
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Perubahan besar dalam lanskap pendidikan tinggi tidak lagi bersifat prediktif, melainkan disruptif.
Mahasiswa kini hadir dengan karakteristik yang jauh berbeda dibandingkan satu dekade lalu—mereka tumbuh dalam era digital, memiliki akses informasi yang luas, dan menuntut pendekatan pembelajaran yang personal, fleksibel, serta bermakna.
Dalam kondisi ini, peran dosen tak bisa lagi diposisikan sekadar sebagai pusat penyampai pengetahuan. Dosen dituntut untuk menjadi mitra belajar yang membimbing, mendampingi, sekaligus tumbuh bersama mahasiswa dalam dinamika perubahan zaman.
Di abad 21, kualitas pengajaran tidak hanya ditentukan oleh seberapa banyak dosen tahu, tetapi seberapa efektif mereka dapat membangun hubungan, menciptakan ruang dialog, dan merancang pembelajaran yang kontekstual. Pendidikan tinggi tidak lagi soal transfer pengetahuan semata, tetapi juga soal membentuk karakter, menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, dan mengembangkan literasi kehidupan. Dalam konteks inilah, dosen bukan hanya pengajar, tetapi pendidik sejati yang hadir sebagai teman tumbuh mahasiswa.
Baca juga: Peran Dosen yang Berkembang: Mengajar, Membimbing, dan Menginspirasi
Tradisi pendidikan tinggi selama bertahun-tahun berjalan dengan pola satu arah: dosen berbicara, mahasiswa mendengarkan. Namun, pendekatan semacam itu kini menghadapi tantangan serius.
Teori pembelajaran konstruktivis, sebagaimana dikembangkan oleh Lev Vygotsky, menekankan bahwa belajar adalah proses sosial yang aktif. Pengetahuan dibentuk melalui interaksi, dan pembelajaran paling efektif terjadi dalam Zona Perkembangan Proksimal (ZPD)—yaitu ketika mahasiswa dibimbing untuk menyelesaikan tugas yang belum dapat mereka lakukan secara mandiri, tetapi bisa dicapai dengan bantuan pihak lain yang lebih kompeten (Vygotsky, 1978).
Menjadi mitra belajar berarti dosen harus lebih mendengarkan, memberi ruang bagi pertanyaan mahasiswa, dan membuka kemungkinan diskusi yang tak selalu linear. Ketika mahasiswa merasa dilibatkan dan dihargai, mereka tidak hanya menjadi lebih termotivasi, tetapi juga berkembang menjadi pembelajar mandiri yang siap menghadapi kompleksitas dunia nyata. Transformasi ini hanya bisa terjadi jika dosen bersedia “memposisikan dirinya setara” dalam proses belajar.
Dosen abad 21 bukan hanya ditantang untuk menguasai bidang keilmuannya, tetapi juga untuk memiliki kecakapan emosional dan sosial.
Dalam Self-Determination Theory (SDT), Deci dan Ryan (2000) menjelaskan bahwa motivasi intrinsik mahasiswa dapat berkembang optimal ketika tiga kebutuhan psikologis dasar terpenuhi: otonomi, kompetensi, dan keterhubungan. Ketika dosen menciptakan ruang kelas yang memberikan kebebasan berpikir, memperkuat rasa percaya diri mahasiswa, serta menghadirkan hubungan yang saling menghargai, maka pembelajaran tidak hanya efektif secara akademik, tetapi juga “berdampak” secara personal.
Peran dosen sebagai mitra belajar juga mencakup kepekaan terhadap keragaman mahasiswa: latar belakang sosial, kemampuan belajar, hingga kondisi psikologis mereka. Ini menuntut dosen untuk mengembangkan empati dan keterampilan interpersonal yang kuat. Dengan demikian, kelas menjadi tempat tumbuh bersama, bukan hanya tempat menguji kognisi. Dosen yang mampu membangun koneksi personal sekaligus akademik akan lebih berhasil menciptakan pengalaman belajar yang berkesan dan transformatif.
Baca juga: Evaluasi Dosen: Membangun Budaya Reflektif dalam Pendidikan dan Pengajaran
Dalam dunia pendidikan tinggi Indonesia, sistem penjaminan mutu bukan lagi sekadar tuntutan administratif, tetapi bagian dari strategi pengembangan institusi yang berkelanjutan. Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) memberikan kerangka untuk menilai dan meningkatkan kualitas pembelajaran, termasuk bagaimana dosen menjalankan perannya. Dalam konteks SPMI, relasi antara dosen dan mahasiswa bukan hanya soal interaksi pedagogis, tetapi juga indikator penting dalam menciptakan pengalaman belajar yang bermutu.
Melalui pelaksanaan SPMI yang baik, institusi dapat mendorong pengembangan profesional dosen secara terus-menerus, termasuk dalam hal metodologi pengajaran, asesmen berbasis capaian pembelajaran, hingga kemampuan membangun hubungan antarpersonal yang sehat.
Evaluasi terhadap peran dosen tidak hanya fokus pada penguasaan materi, tetapi juga pada bagaimana mereka menciptakan lingkungan belajar yang mendukung keterlibatan dan pertumbuhan mahasiswa secara holistik.
Penerapan siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan—dalam SPMI dapat menjadi alat yang efektif untuk membangun budaya reflektif di kalangan dosen.
Penetapan peran dosen sebagai mitra belajar bisa dituangkan dalam standar pembelajaran dan etika pengajaran.
Pelaksanaannya bisa dievaluasi secara berkala melalui observasi kelas, survei mahasiswa, atau forum diskusi akademik. Dari hasil tersebut, institusi dapat melakukan pengendalian mutu dan menyusun strategi peningkatan yang konkret dan berkelanjutan.
Semangat PPEPP sejalan dengan filosofi kaizen, yakni perbaikan terus-menerus melalui langkah-langkah kecil namun konsisten. Dosen tidak harus menjadi sempurna dalam satu semester, tetapi harus bersedia terus belajar dari pengalaman, dari mahasiswa, dan dari refleksi terhadap praktik mengajar mereka sendiri. Inilah proses yang menghidupkan budaya akademik yang adaptif, kritis, dan berorientasi mutu—di mana dosen dan mahasiswa menjadi mitra yang setara dalam perjalanan belajar.
Baca juga: Ketika Dosen dan Staf Gagal Paham SPMI, Siapa yang Bertanggung Jawab?
Perubahan dalam pendidikan tinggi menuntut “reposisi peran dosen”, bukan sebagai otoritas tunggal, tetapi sebagai mitra yang tumbuh bersama mahasiswa. Dalam posisi ini, dosen membimbing bukan hanya dengan ilmu, tetapi dengan keteladanan, empati, dan keterbukaan terhadap perubahan. Budaya belajar yang bermakna hanya bisa terbangun jika ruang kelas diisi oleh interaksi yang setara, diskusi yang jujur, dan refleksi yang mendalam.
Melalui dukungan sistem mutu seperti SPMI dan siklus PPEPP, perguruan tinggi dapat memperkuat peran dosen sebagai motor pembelajaran yang adaptif.
Di tengah perubahan yang cepat dan tak selalu pasti, yang paling dibutuhkan adalah dosen yang tak hanya mengajar, tetapi juga gemar belajar—dosen yang hadir bukan hanya untuk mentransfer ilmu, tetapi menemani mahasiswa agar menjadi pribadi utuh yang siap menghadapi disrupsi dunia. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan