
" Your Path to Quality Education "
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Dalam dunia pendidikan tinggi, “mutu” sering kali dinilai dari betapa lengkapnya sebuah kampus mendokumentasikan proses akademik dan administratif. Namun, bagaimana bila semua prosedur itu berjalan dengan baik, tetapi lulusannya tidak siap menghadapi realitas dunia kerja? Inilah paradoks mutu yang kini ramai dibicarakan, bahkan menimpa institusi sekelas Harvard Business School (HBS).
Pada tahun 2024, HBS mengungkapkan bahwa sekitar 23% lulusannya belum mendapatkan pekerjaan tiga bulan setelah kelulusan. Ini bukan hanya angka, tapi sinyal bahwa sistem pendidikan yang terlihat sempurna di atas kertas belum tentu menjamin keberhasilan nyata. Pertanyaan penting pun muncul:
Jika lulusan Harvard saja menghadapi masalah ini, bagaimana dengan perguruan tinggi lainnya yang mungkin lebih terbatas dalam sumber daya dan koneksi global?
Di Indonesia, perguruan tinggi menggunakan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) sebagai kerangka kerja untuk menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan. SPMI didasarkan pada siklus PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan. Di atas kertas, sistem ini terlihat kokoh dan logis. Namun dalam praktik nyata, masih banyak kampus yang menjalankannya sebatas formalitas—berfokus pada dokumen, pelaporan, dan pemenuhan standar administratif.
Akibatnya, mutu yang dihasilkan lebih banyak berupa “kepuasan terhadap sistem”, bukan terhadap output atau outcome. Bahkan ketika tracer study dilakukan, hasilnya sering hanya menjadi data pelengkap borang akreditasi, bukan alat strategis untuk memperbaiki kurikulum dan pendekatan pembelajaran. Inilah yang menjadi titik kritis: mutu hanya terasa di rapat internal, bukan di kehidupan nyata lulusan.
Baca Juga: SPMI Stagnan? Mungkin Program Pelatihan Terabaikan!
Kita tentu tidak meragukan bahwa HBS memiliki profesor hebat, kurikulum terstruktur, dan metode pengajaran kelas dunia. Tapi ketika hampir seperempat lulusannya tidak langsung terserap oleh dunia kerja, itu menjadi bukti bahwa reputasi saja tidak cukup. Dunia kerja berubah jauh lebih cepat daripada sistem akademik bisa menyesuaikan diri.
Apa yang terjadi di Harvard bisa menjadi cermin bagi kita semua: sudah saatnya sistem mutu pendidikan menyesuaikan fokusnya. Bukan hanya menjamin bahwa proses akademik berlangsung sesuai standar, tetapi memastikan bahwa lulusan benar-benar memiliki kompetensi, fleksibilitas, dan kesiapan untuk masuk ke dunia kerja yang terus berubah.
Di sinilah SPMI harus hadir—bukan hanya sebagai penilai kesesuaian standar dan prosedur, tetapi sebagai jembatan antara kampus dan realitas lapangan.
Baca juga: Standar SPMI Harus Diperbarui, Kapan Waktu yang Tepat?
Siklus PPEPP idealnya menjadi “jantung” dari budaya mutu di kampus. Sayangnya, di banyak institusi, PPEPP diperlakukan seperti tahapan teknis yang harus dilewati demi akreditasi. Padahal, jika dijalankan secara reflektif dan berorientasi dampak, PPEPP bisa menjadi alat revolusioner. Penetapan standar tidak boleh hanya berdasarkan regulasi, tetapi juga harus mempertimbangkan kebutuhan nyata industri dan masyarakat.
Evaluasi pun tidak cukup dilakukan dengan menilai dokumen RPS atau ketercapaian SAP. Yang perlu dievaluasi adalah sejauh mana lulusan mampu menyelesaikan masalah dunia nyata. Apakah mereka bisa bekerja dalam tim lintas disiplin? Apakah mereka adaptif dengan teknologi? Apakah mereka membawa nilai tambah ke tempat kerja? Jika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini belum ada di sistem SPMI, maka PPEPP belum bekerja secara utuh.
Baca juga: SPMI Bukan Tanggung Jawab Satu Unit! Seluruh Civitas Akademika Harus Bergerak
Mutu pendidikan tidak boleh berhenti pada urusan internal. Ia harus terasa oleh lulusan, dirasakan oleh industri, dan dibuktikan oleh kontribusi nyata di masyarakat.
Ini berarti SPMI perlu mengalami transformasi cara pandang: dari sistem kepatuhan menjadi sistem kebermanfaatan.
Tracer study, umpan balik industri, serta performa lulusan di tahun pertama kerja harus menjadi indikator utama, bukan pelengkap laporan.
Revolusi SPMI bukan tentang mengganti semua yang ada, tetapi tentang menggeser fokus dari “apa yang dilakukan” menjadi “apa dampaknya”.
Ketika hal ini dilakukan, SPMI akan menjadi alat perubahan yang sejati—menggerakkan kampus bukan hanya untuk terlihat baik, tetapi untuk benar-benar menghasilkan lulusan yang siap hidup, siap kerja, dan siap menghadapi masa depan. Stay Relevant!
Baca juga: PPEPP Bukan Beban, Tapi Solusi, Benarkah?
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Penetapan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah fondasi penting dalam upaya perguruan tinggi menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan. Meskipun memiliki peran yang sangat krusial, banyak pihak di lingkungan kampus (anggota civitas akademika) yang belum sepenuhnya memahami alur proses di balik penetapan SPMI. Sebagian besar hanya melihat dokumen yang telah ditetapkan tanpa mengetahui perjalanan panjang yang harus dilalui untuk menghasilkan dokumen SPMI tersebut. Padahal, pemahaman terhadap alur penetapan ini sangat penting agar seluruh civitas akademika dapat berpartisipasi aktif dalam implementasi mutu.
Di balik setiap dokumen SPMI yang disahkan, terdapat rangkaian proses yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari tahap perumusan, pemeriksaan, persetujuan, hingga penetapan dan pengendalian. Setiap tahap memiliki peran yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Ketidakpahaman terhadap alur ini sering kali menimbulkan kesalahpahaman, bahkan dapat menghambat implementasi standar mutu di lapangan. Oleh karena itu, memahami proses ini bukan hanya tugas Lembaga (unit / pusat) Penjaminan Mutu (LPM), tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh elemen perguruan tinggi.
Baca juga: Dunia Berubah Cepat, Apakah Standar SPMI Kita Masih Relevan?
Perumusan menjadi langkah awal yang sangat krusial dalam penetapan SPMI. Pada tahap ini, Tim Penyusun SPMI yang terdiri dari perwakilan LPM, fakultas, program studi, serta unit-unit terkait bekerja sama untuk menyusun draf awal dokumen SPMI. Proses ini dimulai dengan pengumpulan data (analisis SWOT), kajian terhadap regulasi yang berlaku, serta identifikasi kebutuhan yang relevan dengan visi, diferensiasi misi, dan tujuan perguruan tinggi. Diskusi yang dilakukan kerap kali berlangsung intens dan penuh dinamika, sebab penyusunan dokumen SPMI harus mempertimbangkan berbagai sudut pandang dan kepentingan.
Dalam tahap ini, ada beberapa jenis dokumen SPMI yang perlu dirumuskan dan ditetapkan untuk menjadi pedoman utama dalam menjamin mutu pendidikan. Dokumen-dokumen tersebut meliputi: (1) Dokumen Kebijakan Mutu, yang berisi komitmen institusi terhadap mutu serta arah kebijakan strategis yang akan dijalankan; (2) Dokumen Standar Mutu, yang mencakup standar pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta standar tambahan yang disesuaikan dengan karakteristik perguruan tinggi; (3) Dokumen PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan), yang menjelaskan siklus penjaminan mutu secara menyeluruh; dan (4) Dokumen Prosedur Operasional Standar (POS) atau SOP, yang menguraikan langkah-langkah teknis dalam melaksanakan standar yang telah ditetapkan. Penyusunan dokumen-dokumen ini harus selaras dengan regulasi nasional, seperti Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti), serta menyesuaikan dengan kebutuhan internal perguruan tinggi agar dapat diterapkan secara efektif.
Sayangnya, tahap perumusan sering kali dipandang sebagai urusan segelintir orang saja. Padahal, kualitas draf yang dihasilkan sangat bergantung pada partisipasi aktif seluruh unit kerja. Ketika masukan dari program studi, departemen atau fakultas kurang maksimal, standar yang disusun berisiko tidak sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan. Oleh karena itu, keterlibatan seluruh elemen sejak awal sangat diperlukan agar dokumen yang disusun tidak hanya sesuai dengan regulasi, tetapi juga mudah diterapkan dan efektif dalam meningkatkan mutu.
Baca juga: SPMI dan Analisis SWOT: Mencermati “Ancaman” Eksternal
Setelah draf awal disusun, proses berlanjut ke tahap pemeriksaan. Pada tahap ini, Tim Reviewer yang berasal dari LPM atau auditor internal melakukan telaah mendalam terhadap dokumen yang telah dirumuskan. Tujuan pemeriksaan adalah untuk memastikan kesesuaian standar dengan regulasi, konsistensi isi, serta kelengkapan informasi yang dibutuhkan. Evaluasi ini dilakukan secara sistematis agar tidak ada bagian yang terlewat atau berpotensi menimbulkan kesalahpahaman saat implementasi. Dalam proses ini, penting untuk mewaspadai bahaya fenomena groupthink, yaitu kondisi di mana keinginan untuk mencapai kesepakatan bersama justru mengabaikan penilaian kritis dan pertimbangan alternatif yang lebih baik. Groupthink dapat mematikan sikap kritis, menghambat kreativitas, serta menyebabkan dokumen disetujui tanpa evaluasi yang mendalam. Oleh karena itu, reviewer harus berani menyampaikan pandangan yang berbeda, meskipun bertentangan dengan opini mayoritas, demi menghasilkan dokumen yang kuat dan berkualitas.
Tahap ini sering kali menjadi tantangan tersendiri karena reviewer bisa saja menemukan ketidaksesuaian yang memerlukan revisi substansial. Proses komunikasi antara tim penyusun dan reviewer harus berjalan efektif agar koreksi yang diberikan dapat dipahami dan diterapkan dengan tepat. Meskipun revisi berulang terasa melelahkan, proses ini penting untuk menghasilkan dokumen yang kuat, kredibel, dan aplikatif.
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Setelah lolos dari tahap pemeriksaan, dokumen SPMI diajukan untuk mendapatkan persetujuan dari pihak berwenang. Dalam lingkungan perguruan tinggi, proses ini biasanya melibatkan Senat Akademik, Badan Penyelenggara untuk perguruan tinggi swasta, atau langsung ditinjau oleh Rektor. Persetujuan ini bertujuan memastikan bahwa dokumen tidak hanya memenuhi aspek akademik, tetapi juga memenuhi standar administratif dan legal yang berlaku.
Namun, tahap persetujuan sering kali menjadi titik krusial yang memakan waktu. Perbedaan persepsi antara penyusun dan pihak yang memberikan persetujuan bisa terjadi, sehingga dibutuhkan dialog yang konstruktif untuk mencapai kesepakatan.
Pada tahap ini, penting adanya kepemimpinan yang transformasional dan berwibawa, yang mampu menginspirasi semua pihak untuk fokus pada tujuan bersama tanpa kehilangan arah.
Pemimpin yang cakap dalam manajemen konflik dapat menengahi perbedaan pendapat dengan adil dan bijaksana, memastikan bahwa setiap argumen didengar tanpa menimbulkan ketegangan yang berkepanjangan. Komitmen semua pihak terhadap kepentingan mutu menjadi kunci agar dokumen dapat disahkan tepat waktu tanpa mengabaikan kualitas substansi yang ada.
Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI
Penetapan merupakan puncak dari seluruh rangkaian proses penyusunan SPMI. Pada tahap ini, Rektor atau pimpinan perguruan tinggi secara resmi menetapkan dokumen melalui Surat Keputusan (SK). Penetapan ini memberikan legitimasi dan menjadikan dokumen tersebut sebagai pedoman wajib yang harus diikuti oleh seluruh unit kerja. Setelah ditetapkan, dokumen biasanya disosialisasikan agar seluruh civitas akademika memahami isi dan tujuan dari standar yang ditetapkan. Sosialisasi ini penting untuk memastikan implementasi dapat berjalan secara efektif di semua tingkatan.
Meskipun tampak sederhana, tahap ini tetap memerlukan perhatian khusus. Penetapan yang dilakukan secara tergesa-gesa tanpa pemahaman mendalam dapat menimbulkan kesalahan dalam implementasi, yang berujung pada ketidaksesuaian pelaksanaan standar di lapangan. Oleh karena itu, sebelum dokumen ditandatangani, penting untuk memastikan bahwa seluruh pihak yang terkait telah siap menerapkan standar yang ada. Penetapan bukan sekadar formalitas administratif, tetapi merupakan wujud komitmen nyata untuk menjalankan sistem mutu secara berkesinambungan.
Selain itu, perlu disadari bahwa dokumen SPMI yang telah ditetapkan tidak bersifat statis. Seiring berjalannya waktu, perubahan regulasi, perkembangan teknologi, dan dinamika internal perguruan tinggi dapat membuat dokumen tersebut menjadi tidak relevan lagi.
Oleh karena itu, sangat disarankan agar review dan penetapan ulang dokumen SPMI dilakukan minimal satu tahun sekali. Namun, apabila terdapat kondisi yang mendesak seperti perubahan kebijakan nasional atau kebutuhan mendesak di internal kampus, pembaruan dapat dilakukan lebih cepat. Peninjauan berkala ini penting untuk menjaga agar standar mutu yang diterapkan tetap relevan, adaptif, dan mampu menjawab tantangan yang terus berkembang.
Baca juga: SPMI dan Stay Relevant
Tahap terakhir dalam alur penetapan SPMI adalah pengendalian. Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) berperan penting dalam tahap ini untuk memastikan implementasi standar berjalan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Pengendalian dilakukan melalui monitoring rutin, Audit Mutu Internal (AMI), serta evaluasi berkala (assesment) untuk mengidentifikasi potensi perbaikan. Tujuan utamanya adalah menjaga konsistensi mutu dan memastikan bahwa standar yang telah disepakati tidak hanya berhenti di dokumen. Dalam proses ini, penting bagi pimpinan perguruan tinggi untuk menjaga kehormatan dan kewibawaan LPM serta para auditor.
Penghormatan terhadap otoritas LPM dan integritas auditor akan mendorong seluruh unit kerja untuk mematuhi hasil audit dan menindaklanjuti rekomendasi yang telah ditetapkan dengan penuh tanggung jawab.
Dengan demikian, seluruh pihak dapat menyadari bahwa audit bukanlah sarana untuk mencari kesalahan, melainkan alat bantu untuk memperbaiki kinerja secara berkelanjutan.
Pengendalian yang efektif membutuhkan kerja sama antara LPM dan seluruh unit kerja. Pimpinan unit kerja harus aktif merespons hasil audit dan merealisasikan rekomendasi yang diberikan. Ketika semua pihak taat terhadap hasil audit dan rekomendasi yang ada, budaya mutu akan tertanam kuat dan menjadi bagian dari keseharian di lingkungan kampus. Kepemimpinan yang tegas namun bijaksana dari pimpinan institusi dalam mendukung peran LPM sangat diperlukan agar proses pengendalian berjalan optimal, efektif, dan berkelanjutan.
Di era kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang terus berkembang pesat, penyusunan SPMI tidak lagi hanya berfokus pada regulasi dan penulisan dokumen. Tim penyusun dituntut memiliki kompetensi yang lebih adaptif, visioner, dan inovatif untuk menghadapi tantangan globalisasi serta perkembangan teknologi. Kemampuan memanfaatkan teknologi canggih seperti big data analytics, aplikasi berbasis AI, dan sistem informasi manajemen mutu berbasis digital menjadi kebutuhan yang tak terelakkan.
Selain itu, semangat kewirausahaan (entrepreneurship) juga sangat penting. Tim penyusun perlu berani berpikir out of the box, menciptakan solusi inovatif untuk perbaikan mutu, serta mampu melihat peluang di tengah tantangan. Memiliki visi yang kuat dan berorientasi ke depan menjadi kunci agar dokumen yang disusun tidak hanya relevan untuk saat ini, tetapi juga mampu mengantisipasi kebutuhan di masa depan.
Tak kalah penting, perguruan tinggi juga perlu menerapkan prinsip mission differentiation, yaitu strategi positioning yang menekankan pada penetapan misi unik dan berbeda dari institusi lain.
Penetapan misi yang kuat dan spesifik memungkinkan perguruan tinggi untuk menonjolkan keunggulan kompetitif yang sesuai dengan potensi, kebutuhan masyarakat, dan tren global. Melalui mission differentiation, penyusunan SPMI dapat diselaraskan dengan arah pengembangan institusi yang khas, sehingga standar mutu yang ditetapkan tidak hanya memenuhi persyaratan umum tetapi juga mendukung pencapaian visi dan misi yang membedakan perguruan tinggi dari yang lain. Pendekatan ini akan memperkuat daya saing sekaligus meningkatkan relevansi lulusan di pasar global dan lokal.
Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi
Alur penetapan SPMI bukanlah sekadar prosedur administratif yang harus dipenuhi, melainkan proses penting yang menentukan arah mutu perguruan tinggi. Setiap tahapan memiliki peran yang saling melengkapi dan memerlukan partisipasi aktif dari seluruh civitas akademika. Keberhasilan implementasi standar mutu tidak hanya ditentukan oleh kualitas dokumen, tetapi juga komitmen semua pihak untuk menjalankannya secara konsisten.
Kini, setelah memahami alur penetapan SPMI yang sering luput dari perhatian, pertanyaannya adalah: Apakah Anda hanya akan menjadi penonton? Atau siap mengambil peran dalam menciptakan budaya mutu yang berkelanjutan di lingkungan perguruan tinggi Anda? Stay Relevant!
Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Di tengah upaya besar-besaran kampus untuk menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan, muncul satu ironi yang menggelitik: lulusan yang dianggap hebat oleh sistem internal kampus justru tidak terserap oleh dunia kerja. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di pusat-pusat pendidikan terkemuka dunia.
Ambil contoh Harvard Business School (HBS), salah satu sekolah bisnis paling prestisius di dunia. Pada tahun 2024, sebanyak 23% lulusannya belum mendapatkan pekerjaan dalam tiga bulan setelah kelulusan. Ini menjadi pukulan telak bagi institusi yang selama ini dikenal dengan kualitas pengajaran dan kekuatan jejaring alumninya. Apa yang salah? Apakah sistem pendidikan tidak lagi selaras dengan kebutuhan industri?
Baca juga: Mengapa GKM Gagal? Studi Kebutuhan Maslow dalam Manajemen Mutu
Di Indonesia, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) menjadi alat utama dalam menjaga mutu pendidikan tinggi. Lewat siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan—setiap perguruan tinggi memiliki mekanisme untuk menilai dan memperbaiki diri. Namun, satu persoalan besar muncul: banyak kampus yang menjalankan siklus ini hanya dengan menilai diri sendiri, tanpa membuka ruang dialog yang cukup dengan pengguna lulusan—yakni dunia kerja.
Dalam banyak kasus, evaluasi mutu hanya berputar pada dokumen internal: laporan pelaksanaan, hasil survei kepuasan mahasiswa, atau ketercapaian kurikulum.
Padahal, indikator mutu sejati bukan hanya seberapa baik kampus mengajar, tapi seberapa relevan hasil pengajarannya terhadap kebutuhan industri.
Jika umpan balik dari industri tak masuk dalam proses evaluasi, maka kampus hanya akan memperbaiki diri berdasarkan cermin internal (persepsi internal), bukan realita eksternal.
Baca juga: SPMI Tanpa Teknologi Digital? Bersiaplah Hadapi Kegagalan!
SPMI bukan sekadar sistem untuk mengamankan akreditasi. Ia seharusnya menjadi sistem reflektif dan adaptif yang mampu menyerap perubahan zaman dan tuntutan dunia kerja. Sayangnya, banyak perguruan tinggi masih melihat industri sebagai mitra sekunder—bukan sebagai bagian integral dalam proses penjaminan mutu.
Tracer study yang dilakukan seringkali hanya menjadi kewajiban administratif, tanpa benar-benar dimanfaatkan untuk membaca tren. Padahal, umpan balik dari perusahaan pengguna lulusan seharusnya menjadi bahan bakar utama bagi proses evaluasi dan peningkatan mutu. Ketika industri menyatakan lulusan kurang siap, maka itu bukan kritik, tapi petunjuk arah. Dan SPMI harus cukup lentur untuk menampung suara itu dan menerjemahkannya menjadi kebijakan akademik yang konkret.
Baca juga: SPMI Gagal Total? Jangan Salahkan Sistem, Perbaiki Komunikasi!
Siklus PPEPP selama ini cenderung bersifat teknokratis: standar ditetapkan, pelaksanaan dilaporkan, evaluasi disusun, pengendalian dilakukan, dan peningkatan ditargetkan. Namun, proses ini seringkali terjadi dalam ruang tertutup. Penetapan standar jarang melibatkan stakeholder eksternal, padahal standar tanpa dialog bisa berujung pada asumsi yang salah arah.
Sudah saatnya siklus PPEPP diperkaya dengan suara dari luar kampus. Evaluasi tidak hanya berasal dari hasil akademik, tetapi juga dari performa lulusan di lapangan. Peningkatan tidak hanya merespons nilai evaluasi internal, tetapi juga kebutuhan industri. Dengan begitu, PPEPP akan menjadi siklus hidup yang menyatukan dunia kampus dengan dunia nyata.
Baca juga: Standar SPMI Harus Diperbarui, Kapan Waktu yang Tepat?
Relevansi pendidikan tinggi tidak lagi bisa hanya ditentukan dari dalam. Dunia kerja terus berubah—baik dari sisi teknologi, pola kerja, maupun kebutuhan kompetensi. Jika kampus ingin tetap relevan, maka mereka harus membuka telinga terhadap apa yang dibutuhkan di luar tembok akademik.
SPMI harus berevolusi menjadi sistem yang responsif terhadap suara industri. Bukan untuk menyerahkan pendidikan sepenuhnya pada logika pasar, tetapi untuk memastikan bahwa apa yang diajarkan benar-benar berguna, dan apa yang dicapai di kelas tidak tertinggal dari kenyataan di luar. Karena pada akhirnya, mutu pendidikan bukan hanya tentang proses yang baik, tetapi tentang hasil yang bermakna. Stay Relevant!
Baca juga: Ketika Dosen dan Staf Gagal Paham SPMI, Siapa yang Bertanggung Jawab?
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dirancang untuk memastikan bahwa mutu pendidikan di perguruan tinggi terus meningkat secara berkelanjutan. Namun, apakah hal ini benar-benar bisa terwujud? Jawabannya harus bisa—jika ingin menjadi institusi yang unggul!
Sayangnya, realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak dosen dan staf administrasi masih mengalami kebingungan dalam memahami konsep, kebijakan, dan implementasi SPMI.
Standar SPMI sering kali tidak dipahami dengan baik, kebijakan hanya dijalankan sebagai formalitas administratif, dan proses evaluasi mutu seperti Monitoring dan Evaluasi (Monev) serta Audit Mutu Internal lebih sering dianggap sebagai beban kerja tambahan daripada sebagai instrumen strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Alih-alih menjadi sistem yang membantu perguruan tinggi berkembang, SPMI justru terasa seperti kewajiban birokratis yang tidak memberikan dampak nyata.
Lalu, siapa yang bertanggung jawab atas kegagalan pemahaman ini? Apakah penyebabnya terletak pada kompleksitas kebijakan yang sulit dipahami? Apakah dosen dan staf kurang proaktif dalam mencari tahu dan memahami standar mutu yang berlaku? Ataukah perguruan tinggi sendiri yang gagal menyampaikan informasi dengan cara yang efektif dan mudah dipahami?
Jika SPMI masih menjadi sesuatu yang membingungkan bagi para pelaksana di lapangan, maka sudah saatnya kita mengevaluasi kembali sistem komunikasi, strategi sosialisasi, serta efektivitas program pelatihan. Mari kita kupas lebih dalam, karena peningkatan mutu tidak akan pernah terjadi jika pemahaman terhadap sistemnya saja masih penuh tanda tanya.
Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI
Banyak perguruan tinggi menghadapi kenyataan bahwa meskipun Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) telah diterapkan, pelaksanaannya di berbagai unit akademik, non akademik dan administratif masih jauh dari optimal.
Salah satu penyebab utama dari stagnasi ini adalah kurangnya komunikasi yang jelas mengenai hakikat filosofi SPMI, bagaimana siklus PPEPP berfungsi, serta cara menerapkan standar mutu dalam aktivitas akademik sehari-hari.
Ketika informasi terkait mutu hanya disajikan dalam dokumen panjang yang bersifat teknis dan sulit dipahami, jangan heran jika dosen dan staf “tidak merasa memiliki dan tidak merasa terlibat” dalam sistem tersebut. Jika komunikasi hanya dilakukan melalui surat edaran atau rapat formal sesekali, maka wajar jika masih banyak pihak yang mengalami kesalahpahaman atau bahkan tidak menyadari peran mereka dalam menjaga dan meningkatkan mutu institusi.
Di sinilah peran pimpinan dan unit penjaminan mutu (nama lain: lembaga/ pusat penjaminan mutu) menjadi sangat krusial. Kebijakan SPMI tidak boleh hanya disampaikan (membangun kognisi), tetapi juga harus dipahami dan dicintai (afeksi) agar pada akhirnya dapat diterapkan dengan baik (psikomotorik). Jika sistem komunikasi internal tidak berjalan secara efektif, maka kebijakan SPMI yang seharusnya menjadi panduan utama dalam peningkatan mutu hanya akan menjadi dokumen statis—tertulis tetapi tidak dihayati, ditetapkan tetapi tidak benar-benar diinternalisasi oleh seluruh civitas akademika.
Baca juga: Lima Prinsip SPMI: Fondasi Kokoh Menuju Keunggulan Institusi
Salah satu cara yang paling efektif untuk meningkatkan pemahaman terhadap SPMI adalah melalui pelatihan, lokakarya dan pendampingan yang berkelanjutan. Namun, di banyak perguruan tinggi, pelatihan SPMI sering kali hanya menjadi agenda seremonial tanpa dampak nyata.
Dosen dan staf diundang ke dalam sesi sosialisasi yang hanya berisi presentasi panjang tentang standar SPMI, tanpa ada mekanisme interaktif yang membantu mereka memahami “bagaimana menerapkan standar tersebut dalam tugas dan tanggung jawab mereka“. Tidak jarang pula pelatihan hanya bersifat satu arah, tanpa ada ruang untuk diskusi atau berbagi pengalaman (best practice) terkait implementasi mutu di masing-masing unit kerja.
Tanpa adanya pelatihan yang dirancang dengan baik, perguruan tinggi hanya akan menghasilkan staf dan dosen yang hadir dalam sosialisasi (sekedar mengisi kewajiban presensi) tetapi tetap tidak memahami bagaimana menjalankan SPMI.
Jika pelatihan hanya bersifat normatif tanpa praktek pendampingan dan studi kasus nyata, maka kebijakan SPMI akan tetap dianggap sebagai dokumen administratif yang jauh dari praktik akademik dan operasional sehari-hari. Bahkan seringkali dosen dan staf tidak paham dan tidak mampu menjelaskan visi misi dan komitmen lembaga terkait mutu pendidikan.
Baca juga: Menghidupkan SPMI: Saatnya Belajar dari Master TQM Dunia!
Ketika dosen dan staf masih mengalami kebingungan dalam mengimplementasikan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), maka tanggung jawabnya tidak hanya dibebankan kepada mereka, tetapi juga pada efektivitas sistem komunikasi dan program pelatihan yang disediakan oleh institusi.
Pimpinan perguruan tinggi harus memastikan bahwa kebijakan SPMI selalu diperbarui (update), disosialisasikan secara efektif, serta disampaikan dalam bahasa yang lebih mudah dipahami. Penyajian informasi dalam bentuk infografis yang intuitif dan pendekatan yang lebih aplikatif akan membantu proses internalisasi konsep mutu, sehingga SPMI tidak hanya menjadi dokumen formalitas, tetapi benar-benar dihayati oleh seluruh civitas akademika.
Unit penjaminan mutu juga perlu mengambil langkah proaktif dengan menyediakan media komunikasi yang lebih interaktif. Pemanfaatan Learning Management System (LMS), portal digital, video tutorial, webinar, serta forum diskusi berkala dapat menjadi solusi untuk memastikan bahwa setiap individu di kampus memiliki akses yang lebih mudah dan fleksibel dalam memahami standar mutu. Dengan pendekatan ini, proses pembelajaran tidak hanya dilakukan secara satu arah, tetapi juga lebih partisipatif, memungkinkan semua pihak terlibat secara aktif dalam penerapan sistem mutu.
Selain itu, dosen dan staf harus diberikan ruang untuk berdiskusi, mengajukan pertanyaan, serta berbagi praktik terbaik dalam menjalankan SPMI di unit kerja mereka, baik melalui pertemuan sinkronus maupun diskusi asinkronus yang lebih fleksibel. Dengan sistem komunikasi yang lebih terbuka dan program pelatihan yang lebih relevan dengan kebutuhan mereka, implementasi SPMI tidak lagi menjadi sesuatu yang membingungkan atau membebani, melainkan sebuah sistem yang benar-benar mendorong peningkatan mutu di semua lini.
Baca juga: SPMI Butuh Upgrade: Apa yang Bisa Dipelajari dari Total Quality Management
Ketika Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) gagal dipahami dan diterapkan dengan baik, hal ini bukan sekadar kesalahan individu, melainkan tanggung jawab bersama seluruh ekosistem kampus. Jika dosen dan staf masih mengalami kebingungan, itu menjadi sinyal bahwa perguruan tinggi perlu mengevaluasi kembali bagaimana kebijakan SPMI dirancang, bagaimana sistem mutu dikomunikasikan, serta bagaimana program pelatihan disusun agar lebih efektif dan aplikatif.
SPMI yang sukses bukan hanya tentang memiliki dokumen kebijakan dan standar SPMI, tetapi juga tentang bagaimana seluruh elemen kampus merasa memiliki dan berperan aktif dalam implementasinya (Jawa: melu handarbeni).
Setiap individu di dalam institusi harus memahami perannya, menginternalisasi asas dan prinsip-prinsip mutu, serta memiliki komitmen bersama untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan dan layanan akademik/ non akademik.
Saatnya perguruan tinggi berbenah, membangun sistem komunikasi yang lebih inklusif, serta memastikan bahwa SPMI tidak hanya menjadi kumpulan dokumen administratif, tetapi benar-benar menjadi bagian dari budaya akademik dan non-akademik yang hidup di dalam institusi.
Mutu bukan sekadar konsep yang tertulis, melainkan praktik yang harus dihayati, dicintai dan diterapkan dalam setiap aspek kehidupan kampus. Stay Relevant!
Baca juga: Tak Kenal Maka Tak Sayang: Mengenal Lebih Dekat 6 Tujuan SPMI
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), sebagaimana diamanatkan oleh regulasi, telah diterapkan di banyak perguruan tinggi sebagai langkah strategis untuk meningkatkan mutu pendidikan dan layanan akademik. Namun, dalam realisasinya, tidak sedikit institusi yang mendapati bahwa implementasi SPMI berjalan stagnan dan jauh dari ekspektasi. Proses administrasi masih terkesan lamban, banyak pihak merasa bingung dengan prosedur yang ada, standar mutu belum benar-benar diinternalisasi, dan evaluasi mutu lebih sering menjadi sekadar formalitas administratif tanpa dampak nyata terhadap perbaikan mutu pendidikan.
Ketika situasi ini terjadi, berbagai pihak kerap mempertanyakan efektivitas sistem yang diterapkan, bahkan tidak jarang SPMI itu sendiri dijadikan kambing hitam atas berbagai tantangan yang dihadapi. Namun, sebelum terburu-buru menyalahkan sistem atau kebijakan, ada satu pertanyaan mendasar yang perlu dijawab: apakah perguruan tinggi telah berinvestasi secara optimal dalam program pelatihan dan pengembangan kapasitas yang mendukung keberhasilan implementasi SPMI?
Baca juga: SPMI Tanpa Teknologi Digital? Bersiaplah Hadapi Kegagalan!
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) bukan sekadar kebijakan yang harus ditaati, tetapi sebuah mekanisme yang menuntut pemahaman mendalam dan keterlibatan aktif dari seluruh elemen kampus.
Dosen, tenaga kependidikan, dan pimpinan perguruan tinggi harus memiliki kesadaran penuh tentang bagaimana standar SPMI diterapkan, dievaluasi, dan ditingkatkan secara berkelanjutan melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan).
Tanpa program pelatihan yang efektif, berbagai pihak dalam institusi akan menghadapi kendala dalam menjalankan perannya.
Dosen mungkin mengalami kesulitan dalam memahami standar evaluasi pembelajaran, tenaga kependidikan bisa merasa tidak siap dalam menerapkan prosedur administratif yang sesuai dengan standar SPMI, dan pimpinan perguruan tinggi mungkin tidak memiliki strategi yang jelas dalam merumuskan, mengembangkan, serta menyelaraskan visi, misi, dan kebijakan mutu. Akibatnya, SPMI hanya akan menjadi dokumen formalitas yang tersimpan rapi, tetapi tidak memberikan dampak nyata dalam meningkatkan mutu pendidikan, layanan akademik dan non akademik.
Baca juga: SPMI Gagal Total? Jangan Salahkan Sistem, Perbaiki Komunikasi!
Ada beberapa indikasi bahwa program pelatihan terkait Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di suatu institusi perlu segera dievaluasi. Jika staf akademik dan tenaga kependidikan sering kali mengalami kebingungan dalam memahami isi standar SPMI serta implementasinya, ini menjadi pertanda bahwa pelatihan yang diberikan tidak cukup efektif atau bahkan belum tersedia dengan optimal.
Sering kali, pelatihan yang diadakan hanya bersifat seremonial tanpa pendampingan atau tindak lanjut yang memadai. Materi yang disampaikan pun sering kali tidak relevan dengan kebutuhan spesifik institusi, sehingga peserta hadir dalam sesi pelatihan tanpa mendapatkan kesempatan untuk mempraktikkan atau memperdalam pemahamannya. Lebih buruk lagi, jika institusi tidak memiliki mekanisme umpan balik dan evaluasi terhadap efektivitas pelatihan, maka sulit untuk mengetahui apakah materi yang diberikan benar-benar bermanfaat atau hanya sekadar formalitas administratif belaka.
Tanpa pelatihan yang terarah, penerapan standar SPMI akan berjalan tidak konsisten di berbagai unit kerja.
Beberapa departemen mungkin mampu menginternalisasi standar SPMI dengan baik, sementara yang lain masih belum memiliki pemahaman yang sama mengenai bagaimana SPMI seharusnya dijalankan. Akibatnya, terjadi kesenjangan dalam implementasi mutu yang menghambat pencapaian tujuan institusi. Masing-masing unit kerja cenderung bekerja secara terpisah dengan pendekatan sektoralnya sendiri, tanpa adanya integrasi yang kuat untuk membangun budaya mutu yang menyeluruh.
Baca juga: SPMI Bukan Tanggung Jawab Satu Unit! Seluruh Civitas Akademika Harus Bergerak
Untuk memastikan bahwa program pelatihan benar-benar memberikan dampak yang signifikan, perguruan tinggi harus menyesuaikan materi pelatihan dengan kebutuhan spesifik di setiap unit kerja.
Pelatihan tidak boleh hanya berfokus pada teori semata, tetapi juga harus menyertakan studi kasus nyata, simulasi, dan praktik langsung.
Pendekatan ini akan membantu peserta memahami bagaimana standar Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) diterapkan dalam aktivitas akademik, non akademik dan administratif mereka, serta bagaimana siklus PPEPP berfungsi dalam keseharian institusi.
Pemanfaatan teknologi digital juga menjadi langkah strategis untuk meningkatkan efektivitas pelatihan. Dengan adanya Learning Management System (LMS) atau platform e-learning internal, dosen dan tenaga kependidikan dapat mengakses materi pelatihan kapan saja serta mengulanginya sesuai dengan kebutuhan mereka. Ketersediaan video pembelajaran berkualitas yang dapat diakses secara asinkronus akan semakin mendukung fleksibilitas dalam proses pelatihan, sehingga peserta tidak harus bergantung pada sesi tatap muka yang terbatas.
Selain itu, perguruan tinggi perlu mendorong pembelajaran sejawat dan mengembangkan knowledge management, di mana dosen dan staf dapat berbagi praktik terbaik dalam penerapan mutu di unit kerja masing-masing.
Forum diskusi dan mentoring internal dapat menjadi sarana yang efektif untuk memperkuat pemahaman tentang SPMI serta memastikan bahwa kebijakan mutu benar-benar diimplementasikan di seluruh lini institusi. Dengan pendekatan yang lebih interaktif dan berbasis kolaborasi, budaya mutu tidak hanya menjadi sekadar kebijakan, tetapi juga bagian dari keseharian seluruh civitas akademika.
Baca juga: Standar SPMI Harus Diperbarui, Kapan Waktu yang Tepat?
Jika Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di sebuah perguruan tinggi mengalami stagnasi, besar kemungkinan akar permasalahannya terletak pada kurangnya efektivitas dalam program pelatihan dan pengembangan kapasitas. Tanpa pelatihan yang komprehensif, kebijakan SPMI beserta seluruh perangkatnya hanya akan menjadi dokumen yang sulit dipahami dan diterapkan secara optimal dalam kehidupan akademik, non akademik dan administratif sehari-hari.
Perguruan tinggi yang ingin terus berkembang harus berinvestasi dalam program pelatihan yang lebih baik, memastikan bahwa setiap elemen kampus tidak hanya memahami teori penjaminan mutu, tetapi juga mampu mengimplementasikannya secara nyata.
Berbagai metode pelatihan dapat diterapkan untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan, mulai dari kelas daring yang fleksibel, pelatihan publik dengan perspektif eksternal, hingga in-house training yang lebih terarah sesuai dengan kebutuhan institusi. Dengan pendekatan pelatihan yang lebih strategis dan relevan, SPMI dapat dioptimalkan dengan lebih efektif, menciptakan ekosistem akademik yang berkualitas, serta mendorong peningkatan mutu secara berkelanjutan.
Saatnya meninggalkan pendekatan lama yang sekadar berorientasi pada pemenuhan dokumen dan beralih ke strategi yang benar-benar membangun kapasitas sumber daya manusia dalam institusi. Tetap relevan, berinovasi, dan bergerak maju! 🚀
Baca juga: Dunia Berubah Cepat, Apakah Standar SPMI Kita Masih Relevan?
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Di era digital saat ini, perguruan tinggi dituntut untuk menerapkan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) yang tidak hanya berfokus pada pemenuhan standar mutu, tetapi juga memanfaatkan teknologi digital agar implementasinya lebih efektif dan efisien. Sayangnya, masih banyak institusi yang bergantung pada proses manual, seperti dokumentasi berbasis kertas, komunikasi yang tidak terdokumentasi dengan baik, serta evaluasi mutu (monev dan audit) yang masih dilakukan secara konvensional.
Tanpa integrasi teknologi digital, SPMI hanya akan menjadi sekadar dokumen administratif yang tersimpan rapi di rak lemari kabinet, tanpa penerapan nyata dalam kehidupan akademik. Perguruan tinggi yang masih mengandalkan metode manual dalam pengelolaan mutu akan menghadapi berbagai tantangan, mulai dari ketidakefisienan dalam pengelolaan data, keterlambatan dalam pelaporan, hingga minimnya transparansi dalam komunikasi antarunit kerja. Jika kondisi ini terus dibiarkan, perguruan tinggi bukan hanya akan mengalami hambatan dalam mencapai standar SPMI, tetapi juga berisiko tertinggal dalam persaingan akademik. Saatnya berubah atau bersiaplah menghadapi kegagalan.
Bayangkan sebuah perguruan tinggi yang harus melakukan evaluasi mutu secara berkala, baik melalui asesmen, monitoring dan evaluasi (monev), maupun audit, tetapi masih bergantung pada sistem manual berbasis kertas dan spreadsheet. Setiap unit harus mengisi laporan secara terpisah, mengirimkannya melalui email, lalu menunggu proses pengolahan data yang memakan waktu berminggu-minggu. Ketika data akhirnya tersedia, sering kali informasi yang terkandung di dalamnya sudah usang dan tidak lagi mencerminkan kondisi terkini. Akibatnya, keputusan strategis yang seharusnya dapat diambil secara cepat dan tepat justru tertunda, karena kurangnya akurasi dan keterlambatan dalam pelaporan.
Ketidakefisienan ini semakin diperparah dengan komunikasi yang tidak terdokumentasi dengan baik, yang menyebabkan standar mutu diterjemahkan secara berbeda oleh setiap unit kerja. Pedoman yang seharusnya menjadi acuan bersama justru diinterpretasikan secara tidak seragam, sehingga menghambat keselarasan dalam implementasi mutu di seluruh institusi. Tanpa teknologi digital, pelaksanaan SPMI menjadi lamban, tidak efisien, serta sulit dipantau secara real-time, yang pada akhirnya menghambat perguruan tinggi dalam mencapai standar mutu yang diharapkan.
Untuk mengatasi berbagai tantangan dalam implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), perguruan tinggi perlu segera mengadopsi teknologi digital sebagai bagian dari strategi penjaminan mutu yang lebih efektif dan berkelanjutan. Learning Management System (LMS) dapat dimanfaatkan tidak hanya sebagai pusat pembelajaran, tetapi juga sebagai tempat penyimpanan dokumen mutu yang terintegrasi, seperti kebijakan SPMI, siklus PPEPP, dan Standar SPMI. Dengan adanya basis data yang terhubung secara digital, institusi dapat mengakses informasi mutu kapan saja dan dari mana saja, selama terdapat koneksi internet. Hal ini menghilangkan ketergantungan pada dokumen fisik serta mengurangi prosedur administrasi manual yang memakan waktu dan kurang efisien.
Selain itu, perguruan tinggi perlu mengembangkan portal internal khusus yang memungkinkan setiap unit kerja mengakses kebijakan mutu, memantau pencapaian standar, serta memberikan umpan balik secara langsung. Dengan sistem yang transparan dan mudah diakses, seluruh pemangku kepentingan dapat berpartisipasi secara aktif dalam implementasi mutu, bukan sekadar menjadi penerima kebijakan. Keberadaan portal ini akan lebih efektif jika disajikan dalam bentuk infografis interaktif, sehingga pengguna dapat menelusuri dan mencari dokumen yang dibutuhkan dengan cepat dan intuitif. Teknologi tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga membantu membangun budaya mutu yang lebih kolaboratif dan dinamis dalam lingkungan akademik.
Teknologi digital tidak hanya berperan dalam pengelolaan dan pengendalian dokumen SPMI, tetapi juga menjadi katalisator dalam membangun budaya mutu yang lebih inklusif dan kolaboratif. Dengan adanya sistem komunikasi berbasis digital, seperti forum diskusi daring dan webinar, dosen, tenaga kependidikan, serta mahasiswa dapat lebih mudah berinteraksi, berbagi wawasan, dan berkontribusi aktif dalam menjaga serta meningkatkan standar mutu akademik dan non akademik (SPMI). Transformasi digital ini menciptakan lingkungan yang lebih dinamis, di mana setiap pemangku kepentingan memiliki akses yang lebih luas terhadap informasi dan peluang untuk berpartisipasi dalam pengembangan institusi.
Perguruan tinggi yang enggan beradaptasi dengan teknologi digital akan menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan daya saing dan reputasi akademiknya di tingkat global. Digitalisasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan. Institusi yang ingin tetap relevan dan kompetitif harus segera bertransformasi, meninggalkan cara-cara lama yang tidak lagi efektif, dan mengadopsi teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi serta transparansi dalam implementasi mutu.
Dengan penerapan teknologi digital, SPMI dapat dijalankan dengan lebih efisien, transparan, dan berkelanjutan. Kini, pertanyaannya adalah: apakah institusi Anda sudah siap untuk beradaptasi dengan perubahan ini, atau masih bertahan dengan sistem lama yang penuh keterbatasan? Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Banyak perguruan tinggi, karena regulasi telah mengadopsi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) sebagai langkah strategis untuk meningkatkan kualitas akademik dan layanan institusi. Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit yang justru menghadapi stagnasi atau bahkan kegagalan dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Ketika hal ini terjadi, “sistem mutu” sering kali menjadi kambing hitam—dari prosedur yang dianggap terlalu rumit hingga regulasi yang dinilai kaku dan membatasi fleksibilitas institusi.
Namun, sebelum terburu-buru menyalahkan sistem mutu, ada satu elemen fundamental yang sering diabaikan, yaitu: komunikasi internal. Sudahkah komunikasi internal berjalan dengan efektif? Apakah seluruh civitas akademika benar-benar memahami peran dan tanggung jawab mereka dalam menjaga mutu? Tanpa komunikasi yang jelas dan terstruktur, kebijakan mutu hanya akan berakhir sebagai dokumen formalitas yang tidak mudah untuk dipahami, apalagi diimplementasikan dengan baik.
Ketika komunikasi tidak berjalan, SPMI kehilangan maknanya sebagai instrumen peningkatan mutu dan berubah menjadi sekadar kewajiban administratif belaka.
Baca juga: SPMI Bukan Tanggung Jawab Satu Unit! Seluruh Civitas Akademika Harus Bergerak
Salah satu faktor utama yang menyebabkan kegagalan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah kurangnya keselarasan pemahaman mengenai kebijakan mutu di antara dosen, tenaga kependidikan, dan pimpinan kampus. Ketika standar mutu tidak dikomunikasikan dengan jelas, setiap pihak dapat memiliki interpretasi yang berbeda, yang pada akhirnya memicu konflik pemahaman, ketidakseimbangan dalam implementasi, serta resistensi terhadap perubahan yang seharusnya membawa perbaikan.
Sebagai contoh, jika dosen tidak memahami standar evaluasi pembelajaran yang telah ditetapkan dalam SPMI, mereka mungkin tetap menggunakan metode penilaian model lama yang tidak sesuai dengan standar yang berlaku. Hal serupa terjadi dalam lingkup administrasi akademik, di mana tenaga kependidikan yang kurang memahami kebijakan mutu berisiko memberikan layanan yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Bahkan dalam aspek fasilitas kampus, seperti koleksi buku perpustakaan, ketidaksesuaian dengan standar SPMI sering kali terjadi akibat minimnya sosialisasi terkait kriteria pemilihan dan pengelolaan bahan pustaka.
Tanpa komunikasi yang efektif, standar SPMI hanya akan menjadi dokumen formalitas tanpa penerapan nyata.
Oleh karena itu, transparansi dan sosialisasi yang berkelanjutan menjadi kunci utama dalam memastikan bahwa setiap elemen kampus memahami, menginternalisasi, dan menerapkan kebijakan mutu dengan konsisten.
Dengan komunikasi yang jelas dan pemahaman yang seragam, SPMI tidak hanya menjadi sistem yang berjalan di atas kertas, tetapi benar-benar berfungsi sebagai instrumen untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara berkelanjutan.
Baca juga: Kampus Ideal: Gabungan Estetika dan Fungsi
Agar Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dapat berjalan secara optimal, diperlukan komitmen dan transparansi dalam penyampaian informasi.
Komunikasi yang bersifat dua arah antara pimpinan, dosen, dan tenaga kependidikan menjadi elemen kunci dalam memastikan bahwa seluruh civitas akademika memiliki pemahaman yang selaras serta merasa terlibat secara aktif dalam implementasi mutu.
Sosialisasi kebijakan, siklus PPEPP dan standar mutu harus dilakukan secara berkala agar setiap individu dalam institusi memahami peran mereka dalam menjaga dan meningkatkan kualitas pendidikan. Pelatihan dan workshop dapat menjadi sarana yang efektif untuk memastikan bahwa setiap unit memahami standar mutu yang harus diterapkan dalam praktik sehari-hari. Selain itu, perguruan tinggi perlu menyediakan media komunikasi yang efisien, seperti portal internal, infografis, dan video edukasi, yang dapat menyebarkan informasi tentang kebijakan mutu secara lebih mudah dan menarik.
Lebih dari sekadar sosialisasi, institusi juga harus menerapkan mekanisme umpan balik yang terbuka, sehingga setiap anggota civitas akademika dapat menyampaikan kendala dan memberikan saran perbaikan terkait implementasi SPMI. Jika komunikasi internal berjalan dengan baik, setiap permasalahan dapat diidentifikasi dan diatasi sebelum berkembang menjadi hambatan yang lebih besar. Untuk mendukung hal ini, Gugus Kendali Mutu (Quality Circle) di kampus harus dioptimalkan fungsinya sebagai wadah diskusi yang kondusif, di mana semua pihak merasa nyaman dalam menyampaikan rekomendasi serta kritik yang membangun bagi kemajuan institusi.
Dengan komunikasi yang efektif, SPMI tidak hanya menjadi sekadar dokumen kebijakan, tetapi benar-benar menjadi alat transformasi yang mendorong peningkatan mutu secara berkelanjutan dan menyeluruh.
Baca juga: Kampus Impian: Seperti Apa Sarana dan Prasarana yang Ideal di Mata Mahasiswa?
SPMI bukan sekadar sistem yang diberlakukan secara top-down (dipaksakan dari atas kebawah), tetapi harus menjadi bagian yang hidup dalam budaya organisasi perguruan tinggi. Untuk mewujudkan budaya mutu yang kokoh, setiap individu di dalam kampus harus ada “rasa memiliki” terhadap sistem ini. Mereka bukan hanya sekadar objek yang harus tunduk pada aturan, melainkan bagian dari ekosistem mutu yang berkontribusi aktif dalam membangun dan menjaga standar kualitas pendidikan.
Dosen perlu menyadari bahwa standar mutu bukan sekadar tuntutan administratif, tetapi merupakan alat untuk meningkatkan efektivitas pengajaran dan menciptakan pengalaman belajar yang lebih berkualitas bagi mahasiswa. Tenaga kependidikan juga memiliki peran penting dalam memastikan bahwa setiap proses administrasi berjalan sesuai standar, bukan sekadar formalitas, melainkan sebagai elemen kunci dalam mendukung keberhasilan akademik. Sementara itu, pimpinan perguruan tinggi harus menjadi teladan (role-model) dalam membangun budaya mutu dengan memastikan komunikasi internal mengenai kebijakan mutu berjalan dengan transparan dan efektif di seluruh unit kerja.
Ketika komunikasi yang kuat terjalin dalam institusi, SPMI tidak akan lagi dipandang sebagai sekadar dokumen yang harus diisi dan dilaporkan, melainkan menjadi bagian dari keseharian kampus. SPMI adalah sahabat, bukan beban tapi kebutuhan.
Dengan komunikasi yang efektif, setiap kebijakan mutu dapat diterapkan dengan lebih optimal, menciptakan lingkungan akademik yang kondusif, serta memastikan bahwa perguruan tinggi terus berkembang dan memiliki daya saing yang tinggi, baik di tingkat nasional, regional maupun internasional. Stay Relevant!
Baca juga: SPMI di Era AI: Apakah Gaya Kepemimpinan Anda Siap Beradaptasi?
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Pada beberapa perguruan tinggi, masih terdapat persepsi yang keliru bahwa Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah tanggung jawab eksklusif unit penjaminan mutu (nama lain: lembaga / pusat penjaminan mutu).
Akibatnya, banyak dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa menganggapnya sebagai sekadar urusan administratif yang terpisah dari aktivitas akademik dan non akademik sehari-hari. Jika pemahaman ini terus berlanjut, SPMI hanya akan menjadi rutinitas dokumentasi yang hadir tanpa makna, tanpa memberikan dampak nyata terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Lebih dari sekadar memenuhi standar atau akreditasi, SPMI adalah “komitmen bersama” untuk membangun budaya mutu yang berkelanjutan, komitmen untuk bersinergi, komitmen untuk saling memperkuat. Keberhasilannya bergantung pada motivasi dan komunikasi internal yang kuat, yang menyatukan seluruh elemen dalam ekosistem perguruan tinggi. Dari pimpinan hingga mahasiswa, dari rektor hingga tenaga kebersihan dan keamanan, setiap sivitas akademika memegang peran penting dalam memastikan bahwa standar mutu tidak hanya diterapkan, tetapi juga menjadi bagian dari praktik akademik dan operasional sehari-hari (non akademik). Ketika seluruh SDM terlibat secara aktif, SPMI bukan lagi sekadar prosedur formalitas semata, melainkan cerminan dari dedikasi institusi dalam menciptakan pendidikan yang unggul dan berdaya saing.
Baca juga: Standar SPMI Harus Diperbarui, Kapan Waktu yang Tepat?
Jika implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) hanya dibebankan pada unit penjaminan mutu, berbagai risiko dapat muncul, salah satunya adalah minimnya pemahaman dan kepatuhan dari unit kerja lain, terhadap standar SPMI yang telah ditetapkan.
Misalnya, jika dosen tidak sepenuhnya memahami standar pembelajaran yang diharapkan, kualitas pengajaran akan menjadi tidak konsisten dan bervariasi. Dampaknya, pengalaman belajar mahasiswa pun tidak optimal, yang pada akhirnya berpengaruh pada daya saing lulusan di dunia kerja. Demikian pula, jika dosen kurang memahami standar kurikulum, penyusunan kurikulum berisiko tidak sesuai dengan panduan yang telah ditetapkan, yang berpotensi menghambat pencapaian tujuan akademik perguruan tinggi.
Lebih dari itu, tanpa keterlibatan aktif seluruh sivitas akademika, SPMI kerap hanya menjadi formalitas administratif yang hanya untuk memenuhi persyaratan regulasi belaka. SPMI baru mendapat perhatian disaat-saat tertentu saja, saat menghadapi evaluasi eksternal atau proses akreditasi. Kampus yang tidak memiliki budaya mutu yang kuat akan mengalami kesulitan dalam menjaga dan meningkatkan standar akademik secara berkelanjutan. Jika kondisi ini terus berlanjut, perguruan tinggi tidak hanya akan kesulitan mencapai standar mutu yang diharapkan, namun berisiko kehilangan reputasi dan kepercayaan dari mahasiswa, orang tua, serta mitra industri. Oleh karena itu, keterlibatan menyeluruh dari semua elemen kampus menjadi kunci dalam memastikan SPMI benar-benar menjadi alat transformasi mutu pendidikan, bukan sekadar formalitas persyaratan regulasi atau untuk akreditasi.
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Dosen tidak hanya berperan sebagai staf pengajar, namun juga memiliki tanggung jawab strategis dalam memastikan standar mutu akademik diterapkan secara optimal. Setiap metode pengajaran, kurikulum, dan interaksi dengan mahasiswa merupakan bagian dari upaya berkelanjutan dalam meningkatkan mutu pendidikan. Dengan “memahami, mencintai dan menerapkan” standar Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), dosen dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih kondusif, sesuai dengan standar nasional maupun internasional. Namun, kurangnya sosialisasi mengenai standar ini masih menjadi kendala, menyebabkan banyak dosen belum sepenuhnya memahami dan menginternalisasi asas / prinsip-prinsip SPMI dalam praktik akademik dan non akademik.
Di sisi lain, tenaga kependidikan memainkan peran yang “tidak kalah penting” dalam menjaga mutu layanan akademik dan non akademik. Administrasi yang efisien, pelayanan mahasiswa yang responsif, serta sistem informasi yang transparan adalah elemen kunci dalam menunjang keberhasilan SPMI. Tanpa dukungan penuh dari tenaga kependidikan, sistem SPMI yang telah dirancang dengan baik tidak akan berjalan optimal, dan pengalaman belajar mahasiswa dapat terganggu. Lebih dari itu, yang paling penting, efektivitas layanan akademik dan non akademik juga bergantung pada kepemimpinan perguruan tinggi. Jika pimpinan tidak memberikan teladan serta contoh yang baik dalam mengedepankan budaya mutu, maka standar yang telah ditetapkan berisiko tidak diimplementasikan secara optimal di seluruh lini institusi.
Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat
Mahasiswa sering kali dipandang hanya sebagai penerima manfaat dari sistem mutu, padahal mereka memiliki peran krusial dalam keberhasilan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Keterlibatan aktif mahasiswa dalam evaluasi pembelajaran, kepuasan akademik, serta berbagai kegiatan organisasi kampus dapat menjadi “sumber umpan balik yang berharga” (feedback) bagi pengembangan mutu pendidikan. Suara mahasiswa bukan sekadar refleksi pengalaman belajar mereka, tetapi juga menjadi cerminan kualitas institusi yang harus terus diperbaiki dan ditingkatkan.
Lebih dari itu, mahasiswa yang memiliki kesadaran terhadap pentingnya mutu pendidikan akan lebih proaktif dalam belajar, terlibat dalam diskusi akademik yang konstruktif, serta turut mendorong kampus untuk senantiasa meningkatkan standar layanan dan proses pembelajaran. Kesadaran ini bukan hanya membentuk lulusan yang unggul secara akademik, tetapi juga melahirkan individu yang memiliki jiwa inovasi, kepekaan terhadap kualitas, serta soft skills untuk menghadapi tantangan di dunia profesional.
Namun, mampukah para dosen menanamkan kesadaran ini di kalangan mahasiswa? Selain membangun partisipasi dalam program mutu, dosen juga memiliki tanggung jawab untuk membimbing mahasiswa dalam menanamkan akhlak, soft skills, dan budi pekerti yang baik. Pendidikan bukan hanya soal pencapaian akademik, tetapi juga tentang pembentukan karakter dan etika yang akan menjadi fondasi bagi generasi penerus bangsa. Oleh karena itu, sinergi antara pembelajaran akademik dan pendidikan karakter harus menjadi bagian dari strategi peningkatan mutu di perguruan tinggi.
Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?
Untuk memastikan keterlibatan penuh seluruh civitas akademika dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), perguruan tinggi perlu mengambil langkah-langkah konkret yang terarah dan berkelanjutan.
Salah satu faktor kunci dalam keberhasilan implementasi SPMI adalah komunikasi internal yang efektif, sehingga setiap unit memahami perannya dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan. Sosialisasi dan pelatihan terkait SPMI harus dilakukan secara berkala guna menghindari kesenjangan pemahaman antarunit. Selain itu, penggunaan media visual seperti poster, banner, serta kampanye budaya mutu di berbagai sudut kampus dapat menjadi sarana efektif untuk menanamkan kesadaran bahwa “Quality is Everyone’s Responsibility”—mutu adalah tanggung jawab bersama.
Lebih dari sekadar sosialisasi, perguruan tinggi juga perlu menerapkan mekanisme umpan balik dan perbaikan berkelanjutan. Evaluasi yang dilakukan tidak boleh sekadar formalitas administratif, tetapi harus menjadi dasar bagi pengambilan keputusan strategis dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dan layanan akademik. Penguatan sistem evaluasi dapat dilakukan melalui monitoring terpadu, Audit Mutu Internal (AMI), serta program tinjauan manajemen (management reviews) yang memastikan seluruh standar dan kebijakan mutu diimplementasikan secara konsisten dan terus mengalami peningkatan. Dengan pendekatan ini, budaya mutu tidak hanya tertulis dalam dokumen kebijakan, tetapi benar-benar “terinternalisasi” menjadi bagian dari keseharian seluruh elemen kampus, mencerminkan komitmen perguruan tinggi dalam mencetak lulusan yang unggul dan berdaya saing tinggi.
Baca juga: Lima Prinsip SPMI: Fondasi Kokoh Menuju Keunggulan Institusi
Keberhasilan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) tidak bisa dicapai hanya oleh satu unit, melainkan membutuhkan kolaborasi aktif seluruh civitas akademika.
Dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa, hingga pimpinan kampus harus memiliki “quality awareness”, kesadaran bahwa mutu bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan tanggung jawab bersama dalam menciptakan lingkungan akademik dan non-akademik yang unggul dan berkelanjutan.
Ketika setiap elemen kampus bergerak selaras dalam menjaga dan meningkatkan mutu, perguruan tinggi tidak hanya akan memiliki sistem SPMI yang kokoh, tetapi juga mampu membangun ekosistem akademik yang berkualitas, kompetitif, dan relevan dengan dinamika zaman. Budaya mutu yang tertanam dengan baik akan memastikan bahwa standar akademik tidak hanya dipenuhi, tetapi juga terus berkembang demi menghasilkan lulusan yang siap bersaing di tingkat global.
Namun, siapa yang paling bertanggung jawab untuk mengubah persepsi keliru bahwa SPMI hanyalah urusan satu unit? Jawabannya ada pada pimpinan! Dengan otoritas dan pengaruh yang dimilikinya, pimpinan perguruan tinggi memiliki kekuatan untuk menata ulang sistem, memperkuat komunikasi internal, serta mendorong keterlibatan seluruh elemen kampus dalam membangun budaya mutu. Kini, pertanyaannya adalah: Apakah para pemimpin perguruan tinggi siap mengambil peran ini? Stay Relevant!
Baca juga: Inovasi atau Mati: Integrasi PPEPP dengan Strategic Quality Management
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Lingkungan pendidikan tinggi berkembang pesat di era BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, Incomprehensible), menuntut setiap perguruan tinggi untuk selalu menyesuaikan standar mutu agar tetap relevan dan kompetitif.
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) berperan sebagai fondasi dalam menjaga dan meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi pertanyaan mendasar muncul: seberapa sering standar ini harus diperbarui? Apakah cukup setiap lima tahun? Haruskah ditinjau setiap tahun? Atau justru perlu diperbarui secara real-time sesuai dinamika perubahan?
Di tengah derasnya arus perubahan regulasi, kemajuan pesat teknologi—terutama dalam era kecerdasan buatan (AI)—serta tuntutan dunia usaha dan industri (DUDI) yang semakin kompleks, standar yang stagnan tanpa pembaruan berkala berisiko menjadi usang dan kehilangan relevansinya. Jika perguruan tinggi tidak segera beradaptasi, lulusan yang dihasilkan mungkin tidak lagi siap menghadapi tantangan dunia kerja yang terus berevolusi. Pendidikan tinggi harus bergerak seiring perubahan, bukan tertinggal di belakang.
Baca juga: Dunia Berubah Cepat, Apakah Standar SPMI Kita Masih Relevan?
Banyak perguruan tinggi masih menerapkan siklus revisi standar setiap lima tahun, umumnya selaras dengan dokumen Rencana Strategis (Renstra) yang telah ditetapkan. Namun, di era digital yang bergerak begitu cepat, muncul pertanyaan mendasar: apakah rentang waktu ini masih cukup untuk mengakomodasi perubahan pesat di dunia nyata?
Saat ini, perkembangan dunia kerja dan inovasi akademik berlangsung jauh lebih dinamis dibandingkan beberapa dekade lalu.
Jika kurikulum, metode pembelajaran, dan standar pendidikan hanya dievaluasi setiap lima tahun sekali, ada risiko mahasiswa menerima pengalaman belajar yang tidak lagi relevan dengan kebutuhan industri saat mereka lulus.
Oleh karena itu, perguruan tinggi perlu mempertimbangkan pendekatan yang lebih adaptif dan fleksibel, memastikan bahwa evaluasi dan revisi standar mutu dilakukan secara lebih dinamis agar tetap selaras dengan perkembangan zaman.
Baca juga: SPMI dan Fenomena The Death of Expertise
Beberapa perguruan tinggi kini mulai menerapkan evaluasi tahunan dalam memperbarui standar SPMI mereka, mencakup aspek pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat sebagai bagian dari Tridharma Perguruan Tinggi.
Pendekatan ini memungkinkan perguruan tinggi untuk lebih responsif dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi, dinamika akademik, dan tuntutan pasar kerja. Dengan meninjau standar sebelum dimulainya tahun akademik baru, institusi dapat memastikan kurikulum tetap relevan dan selaras dengan kebutuhan mahasiswa serta industri.
Lebih jauh, pemanfaatan evaluasi berbasis data dan kecerdasan buatan (AI) dapat meningkatkan efektivitas pembaruan standar. Dengan dukungan analitik data serta masukan dari berbagai pemangku kepentingan, proses revisi dapat dilakukan dengan lebih cepat dan akurat. Pendekatan ini tidak hanya berkontribusi pada peningkatan kualitas pendidikan, tetapi juga memastikan lulusan memiliki daya saing tinggi di dunia kerja yang terus berkembang.
Baca juga: Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?
Tidak ada satu pendekatan yang dapat diterapkan secara universal di semua perguruan tinggi. Namun, penting bagi setiap institusi untuk mengadopsi strategi revisi standar yang lebih fleksibel, cepat, dan inovatif.
Mengombinasikan evaluasi jangka panjang, seperti revisi lima tahunan, dengan peninjauan tahunan dapat menjadi solusi efektif untuk memastikan standar tetap mutakhir dan relevan dalam menghadapi dinamika perubahan.
Pendidikan tinggi tidak boleh lagi terjebak dalam pola lama yang kaku dan tertinggal oleh kemajuan zaman. Institusi yang ingin tetap unggul harus mampu bergerak cepat, proaktif, dan adaptif dalam menanggapi perubahan. Jika dunia terus melaju dalam kecepatan tinggi, mengapa standar pendidikan harus tertinggal? Saatnya bertransformasi—tetap relevan, tetap maju! 🚀
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Dalam berbagai forum pendidikan tinggi, istilah “mutu” nyaris menjadi mantra yang favorit. Kampus-kampus berlomba-lomba membangun sistem penjaminan mutu yang kuat, menyusun dokumen PPEPP dengan cermat, dan menargetkan akreditasi unggul. Namun di balik gemerlapnya indikator administratif itu, tersimpan satu pertanyaan penting: apakah semua ini benar-benar berdampak pada dunia nyata lulusan?
Sinyal ironi itu muncul dari tempat yang paling tak disangka: Harvard Business School (HBS). Sebagai institusi dengan reputasi global, Harvard baru-baru ini mencatat bahwa sekitar 23% lulusannya tidak mendapatkan pekerjaan dalam tiga bulan setelah lulus. Artinya, hampir seperempat dari lulusan program MBA yang disebut-sebut sebagai paling prestisius itu tidak langsung terserap pasar kerja. Ini tentu mencengangkan, sekaligus menyadarkan kita bahwa mutu akademik tidak serta merta berarti relevansi praktis.
Baca juga: Standar SPMI Harus Diperbarui, Kapan Waktu yang Tepat?
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di Indonesia dirancang sebagai tulang punggung peningkatan mutu pendidikan tinggi. Dalam siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan—SPMI seharusnya menjadi mekanisme yang hidup dan berorientasi ke depan. Namun sayangnya, dalam banyak kasus, SPMI masih dimaknai sebagai sistem kepatuhan administratif, bukan alat transformasi.
Standar-standar yang ditetapkan dalam SPMI sering kali bersifat internal dan teknokratis, lebih fokus pada input dan proses, seperti kualifikasi dosen, jumlah SKS, atau kelengkapan perangkat pembelajaran. Padahal, dunia kerja tidak bertanya soal SKS atau rubrik penilaian—yang mereka cari adalah lulusan yang adaptif, kolaboratif, dan siap berkarya.
Di sinilah muncul paradoks mutu: sistem yang mengklaim menjaga mutu, tapi abai terhadap ukuran mutu yang sebenarnya paling penting—kesiapan kerja lulusan.
Baca juga: Dunia Berubah Cepat, Apakah Standar SPMI Kita Masih Relevan?
Di atas kertas, PPEPP adalah sistem yang logis: tetapkan standar, laksanakan, evaluasi, kendalikan, dan tingkatkan. Namun dalam praktiknya, sebagian besar perguruan tinggi menjalankan PPEPP seperti checklist tahunan—bukan sebagai proses reflektif yang hidup. Tracer study misalnya, memang rutin dilakukan, tapi lebih sering digunakan sebagai syarat akreditasi, bukan bahan analisis mendalam.
Bayangkan bila PPEPP benar-benar mendengar dunia kerja. Standar kompetensi lulusan tidak hanya dirancang dari perspektif akademik, tetapi dari dialog aktif dengan industri. Evaluasi tidak berhenti pada capaian internal, tapi merujuk pada performa lulusan di tempat kerja. Peningkatan tidak hanya berarti menambah fasilitas atau kegiatan, tapi menyusun ulang orientasi pembelajaran agar benar-benar menyiapkan mahasiswa menghadapi masa depan.
Baca juga: SPMI dan Fenomena The Death of Expertise
Kembali ke kasus HBS, kita belajar bahwa bahkan institusi dengan pengajar terbaik, kurikulum studi kasus yang tajam, dan jaringan alumni global pun tidak kebal terhadap perubahan peta kebutuhan industri.
Jika lulusan Harvard saja mengalami kesulitan diserap pasar kerja, bagaimana dengan kampus-kampus lain yang tidak memiliki keunggulan serupa?
Ini bukan berarti Harvard tak bermutu, tapi menunjukkan bahwa mutu itu tidak statis. Ia harus terus disesuaikan dengan konteks. Maka kampus-kampus Indonesia perlu waspada: jangan sampai sistem penjaminan mutu yang rapi secara administratif malah membuat kita terlena—hingga lupa bahwa yang dinilai oleh masyarakat bukan prosesnya, tapi dampaknya.
Baca juga: Kampus Ideal: Gabungan Estetika dan Fungsi
Sudah waktunya kita bergeser dari cara lama memandang mutu. SPMI tidak boleh hanya menjadi kumpulan dokumen yang diperbarui menjelang akreditasi. Ia harus menjadi refleksi menyeluruh dari seberapa besar pendidikan kita menjawab tantangan zaman. Dan zaman ini menuntut adaptasi, bukan hanya kepatuhan.
Jika SPMI ingin tetap relevan, maka ia harus bicara tentang dunia kerja, perubahan teknologi, kebutuhan sosial, dan kemampuan lulusan berkontribusi nyata. Karena jika tidak, maka kampus-kampus akan terus sibuk dengan pencitraan mutu, sementara para lulusannya menunggu panggilan kerja yang tak kunjung datang.
Baca juga: Lingkungan Kerja Ideal: Sarana Prasarana untuk Dosen dan Karyawan
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Visi: Senantiasa Bergerak dan Berempati untuk Menebar Manfaat bagi Mutu Pendidikan di Indonesia
Misi: Penguatan SPMI, Siklus PPEPP dan Budaya Mutu Pendidikan
Badan Hukum: PT. Fokus Inovasi Andalan Sejahtera. Kemenkumham no. AHU-0065119.AH.01.02. Perijinan berusaha, Sertifikat: 12092200264270005
Copyright © 2025 | mutupendidikan.com