
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), sebagaimana diamanatkan oleh regulasi, telah diterapkan di banyak perguruan tinggi sebagai langkah strategis untuk meningkatkan mutu pendidikan dan layanan akademik. Namun, dalam realisasinya, tidak sedikit institusi yang mendapati bahwa implementasi SPMI berjalan stagnan dan jauh dari ekspektasi. Proses administrasi masih terkesan lamban, banyak pihak merasa bingung dengan prosedur yang ada, standar mutu belum benar-benar diinternalisasi, dan evaluasi mutu lebih sering menjadi sekadar formalitas administratif tanpa dampak nyata terhadap perbaikan mutu pendidikan.
Ketika situasi ini terjadi, berbagai pihak kerap mempertanyakan efektivitas sistem yang diterapkan, bahkan tidak jarang SPMI itu sendiri dijadikan kambing hitam atas berbagai tantangan yang dihadapi. Namun, sebelum terburu-buru menyalahkan sistem atau kebijakan, ada satu pertanyaan mendasar yang perlu dijawab: apakah perguruan tinggi telah berinvestasi secara optimal dalam program pelatihan dan pengembangan kapasitas yang mendukung keberhasilan implementasi SPMI?
Baca juga: SPMI Tanpa Teknologi Digital? Bersiaplah Hadapi Kegagalan!
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) bukan sekadar kebijakan yang harus ditaati, tetapi sebuah mekanisme yang menuntut pemahaman mendalam dan keterlibatan aktif dari seluruh elemen kampus.
Dosen, tenaga kependidikan, dan pimpinan perguruan tinggi harus memiliki kesadaran penuh tentang bagaimana standar SPMI diterapkan, dievaluasi, dan ditingkatkan secara berkelanjutan melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan).
Tanpa program pelatihan yang efektif, berbagai pihak dalam institusi akan menghadapi kendala dalam menjalankan perannya.
Dosen mungkin mengalami kesulitan dalam memahami standar evaluasi pembelajaran, tenaga kependidikan bisa merasa tidak siap dalam menerapkan prosedur administratif yang sesuai dengan standar SPMI, dan pimpinan perguruan tinggi mungkin tidak memiliki strategi yang jelas dalam merumuskan, mengembangkan, serta menyelaraskan visi, misi, dan kebijakan mutu. Akibatnya, SPMI hanya akan menjadi dokumen formalitas yang tersimpan rapi, tetapi tidak memberikan dampak nyata dalam meningkatkan mutu pendidikan, layanan akademik dan non akademik.
Baca juga: SPMI Gagal Total? Jangan Salahkan Sistem, Perbaiki Komunikasi!
Ada beberapa indikasi bahwa program pelatihan terkait Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di suatu institusi perlu segera dievaluasi. Jika staf akademik dan tenaga kependidikan sering kali mengalami kebingungan dalam memahami isi standar SPMI serta implementasinya, ini menjadi pertanda bahwa pelatihan yang diberikan tidak cukup efektif atau bahkan belum tersedia dengan optimal.
Sering kali, pelatihan yang diadakan hanya bersifat seremonial tanpa pendampingan atau tindak lanjut yang memadai. Materi yang disampaikan pun sering kali tidak relevan dengan kebutuhan spesifik institusi, sehingga peserta hadir dalam sesi pelatihan tanpa mendapatkan kesempatan untuk mempraktikkan atau memperdalam pemahamannya. Lebih buruk lagi, jika institusi tidak memiliki mekanisme umpan balik dan evaluasi terhadap efektivitas pelatihan, maka sulit untuk mengetahui apakah materi yang diberikan benar-benar bermanfaat atau hanya sekadar formalitas administratif belaka.
Tanpa pelatihan yang terarah, penerapan standar SPMI akan berjalan tidak konsisten di berbagai unit kerja.
Beberapa departemen mungkin mampu menginternalisasi standar SPMI dengan baik, sementara yang lain masih belum memiliki pemahaman yang sama mengenai bagaimana SPMI seharusnya dijalankan. Akibatnya, terjadi kesenjangan dalam implementasi mutu yang menghambat pencapaian tujuan institusi. Masing-masing unit kerja cenderung bekerja secara terpisah dengan pendekatan sektoralnya sendiri, tanpa adanya integrasi yang kuat untuk membangun budaya mutu yang menyeluruh.
Baca juga: SPMI Bukan Tanggung Jawab Satu Unit! Seluruh Civitas Akademika Harus Bergerak
Untuk memastikan bahwa program pelatihan benar-benar memberikan dampak yang signifikan, perguruan tinggi harus menyesuaikan materi pelatihan dengan kebutuhan spesifik di setiap unit kerja.
Pelatihan tidak boleh hanya berfokus pada teori semata, tetapi juga harus menyertakan studi kasus nyata, simulasi, dan praktik langsung.
Pendekatan ini akan membantu peserta memahami bagaimana standar Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) diterapkan dalam aktivitas akademik, non akademik dan administratif mereka, serta bagaimana siklus PPEPP berfungsi dalam keseharian institusi.
Pemanfaatan teknologi digital juga menjadi langkah strategis untuk meningkatkan efektivitas pelatihan. Dengan adanya Learning Management System (LMS) atau platform e-learning internal, dosen dan tenaga kependidikan dapat mengakses materi pelatihan kapan saja serta mengulanginya sesuai dengan kebutuhan mereka. Ketersediaan video pembelajaran berkualitas yang dapat diakses secara asinkronus akan semakin mendukung fleksibilitas dalam proses pelatihan, sehingga peserta tidak harus bergantung pada sesi tatap muka yang terbatas.
Selain itu, perguruan tinggi perlu mendorong pembelajaran sejawat dan mengembangkan knowledge management, di mana dosen dan staf dapat berbagi praktik terbaik dalam penerapan mutu di unit kerja masing-masing.
Forum diskusi dan mentoring internal dapat menjadi sarana yang efektif untuk memperkuat pemahaman tentang SPMI serta memastikan bahwa kebijakan mutu benar-benar diimplementasikan di seluruh lini institusi. Dengan pendekatan yang lebih interaktif dan berbasis kolaborasi, budaya mutu tidak hanya menjadi sekadar kebijakan, tetapi juga bagian dari keseharian seluruh civitas akademika.
Baca juga: Standar SPMI Harus Diperbarui, Kapan Waktu yang Tepat?
Jika Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di sebuah perguruan tinggi mengalami stagnasi, besar kemungkinan akar permasalahannya terletak pada kurangnya efektivitas dalam program pelatihan dan pengembangan kapasitas. Tanpa pelatihan yang komprehensif, kebijakan SPMI beserta seluruh perangkatnya hanya akan menjadi dokumen yang sulit dipahami dan diterapkan secara optimal dalam kehidupan akademik, non akademik dan administratif sehari-hari.
Perguruan tinggi yang ingin terus berkembang harus berinvestasi dalam program pelatihan yang lebih baik, memastikan bahwa setiap elemen kampus tidak hanya memahami teori penjaminan mutu, tetapi juga mampu mengimplementasikannya secara nyata.
Berbagai metode pelatihan dapat diterapkan untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan, mulai dari kelas daring yang fleksibel, pelatihan publik dengan perspektif eksternal, hingga in-house training yang lebih terarah sesuai dengan kebutuhan institusi. Dengan pendekatan pelatihan yang lebih strategis dan relevan, SPMI dapat dioptimalkan dengan lebih efektif, menciptakan ekosistem akademik yang berkualitas, serta mendorong peningkatan mutu secara berkelanjutan.
Saatnya meninggalkan pendekatan lama yang sekadar berorientasi pada pemenuhan dokumen dan beralih ke strategi yang benar-benar membangun kapasitas sumber daya manusia dalam institusi. Tetap relevan, berinovasi, dan bergerak maju! 🚀
Baca juga: Dunia Berubah Cepat, Apakah Standar SPMI Kita Masih Relevan?
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi