• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Daily Archive 10/01/2025

SPMI dan Perilaku Korupsi

Jangan Biarkan Korupsi Menodai SPMI: Langkah Preventif bagi Perguruan Tinggi

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Korupsi selalu menjadi ancaman laten yang tak hanya merugikan keuangan negara (PTN) atau Badan Penyelenggara (PTS), namun juga mencederai sistem mutu pendidikan tinggi. Dalam konteks Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), korupsi dapat menghancurkan landasan utama yang dibangun di atas prinsip transparansi, akuntabilitas dan perbaikan berkelanjutan. SPMI disusun untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi memberikan layanan bermutu untuk segenap pemangku kepentingan, namun bila tidak waspada, perilaku korupsi dapat menghancurkan prinsip-prinsip SPMI yang telah dibangun.

Penyimpangan seperti gratifikasi dalam proses PMB, korupsi waktu, penggelapan dana, nepotisme dalam rekrutmen, hingga manipulasi laporan kinerja menjadi contoh nyata yang mengancam keberhasilan SPMI.

Perguruan tinggi sepatutnya harus mulai melihat ancaman ini sebagai “musuh besar” yang harus diberantas demi menjaga marwah, kredibilitas dan integritas SPMI.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

Budaya Integritas sebagai Tameng

Integritas harus diupayakan untuk menjadi nilai inti yang tertanam dalam setiap kebijakan, keputusan, dan tindakan. Hal ini tentu saja tidak mudah, harus dimulai dengan memberi contoh (teladan) dari level pimpinan. Ketika pimpinan (role model) mencontohkan komitmen terhadap transparansi, hal itu tentu akan menciptakan efek domino positif, bergulir di seluruh level organisasi.

Pimpinan perguruan tinggi juga wajib menginternalisasi nilai-nilai integritas dalam setiap proses pengambilan keputusan. Contoh, dalam pengelolaan dana dan rekrutmen staf akademik, proses harus dilakukan terbuka dan tranparan mengikut prosedur yang telah dibakukan. Proses ini harus dilengkapi dengan mekanisme pengendalian yang melibatkan pihak independen, seperti auditor atau satuan pengawas internal (SPI). Dengan pendekatan ini, budaya integritas tidak hanya menjadi slogan yang ada di banner, poster atau spanduk, namun telah menjadi prinsip yang terinternalisasi dalam budaya organisasi.

Baca juga: Permendikbudristek 53/2023: Mengapa ‘Budaya Mutu’ Harus Jadi Fokus Utama?

Sistem Pengawasan yang Transparan

Perguruan tinggi harus memiliki tim audit mutu internal (AMI) yang kritis, independen dan berdaya guna. Audit mutu internal tidak hanya berfungsi sebagai alat evaluasi, namun juga sebagai sistem peringatan dini (early warning system) untuk mendeteksi risiko dan potensi penyimpangan sebelum menjadi masalah besar.

Selain audit, penggunaan teknologi (IT) dalam pengawasan juga dapat meningkatkan transparansi. Sistem digital untuk pelaporan dan pengelolaan data memungkinkan semua pihak yang berkepentingan untuk monitoring kinerja SPMI secara real-time (waktu nyata). Dengan akses terbuka terhadap informasi yang relevan, peluang untuk melakukan penyimpangan akan dapat dihindari, dan kepercayaan terhadap SPMI akan dapat meningkat.

Baca juga: SPMI Tanpa Knowledge Management? Jurang Kegagalan!

SPMI dan Public Speaking
Pendidikan dan Pelatihan

Pendidikan dan Pelatihan

Program workshop, pendidikan dan pelatihan di kampus-kampus juga dapat meningkatkan pemahaman staf dan mahasiswa tentang dampak buruk korupsi. Program ini juga bisa mencakup berbagai media seperti ceramah, video, atau simulasi (kasus nyata) untuk menunjukkan bagaimana korupsi mampu merusak sistem dan membahayakan reputasi perguruan tinggi.

Program pendidikan dan pelatihan juga harus mampu untuk melatih keterampilan tertentu seperti laporan dugaan penyimpangan melalui saluran yang aman. Sistem whistleblowing (pengungkapan pelanggaran) dan pelaporan anonim tidak hanya melindungi pelapor, namun juga menjadi salah satu metode efektif untuk mengidentifikasi pelanggaran yang mungkin terjadi.

Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI

Penutup

Sebagai penutup, SPMI bukan sekadar alat administratif, namun wujud komitmen perguruan tinggi untuk meningkatkan mutu pendidikan secara berkelanjutan.

Dengan tindakan preventif (pencegahan) yang konsisten dan komprehensif, institusi akan dapat memastikan bahwa SPMI berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Institusi yang mampu menjaga kejujuran dan akuntabilitas implementasi SPMI Insya Allah akan mencetak lulusan bermutu yang siap bersaing di tingkat internasional. Oleh karena itu jangan biarkan perilaku korupsi menghancurkan misi perguruan tinggi yang mulia ini. Stay Relevant!

Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Mutu Pendidikan Indonesia

Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi adalah langkah penting untuk menjaga relevansi mutu pendidikan tinggi. Siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) didesain untuk memastikan proses yang berkesinambungan dalam peningkatan mutu (kaizen). Akan tetapi, sebagaimana disampaikan Christopher Booker dalam buku Groupthink: A Study in Self Delusion, dinamika kelompok yang disfungsional, atau groupthink, sering menjadi “penghambat tersembunyi” dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam konteks SPMI, tim gugus kendali mutu (GKM) atau pimpinan dikhawatirkan terlalu fokus pada mencapai kesepakatan / kekompakan, sehingga mengabaikan fakta-fakta atau data yang bertentangan. Hal ini menciptakan suasana yang tampaknya menyenangkan dan solid, namun sebenarnya rapuh karena kurangnya evaluasi kritis.

Booker berpendapat, ketika kelompok kerja terjebak dalam pola pikir yang sama, mereka cenderung mengabaikan pandangan kritis dan merasionalisasi keputusan-keputusan yang keliru. Dalam situasi ini, ide-ide yang berbeda yang seharusnya menjadi masukan berharga sering kali diabaikan. Akibatnya, evaluasi cenderung formalitas saja, tanpa perbaikan-perbaikan yang substansial.

Keputusan dalam kondisi groupthink, bukan hanya kurang efektif, namun berisiko memperburuk masalah yang ada. Oleh sebab itu, untuk memastikan keberhasilan SPMI, penting bagi perguruan tinggi untuk waspada fenomena groupthink dan mendorong keterbukaan terhadap perbedaan pendapat (budaya kritis).

Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”

Harmoni Palsu dan Jebakan Pemikiran Kolektif

Salah satu dampak dari groupthink, terciptanya “harmoni palsu” dalam kelompok. Dalam konteks SPMI, harmoni semacam ini sering muncul ketika evaluasi mutu (monev atau audit mutu) dilakukan tanpa benar-benar mengidentifikasi akar permasalahan. Unit kerja mungkin hanya mencari bukti yang mendukung bahwa standar telah terpenuhi, tanpa mempertanyakan apakah bukti-bukti tersebut mencerminkan fakta di lapangan.

Kelompok yang terjebak dalam pola pikir “harmoni palsu” kehilangan kemampuan untuk melihat situasi dari sudut pandang lain, sulit untuk berpikir out of the box. Dalam bukunya, Booker memberikan contoh bagaimana decision yang diambil tanpa mempertimbangkan pandangan alternatif sering kali gagal menghasilkan solusi yang baik. Hal ini menghambat upaya perbaikan yang seharusnya menjadi intisari dari implemenasi SPMI.

Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier

SPMI dan budaya kritis
SPMI dan budaya kritis

Membangun Budaya Kritis

Untuk mencegah munculnya groupthink dalam SPMI, institusi harus membangun budaya yang mendorong refleksi kritis dan menghargai perbedaan pendapat. Unit kerja dapat menghindari jebakan “harmoni palsu” bila mereka siap menghadapi fakta yang tidak sesuai dengan harapan pribadi.

Ada beberapa ide untuk mencegah munculnya groupthink. Institusi dapat melibatkan pihak eksternal (seperti konsultan atau auditor eksternal) sebagai langkah praktis untuk memberikan perspektif yang objektif. Pandangan kritis dari pihak eksternal membantu memecahkan bias kelompok dan memastikan evaluasi didasarkan pada data yang relevan dan obyektif, bukan sekedar hasil konsensus internal.

Solusi lain, penting bagi unit kerja untuk memiliki pemahaman mendalam (literasi) tentang prinsip-prinsip SPMI. Ketrampilan menggunakan data dan keberanian menyampaikan pandangan yang berbeda dapat mendorong proses pengambilan keputusan yang lebih obyektif. Dengan langkah-langkah ini, SPMI tidak hanya sekedar menjadi prosedur administratif, namun alat strategis untuk menubuhkan perubahan nyata dalam organisasi.

Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?

Groupthink pada Siklus PPEPP

Christopher Booker juga menyoroti bahwa groupthink sering terjadi pada organisasi dengan pola kepemimpinan yang terlalu dominan (otokratis). Dalam pelaksanaan SPMI, risiko ini muncul ketika pimpinan perguruan tinggi terlalu mendikte arah evaluasi dan pengendalian, sehingga anggota kelompok merasa enggan untuk menyuarakan ide dan pendapat yang berbeda. Akibatnya, dinamika kelompok menjadi terhambat, proses PPEPP selanjutnya hanya menjadi formalitas belaka, yang tidak menghasilkan peningkatan substansial.

Pada tahap peningkatan (dalam PPEPP), dinamika kelompok yang sehat menjadi sangat penting. Peningkatan standar SPMI memerlukan keberanian untuk mengambil keputusan berdasarkan fakta-fakta yang mungkin tidak populer.

Misalnya keputusan untuk peningkatan target dan indikator standar, gaya kepemimpinan partisipatif mungkin menjadi lebih relevan dengan mendorong unit kerja untuk siap menerima tantangan baru. Ancaman groupthink dapat dicegah dengan komunikasi 2 arah untuk menetapkan target dan strategi baru sesuai dengan prinsip MBO (management by objective).

Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI

Penutup

Buku menarik Groupthink: A Study in Self Delusion, menegaskan bahwa groupthink adalah cerminan kegagalan produktifitas kelompok demi menyeimbangkan kebutuhan sosial dengan evaluasi kritis. Dalam konteks SPMI, ini menjadi pelajaran berharga bahwa “harmoni palsu” dapat menjadi musuh nyata yang merusak esensi penguatan SPMI. Tanpa keberanian untuk mengungkapkan fakta dan kebenaran, siklus PPEPP hanya akan menjadi formalitas-administratif belaka, yang kehilangan potensinya untuk mendorong perbaikan yang berkelanjutan (kaizen).

Untuk mencapai pendidikan tinggi yang bermutu, perguruan tinggi harus berani membangun budaya refleksi kritis yang mendorong keberagaman pandangan. Mencegah groupthink tidak hanya soal keberanian menyuarakan perbedaan, namun juga penting menciptakan SPMI yang kondusif, dan kepemimpinan yang inklusif. Dengan gagasan ini, SPMI dapat menjadi alat transformasi yang benar-benar strategis, dan bukan sekadar pemenuhan regulasi-formalitas belaka.

Demikian juga Pendidikan tinggi, membutuhkan keberanian untuk berubah, dimulai dari saat ini dengan keberanian berpikir berbeda. Stay Relevant!

Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan


Referensi

  1. Booker, C. (2020). Groupthink: A study in self delusion. Bloomsbury Publishing.
  2. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2022). Organizational Behavior (18th ed.). Pearson.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Budaya Mutu

Permendikbudristek 53/2023: Mengapa ‘Budaya Mutu’ Harus Jadi Fokus Utama?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Ketika mengkaji mutu pendidikan tinggi, sering kali kita mendengar terminologi seperti kebijakan, standar, evaluasi, dan akreditasi. Namun, ada satu konsep fundamental yang sangat penting yaitu: budaya mutu.

Penulis tergerak untuk bertanya: Mengapa hal ini terjadi? Padahal, budaya mutu (quality culture) adalah inti dari keberlanjutan peningkatan kualitas pendidikan tinggi (kaizen).

Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 Pasal 68, memang menekankan pentingnya siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar), namun tanpa menyebut budaya mutu, kita kehilangan kesempatan untuk menanamkan prinsip bahwa budaya mutu harus menjadi DNA dari seluruh elemen sendi-sendi perguruan tinggi. Budaya mutu lebih dari sekadar prosedural; ini adalah ruh nilai-nilai (values) yang menggerakkan sivitas akademika dalam organisasi untuk secara sadar bekerja keras meningkatkan mutu pendidikan. Bila istilah budaya mutu tidak ditegaskan, penulis khawatir perguruan tinggi cenderung melihat penjaminan mutu hanya sebagai tugas administratif belaka, bukan sebagai misi transformatif.

Baca juga: Evaluasi Permendikbudristek 53/2023: Kecepatan versus Akuntabilitas

Integrasi yang Belum Optimal

Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, khususnya Pasal 69 ayat (1) huruf b, mengamanatkan perguruan tinggi untuk mengintegrasikan implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) ke dalam manajemen perguruan tinggi. Ini adalah langkah sangat penting, namun tantangan besar masih menghadang. Banyak institusi perguruan tinggi yang melihat SPMI sebagai tanggung jawab terpisah, terbatas pada unit tertentu (unit LPM), tanpa integrasi ke dalam struktur organisasi secara holistik.

Tanpa integrasi ini, SPMI hanya akan menjadi sekumpulan dokumen formalitas yang tidak memiliki makna apa-apa. Sebaliknya, bila SPMI mampu diintegrasikan secara strategis, ia akan menjadi tool strategis untuk mencapai tujuan institusi dengan mendorong kolaborasi, kreatifitas, dan komitmen kolektif terhadap mutu pendidikan.

Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI

Budaya Mutu SPMI
Aspek Budaya Mutu

Dimulai dari Regulasi

Melalui Surat Edaran Nomor 15 Tahun 2024, Menteri mengundang pemangku kepentingan untuk memberikan masukan, saran dan pertimbangan atas evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023. Sebagai bagian dari pemangku kepentingan, penulis merespon Surat Edaran tersebut, dengan mengusulkan agar diksi “budaya mutu” dimunculkan secara eksplisit dalam revisi mendatang. Regulasi ini memiliki potensi penting untuk mendorong transformasi pendidikan tinggi. Apabila diksi budaya mutu tidak secara eksplisit muncul sebagai inti dari Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi (SPM Dikti) dikhawatirkan tidak menjadi fokus perhatian. Tanpa pengakuan ini, upaya penguatan SPMI berpotensi kehilangan arah, dan terjebak dalam formalitas yang dangkal.

Dengan cara ini, regulasi akan memberi fokus dan arahan yang jelas bahwa mutu bukan hanya tentang kepatuhan terhadap standar, namun juga tentang perubahan paradigma (mindset) dan perilaku. Institusi perguruan tinggi dengan budaya mutu yang unggul tidak hanya fokus pada hasil akreditasi, namun juga pada dampak keberlanjutan terhadap kepuasan mahasiswa, masyarakat, dan bangsa.

Baca juga: Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku: Pilar Utama Budaya Mutu SPMI

Perubahan Paradigma

Kehadiran budaya mutu di perguruan tinggi Insya Allah akan membawa perubahan paradigma yang besar. Perguruan tinggi tidak lagi mengejar angka-angka akreditasi semata, namun menjadikan budaya mutu sebagai prinsip (habit) kerja sehari-hari. Budaya mutu berarti segenap pimpinan, dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi pada mutu, tidak hanya dalam tugas formal pekerjaan, namun juga dalam perilaku dan nilai-nilai keseharian, hal ini sesuai dengan kutipan dari seorang pakar mutu bernama Edwards Deming “quality is everyone’s responsibility”.

Ini adalah paradigma yang sangat urgen untuk menghadapi tantangan globalisasi dan perkembangan teknologi (era BANI). Dengan regulasi yang tepat, budaya mutu akan menjadi tulang punggung pendidikan tinggi yang benar-benar kompetitif di tingkat nasional dan internasional.

Baca juga: Merancang Mission Differentiation di Era BANI

Penutup

Sesungguhnya pendidikan tinggi di Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar standar dan akreditasi. Pendidikan tinggi memerlukan panduan dan nilai-nilai yang membimbing perjalanan institusi menuju mutu pendidikan yang relevan. Budaya mutu adalah jawaban cerdas atas tuntutan ini, karena pada dasarnya mutu dibangun untuk mencapai kepuasan (customer satisfaction) untuk segenap pemangku kepentingan.

Baca juga: SPMI dan Budaya Mutu: Perspektif Teori Schein


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

×

Layanan Informasi

× Hubungi Kami