• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Materi SPMI

SPMI dan Kegagalan Komunikasi 2

Ketika Dosen dan Staf Gagal Paham SPMI, Siapa yang Bertanggung Jawab?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dirancang untuk memastikan bahwa mutu pendidikan di perguruan tinggi terus meningkat secara berkelanjutan. Namun, apakah hal ini benar-benar bisa terwujud? Jawabannya harus bisa—jika ingin menjadi institusi yang unggul!

Standar SPMI sering kali tidak dipahami dengan baik, kebijakan hanya dijalankan sebagai formalitas administratif, dan proses evaluasi mutu seperti Monitoring dan Evaluasi (Monev) serta Audit Mutu Internal lebih sering dianggap sebagai beban kerja tambahan daripada sebagai instrumen strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Alih-alih menjadi sistem yang membantu perguruan tinggi berkembang, SPMI justru terasa seperti kewajiban birokratis yang tidak memberikan dampak nyata.

Lalu, siapa yang bertanggung jawab atas kegagalan pemahaman ini? Apakah penyebabnya terletak pada kompleksitas kebijakan yang sulit dipahami? Apakah dosen dan staf kurang proaktif dalam mencari tahu dan memahami standar mutu yang berlaku? Ataukah perguruan tinggi sendiri yang gagal menyampaikan informasi dengan cara yang efektif dan mudah dipahami?

Jika SPMI masih menjadi sesuatu yang membingungkan bagi para pelaksana di lapangan, maka sudah saatnya kita mengevaluasi kembali sistem komunikasi, strategi sosialisasi, serta efektivitas program pelatihan. Mari kita kupas lebih dalam, karena peningkatan mutu tidak akan pernah terjadi jika pemahaman terhadap sistemnya saja masih penuh tanda tanya.

Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI

SPMI, Konflik dan Miscommunication

Komunikasi SPMI yang Buruk: Akar Masalah?

Banyak perguruan tinggi menghadapi kenyataan bahwa meskipun Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) telah diterapkan, pelaksanaannya di berbagai unit akademik, non akademik dan administratif masih jauh dari optimal.

Ketika informasi terkait mutu hanya disajikan dalam dokumen panjang yang bersifat teknis dan sulit dipahami, jangan heran jika dosen dan staf “tidak merasa memiliki dan tidak merasa terlibat” dalam sistem tersebut. Jika komunikasi hanya dilakukan melalui surat edaran atau rapat formal sesekali, maka wajar jika masih banyak pihak yang mengalami kesalahpahaman atau bahkan tidak menyadari peran mereka dalam menjaga dan meningkatkan mutu institusi.

Di sinilah peran pimpinan dan unit penjaminan mutu (nama lain: lembaga/ pusat penjaminan mutu) menjadi sangat krusial. Kebijakan SPMI tidak boleh hanya disampaikan (membangun kognisi), tetapi juga harus dipahami dan dicintai (afeksi) agar pada akhirnya dapat diterapkan dengan baik (psikomotorik). Jika sistem komunikasi internal tidak berjalan secara efektif, maka kebijakan SPMI yang seharusnya menjadi panduan utama dalam peningkatan mutu hanya akan menjadi dokumen statis—tertulis tetapi tidak dihayati, ditetapkan tetapi tidak benar-benar diinternalisasi oleh seluruh civitas akademika.

Baca juga: Lima Prinsip SPMI: Fondasi Kokoh Menuju Keunggulan Institusi

Efektifkah Pelatihan SPMI?

Salah satu cara yang paling efektif untuk meningkatkan pemahaman terhadap SPMI adalah melalui pelatihan, lokakarya dan pendampingan yang berkelanjutan. Namun, di banyak perguruan tinggi, pelatihan SPMI sering kali hanya menjadi agenda seremonial tanpa dampak nyata.

Dosen dan staf diundang ke dalam sesi sosialisasi yang hanya berisi presentasi panjang tentang standar SPMI, tanpa ada mekanisme interaktif yang membantu mereka memahami “bagaimana menerapkan standar tersebut dalam tugas dan tanggung jawab mereka“. Tidak jarang pula pelatihan hanya bersifat satu arah, tanpa ada ruang untuk diskusi atau berbagi pengalaman (best practice) terkait implementasi mutu di masing-masing unit kerja.

Jika pelatihan hanya bersifat normatif tanpa praktek pendampingan dan studi kasus nyata, maka kebijakan SPMI akan tetap dianggap sebagai dokumen administratif yang jauh dari praktik akademik dan operasional sehari-hari. Bahkan seringkali dosen dan staf tidak paham dan tidak mampu menjelaskan visi misi dan komitmen lembaga terkait mutu pendidikan.

Baca juga: Menghidupkan SPMI: Saatnya Belajar dari Master TQM Dunia!

Siapa yang Bertanggung Jawab? Saatnya Berbenah!

Pimpinan perguruan tinggi harus memastikan bahwa kebijakan SPMI selalu diperbarui (update), disosialisasikan secara efektif, serta disampaikan dalam bahasa yang lebih mudah dipahami. Penyajian informasi dalam bentuk infografis yang intuitif dan pendekatan yang lebih aplikatif akan membantu proses internalisasi konsep mutu, sehingga SPMI tidak hanya menjadi dokumen formalitas, tetapi benar-benar dihayati oleh seluruh civitas akademika.

Unit penjaminan mutu juga perlu mengambil langkah proaktif dengan menyediakan media komunikasi yang lebih interaktif. Pemanfaatan Learning Management System (LMS), portal digital, video tutorial, webinar, serta forum diskusi berkala dapat menjadi solusi untuk memastikan bahwa setiap individu di kampus memiliki akses yang lebih mudah dan fleksibel dalam memahami standar mutu. Dengan pendekatan ini, proses pembelajaran tidak hanya dilakukan secara satu arah, tetapi juga lebih partisipatif, memungkinkan semua pihak terlibat secara aktif dalam penerapan sistem mutu.

Selain itu, dosen dan staf harus diberikan ruang untuk berdiskusi, mengajukan pertanyaan, serta berbagi praktik terbaik dalam menjalankan SPMI di unit kerja mereka, baik melalui pertemuan sinkronus maupun diskusi asinkronus yang lebih fleksibel. Dengan sistem komunikasi yang lebih terbuka dan program pelatihan yang lebih relevan dengan kebutuhan mereka, implementasi SPMI tidak lagi menjadi sesuatu yang membingungkan atau membebani, melainkan sebuah sistem yang benar-benar mendorong peningkatan mutu di semua lini.

Baca juga: SPMI Butuh Upgrade: Apa yang Bisa Dipelajari dari Total Quality Management

Penutup

Ketika Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) gagal dipahami dan diterapkan dengan baik, hal ini bukan sekadar kesalahan individu, melainkan tanggung jawab bersama seluruh ekosistem kampus. Jika dosen dan staf masih mengalami kebingungan, itu menjadi sinyal bahwa perguruan tinggi perlu mengevaluasi kembali bagaimana kebijakan SPMI dirancang, bagaimana sistem mutu dikomunikasikan, serta bagaimana program pelatihan disusun agar lebih efektif dan aplikatif.

Setiap individu di dalam institusi harus memahami perannya, menginternalisasi asas dan prinsip-prinsip mutu, serta memiliki komitmen bersama untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan dan layanan akademik/ non akademik.

Saatnya perguruan tinggi berbenah, membangun sistem komunikasi yang lebih inklusif, serta memastikan bahwa SPMI tidak hanya menjadi kumpulan dokumen administratif, tetapi benar-benar menjadi bagian dari budaya akademik dan non-akademik yang hidup di dalam institusi.

Baca juga: Tak Kenal Maka Tak Sayang: Mengenal Lebih Dekat 6 Tujuan SPMI


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI and Training Development 1

SPMI Stagnan? Mungkin Program Pelatihan Terabaikan!

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), sebagaimana diamanatkan oleh regulasi, telah diterapkan di banyak perguruan tinggi sebagai langkah strategis untuk meningkatkan mutu pendidikan dan layanan akademik. Namun, dalam realisasinya, tidak sedikit institusi yang mendapati bahwa implementasi SPMI berjalan stagnan dan jauh dari ekspektasi. Proses administrasi masih terkesan lamban, banyak pihak merasa bingung dengan prosedur yang ada, standar mutu belum benar-benar diinternalisasi, dan evaluasi mutu lebih sering menjadi sekadar formalitas administratif tanpa dampak nyata terhadap perbaikan mutu pendidikan.

Ketika situasi ini terjadi, berbagai pihak kerap mempertanyakan efektivitas sistem yang diterapkan, bahkan tidak jarang SPMI itu sendiri dijadikan kambing hitam atas berbagai tantangan yang dihadapi. Namun, sebelum terburu-buru menyalahkan sistem atau kebijakan, ada satu pertanyaan mendasar yang perlu dijawab: apakah perguruan tinggi telah berinvestasi secara optimal dalam program pelatihan dan pengembangan kapasitas yang mendukung keberhasilan implementasi SPMI?

Baca juga: SPMI Tanpa Teknologi Digital? Bersiaplah Hadapi Kegagalan!

Apakah Program Pelatihan Penting?

Dosen, tenaga kependidikan, dan pimpinan perguruan tinggi harus memiliki kesadaran penuh tentang bagaimana standar SPMI diterapkan, dievaluasi, dan ditingkatkan secara berkelanjutan melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan).

Dosen mungkin mengalami kesulitan dalam memahami standar evaluasi pembelajaran, tenaga kependidikan bisa merasa tidak siap dalam menerapkan prosedur administratif yang sesuai dengan standar SPMI, dan pimpinan perguruan tinggi mungkin tidak memiliki strategi yang jelas dalam merumuskan, mengembangkan, serta menyelaraskan visi, misi, dan kebijakan mutu. Akibatnya, SPMI hanya akan menjadi dokumen formalitas yang tersimpan rapi, tetapi tidak memberikan dampak nyata dalam meningkatkan mutu pendidikan, layanan akademik dan non akademik.

Baca juga: SPMI Gagal Total? Jangan Salahkan Sistem, Perbaiki Komunikasi!

Program Pelatihan Terabaikan?

Ada beberapa indikasi bahwa program pelatihan terkait Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di suatu institusi perlu segera dievaluasi. Jika staf akademik dan tenaga kependidikan sering kali mengalami kebingungan dalam memahami isi standar SPMI serta implementasinya, ini menjadi pertanda bahwa pelatihan yang diberikan tidak cukup efektif atau bahkan belum tersedia dengan optimal.

Sering kali, pelatihan yang diadakan hanya bersifat seremonial tanpa pendampingan atau tindak lanjut yang memadai. Materi yang disampaikan pun sering kali tidak relevan dengan kebutuhan spesifik institusi, sehingga peserta hadir dalam sesi pelatihan tanpa mendapatkan kesempatan untuk mempraktikkan atau memperdalam pemahamannya. Lebih buruk lagi, jika institusi tidak memiliki mekanisme umpan balik dan evaluasi terhadap efektivitas pelatihan, maka sulit untuk mengetahui apakah materi yang diberikan benar-benar bermanfaat atau hanya sekadar formalitas administratif belaka.

Beberapa departemen mungkin mampu menginternalisasi standar SPMI dengan baik, sementara yang lain masih belum memiliki pemahaman yang sama mengenai bagaimana SPMI seharusnya dijalankan. Akibatnya, terjadi kesenjangan dalam implementasi mutu yang menghambat pencapaian tujuan institusi. Masing-masing unit kerja cenderung bekerja secara terpisah dengan pendekatan sektoralnya sendiri, tanpa adanya integrasi yang kuat untuk membangun budaya mutu yang menyeluruh.

Baca juga: SPMI Bukan Tanggung Jawab Satu Unit! Seluruh Civitas Akademika Harus Bergerak

SPMI and Training Development
Tanpa pelatihan yang efektif, SPMI hanya menjadi teori tanpa aksi.

Meningkatkan Efektivitas Pelatihan SPMI

Untuk memastikan bahwa program pelatihan benar-benar memberikan dampak yang signifikan, perguruan tinggi harus menyesuaikan materi pelatihan dengan kebutuhan spesifik di setiap unit kerja.

Pendekatan ini akan membantu peserta memahami bagaimana standar Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) diterapkan dalam aktivitas akademik, non akademik dan administratif mereka, serta bagaimana siklus PPEPP berfungsi dalam keseharian institusi.

Pemanfaatan teknologi digital juga menjadi langkah strategis untuk meningkatkan efektivitas pelatihan. Dengan adanya Learning Management System (LMS) atau platform e-learning internal, dosen dan tenaga kependidikan dapat mengakses materi pelatihan kapan saja serta mengulanginya sesuai dengan kebutuhan mereka. Ketersediaan video pembelajaran berkualitas yang dapat diakses secara asinkronus akan semakin mendukung fleksibilitas dalam proses pelatihan, sehingga peserta tidak harus bergantung pada sesi tatap muka yang terbatas.

Forum diskusi dan mentoring internal dapat menjadi sarana yang efektif untuk memperkuat pemahaman tentang SPMI serta memastikan bahwa kebijakan mutu benar-benar diimplementasikan di seluruh lini institusi. Dengan pendekatan yang lebih interaktif dan berbasis kolaborasi, budaya mutu tidak hanya menjadi sekadar kebijakan, tetapi juga bagian dari keseharian seluruh civitas akademika.

Baca juga: Standar SPMI Harus Diperbarui, Kapan Waktu yang Tepat?

Penutup

Jika Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di sebuah perguruan tinggi mengalami stagnasi, besar kemungkinan akar permasalahannya terletak pada kurangnya efektivitas dalam program pelatihan dan pengembangan kapasitas. Tanpa pelatihan yang komprehensif, kebijakan SPMI beserta seluruh perangkatnya hanya akan menjadi dokumen yang sulit dipahami dan diterapkan secara optimal dalam kehidupan akademik, non akademik dan administratif sehari-hari.

Berbagai metode pelatihan dapat diterapkan untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan, mulai dari kelas daring yang fleksibel, pelatihan publik dengan perspektif eksternal, hingga in-house training yang lebih terarah sesuai dengan kebutuhan institusi. Dengan pendekatan pelatihan yang lebih strategis dan relevan, SPMI dapat dioptimalkan dengan lebih efektif, menciptakan ekosistem akademik yang berkualitas, serta mendorong peningkatan mutu secara berkelanjutan.

Saatnya meninggalkan pendekatan lama yang sekadar berorientasi pada pemenuhan dokumen dan beralih ke strategi yang benar-benar membangun kapasitas sumber daya manusia dalam institusi. Tetap relevan, berinovasi, dan bergerak maju! 🚀

Baca juga: Dunia Berubah Cepat, Apakah Standar SPMI Kita Masih Relevan?


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan DMS

SPMI Tanpa Teknologi Digital? Bersiaplah Hadapi Kegagalan!

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Di era digital saat ini, perguruan tinggi dituntut untuk menerapkan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) yang tidak hanya berfokus pada pemenuhan standar mutu, tetapi juga memanfaatkan teknologi digital agar implementasinya lebih efektif dan efisien. Sayangnya, masih banyak institusi yang bergantung pada proses manual, seperti dokumentasi berbasis kertas, komunikasi yang tidak terdokumentasi dengan baik, serta evaluasi mutu (monev dan audit) yang masih dilakukan secara konvensional.

Tanpa integrasi teknologi digital, SPMI hanya akan menjadi sekadar dokumen administratif yang tersimpan rapi di rak lemari kabinet, tanpa penerapan nyata dalam kehidupan akademik. Perguruan tinggi yang masih mengandalkan metode manual dalam pengelolaan mutu akan menghadapi berbagai tantangan, mulai dari ketidakefisienan dalam pengelolaan data, keterlambatan dalam pelaporan, hingga minimnya transparansi dalam komunikasi antarunit kerja. Jika kondisi ini terus dibiarkan, perguruan tinggi bukan hanya akan mengalami hambatan dalam mencapai standar SPMI, tetapi juga berisiko tertinggal dalam persaingan akademik. Saatnya berubah atau bersiaplah menghadapi kegagalan.

Ketika SPMI Gagal

Bayangkan sebuah perguruan tinggi yang harus melakukan evaluasi mutu secara berkala, baik melalui asesmen, monitoring dan evaluasi (monev), maupun audit, tetapi masih bergantung pada sistem manual berbasis kertas dan spreadsheet. Setiap unit harus mengisi laporan secara terpisah, mengirimkannya melalui email, lalu menunggu proses pengolahan data yang memakan waktu berminggu-minggu. Ketika data akhirnya tersedia, sering kali informasi yang terkandung di dalamnya sudah usang dan tidak lagi mencerminkan kondisi terkini. Akibatnya, keputusan strategis yang seharusnya dapat diambil secara cepat dan tepat justru tertunda, karena kurangnya akurasi dan keterlambatan dalam pelaporan.

Ketidakefisienan ini semakin diperparah dengan komunikasi yang tidak terdokumentasi dengan baik, yang menyebabkan standar mutu diterjemahkan secara berbeda oleh setiap unit kerja. Pedoman yang seharusnya menjadi acuan bersama justru diinterpretasikan secara tidak seragam, sehingga menghambat keselarasan dalam implementasi mutu di seluruh institusi. Tanpa teknologi digital, pelaksanaan SPMI menjadi lamban, tidak efisien, serta sulit dipantau secara real-time, yang pada akhirnya menghambat perguruan tinggi dalam mencapai standar mutu yang diharapkan.

SPMI dan Akreditasi 2
SPMI dan Teknologi Digital

Teknologi Digital Sebagai Solusi

Untuk mengatasi berbagai tantangan dalam implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), perguruan tinggi perlu segera mengadopsi teknologi digital sebagai bagian dari strategi penjaminan mutu yang lebih efektif dan berkelanjutan. Learning Management System (LMS) dapat dimanfaatkan tidak hanya sebagai pusat pembelajaran, tetapi juga sebagai tempat penyimpanan dokumen mutu yang terintegrasi, seperti kebijakan SPMI, siklus PPEPP, dan Standar SPMI. Dengan adanya basis data yang terhubung secara digital, institusi dapat mengakses informasi mutu kapan saja dan dari mana saja, selama terdapat koneksi internet. Hal ini menghilangkan ketergantungan pada dokumen fisik serta mengurangi prosedur administrasi manual yang memakan waktu dan kurang efisien.

Selain itu, perguruan tinggi perlu mengembangkan portal internal khusus yang memungkinkan setiap unit kerja mengakses kebijakan mutu, memantau pencapaian standar, serta memberikan umpan balik secara langsung. Dengan sistem yang transparan dan mudah diakses, seluruh pemangku kepentingan dapat berpartisipasi secara aktif dalam implementasi mutu, bukan sekadar menjadi penerima kebijakan. Keberadaan portal ini akan lebih efektif jika disajikan dalam bentuk infografis interaktif, sehingga pengguna dapat menelusuri dan mencari dokumen yang dibutuhkan dengan cepat dan intuitif. Teknologi tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga membantu membangun budaya mutu yang lebih kolaboratif dan dinamis dalam lingkungan akademik.

Membangun Budaya Mutu Melalui Digitalisasi

Teknologi digital tidak hanya berperan dalam pengelolaan dan pengendalian dokumen SPMI, tetapi juga menjadi katalisator dalam membangun budaya mutu yang lebih inklusif dan kolaboratif. Dengan adanya sistem komunikasi berbasis digital, seperti forum diskusi daring dan webinar, dosen, tenaga kependidikan, serta mahasiswa dapat lebih mudah berinteraksi, berbagi wawasan, dan berkontribusi aktif dalam menjaga serta meningkatkan standar mutu akademik dan non akademik (SPMI). Transformasi digital ini menciptakan lingkungan yang lebih dinamis, di mana setiap pemangku kepentingan memiliki akses yang lebih luas terhadap informasi dan peluang untuk berpartisipasi dalam pengembangan institusi.

Perguruan tinggi yang enggan beradaptasi dengan teknologi digital akan menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan daya saing dan reputasi akademiknya di tingkat global. Digitalisasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan. Institusi yang ingin tetap relevan dan kompetitif harus segera bertransformasi, meninggalkan cara-cara lama yang tidak lagi efektif, dan mengadopsi teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi serta transparansi dalam implementasi mutu.

Dengan penerapan teknologi digital, SPMI dapat dijalankan dengan lebih efisien, transparan, dan berkelanjutan. Kini, pertanyaannya adalah: apakah institusi Anda sudah siap untuk beradaptasi dengan perubahan ini, atau masih bertahan dengan sistem lama yang penuh keterbatasan? Stay Relevant!


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Kegagalan Komunikasi

SPMI Gagal Total? Jangan Salahkan Sistem, Perbaiki Komunikasi!

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Banyak perguruan tinggi, karena regulasi telah mengadopsi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) sebagai langkah strategis untuk meningkatkan kualitas akademik dan layanan institusi. Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit yang justru menghadapi stagnasi atau bahkan kegagalan dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Ketika hal ini terjadi, “sistem mutu” sering kali menjadi kambing hitam—dari prosedur yang dianggap terlalu rumit hingga regulasi yang dinilai kaku dan membatasi fleksibilitas institusi.

Namun, sebelum terburu-buru menyalahkan sistem mutu, ada satu elemen fundamental yang sering diabaikan, yaitu: komunikasi internal. Sudahkah komunikasi internal berjalan dengan efektif? Apakah seluruh civitas akademika benar-benar memahami peran dan tanggung jawab mereka dalam menjaga mutu? Tanpa komunikasi yang jelas dan terstruktur, kebijakan mutu hanya akan berakhir sebagai dokumen formalitas yang tidak mudah untuk dipahami, apalagi diimplementasikan dengan baik.

Baca juga: SPMI Bukan Tanggung Jawab Satu Unit! Seluruh Civitas Akademika Harus Bergerak

Ketidaksepahaman

Salah satu faktor utama yang menyebabkan kegagalan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah kurangnya keselarasan pemahaman mengenai kebijakan mutu di antara dosen, tenaga kependidikan, dan pimpinan kampus. Ketika standar mutu tidak dikomunikasikan dengan jelas, setiap pihak dapat memiliki interpretasi yang berbeda, yang pada akhirnya memicu konflik pemahaman, ketidakseimbangan dalam implementasi, serta resistensi terhadap perubahan yang seharusnya membawa perbaikan.

Sebagai contoh, jika dosen tidak memahami standar evaluasi pembelajaran yang telah ditetapkan dalam SPMI, mereka mungkin tetap menggunakan metode penilaian model lama yang tidak sesuai dengan standar yang berlaku. Hal serupa terjadi dalam lingkup administrasi akademik, di mana tenaga kependidikan yang kurang memahami kebijakan mutu berisiko memberikan layanan yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Bahkan dalam aspek fasilitas kampus, seperti koleksi buku perpustakaan, ketidaksesuaian dengan standar SPMI sering kali terjadi akibat minimnya sosialisasi terkait kriteria pemilihan dan pengelolaan bahan pustaka.

Tanpa komunikasi yang efektif, standar SPMI hanya akan menjadi dokumen formalitas tanpa penerapan nyata.

Dengan komunikasi yang jelas dan pemahaman yang seragam, SPMI tidak hanya menjadi sistem yang berjalan di atas kertas, tetapi benar-benar berfungsi sebagai instrumen untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara berkelanjutan.

Baca juga: Kampus Ideal: Gabungan Estetika dan Fungsi

Pentingnya Transparansi

Agar Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dapat berjalan secara optimal, diperlukan komitmen dan transparansi dalam penyampaian informasi.

Sosialisasi kebijakan, siklus PPEPP dan standar mutu harus dilakukan secara berkala agar setiap individu dalam institusi memahami peran mereka dalam menjaga dan meningkatkan kualitas pendidikan. Pelatihan dan workshop dapat menjadi sarana yang efektif untuk memastikan bahwa setiap unit memahami standar mutu yang harus diterapkan dalam praktik sehari-hari. Selain itu, perguruan tinggi perlu menyediakan media komunikasi yang efisien, seperti portal internal, infografis, dan video edukasi, yang dapat menyebarkan informasi tentang kebijakan mutu secara lebih mudah dan menarik.

Lebih dari sekadar sosialisasi, institusi juga harus menerapkan mekanisme umpan balik yang terbuka, sehingga setiap anggota civitas akademika dapat menyampaikan kendala dan memberikan saran perbaikan terkait implementasi SPMI. Jika komunikasi internal berjalan dengan baik, setiap permasalahan dapat diidentifikasi dan diatasi sebelum berkembang menjadi hambatan yang lebih besar. Untuk mendukung hal ini, Gugus Kendali Mutu (Quality Circle) di kampus harus dioptimalkan fungsinya sebagai wadah diskusi yang kondusif, di mana semua pihak merasa nyaman dalam menyampaikan rekomendasi serta kritik yang membangun bagi kemajuan institusi.

Dengan komunikasi yang efektif, SPMI tidak hanya menjadi sekadar dokumen kebijakan, tetapi benar-benar menjadi alat transformasi yang mendorong peningkatan mutu secara berkelanjutan dan menyeluruh.

Baca juga: Kampus Impian: Seperti Apa Sarana dan Prasarana yang Ideal di Mata Mahasiswa?

Komunikasi dan Budaya Mutu

SPMI bukan sekadar sistem yang diberlakukan secara top-down (dipaksakan dari atas kebawah), tetapi harus menjadi bagian yang hidup dalam budaya organisasi perguruan tinggi. Untuk mewujudkan budaya mutu yang kokoh, setiap individu di dalam kampus harus ada “rasa memiliki” terhadap sistem ini. Mereka bukan hanya sekadar objek yang harus tunduk pada aturan, melainkan bagian dari ekosistem mutu yang berkontribusi aktif dalam membangun dan menjaga standar kualitas pendidikan.

Dosen perlu menyadari bahwa standar mutu bukan sekadar tuntutan administratif, tetapi merupakan alat untuk meningkatkan efektivitas pengajaran dan menciptakan pengalaman belajar yang lebih berkualitas bagi mahasiswa. Tenaga kependidikan juga memiliki peran penting dalam memastikan bahwa setiap proses administrasi berjalan sesuai standar, bukan sekadar formalitas, melainkan sebagai elemen kunci dalam mendukung keberhasilan akademik. Sementara itu, pimpinan perguruan tinggi harus menjadi teladan (role-model) dalam membangun budaya mutu dengan memastikan komunikasi internal mengenai kebijakan mutu berjalan dengan transparan dan efektif di seluruh unit kerja.

Dengan komunikasi yang efektif, setiap kebijakan mutu dapat diterapkan dengan lebih optimal, menciptakan lingkungan akademik yang kondusif, serta memastikan bahwa perguruan tinggi terus berkembang dan memiliki daya saing yang tinggi, baik di tingkat nasional, regional maupun internasional. Stay Relevant!

Baca juga: SPMI di Era AI: Apakah Gaya Kepemimpinan Anda Siap Beradaptasi?


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI Bukan Tanggung Jawab Satu Unit! Seluruh Civitas Akademika Harus Bergerak

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Akibatnya, banyak dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa menganggapnya sebagai sekadar urusan administratif yang terpisah dari aktivitas akademik dan non akademik sehari-hari. Jika pemahaman ini terus berlanjut, SPMI hanya akan menjadi rutinitas dokumentasi yang hadir tanpa makna, tanpa memberikan dampak nyata terhadap peningkatan mutu pendidikan.

Lebih dari sekadar memenuhi standar atau akreditasi, SPMI adalah “komitmen bersama” untuk membangun budaya mutu yang berkelanjutan, komitmen untuk bersinergi, komitmen untuk saling memperkuat. Keberhasilannya bergantung pada motivasi dan komunikasi internal yang kuat, yang menyatukan seluruh elemen dalam ekosistem perguruan tinggi. Dari pimpinan hingga mahasiswa, dari rektor hingga tenaga kebersihan dan keamanan, setiap sivitas akademika memegang peran penting dalam memastikan bahwa standar mutu tidak hanya diterapkan, tetapi juga menjadi bagian dari praktik akademik dan operasional sehari-hari (non akademik). Ketika seluruh SDM terlibat secara aktif, SPMI bukan lagi sekadar prosedur formalitas semata, melainkan cerminan dari dedikasi institusi dalam menciptakan pendidikan yang unggul dan berdaya saing.

Baca juga: Standar SPMI Harus Diperbarui, Kapan Waktu yang Tepat?

Risiko yang Mengancam

Misalnya, jika dosen tidak sepenuhnya memahami standar pembelajaran yang diharapkan, kualitas pengajaran akan menjadi tidak konsisten dan bervariasi. Dampaknya, pengalaman belajar mahasiswa pun tidak optimal, yang pada akhirnya berpengaruh pada daya saing lulusan di dunia kerja. Demikian pula, jika dosen kurang memahami standar kurikulum, penyusunan kurikulum berisiko tidak sesuai dengan panduan yang telah ditetapkan, yang berpotensi menghambat pencapaian tujuan akademik perguruan tinggi.

Lebih dari itu, tanpa keterlibatan aktif seluruh sivitas akademika, SPMI kerap hanya menjadi formalitas administratif yang hanya untuk memenuhi persyaratan regulasi belaka. SPMI baru mendapat perhatian disaat-saat tertentu saja, saat menghadapi evaluasi eksternal atau proses akreditasi. Kampus yang tidak memiliki budaya mutu yang kuat akan mengalami kesulitan dalam menjaga dan meningkatkan standar akademik secara berkelanjutan. Jika kondisi ini terus berlanjut, perguruan tinggi tidak hanya akan kesulitan mencapai standar mutu yang diharapkan, namun berisiko kehilangan reputasi dan kepercayaan dari mahasiswa, orang tua, serta mitra industri. Oleh karena itu, keterlibatan menyeluruh dari semua elemen kampus menjadi kunci dalam memastikan SPMI benar-benar menjadi alat transformasi mutu pendidikan, bukan sekadar formalitas persyaratan regulasi atau untuk akreditasi.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

SPMI adalah Sinergi Seluruh Civitas Akademika

Peran Dosen dan Tenaga Kependidikan

Dosen tidak hanya berperan sebagai staf pengajar, namun juga memiliki tanggung jawab strategis dalam memastikan standar mutu akademik diterapkan secara optimal. Setiap metode pengajaran, kurikulum, dan interaksi dengan mahasiswa merupakan bagian dari upaya berkelanjutan dalam meningkatkan mutu pendidikan. Dengan “memahami, mencintai dan menerapkan” standar Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), dosen dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih kondusif, sesuai dengan standar nasional maupun internasional. Namun, kurangnya sosialisasi mengenai standar ini masih menjadi kendala, menyebabkan banyak dosen belum sepenuhnya memahami dan menginternalisasi asas / prinsip-prinsip SPMI dalam praktik akademik dan non akademik.

Di sisi lain, tenaga kependidikan memainkan peran yang “tidak kalah penting” dalam menjaga mutu layanan akademik dan non akademik. Administrasi yang efisien, pelayanan mahasiswa yang responsif, serta sistem informasi yang transparan adalah elemen kunci dalam menunjang keberhasilan SPMI. Tanpa dukungan penuh dari tenaga kependidikan, sistem SPMI yang telah dirancang dengan baik tidak akan berjalan optimal, dan pengalaman belajar mahasiswa dapat terganggu. Lebih dari itu, yang paling penting, efektivitas layanan akademik dan non akademik juga bergantung pada kepemimpinan perguruan tinggi. Jika pimpinan tidak memberikan teladan serta contoh yang baik dalam mengedepankan budaya mutu, maka standar yang telah ditetapkan berisiko tidak diimplementasikan secara optimal di seluruh lini institusi.

Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat

Mahasiswa sebagai Agen Budaya Mutu

Mahasiswa sering kali dipandang hanya sebagai penerima manfaat dari sistem mutu, padahal mereka memiliki peran krusial dalam keberhasilan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Keterlibatan aktif mahasiswa dalam evaluasi pembelajaran, kepuasan akademik, serta berbagai kegiatan organisasi kampus dapat menjadi “sumber umpan balik yang berharga” (feedback) bagi pengembangan mutu pendidikan. Suara mahasiswa bukan sekadar refleksi pengalaman belajar mereka, tetapi juga menjadi cerminan kualitas institusi yang harus terus diperbaiki dan ditingkatkan.

Lebih dari itu, mahasiswa yang memiliki kesadaran terhadap pentingnya mutu pendidikan akan lebih proaktif dalam belajar, terlibat dalam diskusi akademik yang konstruktif, serta turut mendorong kampus untuk senantiasa meningkatkan standar layanan dan proses pembelajaran. Kesadaran ini bukan hanya membentuk lulusan yang unggul secara akademik, tetapi juga melahirkan individu yang memiliki jiwa inovasi, kepekaan terhadap kualitas, serta soft skills untuk menghadapi tantangan di dunia profesional.

Namun, mampukah para dosen menanamkan kesadaran ini di kalangan mahasiswa? Selain membangun partisipasi dalam program mutu, dosen juga memiliki tanggung jawab untuk membimbing mahasiswa dalam menanamkan akhlak, soft skills, dan budi pekerti yang baik. Pendidikan bukan hanya soal pencapaian akademik, tetapi juga tentang pembentukan karakter dan etika yang akan menjadi fondasi bagi generasi penerus bangsa. Oleh karena itu, sinergi antara pembelajaran akademik dan pendidikan karakter harus menjadi bagian dari strategi peningkatan mutu di perguruan tinggi.

Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?

Langkah Nyata yang Harus Dilakukan

Salah satu faktor kunci dalam keberhasilan implementasi SPMI adalah komunikasi internal yang efektif, sehingga setiap unit memahami perannya dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan. Sosialisasi dan pelatihan terkait SPMI harus dilakukan secara berkala guna menghindari kesenjangan pemahaman antarunit. Selain itu, penggunaan media visual seperti poster, banner, serta kampanye budaya mutu di berbagai sudut kampus dapat menjadi sarana efektif untuk menanamkan kesadaran bahwa “Quality is Everyone’s Responsibility”—mutu adalah tanggung jawab bersama.

Lebih dari sekadar sosialisasi, perguruan tinggi juga perlu menerapkan mekanisme umpan balik dan perbaikan berkelanjutan. Evaluasi yang dilakukan tidak boleh sekadar formalitas administratif, tetapi harus menjadi dasar bagi pengambilan keputusan strategis dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dan layanan akademik. Penguatan sistem evaluasi dapat dilakukan melalui monitoring terpadu, Audit Mutu Internal (AMI), serta program tinjauan manajemen (management reviews) yang memastikan seluruh standar dan kebijakan mutu diimplementasikan secara konsisten dan terus mengalami peningkatan. Dengan pendekatan ini, budaya mutu tidak hanya tertulis dalam dokumen kebijakan, tetapi benar-benar “terinternalisasi” menjadi bagian dari keseharian seluruh elemen kampus, mencerminkan komitmen perguruan tinggi dalam mencetak lulusan yang unggul dan berdaya saing tinggi.

Baca juga: Lima Prinsip SPMI: Fondasi Kokoh Menuju Keunggulan Institusi

Penutup

Keberhasilan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) tidak bisa dicapai hanya oleh satu unit, melainkan membutuhkan kolaborasi aktif seluruh civitas akademika.

Ketika setiap elemen kampus bergerak selaras dalam menjaga dan meningkatkan mutu, perguruan tinggi tidak hanya akan memiliki sistem SPMI yang kokoh, tetapi juga mampu membangun ekosistem akademik yang berkualitas, kompetitif, dan relevan dengan dinamika zaman. Budaya mutu yang tertanam dengan baik akan memastikan bahwa standar akademik tidak hanya dipenuhi, tetapi juga terus berkembang demi menghasilkan lulusan yang siap bersaing di tingkat global.

Namun, siapa yang paling bertanggung jawab untuk mengubah persepsi keliru bahwa SPMI hanyalah urusan satu unit? Jawabannya ada pada pimpinan! Dengan otoritas dan pengaruh yang dimilikinya, pimpinan perguruan tinggi memiliki kekuatan untuk menata ulang sistem, memperkuat komunikasi internal, serta mendorong keterlibatan seluruh elemen kampus dalam membangun budaya mutu. Kini, pertanyaannya adalah: Apakah para pemimpin perguruan tinggi siap mengambil peran ini? Stay Relevant!

Baca juga: Inovasi atau Mati: Integrasi PPEPP dengan Strategic Quality Management


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Conecting the dots dan SPMI

Standar SPMI Harus Diperbarui, Kapan Waktu yang Tepat?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) berperan sebagai fondasi dalam menjaga dan meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi pertanyaan mendasar muncul: seberapa sering standar ini harus diperbarui? Apakah cukup setiap lima tahun? Haruskah ditinjau setiap tahun? Atau justru perlu diperbarui secara real-time sesuai dinamika perubahan?

Di tengah derasnya arus perubahan regulasi, kemajuan pesat teknologi—terutama dalam era kecerdasan buatan (AI)—serta tuntutan dunia usaha dan industri (DUDI) yang semakin kompleks, standar yang stagnan tanpa pembaruan berkala berisiko menjadi usang dan kehilangan relevansinya. Jika perguruan tinggi tidak segera beradaptasi, lulusan yang dihasilkan mungkin tidak lagi siap menghadapi tantangan dunia kerja yang terus berevolusi. Pendidikan tinggi harus bergerak seiring perubahan, bukan tertinggal di belakang.

Baca juga: Dunia Berubah Cepat, Apakah Standar SPMI Kita Masih Relevan?

Siklus Lima Tahun: Sudah Usang?

Banyak perguruan tinggi masih menerapkan siklus revisi standar setiap lima tahun, umumnya selaras dengan dokumen Rencana Strategis (Renstra) yang telah ditetapkan. Namun, di era digital yang bergerak begitu cepat, muncul pertanyaan mendasar: apakah rentang waktu ini masih cukup untuk mengakomodasi perubahan pesat di dunia nyata?

Saat ini, perkembangan dunia kerja dan inovasi akademik berlangsung jauh lebih dinamis dibandingkan beberapa dekade lalu.

Oleh karena itu, perguruan tinggi perlu mempertimbangkan pendekatan yang lebih adaptif dan fleksibel, memastikan bahwa evaluasi dan revisi standar mutu dilakukan secara lebih dinamis agar tetap selaras dengan perkembangan zaman.

Baca juga: SPMI dan Fenomena The Death of Expertise

Standar bergerak bergerak naik mengikuti tuntutan stakeholder yang semakin dinamis

Pendekatan yang Lebih Adaptif

Pendekatan ini memungkinkan perguruan tinggi untuk lebih responsif dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi, dinamika akademik, dan tuntutan pasar kerja. Dengan meninjau standar sebelum dimulainya tahun akademik baru, institusi dapat memastikan kurikulum tetap relevan dan selaras dengan kebutuhan mahasiswa serta industri.

Lebih jauh, pemanfaatan evaluasi berbasis data dan kecerdasan buatan (AI) dapat meningkatkan efektivitas pembaruan standar. Dengan dukungan analitik data serta masukan dari berbagai pemangku kepentingan, proses revisi dapat dilakukan dengan lebih cepat dan akurat. Pendekatan ini tidak hanya berkontribusi pada peningkatan kualitas pendidikan, tetapi juga memastikan lulusan memiliki daya saing tinggi di dunia kerja yang terus berkembang.

Baca juga: Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?

Penutup

Tidak ada satu pendekatan yang dapat diterapkan secara universal di semua perguruan tinggi. Namun, penting bagi setiap institusi untuk mengadopsi strategi revisi standar yang lebih fleksibel, cepat, dan inovatif.

Pendidikan tinggi tidak boleh lagi terjebak dalam pola lama yang kaku dan tertinggal oleh kemajuan zaman. Institusi yang ingin tetap unggul harus mampu bergerak cepat, proaktif, dan adaptif dalam menanggapi perubahan. Jika dunia terus melaju dalam kecepatan tinggi, mengapa standar pendidikan harus tertinggal? Saatnya bertransformasi—tetap relevan, tetap maju! 🚀

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Kecerdasan Emosional

Paradoks Mutu: Saat SPMI Tak Bicara Soal Dunia Kerja

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Dalam berbagai forum pendidikan tinggi, istilah “mutu” nyaris menjadi mantra yang favorit. Kampus-kampus berlomba-lomba membangun sistem penjaminan mutu yang kuat, menyusun dokumen PPEPP dengan cermat, dan menargetkan akreditasi unggul. Namun di balik gemerlapnya indikator administratif itu, tersimpan satu pertanyaan penting: apakah semua ini benar-benar berdampak pada dunia nyata lulusan?

Sinyal ironi itu muncul dari tempat yang paling tak disangka: Harvard Business School (HBS). Sebagai institusi dengan reputasi global, Harvard baru-baru ini mencatat bahwa sekitar 23% lulusannya tidak mendapatkan pekerjaan dalam tiga bulan setelah lulus. Artinya, hampir seperempat dari lulusan program MBA yang disebut-sebut sebagai paling prestisius itu tidak langsung terserap pasar kerja. Ini tentu mencengangkan, sekaligus menyadarkan kita bahwa mutu akademik tidak serta merta berarti relevansi praktis.

Baca juga: Standar SPMI Harus Diperbarui, Kapan Waktu yang Tepat?

Ketika Mutu Lebih Tentang Prosedur

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di Indonesia dirancang sebagai tulang punggung peningkatan mutu pendidikan tinggi. Dalam siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan—SPMI seharusnya menjadi mekanisme yang hidup dan berorientasi ke depan. Namun sayangnya, dalam banyak kasus, SPMI masih dimaknai sebagai sistem kepatuhan administratif, bukan alat transformasi.

Standar-standar yang ditetapkan dalam SPMI sering kali bersifat internal dan teknokratis, lebih fokus pada input dan proses, seperti kualifikasi dosen, jumlah SKS, atau kelengkapan perangkat pembelajaran. Padahal, dunia kerja tidak bertanya soal SKS atau rubrik penilaian—yang mereka cari adalah lulusan yang adaptif, kolaboratif, dan siap berkarya.

Baca juga: Dunia Berubah Cepat, Apakah Standar SPMI Kita Masih Relevan?

Apakah PPEPP benar-benar mendengar dunia kerja?

PPEPP Perlu Mendengar Dunia Nyata

Di atas kertas, PPEPP adalah sistem yang logis: tetapkan standar, laksanakan, evaluasi, kendalikan, dan tingkatkan. Namun dalam praktiknya, sebagian besar perguruan tinggi menjalankan PPEPP seperti checklist tahunan—bukan sebagai proses reflektif yang hidup. Tracer study misalnya, memang rutin dilakukan, tapi lebih sering digunakan sebagai syarat akreditasi, bukan bahan analisis mendalam.

Bayangkan bila PPEPP benar-benar mendengar dunia kerja. Standar kompetensi lulusan tidak hanya dirancang dari perspektif akademik, tetapi dari dialog aktif dengan industri. Evaluasi tidak berhenti pada capaian internal, tapi merujuk pada performa lulusan di tempat kerja. Peningkatan tidak hanya berarti menambah fasilitas atau kegiatan, tapi menyusun ulang orientasi pembelajaran agar benar-benar menyiapkan mahasiswa menghadapi masa depan.

Baca juga: SPMI dan Fenomena The Death of Expertise

Kasus Harvard: Reputasi Tak Lagi Jaminan

Kembali ke kasus HBS, kita belajar bahwa bahkan institusi dengan pengajar terbaik, kurikulum studi kasus yang tajam, dan jaringan alumni global pun tidak kebal terhadap perubahan peta kebutuhan industri.

Ini bukan berarti Harvard tak bermutu, tapi menunjukkan bahwa mutu itu tidak statis. Ia harus terus disesuaikan dengan konteks. Maka kampus-kampus Indonesia perlu waspada: jangan sampai sistem penjaminan mutu yang rapi secara administratif malah membuat kita terlena—hingga lupa bahwa yang dinilai oleh masyarakat bukan prosesnya, tapi dampaknya.

Baca juga: Kampus Ideal: Gabungan Estetika dan Fungsi

Penutup

Sudah waktunya kita bergeser dari cara lama memandang mutu. SPMI tidak boleh hanya menjadi kumpulan dokumen yang diperbarui menjelang akreditasi. Ia harus menjadi refleksi menyeluruh dari seberapa besar pendidikan kita menjawab tantangan zaman. Dan zaman ini menuntut adaptasi, bukan hanya kepatuhan.

Jika SPMI ingin tetap relevan, maka ia harus bicara tentang dunia kerja, perubahan teknologi, kebutuhan sosial, dan kemampuan lulusan berkontribusi nyata. Karena jika tidak, maka kampus-kampus akan terus sibuk dengan pencitraan mutu, sementara para lulusannya menunggu panggilan kerja yang tak kunjung datang.

Baca juga: Lingkungan Kerja Ideal: Sarana Prasarana untuk Dosen dan Karyawan


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan budaya kritis

Dunia Berubah Cepat, Apakah Standar SPMI Kita Masih Relevan?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Setiap hari, bahkan dalam hitungan detik, dunia terus bergerak dalam kecepatan yang tak terduga. Kemajuan teknologi melesat pesat, lanskap industri terus berevolusi, dan pola pikir generasi muda mengalami perubahan yang begitu dinamis. Perguruan tinggi kini bukan sekadar ruang pembelajaran, tetapi juga menjadi pusat inovasi yang harus mampu beradaptasi dengan cepat. Di tengah derasnya arus perubahan ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah standar dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) yang kita gunakan masih relevan untuk menjaga kualitas pendidikan tinggi tetap unggul?

Di banyak kampus, standar SPMI kerap dipandang sebagai sekadar dokumen administratif yang ditetapkan sekali dan baru diperbarui setelah bertahun-tahun. Padahal, di era yang penuh gejolak ini, ekspektasi dunia kerja dan kebutuhan mahasiswa berkembang hampir setiap saat. Jika standar mutu tidak disesuaikan dengan perkembangan zaman, apa yang akan terjadi? Perguruan tinggi bukan hanya tertinggal, tetapi juga berisiko kehilangan relevansinya di tengah persaingan global yang semakin ketat.

Baca juga: PPEPP Bukan Beban, Tapi Solusi, Benarkah?

Apakah lulusan siap menghadapi perubahan lingkungan yang sangat dinamis?

Standar yang Statis di Dunia yang Dinamis

SPMI dirancang untuk memastikan bahwa mutu pendidikan tidak hanya terjaga, tetapi juga terus berkembang seiring waktu. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa masih ada perguruan tinggi yang tetap berpegang pada standar yang telah ditetapkan lima hingga sepuluh tahun lalu. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah standar SPMI yang dirancang sebelum era big data, kecerdasan buatan (AI), dan revolusi digital masih relevan? Jika dunia telah berubah begitu pesat, bagaimana mungkin standar lama mampu menjawab tantangan masa kini?

Beberapa perguruan tinggi masih menerapkan siklus peninjauan standar SPMI setiap lima tahun, menyesuaikan dengan periode perencanaan strategis (Renstra). Namun, dalam lingkungan yang bergerak dengan kecepatan luar biasa, rentang waktu ini terasa terlalu panjang. Bayangkan ketika teknologi AI berkembang dalam hitungan menit dan tren industri berubah setiap bulan, tetapi perguruan tinggi baru mengevaluasi kurikulumnya secara berkala setiap lima tahun. Kesenjangan ini berpotensi menciptakan gap besar antara kompetensi lulusan dengan tuntutan dunia usaha dan industri (DUDI), yang pada akhirnya dapat menghambat daya saing mereka di dunia kerja.

Baca juga: Kampus Impian: Seperti Apa Sarana dan Prasarana yang Ideal di Mata Mahasiswa?

Dampak Keterlambatan Revisi

Jika standar SPMI tidak diperbarui secara dinamis, dampaknya bisa sangat serius. Mahasiswa berisiko mengalami proses pembelajaran yang tidak lagi selaras dengan perkembangan industri, membuat mereka kurang siap menghadapi tantangan dunia kerja. Sementara itu, perguruan tinggi akan kesulitan mempertahankan daya saingnya, baik di tingkat nasional maupun global. Lulusan yang tidak dibekali keterampilan terkini akan menghadapi tantangan besar dalam memasuki dunia usaha dan industri yang terus berkembang.

Lebih jauh lagi, reputasi perguruan tinggi pun bisa terancam. Akreditasi unggul menjadi semakin sulit diraih jika standar mutu tidak diperbarui sesuai dengan kebutuhan zaman. Kampus yang lamban dalam menyesuaikan standar SPMI akan dipandang stagnan oleh calon mahasiswa, industri, dan pemangku kepentingan lainnya. Di era perubahan yang begitu cepat, perguruan tinggi tidak boleh tertinggal. Standar SPMI harus selalu berkembang dan mampu mengantisipasi tantangan masa depan agar institusi tetap relevan dan kompetitif.

Baca juga: SPMI di Era AI: Apakah Gaya Kepemimpinan Anda Siap Beradaptasi?

Standar harus terus bergerak ke atas

Standar yang Fleksibel dan Adaptif

Solusi yang diperlukan bukan sekadar mempercepat revisi standar secara berkala, tetapi juga merombak paradigma dalam penetapan standar itu sendiri. Perguruan tinggi harus mulai mengadopsi model SPMI yang lebih fleksibel, adaptif, dan berbasis data. Alih-alih menunggu hingga lima tahun untuk melakukan pembaruan, evaluasi standar sebaiknya dilakukan minimal setiap tahun atau bahkan secara real-time dengan dukungan teknologi yang canggih.

Lebih dari itu, keterlibatan pemangku kepentingan harus ditingkatkan agar standar SPMI benar-benar mencerminkan kebutuhan dunia nyata. Dunia usaha dan industri (DUDI), mahasiswa, serta pakar teknologi harus menjadi bagian integral dalam proses penyusunan standar. Teknologi terus berkembang, DUDI selalu beradaptasi, dan pendidikan tinggi harus mampu meresponsnya dengan cepat dan tepat. Tanpa respons yang cerdas dan proaktif, perguruan tinggi berisiko kehilangan relevansinya di tengah perubahan yang tak terhindarkan.

Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat

Penutup

Perlu dipahami bahwa SPMI bukan sekadar formalitas untuk memenuhi regulasi semata. Lebih dari itu, SPMI harus menjadi alat strategis yang benar-benar berfungsi dalam meningkatkan mutu pendidikan. Jika sebuah institusi ingin tetap relevan dan unggul, maka standar yang diterapkan harus selalu diperbarui, selaras dengan dinamika dan tren perkembangan zaman. Dunia terus bergerak maju, dan kita tidak bisa hanya diam di tempat.

Kini saatnya perguruan tinggi di Indonesia meninggalkan pendekatan birokratis yang kaku dan beralih ke sistem penjaminan mutu yang lebih fleksibel, adaptif, dan dinamis. Pendidikan tidak boleh terjebak dalam kebiasaan lama yang menghambat inovasi. Ingatlah, standar yang terus berkembang adalah standar yang benar-benar mampu menjamin masa depan. Tetap relevan, tetap maju!

Baca juga: Mutu Pendidikan Tinggi: Memahami Esensi dan Dampaknya


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan PDCA

PPEPP: Adaptasi PDCA untuk Pendidikan Tinggi Indonesia

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Siklus Plan-Do-Check-Act (PDCA) telah lama populer sebagai pendekatan fundamental dalam sistem manajemen mutu. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Walter Shewhart dan kemudian dipopulerkan oleh W. Edwards Deming sebagai metode untuk mendorong perbaikan berkelanjutan (continuous improvement) di berbagai sektor, mulai dari manufaktur, bisnis jasa hingga layanan publik.

Sebagai sebuah siklus iteratif, PDCA memungkinkan organisasi untuk merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, dan memperbaiki proses secara efektif dan sistematis, sehingga meningkatkan efisiensi dan mutu secara berkelanjutan. Kesederhanaan strukturnya menjadikan PDCA sebagai alat manajemen yang fleksibel dan mudah diterapkan di berbagai industri.

Hingga saat ini, PDCA telah menjadi panduan populer dalam praktik manajemen mutu, termasuk di dunia pendidikan tinggi. Banyak perguruan tinggi menerapkan siklus ini untuk memastikan standar akademik terpenuhi serta layanan pendidikan berjalan optimal. Namun, sesungguhnya setiap negara memiliki tantangan, budaya dan kebutuhan yang berbeda dalam implementasi sistem mutu.

PPEPP menjadi langkah inovatif dalam sistem mutu pendidikan tinggi di Indonesia, menyesuaikan prinsip manajemen mutu dengan konteks budaya dan regulasi nasional yang lebih relevan. Dengan penggunaan Bahasa Indonesia, konsep PPEPP diharapkan lebih mudah diingat, dihafal dan dipraktikkan perguruan tinggi di Indonesia.

Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”

PPEPP: Adaptasi Kontekstual

PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) dikembangkan sebagai model penjaminan mutu yang dirancang khusus perguruan tinggi di Indonesia. Berdasarkan Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, PPEPP tidak hanya bertujuan memastikan perguruan tinggi memenuhi Standar Nasional Dikti (sebagai standar minimal), tetapi juga mendorong institusi untuk secara sistematis melampaui standar nasional. Dengan demikian, PPEPP menjadi tools untuk peningkatan mutu pendidikan tinggi yang berkelanjutan dan berdaya saing tinggi.

Jika PDCA menitikberatkan pada tindakan evaluasi (check) dan korektif (act) sebagai dasar perbaikan, PPEPP menegaskan bahwa pengendalian (P) merupakan langkah strategis untuk menjaga konsistensi mutu, sementara peningkatan (P) menjadi komitmen berkelanjutan dalam mendorong standar mutu, naik ke tingkat yang lebih tinggi.

Dengan struktur iterasi yang lebih eksplisit dan sistematis, PPEPP memungkinkan perguruan tinggi beradaptasi secara dinamis terhadap perbaikan kebijakan dan tantangan dalam dunia pendidikan. PPEPP diharapkan dapat menjadi model yang lebih kontekstual bagi ekosistem pendidikan tinggi di Indonesia.

Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier

PDCA vs. PPEPP

Kesamaan antara PPEPP dan PDCA

Penetapan (P) standar dalam PPEPP sejalan dengan tahap Plan” dalam PDCA, di mana perguruan tinggi menyusun standar-standar dan target-target yang harus dicapai. Pelaksanaan (P) standar mencerminkan tahap Do”, yaitu menjalankan kebijakan dan strategi untuk memenuhi standar yang telah ditetapkan, secara efektif dan efisien.

Evaluasi (E) dalam PPEPP memiliki fungsi yang sama dengan tahapCheck” dalam PDCA, di mana lembaga melakukan evaluasi (monitoring, audit, menilai), apakah pelaksanaan standar telah sesuai dengan perencanaan awal (standar yang telah ditetapkan sebelumnya). Pengendalian (P) dan peningkatan (P) standar dalam PPEPP dapat dikaitkan dengan tahap Act dalam PDCA, yang bertujuan untuk melakukan tindakan koreksi, korektif dan preventif, bila ada ketidaksesuaian (KTS) dilapangan.

Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?

Perbedaan PPEPP dan PDCA

Meskipun PPEPP memiliki prinsip-prinsip yang sejalan dengan PDCA, terdapat beberapa perbedaan yang perlu diperhatikan.

Dalam PDCA, pengendalian (P) sering kali melebur dalam proses evaluasi dan tindakan perbaikan, sedangkan dalam PPEPP, aspek ini diberikan ruang yang lebih luas dan strategis.

Selain itu, PPEPP menempatkan peningkatan (P) sebagai tahap akhir yang lebih eksplisit dan berorientasi pada strategi jangka panjang. Jika PDCA menekankan perbaikan sebagai bagian dari siklus yang berulang, PPEPP menegaskan bahwa peningkatan (P) standar, harus menjadi target utama yang terus diperjuangkan oleh perguruan tinggi. Pendekatan ini mencerminkan komitmen pendidikan tinggi di Indonesia untuk tidak hanya memenuhi standar nasional Dikti (minimal), namun juga harus bisa melampaui dan terus berkembang menuju pencapaian standar internasional.

Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI

Baca juga: Revolusi Mutu Perguruan Tinggi dan SPMI Digital

Penutup

PPEPP menunjukkan bahwa konsep PDCA dapat diadaptasi secara fleksibel dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia dengan menyesuaikan karakteristik serta budaya institusional yang unik.

Pendekatan ini tidak hanya memastikan standar mutu terpenuhi, tetapi juga mendorong institusi untuk terus berkembang dan berinovasi secara berkelanjutan.

Bila terbuktif efektif dalam jangka panjang, PPEPP berpotensi menjadi inspirasi bagi pengembangan sistem penjaminan mutu di negara lain, terutama bagi mereka yang ingin membangun pendekatan yang lebih kontekstual dan selaras dengan karakter lokal. Kampus Anda ingin membuktikan? Stay Relevant!

Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Ancaman Lingkungan Ekternal

PPEPP Bukan Beban, Tapi Solusi, Benarkah?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Siklus ini sering dipersepsi sebagai beban tambahan yang tidak efisien, padahal PPEPP disusun dalam Undang-Undang no 12 tahun 2012 untuk memudahkan dan mengintegrasikan semua proses yang berhubungan dengan penjaminan mutu. Tantangan diduga terletak pada kurangnya pemahaman dan dukungan dari seluruh sivitas akademika, sehingga implementasinya dirasakan cukup berat.

Namun, jika dipahami, disosialisasikan dan dipraktikkan dengan tepat, PPEPP bukan sekadar prosedur administratif, namun sebuah solusi yang berpotensi untuk penguatan budaya kerja di perguruan tinggi. Siklus ini tidak hanya mendorong konsisten, namun juga membangun sistem kerja yang efisien dan berbasis pada peningkatan berkelanjutan. Dengan paradigma yang tepat, PPEPP dapat menjadi alat (tools) penting yang mendorong lembaga perguruan tinggi menuju mutu yang lebih baik secara menyeluruh.

Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?

PPEPP: Dipandang Beban?

Saat ini, menurut pengalaman penulis, masih banyak perguruan tinggi yang beranggapan bahwa PPEPP sebagai rangkaian proses yang birokratis dan sangat menyita waktu. Siklus PPEPP seperti evaluasi dan pengendalian sering kali dianggap sebagai tugas tambahan yang sulit dipraktikkan di tengah rutinitas pekerjaan sehari-hari.

Namun sebenarnya, jika dikelola dengan tepat, PPEPP bukanlah beban, melainkan solusi yang menyederhanakan proses kerja. Hal ini karena PPEPP dirancang untuk memberikan struktur yang jelas pada setiap aktivitas institusi, mulai dari penetapan hingga peningkatan standar. Dengan pendekatan ini, perguruan tinggi dapat mencegah kesalahan yang berulang melalui pengendalian yang sistematis dan menggunakan hasil evaluasi untuk melakukan peningkatan standar secara berkelanjutan.

Selain itu, PPEPP mendorong efisiensi melalui pemantauan (monitoring) rutin yang memastikan setiap langkah berjalan sesuai standar yang telah ditetapkan. Proses ini tidak hanya membantu organisasi bekerja lebih terorganisasi dan terukur, tetapi juga mengurangi beban pekerjaan di masa depan dengan mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah lebih awal. Dengan integrasi teknologi, seperti sistem manajemen mutu berbasis digital (sistem informasi manajemen), pelaksanaan PPEPP bahkan bisa dipermudah sehingga waktu dan sumber daya (resources) dapat dihemat tanpa mengurangi mutu pekerjaan.

Baca juga: Mutu Pendidikan Tinggi: Memahami Esensi dan Dampaknya

Tips Menerapkan PPEPP

Kunci utama agar PPEPP tidak terasa memberatkan adalah melakukan sosialisasi secara komprehensif kepada seluruh internal stakeholder. Semua pihak, mulai dari pimpinan hingga staf, perlu memahami jobdesk dan peran mereka dalam siklus ini. Jika semua pihak memahami manfaat siklus ini, mereka akan lebih mudah berpartisipasi secara aktif.

Tips berikutnya adalah menyederhanakan proses PPEPP dengan pemanfaatan teknologi. Aplikasi berbasis dashboard atau platform digital dapat membantu melacakan dokumen pelaksanaan, evaluasi, dan pengendalian secara otomatis melalui fitur “search”. Dengan demikian, PPEPP tidak lagi dianggap sebagai proses manual yang menyita waktu, namun menjadi proses yang praktis, efisien dan menyenangkan.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

SPMI dan Mutu Pendidikan Tinggi 1
SPMI dan Integrasi PPEPP

Integrasikan PPEPP

Hal ini sejalan dengan Permendikbudristek no 53 tahun 2023 pasal 1 (b) yang berbunyi: “Perguruan tinggi dalam mengimplementasikan SPMI mempunyai tugas: mengintegrasikan implementasi SPMI pada manajemen perguruan tinggi”. Contoh, penetapan standar SPMI dapat dilakukan bersamaan dengan rapat perencanaan awal semester. Evaluasi dan pengendalian dapat diintegrasikan ke dalam laporan mingguan atau bulanan. Sedangkan peningkatan standar dapat dilakukan pada saat program tinjauan manajemen bulanan.

Selain itu, komunikasikan dan sosialisasi hasil PPEPP perlu dilakukan kepada seluruh pihak agar mereka melihat dampaknya (impact) secara langsung. Ketika unit kerja, dosen dan staf memahami bahwa kontribusi mereka membawa hasil nyata, mereka akan semakin bersemangat dan merasa lebih termotivasi untuk terus terlibat dalam siklus ini.

Baca juga: Kebijakan SPMI: Pilar Utama Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi

Manfaat Besar PPEPP

PPEPP tidak hanya membantu lembaga perguruan tinggi mencapai akreditasi yang lebih baik, namun juga mendorong lingkungan kerja yang lebih transparan dan produktif. Evaluasi terbuka yang dilakukan secara rutin mendorong setiap unit untuk terus memperbaiki kinerjanya, sementara pengendalian dan peningkatan standar memastikan tidak ada penyimpangan yang merugikan.

Selain itu, PPEPP berperan penting dalam membangun budaya kerja yang berorientasi pada perbaikan berkelanjutan. Siklus yang diawat dengan baik akan mendorong setiap individu untuk terus meningkatkan mutu kerja mereka. Dampaknya tidak hanya terlihat pada peningkatan mutu pendidikan, namun juga pada terciptanya lingkungan kerja yang inklusif, di mana kontribusi setiap pihak diakui dan dihargai (diapresiasi), sehingga meningkatkan motivasi dan rasa memiliki terhadap lembaga perguruan tinggi.

Baca juga: Tak Kenal Maka Tak Sayang: Mengenal Lebih Dekat 6 Tujuan SPMI

Penutup

Siklus ini tidak hanya membantu perguruan tinggi memenuhi Standar Nasional Dikti (SN Dikti), namun juga membangun lingkungan kerja yang lebih sehat, efektif, dan berorientasi pada hasil. Dengan demikian SN Dikti tidak hanya dicapai, namun perguruan tinggi akan mampu melampaui dengan standar Dikti yang lebih tinggi.

Dengan paradigma (mindset) yang tepat, PPEPP Insya Alah dapat menjadi bagian dari DNA organisasi Anda. Sosialisasikan, sederhanakan, dan integrasikan ke dalam rutinitas sehari-hari. Siapkah? Jawabannya harus siap! Stay Relevant!

Baca juga: Lima Prinsip SPMI: Fondasi Kokoh Menuju Keunggulan Institusi


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

×

Layanan Informasi

× Hubungi Kami