
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi merupakan kerangka kerja yang penting untuk memastikan tecapainya mutu pendidikan yang berkelanjutan dan peningkatan kinerja institusi (kaizen).
Implementasi SPMI yang efektif membutuhkan kepemimpinan yang “adaptif dan responsif” terhadap dinamika dan kebutuhan organisasi. Saat masih banyak pemimpin belum memahami sesara utuh bagaimana mengadaptasi gaya kepemimpinan dikaitkan dengan jenis karakteristik bawahan
Teori gaya kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard menyediakan pendekatan yang relevan untuk mengelola dan memperkuat SPMI di perguruan tinggi. Artikel singkat ini akan membahas penerapan gaya kepemimpinan situasional dalam konteks penguatan SPMI di perguruan tinggi. Semoga bermanfaat dan dapat menginspirasi dalam penetapan pola gaya kepemimpinan!
Hersey dan Blanchard mengembangkan teori gaya kepemimpinan situasional (situational leadership) yang mengidentifikasi 4 (empat) gaya utama, yaitu: instruktif (directing), pelatih (coaching), partisipatif (supporting), dan delegatif (delegating).
Teori ini menekankan pentingnya pemimpin untuk menyesuaikan gaya mereka (sesuai situasional bawahan) berdasarkan tingkat perkembangan, kompetensi, kedewasaan dan komitmen anggota tim.
Baca juga: SPMI dan Pilihan Gaya Kepemimpinan
Implementasi SPMI di perguruan tinggi memerlukan kepemimpinan yang adaptif dan responsif terhadap dinamika tim dan organisasi. Teori kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard menawarkan pendekatan yang fleksibel dan efektif untuk memperkuat SPMI di perguruan tinggi.
Dengan gaya kepemimpinan situasional yang disesuaikan dengan kesiapan /kematangan bawahan, hasil kerja yang diinginkan akan dapat diperoleh, karena bawahan akan memberikan kontribusi terbaik bila intervensi pemimpin telah disesuaikan dengan kematangan bawahan.
Dengan adaptasi gaya kepemimpinan berdasarkan tingkat perkembangan, kompetensi, dan komitmen anggota tim, pemimpin dapat meningkatkan efektivitas implementasi SPMI dan mencapai peningkatan mutu pendidikan yang berkelanjutan.
Integrasi gaya kepemimpinan instruktif, pelatih, partisipatif, dan delegatif dalam manajemen SPMI, membantu menciptakan lingkungan yang mendukung pembelajaran, kolaborasi, dan inovasi di perguruan tinggi. Stay Relevant!
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan suatu keharusan bagi perguruan tinggi dalam memastikan mutu pendidikan yang diberikan sesuai dengan standar pendidikan nasional dan internasional.
Keberhasilan implementasi SPMI sangat tergantung pada partisipasi dan komitmen dari seluruh elemen institusi, mulai dari pimpinan, dosen, hingga staf karyawan / administrasi.
Salah satu pendekatan alternatif yang dapat mendukung keberhasilan implementasi SPMI adalah penerapan teori penguatan dari B.F. Skinner. Teori penguatan ini menawarkan metode sistematis untuk memotivasi perilaku yang diinginkan melalui penguatan positif, penguatan negatif, hukuman, dan penghilangan (extinction).
Artikel singkat ini dibuat sebagai metode alternatif yang dapat digunakan untuk pengembangan kinerja SDM. Semoga bemanfaat!
Teori penguatan dari B.F. Skinner didasarkan pada konsep bahwa perilaku dapat dimodifikasi melalui “konsekuensi” yang mengikuti perilaku tersebut. Ada 4 (empat) komponen utama dalam teori ini:
Dengan mengimplementasikan teori penguatan dengan baik, perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan yang kondusif untuk peningkatan mutu berkelanjutan.
Penguatan positif dan penguatan negatif membantu membangun budaya mutu melalui penghargaan dan dukungan, sementara hukuman dan extinction (penghapusan) memastikan bahwa pelanggaran terhadap standar mutu tidak diabaikan.
Pendekatan melalui teori penguatan memungkinkan perguruan tinggi untuk secara aktif mengelola dan memotivasi seluruh elemen institusi untuk bersemangat dan berpartisipasi dalam pencapaian tujuan dan target SPMI.
Namun perlu juga disadari, penerapan teori penguatan tidak tanpa tantangan. Salah satu tantangan utama adalah memastikan bahwa penghargaan dan hukuman yang diberikan “adil dan konsisten”. Apakah manajemen mampu menjaga dua hal ini?
Tantangan lain, penguatan harus disesuaikan dengan kebutuhan (need) dan karakteristik individu atau departemen yang bersangkutan. Perguruan tinggi juga perlu memastikan bahwa seluruh staf karyawan dan dosen memahami tujuan dan manfaat dari sistem penguatan yang diterapkan.
Implementasi teori penguatan (reinforcement theory) dari B.F. Skinner dapat menjadi strategi yang efektif dalam meningkatkan keberhasilan SPMI di perguruan tinggi. Dengan menggunakan 4 (empat) kombinasi, yakni penguatan positif dan negatif, hukuman, serta extinction, perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan yang mendukung peningkatan mutu secara berkelanjutan (kaizen).
Meskipun ada tantangan dalam penerapannya, benefit yang diperoleh dari peningkatan kinerja dan kepatuhan terhadap standar mutu SPMI, membuat teori penguatan layak untuk dipertimbangkan dalam praktik manajemen mutu pendidikan tinggi.
Integrasi teori penguatan dalam SPMI dapat menjadi langkah strategis untuk mencapai tujuan institusional yang lebih tinggi (Renstra) dan memastikan mutu pendidikan yang terus meningkat. Stay Relevant!
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah alat penting (sistem mutu) yang digunakan oleh perguruan tinggi untuk memastikan mutu pendidikan yang diberikan. Meskipun tujuannya mulia, pelaksanaan SPMI sering kali dihadapkan pada tantangan kompleksitas administrasi dan birokrasi yang dapat menghambat efektivitasnya.
Dalam konteks ini, kesederhanaan (simplicity) dalam SPMI bisa menjadi bentuk “kecanggihan” (hasil kecerdasan) yang tidak hanya mempermudah implementasi tetapi juga meningkatkan efektivitas sistem itu sendiri.
Artikel ini mencoba mengeksplorasi bagaimana kesederhanaan dalam SPMI bisa menjadi kemewahan yang membawa manfaat signifikan bagi perguruan tinggi. Tentu saja untuk mencapai kemewahan ini, perlu kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas dan kerja ikhlas.
Implementasi SPMI sering kali melibatkan berbagai dokumen, seperti kebijakan SPMI, siklus PPEPP, berbagai jenis standar, prosedur, dan formulir yang harus disiapkan, diisi, dan diolah oleh berbagai pihak di perguruan tinggi. Kompleksitas / kerumitan ini dapat mengakibatkan beberapa persoalan penting, seperti:
Kesederhanaan dalam SPMI dapat membantu mengatasi berbagai masalah tersebut. Dengan menyederhanakan dokumen, prosedur dan mengurangi beban administratif, perguruan tinggi dapat lebih fokus pada peningkatan mutu pendidikan. Kesederhanaan (simplicity) dalam SPMI bisa diwujudkan melalui beberapa cara:
Leonardo da Vinci: menyebutkan “Simplicity is the ultimate sophistication.” Kesederhanaan adalah kecanggihan tertinggi. Kesederhanaan dalam SPMI tidak hanya mempermudah proses implementasi tetapi juga membawa berbagai manfaat lain yang dapat dianggap sebagai bentuk kecanggihan atau “kemewahan”:
Baca juga: Menyederhanakan Dokumen SPMI
Kesederhanaan (simplicity) dalam SPMI adalah bentuk kemewahan (kecanggihan tertinggi) yang dapat membawa berbagai manfaat bagi perguruan tinggi.
Dengan menyederhanakan dokumen, prosedur dan mengurangi beban administratif, perguruan tinggi dapat lebih fokus pada esensi dari penjaminan mutu: peningkatan mutu pendidikan. Mutu pendidikan berarti peningkatan kepuasan dari segenap stakeholder. Dengan melalui siklusi PPEPP, perbaikan secara terus menerus dapat dilakukan.
Implementasi SPMI yang sederhana tidak hanya meningkatkan efisiensi dan efektivitas tetapi juga meningkatkan keterlibatan dan responsivitas institusi. Dalam dunia pendidikan tinggi yang semakin kompleks, kemampuan untuk mengapresiasi dan mengadopsi kesederhanaan menjadi nilai yang sangat berharga. Stay Relevant!
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) bertujuan untuk memastikan bahwa perguruan tinggi menjalankan peran dan fungsinya dengan standar mutu “yang tinggi” dan berkelanjutan.
Namun, keberhasilan implementasi SPMI tidak hanya ditentukan oleh kebijakan, standar dan prosedur yang ada, tetapi juga oleh motivasi individu (pimpinan, dosen dan staf) yang terlibat dalam proses tersebut.
Motivasi intrinsik, yang berasal dari dalam diri sendiri, memainkan peran penting dalam mencapai hasil yang diinginkan, khususnya pencapaian target-target standar SPMI.
Motivasi intrinsik merupakan motivasi yang muncul dari dalam diri untuk mencapai sesuatu demi memuaskan diri sendiri dan tanpa dipengaruhi oleh imbalan dari eksternal.
Motivasi intrinsik merujuk pada dorongan (drive) yang berasal dari dalam diri individu, seperti rasa pencapaian, kepuasan pribadi, dan minat terhadap tugas yang dilakukan.
Berbeda dengan motivasi ekstrinsik yang dipicu oleh faktor eksternal seperti hadiah, penghargaan atau ancaman hukuman. Motivasi intrinsik lebih bersifat personal dan berkelanjutan.
Motivasi intrinsik memainkan peran sangat penting bagi keberhasilan organisasi karena:
Baca juga: SPMI dan Teori Motivasi Maslow
Guna penguatan capaian standar SPMI, penting sekali menumbuhkan motivasi intrinsik bagi segenap anggota organisasi.
Berikut beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan oleh perguruan tinggi:
Pertama, menetapkan Standar SPMI (target) yang menantang (attainable) namun dapat dicapai. Hal ini dapat memotivasi individu untuk berkomitmen dan berusaha lebih keras. Standar SPMI yang jelas (spesific) dan menantang memberikan rasa pencapaian dan kepuasan ketika berhasil dicapai.
Kedua, memberikan otonomi (desentralisasi pengambilan keputusan) kepada unit kerja, dosen, staf, dan mahasiswa dalam proses penjaminan mutu. Hal ini dapat meningkatkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab anggota tim. Otonomi memungkinkan anggota tim untuk mengambil keputusan yang relevan dengan tugas mereka, yang pada akhirnya dapat meningkatkan motivasi intrinsik.
Ketiga, mengakui dan menghargai upaya-upaya yang dilakukan oleh anggota tim (unit kerja). Pemberian penghargaan dalam proses penjaminan mutu akan dapat meningkatkan motivasi intrinsik anggota tim. Pengakuan ini bisa dalam bentuk ucapan selamat, pemberian sertifikat, pujian, penghargaan, atau kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
Keempat, memberi kesempatan/peluang bagi dosen, staf, dan mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan mereka melalui berbagai kegiatan, seperti workshop, pelatihan dan pengembangan profesional. Individu yang merasa berkembang dan belajar hal-hal baru cenderung lebih bersemangat dan termotivasi.
Kelima, menciptakan lingkungan kerja yang positif dan mendukung dapat meningkatkan motivasi intrinsik anggota tim. Ini mencakup hubungan yang baik antar anggota tim, saling sapa, komunikasi yang efektif, dan suasana kerja yang menyenangkan.
Baca juga: SPMI dan Peran Motivasi
Menumbuhkan motivasi intrinsik di kalangan dosen, staf, dan mahasiswa merupakan hal penting bagi keberhasilan implementasi SPMI di perguruan tinggi.
Dengan memberikan otonomi, menetapkan standar SPMI yang menantang, mengakui semanat dan usaha tim, menyediakan kesempatan pengembangan diri, dan menciptakan lingkungan kerja yang positif, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa individu yang terlibat dalam proses penjaminan mutu merasa termotivasi dan berkomitmen terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Strategi-strategi yang dijabarkan diatas, tidak hanya meningkatkan kinerja (performance) individu namun juga memperkuat sistem penjaminan mutu SPMI secara keseluruhan. Stay Relevant!
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi merupakan mekanisme yang dirancang untuk memastikan bahwa semua proses pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan.
Ketentuan Pemerintah Republik Indonesia tentang kebijakan SPMI diatur dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, pasal 67 sampai dengan pasal 70.
Dalam struktur organisasi perguruan tinggi, yang sering digunakan untuk menjalankan tugas-tugas SPMI adalah Unit Penjaminan Mutu (UPM) atau nama sejenis seperti Lembaga Penjaminan Mutu (LPM), Pusat Penjaminan Mutu (PPM) dan lain-lain.
Lebih lanjut, dalam pasal 69 ayat 1 dan 1(b), disebutkan: Perguruan tinggi dalam mengimplementasikan SPMI mempunyai tugas: mengintegrasikan implementasi SPMI pada manajemen perguruan tinggi.
Mengintegrasikan implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) pada manajemen perguruan tinggi berarti memasukkan kebijakan, prinsip, prosedur, dan standar mutu yang ditetapkan dalam SPMI ke dalam “seluruh aspek” manajemen perguruan tinggi.
Untuk mewujudkan hal tersebut, ada tiga alternatif pilihan struktur yang bisa digunakan:
Dari tiga alternatif diatas, manakah yang lebih cocok?
Untuk menjawab pertanyaan diatas, kita dapat belajar dari pengalaman penerapan fungsi Management Representative (MR) dalam standar ISO 9001.
ISO 9001 adalah standar internasional untuk sistem manajemen mutu yang berfokus pada konsistensi dan perbaikan berkelanjutan (kaizen). Salah satu elemen yang diatur dalam versi sebelumnya dari ISO 9001 adalah adanya fungsi Management Representative (MR), yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa sistem manajemen mutu dijalankan dengan benar dan sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Namun, dalam versi terbaru ISO 9001:2015, peran MR “tidak lagi diwajibkan”. Hal ini dilakukan untuk memberikan fleksibilitas lebih banyak kepada organisasi dalam mengelola sistem manajemen mutu mereka, dengan cara “mengintegrasikan” tanggung jawab mutu ke seluruh organisasi, daripada mengandalkan pada satu unit kerja saja.
Meniadakan peran MR dalam ISO 9001 (tidak mewajibkan) memberikan beberapa pelajaran penting yang dapat diaplikasikan dalam konteks SPMI di perguruan tinggi:
Meskipun ada pelajaran dari penghapusan peran MR dalam ISO 9001, beberapa kalangan masih menganggap UPM (unit penjaminan mutu) tetap diperlukan. UPM dianggap masih memiliki peran penting dalam konteks SPMI di perguruan tinggi. Alasannya yaitu:
Dalam konteks ini, masing-masing pilihan memiliki plus minus yang perlu dipertimbangkan, diantaranya:
Jadi terkait perlu tidaknya unit khusus SPMI, berikut ada beberapa pilihan yang bisa dipertimbangkan:
Opsi Menetapkan UPM:
Opsi Menghapus atau Mengadaptasi UPM:
Dalam konteks SPMI, struktur yang paling efektif adalah yang memastikan bahwa tanggung jawab mutu ditangani secara menyeluruh oleh manajemen puncak (embedded), sementara unit atau tim khusus seperti UPM dapat ditetapkan atau diadaptasi (situasional) sesuai dengan kebutuhan operasional dan kompleksitas lembaga pendidikan. Stay Relevant!
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah kebijakan yang dirancang untuk memastikan bahwa perguruan tinggi di Indonesia dapat mencapai dan mempertahankan standar mutu pendidikan yang tinggi.
Ketentuan tentang kebijakan SPMI diatur dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, pasal 67 sampai dengan pasal 70.
Meskipun SPMI telah cukup lama diimplementasikan di berbagai perguruan tinggi, namun tingkat keberhasilannya bervariasi. Masih ada perguruan tinggi yang belum maksimal mengimplementasikan SPMI dengan benar.
Artikel ini mencoba menggunakan model implementasi kebijakan George Edward III untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keberhasilan implementasi SPMI.
George Edward III, seorang akademisi dan penulis terkemuka dalam bidang ilmu politik dan kebijakan publik, mengidentifikasi empat variabel kunci yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan:
Berikut diuraikan kendala, analisis dan rekomendasi dari 4 (empat) variabel kunci:
Baca juga: Penguatan SPMI melalui Komunikasi Internal Perguruan Tinggi
Baca juga: Pentingnya Semangat Inovasi dalam SPMI
Baca juga: Program Pelatihan MutuPendidikan
Baca juga: Penguatan SPMI melalui Struktur “Agile” di Perguruan Tinggi
Model implementasi kebijakan George Edward III memberikan kerangka kerja yang komprehensif untuk memahami dan menganalisis keberhasilan implementasi SPMI.
Keempat variabel yang diidentifikasi oleh Edward III saling berhubungan, berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Misalnya, komunikasi internal yang efektif dapat membantu mengatasi kekurangan sumber daya dengan memastikan bahwa sumber daya yang ada digunakan secara optimal (efisien).
Saling mendukung dan saling memperkuat, disposisi pelaksana yang positif dapat mengimbangi kekurangan dalam struktur birokrasi, sementara sumber daya (resources) yang cukup dapat mendukung komunikasi yang lebih baik.
Baca juga: Kendala dan Tantangan Implementasi SPMI: Teori Van Meter dan Van Horn
Implementasi SPMI pada perguruan tinggi di Indonesia menghadapi berbagai kendala dan tantangan yang cukup kompleks. Ada yang berhasil mengimplementasikan, namun ada juga yang belum berhasil.
Dengan menggunakan model implementasi kebijakan dari George Edward III, artikel ini menguraikan 4 (empat) faktor kunci yang mempengaruhi keberhasilan implementasi SPMI.
Rekomendasi yang diberikan pada uraian diatas, diharapkan dapat membantu perguruan tinggi meningkatkan efektivitas implementasi SPMI dan mencapai tujuan peningkatan mutu pendidikan. Stay Relevant!
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan kebijakan publik yang dirancang untuk meningkatkan dan memastikan mutu pendidikan perguruan tinggi di Indonesia. SPMI melibatkan serangkaian proses yang sistematis untuk menetapkan, melaksanakan, mengevaluasi, mengendalikan, dan meningkatkan standar mutu pendidikan.
Kebijakan SPMI dituangkan dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, pasal 67 sampai dengan pasal 70.
Meskipun demikian, implementasi SPMI sering kali menghadapi berbagai kendala dan tantangan di lapangan. Masih cukup banyak perguruan tinggi yang belum memahami bagaimana melaksanakan proses implementasi SPMI dengan benar.
Artikel ini mencoba mengulas fenomena ini dengan menggunakan teori Van Meter dan Van Horn. Model ini dapat digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi SPMI di perguruan tinggi.
Teori implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn menekankan 6 (enam) variabel utama yang mempengaruhi implementasi kebijakan:
Berikut akan diuraikan satu persatu dalam enam variabel utama yang mempengaruhi keberhasilan kebijakan implementasi SPMI:
Baca juga: Penguatan SPMI melalui Komunikasi Internal Perguruan Tinggi
Baca juga: Dampak VUCA Terhadap SPMI
Baca juga: Membangun Komitmen dalam SPMI
Analisis kendala dan tantangan dalam implementasi SPMI menggunakan pendekatan teori Van Meter dan Van Horn menunjukkan bahwa keberhasilan implementasi Kebijakan SPMI sangat bergantung pada (6) enam variabel utama tersebut.
Dengan memahami dan mengatasi kendala serta tantangan tersebut, perguruan tinggi InsyaAllah akan dapat meningkatkan efektivitas implementasi SPMI dan mencapai tujuan peningkatan mutu pendidikan.
Implementasi SPMI di perguruan tinggi menghadapi berbagai kendala dan tantangan yang cukup kompleks termasuk perubahan faktor eksternal yang sangat dinamis.
Menggunakan pendekatan teori implementasi kebijakan dari Van Meter dan Van Horn, artikel ini menguraikan faktor-faktor kunci yang mempengaruhi keberhasilan implementasi SPMI.
Dengan strategi dan pendekatan yang tepat untuk mengatasi kendala dan tantangan ini, perguruan tinggi dapat meningkatkan mutu pendidikan secara berkelanjutan. Stay Relevant!
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan mekanisme yang esensial bagi perguruan tinggi untuk memastikan bahwa proses Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat) memenuhi standar mutu yang diinginkan.
Keberhasilan implementasi SPMI sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan yang digunakan.
Kurt Lewin, seorang pakar psikolog, mengajukan Teori 3 (tiga) Gaya Kepemimpinan yaitu: gaya otoriter, gaya demokratis, dan gaya laissez-faire.
Artikel singkat ini mencoba mengulas bagaimana model gaya kepemimpinan dari Lewin dapat diterapkan dalam konteks SPMI. Penerapan gaya kepemimpinan yang sesuai, InsyaAllah akan membantu untuk mencapai peningkatan mutu yang berkelanjutan di perguruan tinggi.
Hasil penelitian Kurt Lewin dan tim kerjanya mengidentifikasi 3 (tiga) gaya kepemimpinan utama, yaitu:
Proses “Kaizen” dalam SPMI dilakukan melalui “Siklus PPEPP”, berikut contoh pemilihan gaya kepemimpinan yang sesuai:
Gaya kepemimpinan yang efektif adalah kunci keberhasilan implementasi SPMI di perguruan tinggi. Dengan menerapkan prinsip-prinsip dari Teori Gaya Kepemimpinan Lewin, pemimpin dapat menyesuaikan pendekatan mereka untuk memenuhi kebutuhan spesifik dalam setiap tahap SPMI.
Setiap perguruan tinggi memiliki tingkat kematangan bawahan yang berbeda beda, tentu memerlukan gaya kepemimpinan yang disesuaikan. Lewin menawarkan 3 (tiga) gaya kepemimpinan.
Kepemimpinan demokratis, dengan kolaborasi, partisipasi dan keterlibatan yang tinggi, umumnya paling efektif untuk mendorong komitmen dan kolaborasi yang diperlukan dalam peningkatan mutu berkelanjutan (kaizen).
Namun, dalam situasi-situasi tertentu, kepemimpinan otoriter (tegas) atau laissez-faire (pelimpahan penuh) juga dapat diterapkan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Stay Relevant!
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi adalah mekanisme yang disusun oleh Kementerian Pendidikan untuk memastikan bahwa institusi pendidikan tinggi mencapai dan mempertahankan standar mutu yang diinginkan.
Implementasi SPMI yang efektif tentu bukan suatu pekerjaan yang mudah, memerlukan motivasi tinggi dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholder), terutama tenaga struktural, pimpinan, dosen dan karyawan.
Tenaga strutural perguruan tinggi, dengan “dikomandani” oleh pimpinan (Rektor, Direktur, Ketua), wajib menjalankan siklus PPEPP agar implementasi SPMI dapat berjalan efektif.
Permasalahannya adalah sejauh mana tenaga struktural perguruan tinggi (khususnya pimpinan) berhasil “memotivasi” para staf (dosen dan karyawan) agar mampu memberikan karya terbaik untuk peningkatan standar mutu pendidikan?
Teori Dua Faktor (2 factors theory) atau sering disebut Teori “Motivasi-Higiene” dikembangkan oleh Frederick Herzberg, seorang psikolog yang memfokuskan penelitiannya pada motivasi kerja karyawan. Teori 2 Faktor ini, pertama kali diperkenalkan melalui bukunya “The Motivation to Work” yang diterbitkan pada tahun 1959.
Herzberg melakukan penelitian dengan mewawancarai lebih dari 200 insinyur dan akuntan untuk memahami faktor-faktor apa saja yang menyebabkan mereka puas atau tidakpuas di dunia kerja.
Dalam konteks tersebut, Teori Dua Faktor yang dikembangkan oleh Herzberg dapat memberikan “wawasan berharga” tentang bagaimana memotivasi tenaga struktural perguruan tinggi untuk mendukung dan berkontribusi secara efektif terhadap keberhasilan SPMI.
Faktor Motivator (intrinsic Factors) berkaitan dengan “isi” pekerjaan itu sendiri dan dapat meningkatkan motivasi dan kepuasan kerja. Faktor ini terdiri dari:
Faktor Higiene (extrinsic factors) berkaitan dengan konteks pekerjaan dan tidak secara langsung meningkatkan kepuasan kerja, tetapi “ketidakhadiran” faktor-faktor ini dapat menyebabkan ketidakpuasan kerja.
Penerapan teori 2 (dua) Faktor Herzberg dalam implementasi SPMI dapat membantu perguruan tinggi meningkatkan motivasi dan kepuasan dosen dan karyawan.
Dengan memenuhi “faktor motivator” (untuk meningkatkan kepuasan kerja) dan memenuhi “faktor higiene” (untuk mengurangi ketidakpuasan), InsyaAllah institusi pendidikan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih produktif dan mendukung keberhasilan SPMI. Stay Relevant!
Di era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity), lembaga pendidikan dihadapkan pada tantangan besar untuk menjaga relevansi dan kualitas pendidikan.
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah alat penting yang digunakan oleh perguruan tinggi di Indonesia untuk memastikan bahwa standar kualitas tetap terjaga.
Namun, dalam lingkungan yang terus berubah dan penuh ketidakpastian, standar SPMI ini harus diupayakan tetap adaptif dan fleksibel agar tetap relevan.
Artikel singkat ini mencoba mengulas bagaimana perguruan tinggi dapat menjaga relevansi standar SPMI di era VUCA.
VUCA adalah konsep yang menggambarkan dunia yang penuh dengan perubahan cepat dan tidak terduga (volatility), ketidakpastian (uncertainty), kompleksitas (complexity), dan ambiguitas (ambiguity).
Dalam konteks pendidikan tinggi, ini berarti bahwa dunia kampus harus siap menghadapi perubahan kebijakan nasional (perundang undangan), perkembangan teknologi, pergeseran kebutuhan pasar kerja, dan ekspektasi mahasiswa yang selalu berubah.
Standar SPMI yang terlalu kaku tidak akan mampu mengakomodasi perubahan yang cepat, bergejolak dan dinamis.
Ketidakpastian dalam lingkungan global / regional mempengaruhi stabilitas dan perencanaan jangka panjang perguruan tinggi, menuntut standar yang lebih adaptif.
Kompleksitas lingkungan pendidikan dengan berbagai variabel yang saling terkait memerlukan pendekatan yang lebih holistik dalam pengelolaan mutu.
Ambiguitas dalam interpretasi dan penerapan standar dapat menyebabkan inkonsistensi dalam pelaksanaan dan evaluasi.
Disamping berbagai tantangan diatas, Era VUCA juga menawarkan peluang (opportunities) bagi “penetapan” standar SPMI yang lebih inovatif dan fleksibel.
Standar yang dirancang untuk adaptabilitas memungkinkan perguruan tinggi untuk dengan cepat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan.
Penetapan standar SPMI yang mendukung inovasi dalam pengajaran dan penelitian dapat meningkatkan mutu pendidikan dan relevansi kurikulum.
Kolaborasi internasional yang didorong oleh standar mutu yang diakui secara global dapat meningkatkan reputasi, keunggulan dan daya saing perguruan tinggi.
Menjaga relevansi standar SPMI di era VUCA memerlukan pendekatan yang adaptif, fleksibel, dan inovatif.
Perguruan tinggi harus siap menghadapi tantangan volatilitas, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas (VUCA) dengan standar yang mampu mendukung kualitas dan konsistensi pendidikan.
Melalui pengembangan standar yang fleksibel, monitoring dan evaluasi berkala, inovasi dalam pengajaran dan penelitian, pemanfaatan teknologi, serta kolaborasi internasional, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa mereka tetap relevan dan kompetitif dalam lingkungan yang terus berubah. Stay Relevant and Agile!
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi