
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Perguruan tinggi tidak hanya menjadi pusat pendidikan dan penelitian, tetapi juga memikul tanggung jawab besar untuk melayani, menghormati dan membahagiakan masyarakat. Sebagai salah satu stakeholder utama, masyarakat menaruh harapan besar terhadap institusi pendidikan tinggi: membantu memecahkan berbagai persoalan sosial, memberdayakan komunitas, dan meningkatkan kualitas hidup. Namun, pertanyaan kritis terus muncul: sejauh mana perguruan tinggi mampu memenuhi harapan ini secara efektif dan berkelanjutan? Apakah kontribusi yang diberikan benar-benar signifikan atau hanya sebatas formalitas?
Pengabdian kepada masyarakat bukan sekadar kewajiban moral, melainkan bagian penting dari Tridharma Perguruan Tinggi. Melalui program-program pengabdian, perguruan tinggi dapat berperan sebagai katalisator perubahan, membangun hubungan harmonis dengan komunitas sekitar, dan menciptakan dampak yang nyata serta berkelanjutan. Sebuah perguruan tinggi yang berhasil melayani masyarakat tidak hanya membuktikan relevansi dirinya, namun juga meletakkan landasan bagi kemajuan sosial yang lebih luas.
Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat
Masyarakat (public) bukan sekadar penerima manfaat dari program perguruan tinggi, tetapi merupakan mitra aktif dalam proses pengabdian. Ketika perguruan tinggi melaksanakan program-program pengabdian pada masyarakat (PkM), seperti bakti sosial, pelatihan keterampilan atau penyuluhan, masyarakat tidak hanya menerima hasilnya, namun juga berkontribusi sebagai tim kerja yang memberikan masukan dan umpan balik berharga. Peran aktif masyarakat ini memastikan bahwa inisiatif dan program yang dijalankan benar-benar relevan, tepat sasaran dengan kebutuhan lokal dan memiliki dampak jangka panjang yang berkelanjutan.
Lebih dari itu, melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program menciptakan rasa kepemilikan yang kuat. Kolaborasi yang harmonis semacam ini tidak hanya mempererat hubungan antara kampus dan komunitas, namun juga membangun kepercayaan (trust) yang menjadi landasan kokoh bagi sinergi yang lebih besar di masa depan. Dengan pendekatan ini, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa program-program PkM yang dirancang tidak hanya menjawab kebutuhan, namun juga selaras dengan aspirasi masyarakat. Harapannya, institusi akan semakin dihormati, dicintai dan disayangi oleh masyarakat.
Untuk mencapai hal tersebut, perguruan tinggi perlu lebih sering hadir di tengah komunitas lokal. Dialog langsung dengan masyarakat memungkinkan perguruan tinggi memahami lebih dalam problematika yang mereka hadapi. Dari sini, sinergi yang efektif dan efisien dapat dibangun. Program kerja hendaknya disusun melalui kombinasi pendekatan bottom-up dan top-down yang terintegrasi, sehingga mampu menjembatani kebutuhan masyarakat dengan visi dan misi unik perguruan tinggi (mission differentiation). Dengan cara ini, pengabdian kepada masyarakat (PkM) bukan hanya menjadi kewajiban formal, namun merupakan program kerja yang dibangun dengan niat tulus untuk memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat luas.
Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?
Di era modern ini, perguruan tinggi memiliki banyak peluang untuk mengintegrasikan inovasi teknologi dalam pelayanan kepada masyarakat. Teknologi tepat guna adalah tools yang sangat berharga bila dirancang dengan baik. Contohnya, penggunaan aplikasi digital untuk memberikan pelatihan keterampilan, seminar daring, atau akses ke informasi kesehatan yang vital. Teknologi ini memungkinkan perguruan tinggi menjangkau masyarakat yang lebih luas, termasuk di daerah terpencil, sekaligus meningkatkan efektivitas program yang dijalankan. Misalnya pengembangkan Massive Open Online Courses (MOOCs), sebagai platform pembelajaran online yang praktis, bisa diakses dari mana saja dengan waktu yang fleksibel.
Namun, teknologi saja belum cukup. Perguruan tinggi harus memastikan bahwa inovasi yang dihadirkan tetap berlandaskan pendekatan humanis. Masyarakat harus merasa didengar dan dihormati dalam setiap proses, sehingga teknologi menjadi alat untuk mempererat hubungan, bukan sekadar alat distribusi satu arah.
Baca juga: Akreditasi: Simbol atau Substansi?
Melayani masyarakat adalah tugas mulia yang penuh tantangan. Keterbatasan anggaran, rendahnya motivasi untuk berbagi, koordinasi antar pihak yang tidak selalu sejalan, serta kesenjangan antara harapan dan realitas sering kali menjadi hambatan dalam menjalankan program pengabdian. Untuk mengatasi ini, perguruan tinggi perlu mengadopsi pendekatan kolaboratif yang melibatkan berbagai elemen, seperti pemerintah daerah, organisasi keagamaan, ormas, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan sektor swasta. Kolaborasi lintas sektor ini tidak hanya membantu mengatasi keterbatasan sumber daya, tetapi juga memperluas jangkauan serta meningkatkan dampak program pengabdian.
Selain itu, evaluasi menjadi langkah penting yang tidak boleh diabaikan. Perguruan tinggi harus melibatkan masyarakat dalam proses evaluasi untuk memahami sejauh mana program yang dijalankan relevan dan memberikan manfaat nyata. Dengan mendengar langsung umpan balik dari komunitas, perguruan tinggi dapat terus memperbaiki dan menyesuaikan program mereka agar lebih efektif dan sesuai kebutuhan. Pendekatan ini memastikan bahwa pengabdian kepada masyarakat tidak hanya menjadi formalitas, tetapi sebuah usaha yang benar-benar memberikan dampak positif dan berkelanjutan.
Baca juga: Siapa Saja Stakeholder Perguruan Tinggi? Mengenal, Memahami dan Melayani
Masyarakat sebagai stakeholder adalah elemen utama dalam ekosistem pendidikan tinggi. Perguruan tinggi yang benar-benar melayani masyarakat tidak boleh hanya menjalankan program pengabdian sebagai formalitas atau kewajiban administratif belaka, namun harus berkomitmen penuh untuk menciptakan dampak nyata yang dirasakan oleh komunitas. Dengan semangat kolaborasi yang erat, inovasi yang relevan, dan pendekatan humanis yang tulus, perguruan tinggi dapat menjadi pilar kokoh dalam membangun masyarakat madani yang lebih sejahtera, mandiri, dan berdaya.
Pada akhirnya, keberhasilan sebuah perguruan tinggi tidak hanya ditentukan oleh peringkat akreditasi atau prestasi akademik yang diraihnya, namun oleh seberapa besar kontribusi nyata terhadap kemajuan sosial, kemanusiaan dan kesejahteraan masyarakat. Perguruan tinggi yang mampu menjembatani kesenjangan antara teori ilmu pengetahuan dengan kebutuhan masyarakat. Perguruan tinggi yang berperan lebih dari sekadar institusi biasa—ia menjadi katalisator perubahan yang memberi makna pada setiap langkahnya.
Sebagai penutup, perguruan tinggi tidak boleh menjadi “menara gading” yang jauh dari realitas dan kebutuhan masyarakat. Sebaliknya, ia harus menjadi mitra sejati yang dekat dengan komunitas, hadir dengan solusi, dan siap berempati untuk mendengarkan. Dengan demikian, perguruan tinggi tidak hanya mencetak lulusan yang unggul, namun juga membangun peradaban yang lebih baik bagi generasi mendatang. Stay Relevant!
Baca juga: Permendikbudristek 53/2023: Mengapa ‘Budaya Mutu’ Harus Jadi Fokus Utama?
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Di tengah berbagai tuntutan yang dihadapi perguruan tinggi, mahasiswa sering diakui sebagai stakeholder utama, bahkan disebut sebagai stakeholder nomor satu. Mereka bukan sekadar peserta pendidikan, tetapi juga alasan keberadaan institusi pendidikan tinggi. Mahasiswa adalah penerima manfaat utama dari proses belajar mengajar sekaligus wajah masa depan bangsa, kader yang akan menentukan arah perjalanan negeri ini. Namun, pertanyaan yang tetap relevan adalah: apakah mahasiswa benar-benar menjadi pusat perhatian kampus? Apakah perguruan tinggi telah memberikan layanan terbaik untuk mereka? Atau justru mahasiswa hanya dianggap sebagai angka dalam laporan institusional?
Dalam kenyataannya, banyak perguruan tinggi masih fokus pada aspek administratif seperti akreditasi, peringkat, dan kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah. Di tengah perhatian yang terpusat pada indikator-indikator formal ini, kebutuhan dan pengalaman mahasiswa sering kali berada di pinggiran. Kondisi ini memunculkan dilema mendalam: sejauh mana kampus benar-benar memandang dan memperlakukan mahasiswa sebagai stakeholder terpenting, bukan sekadar komponen statistik belaka.
Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI
Sebagai stakeholder utama, mahasiswa memiliki hak fundamental untuk menerima pendidikan yang bermutu tinggi, relevan dengan tantangan zaman, dan memberikan dampak nyata. Mereka bukan sekadar pengguna layanan pendidikan, melainkan mitra dalam ekosistem akademik yang kompleks. Mahasiswa hadir dengan membawa harapan, ambisi, dan mimpi yang seharusnya dipupuk melalui kurikulum yang inovatif, fasilitas yang mendukung, serta interaksi yang penuh makna dengan para dosen sebagai pembimbing intelektual dan pembimbing moral.
Namun, kenyataan sering kali berbicara lain. Mahasiswa kerap merasa menjadi objek dari sistem pendidikan, sekadar peserta pasif, bukan subjek yang memiliki suara. Kurikulum yang terlalu kaku, akses yang terbatas terhadap sumber daya, dan minimnya komunikasi dua arah antara mahasiswa, dosen, dan pengelola kampus menjadi isu yang terus terulang. Dalam situasi seperti ini, mahasiswa sering kali tidak diperlakukan sebagai stakeholder utama, melainkan hanya sebagai angka dalam statistik atau formalitas demi memenuhi indikator keberhasilan institusi. Keadaan ini bukan saja merugikan mahasiswa, namun juga mengaburkan esensi sejati pendidikan tinggi sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya potensi individu.
Di era kecerdasan buatan (AI) yang terus berkembang, kebutuhan mahasiswa melampaui sekadar fasilitas fisik. Mereka mendambakan layanan yang cepat, efektif, dan responsif untuk mendukung proses pembelajaran mereka. Teknologi diharapkan hadir sebagai alat yang mempermudah akses pendidikan, memberikan bimbingan karier yang relevan, dan menyediakan dukungan emosional di tengah tekanan akademik serta tantangan psikologis yang semakin kompleks. Namun, sayangnya, tidak semua perguruan tinggi menyediakan mekanisme yang memadai untuk mendengar dan memenuhi kebutuhan tersebut secara komprehensif.
Perguruan tinggi yang benar-benar ingin melayani mahasiswa harus berkomitmen pada transparansi dan inklusivitas. Saluran komunikasi yang terbuka—seperti forum diskusi, survei kepuasan, kotak saran daring, atau dialog langsung dengan manajemen—bukan hanya menjadi formalitas, tetapi sarana untuk mempererat hubungan antara mahasiswa dan pengelola kampus. Lebih dari sekadar mendengar, perguruan tinggi harus mampu bertindak berdasarkan masukan yang diterima, dengan melakukan koreksi dan langkah preventif yang nyata. Melalui pendekatan ini, mahasiswa tidak hanya merasa didengar, namun juga dihargai, dihormati, dan dilibatkan secara aktif dalam membentuk mutu pendidikan yang sesuai dengan harapan dan kebutuhan mereka. Dengan demikian, kampus menjadi tempat yang benar-benar mencerminkan aspirasi dan potensi generasi muda.
Baca juga: Connecting The Dots: Transformasi SPMI melalui Kolaborasi Tim
Salah satu cara paling tepat untuk menegaskan bahwa mahasiswa adalah stakeholder utama adalah dengan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Mahasiswa seharusnya memiliki representasi (perwakilan) yang kuat di berbagai forum strategis, seperti perancangan kurikulum, evaluasi layanan, hingga pengembangan fasilitas kampus. Dengan partisipasi aktif mereka, kebijakan kampus tidak hanya menjadi lebih relevan, namun juga mencerminkan kebutuhan dan aspirasi mereka yang sebenarnya. Lebih dari itu, keterlibatan ini mampu menumbuhkan rasa memiliki dan loyalitas yang mendalam terhadap institusi.
Ketika mahasiswa diberi ruang untuk berkontribusi, mereka tidak lagi sekadar menjadi penerima manfaat, tetapi juga partner sejati dalam mengelola kampus. Mereka membawa perspektif segar yang berharga dalam menghadapi tantangan pendidikan modern. Pendekatan ini tidak hanya memberikan keuntungan bagi mahasiswa, namun juga meningkatkan kredibilitas perguruan tinggi sebagai institusi yang responsif, inklusif, dan relevan dengan generasi muda. Dalam lingkungan seperti ini, kampus tidak hanya menjadi tempat belajar, namun juga menjadi rumah bagi inovasi dan kolaborasi yang bermutu.
Baca juga: Tools Canggih untuk SPMI: Tips Mengurai Benang Kusut
Mahasiswa adalah inti dari keberadaan perguruan tinggi. Mereka bukan sekadar penerima layanan, tetapi juga partner strategis yang memiliki suara penting dalam menentukan arah, strategi dan masa depan institusi. Dengan menempatkan mahasiswa di pusat perhatian, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa setiap kebijakan, standar, program, dan layanan dirancang untuk menjawab kebutuhan nyata mereka, sekaligus memberikan dampak positif yang berkelanjutan. Dalam hubungan ini, mahasiswa bukan hanya angka statistik dalam laporan tahunan, tetapi jiwa-jiwa yang menghidupkan dinamika akademik.
Baca juga: Inovasi atau Mati: Integrasi PPEPP dengan Strategic Quality Management
Perguruan tinggi yang benar-benar memahami, berempati dan melayani mahasiswa dengan sepenuh hati akan menciptakan ekosistem pendidikan yang inklusif, memberdayakan, dan bermakna. Keberhasilan sebuah kampus tidak semata-mata diukur dari akreditasi atau peringkat yang diraih, tetapi dari seberapa jauh institusi tersebut mampu memenuhi ekspektasi dan menginspirasi stakeholder utamanya: mahasiswa. Karena pada akhirnya, masa depan pendidikan tidak hanya terletak pada keberadaan sistem, namun pada bagaimana sistem tersebut membangun jiwa-jiwa manusia. Stay Relevant!
“Pendidikan sejati adalah yang memuliakan jiwa dan menghidupkan semangat pembelajarnya.”
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Akreditasi telah menjadi simbol penting bagi perguruan tinggi dalam menunjukkan peringkat mutu mereka. Mendapatkan akreditasi unggul sering kali dianggap sebagai puncak prestasi yang mencerminkan kinerja institusi. Hanya saja, di balik hal tersebut, muncul pertanyaan: apakah akreditasi hanya sekadar simbol, atau benar-benar mencerminkan substansi mutu pendidikan yang dapat dipercaya?
Institusi perguruan tinggi sering kali menghadapi dilema dalam menyeimbangkan antara pemenuhan regulasi dan menciptakan dampak nyata. Ketika akreditasi terlalu fokus pada pengumpulan dokumen dan kepatuhan prosedur, esensi pendidikan tinggi sebagai penggerak perubahan dan inovasi sering kali terpinggirkan (kurang menjadi fokus utama).
Baca juga: Siapa Saja Stakeholder Perguruan Tinggi? Mengenal, Memahami dan Melayani
Akreditasi secara umum bertujuan memastikan bahwa perguruan tinggi memenuhi standar / kriteria tertentu dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (PkM). Dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah (BAN-PT atau LAM), akreditasi membantu memberikan kerangka kerja (framework) yang seragam untuk menilai mutu institusi.
Kendati demikian, proses akreditasi sering kali menjadi beban administratif. Perguruan tinggi, dengan sumber daya yang relatif terbatas, fokusnya “beralih” dari upaya menciptakan inovasi dan mutu, menjadi sekadar memenuhi indikator teknis dan persyaratan akreditasi. Institusi berlomba-lomba meraih predikat unggul, namun apakah mutu pendidikan yang dicapai benar-benar dirasakan manfaatnya bagi mahasiswa dan masyarakat luas?
Baca juga: Jangan Biarkan Korupsi Menodai SPMI: Langkah Preventif bagi Perguruan Tinggi
Pemerintah memainkan peran penting dalam menetapkan standar melalui kebijakan seperti Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN-Dikti). Regulasi ini bertujuan untuk memastikan standar mutu pendidikan tinggi tetap terjaga. Hanya saja, bila terlalu banyak persyaratan untuk mematuhi regulasi dapat membuat perguruan tinggi kehilangan fleksibilitas untuk berinovasi.
Alih-alih menjadi katalis untuk mendorong perubahan, regulasi sering kali dianggap sebagai beban administrasi. Perguruan tinggi terjebak pada upaya pemenuhan dokumen, sementara nilai-nilai inti pendidikan yang jauh lebih relevan terpaksa terpinggirkan. Regulasi yang baik seharusnya mampu memotivasi, mengarahkan dan memfasilitasi perguruan tinggi untuk mencapai mutu secara substansial, bukan sekadar kepatuhan administratif.
Baca juga: Permendikbudristek 53/2023: Mengapa ‘Budaya Mutu’ Harus Jadi Fokus Utama?
Salah satu tolok ukur keberhasilan pendidikan tinggi adalah sejauh mana memberi kontribusi pada mahasiswa dan masyarakat. Akan tetapi, ketika fokus pada akreditasi menjadi dominasi, pengalaman belajar mahasiswa secara keseluruhan sering kali terabaikan. Kurikulum bisa jadi lebih disesuaikan untuk memenuhi tuntutan standar akreditasi nasional daripada membekali mahasiswa dengan skills yang relevan di tingkat lokal.
Selain itu, program pengabdian kepada masyarakat (PkM) sering kali hanya menjadi formalitas untuk memenuhi persyaratan akreditasi. Sehingga, kontribusi nyata pada permasalahan masyarakat sering kali kurang optimal. Inilah hal-hal yang menjadi tantangan bersama untuk segera dicari solusi pemecahannya.
Baca juga: Evaluasi Permendikbudristek 53/2023: Kecepatan versus Akuntabilitas
Tidak bisa disangkal, akreditasi adalah elemen penting yang tidak dapat dihindari oleh perguruan tinggi. Namun, akreditasi seharusnya tidak hanya menjadi tujuan akhir, melainkan sarana untuk menciptakan manfaat yang lebih besar bagi para stakeholder. Dengan pendekatan yang tepat, akreditasi dapat bertransformasi dari sekadar simbol administratif menjadi alat yang mendorong perbaikan berkelanjutan. Perguruan tinggi harus mampu menemukan keseimbangan antara memenuhi tuntutan regulasi dengan menciptakan dampak nyata melalui pendidikan yang inovatif dan bermutu tinggi.
Kuncinya terletak pada integrasi misi unik perguruan tinggi (mission differentiation) dengan kebutuhan masyarakat serta stakeholder lainnya. Melalui kemitraan strategis, kolaborasi lintas sektor, dan sinergi yang harmonis, perguruan tinggi dapat membuktikan bahwa mereka tidak hanya mengejar pengakuan formal, tetapi juga menanamkan semangat perbaikan berkelanjutan (continuous improvement) dalam setiap langkah mereka. Dengan semangat ini, perguruan tinggi tidak hanya memenuhi ekspektasi, tetapi juga menjadi agen perubahan yang membawa manfaat bagi generasi kini dan masa depan.
Baca juga: Inovasi Penjaminan Mutu: Masukan Untuk Evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023
Akreditasi seharusnya tidak berhenti pada label “simbol” semata. Lebih dari itu, akreditasi harus menjadi cerminan nyata dari mutu pendidikan yang sesungguhnya, relevansi kurikulum yang sejalan dengan kebutuhan zaman, dan dampak sosial yang dirasakan oleh masyarakat luas. Perguruan tinggi tidak cukup hanya fokus pada kepatuhan administratif, namun harus menjadikan akreditasi sebagai tools untuk mendorong transformasi nyata dalam dunia pendidikan. Komitmen ini menuntut keberanian untuk melangkah melampaui rutinitas dan berinovasi demi menciptakan perbaikan yang bermakna.
Sebagai agen perubahan (change agent), perguruan tinggi memiliki peran penting dalam membangun masa depan yang lebih baik. Dengan integrasi visi misi ke setiap program dan kebijakan, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa setiap langkah menuju akreditasi memiliki nilai yang substansial. Hanya dengan komitmen ini, akreditasi akan menjadi instrumen yang tepat guna untuk membangun masyarakat yang berkelanjutan. Semoga dengan upaya ini, perguruan tinggi dapat terus relevan dan memberi keberkahan bagi umat, Insya Allah. Stay Relevant!
Baca juga: Kebijakan SPMI: Pilar Utama Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi