
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Akreditasi telah menjadi simbol penting bagi perguruan tinggi dalam menunjukkan peringkat mutu mereka. Mendapatkan akreditasi unggul sering kali dianggap sebagai puncak prestasi yang mencerminkan kinerja institusi. Hanya saja, di balik hal tersebut, muncul pertanyaan: apakah akreditasi hanya sekadar simbol, atau benar-benar mencerminkan substansi mutu pendidikan yang dapat dipercaya?
Institusi perguruan tinggi sering kali menghadapi dilema dalam menyeimbangkan antara pemenuhan regulasi dan menciptakan dampak nyata. Ketika akreditasi terlalu fokus pada pengumpulan dokumen dan kepatuhan prosedur, esensi pendidikan tinggi sebagai penggerak perubahan dan inovasi sering kali terpinggirkan (kurang menjadi fokus utama).
Baca juga: Siapa Saja Stakeholder Perguruan Tinggi? Mengenal, Memahami dan Melayani
Akreditasi secara umum bertujuan memastikan bahwa perguruan tinggi memenuhi standar / kriteria tertentu dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (PkM). Dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah (BAN-PT atau LAM), akreditasi membantu memberikan kerangka kerja (framework) yang seragam untuk menilai mutu institusi.
Kendati demikian, proses akreditasi sering kali menjadi beban administratif. Perguruan tinggi, dengan sumber daya yang relatif terbatas, fokusnya “beralih” dari upaya menciptakan inovasi dan mutu, menjadi sekadar memenuhi indikator teknis dan persyaratan akreditasi. Institusi berlomba-lomba meraih predikat unggul, namun apakah mutu pendidikan yang dicapai benar-benar dirasakan manfaatnya bagi mahasiswa dan masyarakat luas?
Baca juga: Jangan Biarkan Korupsi Menodai SPMI: Langkah Preventif bagi Perguruan Tinggi
Pemerintah memainkan peran penting dalam menetapkan standar melalui kebijakan seperti Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN-Dikti). Regulasi ini bertujuan untuk memastikan standar mutu pendidikan tinggi tetap terjaga. Hanya saja, bila terlalu banyak persyaratan untuk mematuhi regulasi dapat membuat perguruan tinggi kehilangan fleksibilitas untuk berinovasi.
Alih-alih menjadi katalis untuk mendorong perubahan, regulasi sering kali dianggap sebagai beban administrasi. Perguruan tinggi terjebak pada upaya pemenuhan dokumen, sementara nilai-nilai inti pendidikan yang jauh lebih relevan terpaksa terpinggirkan. Regulasi yang baik seharusnya mampu memotivasi, mengarahkan dan memfasilitasi perguruan tinggi untuk mencapai mutu secara substansial, bukan sekadar kepatuhan administratif.
Baca juga: Permendikbudristek 53/2023: Mengapa ‘Budaya Mutu’ Harus Jadi Fokus Utama?
Salah satu tolok ukur keberhasilan pendidikan tinggi adalah sejauh mana memberi kontribusi pada mahasiswa dan masyarakat. Akan tetapi, ketika fokus pada akreditasi menjadi dominasi, pengalaman belajar mahasiswa secara keseluruhan sering kali terabaikan. Kurikulum bisa jadi lebih disesuaikan untuk memenuhi tuntutan standar akreditasi nasional daripada membekali mahasiswa dengan skills yang relevan di tingkat lokal.
Selain itu, program pengabdian kepada masyarakat (PkM) sering kali hanya menjadi formalitas untuk memenuhi persyaratan akreditasi. Sehingga, kontribusi nyata pada permasalahan masyarakat sering kali kurang optimal. Inilah hal-hal yang menjadi tantangan bersama untuk segera dicari solusi pemecahannya.
Baca juga: Evaluasi Permendikbudristek 53/2023: Kecepatan versus Akuntabilitas
Tidak bisa disangkal, akreditasi adalah elemen penting yang tidak dapat dihindari oleh perguruan tinggi. Namun, akreditasi seharusnya tidak hanya menjadi tujuan akhir, melainkan sarana untuk menciptakan manfaat yang lebih besar bagi para stakeholder. Dengan pendekatan yang tepat, akreditasi dapat bertransformasi dari sekadar simbol administratif menjadi alat yang mendorong perbaikan berkelanjutan. Perguruan tinggi harus mampu menemukan keseimbangan antara memenuhi tuntutan regulasi dengan menciptakan dampak nyata melalui pendidikan yang inovatif dan bermutu tinggi.
Kuncinya terletak pada integrasi misi unik perguruan tinggi (mission differentiation) dengan kebutuhan masyarakat serta stakeholder lainnya. Melalui kemitraan strategis, kolaborasi lintas sektor, dan sinergi yang harmonis, perguruan tinggi dapat membuktikan bahwa mereka tidak hanya mengejar pengakuan formal, tetapi juga menanamkan semangat perbaikan berkelanjutan (continuous improvement) dalam setiap langkah mereka. Dengan semangat ini, perguruan tinggi tidak hanya memenuhi ekspektasi, tetapi juga menjadi agen perubahan yang membawa manfaat bagi generasi kini dan masa depan.
Baca juga: Inovasi Penjaminan Mutu: Masukan Untuk Evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023
Akreditasi seharusnya tidak berhenti pada label “simbol” semata. Lebih dari itu, akreditasi harus menjadi cerminan nyata dari mutu pendidikan yang sesungguhnya, relevansi kurikulum yang sejalan dengan kebutuhan zaman, dan dampak sosial yang dirasakan oleh masyarakat luas. Perguruan tinggi tidak cukup hanya fokus pada kepatuhan administratif, namun harus menjadikan akreditasi sebagai tools untuk mendorong transformasi nyata dalam dunia pendidikan. Komitmen ini menuntut keberanian untuk melangkah melampaui rutinitas dan berinovasi demi menciptakan perbaikan yang bermakna.
Sebagai agen perubahan (change agent), perguruan tinggi memiliki peran penting dalam membangun masa depan yang lebih baik. Dengan integrasi visi misi ke setiap program dan kebijakan, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa setiap langkah menuju akreditasi memiliki nilai yang substansial. Hanya dengan komitmen ini, akreditasi akan menjadi instrumen yang tepat guna untuk membangun masyarakat yang berkelanjutan. Semoga dengan upaya ini, perguruan tinggi dapat terus relevan dan memberi keberkahan bagi umat, Insya Allah. Stay Relevant!
Baca juga: Kebijakan SPMI: Pilar Utama Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi