPEPP”, berikut contoh pemilihan gaya kepemimpinan yang sesuai:
Gaya kepemimpinan yang efektif adalah kunci keberhasilan implementasi SPMI di perguruan tinggi. Dengan menerapkan prinsip-prinsip dari Teori Gaya Kepemimpinan Lewin, pemimpin dapat menyesuaikan pendekatan mereka untuk memenuhi kebutuhan spesifik dalam setiap tahap SPMI.
Setiap perguruan tinggi memiliki tingkat kematangan bawahan yang berbeda beda, tentu memerlukan gaya kepemimpinan yang disesuaikan. Lewin menawarkan 3 (tiga) gaya kepemimpinan.
Kepemimpinan demokratis, dengan kolaborasi, partisipasi dan keterlibatan yang tinggi, umumnya paling efektif untuk mendorong komitmen dan kolaborasi yang diperlukan dalam peningkatan mutu berkelanjutan (kaizen).
Namun, dalam situasi-situasi tertentu, kepemimpinan otoriter (tegas) atau laissez-faire (pelimpahan penuh) juga dapat diterapkan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Stay Relevant!
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi adalah mekanisme yang disusun oleh Kementerian Pendidikan untuk memastikan bahwa institusi pendidikan tinggi mencapai dan mempertahankan standar mutu yang diinginkan.
Implementasi SPMI yang efektif tentu bukan suatu pekerjaan yang mudah, memerlukan motivasi tinggi dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholder), terutama tenaga struktural, pimpinan, dosen dan karyawan.
Tenaga strutural perguruan tinggi, dengan “dikomandani” oleh pimpinan (Rektor, Direktur, Ketua), wajib menjalankan siklus PPEPP agar implementasi SPMI dapat berjalan efektif.
Permasalahannya adalah sejauh mana tenaga struktural perguruan tinggi (khususnya pimpinan) berhasil “memotivasi” para staf (dosen dan karyawan) agar mampu memberikan karya terbaik untuk peningkatan standar mutu pendidikan?
Teori Dua Faktor (2 factors theory) atau sering disebut Teori “Motivasi-Higiene” dikembangkan oleh Frederick Herzberg, seorang psikolog yang memfokuskan penelitiannya pada motivasi kerja karyawan. Teori 2 Faktor ini, pertama kali diperkenalkan melalui bukunya “The Motivation to Work” yang diterbitkan pada tahun 1959.
Herzberg melakukan penelitian dengan mewawancarai lebih dari 200 insinyur dan akuntan untuk memahami faktor-faktor apa saja yang menyebabkan mereka puas atau tidakpuas di dunia kerja.
Dalam konteks tersebut, Teori Dua Faktor yang dikembangkan oleh Herzberg dapat memberikan “wawasan berharga” tentang bagaimana memotivasi tenaga struktural perguruan tinggi untuk mendukung dan berkontribusi secara efektif terhadap keberhasilan SPMI.
Faktor Motivator (intrinsic Factors) berkaitan dengan “isi” pekerjaan itu sendiri dan dapat meningkatkan motivasi dan kepuasan kerja. Faktor ini terdiri dari:
Faktor Higiene (extrinsic factors) berkaitan dengan konteks pekerjaan dan tidak secara langsung meningkatkan kepuasan kerja, tetapi “ketidakhadiran” faktor-faktor ini dapat menyebabkan ketidakpuasan kerja.
Penerapan teori 2 (dua) Faktor Herzberg dalam implementasi SPMI dapat membantu perguruan tinggi meningkatkan motivasi dan kepuasan dosen dan karyawan.
Dengan memenuhi “faktor motivator” (untuk meningkatkan kepuasan kerja) dan memenuhi “faktor higiene” (untuk mengurangi ketidakpuasan), InsyaAllah institusi pendidikan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih produktif dan mendukung keberhasilan SPMI. Stay Relevant!
Di era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity), lembaga pendidikan dihadapkan pada tantangan besar untuk menjaga relevansi dan kualitas pendidikan.
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah alat penting yang digunakan oleh perguruan tinggi di Indonesia untuk memastikan bahwa standar kualitas tetap terjaga.
Namun, dalam lingkungan yang terus berubah dan penuh ketidakpastian, standar SPMI ini harus diupayakan tetap adaptif dan fleksibel agar tetap relevan.
Artikel singkat ini mencoba mengulas bagaimana perguruan tinggi dapat menjaga relevansi standar SPMI di era VUCA.
VUCA adalah konsep yang menggambarkan dunia yang penuh dengan perubahan cepat dan tidak terduga (volatility), ketidakpastian (uncertainty), kompleksitas (complexity), dan ambiguitas (ambiguity).
Dalam konteks pendidikan tinggi, ini berarti bahwa dunia kampus harus siap menghadapi perubahan kebijakan nasional (perundang undangan), perkembangan teknologi, pergeseran kebutuhan pasar kerja, dan ekspektasi mahasiswa yang selalu berubah.
Standar SPMI yang terlalu kaku tidak akan mampu mengakomodasi perubahan yang cepat, bergejolak dan dinamis.
Ketidakpastian dalam lingkungan global / regional mempengaruhi stabilitas dan perencanaan jangka panjang perguruan tinggi, menuntut standar yang lebih adaptif.
Kompleksitas lingkungan pendidikan dengan berbagai variabel yang saling terkait memerlukan pendekatan yang lebih holistik dalam pengelolaan mutu.
Ambiguitas dalam interpretasi dan penerapan standar dapat menyebabkan inkonsistensi dalam pelaksanaan dan evaluasi.
Disamping berbagai tantangan diatas, Era VUCA juga menawarkan peluang (opportunities) bagi “penetapan” standar SPMI yang lebih inovatif dan fleksibel.
Standar yang dirancang untuk adaptabilitas memungkinkan perguruan tinggi untuk dengan cepat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan.
Penetapan standar SPMI yang mendukung inovasi dalam pengajaran dan penelitian dapat meningkatkan mutu pendidikan dan relevansi kurikulum.
Kolaborasi internasional yang didorong oleh standar mutu yang diakui secara global dapat meningkatkan reputasi, keunggulan dan daya saing perguruan tinggi.
Menjaga relevansi standar SPMI di era VUCA memerlukan pendekatan yang adaptif, fleksibel, dan inovatif.
Perguruan tinggi harus siap menghadapi tantangan volatilitas, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas (VUCA) dengan standar yang mampu mendukung kualitas dan konsistensi pendidikan.
Melalui pengembangan standar yang fleksibel, monitoring dan evaluasi berkala, inovasi dalam pengajaran dan penelitian, pemanfaatan teknologi, serta kolaborasi internasional, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa mereka tetap relevan dan kompetitif dalam lingkungan yang terus berubah. Stay Relevant and Agile!
Instagram: @mutupendidikan
Indonesia, dengan kekayaan budaya serta keragaman etnisnya, memiliki berbagai “kearifan lokal” yang telah terbukti efektif dalam menjaga keseimbangan sosial dan lingkungan.
Di sisi lain, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi merupakan upaya sistematis untuk memastikan dan meningkatkan mutu pendidikan.
Mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam SPMI dapat memberikan pendekatan yang lebih relevan dan kontekstual dalam mencapai tujuan mutu pendidikan.
Artikel ini mencoba menelaah dan membahas pentingnya kearifan lokal dan cara-cara integrasi dalam budaya mutu SPMI di perguruan tinggi Indonesia.
Kearifan Lokal: Merupakan pengetahuan, nilai, dan praktik yang berkembang dalam komunitas lokal sebagai hasil dari pengalaman panjang berinteraksi dengan lingkungan alam dan sosial. Contoh di Indonesia termasuk budaya silaturahim, gotong royong, subak, dan sasi yang mencerminkan kerjasama, keadilan, dan keberlanjutan.
SPMI: Sistem Penjaminan Mutu Internal adalah serangkaian kegiatan sistematis dan terstruktur yang dilakukan oleh perguruan tinggi untuk memastikan bahwa proses pendidikan berjalan sesuai standar yang ditetapkan dan mengalami peningkatan kualitas secara berkelanjutan (kaizen).
Berikut 3 (tiga) contoh kearifan lokal: Gotong royong, Subak, dan Sasi.
Integrasi kearifan lokal dalam budaya mutu SPMI di perguruan tinggi tidak hanya meningkatkan “relevansi dan efektivitas” penjaminan mutu, tetapi juga menghargai dan melestarikan warisan budaya luhur yang sangat berharga.
Pendekatan yang berbasis kearifan lokal dapat memperkuat “identitas budaya”, meningkatkan dukungan serta partisipasi, dan menciptakan lingkungan akademik yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Dengan demikian, diharapkan perguruan tinggi di Indonesia dapat mencapai standar mutu yang tinggi sambil tetap menghormati dan memanfaatkan kearifan lokal. Stay Relevant!
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah kerangka kerja yang dirancang untuk memastikan mutu pendidikan tinggi terjaga dan dapat ditingkatkan secara berkelanjutan (continuous improvement). Untuk mencapai tujuan SPMI dengan efektif dan efisien, standar yang diterapkan haruslah jelas dan dapat diukur (measurable).
Bila standar SPMI tidak measurable, berarti tidak dapat diukur. Bila tidak dapat diukur, berarti tidak dapat dievaluasi. Bila tidak dapat dievaluasi, berarti tidak bisa diketahui tingkat kemajuannya.
Dalam konteks ini, “measurable” merupakan salah satu komponen penting dari pendekatan SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-bound) dalam menyusun tujuan dan standar yang baik.
Artikel ini membahas pentingnya menyusun standar SPMI yang measurable dan memberikan contoh-contoh penerapannya dalam institusi pendidikan tinggi. Semoga bermanfaat!
Standar yang measurable memiliki sejumlah kegunaan:
Kesimpulan
Menyusun standar SPMI yang measurable adalah langkah penting (krusial) dalam memastikan bahwa sistem penjaminan mutu di pendidikan tinggi dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Dengan menetapkan tujuan (target) yang terukur (measurable), kriteria yang jelas, dan indikator yang relevan, institusi pendidikan dapat memantau dan meningkatkan mutu pendidikan dengan lebih baik.
Contoh-contoh di atas menunjukkan bagaimana standar yang measurable dapat dipraktekkan dalam berbagai aspek pendidikan tinggi untuk mencapai hasil yang diinginkan. Stay Relevant!
Dalam dunia pendidikan tinggi, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) memainkan peran krusial dalam memastikan bahwa kualitas pendidikan terjaga dan ditingkatkan secara berkelanjutan. Salah satu kunci untuk mencapai efektivitas dalam SPMI adalah dengan menyusun standar yang spesifik.
Standar yang spesifik memberikan arah yang jelas, memudahkan pengukuran dan evaluasi, serta meningkatkan pengelolaan sumber daya. Artikel ini akan membahas langkah-langkah dalam menyusun standar SPMI yang spesifik serta memberikan beberapa contoh dalam konteks pendidikan tinggi.
Standar yang spesifik dalam konteks SPMI berarti mendefinisikan dengan jelas apa yang ingin dicapai, bagaimana mencapainya, dan apa saja yang menjadi ukuran keberhasilan (indikator). Standar yang spesifik membantu dalam:
Menyusun standar-standar SPMI yang spesifik merupakan langkah penting dalam memastikan bahwa sistem penjaminan mutu pendidikan di perguruan tinggi dapat berjalan dengan efektif dan efisien.
Dengan menetapkan tujuan yang jelas, detail yang terperinci, serta kriteria dan indikator yang tepat, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa semua elemen mutu pendidikan diperhatikan secara menyeluruh.
Contoh-contoh di atas menunjukkan bagaimana standar yang spesifik dapat disusun dalam berbagai aspek pendidikan tinggi, dari program pengajaran hingga penelitian, untuk mencapai hasil yang diinginkan dan meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan. Stay Relevant!
Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi adalah langkah penting dalam memastikan tercapainya mutu pendidikan yang unggul dan berkelanjutan.
Namun, tantangan utama yang sering dihadapi adalah memastikan bahwa standar yang ditetapkan dapat dicapai dalam kerangka waktu yang spesifik (timed).
Oleh karena itu, penguatan standar SPMI agar bersifat “timed” atau berbatas waktu menjadi sangar penting / krusial.
Artikel singkat ini mencoba membahas pentingnya pendekatan “timed” dalam SPMI dan langkah-langkah untuk penerapannya secara efektif dan efisien. Semoga bermanfaat!
SPMI bertujuan untuk memastikan bahwa semua proses Tri Dharma Pendidikan berjalan sesuai dengan standar SPMI yang telah ditetapkan dan mengalami peningkatan yang berkelanjutan (Kaizen).
Namun sayangnya, seringkali standar SPMI yang disusun, tanpa adanya batas waktu yang jelas, upaya ini bisa menjadi tidak terarah dan kurang efektif. Pendekatan “timed” memberikan beberapa manfaat utama yaitu:
Untuk memastikan bahwa standar SPMI memiliki kerangka waktu yang jelas, perguruan tinggi dapat mengadopsi langkah-langkah berikut:
Penguatan standar SPMI agar bersifat “timed” merupakan langkah penting dalam memastikan efektivitas dan keberlanjutan SPMI (sistem penjaminan mutu internal) di perguruan tinggi. Dengan menetapkan batas waktu yang jelas, perguruan tinggi dapat menciptakan sense of urgency, mengukur kemajuan secara objektif, dan mengelola waktu dengan lebih baik.
Strategi seperti penetapan tujuan SMART, pengembangan rencana aksi yang jelas, pemantauan dan evaluasi berkala, penyesuaian berkelanjutan, dan pelibatan seluruh stakeholder “adalah kunci” untuk mencapai standar SPMI yang lebih efektif dan efisien. Dengan demikian, perguruan tinggi dapat terus memastikan bahwa mereka telah memberikan pendidikan bermutu tinggi yang sesuai dengan standar nasional dan internasional. Stay Relevant!
Layanan Informasi