
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Indonesia tengah menapaki jalan panjang menuju visi Indonesia Emas 2045—sebuah cita-cita besar menjadi bangsa maju, inklusif, dan berdaya saing global. Pendidikan tinggi, sebagai pusat produksi pengetahuan dan agen perubahan sosial, kini dihadapkan pada tantangan baru dengan hadirnya kebijakan Diktisaintek Berdampak dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.
Berbeda dari “Kampus Merdeka” yang lebih menekankan kebebasan belajar dan mobilitas mahasiswa, “Diktisaintek Berdampak” mengedepankan dampak nyata tridharma bagi masyarakat.
Namun mimpi besar ini memunculkan pertanyaan mendasar: siapkah perguruan tinggi Indonesia menjalani transformasi sejauh ini? Tidak sekadar administratif, perubahan ini menyentuh jantung kebudayaan akademik, sistem mutu internal, dan bahkan paradigma berpikir insan kampus.
Baca juga: Mutu yang Tumbuh dari Dalam: Pelajaran Global dan Refleksi atas Permendikbudristek 53/2023
Perguruan tinggi tidaklah monolitik. Mereka terdiri dari spektrum yang luas—dari kampus-kampus metropolitan dengan sumber daya unggul hingga kampus-kampus kecil di daerah 3T yang berjuang sekadar mempertahankan eksistensi. Ketimpangan ini menjadi tantangan besar saat semua institusi dituntut “berdampak”.
Dari perspektif teori administrasi publik, khususnya model New Public Governance, kita melihat bahwa keberhasilan kebijakan publik sangat tergantung pada kapasitas kelembagaan dan kolaborasi antarpemangku kepentingan.
“Diktisaintek Berdampak” menuntut kolaborasi lintas sektor: akademisi, industri, masyarakat, dan pemerintah daerah. Tanpa koordinasi dan manajemen lintas batas yang handal dan matang, pelaksanaannya berpotensi fragmentaris atau seremonial belaka.
Baca juga: Knowledge Management: Rekomendasi untuk Revisi Permendikbudristek 53 Tahun 2023
Secara psikologis, teori self-determination dari Deci dan Ryan menjelaskan bahwa motivasi yang lahir dari nilai dan makna memiliki kekuatan jauh lebih besar ketimbang sekadar insentif administratif. Diktisaintek akan berhasil bila para dosen dan mahasiswa memandang aktivitas riset dan pengabdian sebagai wujud kontribusi nyata, bukan beban tambahan.
Namun, realitasnya, sebagian besar dosen masih terjebak pada penilaian berbasis angka kredit, dan mahasiswa pada kejar IPK.
Tanpa perubahan sistem evaluasi yang menekankan outcome, bukan hanya output, maka semangat “Diktisaintek Berdampak” akan tenggelam dalam tumpukan slogan dan laporan administratif semata.
Baca juga: Permendikbudristek 53/2023: Mengapa ‘Budaya Mutu’ Harus Jadi Fokus Utama?
Di tengah transformasi ini, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) memegang peran krusial. Berdasarkan Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, setiap perguruan tinggi wajib memiliki sistem mutu yang otonom, kontekstual, dan adaptif terhadap misinya.
SPMI bukan sekadar formalitas pelaporan; ia adalah cermin dari manajemen mutu yang hidup. SPMI yang baik tidak sekadar mengikuti standar, tapi mampu mengintegrasikan PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) sebagai alat kaizen—yakni filosofi perbaikan terus-menerus.
Dalam konteks ini, “Diktisaintek Berdampak” harus mampu menjadi bahan bakar baru bagi siklus PPEPP untuk memperkuat budaya mutu berbasis dampak.
Baca juga: Evaluasi Permendikbudristek 53/2023: Kecepatan versus Akuntabilitas
Perubahan bukan hanya soal struktur, tapi budaya. Pendidikan tinggi kita selama ini banyak berakar pada model “chalk and talk”—transfer pengetahuan satu arah dari dosen ke mahasiswa. “Diktisaintek Berdampak” menuntut pembelajaran yang berbasis proyek nyata, kolaboratif, dan transformatif.
Dalam psikologi pendidikan, pendekatan experiential learning (Kolb) menekankan pentingnya belajar melalui pengalaman langsung.
Ini menjadi dasar filosofi “Diktisaintek Bedampak”: mahasiswa harus “belajar dengan berbuat”, bukan sekadar “belajar untuk ujian”. Tantangan terbesar bukan pada teori, tetapi dalam menggeser kebiasaan yang telah mengakar selama puluhan tahun.
Baca juga: Inovasi Penjaminan Mutu: Masukan Untuk Evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023
Transformasi berdampak tidak akan berjalan tanpa dukungan teknologi dan data. Sayangnya, tidak semua perguruan tinggi memiliki sistem informasi manajemen akademik dan mutu yang memadai. Padahal, menurut Permendikbudristek 53 Tahun 2023, pelaporan SPMI ke Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD-Dikti) adalah kewajiban legal.
Tanpa data yang akurat, semua kebijakan—termasuk akreditasi dan pendanaan—akan meleset dari sasaran. Ini menuntut investasi negara pada digitalisasi sistem mutu, bukan sekadar insentif program.
Baca juga: Lifelong Learning: Soft Skill Penting di Tengah Dinamika Zaman
“Diktisaintek Berdampak” adalah jembatan menuju Visi Indonesia Emas 2045, sebuah ambisi besar untuk menjadikan Indonesia negara maju dan adil. Namun jembatan ini tidak bisa dilalui tanpa kesiapan seluruh aktor pendidikan tinggi.
Kampus harus mereformasi bukan hanya kurikulumnya, tetapi jiwanya. SPMI dan PPEPP bukanlah birokrasi, melainkan filosofi untuk terus belajar, berbenah, dan berdampak. Jika perguruan tinggi mampu menghidupi semangat ini—menjadikan mutu sebagai napas, bukan beban administratif—maka mimpi baru Diktisaintek akan menjadi kenyataan, bukan sekadar wacana. Stay Relevant!
Baca juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan