
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Di banyak ruang rapat perguruan tinggi, penyajian data mutu sering kali terasa hambar. Angka-angka disusun rapi dalam grafik dan tabel, laporan disampaikan dengan serius, namun audiens tetap sulit terhubung secara emosional.
Diskusi berjalan datar, bahkan kadang berakhir tanpa respons yang berarti. Padahal, di balik setiap angka itu, tersimpan potret nyata kehidupan kampus: mahasiswa yang berjuang menyelesaikan studi, dosen yang mencari cara terbaik mengajar, hingga program-program yang diam-diam terus berbenah.
Laporan SPMI (Sistem Penjaminan Mutu Internal) semestinya bukan sekadar deretan angka. Ia seharusnya menjadi alat yang menghidupkan kesadaran, mendorong refleksi, dan memicu aksi.
Namun semua itu hanya mungkin terjadi jika data disampaikan lebih dari sekadar informasi. Ia perlu dikisahkan, dirangkai menjadi narasi yang menyentuh logika sekaligus emosi. Inilah kekuatan storytelling—seni mengubah data menjadi cerita yang bermakna, menggerakkan, dan menginspirasi.
Baca juga: Mengapa Budaya Mutu Butuh Storytelling?
Salah satu kesalahan terbesar dalam presentasi SPMI adalah terlalu fokus pada angka tanpa memikirkan bagaimana audiens akan menerima pesan itu. Ini seperti memberikan seseorang peta tanpa kompas.
Angka-angka memang penting, tetapi tanpa konteks dan tanpa narasi, data hanya akan berakhir sebagai deretan informasi yang sulit dihubungkan dengan realitas.
Teori komunikasi mengajarkan bahwa pesan yang efektif bukan hanya soal isi, tetapi juga tentang bagaimana pesan itu dikemas dan disampaikan. Terlebih lagi, menurut psikologi pendidikan, manusia cenderung lebih mudah memahami dan mengingat informasi jika dikaitkan dengan cerita atau pengalaman personal.
Dalam SPMI—Sistem Penjaminan Mutu Internal yang diatur oleh Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023—data menjadi tulang punggung evaluasi dan perbaikan berkelanjutan. Lewat siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, Peningkatan), kampus didorong untuk tidak hanya mengisi borang, tetapi juga membaca, memahami, dan merespons data dengan bijak. Namun, PPEPP hanya akan berfungsi maksimal jika data yang dihasilkan mampu dipahami semua pihak dan memicu diskusi yang produktif. Karena itu, mengubah cara menyampaikan data menjadi bagian penting dari penguatan budaya mutu.
Data SPMI akan jauh lebih bermakna jika diubah menjadi kisah yang relevan. Inilah prinsip dasar storytelling with data—mengubah angka menjadi narasi, menghubungkan data dengan kehidupan nyata, dan membangun alur yang menyentuh logika dan emosi audiens.
Teori dual coding dalam psikologi pendidikan menyatakan bahwa manusia memproses informasi lebih baik ketika teks atau angka dipadukan dengan gambar atau visual yang bermakna. Dalam konteks mutu, ini berarti grafik bukan sekadar gambar, tetapi harus menjadi bagian dari alur cerita yang menyampaikan pesan yang jelas: ada tantangan, ada proses, ada hasil, dan ada harapan.
Sebagai contoh, bandingkan dua cara menyampaikan data tracer study. Yang pertama: “Tingkat serapan lulusan tahun ini 68%, turun 5% dibanding tahun lalu.” Yang kedua: “Hampir sepertiga lulusan kita masih berjuang mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. Ini berarti, dari 100 mahasiswa yang lulus, 32 di antaranya belum menemukan tempat yang tepat untuk berkarya. Apa yang bisa kita lakukan agar mereka lebih siap menghadapi dunia kerja?” Narasi kedua mengajak audiens untuk peduli, berpikir, dan terlibat. Data yang sama, namun daya geraknya berbeda.
Baca juga: Peran Dosen yang Berkembang: Mengajar, Membimbing, dan Menginspirasi
Cara kita membuka rapat mutu bisa menentukan apakah audiens akan terlibat atau justru mengantuk di lima menit pertama.
Mengawali presentasi dengan pertanyaan yang memancing rasa ingin tahu akan jauh lebih efektif daripada langsung menampilkan grafik. Kalimat seperti, “Apa yang sebenarnya terjadi dengan program bimbingan akademik kita? Mengapa lebih dari 20% mahasiswa tahun ketiga masih kesulitan menyelesaikan proposal skripsinya?” akan membuka ruang diskusi lebih dalam dibanding sekadar berkata, “Berikut data capaian bimbingan skripsi.”
Pendekatan ini sejalan dengan elaboration likelihood model dalam ilmu komunikasi yang menjelaskan bahwa audiens akan lebih termotivasi memproses pesan jika merasa secara personal terhubung dengan isu yang disampaikan. Oleh karena itu, sampaikan data dengan konteks, bukan hanya konten. Tunjukkan apa arti data itu bagi dosen, mahasiswa, atau pimpinan. Misalnya, alih-alih mengatakan “Indeks kepuasan mahasiswa 3,5 dari 5,” lebih kuat jika Anda mengajak audiens membayangkan: “Satu dari empat mahasiswa merasa pelayanan akademik kita belum memuaskan. Apa yang bisa kita lakukan bersama untuk memperbaikinya?”
Visualisasi data dalam laporan SPMI sering kali jatuh ke dalam jebakan yang sama: terlalu banyak grafik, terlalu rumit, dan tidak fokus pada pesan utama. Padahal, menurut teori cognitive load, manusia hanya mampu memproses sejumlah informasi dalam waktu yang terbatas. Semakin rumit tampilan data, semakin kecil kemungkinan audiens bisa menangkap pesan yang ingin disampaikan.
Gunakan visual yang sederhana namun kuat. Pilih grafik yang tepat untuk jenis data yang Anda tampilkan, dan batasi jumlah elemen dalam satu slide. Hindari menggunakan warna-warni yang berlebihan, cukup gunakan penekanan pada bagian data yang ingin Anda soroti.
Misalnya, jika tren kelulusan mengalami penurunan, cukup tampilkan garis tren sederhana dengan highlight di titik penurunan. Tambahkan kalimat yang menggugah, seperti: “Apakah kita akan membiarkan tren ini terus menurun, atau sudah saatnya kita bertindak?”
Cerita bisa ditambahkan di balik data-data penting, seperti AMI, tracer study, atau capaian PPEPP. Setiap grafik bukan hanya memvisualkan angka, tetapi mengajak audiens memahami konteks di balik angka itu. Apa tantangannya? Apa upaya yang sudah dilakukan? Apa langkah berikutnya? Dengan begitu, rapat mutu menjadi ruang dialog yang produktif, bukan sekadar ritual tahunan.
Baca juga: Mengapa Standar Pengelolaan Harus Merata Hingga ke Prodi
Budaya mutu tidak akan tumbuh hanya dengan mengumpulkan data dan membuat laporan. Ia membutuhkan keterlibatan, pemahaman, dan komitmen bersama. SPMI dengan siklus PPEPP telah menyediakan kerangka kerja yang solid, namun tanpa cara penyampaian yang menggugah, data hanya akan menjadi tumpukan angka yang dilupakan.
Menguasai storytelling with data bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi bagian dari strategi membangun budaya mutu yang hidup. Saat data disampaikan dengan cerita, ia menjadi pesan yang menginspirasi, menggerakkan, dan mengajak semua pihak untuk bertindak.
Jadi, mari hentikan cara lama yang membosankan. Waktunya menyampaikan data SPMI dengan cara yang menyentuh hati dan membuka ruang perubahan. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan