Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan mekanisme yang esensial bagi perguruan tinggi untuk memastikan bahwa proses Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat) memenuhi standar mutu yang diinginkan.
Keberhasilan implementasi SPMI sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan yang digunakan.
Kurt Lewin, seorang pakar psikolog, mengajukan Teori 3 (tiga) Gaya Kepemimpinan yaitu: gaya otoriter, gaya demokratis, dan gaya laissez-faire.
Artikel singkat ini mencoba mengulas bagaimana model gaya kepemimpinan dari Lewin dapat diterapkan dalam konteks SPMI. Penerapan gaya kepemimpinan yang sesuai, InsyaAllah akan membantu untuk mencapai peningkatan mutu yang berkelanjutan di perguruan tinggi.
Hasil penelitian Kurt Lewin dan tim kerjanya mengidentifikasi 3 (tiga) gaya kepemimpinan utama, yaitu:
Proses “Kaizen” dalam SPMI dilakukan melalui “Siklus PPEPP”, berikut contoh pemilihan gaya kepemimpinan yang sesuai:
Gaya kepemimpinan yang efektif adalah kunci keberhasilan implementasi SPMI di perguruan tinggi. Dengan menerapkan prinsip-prinsip dari Teori Gaya Kepemimpinan Lewin, pemimpin dapat menyesuaikan pendekatan mereka untuk memenuhi kebutuhan spesifik dalam setiap tahap SPMI.
Setiap perguruan tinggi memiliki tingkat kematangan bawahan yang berbeda beda, tentu memerlukan gaya kepemimpinan yang disesuaikan. Lewin menawarkan 3 (tiga) gaya kepemimpinan.
Kepemimpinan demokratis, dengan kolaborasi, partisipasi dan keterlibatan yang tinggi, umumnya paling efektif untuk mendorong komitmen dan kolaborasi yang diperlukan dalam peningkatan mutu berkelanjutan (kaizen).
Namun, dalam situasi-situasi tertentu, kepemimpinan otoriter (tegas) atau laissez-faire (pelimpahan penuh) juga dapat diterapkan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Stay Relevant!
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi adalah mekanisme yang disusun oleh Kementerian Pendidikan untuk memastikan bahwa institusi pendidikan tinggi mencapai dan mempertahankan standar mutu yang diinginkan.
Implementasi SPMI yang efektif tentu bukan suatu pekerjaan yang mudah, memerlukan motivasi tinggi dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholder), terutama tenaga struktural, pimpinan, dosen dan karyawan.
Tenaga strutural perguruan tinggi, dengan “dikomandani” oleh pimpinan (Rektor, Direktur, Ketua), wajib menjalankan siklus PPEPP agar implementasi SPMI dapat berjalan efektif.
Permasalahannya adalah sejauh mana tenaga struktural perguruan tinggi (khususnya pimpinan) berhasil “memotivasi” para staf (dosen dan karyawan) agar mampu memberikan karya terbaik untuk peningkatan standar mutu pendidikan?
Teori Dua Faktor (2 factors theory) atau sering disebut Teori “Motivasi-Higiene” dikembangkan oleh Frederick Herzberg, seorang psikolog yang memfokuskan penelitiannya pada motivasi kerja karyawan. Teori 2 Faktor ini, pertama kali diperkenalkan melalui bukunya “The Motivation to Work” yang diterbitkan pada tahun 1959.
Herzberg melakukan penelitian dengan mewawancarai lebih dari 200 insinyur dan akuntan untuk memahami faktor-faktor apa saja yang menyebabkan mereka puas atau tidakpuas di dunia kerja.
Dalam konteks tersebut, Teori Dua Faktor yang dikembangkan oleh Herzberg dapat memberikan “wawasan berharga” tentang bagaimana memotivasi tenaga struktural perguruan tinggi untuk mendukung dan berkontribusi secara efektif terhadap keberhasilan SPMI.
Faktor Motivator (intrinsic Factors) berkaitan dengan “isi” pekerjaan itu sendiri dan dapat meningkatkan motivasi dan kepuasan kerja. Faktor ini terdiri dari:
Faktor Higiene (extrinsic factors) berkaitan dengan konteks pekerjaan dan tidak secara langsung meningkatkan kepuasan kerja, tetapi “ketidakhadiran” faktor-faktor ini dapat menyebabkan ketidakpuasan kerja.
Penerapan teori 2 (dua) Faktor Herzberg dalam implementasi SPMI dapat membantu perguruan tinggi meningkatkan motivasi dan kepuasan dosen dan karyawan.
Dengan memenuhi “faktor motivator” (untuk meningkatkan kepuasan kerja) dan memenuhi “faktor higiene” (untuk mengurangi ketidakpuasan), InsyaAllah institusi pendidikan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih produktif dan mendukung keberhasilan SPMI. Stay Relevant!
Di era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity), lembaga pendidikan dihadapkan pada tantangan besar untuk menjaga relevansi dan kualitas pendidikan.
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah alat penting yang digunakan oleh perguruan tinggi di Indonesia untuk memastikan bahwa standar kualitas tetap terjaga.
Namun, dalam lingkungan yang terus berubah dan penuh ketidakpastian, standar SPMI ini harus diupayakan tetap adaptif dan fleksibel agar tetap relevan.
Artikel singkat ini mencoba mengulas bagaimana perguruan tinggi dapat menjaga relevansi standar SPMI di era VUCA.
VUCA adalah konsep yang menggambarkan dunia yang penuh dengan perubahan cepat dan tidak terduga (volatility), ketidakpastian (uncertainty), kompleksitas (complexity), dan ambiguitas (ambiguity).
Dalam konteks pendidikan tinggi, ini berarti bahwa dunia kampus harus siap menghadapi perubahan kebijakan nasional (perundang undangan), perkembangan teknologi, pergeseran kebutuhan pasar kerja, dan ekspektasi mahasiswa yang selalu berubah.
Standar SPMI yang terlalu kaku tidak akan mampu mengakomodasi perubahan yang cepat, bergejolak dan dinamis.
Ketidakpastian dalam lingkungan global / regional mempengaruhi stabilitas dan perencanaan jangka panjang perguruan tinggi, menuntut standar yang lebih adaptif.
Kompleksitas lingkungan pendidikan dengan berbagai variabel yang saling terkait memerlukan pendekatan yang lebih holistik dalam pengelolaan mutu.
Ambiguitas dalam interpretasi dan penerapan standar dapat menyebabkan inkonsistensi dalam pelaksanaan dan evaluasi.
Disamping berbagai tantangan diatas, Era VUCA juga menawarkan peluang (opportunities) bagi “penetapan” standar SPMI yang lebih inovatif dan fleksibel.
Standar yang dirancang untuk adaptabilitas memungkinkan perguruan tinggi untuk dengan cepat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan.
Penetapan standar SPMI yang mendukung inovasi dalam pengajaran dan penelitian dapat meningkatkan mutu pendidikan dan relevansi kurikulum.
Kolaborasi internasional yang didorong oleh standar mutu yang diakui secara global dapat meningkatkan reputasi, keunggulan dan daya saing perguruan tinggi.
Menjaga relevansi standar SPMI di era VUCA memerlukan pendekatan yang adaptif, fleksibel, dan inovatif.
Perguruan tinggi harus siap menghadapi tantangan volatilitas, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas (VUCA) dengan standar yang mampu mendukung kualitas dan konsistensi pendidikan.
Melalui pengembangan standar yang fleksibel, monitoring dan evaluasi berkala, inovasi dalam pengajaran dan penelitian, pemanfaatan teknologi, serta kolaborasi internasional, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa mereka tetap relevan dan kompetitif dalam lingkungan yang terus berubah. Stay Relevant and Agile!
Instagram: @mutupendidikan
Indonesia, dengan kekayaan budaya serta keragaman etnisnya, memiliki berbagai “kearifan lokal” yang telah terbukti efektif dalam menjaga keseimbangan sosial dan lingkungan.
Di sisi lain, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi merupakan upaya sistematis untuk memastikan dan meningkatkan mutu pendidikan.
Mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam SPMI dapat memberikan pendekatan yang lebih relevan dan kontekstual dalam mencapai tujuan mutu pendidikan.
Artikel ini mencoba menelaah dan membahas pentingnya kearifan lokal dan cara-cara integrasi dalam budaya mutu SPMI di perguruan tinggi Indonesia.
Kearifan Lokal: Merupakan pengetahuan, nilai, dan praktik yang berkembang dalam komunitas lokal sebagai hasil dari pengalaman panjang berinteraksi dengan lingkungan alam dan sosial. Contoh di Indonesia termasuk budaya silaturahim, gotong royong, subak, dan sasi yang mencerminkan kerjasama, keadilan, dan keberlanjutan.
SPMI: Sistem Penjaminan Mutu Internal adalah serangkaian kegiatan sistematis dan terstruktur yang dilakukan oleh perguruan tinggi untuk memastikan bahwa proses pendidikan berjalan sesuai standar yang ditetapkan dan mengalami peningkatan kualitas secara berkelanjutan (kaizen).
Berikut 3 (tiga) contoh kearifan lokal: Gotong royong, Subak, dan Sasi.
Integrasi kearifan lokal dalam budaya mutu SPMI di perguruan tinggi tidak hanya meningkatkan “relevansi dan efektivitas” penjaminan mutu, tetapi juga menghargai dan melestarikan warisan budaya luhur yang sangat berharga.
Pendekatan yang berbasis kearifan lokal dapat memperkuat “identitas budaya”, meningkatkan dukungan serta partisipasi, dan menciptakan lingkungan akademik yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Dengan demikian, diharapkan perguruan tinggi di Indonesia dapat mencapai standar mutu yang tinggi sambil tetap menghormati dan memanfaatkan kearifan lokal. Stay Relevant!
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah kerangka kerja yang dirancang untuk memastikan mutu pendidikan tinggi terjaga dan dapat ditingkatkan secara berkelanjutan (continuous improvement). Untuk mencapai tujuan SPMI dengan efektif dan efisien, standar yang diterapkan haruslah jelas dan dapat diukur (measurable).
Bila standar SPMI tidak measurable, berarti tidak dapat diukur. Bila tidak dapat diukur, berarti tidak dapat dievaluasi. Bila tidak dapat dievaluasi, berarti tidak bisa diketahui tingkat kemajuannya.
Dalam konteks ini, “measurable” merupakan salah satu komponen penting dari pendekatan SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-bound) dalam menyusun tujuan dan standar yang baik.
Artikel ini membahas pentingnya menyusun standar SPMI yang measurable dan memberikan contoh-contoh penerapannya dalam institusi pendidikan tinggi. Semoga bermanfaat!
Standar yang measurable memiliki sejumlah kegunaan:
Kesimpulan
Menyusun standar SPMI yang measurable adalah langkah penting (krusial) dalam memastikan bahwa sistem penjaminan mutu di pendidikan tinggi dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Dengan menetapkan tujuan (target) yang terukur (measurable), kriteria yang jelas, dan indikator yang relevan, institusi pendidikan dapat memantau dan meningkatkan mutu pendidikan dengan lebih baik.
Contoh-contoh di atas menunjukkan bagaimana standar yang measurable dapat dipraktekkan dalam berbagai aspek pendidikan tinggi untuk mencapai hasil yang diinginkan. Stay Relevant!
Dalam dunia pendidikan tinggi, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) memainkan peran krusial dalam memastikan bahwa kualitas pendidikan terjaga dan ditingkatkan secara berkelanjutan. Salah satu kunci untuk mencapai efektivitas dalam SPMI adalah dengan menyusun standar yang spesifik.
Standar yang spesifik memberikan arah yang jelas, memudahkan pengukuran dan evaluasi, serta meningkatkan pengelolaan sumber daya. Artikel ini akan membahas langkah-langkah dalam menyusun standar SPMI yang spesifik serta memberikan beberapa contoh dalam konteks pendidikan tinggi.
Standar yang spesifik dalam konteks SPMI berarti mendefinisikan dengan jelas apa yang ingin dicapai, bagaimana mencapainya, dan apa saja yang menjadi ukuran keberhasilan (indikator). Standar yang spesifik membantu dalam:
Menyusun standar-standar SPMI yang spesifik merupakan langkah penting dalam memastikan bahwa sistem penjaminan mutu pendidikan di perguruan tinggi dapat berjalan dengan efektif dan efisien.
Dengan menetapkan tujuan yang jelas, detail yang terperinci, serta kriteria dan indikator yang tepat, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa semua elemen mutu pendidikan diperhatikan secara menyeluruh.
Contoh-contoh di atas menunjukkan bagaimana standar yang spesifik dapat disusun dalam berbagai aspek pendidikan tinggi, dari program pengajaran hingga penelitian, untuk mencapai hasil yang diinginkan dan meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan. Stay Relevant!
Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi adalah langkah penting dalam memastikan tercapainya mutu pendidikan yang unggul dan berkelanjutan.
Namun, tantangan utama yang sering dihadapi adalah memastikan bahwa standar yang ditetapkan dapat dicapai dalam kerangka waktu yang spesifik (timed).
Oleh karena itu, penguatan standar SPMI agar bersifat “timed” atau berbatas waktu menjadi sangar penting / krusial.
Artikel singkat ini mencoba membahas pentingnya pendekatan “timed” dalam SPMI dan langkah-langkah untuk penerapannya secara efektif dan efisien. Semoga bermanfaat!
SPMI bertujuan untuk memastikan bahwa semua proses Tri Dharma Pendidikan berjalan sesuai dengan standar SPMI yang telah ditetapkan dan mengalami peningkatan yang berkelanjutan (Kaizen).
Namun sayangnya, seringkali standar SPMI yang disusun, tanpa adanya batas waktu yang jelas, upaya ini bisa menjadi tidak terarah dan kurang efektif. Pendekatan “timed” memberikan beberapa manfaat utama yaitu:
Untuk memastikan bahwa standar SPMI memiliki kerangka waktu yang jelas, perguruan tinggi dapat mengadopsi langkah-langkah berikut:
Penguatan standar SPMI agar bersifat “timed” merupakan langkah penting dalam memastikan efektivitas dan keberlanjutan SPMI (sistem penjaminan mutu internal) di perguruan tinggi. Dengan menetapkan batas waktu yang jelas, perguruan tinggi dapat menciptakan sense of urgency, mengukur kemajuan secara objektif, dan mengelola waktu dengan lebih baik.
Strategi seperti penetapan tujuan SMART, pengembangan rencana aksi yang jelas, pemantauan dan evaluasi berkala, penyesuaian berkelanjutan, dan pelibatan seluruh stakeholder “adalah kunci” untuk mencapai standar SPMI yang lebih efektif dan efisien. Dengan demikian, perguruan tinggi dapat terus memastikan bahwa mereka telah memberikan pendidikan bermutu tinggi yang sesuai dengan standar nasional dan internasional. Stay Relevant!
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi merupakan kerangka kerja yang dirancang untuk memastikan tercapainya mutu pendidikan yang diselenggarakan. Pembuatan target (key performance Indicator) dalam SPMI yang “attainable” atau dapat dicapai merupakan kunci keberhasilan implementasi sistem ini.
Artikel ini akan membahas pentingnya menetapkan target yang attainable dalam SPMI, dan bagaimana strategi untuk membuatnya, serta implikasi praktis dalam penerapannya. Semoga bermanfaat!
Menetapkan target yang attainable dalam SPMI berarti menetapkan tujuan yang realistis dan dapat dicapai dengan sumber daya dan waktu yang tersedia. Hal ini penting karena:
Berikut tips dan langkah-langkah membuat target standar yang attainable:
Menetapkan target yang “attainable” dalam SPMI adalah langkah penting untuk memastikan keberhasilan implementasi sistem penjaminan mutu di perguruan tinggi.
Agar dapat menetapkan target yang attainable, Institusi perlu menganalisis kapasitas dan sumber daya, melibatkan pemangku kepentingan, menggunakan data, dan menetapkan langkah-langkah yang jelas. Stay Relevant!
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan alat vital bagi perguruan tinggi dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan dan pelayanan.
Dalam era digital dan persaingan global yang semakin ketat ( era VUCA dan BANI), kampus inovasi menjadi model ideal untuk menjawab tantangan ini. Kampus inovasi tidak hanya berfokus pada pembelajaran dan penelitian (research), tetapi juga mendorong entrepreneurship, kolaborasi, dan penerapan teknologi terbaru.
Namun demikian, untuk mewujudkan hal tersebut tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Perlu ada penguatan dari sisi strategik, struktur, sistem dan SDM. Terkait penguatan sistem mutu, tentu saja dokumen SPMI perlu diadaptasi agar lebih fleksibel dan mendukung program-program inovatif yang ada di kampus.
Artikel singkat ini bertujuan membahas bagaimana pola adaptasi dokumen SPMI agar dapat mendukung program kampus inovasi. Dokumen SPMI yang perlu diadaptasi meliputi Kebijakan SPMI, Dokumen PPEPP, Standar SPMI, dan dokumen pendukung lainnya.
Dokumen SPMI tradisional biasanya berfokus pada kebijakan, prosedur, standar, dan evaluasi yang ketat untuk memastikan tercapainya standar mutu pendidikan. Meskipun penting, pendekatan ini sering kali terlalu “birokratis dan kaku”, kurang fleksibel sehingga dapat menghambat kreativitas dan inovasi.
Oleh karena itu, perlu adanya adaptasi dokumen yang memungkinkan SPMI mendukung program-program inovatif tanpa mengorbankan akuntabilitas dan kualitas.
Visi dan misi Perguruan Tinggi harus mencerminkan komitmen terhadap inovasi, bila perguruan tinggi memutuskan untuk menjadi kampus inovasi sebagai strategi diferensiasi (positioning).
Visi dan Misi SPMI juga harus harus mencerminkan komitmen terhadap inovasi, sebagai turunan dari visi misi Perguruan Tinggi. Ini bisa dilakukan dengan menambahkan tujuan-tujuan yang berfokus pada pengembangan budaya inovasi melalui teknologi, kewirausahaan, dan kolaborasi industri.
Sebagai contoh, misi SPMI dapat terdiri dari semangat untuk “mendorong pengembangan teknologi dan inovasi dalam semua aspek pendidikan dan penelitian.”
Standar-standar, dokumen PPEPP dan prosedur yang ada dalam SPMI perlu lebih fleksibel untuk memungkinkan eksperimen dan proyek inovatif.
Misalnya, menual penetapan standar pengembangan kurikulum harus memungkinkan dosen untuk mengintegrasikan teknologi baru dan metode pembelajaran inovatif tanpa terhalang oleh aturan yang kaku.
Dokumen SPMI yang fleksibel namun tidak berarti mengorbankan mutu. Fleksibelitas ini untuk mengantisipasi dinamika perubahan yang sangat cepat dan cenderung “Incomprehensible” (BANI world). Tantangan eksternal yang dihadapi mungkin tidak selalu jelas, dan kemampuan untuk mengatasi ketidakpahaman ini menjadi kunci untuk berhasil perguruan tinggi.
Dokumen SPMI harus mencakup strategi untuk meningkatkan keterlibatan industri dalam proses pendidikan dan penelitian. Kerja sama dengan perusahaan yang bidang usahanya sejalan dengan visi misi perguruan tinggi.
Ini bisa meliputi adaptasi dokumen SPMI untuk kerjasama penelitian, magang, dan proyek-proyek kolaboratif yang melibatkan industri. Perlu menyesuaian standar SPMI dan dokumen pendukungnya agar mampu menjadi panduan dalam program-program kampus inovasi.
SPMI harus mendukung pengembangan kapasitas kewirausahaan di kalangan mahasiswa dan staf. Untuk mahasiswa dikembangkan kemampuan entrepreneurship, sedangkan untuk staf karyawan dan dosen, diberikan ketrampilan intrapreneurship, yakni ketrampilan menerapkan ide-ide inovasi pada organisasi tempat mereka bekerja.
Kegiatan dapat dilakukan dengan menambahkan program pelatihan bisnis kewirausahaan, inkubator bisnis, dan akselerator startup dalam rencana strategis SPMI.
Dokumen SPMI harus mencakup penggunaan teknologi digital dalam proses pembelajaran dan administrasi. Dengan pemanfaatan teknologi digital, kampus akan terfasilitasi untuk percepatan inovasi. Teknologi digital membantu program otomatisasi yang meningkatkan daya saing dan produktifitas organisasi.
Program ini termasuk e-learning, manajemen data, dan analitik untuk evaluasi kinerja. Teknologi digital juga dapat digunakan untuk memfasilitasi kolaborasi antara mahasiswa, dosen, dan industri. Budaya kolaborasi dan budaya inovasi akan membantu percepatan pencapaian target-target kampus inovasi.
Implementasi adaptasi ini memerlukan komitmen dari seluruh pihak di perguruan tinggi, termasuk pimpinan, dosen, staf, dan mahasiswa. Tantangan utama yang mungkin dihadapi adalah resistensi terhadap perubahan dan keterbatasan sumber daya.
Oleh karena itu, penting untuk memiliki strategi komunikasi yang efektif dan pelatihan yang memadai untuk memastikan semua pihak memahami dan mendukung program perubahan ini.
Adaptasi dokumen SPMI adalah langkah krusial untuk mendukung program kampus inovasi. Dengan revisi visi dan misi, fleksibilitas dalam standar dan prosedur, peningkatan keterlibatan industri, pengembangan kapasitas kewirausahaan, dan integrasi teknologi digital, SPMI dapat menjadi pendorong utama dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang inovatif.
Dengan program-program diatas, pimpinan, dosen dan staf karyawan akan semakin berani untuk berkreasi dan berinovasi. Pimpinan perlu terbuka untuk menerima ide -ide baru dan memberi kesempatan untuk mencoba ide-ide baru dan memberikan toleransi bila ada kegagalan. Budaya inovasi perlu didukung dan di fasilitasi.
Meskipun ada tantangan dalam implementasinya, manfaat jangka panjang yang dapat diperoleh dari peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan akan sangat signifikan. Dengan demikian, perguruan tinggi dapat lebih siap menghadapi tantangan global dan mempersiapkan lulusan yang kompeten dan inovatif. Stay Relevant!
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) telah menjadi fokus utama lembaga pendidikan untuk memastikan standar SPMI yang tinggi dalam proses pembelajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat.
Salah satu pendekatan yang efektif dalam mendukung upaya ini adalah metode bertanya “5 Why”, yang digunakan untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan akar masalah (root cause analysis) secara sistematis.
Artikel ini akan membahas tentang pentingnya integrasi metode “5 Why” dalam SPMI serta bagaimana metode ini dapat membantu institusi pendidikan mencapai tujuan peningkatan mutu secara berkelanjutan (kaizen).
SPMI tidak hanya sekadar merupakan persyaratan formal untuk memenuhi standar yang diperlukan untuk akreditasi, namun SPMI juga sebuah pendekatan strategis untuk meningkatkan mutu Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Dengan fokus pada kegiatan evaluasi berkelanjutan, perbaikan proses, dan manajemen mutu, SPMI memberikan kerangka kerja yang komprehensif untuk memastikan bahwa pendidikan yang diberikan, telah sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Metode bertanya “5 Why” merupakan alat analisis sederhana namun cukup efektif bila digunakan untuk menggali lebih dalam tentang akar masalah yang mendasari suatu isu atau tantangan tertentu (misal temuan Audit Mutu Internal).
Ide utamanya adalah dengan bertanya “mengapa?” secara berulang-ulang, biasanya bisa sampai lima kali. Langkah ini bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab fundamental dari suatu masalah (root cause analysis).
Dalam konteks SPMI, seringkali temuan (finding) dalam proses monev maupun audit mutu internal (AMI), terjadi muncul berulang-ulang dalam kasus yang sama. Mengapa hal ini terjadi? Salah satu jawabannya adalah kegagalan dalam mencari akar masalah. Langkah bertanya “5 Why” adalah salah satu solusi yang bisa ditawarkan.
Penerapan metode beranya “5 Why” dalam SPMI memberikan beberapa manfaat penting, diantaranya:
Masalah: Terjadi penurunan yang signifikan dalam partisipasi mahasiswa dalam kegiatan ekstrakurikuler di Perguruan Tinggi.
Menggunakan teknik bertanya “5 Why”:
Usulan Tindakan Perbaikan: Membuat forum koordinasi yang rutin antara departemen akademik dan departemen ekstrakurikuler (kemahasiswaan) untuk menyinkronkan jadwal kegiatan, sehingga sesuai dengan kebutuhan mahasiswa dan keluarga.
Dengan mengintegrasikan metode bertanya “5 Why” dalam proses evaluasi SPMI, institusi pendidikan dapat lebih efektif dalam mengidentifikasi, memahami, dan menyelesaikan masalah yang mempengaruhi mutu pendidikan.
Pendekatan ini tidak hanya mendukung upaya pemantauan dan evaluasi berkelanjutan, namun juga memperkuat mutu proses pendidikan secara keseluruhan. Dengan demikian, penerapan metode bertanya “5 Why” tidak hanya relevan, namun juga krusial dalam upaya institusi untuk mencapai standar SPMI Perguruan Tinggi. Stay Relevant!
Layanan Informasi