• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Dosen Abad 21: Mitra Belajar di Tengah Perubahan

SPMI dan Standar Proses Pembelajaran

Dosen Abad 21: Mitra Belajar di Tengah Perubahan

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Perubahan besar dalam lanskap pendidikan tinggi tidak lagi bersifat prediktif, melainkan disruptif.

Dalam kondisi ini, peran dosen tak bisa lagi diposisikan sekadar sebagai pusat penyampai pengetahuan. Dosen dituntut untuk menjadi mitra belajar yang membimbing, mendampingi, sekaligus tumbuh bersama mahasiswa dalam dinamika perubahan zaman.

Di abad 21, kualitas pengajaran tidak hanya ditentukan oleh seberapa banyak dosen tahu, tetapi seberapa efektif mereka dapat membangun hubungan, menciptakan ruang dialog, dan merancang pembelajaran yang kontekstual. Pendidikan tinggi tidak lagi soal transfer pengetahuan semata, tetapi juga soal membentuk karakter, menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, dan mengembangkan literasi kehidupan. Dalam konteks inilah, dosen bukan hanya pengajar, tetapi pendidik sejati yang hadir sebagai teman tumbuh mahasiswa.

Baca juga: Peran Dosen yang Berkembang: Mengajar, Membimbing, dan Menginspirasi

Tidak Lagi Satu Arah

Teori pembelajaran konstruktivis, sebagaimana dikembangkan oleh Lev Vygotsky, menekankan bahwa belajar adalah proses sosial yang aktif. Pengetahuan dibentuk melalui interaksi, dan pembelajaran paling efektif terjadi dalam Zona Perkembangan Proksimal (ZPD)—yaitu ketika mahasiswa dibimbing untuk menyelesaikan tugas yang belum dapat mereka lakukan secara mandiri, tetapi bisa dicapai dengan bantuan pihak lain yang lebih kompeten (Vygotsky, 1978).

Menjadi mitra belajar berarti dosen harus lebih mendengarkan, memberi ruang bagi pertanyaan mahasiswa, dan membuka kemungkinan diskusi yang tak selalu linear. Ketika mahasiswa merasa dilibatkan dan dihargai, mereka tidak hanya menjadi lebih termotivasi, tetapi juga berkembang menjadi pembelajar mandiri yang siap menghadapi kompleksitas dunia nyata. Transformasi ini hanya bisa terjadi jika dosen bersedia “memposisikan dirinya setara” dalam proses belajar.

Motivasi intrinsik mahasiswa dapat berkembang optimal ketika tiga kebutuhan psikologis dasar terpenuhi: otonomi, kompetensi, dan keterhubungan

Kompetensi Emosional dan Sosial Dosen

Dalam Self-Determination Theory (SDT), Deci dan Ryan (2000) menjelaskan bahwa motivasi intrinsik mahasiswa dapat berkembang optimal ketika tiga kebutuhan psikologis dasar terpenuhi: otonomi, kompetensi, dan keterhubungan. Ketika dosen menciptakan ruang kelas yang memberikan kebebasan berpikir, memperkuat rasa percaya diri mahasiswa, serta menghadirkan hubungan yang saling menghargai, maka pembelajaran tidak hanya efektif secara akademik, tetapi juga “berdampak” secara personal.

Peran dosen sebagai mitra belajar juga mencakup kepekaan terhadap keragaman mahasiswa: latar belakang sosial, kemampuan belajar, hingga kondisi psikologis mereka. Ini menuntut dosen untuk mengembangkan empati dan keterampilan interpersonal yang kuat. Dengan demikian, kelas menjadi tempat tumbuh bersama, bukan hanya tempat menguji kognisi. Dosen yang mampu membangun koneksi personal sekaligus akademik akan lebih berhasil menciptakan pengalaman belajar yang berkesan dan transformatif.

Baca juga: Evaluasi Dosen: Membangun Budaya Reflektif dalam Pendidikan dan Pengajaran

SPMI: Menyemai Budaya Mutu

Dalam dunia pendidikan tinggi Indonesia, sistem penjaminan mutu bukan lagi sekadar tuntutan administratif, tetapi bagian dari strategi pengembangan institusi yang berkelanjutan. Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) memberikan kerangka untuk menilai dan meningkatkan kualitas pembelajaran, termasuk bagaimana dosen menjalankan perannya. Dalam konteks SPMI, relasi antara dosen dan mahasiswa bukan hanya soal interaksi pedagogis, tetapi juga indikator penting dalam menciptakan pengalaman belajar yang bermutu.

Evaluasi terhadap peran dosen tidak hanya fokus pada penguasaan materi, tetapi juga pada bagaimana mereka menciptakan lingkungan belajar yang mendukung keterlibatan dan pertumbuhan mahasiswa secara holistik.

Semangat PPEPP sejalan dengan filosofi kaizen, yakni perbaikan terus-menerus melalui langkah-langkah kecil namun konsisten.

PPEPP dan Budaya Reflektif

Penerapan siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan—dalam SPMI dapat menjadi alat yang efektif untuk membangun budaya reflektif di kalangan dosen.

Pelaksanaannya bisa dievaluasi secara berkala melalui observasi kelas, survei mahasiswa, atau forum diskusi akademik. Dari hasil tersebut, institusi dapat melakukan pengendalian mutu dan menyusun strategi peningkatan yang konkret dan berkelanjutan.

Semangat PPEPP sejalan dengan filosofi kaizen, yakni perbaikan terus-menerus melalui langkah-langkah kecil namun konsisten. Dosen tidak harus menjadi sempurna dalam satu semester, tetapi harus bersedia terus belajar dari pengalaman, dari mahasiswa, dan dari refleksi terhadap praktik mengajar mereka sendiri. Inilah proses yang menghidupkan budaya akademik yang adaptif, kritis, dan berorientasi mutu—di mana dosen dan mahasiswa menjadi mitra yang setara dalam perjalanan belajar.

Baca juga: Ketika Dosen dan Staf Gagal Paham SPMI, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Penutup

Perubahan dalam pendidikan tinggi menuntut “reposisi peran dosen”, bukan sebagai otoritas tunggal, tetapi sebagai mitra yang tumbuh bersama mahasiswa. Dalam posisi ini, dosen membimbing bukan hanya dengan ilmu, tetapi dengan keteladanan, empati, dan keterbukaan terhadap perubahan. Budaya belajar yang bermakna hanya bisa terbangun jika ruang kelas diisi oleh interaksi yang setara, diskusi yang jujur, dan refleksi yang mendalam.

Melalui dukungan sistem mutu seperti SPMI dan siklus PPEPP, perguruan tinggi dapat memperkuat peran dosen sebagai motor pembelajaran yang adaptif.


Daftar Pustaka

  1. Bruner, J. S. (1960). The process of education. Cambridge, MA: Harvard University Press.
  2. Dewey, J. (1938). Experience and education. New York, NY: Macmillan.
  3. Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2000). The “what” and “why” of goal pursuits: Human needs and the self-determination of behavior. Psychological Inquiry
  4. Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2000). Intrinsic and extrinsic motivations: Classic definitions and new directions. Contemporary Educational Psychology.
  5. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  6. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  7. Kim, W. C., & Mauborgne, R. (2005). Blue ocean strategy: How to create uncontested market space and make the competition irrelevant. Harvard Business School Press.
  8. OpenAI. (2025). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  9. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  10. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2024). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  11. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  12. Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes. Harvard University Press.
  13. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan


admin

MOTTO: Senantiasa bergerak dan berempati untuk menebar manfaat bagi Mutu Pendidikan di Indonesia