• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Undang Undang

SPMI dan Analisis Peluang Eksternal

Evaluasi Permendikbudristek 53/2023: Kecepatan versus Akuntabilitas

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 merupakan regulasi penting dalam sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Regulasi ini bertujuan baik yakni mendorong terwujudnya perguruan tinggi yang adaptif, inklusif, dan bermutu melalui penerapan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI).

Kebutuhan akan kecepatan pengambilan keputusan (speed) adalah hal penting dalam implementasi SPMI, khususnya dalam menghadap era BANI (Brittle, Anxious, Non- linear, Incomprehensible) yang menuntut perguruan tinggi untuk terus berinovasi dalam upaya mencapai keunggulan kompetitif. Kebutuhan ini akan terhambat bila birokrasi dan mekanisme koordinasi dengan pemangku kepentingan internal, tidak ditata secara fleksibel, terutama dalam kaitan kerja sama dengan Senat dan Badan Penyelenggara (yayasan).

Tantangan ini semakin berat karena pemangku kepentingan internal belum tentu memiliki pemahaman yang komprensif terhadap kompleksitas SPMI. Pimpinan perguruan tinggi di satu sisi dihadapkan pada tuntutan tata kelola yang cepat dan adaptif, di sisi lain tetap harus menjaga terwujudnya asas akuntabilitas. Dalam konteks ini, evaluasi terhadap Permendikbudristek No. 53/2023 menjadi penting untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya mengedepankan asas akuntabilitas, namun regulasi ini juga mampu memberi ruang untuk tindakan responsif cepat dalam kondisi mendesak.

Baca juga: Inovasi Penjaminan Mutu: Masukan Untuk Evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023

Kecepatan dan Akuntabilitas

Tantangannya, kecepatan ini sering kali berbenturan dengan prosedur koordinasi yang memerlukan masukan Senat dan persetujuan Badan Penyelenggara (untuk PTS), sehingga memperlambat pengambilan keputusan.

Di sisi lain, asas akuntabilitas tetap menjadi landasan tata kelola yang baik. Perguruan tinggi harus mempertahankan transparansi dalam setiap kebijakan mutu untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil didasarkan pada data dan masukan yang valid. Oleh karena itu, diperlukan revisi kebijakan yang mampu menyeimbangkan kedua pilar ini (kecepatan dan akuntabilitas) tanpa mengorbankan salah satunya.

Baca juga: Lima Prinsip SPMI: Fondasi Kokoh Menuju Keunggulan Institusi

Analisis Permendikbudristek 53/2023

Pasal 69 ayat (2) dari Permendikbudristek No. 53/2023 saat ini mewajibkan pemimpin perguruan tinggi untuk menetapkan SPMI setelah mendapat masukan Senat dan persetujuan Badan Penyelenggara atau Yayasan (untuk PTS). Sementara itu, tuntutan pengelolaan SPMI sering kali bersifat dinamis, memerlukan tindakan responsif yang cepat untuk menangkap peluang-peluang yang ada. Hal tersebut akan sulit dicapai bila adaptasi SPMI harus selalu berkoordinasi dengan Senat dan Badan Penyelenggara.

Terkait kebijakan diatas, menurut pendapat penulis, diperlukan revisi terhadap Pasal 69 ayat (2) dengan menekankan pentingnya fleksibilitas dalam kondisi mendesak tanpa mengurangi asas akuntabilitas.

Revisi Pasal 69 Ayat (2)

Isi Pasal 69 ayat (2):

Pemimpin perguruan tinggi menetapkan SPMI setelah:

  1. Mendapat pertimbangan senat perguruan tinggi bagi perguruan tinggi negeri; atau
  2. Mendapat pertimbangan senat perguruan tinggi dan disetujui oleh badan penyelenggara bagi perguruan tinggi swasta.
Usulan Revisi Pasal 69 ayat (2)
  1. Pemimpin perguruan tinggi menetapkan SPMI berdasarkan masukan Senat dan Badan Penyelenggara melalui mekanisme evaluasi tahunan, kecuali dalam kondisi mendesak.
  2. Dalam kondisi mendesak, pemimpin perguruan tinggi berwenang menetapkan kebijakan SPMI sementara yang berlaku hingga maksimal 6 (enam) bulan, dengan kewajiban melaporkan kepada Senat dan/atau Badan Penyelenggara dalam 10 (sepuluh) hari kerja.
  3. Mekanisme evaluasi tahunan wajib mengintegrasikan:
    • Siklus SPMI (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan).
    • Keterpaduan dengan Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD-Dikti).
  4. Persetujuan elektronik dapat digunakan untuk percepatan persetujuan, sesuai ketentuan perguruan tinggi.

Revisi ini memberi ruang fleksibilitas yang diperlukan institusi untuk mengambil tindakan cepat tanpa mengesampingkan akuntabilitas. Pelaporan wajib dalam jangka waktu tertentu memastikan bahwa kebijakan sementara tetap terpantau dan dapat disesuaikan bila diperlukan revisi ulang.

Baca juga: Kemalasan Sosial: Musuh Tersembunyi SPMI

Audit Mutu Internal (AMI)
Evaluasi Tahunan: Pilar Kolaborasi

Mekanisme Evaluasi Tahunan: Pilar Kolaborasi

Evaluasi tahunan berfungsi sebagai forum untuk mengumpulkan masukan dari Senat dan Badan Penyelenggara (yayasan) dan juga berfungsi untuk memastikan siklus SPMI berjalan sesuai dengan kerangka PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan).

Selain manfaat diatas, evaluasi tahunan juga memberikan peluang untuk mengintegrasikan data pada Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD-Dikti). Dengan menggunakan data yang akurat, pengambilan keputusan dapat menjadi lebih relevan, sehingga meningkatkan mutu kebijakan yang diambil.

Baca juga: SPMI Berbasis Pengetahuan: Aset Utama Perguruan Tinggi

Digitalisasi Persetujuan

Dengan digitalisasi, proses persetujuan dapat dilakukan secara daring tanpa perlu mengadakan pertemuan fisik, dengan cara ini tentu menghemat waktu dan sumber daya.

Persetujuan elektronik juga berdampak pada meningkatkan transparansi. Setiap persetujuan atau penolakan dapat tersimpan dan terdokumentasi dengan baik. Hal ini mendorong mekanisme akuntabilitas yang lebih kuat, meskipun dalam situasi yang menuntuk kecepatan dan fleksibilitas yang tinggi.

Revisi Pasal 69 ayat (2) dengan pendekatan yang lebih fleksibel dan responsif akan memberikan dampak positif bagi keberlanjutan mutu pendidikan di Indonesia. Dengan adanya mekanisme kebijakan sementara, perguruan tinggi akan dapat merespons kebutuhan mendesak tanpa harus menunggu proses yang lama.

Di sisi lain, integrasi evaluasi tahunan diharapkan akan dapat memastikan bahwa kebijakan SPMI tetap relevan dengan kebutuhan aktual dan mendapat dukungan dari segenap pemangku kepentingan. Dengan demikian, usulan revisi ini akan mampu menciptakan keseimbangan antara kecepatan dan akuntabilitas.

Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI

Penutup

Evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023 memberikan peluang untuk perbaikan tata kelola SPMI di perguruan tinggi.

Melalui metode ini, perguruan tinggi Insya Allah dapat meningkatkan efisiensi tata kelola tanpa mengorbankan asas, prinsip mutu dan transparansi. Stay Relevant!

Baca juga: Misi SPMI: Menjadikan Kualitas sebagai DNA Perguruan Tinggi


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Inovasi Penjaminan Mutu: Masukan Untuk Evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Penjaminan mutu pendidikan tinggi di Indonesia merupakan salah satu pilar penting untuk memastikan bahwa sistem pendidikan tinggi menghasilkan lulusan yang kompeten dan relevan dengan kebutuhan global.

Kebijakan diatas kerap kali dihadapkan berbagai tantangan, termasuk keterbatasan fleksibilitas dan tingginya beban administratif bagi pelaksana perguruan tinggi.

Melalui Surat Edaran Nomor 15 Tahun 2024, Menteri mengundang pemangku kepentingan untuk memberikan masukan, saran dan pertimbangan atas evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023. Artikel ini bertujuan untuk memberikan masukan dan usulan konkret guna meningkatkan efektivitas kebijakan penjaminan mutu pendidikan tinggi. Masukan ini fokus pada upaya perbaikan fleksibilitas, relevansi, dan inovasi yang dibutuhkan perguruan tinggi untuk bersaing secara global.

Baca juga: Usulan Revisi Permendikbudristek No 53/2023: Otonomi dan Fleksibiltas Penjaminan Mutu

Evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023

Potensi yang Dimiliki

Permendikbudristek No. 53/2023 memiliki potensi untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip penjaminan mutu berbasis Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti). Kebijakan ini memberikan kerangka kerja yang jelas untuk perguruan tinggi dalam melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Standar Dikti yang ditetapkan dirancang untuk memastikan keselarasan mutu pendidikan tinggi di tingkat nasional.

Permendikbudristek No. 53/2023 juga mendorong dan memberikan peluang bagi perguruan tinggi untuk melampaui SN Dikti melalui pengembangan Standar Dikti yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi. Kebijakan ini menjadi penting karena memastikan semua perguruan tinggi, baik PTN maupun PTS, memiliki pedoman yang sama untuk meningkatkan mutu pendidikan mereka.

Hambatan dalam Implementasi

Kebingungan terhadap konsep PPEPP dan administrasi yang berat untuk memenuhi lima komponen PPEPP sering kali menyita sumber daya yang seharusnya dapat dialokasikan untuk pengembangan mutu melalui inovasi dan eksperimen lainnya. Kurangnya ruang fleksibilitas dapat mempersulit perguruan tinggi untuk menyesuaikan metode penjaminan mutu mereka dengan visi dan misi unik (mission diferentiation) masing-masing.

Pendekatan Berbasis Hasil

Salah satu cara untuk meningkatkan efektivitas (dan efisiensi) penjaminan mutu adalah dengan mengalihkan fokus dari proses administratif ke hasil nyata yang ingin dicapai.

Contoh, perguruan tinggi dapat menggunakan indikator keberhasilan seperti tingkat kepuasan mahasiswa, daya serap lulusan di dunia kerja, atau inovasi penelitian. Pendekatan ini memberikan ruang bagi perguruan tinggi untuk bereksperimen dengan cara atau metode manajemen mutu lain tanpa harus terikat menerapkan “PPEPP” versi pemerintah, contoh seperti memakai PDCA (Plan-Do-Check-Act), Lean- Agile Management, metode balance scorecard, atau metode QMS lain seperti ISO 21000.

Kebebasan memilih sistem manajemen mutu tentu sangat relevan dengan semangat otonomi perguruan tinggi yang diamanahkan UU no 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Perguruan tinggi dapat memilih sistem mutu yang sesuai dengan kemampuan, potensi dan kebutuhan mereka. Pendekatan kebijakan “berbasis hasil” mendorong perguruan tinggi untuk fokus pada hasil nyata (substantif) dari sistem penjaminan mutu (QMS) yang mereka pilih secara mandiri.

Penyesuaian dengan Konteks Lokal

Setiap perguruan tinggi memiliki karakteristik dan misi unik (mission differentition) yang berbeda, baik dari segi sumber daya, lokasi geografis, maupun fokus keilmuan. Oleh sebab itu, kebijakan penjaminan mutu perlu memberikan keleluasaan kepada perguruan tinggi untuk menyesuaikan implementasinya dengan konteks lokal. Perguruan tinggi dapat bebas mengadopsi metode alternatif yang mereka anggap paling cocok, misal seperti Six Sigma, MBO (management by objective) atau model lainnya. Perguruan tinggi dapat berinovasi dengan modifikasi PPEPP menjadi cukup 3 langkah saja (lebih mudah diingat): Penetapan, Pelaksanaan dan Evaluasi saja (dimana tahap Penetapan dan Peningkatan sudah dimasukkan dalam indikator proses Evaluasi). Institusi juga dapat berinovasi dengan berbagai kombinasi dan pilihan kearifan lokal untuk memenuhi komponen PPEPP. Penyesuaian ini, memungkinkan institusi untuk tetap fokus pada hasil (capaian standar) tanpa harus terbebani oleh proses administratif yang diseragamkan.

Baca juga: Inkrementalisme dalam SPMI: Realistis atau Jalan di Tempat?

SPMI dan Mutu Pendidikan Indonesia

Insentif untuk Inovasi dalam Penjaminan Mutu

Mendorong Eksperimen melalui Dukungan Pendanaan

Misalnya, perguruan tinggi yang mengadopsi teknologi digital dan AI untuk meningkatkan efisiensi sistem manajemen mutu dapat menerima hibah untuk memperluas implementasi tersebut. Hal ini tidak hanya mendorong inovasi namun juga menciptakan model praktik baik (best practice) yang dapat diadopsi oleh institusi lain.

Lebih lanjut, Kementerian dapat memfasilitasi pilot project untuk menguji pendekatan baru dalam penjaminan mutu. Program ini memungkinkan perguruan tinggi untuk mencoba metode baru tanpa harus menghadapi risiko besar, (sambil tetap terjaga untuk memenuhi kewajiban standar nasional).

Pengakuan atas Pencapaian Unggul

Penghargaan ini dapat berupa hadiah atau akreditasi khusus, publikasi hasil pencapaian, atau status “excellence” yang meningkatkan reputasi institusi di tingkat nasional maupun internasional. Hal ini tentu dapat meningkatkan semangat / motivasi dosen dan karyawan. Mereka akan bersungguh-sungguh mengejar hal-hal yang substantif bukan sekedar formalitas administratif belaka.

Baca juga: SPMI dalam Perspektif Easton: Pendidikan Tinggi di Persimpangan Jalan?

5 Poin Rekomendasi

Untuk evaluasi Kebijakan SPMI pada Permendikbudristek No. 53/2023, berikut 5 poin masukan sebagai bahan pertimbangan:

  1. Fleksibilitas dalam Implementasi SPMI: Mengakomodasi metode alternatif seperti PDCA, Lean atau Agile Quality Management untuk memenuhi komponen PPEPP.
  2. Evaluasi Berbasis Hasil: Memfokuskan penilaian pada dampak nyata, seperti keberhasilan lulusan (capaian standar kompetensi lulusan) dan relevansi kurikulum.
  3. Dukungan Teknologi: Memanfaatkan teknologi yang sederhana dan mudah dipahami untuk mengurangi beban administratif dalam pelaporan mutu.
  4. Insentif untuk Inovasi: Memberikan hibah/ pendanaan tambahan dan pengakuan bagi perguruan tinggi yang berhasil berinovasi untuk model penjaminan mutu yang lebih efektif dan efisien.
  5. Pendekatan Modular: Mengizinkan perguruan tinggi untuk menyesuaikan elemen penjaminan mutu dengan kebutuhan mereka.

Baca juga: Menakar Keberhasilan SPMI: Efektifkah Siklus PPEPP?

Penutup

Dengan memberikan ruang bagi perguruan tinggi untuk berinovasi dan menyesuaikan metode mereka, kebijakan ini dapat meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan.

Pendekatan berbasis hasil, dukungan teknologi, dan insentif inovasi akan memastikan bahwa kebijakan penjaminan mutu tidak hanya menjadi alat kontrol semata, namun juga pendorong transformasi dalam pendidikan tinggi. Dengan demikian, Insya Allah pendidikan tinggi di Indonesia akan lebih siap menghadapi tantangan global sambil tetap relevan dengan tuntutan dan harapan stakeholder lokal. Stay Relevant!

Baca juga: Benchmarking: Membuka Jalan Menuju SPMI Unggul


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Kemalasan Sosial

Menakar Keberhasilan SPMI: Efektifkah Siklus PPEPP?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah kebijakan Pemerintah yang dipandang cukup strategis untuk meningkatkan dan menjaga mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 menekankan pentingnya perguruan tinggi menerapkan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) untuk mendorong perbaikan mutu secara berkelanjutan (kaizen).

Namun, di tengah tuntutan peningkatan mutu dan perubahan undang-undang dan peraturan menteri, muncul pertanyaan kritis: Apakah siklus PPEPP cukup efektif dalam mendongkrak mutu pendidikan tinggi di Indonesia?, atau hanya berakhir sebagai beban formalitas administratif belaka? Evaluasi komprehensif diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan SPMI tidak hanya menjadi prosedur rutin, namun juga mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap mutu dan relevansi pendidikan di Indonesia.

Untuk menjawab persoalan tersebut, diperlukan evaluasi komprehensif atas implementasi SPMI guna menilai efektivitas kebijakan dalam meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Kerangka evaluasi William N. Dunn akan dipakai sebagai pisau analisis dalam kajian ini. Teori dari Dunn memberikan pemahaman yang komprehensif tentang pelaksanaan kebijakan.

William N. Dunn adalah seorang profesor di Graduate School of Public and International Affairs, University of Pittsburgh. Ia dikenal luas atas kontribusinya dalam analisis kebijakan publik melalui karya seperti Public Policy Analysis: An Integrated Approach, yang digunakan secara global dalam studi kebijakan dan administrasi publik.

Enam kriteria diatas tidak hanya membantu menilai keberhasilan kebijakan, namun juga mengidentifikasi tantangan, kendala serta area-area yang memerlukan perbaikan dalam siklus PPEPP. Analisis dengan 6 kriteria diatas dapat memberikan wawasan tentang bagaimana kebijakan SPMI dapat dioptimalkan untuk mendukung peningkatan mutu secara berkelanjutan (kaizen).

Efektivitas: Apakah SPMI Berhasil?

Jika siklus PPEPP diterapkan dengan benar, perguruan tinggi diharapkan mampu meningkatkan mutu dalam dua aspek yaitu akademik dan non-akademik.

Namun, ada dugaan, bahwa pelaksanaan siklus PPEPP seringkali tidak merata di seluruh program studi. Ketidakkonsistenan ini menimbulkan pertanyaan, apakah kebijakan tersebut benar-benar memberikan dampak signifikan atau hanya berakhir sebagai formalitas / prosedur administratif tanpa perubahan yang substansial.

Selain itu, efektivitas kebijakan SPMI dapat dievaluasi melalui indikator kinerja yang dicapai melalui pencapaian target dari standar SPMI, contoh seperti publikasi ilmiah, peningkatan kompetensi lulusan, dan kepuasan mahasiswa. Keberhasilan pencapaian target standar SPMI ini tidak hanya diukur dari kepatuhan administratif, namun dari dampak nyata terhadap mutu pendidikan dan relevansi lulusan di pasar tenaga kerja.

Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier

Efisiensi: Apakah Sumber Daya Optimal?

Dalam pelaksanaan siklus PPEPP, perguruan tinggi perlu memastikan bahwa budget, infrastruktur, dan tenaga SDM digunakan secara efektif untuk mendukung peningkatan mutu secara berkelanjutan.

Namun di beberapa perguruan tinggi, implementasi SPMI sering kali menghadapi tantangan berupa keterbatas anggaran dan kapasitas (skills) sumber daya manusia, terutama di perguruan tinggi swasta di daerah-daerah. Proses penting seperti evaluasi dan pengendalian mutu memerlukan sistem informasi serta dukungan administrasi yang memadai, namun tidak semua perguruan tinggi memiliki kemampuan tersebut, sehingga menghambat pencapaian dari standar SPMI.

Permasalahan diatas memunculkan pertanyaan penting: Apakah kebijakan SPMI mampu berjalan efisien di semua jenis perguruan tinggi?

Efisiensi siklus PPEPP sangat bergantung pada keterampilan manajerial dan komitmen pimpinan perguruan tinggi dalam mengalokasikan sumber daya secara strategis. Tanpa pengelolaan yang baik, kebijakan SPMI berisiko menjadi boros dan mahal tanpa memberikan hasil signifikan.

Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”

Kecukupan: Apakah SPMI Mampu Menjawab Tantangan Mutu Pendidikan?

Dalam konteks SPMI, kebijakan SPMI disusun bertujuan untuk memastikan standar SPMI dipenuhi oleh perguruan tinggi, program studi dan unit kerja.

Bagaimana dalam praktiknya? Diduga tidak semua masalah pendidikan tinggi dapat diselesaikan hanya melalui penerapan PPEPP. Beberapa masalah seperti rendahnya minat penelitian di kalangan dosen atau kurangnya keterlibatan industri dalam pengembangan kurikulum mungkin tidak sepenuhnya teratasi melalui kebijakan SPMI.

Oleh sebab itu, kebijakan SPMI dianggap cukup atau memadai (adequacy) bila mampu memperbaiki “sebagian besar” aspek mutu pendidikan, meskipun mungkin belum mencakup untuk seluruh dimensi mutu di perguruan tinggi. Oleh karena itu, perguruan tinggi “perlu aktif” melakukan penyesuaian dan inovasi kebijakan agar penerapan PPEPP dapat memenuhi kebutuhan internal sekaligus menjawab tantangan eksternal.

Keadilan: Apakah Dilaksanakan Merata?

Kebijakan SPMI harus memastikan bahwa seluruh program studi dan unit di perguruan tinggi mendapatkan perhatian dan dukungan yang adil serta memadai. Namun, dalam praktik diduga bahwa terdapat ketimpangan dalam penerapan PPEPP, di mana program studi unggulan atau fakultas yang lebih mapan cenderung mendapatkan dukungan sumber daya yang lebih besar.

Akses yang merata terhadap sumber daya pendidikan juga menjadi indikator penting dalam menilai keadilan kebijakan. Perguruan tinggi perlu memastikan semua mahasiswa dari berbagai latar belakang mendapatkan layanan pendidikan tanpa diskriminasi.

Responsivitas: Seberapa Cepat Menanggapi Perubahan?

Dalam dunia pendidikan tinggi yang dinamis, kebijakan SPMI harus responsif-adaptif terhadap perkembangan teknologi, tuntutan industri, dan kebutuhan mahasiswa. Namun, birokrasi yang kompleks dan kurangnya komunikasi-koordinasi sering kali menjadi penghambat dalam penerapan kebijakan SPMI yang cepat dan tepat.

Beberapa perguruan tinggi menunjukkan kemampuan responsif dengan memodifikasi kurikulum dan mengadopsi teknologi digital untuk meningkatkan mutu pendidikan. Akan tetapi, tidak semua institusi memiliki fleksibilitas yang sama. Hal ini menimbulkan tantangan dalam menjaga agar standar SPMI yang ditetapkan perguruan tinggi tetap relevan dengan kebutuhan dan tuntutan yang berkembang.

Baca juga: Transformatif SPMI: Kunci Bertahan di Era BANI

Kelayakan: Apakah Kebijakan SPMI Relevan?

Kebijakan SPMI akan dianggap tepat jika mampu mendukung pencapaian visi dan misi perguruan tinggi serta memenuhi standar nasional dan internasional. Kelayakan juga berkaitan dengan sejauh mana kebijakan SPMI mampu beradaptasi dengan perubahan kondisi eksternal perguruan tinggi.

Diduga kuat, di beberapa perguruan tinggi kebijakan SPMI hanya menjadi rutinitas administratif belaka, tanpa menyentuh permasalahan substansial. Perguruan tinggi perlu memastikan bahwa siklus PPEPP tidak hanya berfokus pada kepatuhan formal, namun juga pada peningkatan mutu yang signifikan dan berkelanjutan (continuous improvement).

Baca juga: Kurangi Kerumitan SPMI, Bisakah?

Penutup

Evaluasi kebijakan SPMI dengan prspektif 6 (enam) kriteria William Dunn memberikan wawasan mendalam tentang efektivitas dan mutu kebijakan di perguruan tinggi.

SPMI yang dijalankan melalui siklus PPEPP memiliki potensi besar dalam meningkatkan mutu pendidikan tinggi. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada faktor-faktor utama, seperti ketersediaan sumber daya, komitmen pimpinan, dan responsivitas terhadap perubahan kebutuhan.

Dalam praktiknya, tidak semua perguruan tinggi mampu menjalankan kebijakan SPMI secara efisien dan merata. Beberapa perguruan tinggi menghadapi kendala dalam penerapan siklus PPEPP, baik karena keterbatasan sumber daya maupun hambatan komunikasi-koordinasi. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi dan penyesuaian berkelanjutan agar kebijakan ini dapat diimplementasikan dengan baik dan benar sesuai dengan dinamika pendidikan tinggi.

Penerapan 6 kriteria dari Dunn membantu mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan kebijakan serta memberikan arahan untuk perbaikan.

Perguruan tinggi harus memastikan bahwa SPMI tidak hanya menjadi kewajiban formalitas-administratif, namun juga sebagai tools (alat) strategis untuk mencapai keunggulan dan peningkatan mutu yang berkelanjutan.

Dengan komitmen dan pengelolaan (management) yang tepat, siklus PPEPP dapat menjadi mekanisme yang efektif dalam menjamin mutu dan relevansi pendidikan tinggi di Indonesia. Stay Relevant!

Referensi

  • Dunn, W. N. (1994). Public policy analysis: An introduction. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
  • Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  • Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.

Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023: Pasal 31-39, Standar Pengelolaan

Standar Pengelolaan


Pasal 31
(1) Standar pengelolaan merupakan kriteria minimal
mengenai perencanaan, pelaksanaan, serta pengawasan
dan pengendalian kegiatan pendidikan untuk mencapai
standar kompetensi lulusan.
(2) Perencanaan, pelaksanaan, serta pengawasan dan
pengendalian kegiatan pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan menerapkan prinsip tata
kelola perguruan tinggi yang baik untuk melaksanakan
misi perguruan tinggi.


Pasal 32

(1) Perencanaan kegiatan pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (1) dilakukan oleh perguruan tinggi
dengan menyusun perencanaan pengembangan jangka
panjang yang dinyatakan dalam rencana strategis
perguruan tinggi.
(2) Perencanaan kegiatan pendidikan untuk peningkatan
proses dan hasil belajar secara berkelanjutan dituangkan
dalam rencana jangka menengah dan jangka pendek.


Pasal 33
(1) Pelaksanaan kegiatan pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (1) dilakukan:
a. dengan menjunjung tinggi integritas dan etika
akademik; dan
b. dalam kerangka kebebasan akademik, kebebasan
mimbar akademik, dan otonomi keilmuan yang
bertanggung jawab.
(2) Pelaksanaan kegiatan pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) minimal meliputi:
a. pengelolaan dan pelayanan kepada mahasiswa;
b. pengelolaan sumber daya; dan
c. pengelolaan data dan informasi dengan
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.


Pasal 34
(1) Pengawasan dan pengendalian kegiatan pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dilakukan
dalam bidang akademik dan nonakademik berdasarkan
misi perguruan tinggi.
(2) Pengawasan dan pengendalian kegiatan pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal meliputi:
a. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan
pendidikan serta efektivitas kebijakan akademik;
b. pemantauan potensi risiko;
c. penjaminan kepatuhan pada pengaturan otoritas
akademik dan etika akademik;
d. penerimaan, pendokumentasian, pemrosesan dan
penyelesaian keluhan, laporan atau pengaduan
terhadap dugaan pelanggaran etika akademik,
pelanggaran peraturan perguruan tinggi, dan
pelanggaran peraturan perundang-undangan; dan
e. pelaporan dan akuntabilitas terhadap pemanfaatan
bantuan pendanaan dan/atau sumber daya dari
mitra.


Pasal 35
Pengelolaan dan pelayanan kepada mahasiswa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf a minimal meliputi:
a. penerimaan mahasiswa baru;
b. penyiapan mahasiswa; dan
c. layanan mahasiswa.


Pasal 36
(1) Penerimaan mahasiswa baru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 huruf a dilakukan berdasarkan potensi
serta prestasi mahasiswa dalam bidang akademik
dan/atau nonakademik.
(2) Penerimaan mahasiswa baru sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bersifat:
a. afirmatif dengan menunjukkan keberpihakan
kepada mahasiswa yang kurang mampu secara
ekonomi;
b. inklusif dengan memperhatikan kebutuhan khusus
mahasiswa; dan
c. adil dengan memberi kesempatan terbuka tanpa
membedakan suku, agama, ras, dan antargolongan.
(3) Penerimaan mahasiswa baru sebagaimana dimaksud pada
ayat (1):
a. diumumkan secara terbuka di laman resmi
perguruan tinggi dan dapat diakses oleh masyarakat;
dan
b. dilakukan melalui mekanisme seleksi yang
transparan dan akuntabel.
(4) Perguruan tinggi dalam penerimaan mahasiswa baru
dapat melakukan rekognisi pembelajaran lampau sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 37
(1) Penyiapan mahasiswa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 huruf b dilakukan bagi mahasiswa baru yang
akan mulai mengikuti pendidikan.
(2) Penyiapan mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) minimal meliputi:
a. penjelasan umum perguruan tinggi;
b. cara belajar yang menjunjung prinsip integritas
akademik;
c. cara mewujudkan kampus yang bebas dari
kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi;
dan
d. cara beradaptasi pada kehidupan di perguruan tinggi
yang aman, sehat, dan ramah lingkungan.
(3) Seluruh kegiatan dalam penyiapan mahasiswa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus bebas dari
kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi.


Pasal 38
(1) Layanan mahasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 huruf c minimal meliputi layanan:
a. administrasi akademik;
b. bimbingan konseling;
c. kesehatan; dan
d. keperluan dasar untuk mahasiswa berkebutuhan
khusus.
(2) Layanan mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diberikan oleh unit khusus atau terintegrasi dalam
pengelolaan perguruan tinggi.


Pasal 39
(1) Pengelolaan data dan informasi dengan memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf c bertujuan
untuk:
a. memastikan keamanan, kebenaran, akurasi,
kelengkapan dan kemutakhiran data akademik;
b. mendukung perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan pengambilan keputusan dalam
pengelolaan perguruan tinggi;
c. melaporkan data profil dan kinerja perguruan tinggi
pada PD Dikti sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
d. menyediakan data dan informasi perguruan tinggi
yang dapat diakses publik.
(2) Data dan informasi perguruan tinggi yang dapat diakses
publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
disajikan minimal melalui laman resmi perguruan tinggi.


Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan


Bab 1 Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023

Bab 1 Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023

TENTANG PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI

Link Powerpoint

BAB I

Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi adalah kegiatan sistemik untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berencana dan berkelanjutan.
  2. Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang selanjutnya disebut SN Dikti adalah satuan standar yang meliputi standar nasional pendidikan ditambah dengan standar penelitian dan standar pengabdian kepada masyarakat.
  3. Tridharma Perguruan Tinggi yang selanjutnya disebut Tridharma adalah kewajiban perguruan tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
  4. Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi yang selanjutnya disebut SPM Dikti adalah rangkaian unsur dan proses terkait mutu pendidikan tinggi yang saling berkaitan dan tersusun secara teratur dalam menjamin dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berencana dan berkelanjutan.
  5. Sistem Penjaminan Mutu Internal yang selanjutnya disingkat SPMI adalah rangkaian unsur dan proses yang saling berkaitan dan tersusun secara teratur dalam rangka menjamin dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi di perguruan tinggi secara otonom.
  6. Sistem Penjaminan Mutu Eksternal yang selanjutnya disingkat SPME adalah rangkaian unsur dan proses yang saling berkaitan dan tersusun secara teratur dalam rangka menjamin dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi melalui Akreditasi.
  7. Akreditasi adalah kegiatan penilaian sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan berdasarkan SN Dikti.
  8. Masa Tempuh Kurikulum adalah waktu teoritis yang dibutuhkan untuk menyelesaikan seluruh beban belajar dalam kurikulum suatu program pendidikan tinggi secara penuh waktu.
  9. Pangkalan Data Pendidikan Tinggi yang selanjutnya disebut PD Dikti adalah kumpulan data penyelenggaraan pendidikan tinggi seluruh perguruan tinggi yang terintegrasi secara nasional.
  10. Kementerian adalah Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
  11. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
  12. Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi yang selanjutnya disingkat BAN-PT adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk mengembangkan sistem Akreditasi. 
  13. Lembaga Akreditasi Mandiri yang selanjutnya disingkat LAM adalah lembaga akreditasi mandiri yang dibentuk oleh Pemerintah atau masyarakat yang diakui oleh Pemerintah.

Pasal 2 

(1) Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi dilakukan melalui penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan peningkatan standar pendidikan tinggi. 

(2) Standar pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: 

a. SN Dikti; dan 

b. standar pendidikan tinggi yang ditetapkan oleh perguruan tinggi

Demikian Ketentuan dalam Bab 1 Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, semoga bermanfaat.


Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

1
×

Layanan Informasi

× Hubungi Kami