
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Coba jujur deh, waktu dengar kata “SPMI”, yang terlintas di benak kita biasanya: laporan, form, rapat, dan segudang dokumen. Padahal, SPMI itu bukan cuma soal tumpukan kertas atau prosedur teknis. Di balik semua itu, ada filosofi penting yang bisa bikin kampus jadi lebih sehat, dinamis, dan berorientasi pada perbaikan berkelanjutan.
SPMI, sesuai dengan pedoman terbaru tahun 2024 dari Ditjen Diktiristek, adalah sistem yang dirancang supaya mutu kampus nggak jalan di tempat.
Tapi kuncinya bukan sekadar “menjalankan prosedur”, melainkan bagaimana kita bisa menginternalisasi nilai-nilai mutu itu ke dalam kebiasaan harian seluruh civitas akademika. Kalau cuma ngisi form tapi nggak ada perubahan nyata, ya percuma juga kan?
Baca juga: Transformasi Mutu Kampus Melalui Benchmarking Digital: Mungkinkah?
Banyak kampus sudah punya dokumen mutu lengkap—dari kebijakan sampai standar operasional. Tapi pertanyaannya, udah bener-bener hidup belum dokumen itu di lapangan? Nah, di sinilah pentingnya internalisasi nilai-nilai mutu. Artinya, semua orang di kampus—dosen, mahasiswa, staf—bener-bener memahami dan menjalankan prinsip-prinsip mutu dalam aktivitas sehari-hari.
Misalnya, standar pelayanan mahasiswa bukan cuma angka di kertas, tapi jadi komitmen bersama. Atau ketika dosen mengajar, mereka sadar bahwa peningkatan kualitas pembelajaran bukan buat akreditasi doang, tapi karena memang peduli sama hasil belajar mahasiswa. SPMI yang hidup ya yang kayak gitu—bukan yang cuma muncul waktu mau reakreditasi.
Baca juga: Antara Ideal dan Realitas: Apa Isi Kebijakan SPMI Kampusmu?
Nah, bicara soal sistem SPMI, pasti ketemu sama siklus PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan.
Mungkin kesannya ribet, tapi sebenarnya PPEPP itu logika kerja yang sederhana dan masuk akal banget.
Kita mulai dari menetapkan standar, jalankan, evaluasi hasilnya, kendalikan deviasinya, lalu perbaiki terus. Gampang kan?
Kalau kampus bisa menjadikan PPEPP sebagai budaya berpikir, maka setiap unit kerja bakal terbiasa berpikir sistematis. Nggak asal-asalan bikin program, dan setiap keputusan didasarkan pada data serta refleksi. Inilah cara cerdas menghidupkan SPMI—bukan lewat banyak aturan, tapi lewat proses berpikir yang konsisten.
Baca juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik
Salah satu kesalahan umum adalah menganggap mutu cuma soal target kuantitatif: angka IPK, jumlah publikasi, lama studi, dan sebagainya. Padahal, nilai mutu itu lebih dalam dari itu. Mutu bicara soal sikap: apakah kita terbuka pada masukan? Mau belajar dari kesalahan? Konsisten dalam pelayanan? Nah, sikap-sikap kayak gitu yang membentuk budaya mutu sejati.
Di sinilah pentingnya pendekatan humanis dalam SPMI. Kampus bukan pabrik, dan mahasiswa bukan produk.
Tapi kalau kita bisa menanamkan semangat perbaikan terus-menerus di semua lini, dari rektor sampai cleaning service, maka kita sudah berada di jalur yang benar untuk menghidupkan SPMI secara menyeluruh.
Baca juga: Membumikan Strategi Kampus: Semua Unit Paham dan Bergerak Sesuai Arah
Kalau kita cuma menjalankan SPMI karena tuntutan regulasi, hasilnya ya biasa-biasa aja. Tapi kalau kita melihatnya sebagai peluang untuk tumbuh dan memperkuat identitas kampus, hasilnya bisa luar biasa.
SPMI yang baik bukan yang paling tebal dokumennya, tapi yang paling terasa dampaknya dalam kehidupan kampus sehari-hari.
Jadi, yuk mulai sekarang kita ubah cara pandang kita. Integrasi nilai-nilai mutu ke dalam budaya kampus bukanlah kerja instan. Tapi dengan pendekatan yang cerdas dan kolaboratif, serta siklus PPEPP yang dijalankan dengan hati, SPMI akan jadi lebih dari sekadar sistem. Ia akan jadi denyut nadi kampus kita. Stay Relevant!
Baca juga: Mission Differentiation: Rahasia Kampus Kecil Bisa Unggul di Tengah Kompetisi Nasional
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi