• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Daily Archive 17/01/2025

SPMI dan Kepemimpinan Managerial Grid 1

Membangun Budaya Mutu: Apakah Pemimpin Anda Memiliki Skor 9,9 di Managerial Grid?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Kepemimpinan dalam pendidikan tinggi semakin diuji di era Artificial Intelligence (AI) yang penuh dinamika ini. Dalam implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di Pendidikan Tinggi, kemampuan pemimpin untuk menyeimbangkan perhatian terhadap “tugas” (task) dan “manusia” (people) menjadi faktor penentu keberhasilan organisasi. Namun, tentu kita masih bertanya, apakah para pemimpin perguruan tinggi benar-benar memiliki kemampuan untuk mendekati atau mencapai skor 9,9—perpaduan ideal antara perhatian terhadap “tugas” dan perhatian terhadap “manusia”—dalam framework model Managerial Grid? Mari kita kupas bersama.

Model Managerial Grid, yang dikembangkan oleh Blake dan Mouton, menawarkan perspektif menarik tentang bagaimana pemimpin dapat mengelola tim (bawahan) secara efektif. Dalam konteks SPMI, hal ini berarti menjaga keseimbangan antara pencapaian kinerja standar SPMI (perhatian pada “tugas”) dengan pencapaian hubungan harmonis pada “manusia” (bawahan). Skor 9,9 bukan hanya sekadar angka biasa, namun refleksi dari kepemimpinan yang ideal (team management).

Baca juga: SPMI di Era AI: Apakah Gaya Kepemimpinan Anda Siap Beradaptasi?

Skor 9,9 dalam Konteks SPMI

Implementasi SPMI membutuhkan komitmen yang tinggi untuk menyusun dan mencapai standar mutu secara berkelanjutan. Komitmen ini harus dibangun bersama dengan budaya mutu yang terus berkembang, dan inti dari semua ini adalah fungsi kepemimpinan yang efektif. Lalu, seperti apa model kepemimpinan yang ideal untuk mendukung pencapaian standar SPMI? Dalam konteks ini, perhatian terhadap “tugas” (task) menjadi elemen yang sangat krusial. Pemimpin bertanggung jawab memastikan bahwa setiap tahap dalam siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar) dilakukan secara konsisten, berbasis data, dan berorientasi pada hasil. Fokus yang kuat pada “tugas” menjadi landasan untuk mencapai keunggulan operasional dan efektivitas implementasi.

Namun, fokus yang berlebihan pada target dan angka-angka dapat menjadi pedang bermata dua. Tekanan untuk memenuhi standar yang tinggi sering kali menciptakan konflik atau bahkan kelelahan emosional di kalangan tim. Inilah mengapa perhatian terhadap “manusia” (people) menjadi sama pentingnya. Model kepemimpinan dengan skor 9,9 dalam Managerial Grid menjadi pengingat bahwa di balik target yang ambisius terdapat individu-individu yang membutuhkan perhatian, pengakuan, dan motivasi. Ketika pemimpin memberikan perhatian yang tulus kepada kesejahteraan tim—seperti memastikan keseimbangan kerja-hidup, menyediakan dukungan emosional, atau mengapresiasi kontribusi mereka—mereka tidak hanya menciptakan lingkungan kerja yang sehat, tetapi juga mendorong tim untuk berkomitmen secara kolektif terhadap pencapaian standar mutu SPMI yang lebih tinggi. Dengan keseimbangan ini, kepemimpinan tidak hanya menjadi alat pencapaian target, namun juga landasan untuk membangun budaya mutu (quality culture) yang kokoh dan berkelanjutan.

Baca juga: Knowledge Management: Rekomendasi untuk Revisi Permendikbudristek 53 Tahun 2023

Model Managerial Grid (kisi-kisi manajerial) dari Blake and Mouton

Memberdayakan Tim

Keseimbangan antara fokus pada “tugas” dan “manusia”—yang tercermin dalam skor 9,9 pada Managerial Grid—tidak hanya menciptakan harmoni, namun juga memberdayakan tim untuk memberikan kinerja terbaik mereka. Ketika pemimpin menunjukkan perhatian tinggi terhadap “tugas” (yang direpresentasikan pada sumbu horizontal), mereka menetapkan target yang jelas, memberikan bimbingan strategis, dan memastikan setiap individu memahami tanggung jawab mereka dalam mencapai tujuan institusi. Tugas ini menjadi elemen kunci dalam implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), yang sering kali membutuhkan koordinasi yang solid lintas departemen atau unit kerja.

Namun, keberhasilan SPMI tidak cukup hanya dengan perhatian pada “tugas” saja. Perhatian terhadap manusia (sumbu vertikal) menjadi sama pentingnya, memastikan bahwa setiap sumber daya manusia merasa didengarkan, dihargai, dan didukung. Gaya kepemimpinan yang terlalu berorientasi pada tugas semata (tipe 9,1) berisiko memicu konflik dan resistensi dalam organisasi. Sebaliknya, Gaya kepemimpinan yang terlalu berorientasi pada “manusia” semata (tipe 1,9) berisiko organisasi tidak produktif sama sekali, karena pimpinan terlalu fokus satu sisi, hanya perhatian pada manusia saja, sehingga pelaksanaan tugas cenderung diabaikan. Lalu bagaimana yang ideal? Yang ideal adalah seorang pemimpin tipe 9,9—yang mewujudkan kepemimpinan berbasis team management—adalah pemimpin yang paling ideal yang mampu mengubah resistensi menjadi kolaborasi.

Pemimpin tipe 9,9 menunjukkan empati, mendengarkan kritik dan masukan dari anggota tim, serta melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Pendekatan ini tidak hanya menggerakkan tim untuk bekerja lebih efektif, tetapi juga menumbuhkan motivasi dan rasa memiliki yang mendalam terhadap organisasi. Pada akhirnya, gaya kepemimpinan ini menjadi landasan yang kokoh untuk mendorong keberhasilan SPMI sekaligus memperkuat budaya mutu dalam organisasi.

Baca juga: Jangan Biarkan Korupsi Menodai SPMI: Langkah Preventif bagi Perguruan Tinggi

Penutup

Budaya mutu yang berkelanjutan tidak dapat dicapai bila hanya mengandalkan “ketersediaan” dokumen kebijakan, standar dan prosedur (not sufficient). Budaya mutu memerlukan leadership yang kuat, leader yang inspiratif dan mampu membangun sinergi antara “tugas” dan “manusia”. Skor 9,9 pada Managerial Grid menjadi simbol “kepemimpinan ideal” yang mampu membawa perubahan positif dan membangun landasan mutu yang kokoh.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah pemimpin di perguruan tinggi Anda telah mencapai keseimbangan ini? Jika belum, saatnya untuk berinvestasi dalam pengembangan kepemimpinan yang adaptif dan berorientasi pada keseimbangan. Stay Relevant!

Baca juga: Tools Canggih untuk SPMI: Tips Mengurai Benang Kusut


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Kecerdasan Emosional

SPMI di Era AI: Apakah Gaya Kepemimpinan Anda Siap Beradaptasi?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Kemajuan teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI), telah merevolusi berbagai sendi-sendi kehidupan, termasuk dunia pendidikan tinggi. Dalam konteks implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), tantangan baru muncul di tengah kebutuhan untuk memadukan kecanggihan teknologi AI dengan sentuhan manusiawi (human relation skills). Pertanyaannya kini bukan hanya apakah pemimpin perguruan tinggi mampu menghadapi perubahan ini, tetapi juga apakah mereka bersedia (mau) menyesuaikan gaya kepemimpinan mereka agar tetap relevan dan efektif di era AI yang terus berkembang.

AI membuka peluang banyak hal untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pekerjaan. Dalam sekejap AI mampu pengumpulan data, analisis, hingga evaluasi mutu pendidikan. Namun, persoalannya meski teknologi ini menawarkan keunggulan signifikan, ia tidak dapat menggantikan peran penting hubungan antar manusia khususnya leadership skills dalam membangun budaya mutu (quality culture) yang kokoh. Untuk itu, keterampilan kepemimpinan untuk memberikan arahan, membimbing, dan mendelegasikan menjadi sangat penting. Gaya kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Paul Hersey dan Ken Blanchard menawarkan pendekatan yang fleksibel. Dengan gaya kepemimpinan situasional memungkinkan pemimpin menghadapi dinamika perubahan teknologi sambil tetap menjaga keterlibatan emosional dan kepercayaan antar anggota tim.

Baca juga: Kampus dan Industri: Mengapa Respons Perguruan Tinggi Jadi Penentu di Era AI?

Menjembatani Teknologi dan Manusia

Era AI sungguh luar biasa, menuntut integrasi teknologi dalam proses SPMI, seperti penerapan siklus PPEPP (penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian dan peningkatan standar) dalam manajemen mutu pendidikan di perguruan tinggi. Contoh integrasi penggunaan perangkat lunak untuk analisis data mutu akademik atau sistem pemantauan pembelajaran, akan sangat membantu efisien pekerjaan. Namun, keberhasilan teknologi ini sangat bergantung pada kesiapan SDM yang memakainya. Gaya kepemimpinan situasional yang dikembangkan Hersey dan Blanchard, memungkinkan pemimpin perguruan tinggi dari rektor, dekan dan struktural lainnya untuk menyesuaikan gaya memimpin berdasarkan tingkat kesiapan teknis dan emosional anak buah. Ketika staf merasa tidak percaya diri dengan teknologi baru, gaya “Directing” (perintah) dapat digunakan untuk memberikan arahan dan bimbingan yang jelas.

Namun, lain lagi, bila anggota tim yang mulai memahami teknologi tetapi masih ragu dan membutuhkan dorongan, pemimpin dapat beralih ke gaya “Coaching” (membimbing). Dengan gaya ini pemimpin memberikan semangat, motivasi dan panduan yang diperlukan agar teknologi yang baru dipelajari dapat bejalan efektif. Adapun, bagi anggota staf yang sudah pandai dan mahir, pemimpin dapat mendelegasikan tanggung jawab penuh dengan gaya “Delegating” (delegasi). Dengan gaya ini memungkinkan anak buah bersemangat untuk bebas menjalankan peran mereka secara mandiri sambil tetap ada pantauan oleh pimpinan. Dalam kasus diatas, pemimpin berperan optimal sebagai jembatan antara inovasi teknologi dengan dinamika kemampuan bawahan yang heterogen.

Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat

Gaya Kepemimpinan Situasional dari Hersey dan Blanchard

Menghadapi Ketakutan dan Resistensi

Dalam dunia yang semakin dipengaruhi oleh teknologi AI, kekhawatiran akan kehilangan pekerjaan atau ketidakpastian sering kali menjadi bayangan yang menghantui para pegawai. Resistensi terhadap perubahan ini dapat menjadi penghambat keberhasilan implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Di sinilah gaya kepemimpinan “Supporting” (dukungan / merangkul) memainkan peran penting. Dengan berempati dan mendengarkan kekhawatiran staf, pemimpin menunjukkan bahwa AI dirancang bukan untuk menggantikan, namun untuk memudahkan pekerjaan mereka. Dengan gaya ini (supporting), pemimpin dapat membangun kepercayaan dan mengikis keragu-raguan yang muncul.

Lebih jauh lagi, pemimpin yang adaptif harus mampu memanfaatkan teknologi untuk mengurangi tugas-tugas administratif yang repetitif, dengan cara ini, pemimpin memberikan ruang bagi staf untuk fokus pada inovasi dan pengembangan mutu pendidikan (SPMI). Dengan pendekatan gaya situasional, pemimpin tidak hanya mengelola perubahan namun juga mengubah kekhawatiran menjadi peluang. Resistensi (penolakan) yang awalnya ditakuti dapat dirubah menjadi energi untuk menciptakan inovasi dan budaya mutu yang lebih baik.

Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI

Transformasi Kepemimpinan di Era AI

Era AI bukan sekadar tentang teknologi, tetapi juga tentang cara kita memimpin, berkomunikasi, dan beradaptasi. Sumber Daya Manusia (SDM) di perguruan tinggi harus mampu memandang teknologi sebagai peluang untuk berkembang, bukan sebagai ancaman. Dengan mengadopsi gaya kepemimpinan situasional, rektor, dekan, dan para pemimpin lainnya dapat memastikan bahwa setiap individu dalam organisasi berkontribusi secara produktif dalam proses Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan).

Transformasi ini memerlukan kesadaran mendalam (awareness) bahwa keberhasilan SPMI tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan AI yang digunakan, namun juga oleh cara AI tersebut diintegrasikan secara harmonis ke dalam ekosistem manusia di perguruan tinggi. Gaya kepemimpinan yang adaptif menjadi kunci untuk menciptakan keseimbangan ideal antara teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan, memperkuat peran pendidikan tinggi sebagai pilar inovasi dan kemajuan.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

Penutup

Pada akhirnya, tujuan utama SPMI adalah menciptakan budaya mutu yang berkelanjutan. AI dapat membantu dalam menyediakan data dan wawasan yang lebih baik, tetapi manusia tetap menjadi penggerak utama dalam menciptakan perubahan yang berarti. Gaya kepemimpinan situasional memungkinkan pemimpin untuk mengarahkan, mendukung, dan mendelegasikan peran dengan cara yang ideal yang mampu memberdayakan seluruh elemen organisasi.

Di tengah tantangan era AI, pemimpin yang fleksibel dan adaptif akan mampu membangun kolaborasi yang solid antara manusia dan teknologi. Ketika semua pihak merasa didukung, dihargai dan diberdayakan, keberhasilan SPMI bukan lagi sekadar visi, melainkan realitas yang bakal terwujud. Apakah Anda benar-benar siap memimpin tantangan perubahan ini? Stay Relevant!

Baca juga: SPMI dan Teori Kepemimpinan Manajerial Grid


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

×

Layanan Informasi

× Hubungi Kami