• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Materi SPMI

Statuta Sudah Usang? Inilah Cara Cerdas Memulai Transformasi Perguruan Tinggi dari Akar

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Banyak perguruan tinggi swasta (PTS) menghadapi tekanan besar akibat perubahan lingkungan yang cepat, tidak pasti, kompleks, dan ambigu—dikenal sebagai era VUCA. Kini bahkan istilah BANI (brittle, anxious, nonlinear, incomprehensible) makin mencerminkan realitas dunia pendidikan tinggi yang rapuh dan sulit diprediksi. Dalam situasi seperti ini, transformasi institusi bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Namun, perbaikannya seringkali kampus justru memulai dari level program atau kegiatan, tanpa membenahi pondasi hukumnya: statuta.

Statuta adalah dokumen tertinggi dalam struktur kelembagaan perguruan tinggi. Di dalamnya termuat visi, misi, nilai-nilai dasar, sistem pengelolaan, hingga arah pengembangan tridharma.

Karena itu, langkah cerdas dan mendasar yang bisa diambil oleh pimpinan kampus adalah meninjau ulang dan menyusun statuta baru yang kontekstual.

Baca juga: Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?

Statuta sebagai Kompas Identitas

Permenristekdikti No. 16 Tahun 2018 dengan jelas menyebut bahwa setiap PTS wajib memiliki statuta sebagai peraturan dasar pengelolaan.

Dengan latar realitas yang terus berubah, statuta perlu memuat elemen-elemen identitas yang kuat namun tetap lentur. Visi dan misi tidak boleh sekadar slogan, melainkan harus mencerminkan mission differentiation—keunikan peran kampus dalam ekosistem pendidikan tinggi nasional. Apakah kampus ingin unggul sebagai pusat inovasi lokal? Sebagai pelopor pendidikan kewirausahaan? Atau sebagai jembatan industri dan akademik? Semua ini harus mulai ditanamkan di dalam statuta.

Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?

Fleksibel, Tapi Tidak Goyah

Salah satu tantangan umum dalam penyusunan statuta adalah kekakuan bahasa dan struktur, sehingga mudah sekali menjadi usang begitu ada perubahan regulasi. Padahal, revisi statuta bukan perkara ringan karena melibatkan badan penyelenggara dan proses legal formal. Oleh karena itu, statuta PTS perlu disusun dengan prinsip “fleksibel tapi tidak goyah”.

Bagaimana caranya? Dengan memuat ketentuan umum yang bersifat prinsipil, dan mendetailkan aspek-aspek teknis di dalam peraturan rektor, SOP, atau dokumen operasional lainnya. Misalnya, alih-alih mencantumkan seluruh bentuk pelaksanaan MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) secara rigid di statuta, cukup ditegaskan bahwa kampus mendukung implementasi kebijakan nasional pendidikan tinggi secara adaptif, dan detailnya diatur lebih lanjut di bawahnya.

Baca juga: Siapa Saja Stakeholder Perguruan Tinggi? Mengenal, Memahami dan Melayani

Statuta yang disusun ulang seharusnya menjadi titik tolak bagi penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI).

Landasan Bagi SPMI dan Transformasi Mutu

Statuta yang disusun ulang seharusnya menjadi titik tolak bagi penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Dalam Pasal 4 Permenristekdikti No. 16 Tahun 2018, disebutkan bahwa statuta harus mengatur tata kelola dan akuntabilitas publik.

SPMI dan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian dan Peningkatan Standar) tidak boleh hanya bertumpu pada borang dan SOP, tetapi harus menjadi sistem reflektif yang menurunkan nilai-nilai dalam statuta ke dalam standar, evaluasi, dan perbaikan berkelanjutan. Ketika statuta berbicara tentang nilai integritas dan inovasi, SPMI-lah yang menjaganya tetap hidup dalam praktik harian—dari proses pembelajaran hingga pengabdian masyarakat.

Baca juga: Membangun Budaya Mutu: Apakah Pemimpin Anda Memiliki Skor 9,9 di Managerial Grid?

Menjalin Integrasi dengan Dokumen Lain

Statuta adalah akar, tapi bukan satu-satunya unsur yang menopang pohon strategis kampus. Ia harus diturunkan ke dalam Rencana Induk Pengembangan (RIP), Rencana Strategis (Renstra), Rencana Operasional (Renop), hingga sistem indikator kinerja dan pelaporan. Maka, penyusunan ulang statuta harus dilakukan dengan pandangan sistemik.

Dengan begitu, seluruh elemen strategi kampus menjadi satu simpul yang saling menguatkan, bukan jalan masing-masing.

Baca juga: Inovasi Sarana dan Prasarana: Menjawab Tantangan Pendidikan Masa Depan

Penutup

Di tengah dunia yang bergerak semakin cepat dan tidak pasti, kampus butuh fondasi hukum yang kuat, namun tetap adaptif.

Pimpinan perguruan tinggi swasta yang visioner tidak akan membiarkan statuta tertinggal dari realitas. Sebaliknya, mereka akan menjadikannya sebagai kompas utama dalam membangun budaya mutu, diferensiasi misi, dan integrasi antar dokumen strategis lainnya. Karena transformasi sejati dimulai bukan dari program, tapi dari akar: statuta. Stay Relevant!

Baca juga: Harmoni Teori X dan Y: Membangun SPMI yang Humanis dan Berkelanjutan

Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. (2018). Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Tata Cara Penyusunan Statuta Perguruan Tinggi Swasta.
  4. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  5. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  6. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  7. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  8. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Regulasi Baru

SPMI dan Ironi Lulusan Menganggur: Mutu di Atas Kertas, Bukan di Lapangan?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Belakangan ini, dunia pendidikan global diguncang oleh berita mengejutkan: 23% lulusan Harvard Business School (HBS) angkatan 2024 tidak terserap dunia kerja dalam waktu tiga bulan setelah kelulusan.

Harvard, dengan seluruh reputasi dan kredensial akademiknya, tetap menyaksikan lulusan MBA-nya kesulitan mendapatkan pekerjaan. Ini memunculkan pertanyaan mendasar:

Baca juga: Gamifikasi SPMI: Mungkinkah Diterapkan di Perguruan Tinggi?

Mutu Pendidikan: Sekadar Prosedur?

Sesuai dengan Pedoman Implementasi SPMI 2024, mutu pendidikan tinggi ditetapkan melalui 5 siklus PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar Pendidikan Tinggi. Secara teoritis, ini merupakan sistem yang kokoh dan komprehensif.

Padahal, meskipun indikator seperti penyerapan lulusan sudah tercantum dalam instrumen akreditasi, implementasinya di lapangan sering belum dijadikan fokus utama dalam proses evaluasi mutu internal. Akibatnya, potensi untuk menggunakan data dunia kerja sebagai cermin kualitas lulusan belum sepenuhnya dimanfaatkan secara strategis dalam pengambilan keputusan mutu di perguruan tinggi.

Baca juga: Mutu adalah Kepemimpinan, Bukan Sekadar Administrasi

Mutu harus berpihak pada pemangku kepentingan utama: dunia kerja dan masyarakat.

Benarkan SPMI ditujukan untuk Dunia Kerja?

SPMI sebagai sistem mutu seharusnya lebih dari sekadar mekanisme pelaporan. Dalam Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, dijelaskan bahwa mutu harus berpihak pada pemangku kepentingan utama: dunia kerja dan masyarakat.

Baca juga: Kesalahan Klasik: Mutu Diserahkan ke LPM Tanpa Keterlibatan Manajemen Puncak

Relevansi Praktis

Untuk menjawab tantangan ini, SPMI perlu menjadi sistem reflektif, bukan hanya kepatuhan. Kampus harus benar-benar menyeriusi pertanyaan: “Sejauh mana lulusan kami dibutuhkan dan mampu bersaing di dunia nyata?”

Salah satu kunci transformasi adalah memperkuat indikator berbasis dampak. Misalnya, perguruan tinggi harus mulai serius menelaah sejauh mana lulusannya terserap di dunia kerja, bukan hanya berapa banyak yang lulus tepat waktu. Data dari tracer study harus diolah secara bermakna dan ditindaklanjuti, bukan hanya menjadi formalitas pelaporan.

Lebih dari itu, penting untuk menilai apakah kompetensi yang dimiliki lulusan benar-benar sesuai dengan kebutuhan industri saat ini. Ini bisa dideteksi dari gap antara kurikulum dan ekspektasi dunia kerja, yang seringkali luput dari perhatian karena SPMI terlalu fokus pada pemenuhan standar internal. Bahkan, untuk memastikan kesesuaian ini, perguruan tinggi seharusnya juga mencermati bagaimana performa lulusan dalam satu tahun pertama bekerja—apakah mereka mampu beradaptasi, berkembang, atau justru tertinggal.

Dan yang tak kalah penting adalah mendengarkan langsung suara dari industri, yakni perusahaan yang merekrut lulusan. Umpan balik dari pengguna lulusan harus menjadi bagian penting dalam siklus evaluasi mutu. Tanpa suara dari luar kampus, perguruan tinggi hanya akan menilai dirinya sendiri, dengan risiko besar: merasa bermutu tanpa pernah benar-benar tahu, apakah lulusannya memang dibutuhkan.

Baca juga: Mengapa GKM Gagal? Studi Kebutuhan Maslow dalam Manajemen Mutu

Penutup

Kasus Harvard jadi pengingat tajam: bahkan institusi dengan nama besar, juga berpotensi kehilangan relevansi. Maka, Indonesia perlu memastikan bahwa SPMI tidak hanya menjamin proses yang baik, tapi juga hasil yang berdampak. Stay Relevant!

Baca juga: SPMI Stagnan? Mungkin Program Pelatihan Terabaikan!


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan SPME

Gamifikasi SPMI: Mungkinkah Diterapkan di Perguruan Tinggi?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan mekanisme utama dalam menjaga mutu pendidikan tinggi secara berkelanjutan (kaizen). Namun, realitas di banyak perguruan tinggi menunjukkan bahwa implementasi SPMI sering kali kurang menarik bagi stakeholder internal. Dosen dan staf akademik cenderung melihat SPMI sebagai beban administratif yang bersifat birokratis, sementara mahasiswa jarang dilibatkan secara aktif dalam proses evaluasi mutu.

Minimnya keterlibatan ini dapat dikaitkan dengan fenomena kelembaman organisasi (organizational inertia), yaitu kecenderungan individu dalam suatu organisasi untuk mempertahankan kebiasaan lama dan menolak perubahan yang dianggap tidak memberikan manfaat langsung. Akibatnya, meskipun berbagai dokumen SPMI telah dirancang dengan baik, efektivitas implementasinya masih jauh dari harapan. Dalam konteks ini, gamifikasi menawarkan pendekatan baru yang dapat meningkatkan partisipasi stakeholder dengan cara yang lebih interaktif dan menarik.

Baca juga: Mengapa GKM Gagal? Studi Kebutuhan Maslow dalam Manajemen Mutu

Penerapan elemen permainan dalam aktivitas non-game

Gamifikasi: Solusi atau Sekadar Tren?

Gamifikasi adalah penerapan elemen permainan dalam aktivitas non-game untuk meningkatkan motivasi dan keterlibatan individu. Konsep ini telah sukses diterapkan dalam berbagai sektor, termasuk manajemen organisasi, pemasaran, dan pendidikan.

Penerapan gamifikasi dalam organisasi didukung oleh teori self-determination dari Deci dan Ryan, yang menekankan bahwa individu lebih termotivasi untuk berpartisipasi dalam suatu aktivitas ketika mereka merasa memiliki otonomi, kompetensi, dan keterhubungan sosial dalam tugas tersebut. Dengan menyediakan sistem penghargaan berbasis pencapaian, leaderboard kompetitif, dan sistem poin untuk partisipasi dalam evaluasi mutu, perguruan tinggi dapat meningkatkan keterlibatan stakeholder dalam SPMI.

Baca juga: SPMI Tanpa Teknologi Digital? Bersiaplah Hadapi Kegagalan!

Hambatan dalam Penerapan Gamifikasi

Meskipun gamifikasi menawarkan banyak peluang dan manfaat, implementasinya dalam SPMI di perguruan tinggi juga menghadapi berbagai tantangan. Salah satu kendala utama adalah kesiapan teknologi dan infrastruktur. Banyak perguruan tinggi masih menggunakan sistem manual dalam pengelolaan dokumen SPMI, sehingga sulit untuk menerapkan platform digital yang memungkinkan pemberian penghargaan secara otomatis atau pelacakan partisipasi secara real-time.

Selain itu, resistensi terhadap perubahan menjadi tantangan besar dalam organisasi akademik. Menurut teori perubahan organisasi dari Kotter, perubahan harus dilakukan secara bertahap dengan strategi komunikasi yang efektif untuk mengurangi resistensi. Jika pimpinan institusi tidak memberikan pemahaman yang cukup mengenai manfaat gamifikasi dalam SPMI, maka kemungkinan besar dosen dan staf akademik akan menganggap sistem ini sebagai beban tambahan yang tidak diperlukan.

Baca juga: SPMI Gagal Total? Jangan Salahkan Sistem, Perbaiki Komunikasi!

Risiko Gamifikasi dalam SPMI

Salah satu risiko terbesar dalam penerapan gamifikasi adalah kemungkinan bahwa sistem ini hanya akan berfungsi sebagai “hiburan sesaat” tanpa dampak nyata terhadap peningkatan mutu akademik. Jika elemen permainan dalam SPMI tidak dirancang dengan baik atau tidak memiliki keterkaitan langsung dengan tujuan akademik, maka gamifikasi berisiko kehilangan efektivitasnya dalam jangka panjang.

Agar gamifikasi tidak hanya menjadi sekadar tren, perguruan tinggi perlu memastikan bahwa sistem ini dirancang dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip reinforcement theory dari Skinner. Dengan menerapkan penguatan positif yang jelas dan relevan, seperti insentif akademik atau akses prioritas terhadap program pengembangan profesional, institusi dapat memastikan bahwa gamifikasi benar-benar memberikan dampak yang signifikan terhadap keterlibatan stakeholder dalam SPMI.

Inspirasi praktek baik

Meskipun menghadapi berbagai tantangan, beberapa perguruan tinggi di luar negeri telah menerapkan gamifikasi untuk meningkatkan keterlibatan karyawan dalam sistem mutu. Open University di Inggris, misalnya, berhasil meningkatkan partisipasi dosen dalam evaluasi pembelajaran hingga 45% dengan sistem penghargaan digital berbasis lencana dan poin. Sementara itu, di Indonesia, sebuah universitas swasta menerapkan kompetisi antar fakultas dalam penyusunan laporan mutu akademik, yang berdampak pada peningkatan kepatuhan fakultas terhadap kebijakan mutu.

Perguruan tinggi yang ingin mengadopsi sistem ini harus terlebih dahulu mengidentifikasi kesiapan institusinya dan mengembangkan strategi implementasi yang sesuai dengan karakteristik stakeholder mereka.

Baca juga: PPEPP Bukan Beban, Tapi Solusi, Benarkah?

Penutup

Gamifikasi memiliki potensi besar untuk meningkatkan keterlibatan stakeholder dalam SPMI, namun keberhasilannya sangat bergantung pada kesiapan teknologi, strategi komunikasi, dan relevansi sistem penghargaan yang diterapkan. Perguruan tinggi yang ingin mengadopsi gamifikasi dalam SPMI harus memastikan bahwa sistem ini tidak hanya menjadi elemen tambahan yang bersifat kosmetik, tetapi benar-benar berkontribusi terhadap peningkatan mutu akademik dan non akademik.

Penerapan gamifikasi dalam SPMI mungkin tidak selalu mudah, tetapi dengan pendekatan yang berbasis data dan strategi implementasi yang matang, gamifikasi dapat menjadi solusi inovatif untuk menciptakan budaya mutu yang lebih kolaboratif, interaktif, dan berkelanjutan di perguruan tinggi. Oleh karena itu, eksplorasi lebih lanjut mengenai efektivitas gamifikasi dalam berbagai konteks pendidikan tinggi perlu dilakukan untuk memastikan bahwa sistem ini benar-benar dapat memberikan dampak positif bagi institusi akademik. Stay Relevant!


Referensi

  1. Burke, B. (2014). Gamify: How Gamification Motivates People to Do Extraordinary Things. Gartner Press.
  2. Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic Motivation and Self-Determination in Human Behavior. Springer.
  3. Glover, I. (2013). “Play as You Learn: Gamification as a Technique for Motivating Learners.” Proceedings of EdMedia + Innovate Learning, 1999-2008.
  4. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  5. Kotter, J. P. (1996). Leading Change. Harvard Business Press.
  6. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2022). Organizational Behavior (19th ed.). Pearson.
  7. Vroom, V. H. (1964). Work and Motivation. Wiley.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Leadership

Mutu adalah Kepemimpinan, Bukan Sekadar Administrasi

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Dalam banyak institusi, terutama di perguruan tinggi, mutu sering dipahami sebagai serangkaian prosedur administratif seperti pengisian borang akreditasi, audit internal, dan laporan tahunan. Namun, persepsi semacam ini hanya menjadikan mutu sebagai kepatuhan pasif terhadap regulasi, bukan sebagai budaya organisasi yang mendorong peningkatan nyata menuju layanan excellence.

Pendekatan kepemimpinan transformasional, yang diperkenalkan oleh James MacGregor Burns (1978) dan dikembangkan lebih lanjut oleh Bass & Avolio (1994), menawarkan cara pandang yang lebih efektif dalam membangun sistem mutu. Pemimpin transformasional tidak hanya memastikan kepatuhan terhadap standar (compliance), tetapi juga “menginspirasi” perubahan, “menanamkan visi” mutu dalam organisasi, serta mendorong seluruh civitas akademika untuk terlibat dalam peningkatan berkelanjutan.

Baca juga: SPMI di Era AI: Apakah Gaya Kepemimpinan Anda Siap Beradaptasi?

Pemimpin transformasional adalah “role model” dalam organisasi

Kepemimpinan Transformasional: Kunci Menciptakan Budaya Mutu

Idealized Influence (Pengaruh Ideal) – Pemimpin Sebagai Teladan Mutu

Pemimpin transformasional adalah role model dalam organisasi. Dalam konteks Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), pemimpin harus menunjukkan komitmen kuat terhadap mutu, baik dalam kebijakan strategis maupun dalam praktik sehari-hari.

Sebaliknya, jika pemimpin secara aktif terlibat dalam peningkatan mutu akademik, penelitian, dan pelayanan kepada mahasiswa, maka mutu akan menjadi prioritas di seluruh institusi. Kepemimpinan transformasional menuntut pemimpin untuk menjadi “contoh nyata” (walk the talk) dalam penerapan budaya mutu, bukan hanya sekadar mengawasi implementasi prosedur administrasi.

Inspirational Motivation (Motivasi Inspirasional) – Membangun Visi Mutu yang Kuat

Pemimpin transformasional tidak hanya bekerja dengan angka dan dokumen, tetapi menginspirasi perubahan dengan visi yang jelas. Dalam konteks SPMI pendidikan, visi ini bisa berupa menjadi kampus unggulan, meningkatkan relevansi lulusan dengan industri, atau membangun sistem pembelajaran yang inovatif.

Ketika pemimpin mampu mengkomunikasikan visi ini dengan penuh semangat dan keyakinan, maka seluruh anggota organisasi akan merasa termotivasi dan terlibat dalam proses peningkatan standar SPMI. Sebaliknya, jika mutu hanya dipahami sebagai tugas administratif, maka akan sulit untuk membangun antusiasme dan motivasi dalam implementasinya.

Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI

Belajar dari ISO 9001:2015 – Mengapa MR Dihapus?

ISO 9001:2008 sebelumnya mewajibkan organisasi memiliki Management Representative (MR) yang bertanggung jawab terhadap sistem mutu. Namun, pada ISO 9001:2015, persyaratan ini dihapus. Mengapa?

Alasan utama perubahan ini adalah untuk memastikan bahwa tanggung jawab mutu tidak hanya berada di tangan segelintir orang atau satu unit (seperti LPM), tetapi menjadi bagian dari kepemimpinan organisasi secara keseluruhan. Dengan kata lain, ISO 9001:2015 menuntut penerapan kepemimpinan transformasional dalam sistem mutu, di mana pimpinan tertinggi harus terlibat secara langsung dalam membangun, mengarahkan, dan mengevaluasi sistem mutu di organisasi mereka.

Jika institusi hanya mengandalkan satu unit untuk mengelola SPMI tanpa keterlibatan pimpinan, maka sistem mutu tidak akan berjalan efektif dan hanya menjadi formalitas.

Baca juga: SPMI dan Teori Kepemimpinan Manajerial Grid

Administrasi Penting, tapi Tidak Bisa Berdiri Sendiri

Tidak dapat disangkal bahwa administrasi yang kuat sangat penting dalam sistem mutu. Standar akreditasi, regulasi pemerintah, dan evaluasi internal tetap dibutuhkan untuk memastikan bahwa perguruan tinggi berjalan sesuai aturan. Namun:

Misalnya, banyak perguruan tinggi telah menerapkan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) berdasarkan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti). Namun, dalam praktiknya, sering kali implementasi ini tidak benar-benar meningkatkan mutu pembelajaran karena hanya dijalankan sebagai prosedur administratif. Tanpa kepemimpinan yang aktif dalam penerapan dan evaluasi, sistem ini hanya akan berjalan sebagai rutinitas tanpa dampak nyata terhadap mutu akademik dan non akademik.

Menerapkan Kepemimpinan Transformasional

Agar mutu tidak hanya menjadi urusan administratif, berikut beberapa tips strategi berdasarkan kepemimpinan transformasional yang dapat diterapkan dalam SPMI perguruan tinggi:

  • Menjadikan mutu sebagai bagian dari visi dan strategi institusi – Bukan sekadar tugas tahunan untuk akreditasi, tetapi menjadi orientasi jangka panjang dalam pengambilan keputusan.
  • Melibatkan seluruh civitas akademika dalam peningkatan mutu – Bukan hanya tanggung jawab LPM, tetapi juga dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan, dan stakeholder lainnya.
  • Mendorong inovasi dalam pembelajaran dan riset – Mutu tidak hanya soal evaluasi dan audit, tetapi juga bagaimana meningkatkan pengalaman belajar dan penelitian.
  • Membangun budaya refleksi dan perbaikan berkelanjutan – Mutu bukan sesuatu yang dicapai sekali saja, tetapi harus selalu berkembang seiring waktu.

Dengan menerapkan strategi ini, sistem mutu tidak hanya akan berjalan sebagai kepatuhan administratif, tetapi benar-benar menciptakan lingkungan akademik yang unggul, inovatif, dan kompetitif.

Baca juga: SPMI dan Teori Kepemimpinan Edwin Ghiselli

Poin Penting: Mutu Butuh Pemimpin

Pelajaran dari ISO 9001:2015 menunjukkan bahwa mutu tidak bisa hanya diserahkan kepada satu unit seperti LPM / UPM / PJM, tetapi harus menjadi bagian dari strategi kepemimpinan organisasi. Dengan mengadopsi kepemimpinan transformasional, institusi pendidikan dapat membangun SPMI yang tidak hanya sekadar patuh terhadap regulasi, tetapi juga menghasilkan perubahan nyata dalam mutu layanan akademik dan non akademik. Stay Relevant!


Referensi

  1. Bass, B. M., & Avolio, B. J. (1994). Improving organizational effectiveness through transformational leadership. SAGE Publications.
  2. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  3. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  4. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  5. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  6. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  7. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  8. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Kemalasan Sosial

Kesalahan Klasik: Mutu Diserahkan ke LPM Tanpa Keterlibatan Manajemen Puncak

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Penjaminan mutu di perguruan tinggi sering kali dianggap sebagai tugas eksklusif Lembaga Penjaminan Mutu (LPM), seolah-olah hanya unit ini yang bertanggung jawab terhadap mutu akademik dan administrasi. Hal ini menjadi kesalahan mendasar dalam banyak institusi pendidikan tinggi.

Menurut Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) 2024, mutu adalah “tanggung jawab kolektif” seluruh civitas akademika, bukan hanya LPM. Edward Deming mengatakan “Quality is everyone’s responsibility“, jika perguruan tinggi ingin mencapai standar pendidikan yang tinggi, maka keterlibatan aktif dari rektor, dekan, kepala program studi, dosen, dan tenaga kependidikan sangat diperlukan. Tanpa komitmen ini, LPM hanya akan menjadi unit administratif belaka, yang sibuk mengurus dokumen administrasi tanpa pengaruh nyata terhadap peningkatan mutu.

Belajar dari ISO 9001

ISO 9001:2008 sebelumnya mewajibkan adanya Management Representative (MR) sebagai individu yang bertanggung jawab atas sistem manajemen mutu dalam organisasi. Namun, pada ISO 9001:2015, persyaratan ini dihapus dengan alasan bahwa tanggung jawab mutu tidak boleh hanya berada pada satu orang atau unit tertentu. Sebaliknya, manajemen puncak harus mengambil peran yang lebih aktif dalam memastikan keberhasilan sistem mutu.

Dalam konteks perguruan tinggi, konsep ini sangat relevan. Jika LPM dianggap sebagai “MR” yang bertanggung jawab sepenuhnya atas mutu, maka akan terjadi isolasi sistem penjaminan mutu.

Oleh karena itu, seperti dalam ISO 9001:2015, perguruan tinggi harus memastikan bahwa mutu menjadi bagian dari strategi kelembagaan, bukan hanya kewajiban formal yang diurus oleh satu unit.

Ketika Manajemen Puncak Tidak Terlibat

Jika manajemen puncak tidak terlibat dalam sistem penjaminan mutu, maka beberapa konsekuensi negatif akan terjadi. Pertama, budaya mutu tidak akan terbentuk secara menyeluruh. Dosen dan tenaga kependidikan mungkin tidak memahami pentingnya mutu dan melihatnya sebagai beban tambahan daripada sebagai bagian dari proses akademik yang terintegrasi.

Kedua, sistem mutu yang ada menjadi sekadar pemenuhan dokumen untuk keperluan akreditasi tanpa adanya perubahan nyata dalam mutu pengajaran dan penelitian. Hal ini mirip dengan organisasi yang menerapkan ISO 9001 hanya untuk mendapatkan sertifikasi, tetapi tidak benar-benar menjalankan prinsip perbaikan berkelanjutan.

Reformasi Sistem Mutu

Agar sistem mutu perguruan tinggi tidak terjebak dalam birokrasi, manajemen puncak harus mengambil peran aktif dalam beberapa aspek utama:

  1. Kepemimpinan yang Berorientasi pada Mutu – Rektor dan dekan harus menjadikan mutu sebagai bagian dari visi dan strategi perguruan tinggi, bukan sekadar tanggung jawab LPM.
  2. Integrasi Mutu ke dalam Pengambilan Keputusan – Setiap kebijakan akademik dan administratif harus mempertimbangkan aspek mutu dan bukan hanya sekadar target angka dalam akreditasi.
  3. Keterlibatan Seluruh Civitas Akademika – Mutu tidak bisa hanya menjadi urusan unit tertentu; dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan harus menjadi bagian dari sistem mutu yang berkelanjutan.

Dengan menerapkan reformasi ini, perguruan tinggi dapat mengadopsi pendekatan Continuous Quality Improvement (CQI) yang lebih efektif, seperti yang ditekankan dalam ISO 9001:2015. Dengan demikian, mutu menjadi budaya yang hidup dalam institusi, bukan hanya sekadar formalitas administratif.

Poin Penting: Mutu adalah Kepemimpinan

Kesalahan klasik dalam banyak perguruan tinggi adalah menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab mutu kepada LPM, tanpa keterlibatan aktif dari top management. Belajar dari perubahan ISO 9001:2015, tanggung jawab mutu harus didistribusikan ke seluruh bagian organisasi agar sistem mutu tidak terisolasi dan kehilangan efektivitasnya.

LPM tetap memiliki fungsi penting, tetapi bukan sebagai satu-satunya pihak yang mengurus mutu. Sebaliknya, mutu harus menjadi bagian dari strategi institusi yang dikelola bersama, dari tingkat tertinggi hingga operasional harian di kelas dan laboratorium. Hanya dengan pendekatan ini, sistem penjaminan mutu dapat berjalan secara efektif dan berkelanjutan. Stay Relevant


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Servant Leadership

GKM di Kampus: Antara Idealitas Mutu dan Realitas Kinerja

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Gugus Kendali Mutu (GKM) di perguruan tinggi lahir sebagai upaya meningkatkan mutu layanan akademik dan non akademik. Dengan konsep kolaboratif, GKM mengajak dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa untuk berpartisipasi dalam perbaikan mutu secara berkelanjutan. Secara ideal, GKM menjadi motor penggerak dalam implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), memastikan bahwa kebijakan dan praktik mutu akademik berjalan sesuai standar SPMI yang telah ditetapkan.

Namun, di lapangan, realitasnya sering kali berbeda. Banyak perguruan tinggi mengalami kesulitan dalam mengoptimalkan peran GKM, baik dari segi partisipasi, efektivitas, maupun keberlanjutan programnya. Alih-alih menjadi instrumen perbaikan mutu, GKM terkadang hanya berfungsi sebagai formalitas, sekedar ada, tanpa dampak signifikan bagi peningkatan kinerja institusi.

TQM dan Komitmen Kerja
Pentingnya Komitmen Pimpinan

Partisipasi dan Komitmen yang Masih Lemah

Salah satu tantangan utama dalam implementasi GKM adalah rendahnya partisipasi dari sivitas akademika. Banyak dosen dan tenaga kependidikan enggan menjadi tim GKM, mereka menganggap GKM sebagai tambahan beban kerja, bukan sebagai bagian dari tanggung jawab profesional mereka. Kurangnya pemahaman mengenai manfaat langsung GKM bagi individu dan institusi membuat keterlibatan dalam forum ini minim dan cenderung bersifat administratif semata.

Di sisi lain, pimpinan perguruan tinggi (rektor, ketua, direktur) sering kali belum memberikan dukungan penuh terhadap keberlangsungan GKM. Tanpa komitmen dan kesungguhan dari manajemen puncak, kegiatan GKM sulit mendapatkan anggaran, waktu, dan fasilitas yang memadai. Akibatnya, banyak program yang berhenti di tengah jalan atau sekadar menjadi laporan tahunan tanpa tindak lanjut konkret.

Antara Idealitas dan Realitas

Secara umum, fungsi GKM, idealnya menjadi forum untuk menciptakan inovasi dan solusi berbasis data dalam perbaikan mutu akademik. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kurangnya budaya mutu (quality culture) menjadi penghambat utama. Di banyak perguruan tinggi, budaya mutu belum tertanam kuat, sehingga inisiatif seperti GKM hanya berjalan di permukaan tanpa dampak jangka panjang.

Selain itu, “komunikasi internal” yang lemah juga berkontribusi terhadap keberhasilan implementasi GKM. Tanpa komunikasi dan koordinasi yang jelas antara pimpinan, tenaga pendidik, dan tenaga kependidikan, sulit untuk menyatukan visi dalam meningkatkan mutu perguruan tinggi. GKM membutuhkan ekosistem yang mendukung, di mana setiap anggota memahami fungsi, peran dan tanggung jawabnya dalam meningkatkan mutu institusi.

Menghidupkan Kembali Peran GKM

Agar GKM dapat berjalan sesuai tujuan idealnya, perguruan tinggi harus mengambil langkah konkret untuk memperkuat sistem, strategi dan mekanisme yang mendukung keberlangsungannya. Pertama, perlu ada sosialisasi yang lebih intensif mengenai pentingnya GKM bagi seluruh sivitas akademika. Jika setiap individu memahami bahwa peningkatan mutu adalah kepentingan bersama, partisipasi akan lebih mudah ditingkatkan.

Kedua, perlu adanya insentif bagi anggota GKM yang aktif berkontribusi. Bentuknya situasional, bisa berupa penghargaan, kredit akademik, atau pengakuan dalam sistem evaluasi kinerja. Selain itu, keterlibatan aktif pimpinan dalam proses GKM juga harus lebih nyata, dengan memberikan arahan strategis serta mendukung rekomendasi dan program-program perbaikan mutu yang dihasilkan oleh tim GKM.

Penutup

GKM di kampus memiliki potensi besar untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan tinggi (kaizen), tetapi tanpa strategi implementasi yang jelas, inisiatif ini hanya akan menjadi sekadar formalitas belaka. Perguruan tinggi harus berkomitmen untuk menjadikan GKM sebagai instrumen nyata dalam transformasi akademik dan operasional.

Dengan mengatasi tantangan partisipasi, memperkuat komunikasi internal, serta memberikan dukungan dari pimpinan, GKM dapat menjadi pilar utama dalam mengawal mutu pendidikan tinggi. Mutu bukan sekadar tujuan, namun merupakan budaya (quality culture) yang harus terus dibangun dan dipelihara di setiap lini perguruan tinggi. Stay Relevant!


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

GKM dan Motivasi Kerja

Mengapa GKM Gagal? Studi Kebutuhan Maslow dalam Manajemen Mutu

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Gugus Kendali Mutu (GKM) diperlukan sebagai strategi dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) Perguruan Tinggi untuk memastikan peningkatan mutu akademik dan non-akademik secara berkelanjutan. Sebagai bagian integral dari SPMI, GKM bertujuan mendorong keterlibatan aktif dosen dan tenaga kependidikan dalam upaya peningkatan mutu institusi. Dengan prinsip partisipatif, GKM mengandalkan kerja sama tim dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan menyelesaikan berbagai tantangan mutu. Meski memiliki potensi besar, implementasi GKM di berbagai perguruan tinggi sering kali mengalami hambatan yang menghambat efektivitasnya. Mari kita kaji lebih lanjut!

GKM dan Maslow
GKM dan Teori Maslow

Apakah Kebutuhan Dasar Telah Terpenuhi?

Menurut Maslow, kebutuhan manusia dimulai dari yang paling mendasar (basic needs): fisiologis dan keamanan. GKM sering kali gagal karena karyawan merasa kebutuhan ini belum terpenuhi. Jika gaji / tunjangan rendah, beban kerja tinggi, atau lingkungan kerja tidak nyaman, partisipasi dalam GKM akan terasa sebagai beban tambahan, bukan peluang pengembangan.

Tanpa rasa aman dalam pekerjaan, baik dalam hal keuangan maupun stabilitas karier, karyawan cenderung lebih fokus pada bagaimana bertahan daripada berkontribusi dalam upaya perbaikan mutu. Oleh karena itu, dalam implementasi SPMI, penting bagi pimpinan perguruan tinggi untuk memastikan kesejahteraan tenaga kependidikan dan akademisi sebelum meminta mereka aktif berpartisipasi dalam GKM.

Kebutuhan Sosial dan Penghargaan Terabaikan?

Setelah kebutuhan dasar terpenuhi, karyawan cenderung mencari kebutuhan yang lebih tinggi, yaitu hubungan sosial dan pengakuan. Sayangnya, GKM sering kali diterapkan tanpa memperhatikan faktor ini. Dosen dan tenaga kependidikan yang merasa tidak dihargai atau tidak memiliki hubungan baik dengan rekan kerja akan cenderung enggan berpartisipasi dalam kegiatan GKM, diskusi dan kolaborasi.

Selain itu, ketika hasil kerja dalam GKM tidak diakui atau dihargai oleh manajemen, motivasi untuk berkontribusi akan terus menurun. Padahal, penghargaan tidak selalu harus berbentuk materi. Pengakuan dalam bentuk apresiasi, promosi, atau sekadar pujian publik bisa menjadi dorongan besar bagi anggota tim dalam sistem SPMI yang efektif. Hal ini yang seringkali tidak disadari oleh pimpinan.

Aktualisasi Diri: Puncak Keberhasilan GKM

Puncak dari Hierarki kebutuhan Maslow adalah aktualisasi diri (self actualization), yaitu dorongan untuk mencapai kreatifitas dan potensi maksimal. Dalam konteks GKM, dosen dan tenaga kependidikan yang merasa dihargai dan diberikan kesempatan berkembang akan lebih bersemangat dalam berinovasi dan menyumbangkan ide-ide kreatif.

Namun, banyak perguruan tinggi tidak menyediakan ruang bagi sivitas akademika untuk mengembangkan segenap potensi diri. Training, kesempatan belajar, atau bahkan kebebasan untuk bereksperimen dalam pekerjaan sering kali diabaikan. Akibatnya, GKM hanya menjadi kegiatan formalitas belaka, tanpa hasil nyata karena anggota tidak merasa ada manfaat yang didapat dari keaktifan mereka.

Penutup

Agar GKM berhasil, pimpinan selaku manajemen perguruan tinggi harus memastikan bahwa kebutuhan dasar tenaga pendidik dan kependidikan telah terpenuhi sebelum meminta mereka berkontribusi dalam peningkatan mutu. Langkah-langkah seperti memastikan kesejahteraan karyawan, membangun lingkungan akademik yang mendukung, memberikan penghargaan yang layak, dan menyediakan peluang pengembangan diri akan meningkatkan efektivitas GKM dalam SPMI.

Pada akhirnya, GKM bukan hanya tools atau tentang teknik manajemen mutu dalam SPMI, tetapi juga bagaimana memahami dan memenuhi kebutuhan psikologis karyawan serta sivitas akademika. Dengan pendekatan yang mempertimbangkan kesejahteraan dan motivasi individu, perguruan tinggi dapat membangun sistem GKM yang lebih berkelanjutan, inovatif, dan berdampak nyata dalam peningkatan mutu akademik dan operasional. Stay Relevant!


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan disinformation

Revolusi SPMI: Dari Dokumen ke Dampak Nyata

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Dalam dunia pendidikan tinggi, “mutu” sering kali dinilai dari betapa lengkapnya sebuah kampus mendokumentasikan proses akademik dan administratif. Namun, bagaimana bila semua prosedur itu berjalan dengan baik, tetapi lulusannya tidak siap menghadapi realitas dunia kerja? Inilah paradoks mutu yang kini ramai dibicarakan, bahkan menimpa institusi sekelas Harvard Business School (HBS).

Pada tahun 2024, HBS mengungkapkan bahwa sekitar 23% lulusannya belum mendapatkan pekerjaan tiga bulan setelah kelulusan. Ini bukan hanya angka, tapi sinyal bahwa sistem pendidikan yang terlihat sempurna di atas kertas belum tentu menjamin keberhasilan nyata. Pertanyaan penting pun muncul:

Baca juga: Inilah Alur Penetapan SPMI yang Jarang Diketahui

Ketika SPMI Terjebak dalam Rutinitas

Di Indonesia, perguruan tinggi menggunakan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) sebagai kerangka kerja untuk menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan. SPMI didasarkan pada siklus PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan. Di atas kertas, sistem ini terlihat kokoh dan logis. Namun dalam praktik nyata, masih banyak kampus yang menjalankannya sebatas formalitas—berfokus pada dokumen, pelaporan, dan pemenuhan standar administratif.

Akibatnya, mutu yang dihasilkan lebih banyak berupa “kepuasan terhadap sistem”, bukan terhadap output atau outcome. Bahkan ketika tracer study dilakukan, hasilnya sering hanya menjadi data pelengkap borang akreditasi, bukan alat strategis untuk memperbaiki kurikulum dan pendekatan pembelajaran. Inilah yang menjadi titik kritis: mutu hanya terasa di rapat internal, bukan di kehidupan nyata lulusan.

Baca Juga: SPMI Stagnan? Mungkin Program Pelatihan Terabaikan!

Belajar dari Harvard

Kita tentu tidak meragukan bahwa HBS memiliki profesor hebat, kurikulum terstruktur, dan metode pengajaran kelas dunia. Tapi ketika hampir seperempat lulusannya tidak langsung terserap oleh dunia kerja, itu menjadi bukti bahwa reputasi saja tidak cukup. Dunia kerja berubah jauh lebih cepat daripada sistem akademik bisa menyesuaikan diri.

Apa yang terjadi di Harvard bisa menjadi cermin bagi kita semua: sudah saatnya sistem mutu pendidikan menyesuaikan fokusnya. Bukan hanya menjamin bahwa proses akademik berlangsung sesuai standar, tetapi memastikan bahwa lulusan benar-benar memiliki kompetensi, fleksibilitas, dan kesiapan untuk masuk ke dunia kerja yang terus berubah.

Baca juga: Standar SPMI Harus Diperbarui, Kapan Waktu yang Tepat?

Siklus PPEPP idealnya menjadi “jantung” dari budaya mutu

PPEPP: Bukan Sekadar Urutan

Siklus PPEPP idealnya menjadi “jantung” dari budaya mutu di kampus. Sayangnya, di banyak institusi, PPEPP diperlakukan seperti tahapan teknis yang harus dilewati demi akreditasi. Padahal, jika dijalankan secara reflektif dan berorientasi dampak, PPEPP bisa menjadi alat revolusioner. Penetapan standar tidak boleh hanya berdasarkan regulasi, tetapi juga harus mempertimbangkan kebutuhan nyata industri dan masyarakat.

Evaluasi pun tidak cukup dilakukan dengan menilai dokumen RPS atau ketercapaian SAP. Yang perlu dievaluasi adalah sejauh mana lulusan mampu menyelesaikan masalah dunia nyata. Apakah mereka bisa bekerja dalam tim lintas disiplin? Apakah mereka adaptif dengan teknologi? Apakah mereka membawa nilai tambah ke tempat kerja? Jika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini belum ada di sistem SPMI, maka PPEPP belum bekerja secara utuh.

Baca juga: SPMI Bukan Tanggung Jawab Satu Unit! Seluruh Civitas Akademika Harus Bergerak

Penutup

Mutu pendidikan tidak boleh berhenti pada urusan internal. Ia harus terasa oleh lulusan, dirasakan oleh industri, dan dibuktikan oleh kontribusi nyata di masyarakat.

Tracer study, umpan balik industri, serta performa lulusan di tahun pertama kerja harus menjadi indikator utama, bukan pelengkap laporan.

Ketika hal ini dilakukan, SPMI akan menjadi alat perubahan yang sejati—menggerakkan kampus bukan hanya untuk terlihat baik, tetapi untuk benar-benar menghasilkan lulusan yang siap hidup, siap kerja, dan siap menghadapi masa depan. Stay Relevant!

Baca juga: PPEPP Bukan Beban, Tapi Solusi, Benarkah?


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Conecting the dots dan SPMI

Inilah Alur Penetapan SPMI yang Jarang Diketahui

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Penetapan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah fondasi penting dalam upaya perguruan tinggi menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan. Meskipun memiliki peran yang sangat krusial, banyak pihak di lingkungan kampus (anggota civitas akademika) yang belum sepenuhnya memahami alur proses di balik penetapan SPMI. Sebagian besar hanya melihat dokumen yang telah ditetapkan tanpa mengetahui perjalanan panjang yang harus dilalui untuk menghasilkan dokumen SPMI tersebut. Padahal, pemahaman terhadap alur penetapan ini sangat penting agar seluruh civitas akademika dapat berpartisipasi aktif dalam implementasi mutu.

Di balik setiap dokumen SPMI yang disahkan, terdapat rangkaian proses yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari tahap perumusan, pemeriksaan, persetujuan, hingga penetapan dan pengendalian. Setiap tahap memiliki peran yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Ketidakpahaman terhadap alur ini sering kali menimbulkan kesalahpahaman, bahkan dapat menghambat implementasi standar mutu di lapangan. Oleh karena itu, memahami proses ini bukan hanya tugas Lembaga (unit / pusat) Penjaminan Mutu (LPM), tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh elemen perguruan tinggi.

Baca juga: Dunia Berubah Cepat, Apakah Standar SPMI Kita Masih Relevan?

SPMI dan Analisis SWOT 1
SPMI dan Analisis SWOT: Contoh Marketing

Perumusan: Awal Yang Sangat Krusial

Perumusan menjadi langkah awal yang sangat krusial dalam penetapan SPMI. Pada tahap ini, Tim Penyusun SPMI yang terdiri dari perwakilan LPM, fakultas, program studi, serta unit-unit terkait bekerja sama untuk menyusun draf awal dokumen SPMI. Proses ini dimulai dengan pengumpulan data (analisis SWOT), kajian terhadap regulasi yang berlaku, serta identifikasi kebutuhan yang relevan dengan visi, diferensiasi misi, dan tujuan perguruan tinggi. Diskusi yang dilakukan kerap kali berlangsung intens dan penuh dinamika, sebab penyusunan dokumen SPMI harus mempertimbangkan berbagai sudut pandang dan kepentingan.

Dalam tahap ini, ada beberapa jenis dokumen SPMI yang perlu dirumuskan dan ditetapkan untuk menjadi pedoman utama dalam menjamin mutu pendidikan. Dokumen-dokumen tersebut meliputi: (1) Dokumen Kebijakan Mutu, yang berisi komitmen institusi terhadap mutu serta arah kebijakan strategis yang akan dijalankan; (2) Dokumen Standar Mutu, yang mencakup standar pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta standar tambahan yang disesuaikan dengan karakteristik perguruan tinggi; (3) Dokumen PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan), yang menjelaskan siklus penjaminan mutu secara menyeluruh; dan (4) Dokumen Prosedur Operasional Standar (POS) atau SOP, yang menguraikan langkah-langkah teknis dalam melaksanakan standar yang telah ditetapkan. Penyusunan dokumen-dokumen ini harus selaras dengan regulasi nasional, seperti Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti), serta menyesuaikan dengan kebutuhan internal perguruan tinggi agar dapat diterapkan secara efektif.

Sayangnya, tahap perumusan sering kali dipandang sebagai urusan segelintir orang saja. Padahal, kualitas draf yang dihasilkan sangat bergantung pada partisipasi aktif seluruh unit kerja. Ketika masukan dari program studi, departemen atau fakultas kurang maksimal, standar yang disusun berisiko tidak sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan. Oleh karena itu, keterlibatan seluruh elemen sejak awal sangat diperlukan agar dokumen yang disusun tidak hanya sesuai dengan regulasi, tetapi juga mudah diterapkan dan efektif dalam meningkatkan mutu.

Baca juga: SPMI dan Analisis SWOT: Mencermati “Ancaman” Eksternal

Siapa Saja Yang Terlibat Dalam Penyusunan Dokumen SPMI?

Pemeriksaan: Tahap Validasi

Setelah draf awal disusun, proses berlanjut ke tahap pemeriksaan. Pada tahap ini, Tim Reviewer yang berasal dari LPM atau auditor internal melakukan telaah mendalam terhadap dokumen yang telah dirumuskan. Tujuan pemeriksaan adalah untuk memastikan kesesuaian standar dengan regulasi, konsistensi isi, serta kelengkapan informasi yang dibutuhkan. Evaluasi ini dilakukan secara sistematis agar tidak ada bagian yang terlewat atau berpotensi menimbulkan kesalahpahaman saat implementasi. Dalam proses ini, penting untuk mewaspadai bahaya fenomena groupthink, yaitu kondisi di mana keinginan untuk mencapai kesepakatan bersama justru mengabaikan penilaian kritis dan pertimbangan alternatif yang lebih baik. Groupthink dapat mematikan sikap kritis, menghambat kreativitas, serta menyebabkan dokumen disetujui tanpa evaluasi yang mendalam. Oleh karena itu, reviewer harus berani menyampaikan pandangan yang berbeda, meskipun bertentangan dengan opini mayoritas, demi menghasilkan dokumen yang kuat dan berkualitas.

Tahap ini sering kali menjadi tantangan tersendiri karena reviewer bisa saja menemukan ketidaksesuaian yang memerlukan revisi substansial. Proses komunikasi antara tim penyusun dan reviewer harus berjalan efektif agar koreksi yang diberikan dapat dipahami dan diterapkan dengan tepat. Meskipun revisi berulang terasa melelahkan, proses ini penting untuk menghasilkan dokumen yang kuat, kredibel, dan aplikatif.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

Persetujuan: Titik Penentu Sebelum Penetapan

Setelah lolos dari tahap pemeriksaan, dokumen SPMI diajukan untuk mendapatkan persetujuan dari pihak berwenang. Dalam lingkungan perguruan tinggi, proses ini biasanya melibatkan Senat Akademik, Badan Penyelenggara untuk perguruan tinggi swasta, atau langsung ditinjau oleh Rektor. Persetujuan ini bertujuan memastikan bahwa dokumen tidak hanya memenuhi aspek akademik, tetapi juga memenuhi standar administratif dan legal yang berlaku.

Namun, tahap persetujuan sering kali menjadi titik krusial yang memakan waktu. Perbedaan persepsi antara penyusun dan pihak yang memberikan persetujuan bisa terjadi, sehingga dibutuhkan dialog yang konstruktif untuk mencapai kesepakatan.

Pemimpin yang cakap dalam manajemen konflik dapat menengahi perbedaan pendapat dengan adil dan bijaksana, memastikan bahwa setiap argumen didengar tanpa menimbulkan ketegangan yang berkepanjangan. Komitmen semua pihak terhadap kepentingan mutu menjadi kunci agar dokumen dapat disahkan tepat waktu tanpa mengabaikan kualitas substansi yang ada.

Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI

Penetapan Acuan Resmi

Penetapan merupakan puncak dari seluruh rangkaian proses penyusunan SPMI. Pada tahap ini, Rektor atau pimpinan perguruan tinggi secara resmi menetapkan dokumen melalui Surat Keputusan (SK). Penetapan ini memberikan legitimasi dan menjadikan dokumen tersebut sebagai pedoman wajib yang harus diikuti oleh seluruh unit kerja. Setelah ditetapkan, dokumen biasanya disosialisasikan agar seluruh civitas akademika memahami isi dan tujuan dari standar yang ditetapkan. Sosialisasi ini penting untuk memastikan implementasi dapat berjalan secara efektif di semua tingkatan.

Meskipun tampak sederhana, tahap ini tetap memerlukan perhatian khusus. Penetapan yang dilakukan secara tergesa-gesa tanpa pemahaman mendalam dapat menimbulkan kesalahan dalam implementasi, yang berujung pada ketidaksesuaian pelaksanaan standar di lapangan. Oleh karena itu, sebelum dokumen ditandatangani, penting untuk memastikan bahwa seluruh pihak yang terkait telah siap menerapkan standar yang ada. Penetapan bukan sekadar formalitas administratif, tetapi merupakan wujud komitmen nyata untuk menjalankan sistem mutu secara berkesinambungan.

Oleh karena itu, sangat disarankan agar review dan penetapan ulang dokumen SPMI dilakukan minimal satu tahun sekali. Namun, apabila terdapat kondisi yang mendesak seperti perubahan kebijakan nasional atau kebutuhan mendesak di internal kampus, pembaruan dapat dilakukan lebih cepat. Peninjauan berkala ini penting untuk menjaga agar standar mutu yang diterapkan tetap relevan, adaptif, dan mampu menjawab tantangan yang terus berkembang.

Baca juga: SPMI dan Stay Relevant

Pengendalian: Menjaga Keberlanjutan Mutu

Tahap terakhir dalam alur penetapan SPMI adalah pengendalian. Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) berperan penting dalam tahap ini untuk memastikan implementasi standar berjalan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Pengendalian dilakukan melalui monitoring rutin, Audit Mutu Internal (AMI), serta evaluasi berkala (assesment) untuk mengidentifikasi potensi perbaikan. Tujuan utamanya adalah menjaga konsistensi mutu dan memastikan bahwa standar yang telah disepakati tidak hanya berhenti di dokumen. Dalam proses ini, penting bagi pimpinan perguruan tinggi untuk menjaga kehormatan dan kewibawaan LPM serta para auditor.

Dengan demikian, seluruh pihak dapat menyadari bahwa audit bukanlah sarana untuk mencari kesalahan, melainkan alat bantu untuk memperbaiki kinerja secara berkelanjutan.

Pengendalian yang efektif membutuhkan kerja sama antara LPM dan seluruh unit kerja. Pimpinan unit kerja harus aktif merespons hasil audit dan merealisasikan rekomendasi yang diberikan. Ketika semua pihak taat terhadap hasil audit dan rekomendasi yang ada, budaya mutu akan tertanam kuat dan menjadi bagian dari keseharian di lingkungan kampus. Kepemimpinan yang tegas namun bijaksana dari pimpinan institusi dalam mendukung peran LPM sangat diperlukan agar proses pengendalian berjalan optimal, efektif, dan berkelanjutan.

Tim Penyusun di Era AI

Di era kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang terus berkembang pesat, penyusunan SPMI tidak lagi hanya berfokus pada regulasi dan penulisan dokumen. Tim penyusun dituntut memiliki kompetensi yang lebih adaptif, visioner, dan inovatif untuk menghadapi tantangan globalisasi serta perkembangan teknologi. Kemampuan memanfaatkan teknologi canggih seperti big data analytics, aplikasi berbasis AI, dan sistem informasi manajemen mutu berbasis digital menjadi kebutuhan yang tak terelakkan.

Selain itu, semangat kewirausahaan (entrepreneurship) juga sangat penting. Tim penyusun perlu berani berpikir out of the box, menciptakan solusi inovatif untuk perbaikan mutu, serta mampu melihat peluang di tengah tantangan. Memiliki visi yang kuat dan berorientasi ke depan menjadi kunci agar dokumen yang disusun tidak hanya relevan untuk saat ini, tetapi juga mampu mengantisipasi kebutuhan di masa depan.

Penetapan misi yang kuat dan spesifik memungkinkan perguruan tinggi untuk menonjolkan keunggulan kompetitif yang sesuai dengan potensi, kebutuhan masyarakat, dan tren global. Melalui mission differentiation, penyusunan SPMI dapat diselaraskan dengan arah pengembangan institusi yang khas, sehingga standar mutu yang ditetapkan tidak hanya memenuhi persyaratan umum tetapi juga mendukung pencapaian visi dan misi yang membedakan perguruan tinggi dari yang lain. Pendekatan ini akan memperkuat daya saing sekaligus meningkatkan relevansi lulusan di pasar global dan lokal.

Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi

Penutup

Alur penetapan SPMI bukanlah sekadar prosedur administratif yang harus dipenuhi, melainkan proses penting yang menentukan arah mutu perguruan tinggi. Setiap tahapan memiliki peran yang saling melengkapi dan memerlukan partisipasi aktif dari seluruh civitas akademika. Keberhasilan implementasi standar mutu tidak hanya ditentukan oleh kualitas dokumen, tetapi juga komitmen semua pihak untuk menjalankannya secara konsisten.

Kini, setelah memahami alur penetapan SPMI yang sering luput dari perhatian, pertanyaannya adalah: Apakah Anda hanya akan menjadi penonton? Atau siap mengambil peran dalam menciptakan budaya mutu yang berkelanjutan di lingkungan perguruan tinggi Anda? Stay Relevant!

Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI harus mendengarkan harapan stakeholder

SPMI dan Dunia Kerja: Sudahkah Kampus Dengarkan Industri?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Di tengah upaya besar-besaran kampus untuk menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan, muncul satu ironi yang menggelitik: lulusan yang dianggap hebat oleh sistem internal kampus justru tidak terserap oleh dunia kerja. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di pusat-pusat pendidikan terkemuka dunia.

Ambil contoh Harvard Business School (HBS), salah satu sekolah bisnis paling prestisius di dunia. Pada tahun 2024, sebanyak 23% lulusannya belum mendapatkan pekerjaan dalam tiga bulan setelah kelulusan. Ini menjadi pukulan telak bagi institusi yang selama ini dikenal dengan kualitas pengajaran dan kekuatan jejaring alumninya. Apa yang salah? Apakah sistem pendidikan tidak lagi selaras dengan kebutuhan industri?

Baca juga: Mengapa GKM Gagal? Studi Kebutuhan Maslow dalam Manajemen Mutu

Evaluasi Mutu

Di Indonesia, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) menjadi alat utama dalam menjaga mutu pendidikan tinggi. Lewat siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan—setiap perguruan tinggi memiliki mekanisme untuk menilai dan memperbaiki diri. Namun, satu persoalan besar muncul: banyak kampus yang menjalankan siklus ini hanya dengan menilai diri sendiri, tanpa membuka ruang dialog yang cukup dengan pengguna lulusan—yakni dunia kerja.

Dalam banyak kasus, evaluasi mutu hanya berputar pada dokumen internal: laporan pelaksanaan, hasil survei kepuasan mahasiswa, atau ketercapaian kurikulum.

Jika umpan balik dari industri tak masuk dalam proses evaluasi, maka kampus hanya akan memperbaiki diri berdasarkan cermin internal (persepsi internal), bukan realita eksternal.

Baca juga: SPMI Tanpa Teknologi Digital? Bersiaplah Hadapi Kegagalan!

SPMI Harus Bersuara dari Luar Kampus

SPMI bukan sekadar sistem untuk mengamankan akreditasi. Ia seharusnya menjadi sistem reflektif dan adaptif yang mampu menyerap perubahan zaman dan tuntutan dunia kerja. Sayangnya, banyak perguruan tinggi masih melihat industri sebagai mitra sekunder—bukan sebagai bagian integral dalam proses penjaminan mutu.

Tracer study yang dilakukan seringkali hanya menjadi kewajiban administratif, tanpa benar-benar dimanfaatkan untuk membaca tren. Padahal, umpan balik dari perusahaan pengguna lulusan seharusnya menjadi bahan bakar utama bagi proses evaluasi dan peningkatan mutu. Ketika industri menyatakan lulusan kurang siap, maka itu bukan kritik, tapi petunjuk arah. Dan SPMI harus cukup lentur untuk menampung suara itu dan menerjemahkannya menjadi kebijakan akademik yang konkret.

Baca juga: SPMI Gagal Total? Jangan Salahkan Sistem, Perbaiki Komunikasi!

Sudah saatnya siklus PPEPP diperkaya dengan suara dari luar kampus

PPEPP yang Berpijak dari Kenyataan

Siklus PPEPP selama ini cenderung bersifat teknokratis: standar ditetapkan, pelaksanaan dilaporkan, evaluasi disusun, pengendalian dilakukan, dan peningkatan ditargetkan. Namun, proses ini seringkali terjadi dalam ruang tertutup. Penetapan standar jarang melibatkan stakeholder eksternal, padahal standar tanpa dialog bisa berujung pada asumsi yang salah arah.

Sudah saatnya siklus PPEPP diperkaya dengan suara dari luar kampus. Evaluasi tidak hanya berasal dari hasil akademik, tetapi juga dari performa lulusan di lapangan. Peningkatan tidak hanya merespons nilai evaluasi internal, tetapi juga kebutuhan industri. Dengan begitu, PPEPP akan menjadi siklus hidup yang menyatukan dunia kampus dengan dunia nyata.

Baca juga: Standar SPMI Harus Diperbarui, Kapan Waktu yang Tepat?

Penutup

SPMI harus berevolusi menjadi sistem yang responsif terhadap suara industri. Bukan untuk menyerahkan pendidikan sepenuhnya pada logika pasar, tetapi untuk memastikan bahwa apa yang diajarkan benar-benar berguna, dan apa yang dicapai di kelas tidak tertinggal dari kenyataan di luar. Karena pada akhirnya, mutu pendidikan bukan hanya tentang proses yang baik, tetapi tentang hasil yang bermakna. Stay Relevant!

Baca juga: Ketika Dosen dan Staf Gagal Paham SPMI, Siapa yang Bertanggung Jawab?


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

×

Layanan Informasi

× Hubungi Kami