• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Teori Motivasi

Harmoni Teori X dan Y: Membangun SPMI yang Humanis dan Berkelanjutan

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah tool penting dalam pengelolaan mutu institusi perguruan tinggi. Melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar), SPMI dikembangkan untuk memastikan kesinambungan mutu dan kemampuan institusi dalam merespons kebutuhan pemangku kepentingan yang terus berubah. Siklus ini, kemudian menjadi fondasi bagi perguruan tinggi untuk menjalankan misi unik (mission differentiation) secara efektif dan efisien.

Teori X dan Y yang dikembangkan oleh Douglas McGregor memberi framework yang relevan untuk penguatan SPMI. Teori X dan Y menggambarkan bagaimana asumsi tentang perilaku manusia dapat mempengaruhi banyak hal dalam elemen organisasi, seperti motivasi, pengambilan keputusan, gaya kepemimpinan, dan penciptaan budaya mutu yang berkelanjutan. Buku Mc Gregor berjudul The Human Side of Enterprise, dianggap sebagai salah satu karya klasik, referensi penting dalam literatur ilmu psikologi dan manajemen.

Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan

Dinamika Teori X dan Y

McGregor memperkenalkan dua asumsi tentang motivasi manusia, yaitu: Teori X dan Teori Y.

Dalam konteks pengelolaan manajemen mutu di perguruan tinggi, teori X dan Y menawarkan perspektif yang menarik. Implementasi SPMI dan PPEPP, yang sering menggunakan pendekatan bottom-up atau top-down, dapat memanfaatkan kombinasi Teori X dan Y untuk memotivasi dan mengelola SDM perguruan tinggi.

Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!

Penerapan Teori X

Pada tahap penetapan standar (dalam siklus PPEPP), terkadang institusi memerlukan pedoman dan kontrol yang jelas untuk membangun kerangka kerja yang terstruktur. Dalam konteks ini, pendekatan berbasis Teori X sering kali lebih cocok, terutama ketika standar baru harus ditetapkan. Misalnya, dalam menetapkan standar kompetensi lulusan, perguruan tinggi perlu menetapkan kriteria yang spesifik, seperti kemampuan analitis, keterampilan teknis, atau penguasaan teknologi terkini sesuai kebutuhan industri. Pendekaan top-down, lebih cocok, dimana pimpinan (manajemen) menetapkan standar yang tegas dan menantang (challenge) sesuai dengan “misi unik” (mission differentiation) perguruan tinggi.

Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?

Kontrol ketat dan tegas dapat membantu memastikan bahwa semua unit memahami target dan indikator yang ditetapkan. Contoh, dalam penetapan standar kompetensi lulusan, pengawasan ketat dapat berupa pengembangan prosedur yang detail, pelatihan manajemen strategik untuk menyusun mission differentiation menjadi sangat urgen.

Pimpinan dapat fokus untuk membangun misi unik organisasi dan menetapkan dokumen standar yang visioner. Bila manajemen menetapkan bahwa lulusan program teknik harus memiliki sertifikasi keahlian tertentu, maka perguruan tinggi dapat menerapkan target dan indikator kebijakan sertifikasi, yang implementasinya wajib diawasi secara berkala oleh UPPS / fakultas.

Pendekatan Teori X juga berguna dalam menghadapi penolakan (resistensi) terhadap munculnya standar baru yang dirasa cukup memberatkan. Contoh, bila ada pihak yang kurang berkenan pada isi standar kompetensi lulusan, manajemen dapat menggunakan kebijakan tegas, seperti kewajiban memasukkan capaian pembelajaran sesuai standar dalam setiap kurikulum. Walau ada resistensi di awal, langkah ini membantu memastikan bahwa proses penetapan standar dapat berjalan sesuai visi-misi dan renstra. Sebaliknya, bila menerapkan pendekatan bottom-up (dalam penetapan standar SPMI), ada kekhawatiran, bawahan akan menyusun target yang rendah, mudah dicapai dan bahkan tidak relevan.

Penerapan Teori Y

Setelah standar SPMI ditetapkan (langkah awal), tahap berikutnya adalah tahap pelaksanaan (dalam siklus PPEPP). Tahap ini memerlukan semangat dan keterlibatan aktif dari semua anggota organisasi (sivitas akademika). Penerapan Teori Y, dipandang lebih cocok pada tahap ini karena mendorong motivasi, partisipasi dan tanggung jawab bersama. Misal, dalam pelaksanaan standar proses pembelajaran, tim dosen dapat dilibatkan dalam menyusun metode pengajaran yang inovatif, sementara mahasiswa diberikan ruang untuk memberikan feedback terkait bentuk dan format perkuliahan. Sumbang saran dari mahasiswa dapat dilakukan dalam berbagai media seperti forum diskusi, kotak saran atau sesi feedback bulanan.

Contoh lain, saat evaluasi pelaksanaan standar SPMI, misal evaluasi pelaksanaan standar proses pembelajaran, manajemen dan auditor dapat menggunakan prinsip Teori Y (pendekatan yang partisipatif). Institusi dapat mengadakan sesi evaluasi (monev, audit atau tinjauan manajemen) bersama dosen dan mahasiswa untuk mengevaluasi sejauh mana efektivitas proses pembelajaran yang sudah berjalan atau sedang berlangsung. Survei kepuasan mahasiswa terhadap metode pembelajaran berbasis proyek, misalnya, dapat digunakan untuk mengidentifikasi area-area mana saja yang perlu diperbaiki (tindakan korektif dan preventif).

Pendekatan teori Y membantu menumbuhkan rasa memiliki terhadap standar SPMI, baik dosen, tendik maupun mahasiswa. Ketika semua pihak merasa dihargai, semangat untuk bekerja sama menjadi optimal dan hasil evaluasi menjadi lebih relevan dan akurat, yang pada akhirnya membantu institusi untuk melakukan pengukuran standar dengan baik.

Baca juga: Teori 2 Faktor: Memadukan SPMI dengan Motivasi Intrinsik

Membangun Budaya Mutu

Tahap pengendalian (dalam siklus PPEPP) sangat krusial untuk memastikan bahwa pelaksanaan standar SPMI sudah sesuai dengan yang telah ditetapkan. Dengan menerapkan prinsip Teori Y, pimpinan dapat melibatkan unit-unit kerja, seperti fakultas, UPPS dan program studi, untuk “secara mandiri” memantau pencapaian target kinerja masing-masing. Program studi dapat diberikan tanggung jawab untuk memeriksa apakah standar kurikulum telah memenuhi capaian pembelajaran yang dipersyaratkan. Pendekatan Teori Y ini mendorong iklim “rasa kepemilikan” terhadap capaian mutu kurikulum di masing-masing program studi.

Tahap peningkatan standar (dalam PPEPP) dapat menggunakan asumsi teori Y (situasional). Asumsi Teori Y dapat dipilih untuk mendorong kreativitas dan inovasi dari semua pihak. Misal, dosen dapat dilibatkan dalam pengembangan standar baru untuk mata kuliah yang relevan dengan tren perkembangan industri. di sisi lain mahasiswa juga dapat memberikan ide dan saran melalui wawancara, survei atau diskusi mengenai relevansi isi standar kurikulum bagi mahasiswa.

Pemakaian asumsi Teori Y juga dapat menumbuhkan kolaborasi yang kuat antar unit kerja maupun stakeholder lainnya. Peningkatan mutu tidak hanya menjadi tanggung jawab manajemen, namun melibatkan semua elemen dalam institusi. Dengan pendekatan ini, harapannya perguruan tinggi dapat membangun kurikulum yang lebih adaptif, relevan, dan sesuai dengan tuntutan perubahan zaman.

Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI

Situasional: pilih Teori X atau Y

Teori X, yang fokus pada kontrol, pengawasan, dan arahan langsung, cocok sekali digunakan untuk memastikan bahwa seluruh elemen dalam organisasi memahami urgensi dan pentingnya peningkatan standar. Tahapan ini sering kali membutuhkan disiplin tinggi untuk menghindari penyimpangan dari target yang telah ditetapkan.

Contoh, dalam peningkatan standar keluaran (output) penelitian di perguruan tinggi, kebijakan yang mewajibkan dosen mempublikasikan artikel di jurnal internasional bereputasi dapat diterapkan dengan kontrol ketat. Manajemen dapat membuat target spesifik, seperti jumlah publikasi minimal per tahun, dan melakukan pemantauan secara ketat terhadap capaian individu maupun unit kerja. Dengan demikian, peran kontrol dan kepatuhan menjadi krusial untuk memastikan bahwa target standar keluaran penelitian dapat dicapai dalam waktu yang ditetapkan, disinilah asumsi teori X dapat digunakan.

Pendekatan Teori X juga dapat dipakai dalam situasi di mana penolakan (resistensi) anggota organisasi cukup tinggi. Bila dosen atau staf menunjukkan tanda tanda kurang inisiatif tentang peningkatan standar, maka, perintah (instruksi), arahan langsung dan regulasi yang tegas diharapkan dapat mengatasi hambatan ini. Walau demikian, pendekatan Teori X sebaiknya tidak digunakan secara terus menerus, sesekali saja untuk membangun pondasi yang kuat sebelum beralih ke metode yang lebih fleksibel dan partisipatif. Teori X dapat digunakan sebagai alat kepatuhan awal sebelum membangun “budaya mutu” untuk peningkatan standar yang lebih mandiri dan partisipatif.

Baca juga: SPMI Berbasis Pengetahuan: Aset Utama Perguruan Tinggi

Kombinasi yang Proporsional

Dalam penetapan standar dosen, dalam situasi awal, pendekatan Teori X dapat digunakan, misal ditetapkan standar kualifikasi dosen minimal S2 dan kewajiban memiliki sertifikasi profesional. Kebijakan tegas dan kontrol ketat diperlukan untuk memastikan bahwa semua dosen mematuhi standar yang ditetapkan.

Di sisi lain, untuk membangun budaya mutu yang berkelanjutan, pendekatan Teori Y menjadi sangat relevan. Setelah standar dasar terlaksana, perguruan tinggi dapat memberdayakan tenaga pengajar melalui program pengembangan profesional, misalnya dukungan untuk pelatihan metodologi penelitian dan pelatihan pedagogi inovatif. Dosen yang diberi kepercayaan dan otonomi dalam mengembangkan metode pengajaran, cenderung lebih bersemangat untuk berinovasi. Tenaga kependidikan yang terlibat dalam pengembangan sistem layanan berbasis teknologi informasi cenderung puas dan termotivasi, karena merasa memiliki andil (berkontribusi) terhadap pencapaian mutu.

McGregor menekankan pentingnya memandang pegawai sebagai pribadi yang memiliki kebutuhan psikologis, bukan hanya sebagai “mesin” produksi. Pandangan ini mendorong perubahan paradigma (mindset) dalam ilmu manajemen, yang sebelumnya sering menggunakan pendekatan otoriter, sekarang cenderung pendekatan partisipatif.

Kombinasi (tergantung situasional) elemen teori X dan Y, memungkinkan institusi membangun budaya mutu yang kuat dan mendorong keberlanjutan dalam peningkatan mutu. Elemen Teori X digunakan untuk memastikan kepatuhan dan elemen Teori Y digunakan untuk pemberdayaan potensi dosen dan tenaga kependidikan agar dapat bekerja dengan baik.

Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits

Menuju Sistem yang Lebih Humanis

Teori X berperan penting dalam membangun landasan dan kepatuhan awal, sementara Teori Y menjadi landasan untuk menciptakan inovasi dan kolaborasi yang berkelanjutan. Harmoni diperlukan untuk memastikan bahwa proses SPMI (PPEPP) tidak hanya fokus pada kepatuhan formal-administratif, namun juga pada perbaikan nilai-nilai organisasi (values) yang berdampak pada mutu pendidikan.

Sistem yang humanis dan berorientasi pada pengembangan SDM akan mendorong pegawai untuk berkontribusi lebih optimal dalam pencapaian mutu. Hal ini memungkinkan perguruan tinggi tidak hanya mampu bertahan hidup (survive) namun juga berkembang dan menjadi unggul di tengah dinamika global yang terus berubah.

Peter Drucker pernah mengatakan, “The best way to predict the future is to create it.” Dengan memanfaatkan keunggulan Teori X dan Y, perguruan tinggi dapat membangun harmoni indah yang menjadikan mutu sebagai budaya organisasi. Stay Relevant!

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. McGregor, D. (1960). The human side of enterprise. New York: McGraw-Hill.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Teori Motivasi Maslow

SPMI dan Teori Motivasi Maslow

Pendahuluan

Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi memerlukan keterlibatan aktif dari seluruh anggota organisasi, mulai dari tim dosen, staf karyawan, hingga jajaran manajemen.

Motivasi kerja individu merupakan salah satu faktor kunci sukses yang mempengaruhi efektivitas dan keberhasilan SPMI. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami dan meningkatkan motivasi kerja karyawan adalah Teori Hierarki Kebutuhan Maslow.

Teori ini memberikan kerangka kerja yang sistematis untuk memahami kebutuhan dasar manusia (human needs) dan bagaimana pemenuhan kebutuhan ini dapat mempengaruhi motivasi dan kinerja individu dalam konteks SPMI.

Teori Hierarki Kebutuhan Maslow

Teori Hierarki Kebutuhan Maslow, pertama kali diperkenalkan oleh Abraham Maslow pada tahun 1943. Maslow mengidentifikasi ada lima tingkat kebutuhan manusia (human needs) yang harus dipenuhi agar tercapai motivasi dan kinerja yang optimal.

Kebutuhan ini diurutkan dari yang paling dasar (basic needs) hingga yang paling kompleks: 1. kebutuhan fisiologis, 2. kebutuhan keamanan, 3. kebutuhan sosial, 4. kebutuhan penghargaan, dan 5. kebutuhan aktualisasi diri. Menurut Maslow, kebutuhan yang lebih rendah “harus dipenuhi” sebelum individu dapat mencapai dan memfokuskan diri pada kebutuhan yang lebih tinggi.

Teori Motivasi dari Maslow

Implementasi Teori Maslow dalam SPMI

Kebutuhan Fisiologis: Kebutuhan fisiologis (physiological needs) merupakan kebutuhan dasar manusia, contohnya seperti makanan, air, tempat tinggal, dan kondisi kerja (working life) yang nyaman.

Dalam konteks SPMI, manajemen perguruan tinggi harus memastikan bahwa lingkungan kerja di kampus, harus dipastikan nyaman dan tersedia fasilitas yang memadai bagi dosen dan staf karyawan. Lingkungan kerja mencakup ruang kerja yang cukup, peralatan (tools) yang diperlukan, dan akses ke teknologi yang memadai.

Dengan terpenuhinya kebutuhan dasar ini, individu akan lebih mampu untuk fokus bekerja pada tugas-tugas yang lebih kompleks dalam implementasi SPMI.

Kebutuhan Keamanan: Kebutuhan keamanan (safety needs) mencakup rasa aman dalam pekerjaan dan stabilitas karir. Lembaga perguruan tinggi harus mampu menyediakan jaminan pekerjaan yang memadai, kondisi kerja yang aman, dan kebijakan yang adil dan transparan.

Dengan terpenuhinya rasa aman, dosen dan staf karyawan akan merasa lebih nyaman, enjoy dalam mengambil inisiatif dan berpartisipasi aktif dalam proses penjaminan mutu.

Contoh pemenuhan kebutuhan rasa aman: Kebijakan baru yang mendukung kesejahteraan karyawan dan jaminan keamanan kerja, hal ini tentu dapat meningkatkan motivasi dan produktivitas.

Kebutuhan Sosial: Interaksi sosial dan rasa memiliki adalah bagian penting dari motivasi individu. Perguruan tinggi harus mendorong kolaborasi dan komunikasi yang efektif antara dosen, staf karyawan, dan manajemen.

Membangun budaya kerja yang inklusif dan mendukung akan membantu memenuhi kebutuhan sosial ini, sehingga meningkatkan keterlibatan dan komitmen terhadap SPMI. Misalnya, program mentoring dan kegiatan sosial dapat meningkatkan rasa kebersamaan dan kerja tim.

Dengan terpenuhinya kebutuhan sosial, motivasi untuk menjalankan program SPMI InsyaAllah akan meningkat. Melalui bentuk kolaborasi yang menyenangkan, karyawan akan giat bekerja dalam melaksanakan standar dan target SPMI.

Kebutuhan Penghargaan: Penghargaan (self-esteem) dan pengakuan atas kontribusi individu sangat penting untuk menjaga motivasi yang tinggi. Perguruan tinggi harus mengakui dan menghargai upaya dan pencapaian dosen dan staf dalam implementasi SPMI.

Ini bisa berupa pengakuan formal seperti penghargaan atau promosi, maupun pengakuan informal seperti pujian dan apresiasi langsung dari atasan. Sistem penghargaan yang adil dan transparan akan mendorong individu untuk terus berkontribusi secara positif.

Penghargaan tidak harus bersifat materi, namun seringkali manajemen kurang mampu mengimplementasikan dengan baik. Misal pemberian sertifikat, group terbaik tahun tertentu, pemberian penghargaan karyawan teladan dll.

Kebutuhan Aktualisasi Diri: Pada puncak hierarki Maslow, kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization) mencakup pencapaian potensi penuh individu. Perguruan tinggi harus menyediakan kesempatan bagi dosen dan staf untuk mengembangkan keterampilan dan kemampuan mereka melalui pelatihan dan pengembangan profesional.

Memberikan ruang ide untuk kreativitas dan inovasi dalam pekerjaan mereka juga akan membantu memenuhi kebutuhan ini, sehingga meningkatkan kinerja dalam SPMI. Misalnya, program pelatihan lanjutan dan peluang penelitian dapat membantu individu mencapai aktualisasi diri.

Karyawan didorong untuk menunjukkan kreasi dan inovasi dalam perbaikan sistem SPMI, misalnya digitalisasi dokumen SPMI, perbaikan prosedur menjadi lebih sederhana dan praktis.

Integrasi Teori Maslow dengan SPMI

Untuk mengintegrasikan teori Maslow dengan SPMI, perguruan tinggi perlu melakukan beberapa langkah strategis. Apa saja? berikut langkah-langkahnya:

Pertama, penting untuk melakukan assessment kebutuhan karyawan secara berkala untuk memastikan bahwa kebutuhan dasar mereka terpenuhi. Seiring perjalanan waktu, kebutuhan dasar karyawan dapat berubah,oleh karena itu manajemen perlu menyesuaikan diri. Pembuatan kantin murah yang bersubsidi, koperasi barang sembako, bantuan kredit perumahan dll.

Kedua, perguruan tinggi harus mengembangkan kebijakan dan prosedur yang mendukung pemenuhan kebutuhan keamanan dan stabilitas. Pemberian paket asuransi yang fleksibel, kondisi kantor yang aman dan nyaman dari berbagai resiko kejahatan dll.

Ketiga, perguruan tinggi harus mendorong interaksi sosial dan kolaborasi melalui berbagai inisiatif, seperti kegiatan tim dan proyek kolaboratif. Contoh forum silaturahim, forum sosial, games dan ice breaking, forum gathering dengan keluarga dll.

Keempat, penting untuk mengembangkan sistem penghargaan yang adil dan transparan untuk mengakui kontribusi individu. Perlu dibangun reward system yang adil, layak dan transparan.

Kelima, perguruan tinggi harus menyediakan peluang pengembangan profesional yang berkelanjutan untuk membantu dosen dan staf mencapai potensi penuh mereka (aktualisasi diri). Karyawan perlu diikutkan pelatihan SPMI yang sesuai dengan kebutuhan organisasi.

Melalui pendekatan yang strategik, holistik dan terstruktur, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa setiap anggota memiliki kondisi yang mendukung untuk berkontribusi secara maksimal dalam upaya peningkatan penjaminan mutu.

Penutup

Implementasi teori motivasi Maslow, insyaAllah dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap keberhasilan SPMI di perguruan tinggi.

Dengan memahami dan memenuhi kebutuhan dasar seluruh anggota organisasi, perguruan tinggi dapat meningkatkan kepuasan, motivasi, dan kinerja mereka.

Melalui pendekatan yang holistik dan terstruktur, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa setiap anggota memiliki kondisi yang mendukung untuk berkontribusi secara maksimal dalam upaya penjaminan mutu. Stay Relevant!

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Teori Motivasi Penguatan

SPMI dan Implementasi Teori Penguatan

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan suatu keharusan bagi perguruan tinggi dalam memastikan mutu pendidikan yang diberikan sesuai dengan standar pendidikan nasional dan internasional.

Keberhasilan implementasi SPMI sangat tergantung pada partisipasi dan komitmen dari seluruh elemen institusi, mulai dari pimpinan, dosen, hingga staf karyawan / administrasi.

Salah satu pendekatan alternatif yang dapat mendukung keberhasilan implementasi SPMI adalah penerapan teori penguatan dari B.F. Skinner. Teori penguatan ini menawarkan metode sistematis untuk memotivasi perilaku yang diinginkan melalui penguatan positif, penguatan negatif, hukuman, dan penghilangan (extinction).

Artikel singkat ini dibuat sebagai metode alternatif yang dapat digunakan untuk pengembangan kinerja SDM. Semoga bemanfaat!

Prinsip-Prinsip Teori Penguatan

Teori penguatan dari B.F. Skinner didasarkan pada konsep bahwa perilaku dapat dimodifikasi melalui “konsekuensi” yang mengikuti perilaku tersebut. Ada 4 (empat) komponen utama dalam teori ini:

  1. Positive Reinforcement (Penguatan Positif): Memberikan penghargaan atau insentif setelah muncul perilaku yang diinginkan, tujuannya untuk meningkatkan frekuensi perilaku tersebut.
  2. Negative Reinforcement (Penguatan Negatif): Menghilangkan stimulus yang tidak menyenangkan setelah perilaku yang diinginkan muncul, tujuannya untuk meningkatkan frekuensi perilaku tersebut.
  3. Punishment (Hukuman): Memberikan konsekuensi yang tidak menyenangkan setelah perilaku yang tidak diinginkan muncul, tujuannya untuk mengurangi frekuensi perilaku tersebut.
  4. Extinction (Penghilangan): Menghilangkan penguatan positif yang biasanya mengikuti perilaku yang tidak diinginkan, tujuannya untuk mengurangi frekuensi perilaku tersebut.
Teori Penguatan dari B.F. Skinner

Penerapan Teori Penguatan dalam Implementasi SPMI

  1. Positive Reinforcement dalam SPMI. Penguatan positif dapat digunakan untuk mendorong staf karyawan dan dosen dalam melaksanakan standar SPMI dengan lebih baik. Misalnya, perguruan tinggi dapat memberikan penghargaan kepada program studi yang berhasil mencapai/ melampaui standar mutu yang ditetapkan. Penghargaan ini bisa berupa hadiah, pengakuan formal, bonus kinerja, atau kesempatan untuk mengikuti pelatihan dan pengembangan profesional. Contohnya, Prodi (program studi) yang berhasil meningkatkan mutu layanan akademiknya, menerima tambahan dana untuk kegiatan penelitian atau penghargaan berupa sertifikat prestasi. Contoh lain, memberi insentif kepada dosen yang menghasilkan publikasi ilmiah bereputasi atau yang berhasil mendapatkan hibah penelitian. Bentuk penghargaan seperti ini tidak hanya meningkatkan motivasi dan semangat dosen tetapi juga meningkatkan reputasi perguruan tinggi.
  2. Negative Reinforcement dalam SPMI. Penguatan negatif dapat diterapkan dapat diterapkan di lembaga dengan mengurangi beban administrasi atau memberikan dukungan tambahan kepada departemen yang berupaya memenuhi standar SPMI. Misalnya, Bila unit kerja berhasil meningkatkan kinerja mereka dalam tindak lanjut temuan audit mutu internal, mereka dapat diberi kemudahan dalam proses akreditasi berikutnya. Hal ini dapat mendorong unit kerja lain untuk bekerja lebih keras dalam meningkatkan kualitas mereka. Contoh lain, pengurangan tugas administratif bagi dosen yang terlibat aktif dalam kegiatan penjaminan mutu. Dosen yang berpartisipasi aktif dalam pengembangan kurikulum atau evaluasi program studi mungkin mendapatkan pengurangan beban kerja administratif atau tambahan waktu untuk tugas penyelesaian penelitian.
  3. Punishment dalam SPMI. Hukuman bisa diterapkan untuk mengurangi perilaku yang tidak sesuai dengan standar SPMI. Contohnya, bila ditemukan bahwa suatu program studi secara konsisten tidak berhasil memenuhi standar mutu, sanksi seperti pengurangan anggaran atau pengawasan tambahan dapat diterapkan. Pendekatan ini bertujuan untuk mendorong program studi untuk segera melakukan perbaikan. Contoh lain, penundaan kenaikan jabatan atau pemotongan insentif bagi dosen atau staf karyawan yang tidak berkontribusi dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Sanksi ini harus diterapkan secara adil, tegas dan konsisten untuk memastikan bahwa seluruh elemen institusi memahami pentingnya kepatuhan terhadap standar mutu SPMI.
  4. Extinction dalam SPMI. Extinction dapat diterapkan dengan menghilangkan penguatan positif yang biasanya mengikuti perilaku yang tidak diinginkan. Misalnya, jika ada kebiasaan buruk dalam pengumpulan laporan kegiatan yang tidak tepat waktu, maka penghargaan atau insentif yang biasa diterima oleh program studi tersebut dapat dihentikan. Dengan cara ini, perilaku yang tidak diinginkan diharapkan akan berkurang dan akhirnya hilang. Contoh lain, menghapuskan bonus atau insentif bagi staf administrasi yang tidak tepat waktu dalam menyelesaikan tugas-tugas SPMI. Dengan tidak memberikan penghargaan atas kinerja yang buruk, perguruan tinggi dapat mengarahkan (memodifikasi) perilaku staf menuju pencapaian standar yang lebih baik.

Manfaat Teori Penguatan

Dengan mengimplementasikan teori penguatan dengan baik, perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan yang kondusif untuk peningkatan mutu berkelanjutan.

Penguatan positif dan penguatan negatif membantu membangun budaya mutu melalui penghargaan dan dukungan, sementara hukuman dan extinction (penghapusan) memastikan bahwa pelanggaran terhadap standar mutu tidak diabaikan.

Pendekatan melalui teori penguatan memungkinkan perguruan tinggi untuk secara aktif mengelola dan memotivasi seluruh elemen institusi untuk bersemangat dan berpartisipasi dalam pencapaian tujuan dan target SPMI.

Tantangan dalam Implementasi

Namun perlu juga disadari, penerapan teori penguatan tidak tanpa tantangan. Salah satu tantangan utama adalah memastikan bahwa penghargaan dan hukuman yang diberikan “adil dan konsisten”. Apakah manajemen mampu menjaga dua hal ini?

Tantangan lain, penguatan harus disesuaikan dengan kebutuhan (need) dan karakteristik individu atau departemen yang bersangkutan. Perguruan tinggi juga perlu memastikan bahwa seluruh staf karyawan dan dosen memahami tujuan dan manfaat dari sistem penguatan yang diterapkan.

Penutup

Implementasi teori penguatan (reinforcement theory) dari B.F. Skinner dapat menjadi strategi yang efektif dalam meningkatkan keberhasilan SPMI di perguruan tinggi. Dengan menggunakan 4 (empat) kombinasi, yakni penguatan positif dan negatif, hukuman, serta extinction, perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan yang mendukung peningkatan mutu secara berkelanjutan (kaizen).

Meskipun ada tantangan dalam penerapannya, benefit yang diperoleh dari peningkatan kinerja dan kepatuhan terhadap standar mutu SPMI, membuat teori penguatan layak untuk dipertimbangkan dalam praktik manajemen mutu pendidikan tinggi.

Integrasi teori penguatan dalam SPMI dapat menjadi langkah strategis untuk mencapai tujuan institusional yang lebih tinggi (Renstra) dan memastikan mutu pendidikan yang terus meningkat. Stay Relevant!

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Pentingnya Motivasi Intrinsik bagi Keberhasilan SPMI

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) bertujuan untuk memastikan bahwa perguruan tinggi menjalankan peran dan fungsinya dengan standar mutu “yang tinggi” dan berkelanjutan.

Namun, keberhasilan implementasi SPMI tidak hanya ditentukan oleh kebijakan, standar dan prosedur yang ada, tetapi juga oleh motivasi individu (pimpinan, dosen dan staf) yang terlibat dalam proses tersebut.

Motivasi intrinsik, yang berasal dari dalam diri sendiri, memainkan peran penting dalam mencapai hasil yang diinginkan, khususnya pencapaian target-target standar SPMI.

Definisi Motivasi Intrinsik

Motivasi intrinsik merupakan motivasi yang muncul dari dalam diri untuk mencapai sesuatu demi memuaskan diri sendiri dan tanpa dipengaruhi oleh imbalan dari eksternal.

Motivasi intrinsik merujuk pada dorongan (drive) yang berasal dari dalam diri individu, seperti rasa pencapaian, kepuasan pribadi, dan minat terhadap tugas yang dilakukan.

Berbeda dengan motivasi ekstrinsik yang dipicu oleh faktor eksternal seperti hadiah, penghargaan atau ancaman hukuman. Motivasi intrinsik lebih bersifat personal dan berkelanjutan.

Pentingnya Motivasi Intrinsik

Motivasi intrinsik memainkan peran sangat penting bagi keberhasilan organisasi karena:

  • Mampu memperkuat Komitmen: Motivasi intrinsik dapat mendorong komitmen jangka panjang terhadap peningkatan mutu. Dengan motivasi intrinsik individu merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap hasilnya.
  • Mampu meningkatkan Keterlibatan: Individu-individu yang termotivasi secara intrinsik cenderung lebih terlibat, lebih senang dalam proses penjaminan mutu karena mereka merasa puas dan tertantang dengan tugas-tugas tersebut.
  • Mampu mendorong Inovasi: Individu-individu yang termotivasi secara intrinsik, cenderung lebih kreatif dan inovatif untuk mencari solusi terhadap berbagai masalah mutu.

Baca juga: SPMI dan Teori Motivasi Maslow

Implikasi Penguatan SPMI

Guna penguatan capaian standar SPMI, penting sekali menumbuhkan motivasi intrinsik bagi segenap anggota organisasi.

Berikut beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan oleh perguruan tinggi:

Pertama, menetapkan Standar SPMI (target) yang menantang (attainable) namun dapat dicapai. Hal ini dapat memotivasi individu untuk berkomitmen dan berusaha lebih keras. Standar SPMI yang jelas (spesific) dan menantang memberikan rasa pencapaian dan kepuasan ketika berhasil dicapai.

Kedua, memberikan otonomi (desentralisasi pengambilan keputusan) kepada unit kerja, dosen, staf, dan mahasiswa dalam proses penjaminan mutu. Hal ini dapat meningkatkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab anggota tim. Otonomi memungkinkan anggota tim untuk mengambil keputusan yang relevan dengan tugas mereka, yang pada akhirnya dapat meningkatkan motivasi intrinsik.

Ketiga, mengakui dan menghargai upaya-upaya yang dilakukan oleh anggota tim (unit kerja). Pemberian penghargaan dalam proses penjaminan mutu akan dapat meningkatkan motivasi intrinsik anggota tim. Pengakuan ini bisa dalam bentuk ucapan selamat, pemberian sertifikat, pujian, penghargaan, atau kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.

Keempat, memberi kesempatan/peluang bagi dosen, staf, dan mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan mereka melalui berbagai kegiatan, seperti workshop, pelatihan dan pengembangan profesional. Individu yang merasa berkembang dan belajar hal-hal baru cenderung lebih bersemangat dan termotivasi.

Kelima, menciptakan lingkungan kerja yang positif dan mendukung dapat meningkatkan motivasi intrinsik anggota tim. Ini mencakup hubungan yang baik antar anggota tim, saling sapa, komunikasi yang efektif, dan suasana kerja yang menyenangkan.

Baca juga: SPMI dan Peran Motivasi

Penutup

Menumbuhkan motivasi intrinsik di kalangan dosen, staf, dan mahasiswa merupakan hal penting bagi keberhasilan implementasi SPMI di perguruan tinggi.

Dengan memberikan otonomi, menetapkan standar SPMI yang menantang, mengakui semanat dan usaha tim, menyediakan kesempatan pengembangan diri, dan menciptakan lingkungan kerja yang positif, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa individu yang terlibat dalam proses penjaminan mutu merasa termotivasi dan berkomitmen terhadap peningkatan mutu pendidikan.

Strategi-strategi yang dijabarkan diatas, tidak hanya meningkatkan kinerja (performance) individu namun juga memperkuat sistem penjaminan mutu SPMI secara keseluruhan. Stay Relevant!

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Implikasi Teori Dua Faktor Herzberg bagi Keberhasilan SPMI

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi adalah mekanisme yang disusun oleh Kementerian Pendidikan untuk memastikan bahwa institusi pendidikan tinggi mencapai dan mempertahankan standar mutu yang diinginkan.

Implementasi SPMI yang efektif tentu bukan suatu pekerjaan yang mudah, memerlukan motivasi tinggi dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholder), terutama tenaga struktural, pimpinan, dosen dan karyawan.

Tenaga strutural perguruan tinggi, dengan “dikomandani” oleh pimpinan (Rektor, Direktur, Ketua), wajib menjalankan siklus PPEPP agar implementasi SPMI dapat berjalan efektif.

Permasalahannya adalah sejauh mana tenaga struktural perguruan tinggi (khususnya pimpinan) berhasil “memotivasi” para staf (dosen dan karyawan) agar mampu memberikan karya terbaik untuk peningkatan standar mutu pendidikan?

Teori Motivasi 2 Faktor

Teori Dua Faktor (2 factors theory) atau sering disebut Teori “Motivasi-Higiene” dikembangkan oleh Frederick Herzberg, seorang psikolog yang memfokuskan penelitiannya pada motivasi kerja karyawan. Teori 2 Faktor ini, pertama kali diperkenalkan melalui bukunya “The Motivation to Work” yang diterbitkan pada tahun 1959.

Herzberg melakukan penelitian dengan mewawancarai lebih dari 200 insinyur dan akuntan untuk memahami faktor-faktor apa saja yang menyebabkan mereka puas atau tidakpuas di dunia kerja.

Dalam konteks tersebut, Teori Dua Faktor yang dikembangkan oleh Herzberg dapat memberikan “wawasan berharga” tentang bagaimana memotivasi tenaga struktural perguruan tinggi untuk mendukung dan berkontribusi secara efektif terhadap keberhasilan SPMI.

Implikasi Faktor “Motivator”

Faktor Motivator (intrinsic Factors) berkaitan dengan “isi” pekerjaan itu sendiri dan dapat meningkatkan motivasi dan kepuasan kerja. Faktor ini terdiri dari:

  1. Prestasi (Achievement):
    • Penerapan dalam SPMI: Mengakui dan merayakan prestasi karyawan dalam implementasi SPMI, seperti pencapaian (melampaui) standar mutu tertentu atau keberhasilan dalam audit internal, dapat meningkatkan motivasi.
    • Contoh: Memberikan penghargaan atau sertifikat penghargaan kepada unit kerja atau individu yang berhasil meningkatkan proses atau hasil akademik sesuai dengan standar SPMI.
  2. Pengakuan (Recognition):
    • Penerapan dalam SPMI: Memberikan pengakuan secara terbuka terhadap kontribusi karyawan (pencapaian standar SPMI) dalam rapat atau publikasi internal (buletin kampus).
    • Contoh: Menyebutkan nama karyawan atau unit kerja yang berperan penting dalam laporan kemajuan SPMI atau dalam buletin kampus.
  3. Pekerjaan itu sendiri (The Work Itself):
    • Penerapan dalam SPMI: Menyusun pekerjaan yang menarik, menantang dan memberikan kesempatan bagi karyawan untuk terlibat dalam proyek peningkatan mutu.
    • Contoh: Melibatkan karyawan dalam tim pengembangan kurikulum atau proyek penelitian yang berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan.
  4. Tanggung Jawab (Responsibility):
    • Penerapan dalam SPMI: Memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada dosen dan karyawan dalam proses pengambilan keputusan (decision making) terkait SPMI.
    • Contoh: Program desentralisasi terkait wewenang pengambilan keputusan. Unit kerja diberi tanggung jawab dan wewenang untuk mengambil keputusan tanpa harus berkonsultasi dengan atasan.
  5. Kemajuan (Advancement) dan Pertumbuhan (Growth):
    • Penerapan dalam SPMI: Memberikan peluang pengembangan karir dan pelatihan terkait SPMI.
    • Contoh: Menyediakan program pelatihan berkelanjutan tentang manajemen mutu dan kesempatan untuk menghadiri konferensi atau seminar terkait. Misalnya mengikuti pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh mutupendidikan.com
Implikasi Faktor “Higiene” (Pemelihara)

Faktor Higiene (extrinsic factors) berkaitan dengan konteks pekerjaan dan tidak secara langsung meningkatkan kepuasan kerja, tetapi “ketidakhadiran” faktor-faktor ini dapat menyebabkan ketidakpuasan kerja.

  1. Kebijakan Perusahaan dan Administrasi (Company Policies and Administration):
    • Penerapan dalam SPMI: Mengembangkan kebijakan MSDM yang “adil dan transparan” terkait implementasi SPMI.
    • Contoh: Menyusun panduan dan prosedur operasional standar (SOP) yang jelas dan mudah diakses oleh semua karyawan. Karyawan merasa nyaman dengan kebijakan dan sistim administrasi yang mudah, adil dan transparan.
  2. Supervisi (Supervision):
    • Penerapan dalam SPMI: Menyediakan supervisi yang bersahabat, mendukung dan konstruktif.
    • Contoh: Para penyelia (supervision) atau masing-masing kepala unit kerja mengadakan sesi bimbingan dan mentoring secara rutin untuk membantu karyawan memahami, menguasai dan melaksanakan tugas terkait SPMI.
  3. Hubungan Interpersonal (Interpersonal Relationships):
    • Penerapan dalam SPMI: Mendorong atmosfir hubungan kerja yang harmonis dan kolaboratif.
    • Contoh: Mengadakan kegiatan team-building, gathering dan diskusi kelompok untuk memperkuat hubungan antar dosen dan karyawan.
  4. Kondisi Kerja (Working Conditions):
    • Penerapan dalam SPMI: Memastikan lingkungan kerja yang nyaman dan kondusif.
    • Contoh: Meningkatkan fasilitas kerja seperti ruang kerja yang ergonomis dan akses ke sumber daya teknologi yang memadai. Ruang kerja dicat bersih, desain interior tertata rapi (estetika), ruang bersih dan nyaman. Tersedia kantin, sarana olah raga dan pengembangan minat bakat.
  5. Gaji (Salary) dan Keamanan Kerja (Job Security):
    • Penerapan dalam SPMI: Memberikan kompensasi yang adil dan memastikan keamanan kerja.
    • Contoh: Menyediakan insentif finansial (gaji) bagi dosen / karyawan yang berkontribusi signifikan terhadap pencapaian standar mutu dan memastikan adanya kontrak kerja yang stabil.
Kesimpulan

Penerapan teori 2 (dua) Faktor Herzberg dalam implementasi SPMI dapat membantu perguruan tinggi meningkatkan motivasi dan kepuasan dosen dan karyawan.

Dengan memenuhi “faktor motivator” (untuk meningkatkan kepuasan kerja) dan memenuhi “faktor higiene” (untuk mengurangi ketidakpuasan), InsyaAllah institusi pendidikan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih produktif dan mendukung keberhasilan SPMI. Stay Relevant!

1