• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Materi SPMI

Merancang Mission Differentiation di Era BANI

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Pendahuluan

Era BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, Incomprehensible) telah membawa dunia pendidikan tinggi ke dalam lanskap yang penuh gejolak dan tantangan. Perguruan tinggi tidak lagi cukup hanya menjaga mutu akademik saat ini, namun juga dituntut untuk beradaptasi dan bertranformasi secara cepat terhadap perubahan yang tidak dapat diprediksi (nonlinier).

Hal ini menjadi penting dalam menjawab kebutuhan lokal maupun berkontribusi terhadap problematik masyarakat global.

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), dengan siklus PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar, memberikan framework bagi perguruan tinggi untuk memastikan ketercapaian standar mutu secara berkelanjutan (kaizen). Namun, SPMI saja tidak akan efektif bila persoalan manajemen strategik belum terjawab secara relevan. Perguruan tinggi wajib merancang misi yang spesifik melalui penetapan mission differentiation. Metode ini membantu institusi tidak hanya mampu bertahan, namun juga mampu tumbuh berkembang di era BANI yang penuh perubahan.

Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?

Relevansi Era BANI terhadap Mission Differentiation

Era BANI menuntut institusi untuk lebih adaptif, fleksibel dan inovatif. Brittle atau rapuhnya sistem global, seperti yang terlihat pada pandemi atau krisis ekonomi, menuntut institusi untuk merancang keunikan misi yang tangguh dan berorientasi pada keberlanjutan. Ketidakpastian dan perubahan yang tidak linier menuntut institusi untuk fokus pada solusi yang cepat, tepat dan efektif.

Dalam situasi ini, mission differentiation menjadi lebih dari sekadar strategi. Ini adalah bentuk respons penting terhadap dunia yang berubah dengan sangat cepat. Institusi dituntut harus memanfaatkan sumber daya lokal dan teknologi untuk mampu berkinerja dan menciptakan dampak yang relevan. Contoh, perguruan tinggi di daerah agraris dapat memfokuskan misi mereka pada teknologi pertanian berbasis data untuk membantu petani meningkatkan produktivitas mereka.

Baca juga: SPMI Dinamis: Peningkatkan Daya Saing Perguruan Tinggi

Merancang Mission Differentiation di Era BANI

Merancang mission differentiation dapat dilakukan dengan analisis mendalam terhadap kekuatan internal (strengths) dan kebutuhan eksternal (opportunities). Perguruan tinggi harus berusaha keras untuk memahami potensi-potensi unik institusi, baik dari segi kekuatan SDM, infrastruktur, hubungan dengan industri, hingga keunggulan geografis dan budaya. Misal, politeknik di wilayah pesisir dapat memanfaatkan kedekatan posisi geografis dengan laut untuk menjadi pusat unggulan riset kelautan dan keberlanjutan ekosistem. Contoh lain, Perguruan tinggi yang unggul dibidang kreatifitas dan kewirausahaan dapat mengambil misi institusi berbasis pengembangan ekosistem startup dan kewirausahaan.

Langkah berikutnya, perguruan tinggi perlu merumuskan pernyataan misi (yang unik) yang relevan dengan tantangan era BANI. Hal ini mencakup respons terhadap isu-isu global seperti kecerdasan buatan, perubahan iklim, transformasi teknologi, dan ketidaksetaraan sosial.

Misal, politeknik di kawasan industri nikel dapat merancang misi yang fokus pada pendidikan vokasi berbasis teknologi pengolahan nikel untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di wilayah tersebut.

Setelah misi unik ditetapkan, integrasi dengan siklus PPEPP menjadi sangat penting. Misi yang dirumuskan harus diimplementasikan ke dalam standar SPMI, program kerja, dan evaluasi kinerja. Contoh, perguruan tinggi dengan misi sebagai pusat riset energi terbarukan dapat menetapkan indikator kinerja utama (IKU) seperti jumlah hak paten, publikasi bereputasi, dan kemitraan dengan perusahaan energi hijau. Evaluasi, pengendalian dan peningkatan standar yang berkelanjutan, dilakuan untuk memastikan bahwa misi tersebut tetap relevan.

Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI

Belajar dari Inspirasi Global

Buku “Designing the New American University” karya Michael M. Crow dan William B. Dabars menekankan pentingnya “inovasi” sebagai inti dari misi perguruan tinggi. Mereka menggarisbawahi bahwa institusi pendidikan harus responsif, adaptif terhadap kebutuhan masyarakat tanpa mengorbankan standar mutu akademik. Inovasi memungkinkan perguruan tinggi bertransformasi dengan cepat di tengah arus perubahan global yang nonlinier (BANI).

Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini relevan untuk membangun perguruan tinggi yang unggul dan kompetitif. Contoh, perguruan tinggi di daerah agraris dapat mengintegrasikan riset teknologi pertanian untuk meningkatkan hasil budidaya pertanian. Politeknik di kawasan industri perdagangan dapat menjadi pusat pendidikan vokasi berbasis otomatisasi, menjawab kebutuhan tenaga kerja yang berkembang di era digital.

Dengan mengadaptasi prinsip-prinsip dari buku tersebut, institusi di Indonesia dapat menciptakan misi yang tidak hanya relevan secara lokal namun juga memiliki dampak positif secara global. Integrasi inovasi dan kebutuhan masyarakat akan menjadikan misi unik institusi lebih tangguh menghadapi dinamika era BANI. Selain itu, Crow juga menyoroti bagaimana “desain ulang institusional” dapat membantu institusi menjadi lebih adaptif dalam menghadapi isu-isu besar seperti perubahan iklim, transformasi teknologi, dan ketidaksetaraan sosial.

Baca juga: Revolusi Mutu Perguruan Tinggi dan SPMI Digital

Penutup

Merancang mission differentiation di era BANI adalah landasan penting bagi perguruan tinggi untuk membangun identitas yang kuat dan relevan.

Misi yang spesifik dan adaptif, memungkinkan institusi menjadi lebih unggul dalam menghadapi dinamika era penuh ketidakpastian ini. Michael M. Crow dan William B. Dabars, menekankan bahwa inovasi institusional merupakan elemen kunci bagi universitas untuk tetap relevan dan berkontribusi pada tantangan sosial dan ekonomi yang terus berubah. Dengan komitmen terhadap misi unik yang berorientasi pada masa depan, perguruan tinggi dapat menjadi katalis perubahan yang signifikan.

Terakhir, Nelson Mandela pernah mengatakan, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Dengan misi unik yang dirancang dengan baik, institusi tidak hanya relevan, namun mampu menjadi “agen perubahan” yang membawa manfaat nyata bagi masyarakat dan dunia. Stay Relevant!

Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan


Referensi

  1. Crow, M. M., & Dabars, W. B. (2015). Designing the new American university. Johns Hopkins University Press.
  2. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2022). Organizational Behavior (18th ed.). Pearson.

Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Komunikasi dan keberhasilan SPMI

Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Pendahuluan

Institusi perguruan tinggi saat ini menghadapi tantangan besar untuk menjaga mutu pendidikan sekaligus membangun “identitas yang relevan” di tengah persaingan global. Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) menyediakan framework penting untuk memastikan mutu yang berkelanjutan melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar). Siklus ini memungkinkan perguruan tinggi menetapkan standar mutu yang konsisten sambil tetap memberi ruang bagi peningkatan standar.

Untuk efektifitas tata kelola, perguruan tinggi perlu memahami perbedaan antara mission differentiation dan positioning. Mission differentiation menekankan pada keunikan (kekhasan) misi institusi, sementara positioning fokus pada upaya bagaimana misi tersebut tersampaikan dan diterima baik oleh audiens. Kedua konsep ini saling melengkapi dalam membantu perguruan tinggi menciptakan keunggulan yang khas dan relevan di mata stakeholder.

Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier

Mission Differentiation: Menentukan Keunikan Misi Perguruan Tinggi

Visi dan Misi ini menjadi acuan utama untuk mengarahkan seluruh kegiatan (program kerja) institusi, termasuk pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Contoh, sebuah perguruan tinggi di kawasan pesisir dapat menetapkan misi untuk menjadi pusat unggulan dalam pengelolaan hasil laut. Misi ini memungkinkan perguruan tinggi mengembangkan program-program yang relevan, seperti teknik pengolahan hasil laut, penelitian ekologi maritim atau pelatihan keberlanjutan bagi nelayan lokal dan lain-lain.

Strategi ini memastikan bahwa setiap perguruan tinggi memiliki keunikan yang menciptakan nilai (manfaat) yang berbeda di mata pemangku kepentingan (stakeholder).

Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?

Positioning: Persepsi di Benak Audiens

Bila mission differentiation fokus pada “apa” (what) yang dilakukan perguruan tinggi, positioning adalah “bagaimana” (how) misi tersebut diterima dan dipahami oleh audiens. Dalam buku “Positioning: The Battle for Your Mind,” Al Ries dan Jack Trout menekankan bahwa positioning bukan hanya tentang produk itu sendiri, namun tentang bagaimana produk tersebut “dipersepsi” oleh khalayak audiens.

Misalnya, bila misi perguruan tinggi “X” adalah menjadi pusat unggulan riset energi terbarukan, positioning mereka dapat mengkomunikasikan hasil kontribusi nyata dalam inovasi energi, seperti keberhasilan paten teknologi hijau atau kolaborasi dengan mitra global. Ini artinya, positioning menerjemahkan mission differentiation menjadi persepsi yang kuat dan relevan di benak stakeholder.

Baca juga: AMI: Mencegah Masalah, Bukan Memperbaiki

Mission Differentiation vs Positioning

Fungsi mission differentiation dan positioning adalah saling melengkapi, namun memiliki peran yang berbeda. Mission differentiation mendefinisikan tujuan dan keunikan institusi, sedangkan peran positioning membawa keunikan ke dalam persepsi (benak) audiens.

Dalam penerapan SPMI, siklus PPEPP memberikan ruang untuk integrasi kedua strategi tersebut. Tahap penetapan standar (dalam PPEPP) dapat dilakukan berdasarkan misi spesifik perguruan tinggi. Tahap pelaksanaan standar, dilakukan dengan menyusun program yang efektif dan efisien dalam mencapai misi spesifik perguruan tinggi, sementara tahap evaluasi standar mencakup pengukuran sejauh mana positioning berhasil diterima dan dipahami oleh audiens. Tahap pengendalian dan peningkatan (dalam PPEPP) kemudian memastikan bahwa misi dan persepsi terus berkembang untuk tetap relevan di tengah perubahan.

Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI

Penutup

Mission differentiation dan positioning adalah pilar baru dalam membangun tata kelola perguruan tinggi. Mission differentiation membantu institusi menetapkan tujuan yang spesifik, sementara positioning memastikan bahwa keunikan misi behasil dipahami dan diterima oleh audiens. Kedua konsep ini bekerja bersama, bersinergi untuk menciptakan identitas perguruan tinggi yang kuat dan relevan.

Dengan integrasi mission differentiation dan positioning ke dalam siklus PPEPP, institusi dapat meningkatkan standar SPMI yang sesuai misi unik (secara bekelanjutan), dan juga mampu mengkomunikasikan dengan baik pada masyarakat. Langkah ini memungkinkan institusi membangun daya saing di tingkat lokal, regional maupun global. Stay Relevant!

Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Ries, A., & Trout, J. (2001). Positioning: The battle for your mind. McGraw-Hill.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2022). Organizational Behavior (18th ed.). Pearson.

Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Membangun Karakter dan Mutu Pendidikan

Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) menjadi pilar penting dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 menegaskan bahwa siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) adalah mekanisme inti yang wajib diterapkan setiap perguruan tinggi untuk memastikan keberlanjutan mutu pendidikan. Siklus PPEPP ini tidak hanya berfungsi sebagai panduan teknis untuk peningkatan standar, namun juga sebagai kerangka kerja strategis untuk mencapai standar nasional dan melampaui ekspektasi mutu yang telah ditetapkan.

Namun, penerapan SPMI tidak cukup hanya dengan pendekatan teknokratis semata. Peran dimensi manusia (psikologi), khususnya dalam membangun budaya mutu, menjadi aspek yang sangat krusial. Salah satu pendekatan berbasis psikologi organisasi adalah konsep Pygmalion Effect. Konsep yang diperkenalkan oleh Livingston (1988) menawarkan pendekatan menarik.

Efek ini tentu relevan bila diterapkan dalam pelaksanaan SPMI, terutama untuk mendorong motivasi dan kinerja yang berorientasi pada mutu.

Integrasi konsep Pygmalion Effect dalam implementasi SPMI membuka peluang untuk memaksimalkan potensi sumber daya manusia (SDM) di perguruan tinggi. Dengan memberikan “trust” dan harapan tinggi kepada segenap unit kerja, dosen, dan makasiswa, manajemen tidak hanya menggerakkan motivasi intrinsik mereka namun juga membangun budaya inovasi yang berkelanjutan (kaizen). Konsep ini memberikan nilai tambah signifikan bagi penerapan siklus PPEPP. SPMI tidak sekadar menjadi kewajiban administratif belaka, namun lebih dari itu dapat menjadi katalisator transformasi mutu di perguruan tinggi.

Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”

Kiat Memaksimalkan Potensi SDM

Livingston (1988) dalam artikel “Pygmalion in Management” menyoroti bagaimana ekspektasi (harapan) tinggi pimpinan mampu secara signifikan memengaruhi inner motivation bawahan. Konsep Pigmalion Effect menjelaskan bahwa “ketika individu dipercaya memiliki potensi besar, mereka cenderung merespons dengan prestasi yang lebih baik“. Efek ini menggarisbawahi bahwa “harapan” (ekspektasi) berfungsi sebagai katalis penting dalam pengembangan individu dan organisasi.

Terkait SPMI, ekspektasi tinggi dari manajemen terhadap unit kerja, dosen, dan mahasiswa mampu membentuk budaya mutu yang lebih kuat. Ekspektasi tinggi yang diberikan, memberikan dorongan psikologis yang menggerakkan individu dan juga juga membangun rasa percaya diri dalam menghadapi tantangan-tantangan mutu pendidikan tinggi.

Baca juga: Teori 2 Faktor: Memadukan SPMI dengan Motivasi Intrinsik

Ekspektasi yang tinggi, bila diiringi dengan kebijakan yang suportif, mampu mendorong inovasi dan transformasi institusi pendidikan. Dalam situasi ini, setiap individu merasa dihormati, diberdayakan, dan termotivasi untuk berkontribusi secara maksimal dalam mewujudkan visi dan misi institusi.

Contoh misalnya, pimpinan menetapkan standar penelitian yang lebih tinggi dari SN Dikti, dengan keyakinan dan ekspektasi tinggi bahwa dosen mampu meningkatkan jumlah publikasi ilmiah di jurnal bereputasi. Untuk mendukung ekspektasi ini, manajemen menyediakan pelatihan penulisan karya ilmiah dan menyediakan insentif penelitian.

Pygmalion Effect dalam Siklus PPEPP

Implementasi SPMI, sebagaimana diatur dalam Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, mewajibkan setiap perguruan tinggi untuk menjalankan siklus PPEPP sebagai kerangka kerja utama.

Manajemen perguruan tinggi yang “yakin dan percaya pada potensi pemangku kepentingan” akan merancang standar yang tidak hanya memenuhi SN Dikti, namun juga melampaui standar nasional sebagaimana diamanatkan dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023.

Pada tahap pelaksanaan (dalam PPEPP), pigmalion effect diimplementasikan dengan memberi kepercayaan dan tanggung jawab besar kepada unit kerja, dosen dan mahasiswa untuk melaksanakan program kerja untuk mencapai standar yang telah ditetapkan. Tentu saja kepercayaan yang diberikan harus dilengkapi dengan sumber daya (resources) yang mencukupi. Ekspektasi tinggi pimpinan terhadap kemampuan kerja mereka menciptakan suasana kerja yang menantang, di mana setiap individu merasa dihargai, diberdayakan dan didukung untuk berkontribusi maksimal.

Contoh untuk mahasiswa, perguruan tinggi memberi kepecayaan kepada mahasiswa untuk memimpin proyek inovasi pengabdian masyarakat. Ekspektasi tinggi diberikan bahwa mahasiswa mampu memberikan solusi nyata untuk proyek ini. Ekspektasi ini mendorong mahasiswa bekerja keras untuk berusaha mencapai hasil inovasi terbaik.

Tahap berikutnya adalah tahap evaluasi (dalam PPEPP). Tahap ini menjadi momen penting untuk menerapkan Pygmalion Effect melalui feedback yang membangun. Evaluasi yang dibangun adalah evaluasi yang “menekankan pada prestasi dan peluang pengembangan” (best practice, good point, temuan positif), daripada sekadar melihat pada kekurangan (ketidaksesuaian, temuan negatif). Pendekaan ini akan memperkuat kepercayaan (keyakinan) individu terhadap kemampuan mereka untuk bisa memberikan yang terbaik sesuai ekspektasi manajemen.

Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier

Pada tahap pengendalian dan peningkatan (dalam PPEPP), kekuatan Pygmalion Effect menjadi semakin nyata. Dengan motivasi dan komunikasi internal yang baik, manajemen dapat mendorong inovasi yang konsisten ke arah pencapaian visi misi institusi. Strategi ini sejalan dengan prinsip otonomi perguruan tinggi yang diatur dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023, di mana institusi memiliki keleluasaan untuk mengembangkan sistem mutu sesuai dengan mission differentiation masing-masing.

Contoh, Ketika terjadi ketidaksesuaian (KTS) dalam audit mutu internal (AMI) atau kegiatan monitoring rutin (monev), alih alih menyampaikan teguran (punishment), pimpinan memilih menggunakan “pendekatan konstruktif” dengan mengangkat potensi tim untuk memperbaiki masalah. Mereka memberikan dorongan semangat dan menawarkan sumber daya tambahan dan pelatihan untuk membantu karyawan mencapai target SPMI.

Budaya Mutu yang Berkelanjutan

Prinsip penting Pygmalion Effect mengingatkan kita bahwa ekspektasi tinggi, ketika dikomunikasikan dengan cara yang tepat serta diiringi dengan dukungan nyata, mampu mengubah mindset dan perilaku karyawan (stakeholder).

Berdasarkan Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 Pasal 69 ayat (1) butir a.4. perguruan tinggi wajib mendokumentasikan seluruh langkah PPEPP dengan menggunakan tata cara tertentu. Pendekatan berbasis Pygmalion Effect dapat menjadi elemen pendukung untuk memastikan bahwa dokumentasi ini tidak sekedar arsip administratif-formalitas belaka, namun juga sumber inspirasi bagi transformasi dan inovasi mutu pendidikan.

Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?

Kesimpulan

Mengintegrasikan Pygmalion Effect ke dalam manajemen SPMI memberikan dimensi baru untuk memperkuat keberhasilan siklus PPEPP. Metode ini menekankan pentingnya “ekspektasi tinggi” yang didukung dengan kebijakan dan “action” nyata. Ketika pemimpin perguruan tinggi, dari semua level, yakin dan percaya terhadap potensi dosen, unit kerja, dan mahasiswa, maka ini menjadi kekuatan dahsyat. seperti mitologi yunani, patung Galatea yang menjadi hidup karena dedikasi Pygmalion, individu dapat berkembang dan mencapai potensi mereka ketika dikelilingi oleh ekspektasi positif dan dukungan yang konsisten.

Baca juga: AMI: Mencegah Masalah, Bukan Memperbaiki

Saat menggali parit dalam Perang Khandaq, Rasulullah SAW melihat umatnya menghadapi kesulitan besar, baik secara fisik maupun mental. Namun, beliau tetap memberikan motivasi dan ekspektasi tinggi kepada mereka, bahkan menggambarkan masa depan Islam yang gemilang. Beliau berkata, “Kota Persia dan Romawi akan menjadi milik umat Islam.” Seperti Pigmalion effect, harapan ini tidak hanya memotivasi sahabat tetapi juga membangun keyakinan kuat untuk terus berjuang.

Di sisi lain, Islam menekankan pentingnya prasangka baik, yang secara tidak langsung berkaitan dengan Pygmalion Effect. Dalam hadis qudsi, Allah SWT berfirman:

Hal ini juga berlaku dalam hubungan antar manusia. Ketika seseorang berpikir positif terhadap orang lain dan mempercayai potensi mereka, hal tersebut dapat mendorong orang tersebut untuk memenuhi harapan tersebut. Stay Relevant!


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Livingston, J. S. (1988). Pygmalion in Management. Harvard Business Review.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2022). Organizational Behavior (18th ed.). Pearson.

Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Mengasah gergaji SPMI

Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah pilar penting untuk memastikan perguruan tinggi tetap kompetitif dan memenuhi standar mutu pendidikan. 5 siklus yang terdiri: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar (disingkat PPEPP) dalam SPMI dirancang untuk membantu proses keberlanjutan mutu.

Buku best seller, The 7 Habits of Highly Effective People karya Stephen R. Covey menawarkan prinsip-prinsip universal yang dapat digunakan untuk memperkuat pelaksanaan SPMI. Tujuh kebiasaan dari Covey, mulai dari sikap pertama, proaktif hingga membangun sinergi, memberikan kerangka soft skills penting untuk mengelola PPEPP. Prinsip 7 habits ini tidak hanya fokus pada efektivitas individu namun juga memperkuat sinergi dan kerja sama kolektif pada perguruan tinggi.

Dengan melatih 7 kebiasaan Covey, perguruan tinggi diharapkan dapat mengimplementasikan PPEPP sebagai bagian dari budaya mutu yang holistik. 7 Habits mendorong setiap aktor untuk aktif dalam peningkatan mutu berkelanjutan (kaizen), menjadikan SPMI bukan sekadar kewajiban prosedural-administratif, namun sebagai tools strategis untuk mencapai keunggulan perguruan tinggi.

Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”

Mulai dengan Tujuan yang Jelas

Tahap pertama dalam PPEPP adalah “Penetapan Standar SPMI”. Tahap ini bertujuan untuk merumuskan tujuan strategis mutu yang selaras dengan pernyataan visi dan misi institusi. Di sinilah peran penting kebiasaan pertama, Be Proactive (Jadilah Proaktif), menjadi relevan.

Perguruan tinggi juga perlu proaktif memantapkan “mission differentiation”. Penting untuk menetapkan ciri khas / keunikan / positioning, sehingga dapat membangun branding yang kuat di mata konsumen. Proaktif menetapkan strategi segmentasi, penetapan target dan pengambilan posisi sangat penting di era persaingan global saat ini.

Habit penting yang nomor dua adalah, Begin with the End in Mind (Mulai dengan Akhir yang Ada di Pikiran). Habit ini membantu institusi dalam menetapkan target dan hasil yang ingin dicapai. Standar SPMI harus dirancang optimis dan SMART (Spesific, Masurable, Attainable, Relevant & Timed), dan harus terintegrasi dengan dengan visi jangka panjang. Penetapan Standar yang baik memiliki arah yang jelas dan strategis, baik dalam aspek pendidikan, penelitian, maupun pengabdian masyarakat (Tridharma Perguruan Tinggi).

Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier

Fokus pada Prioritas Utama

Tahap “Pelaksanaan Standar” (dalam PPEPP) sering menghadapi tantangan dalam pengelolaan sumber daya yang terbatas, persoalan integrasi dan persoalan motivasi. Habit nomor tiga dari Covey, Put First Things First (Dahulukan yang Utama), menginspirasi pentingnya mengambil prioritas yang berdampak terhadap mutu institusi. Institusi harus fokus pada inisiatif strategis, seperti peningkatan mutu pengajaran atau “penyelarasan” kurikulum dengan kebutuhan dan tantangan dunia kerja.

Misalnya, daripada fokus menghabiskan waktu hanya pada dokumentasi yang bersifat formalitas, institusi dapat memprioritaskan training untuk dosen dalam metode pembelajaran inovatif atau meningkatkan akses teknologi pembelajaran. Kegiatan ini tidak hanya mendukung pencapaian standar SPMI namun juga memberikan dampak langsung kepada mahasiswa, dan stakeholder lainnya.

Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?

Membangun Sikap Empati

Tahap “Evaluasi Standar” (dalam PPEPP) adalah tahap penting untuk mengukur pencapaian mutu pendidikan, sekaligus mendeteksi area-area mana saja yang perlu tindakan korektif dan preventif. Habits nomor lima dari Covey adalah, Seek First to Understand, Then to Be Understood (Berusaha Memahami Dahulu, Baru Dipahami). Habits ini mengajarkan pentingnya mendengarkan semua pemangku kepentingan (customer voice) sebelum menetapkan tindakan korektif.

Contoh, dalam proses evaluasi kepuasan mahasiswa, alih-alih hanya menggunakan kuesioner yang rentan terdapat validitas alat, institusi dapat menyelenggarakan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) atau program design thinking. Melalui FGD, mahasiswa dapat menyampaikan kebutuhan mereka secara langsung, seperti harapan untuk materi yang lebih relevan dengan dunia nyata. Pendekatan empatik untuk proses design thinking tidak hanya menghasilkan data yang lebih kaya namun juga membangun “trust” antara institusi dan komunitasnya.

Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”

Pola Pikir Menang-Menang

Tahap “Pengendalian Standar” (dalam PPEPP) menuntut pendekatan yang tidak hanya memastikan standar SPMI terpenuhi namun juga menciptakan manfaat (value) bagi stakeholder. Habit nomor empat dari Covey adalah, Think Win-Win (Berpikir Menang-Menang). Habit ini menekankan pentingnya menciptakan solusi yang saling win-win (saling menguntungkan). Dalam konteks pengendalian standar SPMI, ini berarti kebijakan dan langkah pengawasan harus mendukung kepentingan institusi sekaligus memberikan dampak positif bagi semua pihak yang terlibat seperti dosen, mahasiswa, dan staf.

Misalnya, pengelola mutu dapat menerapkan sistem pengendalian SPMI berbasis penghargaan. Contohnya dengan memberikan pengakuan (recognisi) atau insentif bagi dosen yang berhasil meningkatkan mutu pengajaran berdasarkan hasil evaluasi. Hasil pengendalian (dalam PPEPP) dapat diterjemahkan menjadi peningkatan mutu fasilitas belajar, seperti ruang diskusi yang lebih nyaman atau laboratorium yang lengkap.

Baca juga: SPMI & Fenomena ‘Knowledge Hoarding’ di Kampus

Sinergi untuk Inovasi

Tahap “Peningkatan Standar” (dalam PPEPP) adalah intisari dari proses proses perbaikan yang dilakukan secara terus menerus (kaizen). Hebit nomor enam dari Covey adalah Synergize (Bersinergi), menekankan pentingnya kerja sama untuk menciptakan solusi yang lebih unggul, inovatif dan berdampak besar. Dengan sinergi, institusi dapat membangun kekuatan melalui penggabungan ide, pengalaman, dan keahlian dari berbagai pihak, baik internal maupun eksternal.

Contoh, perguruan tinggi dapat menginisiasi forum kolaboratif antara fakultas yang berbeda untuk mendesain “kurikulum multidisiplin” yang relevan dengan tuntutan dunia industri. Institusi juga dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi lain untuk bertukar informasi dan berbagi praktik baik dalam metode pendidikan dan pengajaran.

Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI

Mengasah Gergaji SPMI

Habit nomor tujuh dari Covey adalah Sharpen the Saw (Asah Gergaji). Habit ini menekankan pentingnya pertumbuhan dan pengembangan berkelanjutan untuk menjaga efektivitas individu dan organisasi. Perguruan tinggi harus terus update kemampuan dan sumber dayanya, termasuk pelatihan staf, adopsi teknologi baru, dan penyempurnaan PEPPP (dalam SPMI). Investasi berkelanjutan ini memungkinkan institusi tetap relevan di tengah dinamika era VUCA yang selalu berubah.

Sekedar contoh, institusi dapat mengadakan program pelatihan rutin bagi dosen untuk memperbarui keterampilan mengajar berbasis teknologi LMS (learning management system). Selain itu, pembaruan sistem informasi SPMI yang memungkinkan pelaporan dan analisis data secara real-time dapat meningkatkan efisiensi kegiatan PPEPP. Dengan tetap fokus pada pengembangan berkelanjutan, institusi tidak hanya memenuhi standar SPMI namun juga menciptakan lingkungan untuk bertransformasi dan beradaptasi dengan baik.

Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan

Penutup

Dengan fokus pada efektivitas individu dan kolaborasi kolektif, perguruan tinggi dapat menciptakan sistem yang relevan, tidak hanya menjaga mutu namun juga terus berupaya meningkatkannya.

Ketika budaya mutu telah menjadi bagian dari DNA institusi, perguruan tinggi akan semakin siap untuk menghadapi tantangan global sekaligus memberikan kontribusi nyata bagi semua stakeholder. Seperti kutipan yang disampaikan Covey, “The key is in not spending time, but in investing it.” Dengan menginvestasikan waktu dan sumber daya untuk membangun budaya mutu (SPMI), perguruan tinggi dapat mencapai puncak efektivitas dan keunggulan. Stay Relevant!

Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!


Referensi

  1. Covey, S. R. (2020). The 7 habits of highly effective people: 30th anniversary edition. Simon & Schuster.
  2. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2022). Organizational Behavior (18th ed.). Pearson.

Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Servant Leadership

Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Pendahuluan

Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi sangat penting untuk menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan yang berkelanjutan. Di tengah tantangan globalisasi dan aneka tuntutan stakeholder, perguruan tinggi harus bersungguh sungguh dalam menjaga mutu akademik dan non akademik. Untuk mencapai target tersebut, peran pemimpin tentu sangat penting, tidak hanya dalam aspek tata kelola namun juga sebagai teladan (role model) dalam membangun budaya mutu di seluruh aras (level) organisasi.

Dalam hal ini, Social Learning Theory (teori pembelajaran sosial) dari Albert Bandura memberi wawasan bagaimana peran penting pemimpin dalam membentuk budaya mutu. Melalui perilaku dan interaksi sosial yang terjadi di lingkungan kampus, pemimpin menunjukkan komitmen terhadap mutu pendidikan. Perilaku pemimpin akan menjadi contoh yang diikuti oleh segenap dosen, staf, dan mahasiswa.

Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?

SPMI dan Kepemimpinan yang Inspiratif

SPMI adalah sistem yang dirancang untuk memastikan seluruh elemen perguruan tinggi, dari kebijakan hingga pengelolaan pendidikan, sesuai dengan standar SPMI yang telah ditetapkan. Untuk memperkuat efektivitas SPMI dan peningkatan standar, diterapkan pula siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian dan Peningkatan Standar). Siklus ini menekankan peran aktif seluruh civitas akademika dalam menjaga mutu pendidikan.

Pemimpin perguruan tinggi (rektor, ketua, direktur, dekan dan kaprodi) harus mampu “menjadi inspirator” dan menggerakkan semua stakeholder terkait untuk berkomitmen pada mutu melalui pendekatan yang substantif dan konsisten.

Sebagai role model, pemimpin mencontohkan nilai-nilai mutu dalam setiap perilakunya. Contoh, bila pemimpin menunjukkan “komitmen tinggi” dan detail terhadap standar SPMI, baik dalam pengajaran maupun administrasi, maka dosen dan staf otomatis akan tergerak untuk mengikuti contoh tersebut.

Pemimpin yang konsisten dengan “komitmen mutu” akan menjadi teladan yang kuat. Sikap dan perilaku ini dapat menjadi inspirasi bagi segenap civitas akademika untuk mencapai target-target SPMI yang lebih tinggi.

Baca juga: SPMI dan Teori Kepemimpinan Edwin Ghiselli

Social Learning Theory: Pemimpin Sebagai Model

Albert Bandura, melalui Social Learning Theory, menjelaskan, individu belajar tidak hanya melalui pengalaman langsung, namun juga dengan mengamati perilaku orang lain. Proses ini disebut modeling.

Ketika pemimpin aktif menampilkan perilaku yang sesuai standar SPMI, seluruh civitas akademika akan tergerak untuk meniru perilaku tersebut. Melalui proses observasi dan imitasi, nilai-nilai positif tersebut dapat tersosialisasikan, membentuk budaya SPMI di seluruh institusi. Pemimpin yang konsisten dalam penerapan nilai-nilai SPMI ini akan membentuk sikap kolektif yang berorientasi pada peningkatan mutu.

Selain konsep “modeling”, Bandura juga memperkenalkan konsep “self-efficacy”, yaitu keyakinan individu terhadap kemampuan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam SPMI, pemimpin yang memiliki keyakinan kuat untuk keberhasilan SPMI ini akan memberikan dampak positif pada rasa percaya diri anggota tim kerja. Mereka akan merasa lebih siap dan termotivasi untuk ikut serta dalam menjaga dan meningkatkan standar SPMI.

Contoh lain, pemimpin yang aktif dalam kegiatan evaluasi dan memberikan umpan balik konstruktif akan meningkatkan rasa percaya diri di antara tim kerja, dosen dan staf. Dengan kepercayaan diri yang lebih besar, mereka akan lebih bersemangat untuk mengutamakan mutu dalam kegiatan akademik dan non akademik.

Akhirnya, melalui keteladanan (memberi contoh-contoh positif) dan pemberdayaan “keyakinan diri” (self-efficacy), pemimpin berperan krusial dalam menanamkan budaya SPMI yang berkelanjutan di perguruan tinggi, sebagaimana digambarkan dalam Social Learning Theory Bandura.

Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”

Menumbuhkan Budaya SPMI

Pemimpin institusi perguruan tinggi tidak hanya bertindak sebagai role model melalui perilaku sehari-hari, namun juga memiliki peran penting dalam menumbuhkan lingkungan sosial yang kondusif dan mendukung Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Dengan membangun jaringan komunikasi internal yang terbuka antara pimpinan, unit kerja, dosen, staf, dan mahasiswa, pemimpin dapat membentuk ekosistem yang optimal bagi pengembangan mutu pendidikan yang berkelanjutan.

Menurut Albert Bandura, pembelajaran sosial terjadi tidak hanya ternjadi pada level individu, namun juga dalam tingkat kelompok atau organisasi. Sehingga, pemimpin institusi perguruan tinggi yang mampu mendorong interaksi sosial positif di antara civitas akademika akan memperkuat penerapan SPMI dalam jangka panjang. Melalui komunikasi dan interaksi yang terbuka, nilai-nilai PPEPP (SPMI) akan lebih mudah dimengerti dan diimplementasikan bersama.

Pemimpin yang efektif (dalam mengelola SPMI) juga fokus pada membangun budaya yang mengutamakan mutu, bukan hanya pada mencari target hasil formal semata seperti akreditasi atau evaluasi eksternal. Lebih dari itu, pemimpin sebagai role model, fokus pada membangun budaya SPMI yang substantif. Hal ini tentu memberikan “Impact” yang lebih langgeng, karena mutu menjadi bagian dari rutinitas organisasi, bukan hanya sekadar target administratif. Sebagaimana disampaikan oleh filsuf Aristoteles, quality is not an act, it is a habit.

Melalui model kepemimpinan yang berbasis pembelajaran sosial, pemimpin dapat menginspirasi setiap individu untuk aktif menjaga dan meningkatkan standar SPMI. Inspirasi ini dilakukan melalui komunikasi internal yang terus menerus disampaikan dan juga melibatkan partisipasi banyak pihak.

Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”

SPMI dan Nilai-Nilai Kepemimpinan

Keberhasilan SPMI di perguruan tinggi sangat bergantung pada kemampuan pemimpin untuk mengintegrasikan nilai-nilai mutu dalam setiap aspek organisasi. Tidak cukup jika hanya diajarkan sebagai konsep; nilai mutu harus muncul dan tercermin dalam perilaku sehari-hari. Pemimpin berperan sebagai inspirator bagi seluruh civitas akademika untuk senantiasa berkomitmen terhadap tujuan dan tantangan bersama.

Dalam konteks ini, teori pembelajaran sosial dari Bandura sangat relevan, di mana pemimpin bertindak sebagai role model atau teladan bagi orang lain. Ketika pimpinan memberikan komitmen pada mutu, unit kerja, dosen, staf, dan mahasiswa akan terinspirasi dan termotivasi untuk menerapkan pola standar yang sama. Tindak tanduk pemimpin yang konsisten memprioritaskan mutu secara efektif memperkuat budaya di semua level dalam institusi.

Selain memantau SPMI dalam praktik sehari-hari, pimpinan juga harus memperhatikan dan menjaga relevansi sistem ini. Keberhasilan SPMI jangka panjang tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan saat ini, namun juga oleh adaptasi, transformasi dan peningkatan berkelanjutan. Pemimpin harus terus memperbarui (update) pendekatan dalam pengelolaan mutu dan memfasilitasi pengembangan kapasitas seluruh stakeholder internal.

Komitmen pimpinan dalam memperkuat kompetensi, motivasi dan partisipasi tim kerja akan menciptakan sistem yang tangguh dan berkelanjutan. Pimpinan yang mendukung peningkatan kompetensi dosen dan pelibatan mahasiswa akan memupuk budaya SPMI dalam kehidupan kampus sehari-hari.

Akhirnya, budaya SPMI yang dibangun dan diperkuat, akan menjadi nilai yang dihayati dan diterapkan secara konsisten oleh seluruh anggota civitas akademika.

Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier

Kepemimpinan yang Berbasis Pembelajaran Sosial

Kepemimpinan SPMI memiliki peran penting dalam menumbuhkan kesadaran, motivasi dan komitmen terhadap mutu di semua level perguruan tinggi. Dengan implementasi prinsip-prinsip modeling dan self-efficacy, pemimpin dapat membentuk budaya SPMI yang lebih terinternalisasi, di mana setiap karyawan merasa terinspirasi untuk aktif dan turut serta dalam menjaga standar SPMI yang tinggi.

Pembelajaran sosial memungkinkan seluruh civitas akademika, dari pimpinan, unik kerja hingga mahasiswa, bersinergi untuk mencapai target mutu pendidikan. Melalui keteladanan dan komitmen, saatnya “mutu menjadi identitas kampus”, menjawab semua tantangan, masa kini maupun masa depan.

Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?


Referensi

  1. Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action: A social cognitive theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
  2. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2022). Organizational Behavior (18th ed.). Pearson.

Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Kecerdasan Emosional

Teori 2 Faktor: Memadukan SPMI dengan Motivasi Intrinsik

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Pendahuluan

Di era globalisasi yang berubah pesat, institusi perguruan tinggi menghadapi tekanan besar untuk memastikan tercapainya mutu Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat) melalui Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) yang kokoh. SPMI berperan sebagai framework penting yang terdiri dari siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan (PPEPP). Siklus PPEPP didesain untuk memastikan bahwa semua proses akademik dan non akademik memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan. Efektivitas SPMI tidak hanya terletak pada prosedur dan kebijakan yang dijalankan, namun juga pada motivasi, keterlibatan aktif unit kerja, staf pengajar dan tendik (tenaga kependidikan) dalam mendukung pencapaian mutu berkelanjutan.

Teori Motivasi 2 Faktor dari Frederick Herzberg (1968) memberikan wawasan untuk mengenal dan memahami motivasi kerja dalam konteks SPMI. Herzberg membedakan faktor yang menciptakan kepuasan kerja (faktor motivator) dari faktor yang hanya mencegah ketidakpuasan (faktor higienis / pemelihara).

Faktor kedua adalah faktor “higienis”. Faktor higienis (pemelihara) seperti kebijakan organisasi, kondisi kerja, dan keamanan kerja juga memainkan peran krusial. Walaupun faktor higienis tidak menciptakan kepuasan langsung, mereka penting untuk “mencegah ketidakpuasan” yang juga dapat mengganggu prestasi kerja. Dalam konteks SPMI, faktor higienis perlu diberikan (dipenuhi) untuk menciptakan stabilitas dan dukungan bagi kepala unit kerja, staf dosen dan staf administrasi. Ketika kondisi kerja sudah mendukung, tenaga kerja akan merasa nyaman dan “siap” untuk bekerja / berkontribusi bagi peningkatan mutu.

Penting sekali memfasilitasi unit kerja, dosen dan staf dengan kebijakan yang jelas dan menyediakan kesempatan (peluang) untuk tanggung jawab serta pengakuan. Hal tersebut adalah cara-cara untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kepuasan, motivasi dan keterlibatan penuh. Keterlibatan ini pada akhirnya berkontribusi pada keberhasilan pelaksanaan mutu (SPMI) secara holistik.

Implementasi teori 2 faktor dari Herzberg dapat menumbuhkan kepuasan kerja yang lebih tinggi dan mendorong keterlibatan yang lebih baik. Dengan memperhatikan 2 kebutuhan tersebut (motivator dan higienis), perguruan tinggi dapat membangun lingkungan yang mendukung peningkatan mutu, mendorong institusi untuk lebih unggul, adaptif, dan berdaya saing tinggi.

Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?

Tantangan Era VUCA dan BANI

Saat ini perubahan lingkungan semakin bergejolak dan mengarah ke era VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous) dan BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, Incomprehensible). Di era tersebut, perguruan tinggi menghadapi tantangan yang semakin ambigu, kompleks dan sulit diprediksi. Kondisi yang tidak stabil ini dapat mengganggu kenyamanan kerja dari unit kerja, tenaga pengajar dan staf. Tentu saja bila tidak ada solusi, dapat berdampak langsung pada keberlanjutan pelaksanaan SPMI. Di sinilah peran teori 2 faktor Herzberg memberikan panduan penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang kondusif secara psikologis maupun profesional.

Faktor higienis atau faktor pemelihara dalam teori Herzberg, seperti kebijakan kerja yang adil, kondisi kerja yang menyenangkan, dan stabilitas karier, sangat diperlukan untuk menghadapi ketidakpastian era VUCA dan BANI. Institusi dapat menyesuaikan kebijakan kerja dengan memperkuat stabilitas dan keamanan kerja bagi tim unit kerja, dosen dan staf. Kebijakan organisasi yang adil dan menarik membantu menjaga kenyamanan anggota organisasi, sehingga mereka “tetap dapat fokus” pada peningkatan mutu.

Di era BANI, di mana kecemasan (Anxious) menjadi hal sering terjadi, faktor-faktor higienis ini berperan besar dalam menciptakan lingkungan yang stabil dan mendukung. Dengan adanya stabilitas lingkungan organisasi, unit kerja, dosen dan staf akan lebih tenang dalam menghadapi dinamika perubahan yang sering terjadi.

Pemenuhan faktor higienis yang tepat membantu perguruan tinggi meminimalkan risiko ketidakpuasan dan menciptakan rasa aman bagi tenaga kerja. Dalam lingkup SPMI, perguruan tinggi juga dapat memberikan dukungan profesional yang berkelanjutan dan menyesuaikan kebijakan SPMI sesuai kebutuhan perubahan. Sehingga, institusi dapat menjaga motivasi staf SDM secara lebih efektif di tengah kondisi yang sulit diprediksi.

Implementasi teori 2 faktor Herzberg dalam lingkungan VUCA dan BANI menunjukkan bahwa stabilitas di tingkat higienis adalah strategi penting. Walau faktor higienis tidak menambah motivasi intrinsik, namun membantu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penguatan SPMI, memastikan perguruan tinggi mencapai keunggulan mutu di tengah tantangan lingkungan yang uncertainty, kompleks dan beragam.

Baca juga: Transformatif SPMI: Kunci Bertahan di Era BANI

SPMI dan Motivasi Intrinsik

Selain faktor higienis (faktor pemelihara), Herzberg juga menekankan pentingnya faktor motivator untuk membangun motivasi intrinsik. Dalam konteks SPMI, faktor motivator ini sangat berperan dalam implementasi siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar SPMI). Perguruan tinggi perlu memperkuat faktor ini untuk mendorong motivasi dan keterlibatan unit kerja, dosen dan staf secara lebih mendalam.

Pada tahap penetapan standar (dalam PPEPP), melibatkan semua unit kerja dalam proses perumusan standar mutu dan kebijakan akademik dapat “meningkatkan rasa memiliki” terhadap tujuan yang ditetapkan. Ketika unit kerja merasa terlibat dalam penetapan standar, mereka akan memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Menurut Frederick Herzberg, pencapaian (achievement) dan tanggung jawab merupakan motivator kuat yang mendorong unit kerja untuk bekerja dengan lebih baik dan terarah.

Selanjutnya, pada tahap pelaksanaan (dalam PPEPP), memberikan tanggung jawab kepada tim unit kerja untuk mengimplementasikan standar mutu, dapat menumbuhkan rasa puas terhadap pekerjaan mereka. Ketika mereka diberi kebebasan untuk menjalankan standar, kepuasan kerja akan meningkat seiring dengan kepercayaan yang telah diberikan. Rasa tanggung jawab (responsibility) yang tinggi ini dapat memperkuat motivasi intrinsik.

Pengakuan (recognition) juga menjadi elemen penting dalam menumbuhkan motivasi kerja yang kuat. Memberikan penghargaan atau apresiasi kepada unit kerja yang berhasil mencapai atau bahkan melampaui standar SPMI. Unit kerja dan dosen yang berhasil berinovasi dalam pengajaran dan penelitian, memperoleh penghargaan yang nyata. Herzberg menjelaskan bahwa pengakuan (recognition) adalah elemen motivator penting yang dapat mendorong kepuasan kerja secara signifikan.

Pada akhirnya, implementasi teori 2 faktor dari Herzberg dalam SPMI memungkinkan perguruan tinggi untuk membangun lingkungan yang mendukung motivasi intrinsik. Prestasi, penghargaan dan pengakuan terhadap kontribusi unit kerja, tidak hanya meningkatkan motivasi dan keterlibatan, namun juga memicu pencapaian standar SPMI yang lebih tinggi.

Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”

Sinergi SPMI dan Teori Dua Faktor

Pada tahap evaluasi dan pengendalian (dalam PPEPP), dukungan perguruan tinggi berupa akses ke sumber daya yang memadai serta kebijakan yang transparan berfungsi sebagai faktor higienis yang penting. Faktor ini memastikan bahwa segenap tim kerja merasa didukung dan dilindungi, hal ini sangat diperlukan untuk stabilitas kerja mereka.

Dengan adanya kebijakan yang adaptif, rasa aman dapat dipertahankan. Ketika kebutuhan SDM diperhatikan, potensi ketidakpuasan dapat diminimalkan, sehingga pelaksanaan siklus SPMI berjalan lebih produktif. Kebijakan yang adaptif ini memastikan bahwa standar SPMI dapat dipenuhi meskipun di tengah kondisi yang penuh gejolak era VUCA dan BANI.

Selanjutnya, pada tahap peningkatan (dalam PPEPP), perguruan tinggi dapat memperkuat motivasi intrinsik tim kerja (pimpinan, dosen dan staf) dengan memberikan pengakuan atas kontribusi mereka. Penghargaan (recognition) atas keberhasilan dalam meningkatkan standar SPMI dapat mendorong motivasi intrinsik.

Implementasi teori dua faktor dari Herzberg dalam SPMI memungkinkan institusi menghadapi tantangan era VUCA dan BANI dengan menciptakan lingkungan kerja yang stabil dan berorientasi pada pencapaian mutu. Integrasi faktor motivator dan higienis dapat menghasilkan sistem mutu yang lebih responsif terhadap kebutuhan SDM. Hal ini bila dilaksanakan dengan baik, dapat berkontribusi pada pencapaian standar SPMI, dan menjadikan perguruan tinggi lebih unggul dan kompetitif. Stay Relevant!

Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”

Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Herzberg, F. (1968). Work and the Nature of Man. Cleveland: World Publishing Company.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2022). Organizational Behavior (18th ed.). Pearson.

Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Budaya Mutu, SPMI dan Sikap Kerja

SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Pendahuluan

Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di institusi perguruan tinggi kini menjadi kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditawar lagi. Dalam era pendidikan tinggi yang semakin dinamis dan penuh gejolak (Era VUCA dan BANI), perguruan tinggi harus terus meningkatkan standar mutu mereka agar unggul dan tidak tertinggal. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 53 Tahun 2023, Pasal 68 ayat 1, SPMI mencakup lima tahapan siklus, yaitu Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan, atau sering disingkat dengan sebutan siklus PPEPP.

Kelima tahapan siklus PPEPP ini didesain untuk menumbuhkan keteraturan, meningkatkan akuntabilitas, serta membangun mutu perguruan tinggi secara holistik. Melalui implementasi siklus PPEPP secara teratur, perguruan tinggi diharapkan mampu mengelola mutu institusi secara berkesinambungan. Namun, faktanya, banyak perguruan tinggi masih menghadapi permasalahan dalam menjalankan setiap siklus ini dengan efektif. Tantangan utama sering kali muncul dalam aspek “pengendalian” dan “peningkatan” mutu (dalam PPEPP) yang berkelanjutan (kaizen).

Problematik lain, institusi perguruan tinggi tertentu kerap terjebak dalam budaya formalitas prosedural. SPMI dijalankan “sekedar ada dokumen”, tanpa berfokus pada “impact” nyata dalam operasional, kegiatan akademik dan non akademik. Pelaksanaan SPMI sering kali terbatas pada semangat pemenuhan dokumen dan laporan formal semata. Situasi ini sering kali menyebabkan SPMI tidak memberi dampak “substansi” terhadap perbaikan mutu yang dicita-citakan bersama. Dampak negatifnya, SPMI yang seharusnya menjadi tools dalam membangun mutu justru terkesan kaku dan kurang berfungsi secara optimal.

Inilah alasan utama mengapa process mapping dapat memainkan peran yang sangat penting. Robert Damelio, dalam bukunya The Basics of Process Mapping (1996), menjabarkankan bahwa visualisasi alur kerja yang sistematis sangat bermanfaat bagi organisasi untuk mengenali aliran proses secara keseluruhan (holistik). Visualisasi ini membantu organisasi, termasuk institusi perguruan tinggi, untuk mengidentifikasi tantangan-tantangan dan mengungkap peluang perbaikan yang sebelumnya sulit diidentifikasi.

Alur kerja (flow chart) yang divisualisasikan, memungkinkan institusi untuk lebih memahami aspek operasional day to day, bukan sekadar administratif belaka. Kelebihan ini menjadikan process mapping sebagai metode yang menarik untuk memperkuat efektivitas SPMI.

Permendikbudristek no 53 tahun 2023 adalah momentum penting untuk mengubah cara pandang terhadap SPMI. Dengan memanfaatkan konsep process mapping dan metode visualisasi proses, perguruan tinggi tidak hanya fokus pada pemenuhan dokumen dan laporan saja, namun juga dapat lebih berorientasi pada “result” dan peningkatan mutu yang nyata. Inilah saatnya perguruan tinggi bertransformasi, beradaptasi dan menumbuhkan SPMI yang lebih inovatif, berbasis data, dan berkelanjutan.

Baca juga: Transformatif SPMI: Kunci Bertahan di Era BANI

Visualisasi sebagai “Pendorong Mutu”

Pada tahap penetapan standar (P) dalam SPMI, process mapping membantu perguruan tinggi merancang “peta proses kerja” yang lengkap. Peta proses ini mencakup berbagai kegiatan akademik dan non akademik, termasuk administratif, yang relevan dengan tantangan mutu pendidikan.

Visualisasi alur kerja (process mapping), membantu manajemen (rektor, dekan, kaprodi) memahami keterkaitan antar-fungsi dalam organisasi. Selain itu, juga membantu untuk menghitung kebutuhan sumber daya (resources), serta jalur komunikasi yang diperlukan. Dengan demikian, setiap bagian (unit kerja) dalam setiap proses dapat berjalan lebih terintegrasi dan terkoordinasi. Peluang ini juga memberi kesempatan bagi institusi untuk mengidentifikasi titik-titik kritis (key success factors) yang perlu mendapat perhatian lebih besar dalam pelaksanaannya.

Keuntungan lain, process mapping juga tidak hanya membantu memetakan prosedur; metode ini juga dapat membuka peluang untuk mengidentifikasi risiko potensial yang mungkin timbul di berbagai titik-titik proses (manajemen resiko). Contoh, dalam proses penerimaan mahasiswa baru (PMB), pemetaan alur kerja memungkinkan institusi mengantisipasi hambatan-hambatan yang mungkin dapat terjadi dan mempersiapkan langkah-langkah mitigasi yang diperlukan.

Karena SPMI melibatkan kolaborasi antar-unit, peta proses yang telah dibuat menyediakan gambaran peran dan tanggung jawab setiap unit dengan jelas. Dengan peta yang terstruktur, risiko tumpang tindih (overlap) atau keterlambatan dalam pelaksanaan program mutu dapat dikurangi /dicegah.

Secara umum, process mapping memberi panduan yang kuat, berfungsi sebagai “peta jalan” yang memastikan setiap langkah teridentifikasi dengan baik. Pendekatan ini memungkinkan institusi untuk mencapai target mutu secara efektif dan efisien, sekaligus mengoptimalkan penggunaan resources yang ada.

Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?

Process Mapping sebagai alat untuk “Kaizen”

Pada tahap evaluasi pemenuhan standar (E) dalam SPMI, process mapping menyediakan panduan untuk melakukan avaluasi mendalam terhadap kinerja proses. Evaluasi ini berguna untuk menilai efektivitas pelaksanaan, memastikan setiap langkah sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan. Dengan adanya peta proses, perguruan tinggi dapat lebih mudah mengidentifikasi aspek-aspek mana saja yang perlu diperbaiki (tindakan korektif)

Visualisasi alur kerja yang disediakan melalui process mapping membantu institusi menilai kinerja secara visual. Kondisi ini memungkinkan identifikasi dini terhadap elemen-elemen yang membutuhkan tindakan koreksi. Keunggulan visualisasi, perguruan tinggi dapat segera memprediksi dan mengatasi kekurangan sebelum masalah tersebut berkembang lebih lanjut.

Keunggulan lain, process mapping juga bermanfaat sebagai alat untuk membandingkan antara perencanaan awal dengan hasil aktual dari proses yang berjalan (fungsi kontrol). Kondisi ini memberi institusi perguruan tinggi dasar yang kuat untuk melakukan mengevaluasi. Proses ini mendukung dan memudahkan pengambilan keputusan, agar lebih akurat berdasarkan data nyata.

Pada tahap pengendalian (P), process mapping berperan krusial dalam merancang mekanisme kontrol yang lebih efektif. Damelio dalam bukunya menjelaskan bahwa visualisasi alur kerja memungkinkan penetapan tahapan titik-titik kontrol yang kritis. Hal ini sangat relevan pada proses-proses penting yang berdampak pada mutu pendidikan, seperti proses belajar mengajar, penilaian akademik dan lain-lain.

Dalam konteks SPMI, menetapkan titik kontrol kritis ini, penting untuk memastikan mutu pendidikan terjaga dengan baik, terutama pada area-area yang berisiko tinggi. Dengan adanya panduan visual yang holistik, perguruan tinggi dapat mencegah risiko dan mempertahankan mutu melalui fungsi kontrol yang konsisten.

Tahap peningkatan (P) dalam PPEPP adalah “inti” dari SPMI, terjadinya proses perbaikan standar yang dilakukan secara terus menerus. Process mapping memainkan peran vital dalam pembantu terlaksananya tahap Peningkatan (P). Setelah evaluasi dan pengendalian, “pemetaan yang diperbarui secara berkala” memberikan gambaran menyeluruh tentang area-area mana saja yang memerlukan peningkatan. Hal ini mendukung perbaikan berkelanjutan (kaizen) dan proses inovasi dalam sistem pendidikan tinggi.

Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”

Contoh proses mapping dalam bentuk visualisasi

Berikut adalah contoh visualisasi sederhana untuk proses PMB (penerimaan mahasiswa baru). Dengan menggunakan diagram alur (flowchart), manajemen dapat menjelaskan tahap-tahap utama dalam proses PMB. Dalam diagram ini, setiap tahap (steps) diilustrasikan secara runtut untuk membantu memahami alur kerja.

Inilah contoh visualisasi alur kerja process mapping untuk proses penerimaan mahasiswa baru. Diagram ini menunjukkan alur kerja mulai dari proses registrasi online hingga proses daftar ulang. Langkah-langkah utama adalah sebagai berikut:

  1. Registrasi Online
  2. Verifikasi Dokumen
  3. Ujian Masuk
  4. Pengumuman Kelulusan
  5. Daftar Ulang

Setiap langkah saling terhubung melalui arah membaca dari kiri ke kanan. Arah dari kiri ke kanan menunjukkan urutan proses yang jelas dan aliran kerja yang sistematis. Visualisasi ini membantu tim kerja di perguruan tinggi dalam memahami keseluruhan proses, mengidentifikasi potensi hambatan, dan mengoptimalkan efisiensi di setiap tahap. Adapun bentuk-bentuk desain visualisasi tentu ada beberapa model bentuk, ada bebrapa aplikasi software yang dapat membantu pembuatan desain visualisasi, misalnya dengan Visio atau Canva.

Baca juga: SPMI & Fenomena ‘Knowledge Hoarding’ di Kampus

Transformasi Budaya Mutu melalui Process Mapping

Visualisasi “proses bisnis” memungkinkan perguruan tinggi untuk memetakan alur kerja dengan jelas dan runtut. Hal ini membantu unit kerja untuk memahami fungsi, kontribusi dan peran mereka dalam mencapai standar mutu yang lebih baik.

Peta proses yang jelas dan transparan membantu proses “integrasi” berbagai pihak dalam satu pemahaman utuh tentang alur kerja. Dengan keterlibatan seluruh unit kerja, perguruan tinggi dapat membangun pemahaman bersama mengenai kontribusi masing-masing terhadap capaian mutu secara holistik. Hal ini membangun motivasi dan “keterhubungan” (integrasi) antara semua elemen dalam organisasi.

Sejalan dengan paparan Robert Damelio, dalam bukunya The Basics of Process Mapping (1996) process mapping memberi perguruan tinggi kemampuan untuk melihat kontribusi setiap proses secara utuh dan lengkap. Kondisi ini memastikan bahwa setiap tahap dalam alur kerja memberikan kontribusi nyata bagi peningkatan mutu. Melalui pemetaan proses, perguruan tinggi dapat melihat jalur perbaikan yang konkret dan mengefektifkan aliran kerja yang ada.

Pendekatan process mapping juga menjadi salah satu “solusi inovatif” bagi perguruan tinggi untuk memperkuat sistem penjaminan mutu. Dengan metode visualisasi proses bisnis, perguruan tinggi memiliki alat efektif untuk memperbaiki dan meningkatkan daya saing institusi. Proses ini mendukung kesiapan perguruan tinggi dalam menghadapi tantangan mutu di era pendidikan yang semakin kompetitif.

Melalui penerapan process mapping yang optimal, institusi tidak hanya meningkatkan capaian akreditasi, namun juga dapat membangun komitmen bersama menuju mutu pendidikan yang berkelanjutan. Transformasi besar ini memungkinkan perguruan tinggi menjadi institusi yang tidak hanya berdaya saing tinggi, namun juga tetap relevan dalam persaingan global. Stay Relevant!

Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”

Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Damelio, R. (1996). The Basics of Process Mapping. Productivity Press.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2022). Organizational Behavior (18th ed.). Pearson.

Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Bergembira ria dan bahagia

Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Mutu Pendidikan: Apakah Kebutuhan?

Kebijakan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi merupakan langkah strategis untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. SPMI dirancang untuk memastikan bahwa setiap aspek-aspek pendidikan, termasuk proses pembelajaran, kurikulum dan hasil evaluasi, memenuhi standar yang ditetapkan. Hal ini sangat penting untuk menjamin mutu pendidikan yang ditawarkan kepada mahasiswa.

Kita semua maklum bahwa implementasi SPMI tidak hanya fokus pada aspek administratif dan teknis saja, namun juga harus mempertimbangkan “aspek motivasi” yang memberi dampak dan mempengaruhi semua pemangku kepentingan di perguruan tinggi.

Dalam konteks ini, teori motivasi dari Abraham Maslow memberikan perspektif yang menarik untuk memahami bagaimana kebutuhan individu (need) dapat dipenuhi dalam lingkungan akademik. Dengan memenuhi kebutuhan berdasarkan hierarki Maslow, perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan semua pemangku kepentingan, sehingga kondisi ini “dapat meningkatkan efektivitas implementasi SPMI”.

Baca juga: Transformatif SPMI: Kunci Bertahan di Era BANI

SPMI dan Hierarki Kebutuhan Maslow

Teori motivasi Maslow mengelompokkan kebutuhan manusia (need) dalam lima tingkatan: fisiologis, rasa aman, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri.

Kebutuhan fisiologis dan rasa aman (di perguruan tinggi) mencakup penyediaan fasilitas serta lingkungan kerja yang aman bagi dosen, tenaga kependidikan dan mahasiswa. Memastikan bahwa kebutuhan dasar (basic need) bisa terpenuhi menjadi langkah awal yang penting dalam menciptakan suasana akademik yang nyaman dan kondusif.

Dengan memenuhi kebutuhan dasar tersebut, institusi dapat mendorong individu untuk berkontribusi aktif dalam proses peningkatan mutu pendidikan. Kondisi yang ideal ini, menurut Maslow dapat meningkatkan motivasi dan partisipasi semua stakeholder, sehingga bersemangat untuk mendukung keberhasilan SPMI.

Baca juga: Mengapa Temuan Audit Sering Tak Ditindaklanjuti?

Membangun Komunitas Akademik

Kebutuhan sosial dan kebutuhan penghargaan merupakan kebutuhan yang ke 3 dan ke 4. Kebutuhan ini memainkan fungsi penting dalam membangun komunitas akademik yang kondusif. Oleh sebab itu, institusi perlu menciptakan lingkungan yang mendukung interaksi sosial dan kolaborasi antara dosen, tenaga kependidikan dan mahasiswa. Kegiatan seperti family gathering, outbound, seminar, lokakarya, dan diskusi kelompok menjadi sarana efektif untuk memenuhi kebutuhan sosial ini.

Pengakuan terhadap prestasi individu dan tim juga merupakan aspek penting dalam memenuhi kebutuhan yang ke 4 yaitu penghargaan. Memberikan penghargaan (recognisi) kepada dosen yang sukses menerapkan metode pengajaran interaktif atau mahasiswa yang berprestasi dalam pengabdian masyarakat dapat meningkatkan semangat, motivasi dan rasa percaya diri mereka.

Dengan memfasilitasi kegiatan-interaksi sosial dan memberikan pengakuan, perguruan tinggi tidak hanya memotivasi individu (tim) untuk berpartisipasi aktif, namun juga mendorong peningkatan mutu pendidikan secara holistik. Langkah ini penting untuk menciptakan komunitas akademik yang menyenangkan, inovatif dan produktif.

Baca juga: Audit Mutu Internal: Membaca yang Tak Terucap

Aktualisasi Diri: Kunci Peningkatan Mutu?

Kebutuhan ke 5 menurut teori Maslow adalah aktualisasi diri. Kebutuhan ini berada di puncak hierarki Maslow dan berkaitan dengan pencapaian potensi tertinggi dari individu. Dalam konteks SPMI, penting bagi institusi untuk memberikan kesempatan bagi dosen, tendik dan mahasiswa untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka.

Dukungan untuk penelitian skala internasional, kolaborasi dengan dunia usaha (industri), dan program pengembangan diri yang berkelanjutan merupakan langkah strategis untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri ini. Dengan menyediakan sarana, fasilitas dan kesempatan tersebut, perguruan tinggi dapat mendorong individu untuk mencapai potensi terbaik mereka (aktualisasi diri).

Memenuhi kebutuhan aktualisasi diri tidak hanya dapat menghasilkan lulusan yang bermutu, namun juga menciptakan budaya akademik yang inovatif dan responsif terhadap perubahan. Ini sangat penting dalam menghadapi tantangan dan tuntutan dunia pendidikan yang terus berubah dengan cepat.

Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?

Sinergi antara Kebijakan dan Motivasi

Penerapan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi harus melibatkan partisipasi semua stakeholder dan menciptakan mekanisme evaluasi yang transparan, sebagaimana diatur dalam Panduan SPMI yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (2023).

Dengan mengintegrasikan teori motivasi Maslow dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan SPMI, manajemen perguruan tinggi dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi memperbaiki mutu pendidikan. Hal ini dapat terjadi karena institusi telah membantu mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan (need) individu di lingkungan akademik dan non akademik.

Keterlibatan aktif semua pihak (quality is everyone responsibility) dalam proses penjaminan mutu sangat penting untuk keberhasilan SPMI. Upaya ini juga sejalan dengan Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, yang menekankan pentingnya integrasi, kolaborasi dan partisipasi dalam mencapai mutu pendidikan yang unggul.

Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”

Mengapa Motivasi dan SPMI Tak Terpisahkan?

Sebagai penutup, berikut catatan yang bisa diambil, hubungan antara pelaksanaan kebijakan SPMI dan teori motivasi Maslow menegaskan pentingnya “pendekatan holistik” dalam pengelolaan pendidikan tinggi.

Implementasi SPMI “tidak cukup” hanya melibatkan aspek teknis dan administratif saja, namun juga aspek pengembangan manusia sebagai sumber daya utama dalam pendidikan. Dengan memberikan “perhatian penuh” pada kebutuhan motivasi setiap individu, institusi akan mendapatkan kemudahan dalam membangun budaya akademik yang inovatif dan produktif, dosen dan mahasiswa merasa dihargai dan termotivasi untuk berkontribusi secara maksimal.

Motivasi dan proses penjaminan mutu merupakan satu kesatuan yang holistik. Seperti yang dikatakan oleh Abraham Maslow, “Apa yang manusia dapat lakukan, mereka harus lakukan,” (What a man can be, he must be) menekankan bahwa potensi manusia dapat terwujud ketika kebutuhan mereka terpenuhi dan mereka merasa termotivasi. Individu yang termotivasi akan menjadi kekuatan dahsyat untuk memajukan SPMI secara holistik. Stay Relevant!

Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”

Pernyataan Metodologi:

“Dalam mengembangkan kerangka teori dan eksplorasi konsep awal, penulis menggunakan bantuan ChatGPT, model AI dari OpenAI, yang memberikan masukan dalam proses brainstorming dan merumuskan ide.”

Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Maslow, A. H. (1943). A Theory of Human Motivation. Psychological Review, 50(4), 370-396.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2022). Organizational Behavior (18th ed.). Pearson.

Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Marketing Mix

Optimalisasi SPMI dengan Model Mixed Scanning

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan kebijakan pemerintah (kementerian pendidikan) yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Kebijakan ini mewajibkan penerapan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) secara berkelanjutan guna menciptakan budaya mutu di lingkungan perguruan tinggi. Peraturan terbaru tentang siklus PPEPP dituangkan dalam Permendikbudristek no 53 tahun 2023 pasal 68.

Melalui SPMI, perguruan tinggi diharapkan mampu bersaing di tingkat nasional maupun internasional. Mampu mendorong perguruan tinggi untuk unggul di tingkat global. Namun, implementasi SPMI di perguruan tinggi diduga sering menghadapi berbagai kendala. Ada berbagai kendala yang bisa ditemukan, diantaranya terkait rendahnya pemahaman dan komitmen terhadap SPMI, kendala lain seperti keterbatasan sumber daya dan resistensi dari aktor-aktor internal. Bagaimana mengatasi problematik ini?

Adalah Amitai Etzioni, seorang sosiolog dan ilmuwan politik terkenal yang dikenal atas kontribusinya dalam teori organisasi dan kebijakan publik. Etzioni memperkenalkan Model Mixed Scanning, sebuah pendekatan pengambilan keputusan yang menggabungkan analisis mendalam pada area prioritas (pemindaian komprehensif) dengan pengamatan / pemindaian terbatas pada aspek lain.

Model Mixed Scanning dari Amitai Etzioni memungkinkan decision dibuat secara lebih fleksibel, adaptif dan bertahap. Model ini memberikan ruang untuk mengkombinasikan analisis detail dan pendekatan incremental. Model ini membantu organisasi atau institusi pendidikan untuk mengoptimalkan sumber daya pada prioritas penting sambil tetap memantau aspek-aspek lain. Dengan demikian pengambilan keputusan dapat lebih adaptif dan terukur.

Untuk mengatasi problematik dalam penerapan SPMI, Model Mixed Scanning menawarkan solusi dimana institusi dapat mengimplementasikan SPMI secara step by step, menyesuaikan proses sesuai dengan tantangan, kebutuhan dan kondisi spesifik masing-masing institusi.

Baca juga: SPMI Perguruan Tinggi: Bisakah Kebijakan ini Gagal?

Mixed Scanning: Fleksibilitas SPMI

Model Mixed Scanning mengkombinasikan dua pendekatan pengambilan keputusan, yaitu high-order scanning (peninjauan komprehensif) dan detailed scanning (peninjauan terfokus). Pendekatan ini memungkinkan kebijakan dilihat dari perspektif makro sekaligus menangani detail-detail teknis secara lebih mendalam (mikro).

Dengan pendekatan fleksibilitas tersebut, pimpinan perguruan tinggi dapat memprioritaskan isu strategis secara komprehensif sambil tetap (fokus) menyelesaikan masalah-masalah kecil secara bertahap. Hal ini membuat kebijakan SPMI tidak hanya bersifat ambisius (idealis) namun tetap dijaga realistis dalam implementasinya.

Mixed Scanning membantu perguruan tinggi fokus mencapai rencana strategi (renstra) jangka panjang tanpa mengabaikan penyesuaian di setiap unit kerja. Perguruan tinggi fleksibel dan dapat beradaptasi dengan kapasitas dan kondisi lokal masing-masing, memastikan bahwa tahapan peningkatan mutu berjalan efektif dan dilakukan secara terus menerus.

Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?

Integrasi PPEPP dan Mixed Scanning

Secara konsep, siklus PPEPP dalam SPMI sudah selaras dengan prinsip Mixed Scanning. Pada tahap Penetapan standar (dalam PPEPP), perguruan tinggi menggunakan high-order scanning untuk merumuskan kebijakan berdasarkan visi dan misi institusi, kebutuhan dunia usaha-industri, serta regulasi nasional, seperti yang diatur dalam Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023.

Tahap Evaluasi dan Pengendalian (dalam PPEPP) membutuhkan detailed scanning untuk mendeteksi problematik, kekurangan dan memastikan setiap kegiatan berjalan sesuai standar SPMI. Dengan peninjauan mendalam (detail scanning) ini, perguruan tinggi dapat melakukan penyesuaian tepat waktu (adaptasi) guna menjaga konsistensi dan keberlanjutan peningkatan mutu di seluruh unit kerja.

Dengan mengintegrasikan “langkah besar dan kecil”, institusi dapat melakukan evaluasi dan pengendalian mutu secara efektif. Peningkatan mutu tidak lagi dilihat sebagai “proyek satu kali jadi”, tetapi sebagai proses berkesinambungan di mana setiap unit kerja terus menerus beradaptasi dan berinovasi dengan baik.

Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier

Mengubah Tantangan Menjadi Peluang

Mixed Scanning membantu Institusi menghadapi kompleksitas (kerumitan) kebijakan dengan lebih efektif. Pendekatan ini memadukan “fleksibilitas dan ketelitian”, memungkinkan institusi untuk tetap fokus pada tujuan meskipun menghadapi dinamika kebijakan. Institusi tentu harus teliti untuk menjaga relevansi kebijakan SPMI dengan berbagai tuntunan stakeholder yang ada (internal dan eksternal).

Perubahan kebijakan nasional sering menjadi problematik dan tantangan bagi program penjaminan mutu. Namun, dengan pendekatan incremental, perguruan tinggi dapat menyesuaikan kebijakan mutu secara bertahap tanpa mengorbankan stabilitas dan mutu program yang sedang berjalan.

Panduan SPMI Perguruan Tinggi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2023) juga menekankan pentingnya evaluasi secara berkelanjutan. Evaluasi melalui program monitoring dan Audit Mutu Internal (AMI) memungkinkan perguruan tinggi merespons perubahan lingkungan eksternal dan kebutuhan stakeholder secara efektif dan efisien.

Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”

Membangun Budaya Mutu

Salah satu tantangan “paling heboh” dalam implementasi SPMI adalah memastikan bahwa kebijakan SPMI yang diperjuangkan, lebih dari sekadar formalitas administratif belaka.

Banyak institusi yang belum mampu “menginternalisasi nilai-nilai esensi peningkatan mutu” dalam proses sehari-hari. Itulah sebabnya mengapa dalam Permendikbudristek no 53 tahun 2023 pasal 69 ayat (1)b berbunyi: “Perguruan tinggi dalam mengimplementasikan SPMI mempunyai tugas: mengintegrasikan implementasi SPMI pada manajemen perguruan tinggi”.

Dengan pendekatan Mixed Scanning, kebijakan SPMI dapat diterapkan secara bertahap dan substansial. Alih-alih hanya mengumpulkan dan mencari-cari dokumen untuk akreditasi, perguruan tinggi bisa fokus pada peningkatan mutu pembelajaran melalui evaluasi rutin proses belajar-mengajar dan umpan balik dari mahasiswa. Komitmen ini memastikan kebijakan bukan sekadar pemenuhan prosedur belaka, tetapi berdampak nyata pada pendidikan pendidikan.

Sistem dokumentasi juga perlu diperbaiki agar kebutuhan akreditasi juga dipersiapkan dengan baik. Permendikbudristek no 53 tahun 2023 pasal 69 ayat (1)a.4. berbunyi: “Perguruan tinggi dalam mengimplementasikan SPMI mempunyai tugas: menetapkan perangkat SPMI yang minimal: tata cara pendokumentasian implementasi”.

Langkah-langkah incremental juga membantu membangun “quality culture” yang berkelanjutan. Setiap anggota civitas akademika, dari pimpinan, dosen hingga tenaga kependidikan, dituntut melihat peningkatan mutu sebagai bagian dari tanggung jawab bersama (quality is everyone responsibility), bukan hanya sekedar memenuhi tuntutan eksternal. Mindset harus bergeser dari kepatuhan formalitas semata, namun menuju kesadaran akan pentingnya peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan (kaizen).

Baca juga: SPMI & Fenomena ‘Knowledge Hoarding’ di Kampus

Penutup

Dengan pendekatan ini, bila dijalankan dengan baik, siklus PPEPP dalam SPMI dapat berjalan lebih efektif dan terarah. Setiap langkah menuju peningkatan mutu menjadi bagian dari proses yang terencana dan berkesinambungan, hal ini memastikan perguruan tinggi selalu siap beradaptasi, berinovasi dan bertransformasi terhadap tantangan perubahan lingkungan.

Model Mixed Scanning dapat digunakan membantu perguruan tinggi membangun budaya mutu yang kokoh dan konsisten. Hal ini dapat menjadi modal penting bagi perguruan tinggi Indonesia untuk bersaing secara global. Ingat! “Perbaikan kecil yang konsisten adalah fondasi bagi keunggulan yang berkelanjutan di masa depan.” Stay Relevant!

Referensi

  • Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  • Etzioni, A. (1967). Mixed-scanning: A “third” approach to decision-making. Public Administration Review, 27(5), 385-392.
  • Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.

Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Panduan SOP dan IK untuk SPMI

SPMI dalam Perspektif Easton: Pendidikan Tinggi di Persimpangan Jalan?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi merupakan elemen utama yang disusun pemerintah dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 pasal 68, mewajibkan perguruan tinggi menerapkan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) untuk memastikan perbaikan berkelanjutan (kaizen). Kebijakan ini bertujuan agar setiap perguruan tinggi secara konsisten meningkatkan mutu akademik dan non akademik.

Namun, pelaksanaan SPMI di perguruan tinggi sering kali menghadapi tantangan karena perbedaan sumber daya, kapabilitas, dan komitmen antar institusi. Perguruan tinggi besar dengan akses lebih baik ke sumber daya lebih banyak kemudahan untuk menjalankan PPEPP dibandingkan institusi kecil atau di daerah. Hal ini menyebabkan kesenjangan dalam implementasi, di mana beberapa perguruan tinggi diduga hanya mampu melaksanakan SPMI secara formalitas tanpa perubahan substansial dalam mutu.

Baca juga: SPMI Perguruan Tinggi: Bisakah Kebijakan ini Gagal?

David Easton (1917–2014) adalah seorang pemikir politik terkemuka yang mengembangkan teori sistem politik. Easton memberikan wawasan bahwa politik berfungsi seperti sebuah sistem. Dalam karyanya A Systems Analysis of Political Life (1965), Easton memperkenalkan konsep bahwa proses politik dapat dianalisis melalui 3 hal: input, output, dan umpan balik (feedback). Pandangan ini mengilustrasikan bahwa sistem politik menerima masukan (input) dari masyarakat dan stakeholder, lalu memprosesnya untuk menghasilkan kebijakan sebagai bentuk output (luaran).

Easton berargumentasi bahwa kebijakan publik sebagai interaksi dinamis antara input dan output. Input berupa tuntutan dan dukungan dari masyarakat (stakeholder) atau aktor politik diproses menjadi kebijakan yang kemudian berdampak pada publik. Dampak kebijakan tersebut menciptakan feedback (umpan balik), yang memungkinkan pemerintah merevisi kebijakan agar lebih cocok terhadap kebutuhan dan tantangan kedepan.

Dalam konteks SPMI dan siklus PPEPP, tuntutan dari pemerintah, mahasiswa, dan masyarakat luas (stakeholder) berperan sebagai input, sedangkan pelaksanaan PPEPP menjadi output kebijakan yang diterapkan perguruan tinggi. Tahap evaluasi dan pengendalian mutu (dalam PPEPP) menyediakan umpan balik untuk memastikan kebijakan dapat terus direview, diperbaiki dan ditingkatkan, sehingga implementasi SPMI relevan dan efektif dalam mendorong peningkatan mutu pendidikan tinggi di Indonesia.

Teori Sistem Politik dari Easton

Menurut Easton (1965), kebijakan publik merupakan produk dari proses input dan output dalam sistem politik. Input (masukan) dapat berupa tuntutan, harapan dan dukungan dari masyarakat atau pemangku kepentingan (stakeholder), yang diproses melalui mekanisme dalam sistem politik. Hasil dari proses ini adalah output (luaran) berupa kebijakan yang diimplementasikan untuk mencapai tujuan tertentu. Setelah kebijakan diimplementasikan, dampaknya terhadap masyarakat akan menghasilkan umpan balik (feedback), yang kemudian menjadi bagian dari siklus kebijakan berikutnya.

Baca juga: Kompleksitas SPMI: Mampukah Kebijakan ini Bertahan?

Dalam konteks pendidikan tinggi, tuntutan / harapan dari pemerintah, dunia industri, mahasiswa, dan masyarakat terhadap mutu pendidikan menjadi input penting bagi perguruan tinggi untuk menyusun kebijakan SPMI. Permintaan dan harapan tersebut (demands) mencakup peningkatan mutu lulusan, layanan pendidikan, dan akreditasi yang baik. Selain itu, dukungan pemerintah dalam bentuk regulasi dan insentif, seperti Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, juga menjadi faktor yang memengaruhi keberhasilan implementasi SPMI dan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar).

Proses PPEPP bersifat iteratif, di mana umpan balik dari evaluasi pelaksanaan standar mendorong perguruan tinggi untuk menyesuaikan standar baru di siklus berikutnya. Sebagai contoh, jika evaluasi menunjukkan bahwa mutu standar kompetensi lulusan masih rendah, perguruan tinggi dapat membuat penyesuaian seperti meningkatkan keterlibatan dosen dalam pendidikan dan pengajaran atau memperbaiki kurikulum. Dengan demikian, proses input-output dan umpan balik dalam implementasi SPMI sesuai dengan “prinsip adaptasi kebijakan” yang dinamis, (teori sistem politik Easton).

Output Politik: Kebijakan SPMI

Implementasi SPMI melalui siklus PPEPP merupakan wujud nyata dari output kebijakan Pemerintah. Pada tahap awal, perguruan tinggi menetapkan standar mutu SPMI dan menjalankan kebijakan sesuai dengan rencana strategis (renstra) yang telah dirancang. Kebijakan ini bertujuan untuk mencapai perbaikan mutu secara berkelanjutan, baik dalam aspek akademik maupun non akademik.

Namun, dalam praktiknya, tidak semua perguruan tinggi memiliki komitmen dan kapasitas yang sama untuk memenuhi tuntutan mutu tersebut. Perguruan tinggi dengan keterbatasan sumber daya (resources) sering kali hanya mampu fokus pada kepatuhan administratif untuk memenuhi standar akreditasi. Pemenuhan administratif tidak serta merta membawa “perubahan kongkrit” terhadap mutu layanan pendidikan yang diberikan.

Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”

Hal ini sejalan dengan teori David Easton, beliau menyatakan bahwa output (luaran) kebijakan sangat bergantung pada kemampuan sistem untuk mengolah input (masukan) secara efektif dan menyesuaikan diri (adaptasi) dengan kondisi internal dan eksternal.

Umpan Balik dalam Siklus PPEPP

Proses evaluasi dan pengendalian (dalam siklus PPEPP) menegaskan pentingnya umpan balik (feedback) sebagaimana diuraikan David Easton. Evaluasi rutin (periodik) memungkinkan institusi untuk mendeteksi kesenjangan dan kendala dalam implementasi Standar SPMI. Dengan Pemantauan (monitoring) maupun melalui Audit Mutu Internal (AMI), setiap kelemahan sistem, akan dapat segera diidentifikasi.

Sebagai ilustrasi, hasil AMI dapat saja mengungkap rendahnya keterlibatan dosen dalam penelitian atau ketidaksesuaian antara isi kurikulum dengan kebutuhan industri. Temuan (finding) ini memberikan dasar bagi institusi untuk memperbaiki kebijakan dan strategi mereka di siklus PPEPP berikutnya. Umpan balik (feedback) menjadi penting agar setiap siklus PPEPP baru lebih efektif dan relevan dengan kebutuhan eksternal terkini.

Tanpa umpan balik yang handal (valid), kebijakan SPMI berisiko menjadi jalan ditempat /formalitas administratif. Kebijakan seperti itu “kehilangan roh” dan fungsinya sebagai alat peningkatan mutu yang dinamis. Oleh sebab itu, siklus PPEPP harus dioptimalkan melalui evaluasi terus-menerus dan penyesuaian kebijakan (transformasi-adaptasi) berdasarkan umpan balik untuk memastikan peningkatan mutu pendidikan yang berkelanjutan (kaizen).

Baca juga: Auditor AMI: Dibenci atau Disayang?

SPMI: Solusi atau Beban?

Saat ini, penerapan SPMI menempatkan perguruan tinggi di “persimpangan jalan”. Di satu sisi, kebijakan SPMI berpotensi mendorong perbaikan berkelanjutan (kaizen) dan meningkatkan reputasi akademik. Hal ini tentu saja mensyaratkan SPMI dijalankan dengan “komitmen penuh”. Siklus PPEPP memungkinkan institusi melakukan penyesuaian terus-menerus (adaptasi) sehingga mutu pendidikan dapat meningkat secara konsisten.

Perguruan tinggi yang terlalu berorientasi pada kepatuhan dokumentasi dan akreditasi berisiko terjebak dalam rutinitas formalitas tanpa perubahan nyata. Hal ini dapat mengurangi substansi kebijakan sebagai alat transformasi mutu dan justru “mempersulit inovasi” dalam proses Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Agar kebijakan SPMI tidak menjadi sekadar formalitas belaka, perguruan tinggi harus “berkomitmen total” memanfaatkan evaluasi dan umpan balik dalam siklus PPEPP. Dengan feedback yang relevan, perguruan tinggi dapat memastikan setiap upaya perbaikan menghasilkan dampak nyata terhadap mutu pendidikan. Melalui pemantauan, AMI dan perbaikan berkelanjutan, SPMI diharapkan menjadi alat strategis untuk membangun mutu dalam kompetisi global.

Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?

Penutup

Melalui teori sistem politik Easton, SPMI dapat dipahami sebagai proses dinamis yang melibatkan interaksi antara tuntutan (demands), dukungan (supports), kebijakan (policies), dan umpan balik (feedback). Tuntutan dan dukungan dari pemangku kepentingan—seperti pemerintah, dunia industri, dosen, dan mahasiswa—menjadi “input penting” yang harus diperhatikan-dikelola perguruan tinggi dalam menjalankan kebijakan mutu.

Institusi harus aktif dalam mengolah input dan umpan balik untuk memastikan kebijakan SPMI berjalan efektif dan efisien. Evaluasi rutin (periodik) dalam siklus PPEPP memberikan kesempatan untuk menyesuaikan kebijakan berdasarkan hasil evaluasi, sehingga setiap siklus PPEPP membawa peningkatan mutu yang kongkrit. Apabila umpan balik tidak di-manage dengan baik, SPMI berisiko jalan di tempat, hanya menjadi formalitas administratif tanpa dampak substansial.

Dengan pengelolaan yang tepat, kebijakan SPMI berpotensi menciptakan perbaikan berkelanjutan (kaizen) dan memungkinkan institusi mencapai transformasi mutu yang diharapkan. Stay relevant!

Referensi

  • Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  • Easton, D. (1965). A Framework for Political Analysis. Prentice-Hall.
  • Easton, D. (1979). A Systems Analysis of Political Life. University of Chicago Press.
  • Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.

Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

×

Layanan Informasi

× Hubungi Kami