" Your Path to Quality Education "
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi berperan penting dalam menjaga dan meningkatkan mutu akademik dan non akademik melalui siklus PPEPP (Perencanaan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar).
Ketentuan pemerintah tentang SPMI diatur dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023 pasal 67 sampai pasal 70.
Sementara ketentuan sebelumnya, SPMI diatur dalam Permenristekdikti no 62 tahun 2016. Jadi sudah cukup lama peraturan tentang SPMI diwajibkan pada perguruan tinggi di Indonesia.
Bagaimana evaluasi terhadap efektivitas implementasi SPMI selama ini?
Efektivitas SPMI diyakini sangat bergantung pada bagaimana institusi mengelola pengetahuan melalui aktifitas knowledge management (KM).
Carl Frappaolo, seorang praktisi dan pakar KM, mendefinisikan knowledge management sebagai “pemanfaatan kebijaksanaan kolektif untuk meningkatkan responsivitas dan inovasi.”
Frappaolo menekankan bahwa knowledge management bertujuan untuk memanfaatkan pengetahuan bersama dari seluruh anggota organisasi, sehingga organisasi dapat lebih tanggap terhadap perubahan dan tantangan.
Knowledge Management mendorong inovasi, mendorong keunggulan kompetitif dan pertumbuhan. Dengan knowledge management yang efektif, perguruan tinggi dapat mengidentifikasi pengetahuan kunci yang mendorong inovasi dan keunggulan kompetitif.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi dalam penerapan Knowledge Management adalah fenomena knowledge hoarding atau“penghindaran berbagi pengetahuan”
Fenomena di mana individu cenderung tidak bersedia berbagi pengetahuan yang mereka miliki. Hal ini tentu saja dapat menghambat kolaborasi dan inovasi di lingkungan perguruan tinggi.
Dalam jurnal Management Science Letters: “Knowledge Management Processes and Innovation Performance: The Moderating Effect of Employees’ Knowledge Hoarding” (Lina Al-Abbadi dkk.), peneliti menyoroti fenomena Knowledge hoarding (Penghindaran Berbagi Pengetahuan).
Fenomena ini sering disebabkan oleh kurangnya kepercayaan antar anggota organisasi serta adanya tekanan kompetitif di lingkungan akademik.
Di Indonesia, fenomena ini diduga juga terjadi, misalnya ketika dosen yang mengikuti pelatihan, seminar, atau workshop tidak berbagi informasi atau materi yang diperoleh dengan kolega atau institusi.
Hal diatas dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti keinginan untuk menjaga posisi kompetitif, meningkatkan reputasi pribadi, atau memperoleh keuntungan dalam persaingan akademik.
Fenomena Knowledge Hoarding ini berdampak buruk terhadap dinamika organisasi, kinerja inovasi dan kinerja kolektif.
Lina Al-Abbadi juga menyebutkan bahwa Knowledge Hoarding berdampak negatif pada proses manajemen pengetahuan dan kinerja inovasi.
Ketika informasi tidak disebarluaskan di internal organisasi. Proses inovasi di Institusi menjadi lambat dan kurang efisien.
Inovasi dalam bidang akademik memerlukan pertukaran ide yang bebas dan terbuka antar individu, dan perilaku knowledge hoarding akan sangat membatasi aliran informasi yang sangat dibutuhkan dalam proses peningkatan mutu.
Lebih jauh, iklim organisasi yang tidak mendukung knowledge sharing (berbagi pengetahuan) dapat menciptakan ketidakpercayaan antar staf akademik, yang memperburuk kolaborasi dan interaksi kerja.
Penting untuk dipahami, perbedaan konsepsi antara penghindaran berbagi pengetahuan (knowledge hoarding), penyembunyian pengetahuan (knowledge hiding), dan berbagi pengetahuan (knowledge sharing).
Knowledge hoarding tidak selalu dilakukan dengan niat buruk, terkadang individu melakukan sebagai strategi untuk melindungi tujuan dan kepentingan pribadi.
Dalam lingkungan akademik, perilaku knowledge hoarding tentu dapat merusak iklim inovasi, merusak dinamika organisasi dan memperlambat perkembangan mutu pendidikan.
Sebaliknya, Sharing knowledge (berbagi pengetahuan) dipandang sebagai tindakan positif yang mendorong sinergi, kolaborasi dan inovasi.
Tantangan di depan, Perguruan tinggi yang ingin unggul, harus mampu menciptakan iklim yang sehat dan mendorong budaya berbagi informasi dan pengetahuan.
Dalam konsep Islam, knowledge hoarding atau penghindaran berbagi pengetahuan bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Islam mendorong penyebaran ilmu untuk kebaikan bersama.
Ajaran Islam mewajibkan umatnya untuk berbagi ilmu, walaupun dalam skala yang kecil, sebagaimana sabda Baginda Rasulullah SAW, “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.”
Umat dilarang untuk menyembunyikan ilmu yang bermanfaat, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 159), yang memperingatkan bahwa mereka yang menahan petunjuk Allah akan mendapat hukuman pembalasan.
Lebih lanjut, Islam juga menekankan pentingnya berbagi ilmu sebagai bentuk amal jariyah.
Ilmu yang bermanfaat apabila dibagi akan terus memberikan pahala bahkan setelah seseorang meninggal.
Untuk menjawab tantangan diatas, perguruan tinggi perlu memperkuat tata kelola dengan mengintegrasikan knowledge management secara lebih mendalam dalam standar SPMI perguruan tinggi.
Salah satu tips yang dapat diambil adalah dengan menambahkan komponen/ klausul manajemen pengetahuan dalam isi standar tata kelola institusi.
Dengan mengintegrasikan KM secara menyeluruh dalam standar tata kelola, perguruan tinggi diharapkan dapat mencegah atau mengurangi perilaku Knowledge Hoarding.
Dengan demikian budaya kolaborasi dan inovasi muncul dan berkembangan dengan baik.
Hal ini sejalan dengan tujuan SPMI (PPEPP), meningkatkan mutu pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat secara terus menerus (continuous improvement).
Baca juga: Sinergi SPMI dan Knowledge Management
Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi tidak dapat dipisahkan dari penerapan knowledge management yang efektif dan efisien.
Tantangan berupa knowledge hoarding di kalangan staf akademik, Insya Allah akan dapat diatasi melalui kebijakan tata kelola yang lebih kolaboratif dan transparan.
Jurnal “Knowledge Management Processes and Innovation Performance: The Moderating Effect of Employees’ Knowledge Hoarding” menyoroti bahwa perilaku knowledge hoarding dapat menghambat inovasi dan mengurangi kinerja institusi secara keseluruhan.
Oleh karena itu, dengan menambahkan atau meningkatkan “isi” standar tata kelola perguruan tinggi berbasis knowledge management, institusi akan dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, kolaboratif, dan inovatif. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi adalah langkah krusial untuk memastikan mutu pendidikan yang berkelanjutan. Melalui penerapan standar yang konsisten, SPMI membantu perguruan tinggi memenuhi ekspektasi kualitas dan akuntabilitas yang semakin tinggi di dunia pendidikan.
SPMI terdiri dari siklus PPEPP—Perencanaan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar—yang berfungsi sebagai kerangka kerja guna memastikan setiap aspek operasional institusi berjalan sesuai standar mutu yang telah ditetapkan. Siklus ini mengintegrasikan proses dan prosedur yang membantu perguruan tinggi dalam melakukan evaluasi serta perbaikan berkelanjutan.
Dalam penerapan SPMI, menumbuhkan budaya “satu kali dayung, dua tiga pulau terlampaui” sangat relevan sebagai filosofi yang menekankan efisiensi dan efektivitas. Dengan mengedepankan pendekatan ini, perguruan tinggi dapat secara simultan mencapai berbagai tujuan, meningkatkan kualitas, dan memaksimalkan sumber daya yang tersedia.
Budaya “satu kali dayung, dua tiga pulau terlampaui” mencerminkan upaya strategis untuk merancang satu tindakan yang menghasilkan beberapa outcome positif sekaligus. Pendekatan ini menekankan pentingnya efisiensi dalam mencapai berbagai tujuan secara bersamaan.
Filosofi ini selaras dengan Prinsip Pareto 20/80, yang menyatakan bahwa 20% dari “upaya yang tepat” dapat memberikan 80% hasil yang diinginkan. Prinsip ini menunjukkan bahwa fokus pada upaya yang paling penting dan berpengaruh mampu membawa hasil optimal dengan usaha yang lebih terarah.
Dalam konteks SPMI, penerapan Prinsip Pareto memungkinkan perguruan tinggi memusatkan resources dan energi pada aktivitas-aktivitas utama yang berdampak signifikan terhadap peningkatan mutu. Dengan mengidentifikasi dan mengelola aktivitas-aktivitas kunci ini, institusi dapat mencapai hasil lebih besar dalam penjaminan mutu pendidikan.
Pada tahap Penetapan Standar dalam siklus PPEPP, perguruan tinggi perlu mengidentifikasi area prioritas yang membutuhkan perhatian khusus untuk meningkatkan mutu. Dengan menerapkan Prinsip Pareto, institusi dapat memfokuskan diri pada 20% aktivitas yang paling berpengaruh, yang diperkirakan mampu menghasilkan 80% dari hasil yang diinginkan dalam peningkatan mutu pendidikan.
Sebagai contoh, jika kompetensi dosen menjadi salah satu prioritas utama, peningkatan kompetensi melalui program pelatihan dapat membawa dampak besar bagi mutu pembelajaran, kepuasan mahasiswa, dan reputasi institusi. Dengan menempatkan investasi pada pengembangan dosen, perguruan tinggi tidak hanya memperbaiki satu aspek, tetapi juga memajukan berbagai indikator kinerja penting.
Dosen yang lebih kompeten akan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran dan bimbingan yang mereka berikan. Dampaknya tidak hanya terlihat pada peningkatan kepuasan mahasiswa, tetapi juga pada prestasi akademik mahasiswa yang lebih baik, menciptakan lingkaran positif bagi pencapaian akademik dan reputasi institusi.
Pada tahap Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP), budaya “satu kali dayung, dua tiga pulau terlampaui” mendorong perguruan tinggi untuk menerapkan strategi yang efisien dan efektif.
Contoh, integrasi teknologi digital dalam proses pembelajaran tidak hanya memodernisasi metode pengajaran, tetapi juga meningkatkan aksesibilitas pendidikan, memungkinkan fleksibilitas waktu, dan mengurangi biaya operasional dalam jangka panjang.
Satu langkah strategis (integrasi teknologi digital) ternyata mampu mencapai beberapa tujuan sekaligus, sejalan dengan filosofi efisiensi yang diusung.
Bagaimana dengan pelaksanaan standar-standar yang lain? Tentu saja bisa dicarikan program sinergi yang bisa mencapai beberapa tujuan sekaligus. Disinilah tantangan yang harus dihadapi pengelola institusi pendidikan.
Tahap Evaluasi Pemenuhan Standar (dalam PPEPP) menjadi momen kritis untuk menilai efektivitas dari program kerja yang telah dilaksanakan.
Dengan menggunakan Prinsip Pareto, institusi perguruan tinggi dapat menganalisis data kinerja untuk mengidentifikasi aktivitas mana saja yang memberikan dampak terbesar.
Kegiatan Monev atau Audit dapat diarah untuk mencari temuan-temuan yang terkait prinsip pareto dan prioritas organisasi.
Jika ditemukan bahwa ada sebagian kecil dari program atau kegiatan memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan mutu, institusi dapat memfokuskan kembali resources (sumber daya) pada area tersebut untuk memaksimalkan hasil.
Dalam tahap Pengendalian Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP), perguruan tinggi perlu memastikan bahwa proses yang berjalan tetap sesuai dengan standar mutu dan melakukan penyesuaian jika diperlukan.
Budaya “satu kali dayung, dua tiga pulau terlampaui” dapat diterapkan dengan mengembangkan mekanisme pengendalian yang tidak hanya memastikan kepatuhan, tetapi juga mendorong perbaikan berkelanjutan di berbagai aspek.
Misalnya, penerapan sistem manajemen mutu berbasis teknologi informasi dapat meningkatkan efisiensi pengendalian dan memberikan data real-time untuk pengambilan keputusan yang lebih tepat.
Perbaikan yang dilakukan atas temuan audit, harus diarahkan ke hal yang subtansial. Bukan hanya tindakan koreksi, namun lebih pada perbaikan korektif dan preventif. Tindakan preventif juga akan mencegah masalah baru di berbagai aspek organisasi.
Tahap Peningkatan Standar (dalam PPEPP) merupakan kulminasi dari siklus SPMI, di mana hasil evaluasi dan pengendalian digunakan untuk melakukan perbaikan yang berkelanjutan (kaizen).
Prinsip Pareto dan budaya efisiensi mendorong perguruan tinggi untuk fokus pada inovasi yang memiliki dampak luas.
Contoh, pengembangan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan industri.
Pengembangan kurikulum tidak hanya meningkatkan relevansi pendidikan, namun juga meningkatkan peluang kerja bagi lulusan dan memperkuat hubungan dengan pemangku kepentingan eksternal.
Penerapan Prinsip Pareto dalam penguatan SPMI membantu perguruan tinggi untuk tidak terjebak dalam berbagai program yang tersebar di berbagai bidang.
Dengan memfokuskan resources, energi pada 20% aktivitas kunci, institusi dapat mencapai 80% dari hasil yang diinginkan, sehingga sumber daya dapat digunakan secara optimal.
Namun, penting untuk diingat bahwa pemilihan aktivitas kunci ini memerlukan analisis yang mendalam dan pemahaman konteks yang baik untuk menghindari risiko salah prioritas.
Membangun budaya “satu kali dayung, dua tiga pulau terlampaui” dalam pengelolaan mutu juga menuntut “perubahan mindset” di seluruh lapisan institusi.
Semua pihak, mulai dari pimpinan hingga staf operasional, perlu memahami dan menyadari pentingnya efisiensi dan efektivitas dalam setiap tindakan.
Kerjasama antar departemen dan komunikasi yang baik menjadi kunci dalam memastikan bahwa strategi yang diterapkan mampu mencapai berbagai tujuan secara simultan.
Selain itu, keterampilan dalam pemikiran strategis (conceptual skills) dan pengambilan keputusan berbasis data menjadi penting untuk mendukung penerapan prinsip ini.
Perguruan tinggi perlu mengembangkan kapasitas analitis untuk memahami tren, mengidentifikasi peluang / ancaman, dan mengevaluasi risiko.
Penggunaan teknologi informasi dan kecerdasan buatan (AI) dapat menjadi alat bantu yang efektif dalam mendukung analisis dan pengambilan keputusan.
AI, dapat membantu dalam memproses data yang kompleks, memberikan prediksi, dan menyusun rekomendasi yang berbasis pengetahuan luas, sehingga memudahkan institusi dalam menentukan pilihan prioritas strategis.
Institusi juga perlu berhati-hati dalam menerapkan Prinsip Pareto agar tidak mengabaikan aspek-aspek penting lainnya yang mungkin tidak terlihat memberikan dampak besar dalam jangka pendek, tetapi esensial untuk keberlanjutan mutu dalam jangka panjang.
Misalnya, aspek pengembangan motivasi, budaya organisasi dan kesejahteraan staf mungkin tidak langsung terlihat dalam indikator kinerja utama, tetapi memiliki peran penting dalam mendukung ekosistem pendidikan yang sehat dan produktif.
Sebagai penutup, penguatan SPMI melalui siklus PPEPP yang dipadukan dengan budaya “satu kali dayung, dua tiga pulau terlampaui” dan penerapan Prinsip Pareto 20/80 merupakan pendekatan strategis yang dapat diambil untuk meningkatkan mutu perguruan tinggi.
Pendekatan ini memungkinkan institusi untuk menggunakan sumber daya secara efisien, memaksimalkan hasil, dan memastikan bahwa upaya yang dilakukan berdampak signifikan terhadap pencapaian visi dan misi organisasi.
Dengan pemahaman yang mendalam, analisis yang cermat, dan dukungan teknologi, perguruan tinggi dapat mengoptimalkan pengelolaan mutu dan berkontribusi secara lebih signifikan dalam mencetak sumber daya manusia yang unggul dan kompetitif di tingkat global. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) menjadi instrumen utama yang dirancang untuk memastikan bahwa standar mutu terpenuhi dan proses akademik berjalan dengan baik.
Hal ini diatur dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Ketentuan tentang SPMI diatur dalam pasal 67 sampai pasal 70.
Sementara ketentuan sebelumnya diatur dalam Permenristekdikti no 62 tahun 2016. Jadi sudah cukup lama peraturan tentang SPMI diwajibkan pada perguruan tinggi di Indonesia.
Namun, sejauh ini apakah SPMI benar-benar menjamin peningkatan mutu secara substansial? Atau hanya sekadar menjadi alat administratif yang mempertebal tumpukan dokumen mutu di perguruan tinggi?
SPMI, yang terdiri dari lima tahap siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar (PPEPP), bertujuan untuk menciptakan lingkaran proses yang memastikan mutu terus diperbaiki dan dikembangkan (kaizen).
Secara teoritis, siklus PPEPP dapat membantu peningkatan mutu.
SPMI memberi panduan dan struktur yang jelas dalam penetapan standar, pelaksanaannya, dan evaluasi yang berkelanjutan untuk memastikan terwujudnya peningkatan standar.
Namun, tidak dipungkiri efektivitas dari implementasi siklus PPEPP masih sering diperdebatkan.
Diduga masih cukup banyak institusi pendidikan tinggi menjalankan SPMI sebagai bentuk pemenuhan kewajiban administratif belaka.
Laporan-laporan SPMI yang dihasilkan dari proses PPEPP sering kali menjadi indikator formal yang dinilai oleh pemerintah atau lembaga akreditasi.
Perguruan tinggi pun disibukkan dengan kegiatan mengelolaan dokumen, memastikan bahwa semua persyaratan administratif terpenuhi.
Namun, pertanyaannya adalah, apakah pemenuhan dokumen tersebut benar-benar merefleksikan peningkatan mutu secara substansial dalam proses pendidikan?
Dengan kata lain, proses siklus PPEPP mungkin dijalankan secara mekanis-formalitas, namun gagal dalam memberikan perubahan nyata terhadap mutu pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Dalam beberapa kasus, institusi pendidikan tinggi mungkin lebih fokus pada “compliance” terhadap aturan regulasi formal tanpa benar-benar melakukan evaluasi mendalam terhadap “Impact” dari standar mutu yang diterapkan.
Baca juga: Pengorbanan dan Dedikasi: Fondasi Kepemimpinan SPMI
Tahap evaluasi pemenuhan standar dalam siklus PPEPP merupakan titik kritis yang menentukan apakah sistem penjaminan mutu benar-benar berjalan efektif.
Pada tahap ini, perguruan tinggi harus mengukur sejauh mana pelaksanaan standar sesuai dengan standar yang ditetapkan. Tanpa mekanisme evaluasi yang sistematis dan transparan, evaluasi akan menjadi sekadar formalitas belaka.
Di sisi lain, evaluasi yang hanya berbasis data kuantitatif, seperti jumlah alumni atau nilai akreditasi sering tidak mencerminkan mutu pembelajaran yang sebenarnya.
Evaluasi seharusnya melibatkan umpan balik dari mahasiswa, dosen, dan stakeholder lainnya untuk memberikan gambaran yang lebih utuh tentang mutu pendidikan.
Pendekatan evaluasi pemenuhan standar yang dangkal hanya akan menghasilkan gambaran semu tentang mutu.
Setelah evaluasi pemenuhan standar dilakukan, pengendalian pelaksanaan standar dan peningkatan standar seharusnya menjadi proses yang secara aktif mengatasi kelemahan dan / atau menangkap peluang untuk memperbaiki mutu.
Akan tetapi, tahap ini sering menjadi tantangan berat.
Pengendalian Pelaksanaan Standar dilakukan berdasarkan data yang tidak lengkap. Akibatnya analisis yang dangkal dapat berujung pada rekomendasi perbaikan yang tidak relevan.
Di sisi lain, perguruan tinggi sering kali juga menghadapi keterbatasan resources (sumber daya), baik dari sisi anggaran, sarpras maupun tenaga dosen. Hal ini akan menghambat implementasi dari perbaikan yang telah direncanakan.
Apakah perguruan tinggi benar-benar dapat meningkatkan mutu ketika keterbatasan anggaran membatasi inovasi dan pengembangan program?
Tentu masing-masing perguruan tinggi yang bisa menjawab tantangan diatas.
Baca juga: Penyebab Kegagalan SPMI
Di era yang semakin cepat berubah, perguruan tinggi dituntut untuk tidak hanya mengikuti prosedur yang terstruktur seperti dalam SPMI, tetapi juga harus mampu “membongkar sekat pembatas organisasi” dan bersikap ramping, lincah dan inovatif.
Ron Ashkenas, dalam jurnal yang berjudul Management: How to Loosen Organizational Boundaries (Journal of Business Strategy) menekankan bahwa kecepatan (speed), fleksibilitas (flexibility), integrasi (integration), dan inovasi (innovation) adalah “penggerak utama keberhasilan” organisasi modern.
Ashkenas berpendapat bahwa di tengah lingkungan eksternal yang semakin kompleks dan dinamis, organisasi “wajib” terus menerus beradaptasi dan memperbarui strategi mereka untuk menjadi unggul.
Pertanyaan selanjutnya, apakah SPMI dapat memberikan ruang bagi empat nilai-nilai diatas? Atau justru SPMI berubah bentuk menjadi monster penghalang kemajuan dengan berbagai kerumitan administrasi yang ada?
Kecepatan (speed) dan fleksibilitas (flexibility) penting untuk menghadapi tantangan global dan dinamika dunia yang terus berubah. Praktik SPMI yang kaku, terlalu fokus pada prosedur-prosedur formal dapat memperlambat kemampuan perguruan tinggi untuk beradaptasi dengan cepat.
Perguruan tinggi perlu mengadopsi pendekatan yang lebih gesit (lean and agile) dalam merespons perkembangan teknologi, tuntutan mahasiswa, dan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Konsep Ron Ashkenas nomor tiga adalah integrasi (integration).
Mengacu pada kemampuan perguruan tinggi untuk menyatukan berbagai elemen, proses, dan fungsi agar bekerja secara sinergis menuju tujuan bersama.
Integrasi tidak hanya berarti menghubungkan departemen atau unit kerja yang berbeda, tetapi juga menyelaraskan strategi, sistem, dan budaya perguruan tinggi. Dengan integrasi yang baik, setiap bagian bekerja dalam harmoni untuk mencapai hasil yang lebih besar.
Konsep keempat adalah Inovasi (innovation).
Dalam konteks SPMI, inovasi tidak hanya berarti penerapan teknologi baru atau metode pembelajaran mutakhir, namun mencakup cara berpikir dan pendekatan baru dalam menjalankan siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar (PPEPP).
Perguruan tinggi harus mendorong segenap dosen, tendik dan mahasiswa untuk terus berpikir kritis dan kreatif, serta menghasilkan terobosan-terobosan baru dalam pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat.
Berikut contoh implementasi nilai-nilai inovasi yang dapat dikembangkan perguruan tinggi.
Pengembangan Sistem Informasi SPMI berbasis digital yang terintegrasi. Sistem ini memungkinkan perguruan tinggi mengelola siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan (PPEPP) secara otomatis dan efisien.
Melalui platform ini, kebijakan SPMI, standar mutu, dokumen PPEPP, dan data hasil evaluasi bisa diakses secara real-time oleh dosen, tendik, dan manajemen.
Melalui platform SPMI berbasis digital, hasil evaluasi pembelajaran, kinerja dosen, serta umpan balik mahasiswa dapat langsung diinput ke dalam sistem, yang kemudian diolah menjadi laporan otomatis.
Dashboard digital yang tersedia memberikan visualisasi data untuk memantau secara real-time apakah pelaksanaan di lapangan telah sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan.
Pada akhirnya, menjadi renungan bersama, apakah SPMI benar-benar menjamin mutu pendidikan?
Apakah SPMI benar-benar dapat memberikankan nilai tambah?
Apakah SPMI benar-benar memberi manfaat? Atau sebaliknya “Unfaedah”.
Jawabannya tergantung pada institusi masing-masing.
Sejauh mana institusi pendidikan menerapkan praktik SPMI secara substansial, bukan hanya sekadar formalitas semata.
SPMI memiliki potensi besar untuk meningkatkan mutu.
Namun potensi tersebut “hanya akan terwujud” jika perguruan tinggi mampu menjalankan siklus PPEPP secara mendalam dan berkelanjutan (kaizen).
Akhirnya, mengacu pada jurnal yang ditulis Ron Ashkenas, perguruan tinggi harus mampu untuk terus menerus bertransformasi.
Perguruan tinggi harus mampu menyeimbangkan praktik SPMI dengan tuntutan best practice era modern.
Siklus PPEPP harus mampu “membongkar sekat organisasi” dengan 4 mantra.
Empat mantra itu adalah kecepatan (speed), fleksibilitas (flexibility), integrasi (integration), dan inovasi (innovation). Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Audit Mutu Internal (AMI) dalam perguruan tinggi merupakan salah satu elemen penting dalam memastikan dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi.
Ketentuan AMI diatur dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023 Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi pasal 68 ayat 2.
Dalam ayat tersebut berbunyi: Evaluasi pemenuhan standar pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan secara berkala melalui pemantauan, evaluasi diri, audit mutu internal, asesmen, dan/atau cara lain yang ditetapkan perguruan tinggi.
Melalui AMI, institusi pendidikan dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan (SWOT) yang ada dalam implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) serta memastikan bahwa proses akademik dan non-akademik berjalan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Dalam konteks ini, penguatan AMI berbasis SPMI yang mengikuti siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar (PPEPP) menjadi sangat penting dalam mendorong kontinuitas perbaikan dan pencapaian mutu yang berkelanjutan (kaizen).
SPMI merupakan kerangka kerja (framework) yang dirancang untuk memastikan bahwa setiap aktifitas dalam perguruan tinggi, baik di bidang akademik maupun non-akademik, memenuhi standar SPMI yang telah ditetapkan oleh institusi.
Siklus PPEPP berperan penting sebagai fondasi utama dalam operasionalisasi SPMI, di mana setiap tahap harus dilaksanakan secara sistematis, terpadu dan berkelanjutan.
Dalam siklus PPEPP, “Penetapan standar” mengacu pada definisi standar yang harus dicapai, “Pelaksanaan Standar” adalah penerapan standar tersebut dalam operasional sehari-hari, “Evaluasi Pemenuhan Standar” meninjau efektivitas pelaksanaan, “Pengendalian Pelaksanaan Standar” bertujuan memastikan bahwa tindakan korektif dan preventif diambil bila terjadi deviasi, dan “Peningkatan Standar” berfokus pada perbaikan berkelanjutan (kaizen).
Penguatan AMI berbasis PPEPP memberikan beberapa manfaat utama bagi perguruan tinggi.
Pertama, siklus ini memastikan bahwa seluruh proses akademik dan manajerial di kampus didasarkan pada standar mutu yang jelas dan konsisten.
Evaluasi berkala yang dilakukan dalam AMI memastikan bahwa implementasi dari setiap standar tersebut dipantau dan dievaluasi secara ketat.
Ketika terdapat kesenjangan atau ketidaksesuaian (KTS), proses pengendalian dapat diaktifkan untuk memperbaiki kesalahan, yang pada gilirannya mendorong peningkatan mutu secara berkelanjutan.
Untuk itu, AMI yang kuat dan terorganisasi dengan baik dapat membantu perguruan tinggi dalam menjaga akuntabilitas dan meningkatkan daya saing institusi, baik di tingkat nasional, regional maupun internasional.
Baca juga: Kritisi AMI, Dibalik Kegagalan Mutu Perguruan Tinggi
Di sisi lain, peran auditor dalam proses AMI juga sangat krusial. Peran ini harus terus dijaga, diperkuat dan ditingkatkan.
Seorang auditor tidak hanya bertugas untuk menilai kesesuaian antara pelaksanaan dan standar SPMI yang telah ditetapkan, namun juga auditor harus bertindak sebagai agen perubahan (change agent) yang mendorong perbaikan dan inovasi.
Di sinilah pentingnya memahami bahasa tubuh (body language) bagi auditor. Bahasa tubuh adalah salah satu bentuk komunikasi nonverbal yang sering kali lebih jujur, lebih bisa dipercaya dibandingkan kata-kata yang diucapkan.
Dalam konteks audit, seorang auditor yang mampu membaca signal-signal bahasa tubuh dapat menangkap isyarat tersembunyi yang mungkin tidak terucapkan secara verbal oleh auditee.
Contoh, tanda-tanda kegelisahan, ketidaknyamanan, atau keraguan dapat menjadi petunjuk penting bahwa ada hal-hal yang tidak disampaikan secara eksplisit oleh auditee.
Pemahaman tentang bahasa tubuh membantu auditor dalam “membangun hubungan” (human relations) yang lebih baik dengan auditee.
Dengan menyadari dan memahami respons nonverbal, auditor dapat menyesuaikan pendekatan komunikasinya untuk memastikan bahwa proses audit berjalan secara lancar tanpa menciptakan resistensi atau ketegangan.
Auditor yang “peka” terhadap signal bahasa tubuh juga dapat mengidentifikasi situasi di mana auditee mungkin merasa terancam atau cemas, sehingga mereka dapat menyesuaikan teknik building rapport, wawancara atau observasi agar lebih suportif dan efektif.
Kemampuan membaca signal bahasa tubuh juga memberikan keunggulan bagi auditor dalam mengevaluasi kejujuran dan keterbukaan auditee, yang menjadi salah satu aspek kunci dalam keberhasilan audit mutu internal.
Baca juga: Tips Komunikasi Auditor SPMI
Sejalan dengan hal ini, kutipan penting dari Peter Drucker, “The most important thing in communication is hearing what isn’t said,” menekankan pentingnya memperhatikan aspek-aspek komunikasi yang tidak diungkapkan secara eksplisit.
Dalam konteks audit mutu internal, seorang auditor harus memiliki kepekaan tinggi terhadap sinyal-sinyal yang tidak langsung diucapkan, namun mengandung makna yang dalam (makna tersirat).
Terkadang, informasi penting justru terletak pada apa yang “tidak diucapkan” oleh auditee, baik karena ketidaksadaran atau keengganan.
Auditor yang efektif adalah auditor yang mampu “mendengarkan” melalui observasi nonverbal, menangkap suasana hati (mood), dan memahami dinamika interpersonal yang terjadi selama proses audit.
Bahasa tubuh, walau sering diabaikan dalam konteks formal audit, sebenarnya memiliki dampak yang signifikan terhadap keberhasilan audit itu sendiri.
Kepekaan auditor terhadap signal yang tidak terucap memungkinkan mereka menggali lebih dalam, memperjelas ketidakpastian, dan memberikan rekomendasi perbaikan yang lebih relevan dan tepat sasaran.
Sebagai contoh, seorang auditor mungkin memperhatikan bahwa auditee menghindari kontak mata. Tatapan mata selalu kebawah ketika ditanya tentang pelaksanaan prosedur tertentu.
Signal ini menjadi petunjuk bahwa auditee merasa tidak yakin atau tidak nyaman dengan jawaban yang diberikan, hal ini mengindikasikan ada potensi masalah yang perlu digali lebih lanjut.
Contoh lain, misalnya auditee terlihat gelisah, dan sering menggerakkan tangan atau mengetuk-ngetuk kaki saat ditanya tentang kesesuaian implementasi standar mutu.
Bahasa tubuh seperti ini dapat menunjukkan ketegangan, yang bisa jadi terkait dengan area yang masih bermasalah atau belum diimplementasikan dengan baik.
Pada akhirnya, penguatan AMI berbasis SPMI (PPEPP) dan kemampuan auditor dalam memahami komunikasi nonverbal adalah 2 (dua) faktor penting yang saling melengkapi dalam upaya mewujudkan sistem penjaminan mutu yang efektif di perguruan tinggi.
Pemahaman mendalam tentang komunikasi, baik verbal maupun nonverbal, memperkaya proses audit dan membantu institusi dalam mencapai standar SPMI yang lebih tinggi secara berkelanjutan. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Perguruan tinggi saat ini menghadapi tantangan eksternal yang semakin kompleks seiring dengan dinamika perubahan global. Untuk menjaga kualitas, mereka mengandalkan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), yang terdiri dari siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar (PPEPP).
Siklus PPEPP ini berperan sebagai fondasi utama dalam menjaga mutu pendidikan dan memastikan adanya perbaikan yang berkelanjutan. Dengan pendekatan ini, perguruan tinggi diharapkan mampu mempertahankan kualitas yang tinggi meskipun lingkungan terus berubah.
Namun, perubahan global yang begitu cepat menuntut SPMI untuk terus diperkuat. Penguatan ini penting agar perguruan tinggi tetap relevan dan mampu beradaptasi dengan tuntutan zaman. Tanpa kemampuan adaptasi, perguruan tinggi berisiko tertinggal.
Saat ini, lingkungan global sering digambarkan dalam konsep “BANI” yang berarti rapuh (brittle), gelisah (anxious), non-linier, dan sulit dipahami (incomprehensible). Konsep ini mencerminkan ketidakpastian yang semakin besar di berbagai bidang.
Dalam konteks ini, kita diingatkan oleh kata-kata Charles Darwin bahwa keberlangsungan hidup tidak bergantung pada kekuatan atau kecerdasan, melainkan pada kemampuan untuk beradaptasi secara cepat dan efektif terhadap perubahan.
“It is not the strongest of the species that survives, not the most intelligent that survives. It is the one that is the most adaptable to change.” ~ Charles Darwin
PPEPP, sebagai kerangka dalam SPMI, dirancang untuk memastikan bahwa perguruan tinggi dapat menilai, mengevaluasi dan meningkatkan mutu secara terus-menerus.
Namun, tantangan berat di era BANI menuntut lebih dari sekadar penerapan mekanis siklus PPEPP.
Dalam lingkungan yang rapuh (brittle) dan tidak dapat diprediksi, setiap perguruan tinggi harus memiliki kemampuan untuk secara proaktif mengidentifikasi perubahan yang terjadi di sekitarnya dan dengan cepat menyesuaikan “Isi standar” SPMI dengan situasi yang baru.
Baca juga: Mengukir Identitas Perguruan Tinggi: Mission Differentiation
Perguruan tinggi tidak lagi bisa bergantung pada “standar yang stagnan” atau kebijakan dan prosedur yang tidak fleksibel.
Justru, keberhasilan siklus PPEPP kini sangat bergantung pada seberapa responsif perguruan tinggi dalam menghadapi perubahan dan ketidakpastian.
Pada tahap Penetapan Standar, perguruan tinggi harus mampu memahami realitas dunia yang terus berubah. Perguruan tinggi harus mampu melalukan analisis SWOT yang handal dan akurat.
Dunia pendidikan saat ini tidak hanya terpengaruh oleh perkembangan ilmu pengetahuan saja, tetapi juga oleh tantangan ekonomi, sosial, politik, dan teknologi yang bergerak sangat cepat.
Di era BANI, perubahan sering kali bersifat “non-linier”, di mana hubungan sebab-akibat tidak selamanya dapat diprediksi.
Perguruan tinggi harus meninjau kembali standar mutu secara lebih fleksibel dan adaptif, serta menetapkan kebijakan SPMI yang mampu merespons dinamika eksternal dengan cepat.
Dalam tahap Pelaksanaan, kemampuan adaptasi menjadi kunci yang sangat penting.
Perguruan tinggi harus mengembangkan program akademik yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat (Tri Dharma) yang tidak hanya memenuhi standar nasional, namun juga harus mampu merespons tuntutan global.
Era BANI memaksa perguruan tinggi untuk menciptakan lulusan yang benar-benar kompeten, tidak hanya memiliki pengetahuan teknis (hard skills), namun juga keterampilan adaptif, kreativitas, dan daya juang untuk menghadapi ketidakpastian (soft skills).
Pelaksanaan Standar yang berhasil adalah yang mampu mengintegrasikan teknologi dan inovasi untuk menghadirkan fleksibilitas dalam pembelajaran.
Pelaksanaan Standar harus mampu memfasilitasi keterhubungan antara stakeholder akademisi, industri, dan masyarakat.
Tahap Evaluasi Pemenuhan Standar (dalam PPEPP) juga harus mengalami transformasi. Di lingkungan yang rapuh dan sulit dipahami, metode evaluasi konvensional mungkin tidak lagi memadai.
Perguruan tinggi perlu mengembangkan sistem evaluasi yang lebih dinamis dan real-time, memungkinkan monitoring secara terus-menerus (real time) terhadap hasil pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Evaluasi Pemenuhan Standar (dalam PPEPP) harus berfokus pada bagaimana perguruan tinggi beradaptasi dengan perubahan yang cepat dan menilai apakah pendekatan baru yang diambil benar-benar meningkatkan daya saing institusi.
Contoh inovasi program Evaluasi Pemenuhan Standar (dalam PPEPP): Perguruan tinggi menerapkan dashboard real-time berbasis data untuk memantau kinerja mahasiswa, dosen, dan penelitian. Misalnya, data pembelajaran online dipantau terus-menerus untuk menilai efektivitas metode baru dan respons mahasiswa.
Pada tahap Pengendalian Pelaksanaan Standar, tantangan era BANI semakin memperjelas bahwa tidak ada satu pun solusi yang pasti atau berlaku untuk jangka panjang. Pengendalian mutu di perguruan tinggi harus bersifat proaktif, fleksibel dan disesuaikan dengan kondisi terkini.
Jika perguruan tinggi tetap terpaku pada proses pengendalian yang kaku, mereka berisiko tertinggal dalam menghadapi perubahan.
Pengendalian Pelaksanaan Standar di era BANI bukan hanya soal menjaga kesesuaian dengan standar yang ada, tetapi juga tentang bagaimana standar itu dapat diubah atau ditingkatkan untuk menyesuaikan dengan tantangan baru.
Contoh pengendalian fleksibel dalam Pengendalian Pelaksanaan Standar:
Misalnya, saat pembelajaran online (daring) meningkat, perguruan tinggi menambahkan indikator kinerja baru terkait kemampuan dosen dalam mengajar secara online.
Dengan cara ini, standar mutu SPMI dapat terus disesuaikan (adaptasi) untuk merespons perubahan kondisi dan tantangan yang muncul, memastikan institusi tetap relevan di tengah lingkungan era BANI.
Akhirnya, pada tahap Peningkatan Standar SPMI (dalam PPEPP), teori Darwin yang menekankan pentingnya kemampuan adaptasi sangat relevan.
Peningkatan mutu perguruan tinggi tidak boleh hanya berfokus pada peningkatan standar secara bertahap atau linear. Justru, peningkatan di era BANI harus bersifat “responsif, berani, dan radikal”.
Perguruan tinggi harus mampu melakukan inovasi-transformatif yang mendobrak “batas-batas tradisional”, mengadopsi pendekatan multidisiplin, dan memanfaatkan teknologi untuk merespons tuntutan global.
Contoh peningkatan radikal dalam Peningkatan Standar SPMI: Perguruan tinggi meluncurkan program studi baru multidisiplin yang menggabungkan kecerdasan buatan (AI), bisnis, dan etika, merespons kebutuhan global akan tenaga ahli yang mampu memahami teknologi sekaligus dampak sosialnya.
Selain itu, metode pembelajaran berbasis simulasi virtual, Augmented Reality (AR) dan proyek global diterapkan untuk membekali lulusan dengan keterampilan adaptif, menjawab tantangan era BANI dengan inovasi yang berani dan responsif.
Baca juga: Penguatan SPMI melalui Struktur “Agile”
Akhirnya, kutipan dari Charles Darwin, yang menyatakan bahwa keberlangsungan hidup (survival) tidak ditentukan oleh yang paling kuat atau paling cerdas, melainkan oleh yang paling mampu beradaptasi dengan perubahan, sangat relevan bagi perguruan tinggi di era BANI.
Kemampuan untuk merespons perubahan dengan cepat (transformatif) menjadi sangat penting, dan siklus PPEPP harus disesuaikan dengan pemahaman tentang SWOT dan kompleksitas lingkungan sekitar.
Perguruan tinggi yang dapat menerapkan SPMI dengan responsif (PTN dan Swasta) akan lebih siap menghadapi tantangan di dunia yang semakin tidak pasti (non-linier), sehingga mereka dapat terus relevan dan berperan dalam masyarakat global yang terus berkembang.
Dalam ekosistem pendidikan yang rapuh (brittle) dan berubah dengan cepat, perguruan tinggi yang mampu bertahan dan berkembang adalah mereka yang tidak hanya mengandalkan kekuatan tradisional, tetapi juga yang mampu dengan cepat (speed) dan efektif beradaptasi terhadap realitas baru. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Audit Mutu Internal (AMI) adalah alat penting untuk memperkuat Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi.
Melalui AMI, manajemen perguruan tinggi bisa mendapatkan informasi penting tentang sejauh mana standar SPMI diterapkan dan dipatuhi oleh setiap unit kerja.
Dalam SPMI, ada siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) yang bertujuan untuk memastikan terjadinya perbaikan berkelanjutan (kaizen).
AMI berfungsi memastikan bahwa semua proses dan kebijakan berjalan sesuai standar SPMI yang sudah ditetapkan.
Namun, pelaksanaannya tidak selalu mudah. AMI menghadapi berbagai tantangan, salah satunya adalah kesulitan “menuliskan” hasil audit kepada auditee.
Ketidakjelasan dalam penulisan PTKP (Permintaan Tindakan Korektif dan Preventif) seringkali menyebabkan kebingungan di kalangan auditee.
Akibatnya, proses perbaikan bisa terlambat atau bahkan temuan audit diabaikan dan tidak ditindaklanjuti.
Di sinilah relevansi artikel berjudul: “Mengapa Temuan Audit Sering Tak Ditindaklanjuti?” menjadi penting.
SPMI di perguruan tinggi melibatkan lima langkah utama, yaitu PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar).
Dalam proses ini, AMI berperan penting pada tahap evaluasi dan pengendalian.
Evaluasi bertujuan untuk menilai apakah program kerja dan hasilnya sudah berjalan sesuai standar SPMI yang ditetapkan.
Sementara itu, pengendalian dilakukan untuk memastikan bahwa jika ada ketidaksesuaian (KTS), langkah perbaikan bisa segera diambil.
Melalui AMI, perguruan tinggi bisa dengan tepat mengidentifikasi area yang perlu diperbaiki dan mengurangi risiko yang bisa menghambat pencapaian mutu.
AMI yang efektif tidak hanya menemukan masalah, tapi juga memberikan solusi yang jelas untuk meningkatkan kualitas.
Salah satu tantangan penting dalam AMI adalah bagaimana menyampaikan finding (temuan) secara jelas dan mudah dipahami, sehingga auditee merasa nyaman dan tidak kesulitan.
Penulisan finding yang tidak terstruktur, berpotensi menambah kebingungan, mempersulit mencari akar masalah, dan memperlambat proses perbaikan.
Oleh karena itu, salah satu pendekatan yang dapat diterapkan untuk mengatasi hal diatas adalah metode PLOR (Problem, Location, Objective, dan Reference). Metode PLOR membantu memberikan struktur, cara penulisan temuan yang baik dan benar.
Kaidah PLOR, terdiri dari : Problem (masalah yang ditemukan). Location (lokasi/departemen ditemukannya masalah), Objective (bukti temuan yang terjadi/terlihat), Reference (dokumen yang mendasari temuan, seperti standar, SOP/IK, persyaratan teknis, peraturan).
Struktur PLOR membantu menghindari multitafsir dan mempercepat proses rencana tindak lanjut, karena setiap temuan sudah terstruktur dengan baik dan didukung oleh bukti-bukti objektif yang relevan.
Struktur PLOR dalam AMI tidak hanya membantu meningkatkan pemahaman auditee terhadap “isi” temuan, namun juga berdampak langsung terhadap penguatan PPEPP (penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian dan peningkatan standar).
Baca juga: Auditor AMI: Dibenci atau Disayang?
Dengan penyampaian hasil audit yang jelas dan terstruktur, auditee (unik kerja) dapat dengan cepat menindaklanjuti KTS yang ditemukan. Dengan kata lain proses pengendalian dan peningkatan mutu (siklus PPEPP) dapat dilakukan lebih cepat, efektif dan efisien.
Audit Mutu Internal (AMI) merupakan bagian integral dari upaya penguatan SPMI (PPEPP) di lembaga perguruan tinggi.
Untuk memastikan AMI berjalan efektif, pendekatan PLOR (Problem, Location, Objective, dan Reference) dalam penulisan PTKP (permintaan tindakan korektif dan preventif) sangat diperlukan.
Dengan struktur penulisan yang jelas, teraudit (auditee) dapat lebih mudah memahami masalah yang dihadapi, memahami tempat (lokasi) terjadinya masalah, memahami bukti-bukti objektif, serta referensi regulasi yang menjadi acuan.
Demikian, semoga berkah dn bermanfaat. Stay Relevant!
Oleh Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, konsultan mutu pendidikan.
Instagram: @mutupendidikan
Audit Mutu Internal (AMI) di perguruan tinggi telah menjadi instrumen penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas pendidikan. Melalui AMI, institusi akan dapat mencari peluang-peluang untuk melakukan perbaikan secara berkelanjutan (kaizen).
Namun, dalam praktiknya, dibeberapa perguruan tinggi, diduga AMI seringkali masih terjebak pada budaya “koreksi” semata, yakni perbaikan hanya sebatas pada “simtom” atau gejala saja.
Akibatnya, siklus kesalahan akan berulang, masalah yang sama akan ditemukan lagi pada saat kegiatan AMI berikutnya.
Sehingga ada ungkapan: “Lu lagi…lu lagi, itu lagi…itu lagi”. Masalah yang berulang muncul saat AMI dilakukan.
Hal ini terjadi karena tindakan koreksi yang dilakukan, sering bersifat sementara dan tidak disertai perubahan substansi dalam sistem. Ibarat menyapu lantai yang kotor, lalu dimasukkan ke bawah karpet.
Ungkapan “menyapu lantai yang kotor, lalu dimasukkan ke bawah karpet” mengandung makna metaforis bahwa individu berusaha menutupi atau menyembunyikan masalah, tidak berusaha menyelesaikan secara tuntas.
Dalam konteks organisasi, hal ini bisa merujuk pada praktik di mana sebuah masalah diatasi hanya secara “kosmetik”, tanpa tindakan yang substansi untuk memperbaikinya.
Institusi ingin terlihat baik dari luar, namun mengabaikan masalah-masalah mendasar yang memerlukan perhatian serius.
Akibatnya, masalah tersebut berpotensi muncul kembali, berulang dan terus berulang, mungkin dalam skala yang semakin besar.
Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), terutama dalam kerangka PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar), menuntut pendekatan yang lebih menyeluruh (holistik).
SPMI yang ideal bukan hanya bertujuan untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi, namun mencegah terjadinya kesalahan serupa di masa yang akan datang.
Untuk itu, AMI perlu bertransformasi, tidak hanya berhenti pada tindakan koreksi, tetapi berkembang menjadi lebih korektif, sekaligus mengedepankan langkah-langkah proaktif melalui pendekatan preventif yang menyeluruh.
Masih kuatnya budaya koreksi, seringkali disebabkan oleh faktor internal perguruan tinggi.
Tekanan untuk memenuhi persyaratan akreditasi dan regulasi eksternal yang mendorong institusi fokus pada “perbaikan cepat” dan instan terhadap temuan-temuan audit.
Tim auditor dan unit yang diaudit cenderung “kompak” lebih mengutamakan penyelesaian langsung dibandingkan upaya untuk mencegah terulangnya masalah di masa depan.
“Habit” ini semakin mengakar ketika sistem penjaminan mutu internal hanya memprioritaskan hasil-hasil yang sifatnya jangka pendek.
Aristoteles, filsuf Yunani mengatakan: “Quality is not an act, it is a habit.”
Ungkapan “Quality is not an act, it is a habit” berarti mutu bukanlah sesuatu yang dilakukan sesekali atau secara spontan (act), melainkan merupakan hasil dari tindakan konsisten dan berulang (habit) yang dilakukan secara terus-menerus.
Mutu bukanlah hasil dari satu tindakan saja, namun terbentuk melalui kebiasaan yang baik, kerja keras, kerja cerdas dan disiplin yang dilakukan secara berkesinambungan.
Dengan kata lain, untuk mencapai mutu pendidikan, individu atau institusi harus menjadikan “best practice” (praktik terbaik) sebagai bagian integral dari keseharian mereka.
Perguruan tinggi lebih fokus pada pengisian laporan audit dan pemenuhan target administratif, daripada pengembangan sistem yang lebih adaptif dan mampu mengidentifikasi potensi risiko sejak dini.
Akibatnya, langkah-langkah preventif menjadi terabaikan, dan masalah-masalah yang sama kerap muncul di siklus audit berikutnya.
Koreksi: Menghilangkan gejala (simtom). Korektif: Menghilangkan akar masalah. Preventif: Mencegah munculnya masalah
SPMI yang ideal mengharuskan adanya keseimbangan antara tindakan koreksi, korektif, dan preventif. Ketiganya saling melengkapi dan memastikan bahwa sistem mutu di perguruan tinggi terus berkembang.
Namun, untuk mencapai keseimbangan ini, AMI harus berfokus pada aspek-aspek yang lebih mendasar (subtansial) dari sistem penjaminan mutu internal, terutama pada fase pengendalian dan peningkatan.
Pendekatan preventif dalam AMI tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki kesalahan yang telah terjadi, tetapi juga mengidentifikasi potensi risiko (manajemen resiko) yang mungkin muncul dan mengambil langkah-langkah untuk mencegahnya.
Ini membutuhkan perubahan pola pikir, pola sikap dan cara kerja yang lebih proaktif serta integrasi yang lebih baik antara proses PPEPP dalam SPMI.
Berikut adalah beberapa langkah penting dalam menggerakkan AMI dari tindakan koreksii, korektif ke preventif:
Sejalan dengan penguatan SPMI, perguruan tinggi memiliki peran penting dalam menggerakkan perubahan. Perubahan dari budaya hanya koreksi saja, menjadi budaya korektif dan preventif.
Institusi pendidikan tinggi harus melihat AMI sebagai alat (tools) strategis yang tidak hanya memperbaiki kesalahan tetapi juga mencari nilai tambah untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Ini berarti bahwa perguruan tinggi harus berani keluar dari “zona nyaman”, di mana audit hanya digunakan untuk kegiatan formalitas dan menutupi masalah jangka pendek.
Audit mutu internal harus mampu bertransformasi dan mampu memprioritaskan upaya pencegahan yang lebih menyeluruh (holistik).
Dengan mendorong budaya pencegahan (preventif), AMI menjadi lebih dari sekadar instrumen administratif. AMI menjadi bagian integral dari pengembangan sistem penjaminan mutu internal yang berkelanjutan dan mendukung pencapaian target standar pendidikan yang lebih luas.
Audit Mutu Internal (AMI) yang bertransformasi dari tindakan koreksi ke korektif, korektif ke preventif adalah kunci penguatan SPMI di perguruan tinggi.
Dengan membangun budaya yang lebih proaktif, AMI bukan hanya mengatasi masalah yang sudah terjadi saja, AMI dapat dikembangkan menjadi motor penggerak “kaizen”.
Perguruan tinggi harus keluar dari siklus koreksi semata dan mulai membangun sistem yang lebih responsif, adaptif, dan inovatif, demi menjaga mutu pendidikan yang terus berkembang.
Saatnya AMI bergerak maju, dari sekadar koreksi, menjadi korektif, selanjutnya menuju budaya pencegahan, untuk masa depan pendidikan tinggi yang lebih baik. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, tim konsultan mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Dalam rangka penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi, audit mutu internal (AMI) memiliki peran yang sangat krusial.
AMI bukan hanya sekadar alat (tools) untuk mengevaluasi kepatuhan terhadap standar SPMI yang telah ditetapkan, tetapi juga merupakan instrumen penting untuk mendorong peningkatan berkelanjutan (kaizen).
Namun, dalam praktiknya, terdapat hal menarik yang sering menjadi dipertanyakan: mengapa auditor AMI sering dibenci oleh sebagian pihak (auditee) di perguruan tinggi?
Bagaimana menyikapi hal ini?
Penguatan SPMI di perguruan tinggi menuntut adanya siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar). Dalam konsep TQM, siklus ini mirip dengan PDCA yang dipopulerkan oleh Edwards Deming.
Dalam siklus PPEPP, evaluasi dan pengendalian memegang peranan kunci. Di sinilah AMI menjadi titik krusialnya. Selain AMI ada juga aktivitas pelngkap lainnya seperti monev, penilaian (assessment) dan lain sebagainya.
Auditor AMI, sebagai pihak yang melakukan penilaian (assessment) terhadap berbagai kegiatan yang berlangsung di institusi, memiliki peran untuk memastikan bahwa mutu tetap terpenuhi, terjaga dan terlampaui.
Auditor juga harus memastikan, adanya peluang-peluang perbaikan yang diidentifikasi.
Tanpa AMI yang tertib, kuat dan objektif, implementasi SPMI akan kehilangan arah. Tidak ada mekanisme fungsi kontrol (pengendalian) yang memadai untuk memastikan standar SPMI tercapai dan ditingkatkan.
Baca juga: Kritisi AMI: di Balik Gegagalan Mutu Perguruan Tinggi
Sayangnya, di banyak institusi, auditor AMI lebih sering dipersepsi sebagai tim “pemburu kesalahan”, atau tim pencari kesalahan.
Sikap ini muncul, bisa jadi karena auditor “terlalu fokus” pada upaya menemukan kelemahan dan kekurangan dalam sistem yang sedang berjalan.
Ini tercermin dalam sikap auditor yang cenderung mencari-cari kesalahan dan kurang peduli pada aspek positif dari unit kerja yang diaudit.
AMI sering kali hanya dipersepsi sebagai kewajiban administratif, dan hasilnya lebih banyak berisi temuan negatif yang memicu resistensi dari pihak yang diaudit (auditee).
Auditor yang hanya menyoroti kesalahan unit kerja, tanpa peduli dengan prestasi dan karya best practice dari unit kerja, akan dianggap sebagai penghambat, bukan sebagai mitra yang membangun.
Pendekatan (mindset) auditor yang berorientasi pada kesalahan ini tidak jarang menimbulkan gesekan-gesekan dan ketidaknyamanan. Sering kali auditor ini menimbulkan ketakutan di kalangan staf, tim unit kerja dan dosen. Bila ini berlanjut, gak bahaya ta?
Namun, ada pula jenis auditor yang “disayang”, yaitu mereka yang melihat audit sebagai kesempatan untuk menggali peluang dan potensi positif.
Auditor jenis ini tidak fokus mencari kesalahan, melainkan fokus pada keberhasilan dan praktik baik yang dilakukan unit kerja.
Hal baik (best practice) yang dihasilkan unit kerja akan diapresiasi, diumumkan dan dirayakan.
Auditor jenis ini lebih berperan sebagai “mitra strategis” yang membantu perguruan tinggi menemukan area-area yang sudah berjalan baik dan mendorong untuk ditingkatkan lebih baik lagi.
Temuan positif (positive findings) yang diangkat oleh auditor ini membuat mereka dipandang sebagai agen perubahan (change agent) yang mendukung dan mendampingi perkembangan perguruan tinggi.
Auditor jenis ini tidak menimbulkan rasa takut, tidak menimbulkan rasa benci, namun justru sebaliknya dianggap mampu menciptakan suasana kolaboratif, auditee merasa dihormati dan dihargai hasil kerjanya.
Agar auditor AMI dapat berubah dari sosok individu yang dibenci menjadi disayang, bagaimana caranya?
Berikut ada beberapa perubahan mindset/ paradigma yang perlu dilakukan.
Pertama, auditor harus mampu menempatkan dirinya sebagai “agen perubahan” yang fokus pada temuan positif, dan upaya-upaya peningkatan, bukan sekadar mencari-cari kesalahan.
Auditor harus berlatih menjadi komunikator yang efektif. Smart dan trampil umpan balik yang konstruktif.
Auditor harus menjadi motivator, membangun semangat perbaikan di antara dosen, staf dan manajemen perguruan tinggi.
Kedua, auditor perlu terus belajar, memperkaya wawasan dan keterampilan (skills) mereka. Auditor perlu melakukan benchmarking melihat praktik-praktik baik di kampus-kampus lain.
Auditor yang ingin disayang, harus dapat memberikan masukan-masukan, rekomendasi yang lebih relevan dan berbasis pada pengalaman-pengalaman terbaik.
Untuk renungan bersama, auditor AMI sesungguhnya bisa menjadi sosok yang dibenci atau disayang, tergantung pada mindset yang mereka yakini.
Bila auditor hanya fokus pada mencari-cari kesalahan dan kelemahan, tentu mereka akan dibenci dan peluang untuk kolaboratif menjadi semakin kecil.
Auditor bisa juga menjadi disayang jika mampu merubah mindset mereka. Auditor yang fokus mengidentifikasi temuan-temuan positif dan berperan dalam mendorong peningkatan berkelanjutan (kaizen).
Dalam konteks penguatan SPMI, auditor AMI perlu menjalankan tanggung jawab mereka dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan berorientasi pada perbaikan mutu yang berkelanjutan.
Hanya dengan cara ini, auditor AMI akan dicintai, disayangi dan dihargai. Auditor akan menjadi mitra strategis untuk perguruan tinggi yang unggul. Stay Relevant and Stay Agile!
Oleh Bagus Suminar, Dosen UHW Perbanas Surabaya
Instagram: @mutupendidikan
Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas akademik, tata kelola, serta daya saing institusi pendidikan tinggi.
SPMI, dengan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar), memberikan panduan/pedoman bagi perguruan tinggi untuk secara sistematis meningkatkan mutu secara berkelanjutan.
Salah satu filosofi penting yang dapat memperkuat implementasi SPMI adalah penerapan peran “entrepreneurship” dalam manajemen, sebagaimana didefinisikan oleh Henry Mintzberg dalam 10 peran manajernya.
Peran entrepreneur ini memungkinkan manajer perguruan tinggi (rektor, direktur, ketua, dekan, kaprodi dll.) untuk mampu bertindak sebagai agen perubahan, mendorong inovasi, dan mengidentifikasi peluang yang dapat memperkuat sistem mutu internal.
Dalam konteks SPMI, peran entrepreneur dari Mintzberg memainkan peran penting pada Siklus PPEPP:
Mintzberg mengelompokkan 10 peran manajerial ke dalam tiga kategori utama: peran interpersonal, peran informasional, dan peran pengambilan keputusan.
Entrepreneurship masuk dalam kategori peran pengambilan keputusan dan memiliki hubungan erat dengan penguatan SPMI dalam beberapa hal sebagai berikut:
Kendala pimpinan perguruan tinggi yang kurang berani bersikap entrepreneurial sering kali terkait dengan beberapa faktor yang membatasi inisiatif mereka. Berikut penjelasan dari tiga kendala yang Anda sebutkan:
Baca juga: SPMI dan 10 Peran Manajer (Teori Henry Mintzberg)
Ketiga kendala ini menunjukkan pentingnya perubahan pola pikir pada level pimpinan perguruan tinggi agar lebih proaktif, berani, dan inovatif dalam mengelola lembaga pendidikan tinggi.
Entrepreneurship dalam peran manajer sangat penting dalam mendorong perguruan tinggi untuk tetap kompetitif dan relevan di era globalisasi.
Dengan penguatan SPMI yang dipimpin oleh pemikiran entrepreneurial, perguruan tinggi tidak hanya meningkatkan mutu internal mereka tetapi juga mampu beradaptasi dengan perubahan eksternal yang terjadi di sektor pendidikan tinggi. Stay Relevant and Stay Agile!
Instagram: @mutupendidikan
Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perguruan tinggi menjadi aspek fundamental dalam menjamin percapainya mutu pendidikan yang berkelanjutan (kaizen).
SPMI Pendidikan tinggi, terdiri dari 5 siklus PPEPP yang terdiri dari Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar.
PPEPP ini berfungsi sebagai kerangka kerja yang mendorong institusi perguruan tinggi untuk secara sistematis meningkatkan mutu, baik mutu akademik maupun mutu non-akademik.
Salah satu strategi penting dalam implementasi SPMI adalah penerapan “manajemen pengetahuan” atau knowledge management (KM).
Knowledge management menyediakan landasan penting bagi perguruan tinggi untuk mengelola dan memanfaatkan pengetahuan secara efektif. Knowledge management memastikan bahwa informasi dan praktik terbaik (best practice) dikumpulkan, disebarkan dan diterapkan di seluruh organisasi.
Dalam konteks perguruan tinggi, knowledge management mencakup beragam informasi penting, mulai dari best practice, manajemen pendidikan, strategi terbaru, teknologi terbaru, penelitian akademik, praktik pengajaran terbaik, hingga hasil evaluasi mutu, dll.
Implementasi knowledge management, memastikan bahwa pengetahuan penting yang diperoleh anggota organisasi, tidak hanya didokumentasikan namun juga mudah diakses dan digunakan oleh elemen organisasi untuk mendukung proses pengambilan keputusan.
Sebagaimana dijelaskan diatas, PPEPP terdiri dari 5 tahap siklus yaitu penetapan standar, pelaksanaan standar, evaluasi pelaksanaan standar, pengendalian pelaksanaan standar dan peningkatan standar.
Dalam proses Penetapan Standar SPMI, tim SPMI memerlukan akses yang luas terhadap berbagai sumber pengetahuan, baik dari dalam maupun luar institusi.
KM membantu integrasi pengetahuan dari berbagai sumber, seperti penelitian, praktik baik, serta umpan balik dari pemangku kepentingan, sehingga standar mutu yang ditetapkan benar-benar relevan dan dapat diaplikasikan.
Dengan menerapkan knowledge management (KM), perguruan tinggi dapat memanfaatkan data dan informasi yang ada untuk menyusun kebijakan, standar dan prosedur SPMI yang diperlukan.
Pada tahap Pelaksanaan Standar SPMI, knowledge management (KM) membantu memastikan semua staf dan fakultas memiliki pemahaman yang sama tentang standar dan prosedur mutu.
Knowledge management menyediakan platform untuk berbagi pengetahuan dengan mudah melalui sistem informasi, pelatihan, dan dokumentasi.
Platform knowledge management juga berfungsi mempercepat penyebaran informasi ke seluruh bagian di perguruan tinggi.
Selanjutnya, Evaluasi Pelaksanaan Standar, juga merupakan tahap penting dalam PPEPP.
Dengan memanfaatkan knowledge management (KM), perguruan tinggi dapat menyimpan dan menganalisis data dari berbagai sumber secara terstruktur. Knowledge management memungkinkan proses audit, monitoring dan penilaian dapat lebih efektif dan efisien.
Lebih lanjut, pengetahuan yang dihasilkan dari proses evaluasi pelaksanaan standar, dapat didistribusikan kepada pihak-pihak yang relevan untuk mendorong proses perbaikan lebih lanjut.
Knowledge management yang efektif, memungkinkan hasil evaluasi tidak hanya menjadi dokumen yang tersimpan, namun dapat berfungsi sebagai sumber pembelajaran dan perbaikan yang terus-menerus diperbarui (update) dan dimanfaatkan.
Selanjutnya, pada tahap Pengendalian dan Peningkatan standar SPMI, knowledge management menjadi sangat krusial dalam memfasilitasi proses perbaikan berkelanjutan (kaizen).
Sistem knowledge management memungkinkan informasi tentang kelemahan atau kekurangan (weaknesses) yang ditemukan dalam evaluasi diakses dengan mudah oleh semua pihak yang bertanggung jawab.
Pada akhirnya, knowledge management dapat mendukung pengendalian mutu yang lebih efektif karena memungkinkan pemantauan berkelanjutan (monitoring) terhadap implementasi standar dan memberikan umpan balik (feed back) langsung mengenai perubahan yang diperlukan.
Knowledge management juga mampu memfasilitasi peningkatan mutu dengan memberikan akses kepada segenap tim SPMI terdadap pengetahuan baru. Pengetahuan baru dapat digunakan untuk melakukan inovasi dan perbaikan dalam program akademik, dan administrasi perguruan tinggi.
Sistem insentif untuk program knowledge management, juga memainkan peran yang sangat penting bagi keberhasilan SPMI, tanpa adanya penghargaan atau insentif yang jelas, SDM cenderung kurang termotivasi untuk berbagi pengetahuan yang mereka miliki. Berikut beberapa faktor penyebab, seperti:
Inilah tantangan dan kendala yang harus dikelola agar knowledge management dapat berkembang biak.
Dengan memberikan insentif yang jelas, budaya kolaborasi, pengakuan formal, atau kesempatan pengembangan karier, perguruan tinggi insyaAllah akan dapat memotivasi SDM untuk lebih terbuka dan aktif dalam berbagi pengetahuan.
Sebagai penutup, knowledge management mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penguatan SPMI perguruan tinggi bila dikelola dengan baik dan benar. Semua tergantung dari komitmen dan strategi yang tepat dari pimpinan.
Dengan mengintegrasikan knowledge management dalam siklus PPEPP, institusi dapat memastikan pengetahuan yang relevan akan mudah diperoleh, mudah digunakan secara efektif, dan dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan yang berbasis data.
Terakhir, melalui implementasi knowledge management yang baik dan benar, perguruan tinggi dapat membangun budaya mutu (quality culture) yang berkelanjutan, memastikan perbaikan terus-menerus, dan meningkatkan daya saing dalam lingkungan global yang semakin kompetitif. Stay Relevant and Stay Agile!
Oleh : Bagus Suminar, Dosen UHW Perbanas Surabaya / Direktur Mutu Pendidikan
Instagram: @mutupendidikan
Visi: Menjadi partner aktif Perguruan Tinggi dalam Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) yang efektif dan efisien.
Misi: Penguatan SPMI, Siklus PPEPP dan Budaya Mutu Pendidikan
Badan Hukum: PT. Fokus Inovasi Andalan Sejahtera. Kemenkumham no. AHU-0065119.AH.01.02. Perijinan berusaha, Sertifikat: 12092200264270005
Copyright © 2024 | mutupendidikan.com