• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Storytelling: Agar Data SPMI Lebih Bermakna dan Menginspirasi

SPMI dan Mission Differentiation Perguruan Tinggi

Storytelling: Agar Data SPMI Lebih Bermakna dan Menginspirasi


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Diskusi berjalan datar, bahkan kadang berakhir tanpa respons yang berarti. Padahal, di balik setiap angka itu, tersimpan potret nyata kehidupan kampus: mahasiswa yang berjuang menyelesaikan studi, dosen yang mencari cara terbaik mengajar, hingga program-program yang diam-diam terus berbenah.

Namun semua itu hanya mungkin terjadi jika data disampaikan lebih dari sekadar informasi. Ia perlu dikisahkan, dirangkai menjadi narasi yang menyentuh logika sekaligus emosi. Inilah kekuatan storytelling—seni mengubah data menjadi cerita yang bermakna, menggerakkan, dan menginspirasi.

Baca juga: Mengapa Budaya Mutu Butuh Storytelling?

Data yang Kehilangan Makna

Salah satu kesalahan terbesar dalam presentasi SPMI adalah terlalu fokus pada angka tanpa memikirkan bagaimana audiens akan menerima pesan itu. Ini seperti memberikan seseorang peta tanpa kompas.

Teori komunikasi mengajarkan bahwa pesan yang efektif bukan hanya soal isi, tetapi juga tentang bagaimana pesan itu dikemas dan disampaikan. Terlebih lagi, menurut psikologi pendidikan, manusia cenderung lebih mudah memahami dan mengingat informasi jika dikaitkan dengan cerita atau pengalaman personal.

Dalam SPMI—Sistem Penjaminan Mutu Internal yang diatur oleh Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023—data menjadi tulang punggung evaluasi dan perbaikan berkelanjutan. Lewat siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, Peningkatan), kampus didorong untuk tidak hanya mengisi borang, tetapi juga membaca, memahami, dan merespons data dengan bijak. Namun, PPEPP hanya akan berfungsi maksimal jika data yang dihasilkan mampu dipahami semua pihak dan memicu diskusi yang produktif. Karena itu, mengubah cara menyampaikan data menjadi bagian penting dari penguatan budaya mutu.

Bercerita Lewat Angka

Teori dual coding dalam psikologi pendidikan menyatakan bahwa manusia memproses informasi lebih baik ketika teks atau angka dipadukan dengan gambar atau visual yang bermakna. Dalam konteks mutu, ini berarti grafik bukan sekadar gambar, tetapi harus menjadi bagian dari alur cerita yang menyampaikan pesan yang jelas: ada tantangan, ada proses, ada hasil, dan ada harapan.

Sebagai contoh, bandingkan dua cara menyampaikan data tracer study. Yang pertama: “Tingkat serapan lulusan tahun ini 68%, turun 5% dibanding tahun lalu.” Yang kedua: “Hampir sepertiga lulusan kita masih berjuang mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. Ini berarti, dari 100 mahasiswa yang lulus, 32 di antaranya belum menemukan tempat yang tepat untuk berkarya. Apa yang bisa kita lakukan agar mereka lebih siap menghadapi dunia kerja?” Narasi kedua mengajak audiens untuk peduli, berpikir, dan terlibat. Data yang sama, namun daya geraknya berbeda.

Baca juga: Peran Dosen yang Berkembang: Mengajar, Membimbing, dan Menginspirasi

Kalimat yang Hidup

Mengawali presentasi dengan pertanyaan yang memancing rasa ingin tahu akan jauh lebih efektif daripada langsung menampilkan grafik. Kalimat seperti, “Apa yang sebenarnya terjadi dengan program bimbingan akademik kita? Mengapa lebih dari 20% mahasiswa tahun ketiga masih kesulitan menyelesaikan proposal skripsinya?” akan membuka ruang diskusi lebih dalam dibanding sekadar berkata, “Berikut data capaian bimbingan skripsi.”

Pendekatan ini sejalan dengan elaboration likelihood model dalam ilmu komunikasi yang menjelaskan bahwa audiens akan lebih termotivasi memproses pesan jika merasa secara personal terhubung dengan isu yang disampaikan. Oleh karena itu, sampaikan data dengan konteks, bukan hanya konten. Tunjukkan apa arti data itu bagi dosen, mahasiswa, atau pimpinan. Misalnya, alih-alih mengatakan “Indeks kepuasan mahasiswa 3,5 dari 5,” lebih kuat jika Anda mengajak audiens membayangkan: “Satu dari empat mahasiswa merasa pelayanan akademik kita belum memuaskan. Apa yang bisa kita lakukan bersama untuk memperbaikinya?”

Gunakan visual yang sederhana namun kuat.

Visualisasi yang Menggugah

Visualisasi data dalam laporan SPMI sering kali jatuh ke dalam jebakan yang sama: terlalu banyak grafik, terlalu rumit, dan tidak fokus pada pesan utama. Padahal, menurut teori cognitive load, manusia hanya mampu memproses sejumlah informasi dalam waktu yang terbatas. Semakin rumit tampilan data, semakin kecil kemungkinan audiens bisa menangkap pesan yang ingin disampaikan.

Misalnya, jika tren kelulusan mengalami penurunan, cukup tampilkan garis tren sederhana dengan highlight di titik penurunan. Tambahkan kalimat yang menggugah, seperti: “Apakah kita akan membiarkan tren ini terus menurun, atau sudah saatnya kita bertindak?”

Cerita bisa ditambahkan di balik data-data penting, seperti AMI, tracer study, atau capaian PPEPP. Setiap grafik bukan hanya memvisualkan angka, tetapi mengajak audiens memahami konteks di balik angka itu. Apa tantangannya? Apa upaya yang sudah dilakukan? Apa langkah berikutnya? Dengan begitu, rapat mutu menjadi ruang dialog yang produktif, bukan sekadar ritual tahunan.

Baca juga: Mengapa Standar Pengelolaan Harus Merata Hingga ke Prodi

Penutup

Budaya mutu tidak akan tumbuh hanya dengan mengumpulkan data dan membuat laporan. Ia membutuhkan keterlibatan, pemahaman, dan komitmen bersama. SPMI dengan siklus PPEPP telah menyediakan kerangka kerja yang solid, namun tanpa cara penyampaian yang menggugah, data hanya akan menjadi tumpukan angka yang dilupakan.

Menguasai storytelling with data bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi bagian dari strategi membangun budaya mutu yang hidup. Saat data disampaikan dengan cerita, ia menjadi pesan yang menginspirasi, menggerakkan, dan mengajak semua pihak untuk bertindak.


Referensi

  1. Bruner, J. S. (1960). The process of education. Cambridge, MA: Harvard University Press.
  2. Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic motivation and self-determination in human behavior. New York: Plenum Press.
  3. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  4. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  5. Goetsch, D. L., & Davis, S. B. (2014). Quality management for organizational excellence: Introduction to total quality (7th ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson.
  6. Kim, W. C., & Mauborgne, R. (2005). Blue ocean strategy: How to create uncontested market space and make the competition irrelevant. Harvard Business School Press.
  7. OpenAI. (2025). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  8. Ornstein, A.C. & Hunkins, F.P. (2018). Curriculum: Foundations, Principles, and Issues. Pearson.
  9. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  10. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2024). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  11. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  12. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

admin

MOTTO: Senantiasa bergerak dan berempati untuk menebar manfaat bagi Mutu Pendidikan di Indonesia