• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Materi SPMI

SPMI dan Standar Sarana Prasarana 2

Kampus Impian: Seperti Apa Sarana dan Prasarana yang Ideal di Mata Mahasiswa?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Dalam dunia pendidikan tinggi yang semakin dinamis, mahasiswa masa kini—khususnya Generasi Z—tidak lagi sekadar mencari tempat untuk menimba ilmu. Mereka mendambakan lingkungan yang nyaman, yang artistik dan mendukung perkembangan diri secara holistik. Kampus idaman bukan hanya sekumpulan ruang-ruang belajar, melainkan sebuah ekosistem yang mengintegrasikan fasilitas modern dengan kebutuhan pembelajaran sekaligus pengembangan potensi terbaik individu. Ruang kelas yang nyaman, perpustakaan digital yang kaya sumber daya, hingga ruang terbuka hijau yang asri, kini menjadi elemen penting yang menentukan pengalaman pendidikan yang bermutu.

Di sisi lain, perguruan tinggi perlu memahami bahwa setiap mahasiswa membawa harapan dan kebutuhan yang beraneka ragam. Perbedaan ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti latar belakang, keluarga, bidang studi, dan aspirasi pribadi. Oleh karena itu, standar sarana dan prasarana dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) harus dirancang dengan mempertimbangkan suara mahasiswa sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) utama. Pendekatan partisipatif ini memastikan bahwa fasilitas kampus tidak hanya sekadar memenuhi persyaratan formal dari Standar Nasional (SN) Dikti, namun juga relevan, bermakna, dan mampu memberikan dampak nyata bagi pemangku kepentingan. Harapannya, kampus dapat menjadi tempat yang benar-benar menginspirasi dan memfasilitasi perjalanan akademik segenap mahasiswa.

Baca juga: Inovasi Sarana dan Prasarana: Menjawab Tantangan Pendidikan Masa Depan

Ruang Kelas hingga Laboratorium

Ruang kelas yang memadai adalah kebutuhan mendasar di setiap kampus. Idealnya, ruang kelas tidak hanya dilengkapi dengan meja dan kursi, namun juga didukung oleh teknologi modern seperti proyektor, akses internet yang stabil, serta sistem penghawaan dan pencahayaan yang optimal. Mahasiswa menginginkan suasana belajar yang kondusif, di mana mereka dapat fokus tanpa gangguan, baik dari aspek teknis maupun lingkungan. Untuk itu, standar dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perlu merumuskan kriteria yang jelas sebagai landasan dalam merancang ruang kelas bermutu tinggi.

Laboratorium, khususnya bagi program studi berbasis ilmu eksakta, sains dan teknologi, juga menjadi elemen yang sangat penting. Fasilitas laboratorium yang dilengkapi dengan peralatan mutakhir dan bahan praktikum yang memadai mencerminkan mutu pendidikan yang diberikan. Alat-alat ukur di laboratorium harus valid dan rutin di kalibrasi. Mahasiswa membutuhkan akses yang mudah dan adil terhadap fasilitas ini, tanpa harus berebut dan antri untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Oleh karena itu, pengelolaan laboratorium yang efisien dan inklusif harus menjadi bagian integral dari standar sarana dan prasarana yang ditetapkan dalam SPMI. Hal ini dilakukan guna memastikan pengalaman belajar yang mendukung eksplorasi akademik dan pengembangan keahlian secara optimal.

Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!

Teknologi dan Digitalisasi

Di era digital, mahasiswa tidak hanya belajar dari buku, tetapi juga dari berbagai sumber online yang memerlukan infrastruktur teknologi canggih. Kampus yang ideal dilengkapi dengan Wi-Fi berkecepatan tinggi yang dapat diakses di seluruh area, termasuk ruang kelas, perpustakaan, dan area umum lainnya. Selain itu, keberadaan Learning Management System (LMS) yang andal menjadi hal penting untuk mendukung pembelajaran berbasis online. Standar Sarpras SPMI sebaiknya menekankan pentingnya integrasi teknologi ini sebagai bagian dari sarana perlu di perguruan tinggi.

Perpustakaan digital juga menjadi elemen penting dalam kampus modern. Mahasiswa membutuhkan akses ke berbagai jurnal ilmiah, e-book, dan sumber daya lainnya tanpa harus terbatas pada ruang dan waktu. Dengan adanya perpustakaan digital yang dirancang sesuai standar sarana prasarana, mahasiswa dapat meningkatkan kemampuan belajar secara mandiri dan memperluas wawasan.

Baca juga: Kampus dan Industri: Mengapa Respons Perguruan Tinggi Jadi Penentu di Era AI?

Aksesibilitas untuk Semua

Kampus ideal adalah kampus yang mudah diakses oleh semua mahasiswa, tanpa terkecuali, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus. Jalur yang ramah difabel, fasilitas untuk pengguna kursi roda, lift yang memadai, hingga ruang kelas yang dirancang agar mudah diakses, menjadi contoh nyata dari upaya mendukung inklusivitas. Standar Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perlu mengakomodasi aspek aksesibilitas ini untuk memastikan bahwa setiap mahasiswa dapat belajar dalam lingkungan yang nyaman, menyenangkan, dan aman. Selain kenyamanan, perhatian pada risiko seperti gempa bumi atau kebakaran juga harus menjadi prioritas, dengan menyediakan alat pemadam api ringan (APAR), jalur evakuasi yang jelas, dan titik kumpul yang memadai.

Aksesibilitas juga berarti memberikan peluang yang setara bagi mahasiswa dari berbagai latar belakang ekonomi untuk memanfaatkan sarana yang tersedia. Misalnya, laboratorium komputer yang dapat diakses secara gratis, kantin dengan harga terjangkau, pusat karier yang mendukung masa depan mahasiswa, hingga layanan konsultasi yang dapat diakses oleh semua. Fasilitas-fasilitas ini mencerminkan komitmen kampus dalam mendukung keberagaman dan inklusi, menciptakan lingkungan yang benar-benar memfasilitasi perkembangan intelektual dan sosial bagi setiap individu.

Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?

Ruang untuk Kreatifitas

Kegiatan mahasiswa tidak hanya terbatas di ruang kelas, tetapi meluas ke berbagai aktivitas di luar ranah akademik. Kampus yang ideal harus menjadi tempat yang mendorong pengembangan minat dan bakat mahasiswa. Fasilitas seperti ruang organisasi, pusat olahraga, aula serbaguna, dan ruang musik menjadi elemen penting yang memberikan ruang bagi mahasiswa untuk mengasah keterampilan kepemimpinan (soft skills), berkolaborasi, dan menyalurkan kreativitas mereka. Standar Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perlu mencakup fasilitas-fasilitas ini sebagai bagian integral dari sarana dan prasarana, guna menciptakan lingkungan kampus yang mendukung pertumbuhan individu yang holistik.

Selain itu, ruang hijau dan area relaksasi merupakan elemen yang tak kalah penting bagi mahasiswa. Taman, gazebo, atau area terbuka lainnya tidak hanya memberikan kesempatan untuk melepas penat, tetapi juga menjadi ruang untuk bersosialisasi dan membangun komunitas. Fasilitas-fasilitas ini menciptakan keseimbangan antara belajar dan relaksasi, sekaligus berkontribusi pada kesehatan mental mahasiswa. Dengan ruang-ruang yang dirancang untuk menyegarkan pikiran dan mendorong interaksi sosial, kampus menjadi lebih dari sekadar tempat belajar—ia menjadi rumah kedua yang nyaman dan inspiratif.

Baca juga: Jangan Biarkan Korupsi Menodai SPMI: Langkah Preventif bagi Perguruan Tinggi

Inspirasi dari Richard P. Dober

Richard P. Dober, melalui bukunya Campus Design, menawarkan prinsip-prinsip desain yang relevan untuk menciptakan kampus yang tidak hanya fungsional tetapi juga bermakna. Salah satu konsep utama yang diusung Dober adalah placemaking—proses menciptakan ruang yang mendukung identitas institusi dan kebutuhan komunitasnya. Dalam konteks mahasiswa, ini berarti kampus harus dirancang untuk memfasilitasi pembelajaran, kolaborasi, dan interaksi sosial, sekaligus mencerminkan nilai-nilai dan karakteristik unik perguruan tinggi tersebut (mission differentiation).

Rekomendasi Dober juga menekankan pentingnya konektivitas fisik antarbagian kampus. Jalur pejalan kaki, taman, dan ruang terbuka hijau menjadi elemen vital yang tidak hanya mendukung mobilitas tetapi juga mendorong interaksi kasual antar mahasiswa dan dosen. Selain itu, Dober merekomendasikan penggunaan elemen visual khas, seperti bangunan ikonik, monumen, atau lanskap unik, yang memberikan identitas kuat bagi kampus. Elemen-elemen ini tidak hanya memperkuat “kebanggaan” mahasiswa terhadap institusinya tetapi juga menciptakan daya tarik bagi calon mahasiswa baru (PMB).

Dengan mengadaptasi prinsip-prinsip Dober ke dalam konteks lokal, kampus-kampus di Indonesia dapat menciptakan lingkungan yang lebih bermakna, nyaman, dan sesuai dengan kebutuhan iklim tropis serta keberagaman budaya. Misalnya, ruang-ruang terbuka yang rindang, bangunan dengan ventilasi alami, dan taman yang dirancang untuk kegiatan sosial maupun akademik akan memberikan pengalaman belajar yang optimal bagi mahasiswa. Inspirasi dari Dober ini menjadi pijakan yang kuat dalam membangun kampus yang tidak hanya memenuhi kebutuhan fungsional tetapi juga memberikan dampak emosional dan sosial yang mendalam.

Baca juga: Tak Kenal Maka Tak Sayang: Mengenal Lebih Dekat 6 Tujuan SPMI

Menyiasati Anggaran Terbatas

Bagi kampus kecil dengan anggaran terbatas, membangun sarana dan prasarana yang ideal sering kali menjadi tantangan besar. Namun, keterbatasan finansial bukan berarti perguruan tinggi harus mengorbankan mutu. Pendekatan strategis dan kreatif dalam perencanaan dapat menjadi kunci untuk memaksimalkan penggunaan sumber daya yang tersedia. Salah satu caranya adalah dengan fokus pada prioritas utama yang sesuai dengan kebutuhan mendesak dan misi institusi. Misalnya, sebuah perguruan tinggi yang berfokus pada pendidikan teknologi dapat memprioritaskan laboratorium komputer dengan perangkat terkini dibandingkan dengan fasilitas olahraga yang representatif. Penyesuaian ini memungkinkan kampus kecil untuk tetap kompetitif tanpa harus meniru model perguruan tinggi besar. Namun demikian, secara bertahap, kampus kecil dapat meningkatkan mutu sarana prasarana untuk rencana di kemudian hari. Grand design (rencana besar pengembangan sarana prasarana) harus dibuat dulu, agar pembangunan yang bertahap tidak terkesan tambal sulam, tidak hemat dan tidak indah.

Baca juga: Inovasi atau Mati: Integrasi PPEPP dengan Strategic Quality Management

Mission Differentiation

Selain itu, “tema” sarana prasarana juga perlu disesuaikan dengan mission differentiation atau diferensiasi misi dari perguruan tinggi. Setiap kampus memiliki tujuan dan karakteristik unik yang dapat tercermin dalam desain dan fungsi fasilitasnya. Kampus yang berorientasi pada keberlanjutan, misalnya, dapat memanfaatkan desain ramah lingkungan yang hemat biaya seperti penggunaan ventilasi alami atau pencahayaan pasif. Sementara itu, perguruan tinggi berbasis seni dapat memanfaatkan ruang kreatif seperti galeri atau studio seni yang fleksibel untuk mencerminkan misi mereka.

Dengan memusatkan pengembangan pada misi unik kampus, perguruan tinggi kecil tidak hanya dapat menghemat anggaran namun juga menciptakan nilai tambah yang membedakan mereka dari institusi lain. Strategi ini menjadikan sarana dan prasarana sebagai elemen yang mendukung keberlanjutan akademik sekaligus memperkuat daya tarik institusi di mata mahasiswa dan masyarakat.

Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi

Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?

Baca juga: Merancang Mission Differentiation di Era BANI

Penutup

Mahasiswa masa kini semakin sadar akan pentingnya keberlanjutan lingkungan. Kampus yang ideal adalah kampus yang mengadopsi praktik ramah lingkungan, seperti penggunaan energi terbarukan, pengelolaan limbah yang baik, dan inisiatif hijau lainnya. Standar SPMI dapat memasukkan keberlanjutan sebagai salah satu standar utama untuk memastikan bahwa kampus tidak hanya melayani generasi saat ini, tetapi juga generasi mendatang.

Prinsip desain yang bermakna, seperti yang direkomendasikan oleh Dober, dan strategi kreatif dalam menyiasati keterbatasan anggaran harus berjalan beriringan. Keduanya perlu berpadu dengan praktik keberlanjutan untuk menciptakan kampus yang tidak hanya relevan bagi generasi masa kini, tetapi juga mampu menghadirkan dampak positif yang melintasi waktu. Pendekatan ini memungkinkan kampus dari berbagai skala, baik besar maupun kecil, untuk mengoptimalkan fasilitas mereka sesuai dengan misi masing-masing.

Dengan fokus pada harapan mahasiswa (stakeholder utama), kampus dapat menjadi lebih dari sekadar tempat belajar. Ia akan menjadi ruang hidup yang mendukung pertumbuhan intelektual, emosional, dan sosial, menciptakan pengalaman pendidikan yang bermakna dan berdampak jangka panjang. Dalam konteks ini, kampus ideal tidak harus mahal, tetapi harus cerdas, adaptif, dan peduli terhadap keberlanjutan. Stay Relevant!

Baca juga: SPMI Tanpa Knowledge Management? Jurang Kegagalan!

Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Dober, R. P. (1992). Campus design. John Wiley & Sons.
  3. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  4. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  5. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  6. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  7. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  8. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Kepemimpinan Managerial Grid 1

Membangun Budaya Mutu: Apakah Pemimpin Anda Memiliki Skor 9,9 di Managerial Grid?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Kepemimpinan dalam pendidikan tinggi semakin diuji di era Artificial Intelligence (AI) yang penuh dinamika ini. Dalam implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di Pendidikan Tinggi, kemampuan pemimpin untuk menyeimbangkan perhatian terhadap “tugas” (task) dan “manusia” (people) menjadi faktor penentu keberhasilan organisasi. Namun, tentu kita masih bertanya, apakah para pemimpin perguruan tinggi benar-benar memiliki kemampuan untuk mendekati atau mencapai skor 9,9—perpaduan ideal antara perhatian terhadap “tugas” dan perhatian terhadap “manusia”—dalam framework model Managerial Grid? Mari kita kupas bersama.

Model Managerial Grid, yang dikembangkan oleh Blake dan Mouton, menawarkan perspektif menarik tentang bagaimana pemimpin dapat mengelola tim (bawahan) secara efektif. Dalam konteks SPMI, hal ini berarti menjaga keseimbangan antara pencapaian kinerja standar SPMI (perhatian pada “tugas”) dengan pencapaian hubungan harmonis pada “manusia” (bawahan). Skor 9,9 bukan hanya sekadar angka biasa, namun refleksi dari kepemimpinan yang ideal (team management).

Baca juga: SPMI di Era AI: Apakah Gaya Kepemimpinan Anda Siap Beradaptasi?

Skor 9,9 dalam Konteks SPMI

Implementasi SPMI membutuhkan komitmen yang tinggi untuk menyusun dan mencapai standar mutu secara berkelanjutan. Komitmen ini harus dibangun bersama dengan budaya mutu yang terus berkembang, dan inti dari semua ini adalah fungsi kepemimpinan yang efektif. Lalu, seperti apa model kepemimpinan yang ideal untuk mendukung pencapaian standar SPMI? Dalam konteks ini, perhatian terhadap “tugas” (task) menjadi elemen yang sangat krusial. Pemimpin bertanggung jawab memastikan bahwa setiap tahap dalam siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar) dilakukan secara konsisten, berbasis data, dan berorientasi pada hasil. Fokus yang kuat pada “tugas” menjadi landasan untuk mencapai keunggulan operasional dan efektivitas implementasi.

Namun, fokus yang berlebihan pada target dan angka-angka dapat menjadi pedang bermata dua. Tekanan untuk memenuhi standar yang tinggi sering kali menciptakan konflik atau bahkan kelelahan emosional di kalangan tim. Inilah mengapa perhatian terhadap “manusia” (people) menjadi sama pentingnya. Model kepemimpinan dengan skor 9,9 dalam Managerial Grid menjadi pengingat bahwa di balik target yang ambisius terdapat individu-individu yang membutuhkan perhatian, pengakuan, dan motivasi. Ketika pemimpin memberikan perhatian yang tulus kepada kesejahteraan tim—seperti memastikan keseimbangan kerja-hidup, menyediakan dukungan emosional, atau mengapresiasi kontribusi mereka—mereka tidak hanya menciptakan lingkungan kerja yang sehat, tetapi juga mendorong tim untuk berkomitmen secara kolektif terhadap pencapaian standar mutu SPMI yang lebih tinggi. Dengan keseimbangan ini, kepemimpinan tidak hanya menjadi alat pencapaian target, namun juga landasan untuk membangun budaya mutu (quality culture) yang kokoh dan berkelanjutan.

Baca juga: Knowledge Management: Rekomendasi untuk Revisi Permendikbudristek 53 Tahun 2023

Model Managerial Grid (kisi-kisi manajerial) dari Blake and Mouton

Memberdayakan Tim

Keseimbangan antara fokus pada “tugas” dan “manusia”—yang tercermin dalam skor 9,9 pada Managerial Grid—tidak hanya menciptakan harmoni, namun juga memberdayakan tim untuk memberikan kinerja terbaik mereka. Ketika pemimpin menunjukkan perhatian tinggi terhadap “tugas” (yang direpresentasikan pada sumbu horizontal), mereka menetapkan target yang jelas, memberikan bimbingan strategis, dan memastikan setiap individu memahami tanggung jawab mereka dalam mencapai tujuan institusi. Tugas ini menjadi elemen kunci dalam implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), yang sering kali membutuhkan koordinasi yang solid lintas departemen atau unit kerja.

Namun, keberhasilan SPMI tidak cukup hanya dengan perhatian pada “tugas” saja. Perhatian terhadap manusia (sumbu vertikal) menjadi sama pentingnya, memastikan bahwa setiap sumber daya manusia merasa didengarkan, dihargai, dan didukung. Gaya kepemimpinan yang terlalu berorientasi pada tugas semata (tipe 9,1) berisiko memicu konflik dan resistensi dalam organisasi. Sebaliknya, Gaya kepemimpinan yang terlalu berorientasi pada “manusia” semata (tipe 1,9) berisiko organisasi tidak produktif sama sekali, karena pimpinan terlalu fokus satu sisi, hanya perhatian pada manusia saja, sehingga pelaksanaan tugas cenderung diabaikan. Lalu bagaimana yang ideal? Yang ideal adalah seorang pemimpin tipe 9,9—yang mewujudkan kepemimpinan berbasis team management—adalah pemimpin yang paling ideal yang mampu mengubah resistensi menjadi kolaborasi.

Pemimpin tipe 9,9 menunjukkan empati, mendengarkan kritik dan masukan dari anggota tim, serta melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Pendekatan ini tidak hanya menggerakkan tim untuk bekerja lebih efektif, tetapi juga menumbuhkan motivasi dan rasa memiliki yang mendalam terhadap organisasi. Pada akhirnya, gaya kepemimpinan ini menjadi landasan yang kokoh untuk mendorong keberhasilan SPMI sekaligus memperkuat budaya mutu dalam organisasi.

Baca juga: Jangan Biarkan Korupsi Menodai SPMI: Langkah Preventif bagi Perguruan Tinggi

Penutup

Budaya mutu yang berkelanjutan tidak dapat dicapai bila hanya mengandalkan “ketersediaan” dokumen kebijakan, standar dan prosedur (not sufficient). Budaya mutu memerlukan leadership yang kuat, leader yang inspiratif dan mampu membangun sinergi antara “tugas” dan “manusia”. Skor 9,9 pada Managerial Grid menjadi simbol “kepemimpinan ideal” yang mampu membawa perubahan positif dan membangun landasan mutu yang kokoh.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah pemimpin di perguruan tinggi Anda telah mencapai keseimbangan ini? Jika belum, saatnya untuk berinvestasi dalam pengembangan kepemimpinan yang adaptif dan berorientasi pada keseimbangan. Stay Relevant!

Baca juga: Tools Canggih untuk SPMI: Tips Mengurai Benang Kusut


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan 10 Peran Manajer

Menghidupkan SPMI: Saatnya Belajar dari Master TQM Dunia!

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Di suatu pagi yang sibuk, Rektor Kampus Sangkuriang (fiktif), Dr. Hasan, memandang laporan tahunan progres kinerja mutu pendidikan tinggi di kantornya. Data menunjukkan tren stagnasi kualitas lulusan selama dua tahun terakhir, mimpi buruk bagi pimpinan. Walaupun berbagai kebijakan telah diambil, hasilnya tetap jauh dari harapan. Dr. Hasan bertanya-tanya: Apakah ada cara-cara lain untuk memecahkan lingkaran masalah ini? Dalam pencariannya, pak Rektor menemukan gagasan para pemikir manajemen mutu, yang dikenal sebagai guru-guru Total Quality Management (TQM), seperti Deming, Crosby, Peters, Juran, dan Ishikawa. Di sinilah perjalanan penguatan SPMI dimulai. Jangan kemana mana, ambil segelas kopi pahit (tanpa gula) lanjutkan membaca hingga tuntas.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

Inspirasi Para Guru Hebat

W. Edwards Deming: Perbaikan Berkelanjutan Adalah Kunci

Edward Deming, seorang pemikir visioner dalam dunia kualitas, memperkenalkan konsep System of Profound Knowledge yang mengajarkan bahwa organisasi harus memahami cara kerja sistem secara menyeluruh dan mengurangi variasi. Dalam siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar (siklus PPEPP), ide Deming dapat diterapkan melalui adaptasi siklus PDCA (Plan-Do-Check-Act). Perguruan tinggi dapat merancang strategi peningkatan mutu akademik dengan pendekatan iteratif, memungkinkan pembaruan berkelanjutan. Ungkapan bijak mengatakan “Kualitas tidak terjadi secara kebetulan; itu adalah hasil dari usaha yang cerdas.”

Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI

Joseph Juran: Kualitas Dimulai dari Perencanaan

Joseph Juran membawa perspektif unik tentang “Quality Trilogy” yang mencakup perencanaan kualitas, kontrol kualitas, dan perbaikan kualitas.

Prinsip “fitness for use” dari Juran menegaskan bahwa kualitas harus relevan dengan kebutuhan nyata dunia kerja dan inovasi global. Inilah tantangan bagi Kampus Sangkuriang, apakah mampu?

Bayangkan jika kurikulum di Kampus Sangkuriang dirancang dengan melibatkan pelaku industri secara langsung, sehingga setiap mata kuliah tidak hanya memenuhi standar akademik tetapi juga mencerminkan kebutuhan terkini dunia kerja. Lulusan kampus tidak hanya siap bekerja, tetapi juga memiliki daya saing global yang nyata.

Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?

Philip Crosby: Kualitas Adalah Gratis

Dengan pandangan “Quality is Free”, Crosby mengajarkan bahwa investasi dalam kualitas menghasilkan penghematan jangka panjang. Dalam pelaksanaan SPMI, pendekatan ini dapat diterapkan melalui pencegahan kesalahan dalam proses akademik dan administratif. Bayangkan jika setiap tugas akhir mahasiswa dirancang dengan bimbingan yang tepat, akan berapa banyak sumber daya yang dapat di hemat dari revisi yang tidak perlu?

Contoh lain, proses penerimaan mahasiswa baru dilakukan dengan sistem digital yang terintegrasi, sehingga mengurangi kesalahan administratif, mempercepat verifikasi dokumen, dan memberikan pengalaman pendaftaran yang lebih baik bagi calon mahasiswa. Tidak hanya menghemat waktu dan biaya, tetapi juga meningkatkan citra perguruan tinggi sebagai institusi yang efisien dan modern.

Baca juga: Merancang Mission Differentiation di Era BANI

Tom Peters: Kekuatan Kepemimpinan dalam Mutu

Tom Peters menginspirasi melalui konsep Management by Wandering Around (MBWA), yang mendorong pemimpin untuk terlibat langsung dengan tim mereka. Rektor dan dekan yang mendekati mahasiswa, dosen, dan staf administratif akan menciptakan lingkungan kerja yang inklusif, mempercepat proses deteksi masalah, dan memperkuat “rasa memiliki” terhadap kualitas institusi. “Keunggulan adalah hasil dari perhatian terus-menerus terhadap hal-hal kecil,” kata Peters, yang relevan dalam konteks pendidikan tinggi.

Bayangkan jika seorang rektor secara rutin mengunjungi kelas-kelas, mendengarkan langsung pengalaman belajar mahasiswa, dan berdiskusi dengan dosen mengenai tantangan pengajaran. Tidak hanya memperkuat hubungan dari berbagai pihak, namun juga memungkinkan pemimpin untuk mengambil keputusan berbasis data dan pengalaman nyata di lapangan, menciptakan budaya perbaikan (korektif dan preventif ) yang konsisten.

Ilustrasi lain, contoh seorang dekan yang secara teratur mengunjungi laboratorium atau ruang diskusi mahasiswa. Ia mendengar bahwa beberapa alat dan fasilitas laboratorium sering rusak dan segera mengambil tindakan untuk memperbaikinya. Langkah sederhana ini menunjukkan bahwa kepemimpinan hadir dan peduli terhadap kebutuhan seluruh komunitas kampus.

Baca juga: Penguatan SPMI dengan 10 Peran Manajer ala Mintzberg

Kaoru Ishikawa: Memahami Akar Masalah

Ishikawa membawa alat praktis seperti fishbone diagram (diagram tulang ikan) untuk mengidentifikasi akar penyebab masalah. Perguruan tinggi harus dapat menggunakan pendekatan ini untuk menganalisis hambatan dalam pelaksanaan PPEPP, seperti keterbatasan data atau kurangnya koordinasi antarunit. Konsep “GKM” (Gugus Kendali Mutu) dari Ishikawa juga sangat penting, menekankan pentingnya partisipasi semua pihak dalam meningkatkan mutu pendidikan.

Bayangkan jika sebuah fakultas membentuk tim GKM yang terdiri dari dosen, mahasiswa, dan staf untuk membahas tantangan dalam implementasi metode pembelajaran daring. Dengan masukan dari semua pihak, mereka dapat mengidentifikasi masalah-masalah teknis, kebutuhan pelatihan, atau cara meningkatkan interaksi, sehingga menghasilkan solusi dan rekomendasi yang lebih efektif dan diterima luas.

Penutup

Belajar dari para guru ini, perguruan tinggi di Indonesia dapat mengoptimalkan siklus PPEPP secara lebih efektif. Dengan memahami sistem, merancang standar mutu yang relevan, dan melibatkan semua stakeholder, perguruan tinggi dapat menciptakan budaya mutu yang berkelanjutan. Kunci keberhasilan adalah integrasi ide-ide besar dari para guru ini ke dalam konteks lokal tanpa kehilangan esensi globalnya.

Sebagai akhir perjalanan ini, kata-kata W. Edwards Deming memberikan filosofi dan pencerahan: “Tidak ada yang lebih berbahaya daripada merasa puas dengan status quo. Perubahan adalah awal dari perbaikan.” Mulai hal kecil, mulai dari diri sendiri dan mulai sekarang. Dengan semangat ini, mari kita terus hidupkan “ruh” SPMI di setiap kampus, menuju pendidikan tinggi yang lebih bermutu dan unggul. Stay Relevant!

Baca juga: Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku: Pilar Utama Budaya Mutu SPMI


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Analisis Peluang Eksternal

Inovasi atau Mati: Integrasi PPEPP dengan Strategic Quality Management

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Di sebuah kota kecil yang tumbuh berkembang pesat, Universitas Sangkuriang (fiktif) menghadapi tantangan besar di era yang sering disebut sebagai BANI (Brittle, Anxious, Non-Linear, dan Incomprehensible). Perguruan tinggi ini mendapati dirinya berada di persimpangan kritis. Bingung bagaimana harus berbuat. Sementara jumlah calon mahasiswa menurun terus, teknologi berkembang lebih cepat daripada kemampuan institusi untuk beradaptasi, dan ketidakpastian global semakin terasa.

Dengan berbekal visi yang kuat, ia memutuskan untuk mengintegrasikan PPEPP dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dengan konsep Strategic Quality Management dari Edward Sallis. Langkah ini menjadi batu loncatan yang mengembirakan, membawa Universitas Sangkuriang keluar dari keterpurukan menuju era baru yang lebih inovatif dan menjanjikan. Tetaplah di sini, nikmati secangkir kopi hangat, dan teruslah membaca hingga akhir cerita!

Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits

Mengapa PPEPP Relevan di Era BANI?

Di tengah dunia BANI yang rapuh (brittle) dan kerap sulit diprediksi, PPEPP menjadi penopang yang kokoh. Pendekatan ini tidak hanya membantu institusi pendidikan bertahan, tetapi juga berpeluang tumbuh dan berkembang dalam menghadapi tantangan zaman.

Proses Penetapan Standar (dalam PPEPP) memberikan ruang bagi universitas untuk menetapkan standar yang fleksibel namun tetap berorientasi pada pencapaian hasil yang optimis. Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) yang terencana dengan baik menciptakan program kerja yang terintegrasi, menjaga rasa stabilitas di tengah kegelisahan (anxiousness). Evaluasi Pemenuhan Standar dan Pengendalian Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) memungkinkan perguruan tinggi memahami pola-pola yang tidak linier dalam pendidikan, sementara Peningkatan Standar (dalam PPEPP) berkelanjutan menjadi kunci adaptasi dan transformasi di tengah perubahan yang sering kali tidak dapat dipahami (incomprehensible).

Sebagai contoh, Universitas Sangkuriang menetapkan standar kompetensi lulusan yang mencerminkan kompetensi dan skills abad ke-21, seperti kemampuan berpikir kritis, literasi digital, dan kolaborasi lintas budaya. Dengan optimisme yang terukur, mereka merancang kurikulum yang tidak hanya memenuhi kebutuhan industri saat ini namun juga memberikan ruang untuk inovasi dan kreativitas. Melalui penerapan standar PPEPP, standar ini tidak hanya menjaga visi ideal namun juga peta jalan yang membimbing Universitas Sangkuriang menuju hasil yang terukur, efektif dan efisien.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

Strategi Mengatasi Ketidakpastian

Dalam Bab 14, Sallis memperkenalkan metode “SWOT analysis” sebagai alat strategis yang sangat penting. Dengan memahami kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats), perguruan tinggi dapat merancang rencana strategis yang tidak hanya reaktif namun juga “proaktif” dalam menghadapi tantangan era BANI.

Konsep “Moments of Truth” dari Sallis juga sangat relevan. Dalam konteks pendidikan tinggi, momen-momen ini mencakup pengalaman penting mahasiswa, seperti interaksi dan komunikasi dengan dosen, proses pendaftaran yang mudah, dan layanan akademik yang responsif berbasis online. Momen-momen ini menentukan bagaimana mahasiswa dan stakeholder lain memandang kualitas dan profesional institusi.

Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI

Integrasi PPEPP dan Strategic Quality Management

Dalam tahap Penetapan Standar (dalam PPEPP), analisis SWOT membantu menciptakan standar ideal (optimis) yang sesuai dengan kebutuhan masa kini dan masa depan. Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) berfokus pada penciptaan “Moments of Truth” yang positif, misal melalui pengembangan kurikulum yang relevan, pelatihan dosen, dan penyediaan layanan yang unggul.

Evaluasi Pemenuhan Standar dan Pengendalian Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) memungkinkan perguruan tinggi untuk membaca pola perubahan yang tidak linier dan merancang solusi adaptif. Peningkatan Standar yang berkelanjutan (dalam PPEPP) menjadi jantung dari integrasi ini, memastikan bahwa setiap langkah yang diambil tidak hanya memperbaiki kondisi saat ini namun juga mempersiapkan keunggulan kompetitif untuk masa depan.

Integrasi Budaya Inovasi dengan PPEPP

Sallis juga menegaskan bahwa inovasi adalah hasil dari budaya yang mendukung dan kepemimpinan yang visioner. Dalam era BANI, budaya inovasi harus menekankan partisipasi, komunikasi yang transparan, dan komitmen terhadap pembelajaran berkelanjutan. Universitas Sangkuriang mengadopsi pendekatan ini dengan melibatkan seluruh stakeholder dalam semua tahap siklus PPEPP.

Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?

Penutup: Menemukan Cahaya

“Strategi tanpa taktik adalah jalan paling lambat menuju kemenangan. Taktik tanpa strategi adalah kebisingan sebelum kekalahan,” merupakan interpretasi dari karya Sun Tzu, seorang ahli strategi dalam ilmu peperangan.

Kasus Universitas Sangkuriang mengajarkan bahwa tantangan besar dapat diubah menjadi peluang besar melalui pendekatan yang strategis dan berkelanjutan. Dengan visi dan komitmen yang kuat terhadap mutu, perguruan tinggi dapat menjadi pelopor inovasi di tengah dunia yang rapuh, cemas dan tidak dapat diprediksi. Stay Relevant!

Baca juga: Merancang Mission Differentiation di Era BANI

Di era tak pasti, arah pun kabur,
Mutu jadi lentera, sinarnya tak luntur.
PPEPP dan strategi, menyatu dalam asa,
Mengubah tantangan, jadi cahaya.


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Kesederhanaan

Tools Canggih untuk SPMI: Tips Mengurai Benang Kusut

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Bayangkan sebuah perguruan tinggi fiktif bernama “Universitas Sangkuriang”. Dalam beberapa tahun terakhir, Kampus Sangkuriang menghadapi masalah besar: tingkat kelulusan yang stagnan, keterlibatan mahasiswa yang rendah, dan kritik dari stakeholder terkait relevansi kurikulumnya.

Di sinilah pentingnya “tools canggih” dalam SPMI. Dengan memanfaatkan pendekatan Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar ( 5 Siklus PPEPP) serta alat-alat praktis seperti yang dijelaskan oleh Edward Sallis dalam Total Quality Management in Education, institusi pendidikan seperti Kampus Sangkuriang dapat mengubah tantangan (threats) menjadi peluang (opportunities).

Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI

Mengupas PPEPP: Kerangka Dasar

Setiap langkah dalam siklus PPEPP sejatinya adalah pilar yang menopang keberlanjutan mutu. Tahap Penetapan Standar menjadi kompas yang mengarahkan visi perguruan tinggi, sementara Tahap Pelaksanaan Standar adalah roda yang menggerakkan upaya menuju tujuan. Tahap Evaluasi Pemenuhan Standar berfungsi sebagai cermin, memperlihatkan dengan jujur hasil dari perjalanan yang ditempuh. Tahap Pengendalian Pelaksanaan Standar memberikan kendali atas potensi penyimpangan, dan peningkatan menghadirkan esensi evolusi yang tak henti. Ketika kelima tahapan ini dikelola dengan presisi dan dedikasi, InsyaAllah institusi akan menemukan jalannya menuju kemajuan yang berkelanjutan.

Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits

Analisis Pareto

Menggali Teori Tools

Bab 10 dari buku Edward Sallis memberikan wawasan mendalam tentang berbagai alat yang dapat diterapkan dalam TQM di pendidikan. Berikut penjelasannya:

  • Flowcharts: Alat ini memetakan proses-proses dan membantu semua stakeholder memahami alur kerja. Misalnya, memetakan proses pengelolaan penelitian dari tahap proposal hingga publikasi dapat membantu mempercepat proses kegiatan dan membantu mengurangi hambatan birokrasi.
  • Fishbone (Ishikawa) Diagram: Digunakan untuk menemukan akar masalah dari sebuah problem. Dalam konteks Kampus Sangkuriang, alat ini dapat membantu memahami mengapa keterlibatan mahasiswa rendah—apakah karena kualitas dosen, metode pengajaran, fasilitas, atau faktor lain.
  • Brainstorming: Teknik ini mendorong kolaborasi antar departemen (antar unit kerja) untuk menghasilkan ide-ide inovatif. Dalam kasus Kampus Sangkuriang, brainstorming dapat digunakan untuk merancang kurikulum yang lebih relevan dengan kebutuhan pasar kerja.
  • Pareto Analysis: Berdasarkan prinsip 80/20, tools ini membantu perguruan tinggi fokus pada sedikit penyebab yang memiliki pengaruh / dampak terbesar. Misalnya, 80% keluhan mahasiswa mungkin berasal dari 20% penyebab utama, seperti kurangnya akses internet.
  • 5 Whys: Tools ini digunakan untuk menggali akar penyebab masalah dengan cara mengajukan pertanyaan “mengapa” hingga lima kali atau lebih sampai akar masalahnya dapat ditemukan. Sebagai ilustrasi, dalam kasus tingkat kelulusan yang rendah, bertanya “mengapa” secara berulang dapat mengungkap bahwa masalah ini bermula dari (contoh) kurangnya panduan akademik, yang mungkin disebabkan oleh kurangnya pelatihan bagi dosen pembimbing.

Sallis menekankan bahwa tools ini tidak hanya sekadar alat teknis, tetapi juga katalis untuk perubahan budaya mutu dalam organisasi. Alat-alat diatas mendorong pendekatan berbasis data dan kolaborasi yang memperkuat budaya mutu. Masih banyak alat-alat lain yang dapat digunakan fungsinya, misalnya: Histogram, Control Charts, Decision Matrix, SWOT Analysis, Force Field Analysis, Affinity Diagram, Scatter Diagram, Cause-and-Effect Matrix, Run Chart, Nominal Group Technique (NGT), Cost-Benefit Analysis, Kano Model dan lain sebagainya.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

PPEPP dan Tools untuk Transformasi

Kombinasi ini memungkinkan perguruan tinggi untuk tidak hanya memecahkan masalah (problem solving) namun juga mencegahnya (kegiatan preventif) di masa depan.

Lebih dari sekadar mekanisme, sinergi ini menciptakan ekosistem yang berorientasi pada mutu berkelanjutan. Dengan setiap tools yang digunakan secara strategis, perguruan tinggi dapat menanamkan pola pikir berbasis solusi di seluruh tingkat organisasi. Transformasi ini tidak hanya menyelesaikan persoalan spesifik, namun juga memperkuat komitmen semua stakeholder internal untuk bergerak menuju visi bersama, membangun institusi yang inovatif, adaptif, dan tangguh menghadapi perubahan.

Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI

Penutup

Dengan penerapan PPEPP yang diperkaya oleh tools canggih seperti yang disarankan oleh Edward Sallis, Kampus Sangkuriang dan institusi serupa—dapat melepaskan diri dari belenggu masalah mutu yang kompleks. Transformasi yang sejati mungkin membutuhkan waktu, namun pendekatan yang sistematis dan berbasis data menjadikan setiap langkah, sekecil apa pun, penting sebagai pijakan menuju perubahan besar.

Dengan memadukan alat yang tepat dengan kompetensi yang mendalam, perguruan tinggi dapat terus berinovasi dan bersinar cemerlang di tengah tantangan zaman. Stay Relevant!

Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Conecting the dots dan SPMI

Connecting The Dots: Transformasi SPMI melalui Kolaborasi Tim

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Seorang rektor perguruan tinggi terkemuka duduk di ruang rapat dengan ekspresi yang penuh perenungan. Beliau berpikir bagaimana cara menemukan solusi terbaik untuk penguatan sistem mutu yang ada. Hasil evaluasi program penjaminan mutu menunjukkan tren yang stagnan. Mahasiswa merasa kurang terlibat, dosen mengeluhkan beban administratif yang semakin berat, dan standar mutu hanya sekadar formalitas di atas kertas.

Pertanyaan sederhana ini rupanya menjadi pemicu transformasi besar yang mengubah wajah perguruan tinggi tersebut. Jangan kemana-mana, mari kita ikuti kisah selanjutnya, semangat!

Baca juga: Teori 2 Faktor: Memadukan SPMI dengan Motivasi Intrinsik

Pentingnya Kolaborasi dalam SPMI

Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi adalah kunci keberhasilan dalam meningkatkan mutu pendidikan tinggi. Melalui pendekatan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar), perguruan tinggi dapat memastikan bahwa seluruh aspek Tridharma—pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat—berjalan sesuai standar dan terus dikembangkan agar semakin baik.

Edward Sallis, dalam buku Total Quality Management in Education, menyebutkan bahwa kerja tim adalah blok bangunan kualitas yang fundamental. Melalui kerja tim, setiap individu membawa kontribusi unik yang, jika digabungkan, menciptakan sinergi luar biasa. Pendekatan ini tidak hanya membantu mengatasi masalah, namun juga berkontribusi membangun budaya mutu yang holistik.

Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI

SPMI dan Tim Kerja
SPMI dan Tim Kerja

Memahami Teori Kerja Tim

Ia juga menjelaskan bahwa pembentukan tim melewati beberapa tahap, mulai dari “forming” (pembentukan) hingga “performing” (pelaksanaan). Dalam konteks SPMI, tahap-tahap ini menjadi inspirasi untuk mengintegrasikan berbagai perpustakaan, program studi, unit kerja, seperti biro akademik, fakultas, dan unit penjaminan mutu, ke dalam satu visi besar.

Selain itu, konsep “Quality Circles” (gugus kendali mutu) dari Sallis sangat relevan untuk diaplikasikan dalam evaluasi, inovasi dan peningkatan mutu. Quality Circles adalah kelompok kecil yang secara rutin bertemu untuk mendiskusikan dan memecahkan problem mutu di tempat kerja. Konsep ini sangat cocok diterapkan pada tahap evaluasi dan pengendalian PPEPP, di mana masukan dari berbagai stakeholder menjadi sangat penting.

Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits

Kolaborasi dalam Tahap PPEPP

Pada Tahap Penetapan Standar (dalam PPEPP), kerja tim diperlukan untuk menyelaraskan visi, misi, dan nilai institusi ke dalam standar operasional yang jelas. Standar harus disusun SMART (spesific, measurable, attainable, relevant dan timed). Proses ini membutuhkan diskusi lintas unit untuk memastikan standar yang ditetapkan cukup optimis dan relevan dengan kebutuhan mahasiswa dan dunia kerja.

Tahap Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) memerlukan kepemimpinan (leadership) yang mampu menginspirasi dan memberdayakan tim. Dengan komunikasi dan motivasi yang efektif, tim dapat mengatasi berbagai kendala yang muncul selama implementasi.

Tahap Evaluasi Pemenuhan dan Pengendalian Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) memerlukan analisis data yang mendalam, yang hanya dapat dilakukan melalui kerja sama lintas unit. Forum diskusi dan brainstorming menjadi alat utama untuk menentukan langkah koreksi, korektif dan preventif yang tepat.

Akhirnya, Tahap Peningkatan Standar (dalam PPEPP) memerlukan semangat inovasi. Tim yang solid mampu menciptakan strategi baru, standar baru dan target baru seperti pembelajaran berbasis teknologi atau digitalisasi layanan, untuk meningkatkan pengalaman mahasiswa dan memenuhi kebutuhan dunia industri.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

Penutup

Kolaborasi tim bukan hanya alat teknis semata, namun juga, menjadi dasar dari budaya kualitas. Dengan membangun kerja tim yang solid, perguruan tinggi tidak hanya mencapai target standar SPMI, namun juga menciptakan lingkungan yang produktif, inspiratif dan inovatif. Pemimpin yang memahami dinamika tim mampu menciptakan atmosfer di mana setiap anggota merasa dihargai dan termotivasi untuk memberikan hasil yang terbaik.

Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan SOP Pendidikan

Menghidupkan SPMI dengan SOP Berbasis Prinsip

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Universitas Sangkuriang (fiktif), sebuah perguruan tinggi di Indonesia, menghadapi tantangan besar dalam penerapan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Sebagai institusi yang berkembang cukup pesat, Universitas Sangkuring merasa bahwa SOP (standard operating procedure) mereka, yang terlampau rinci, kaku dan juga belum terintegrasi dengan SPMI, justru memperlambat proses inovasi. Ketika menghadapi tuntutan akreditasi BAN-PT dan tekanan dari stakeholder untuk menghasilkan lulusan berkualitas, universitas ini memutuskan untuk mengadopsi pendekatan baru, yaitu: “SOP berbasis prinsip”. Langkah ini tidak hanya mengubah cara kerja organisasi, namun juga meningkatkan daya adaptasi transformasional institusi terhadap perubahan dinamika eksternal.

Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan

PPEPP vs PDCA

Menghidupkan SPMI dengan Prosedur Berbasis Prinsip

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan elemen penting bagi perguruan tinggi dalam memastikan mutu pendidikan yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti). Dengan kerangka siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar), SPMI bertujuan menumbuhkan proses yang konsisten, berkelanjutan, dan selaras dengan visi misi institusi. Tetapi faktanya, banyak perguruan tinggi yang terjebak dengan SOP tradisional yang terlalu rinci dan kaku sehingga membatasi inovasi dan fleksibilitas organisasi. Pendekatan berbasis prinsip, seperti yang sedang diterapkan Universitas Sangkuriang, menawarkan harapan baru. Dengan mengurangi rincian prosedur yang kaku dan menggantinya dengan panduan strategis, institusi dapat lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan regulasi dan kebutuhan stakeholder. Hal ini juga sangat membantu dalam hal dokumen yang fleksibel, tidak perlu sering di update ketika menghadapi perubahan kebijakan.

Pendekatan ini sesuai dengan semangat Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 yang memberi otonomi kepada perguruan tinggi untuk menyesuaikan implementasi SPMI dengan konteks dan karakteristik institusi. Sebagai contoh, Universitas Sangkuriang memodifikasi SOP mereka dengan menetapkan prinsip fleksibilitas dalam penilaian kinerja dosen. Sebelumnya, evaluasi didasarkan pada sistem rigid dengan indikator kuantitatif yang seragam. Setelah transformasi, prinsip “pembelajaran berpusat pada mahasiswa” menjadi dasar, memungkinkan dosen menyesuaikan metode pembelajaran mereka dengan kebutuhan mahasiswa. Hasilnya, kepuasan pembelajar meningkat, yang tercermin dalam survei internal yang menunjukkan kenaikan kepuasan mahasiswa.

Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!

Pilar-Pilar Pendekatan Prosedur Berbasis Prinsip

Kontekstualisasi menjadi pilar utama dalam pendekatan prosedur berbasis prinsip. Setiap SOP harus dirancang untuk mencerminkan dan mendukung visi serta misi institusi, sekaligus menjawab kebutuhan khusus para pemangku kepentingan. Universitas Sangkuriang, sebagai contoh, menempatkan kebutuhan mahasiswa sebagai prioritas utama. Dengan keberagaman (diversity) latar belakang mahasiswa yang dimilikinya, universitas ini mengadopsi pendekatan yang inklusif, memastikan setiap individu merasa diterima dan memiliki kesempatan yang setara untuk meraih keberhasilan akademik.

Fleksibilitas menjadi pilar berikutnya. Prosedur berbasis prinsip memberikan ruang bagi inovasi dan memungkinkan adaptasi terhadap dinamika perubahan eksternal. SOP di Universitas Sangkuriang telah dirancang ulang terintegrasi dengan teknologi pendidikan terkini, menjadikannya lebih relevan dengan kebutuhan zaman tanpa mengorbankan standar mutu. Dengan cara ini, perguruan tinggi tidak lagi dibebani kebutuhan untuk terus-menerus merevisi dokumen ketika konteks dan tantangan berubah, melainkan mampu menyesuaikan diri secara elegan dalam setiap situasi.

Berorientasi hasil (outcome based) melengkapi pilar-pilar tersebut dengan menempatkan capaian sebagai fokus utama. Alih-alih tenggelam dalam kerumitan proses administratif, prosedur ini memastikan bahwa dampak nyata menjadi tolok ukur keberhasilan. Contohnya, keberhasilan suatu kegiatan tidak lagi diukur hanya dari kelengkapan dokumen, melainkan dari bagaimana kegiatan tersebut meningkatkan kompetensi lulusan, menjadikan mereka lebih siap menghadapi dunia kerja dan berkontribusi nyata bagi masyarakat. Dengan pendekatan ini, prosedur (SOP) menjadi lebih bermakna dan relevan bagi tujuan institusi yang lebih besar.

Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI


Ilustrasi: SOP Berbasis Prinsip Layanan Perpustakaan

Misalnya, SOP tradisional (model lama) mengatur bahwa setiap mahasiswa wajib melakukan peminjaman buku secara langsung melalui loket layanan dengan mengisi formulir manual, disertai batas waktu peminjaman selama tujuh hari yang tidak dapat diperpanjang. Buku yang terlambat dikembalikan dikenakan denda sebesar Rp1.000 per hari. Selain itu, pengelolaan koleksi perpustakaan dilakukan dengan inventarisasi fisik setiap tiga bulan, dengan petugas diwajibkan mengikuti daftar ceklis tetap tanpa variasi.

Sebaliknya, SOP berbasis prinsip mengutamakan fleksibilitas dan inovasi. Dalam pendekatan ini, tujuan utama adalah memastikan layanan perpustakaan mudah diakses dan mendukung kebutuhan mahasiswa. Prosedur dipandu oleh prinsip inklusivitas dan adaptasi teknologi. Misalnya, mahasiswa dapat meminjam buku melalui sistem daring atau langsung di perpustakaan. Durasi peminjaman dapat disesuaikan berdasarkan jenis buku dan kebutuhan mahasiswa, dengan opsi perpanjangan yang fleksibel. Koleksi perpustakaan dikelola dengan pendekatan berbasis data, di mana petugas dapat menggunakan analitik digital untuk melacak penggunaan koleksi dan memprioritaskan penambahan buku yang relevan bagi mahasiswa.

Tabel Perbandingan SOP Tradisional vs. SOP Berbasis Prinsip
AspekSOP TradisionalSOP Berbasis Prinsip
FokusProsedur teknis rinci, seperti peminjaman manual dan denda tetap.Prinsip fleksibilitas, teknologi, dan inklusivitas dalam layanan.
Metode PeminjamanHarus dilakukan langsung di loket dengan formulir manual.Dapat dilakukan secara daring melalui sistem aplikasi atau langsung di perpustakaan.
Durasi PeminjamanTetap tujuh hari tanpa fleksibilitas.Disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa dan jenis koleksi, dengan opsi perpanjangan.
Pengelolaan KoleksiInventarisasi manual setiap tiga bulan.Menggunakan data analitik untuk memantau penggunaan dan memperbarui koleksi.
KelebihanKonsistensi dan kemudahan implementasi untuk situasi stabil.Responsif terhadap kebutuhan mahasiswa dan perubahan teknologi.
KekuranganKaku dan kurang fleksibel menghadapi kebutuhan dinamis.Membutuhkan kompetensi dan adaptasi staf untuk memahami dan menerapkan prinsip.

Ilustrasi SOP Berbasis Prinsip Layanan Cuti Dosen

Dalam pengelolaan cuti kerja di perguruan tinggi, SOP tradisional (model lama) yang detail biasanya menetapkan prosedur yang ketat dengan struktur yang kaku. Sebagai contoh, seorang dosen yang ingin mengambil cuti tahunan harus mengajukan permohonan cuti dengan mengisi formulir resmi yang dicetak, disertai dokumen pendukung seperti jadwal perkuliahan dan tanggung jawab akademik. Permohonan ini harus disampaikan minimal 14 hari kerja sebelum tanggal cuti yang diinginkan dan memerlukan tanda tangan berjenjang dari Ketua Program Studi, Dekan, hingga bagian kepegawaian. Setelah semua pihak menyetujui, dokumen tersebut diserahkan ke bagian SDM untuk pencatatan akhir. Proses ini memastikan tidak ada konflik jadwal atau tanggung jawab akademik yang terabaikan, amun sering kali memakan waktu dan kurang fleksibel, terutama jika kebutuhan cuti bersifat mendadak, seperti kondisi kesehatan atau masalah keluarga.

Sebaliknya, SOP berbasis prinsip mengedepankan fleksibilitas dan tanggung jawab profesional tanpa mengabaikan kelancaran tugas operasional perguruan tinggi. Dalam pendekatan ini, dosen dapat mengajukan cuti melalui sistem daring, dengan menyertakan informasi penting seperti tanggal cuti yang diinginkan, rencana pengalihan tugas, dan status perkuliahan. Prinsip tanggung jawab diterapkan dengan memberikan kebebasan kepada dosen untuk merancang solusi pengganti, misalnya, menjadwalkan ulang kelas atau menunjuk dosen lain sebagai pengganti selama periode cuti. Persetujuan dari atasan langsung, seperti Ketua Program Studi atau Dekan, dilakukan melalui platform digital (online) tanpa memerlukan dokumen fisik. Prosedur ini dirancang untuk mempermudah proses administrasi, menjaga kelancaran operasional, dan tetap mempertimbangkan kebutuhan individu dosen.

Tabel Perbandingan SOP Tradisional vs. SOP Berbasis Prinsip
AspekSOP TradisionalSOP Berbasis Prinsip
Metode PengajuanMengisi formulir manual dan dokumen fisik.Pengajuan daring melalui sistem digital.
Waktu ProsesMinimal 14 hari sebelum cuti.Fleksibel, memungkinkan pengajuan mendadak sesuai kebutuhan.
PersetujuanBerjenjang, membutuhkan tanda tangan fisik dari berbagai pihak.Persetujuan langsung melalui platform digital.
Pengalihan TugasHarus dirinci dalam dokumen formal.Dosen diberikan kebebasan mengatur jadwal pengganti.
KelebihanStruktur jelas dan ketat untuk memastikan kepatuhan.Fleksibel dan responsif terhadap situasi mendesak.
KekuranganKaku, memakan waktu lama.Membutuhkan inisiatif dan tanggung jawab dari karyawan.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

Penutup

Pendekatan prosedur berbasis prinsip yang diterapkan Universitas Sangkuriang menjadi cermin bahwa inovasi dalam manajemen mutu pendidikan adalah sebuah keniscayaan yang harus diupayakan. Dengan menyesuaikan SOP berdasarkan prinsip fleksibilitas, orientasi hasil, dan kontekstualisasi, perguruan tinggi akan mampu melampaui keterbatasan pendekatan SOP tradisional yang sering kali kaku dan tidak adaptif.

Prinsip-prinsip inovasi dan peningkatan mutu ini selaras dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mendorong umatnya untuk terus belajar dan memperbaiki keadaan. Sebagaimana sabda beliau: “Sesungguhnya Allah menyukai seseorang yang apabila melakukan suatu pekerjaan, ia melakukannya dengan itqan (profesional dan sempurna).” (HR. Thabrani). Hadist ini menggarisbawahi pentingnya kesungguhan dalam bekerja dan dedikasi untuk mencapai hasil terbaik. Dengan menjadikan nilai-nilai ini sebagai landasan, perguruan tinggi tidak hanya meningkatkan kualitas akademiknya tetapi juga memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat dan bangsa. Stay Relevant!

Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Kesadaran mutu pendidikan 2

Misi SPMI: Menjadikan Kualitas sebagai DNA Perguruan Tinggi

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Bayangkan sebuah universitas kecil di kepulauan terpencil yang bernama Universitas Sangkuriang (fiktif). Dua tahun yang lalu, institusi ini menghadapi ujian dan tantangan yang cukup besar. Banyak mahasiswa mengeluhkan mutu pembelajaran yang monoton, sementara angka kelulusan turun drastis dan banyak yang drop out. Mitra industri juga mulai mempertanyakan relevansi lulusan terhadap kebutuhan pasar tenaga kerja. Di tengah keterpurukan dan krisis kepercayaan ini, Dr. Fulan, rektor baru membawa visi untuk merombak sistem manajemen internal organisasi. Pak rektor memantapkan diri untuk mengintegrasikan manajemen perguruan tinggi dengan SPMI yang berbasis siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan (PPEPP).

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), semenjak ada peraturan baru yaitu Permendikbudristek 53 Tahun 2023 Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, mewajibkan semua perguruan tinggi untuk mengintegrasikan SPMI ke dalam manajemen perguruan tinggi. Hal ini diatur dalam pasal 69 ayat (1)b yang berbunyi: Perguruan tinggi dalam mengimplementasikan SPMI mempunyai tugas: mengintegrasikan implementasi SPMI pada manajemen perguruan tinggi.

Sejak satu tahun yang lalu, langkah awal yang visioner, Universitas Sangkuriang menetapkan misi unik yang menarik (mission differentiation). Pak Rektor menetapkan standar mutu baru yang mengintegrasikan kebutuhan lokal dengan aspirasi global. Dalam satu tahun, mereka mulai melihat hasil yang menggembirakan. Kurikulum dirancang ulang dengan melibatkan umpan balik dari mahasiswa dan mitra industri. Metode pengajaran di kelas menjadi lebih interaktif, dosen dan karyawan diberikan pelatihan intensif. Evaluasi rutin seperti audit dan monev, tidak hanya menyoroti area yang perlu diperbaiki namun juga merayakan dan mengapresiasi capaian-capaian kecil yang dihasilkan unit kerja, hal ini jelas mendorong semangat dan motivasi banyak pihak.

Prinsip-prinsip yang disampaikan Edward Sallis dalam Bab 2 bukunya Total Quality Management in Education memberikan fondasi yang relevan untuk memahami esensi kualitas. Manajemen kualitas sebagai konsep dinamis yang dapat diterapkan secara sistemik dalam organisasi pendidikan tinggi. Melalui pendekatan siklus PPEPP yang efektif, Universitas Sangkuriang tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang menjadi institusi yang relevan, berdaya saing, dan adaptif terhadap tuntutan masyarakat di era yang kompetitif ini.

Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!

Teori Motivasi Maslow

Siklus PPEPP: Pilar Utama Penguatan SPMI

Menurut konsep SPMI, siklus PPEPP melibatkan tahapan berkesinambungan (iterasi) mulai dari penetapan standar, pelaksanaan operasional berbasis standar, evaluasi pemenuhan standar, pengendalian pelaksanaan standar guna memastikan kepatuhan, hingga peningkatan standar untuk memastikan keberlanjutan kualitas. Siklus ini mencerminkan proses yang dinamis, di mana setiap tahap memberikan masukan berharga untuk perbaikan yang berkelanjutan.

Sallis menyoroti bahwa kualitas absolut berkaitan dengan pencapaian standar tertinggi tanpa kompromi. Sebagai contoh, universitas yang memiliki laboratorium berstandar internasional dengan peralatan tercanggih dan dosen yang telah menerima pengakuan global menunjukkan kualitas absolut. Di sisi lain, kualitas relatif berfokus pada kesesuaian tujuan (“fitness for purpose”). Sebagai contoh, perguruan tinggi di daerah terpencil yang mendesain program studi vokasi yang relevan dengan kebutuhan lokal, seperti pertanian atau pariwisata berbasis komunitas, mencerminkan kualitas relatif karena relevansi dan efisiensinya terhadap kebutuhan masyarakat sekitar.

Baca juga: Teori 2 Faktor: Memadukan SPMI dengan Motivasi Intrinsik

Mengintegrasikan Kualitas Absolut dan Relatif

Dalam konteks pendidikan tinggi, implementasi SPMI yang kuat memerlukan pemahaman mendalam tentang “konsep kualitas”.

Konsep Edward Sallis tentang kualitas sebagai kombinasi antara perspektif prosedural dan transformasional memberikan arah yang jelas untuk mengintegrasikan kedua pendekatan ini dalam SPMI. Pendekatan prosedural menekankan kepatuhan terhadap standar dan akuntabilitas, seperti dalam pengelolaan data akademik, penyusunan kurikulum, dan pelaksanaan akreditasi. Di sisi lain, pendekatan transformasional mendorong institusi untuk fokus pada inovasi berkelanjutan, pengembangan kapasitas tenaga pengajar, dan peningkatan pengalaman belajar mahasiswa.

Sebagai ilustrasi, Universitas Sangkuriang (fiktif) menerapkan program “Smart Village Initiative,” yang bertujuan untuk mendukung pembangunan pedesaan dengan inovasi teknologi berbasis lokal. Program MBKM ini memadukan kualitas absolut melalui pengenalan teknologi mutakhir seperti aplikasi pertanian pintar dengan kualitas relatif yang disesuaikan dengan kebutuhan petani lokal. Mahasiswa diberdayakan untuk terjun langsung ke lapangan, mempelajari masalah spesifik masyarakat pedesaan, dan mengembangkan solusi yang praktis serta relevan. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan pengalaman belajar mahasiswa namun juga memberikan dampak nyata kepada masyarakat sekitar, mencerminkan keseimbangan antara kualitas global dan kebutuhan lokal.

Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI

Peran Stakeholder dalam Menentukan Kualitas

Peran stakeholder dalam menentukan kualitas, sebagaimana digambarkan oleh Sallis, juga menjadi faktor penting dalam penguatan SPMI. Dalam hal ini, mahasiswa sebagai stakeholder utama pendidikan tinggi memegang peran sentral dalam mendefinisikan kualitas layanan akademik dan non-akademik. Proses PPEPP memungkinkan perguruan tinggi untuk secara aktif mengintegrasikan umpan balik mahasiswa ke dalam sistem manajemennya, baik melalui survei kepuasan, evaluasi hasil belajar, maupun keterlibatan mahasiswa dalam pengambilan keputusan akademik. Dengan demikian, kualitas tidak hanya diukur melalui standar formal namun juga melalui persepsi dan tingkat kepuasan para mahasiswa.

Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits

Budaya Organisasi: Kunci Keberhasilan SPMI

Lebih jauh, Sallis menekankan bahwa “mutu” tidak dapat dicapai melalui kontrol eksternal semata, tetapi memerlukan komitmen internal yang kuat dari seluruh anggota organisasi. Hal ini tercermin dalam prinsip PPEPP yang mensyaratkan “partisipasi kolektif” dalam setiap tahap siklus.

Membangun Sistem yang Responsif

Penting pula untuk dicatat bahwa SPMI yang berbasis PPEPP tidak hanya berorientasi pada kepatuhan terhadap regulasi, tetapi juga pada peningkatan berkelanjutan.

Dengan mengadopsi prinsip Total Quality Management (TQM), perguruan tinggi dapat mengembangkan mekanisme yang fleksibel untuk menghadapi tantangan seperti disrupsi teknologi, kebutuhan pasar tenaga kerja yang berubah-ubah, dan meningkatnya persaingan global dalam sektor pendidikan tinggi.

Sebagai contoh, Universitas Sangkuriang (fiktif) menghadapi tantangan ketika pandemi memaksa peralihan mendadak ke pembelajaran daring. Dengan mengandalkan prinsip “Pendidikan harus tetap inklusif dan berkualitas dalam semua situasi,” mereka berhasil merancang platform hybrid yang tidak hanya mendukung mahasiswa dengan akses internet terbatas, tetapi juga memperkenalkan modul pembelajaran adaptif berbasis data. Pendekatan ini memastikan bahwa setiap mahasiswa, terlepas dari latar belakangnya, tetap dapat menerima pendidikan yang bermakna. Universitas ini menunjukkan bahwa dengan prinsip yang kuat, institusi dapat merespons perubahan secara efektif tanpa kehilangan fokus pada esensi kualitas.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

Penutup

Sebagai penutup, prinsip-prinsip Total Quality Management yang dijelaskan oleh Edward Sallis dapat memberikan manfaat besar dalam penguatan SPMI melalui pendekatan PPEPP.

Ilustrasi kisah Universitas Sangkuriang memberikan contoh bagaimana prinsip-prinsip ini dapat diterapkan. Ketika Rektor Universitas Sangkuriang yang baru dilantik menyadari bahwa institusinya tertinggal dalam pengembangan pendidikan digital, ia mengambil langkah berani. Dengan visi yang jelas, ia memimpin transformasi besar dengan mengadopsi pendekatan PPEPP yang fokus pada penguatan mutu pendidikan daring. Melalui kolaborasi dengan dosen, mahasiswa, dan mitra industri, rektor berhasil membangun sistem pembelajaran yang tidak hanya memenuhi standar formal (minimal) namun juga berhasil melampaui standar sehingga dapat memuaskan kebutuhan mahasiswa dan masyarakat lokal.

Ungkapan bijak mengatakan, “Quality in a service or product is not what you put into it. It is what the customer gets out of it.” Kutipan ini menggarisbawahi pentingnya fokus pada dampak yang dirasakan oleh mahasiswa dan masyarakat sebagai penerima manfaat utama dari pendidikan tinggi. Dengan siklus PPEPP yang responsif, evaluasi berbasis data, dan kolaborasi yang erat dengan semua pemangku kepentingan, Universitas Sangkuriang menjadi contoh perguruan tinggi yang mampu menjadi agen perubahan yang relevan di tengah tantangan global. Komitmen terhadap kualitas ini tidak hanya memastikan keberlanjutan, tetapi juga menciptakan nilai yang bermakna bagi semua pihak yang dilayani. Stay Relevant!

Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan budaya kritis

Benchmarking: Membuka Jalan Menuju SPMI Unggul

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Alkisah, Politeknik X (fiktif), sebuah institusi pendidikan vokasi di sebuah kepulauan yang tenang, berdiri di bawah kepemimpinan Dr. Fulan, seorang direktur yang berwawasan luas dan bertekad kuat. Meskipun Politeknik X telah memiliki tenaga pengajar berkualitas dan fasilitas sarana prasarana yang memadai, prestasi institusi ini belum sepenuhnya mencerminkan potensinya. Perjalanan panjang Politeknik X masih diwarnai oleh tingkat kelulusan yang stagnan dan keterampilan (skills) lulusan yang belum sepenuhnya menjawab kebutuhan dunia kerja. Setiap tahun, Dr. Fulan menyaksikan dengan kagum bagaimana institusi lain berhasil melahirkan lulusan yang siap kerja, inovatif, dan unggul dalam daya saing global. Di tengah perenungan panjang di ruang kerjanya, Dr. Fulan menyadari bahwa perubahan besar harus dimulai, harus dimulai saat ini. Inspirasi itu datang ketika ia berkenalan dengan konsep benchmarking, sebuah strategi manajemen mutu yang penting untuk diimplementasikan.

Tuntutan tersebut tidak hanya berasal dari persaingan nasional, namun juga di ranah regional dan internasional. Peningkatan mutu tidak boleh hanya terpaku pada pencapaian akademik saja, namun juga pada ranah non akademik juga. Institusi harus memastikan lulusan yang mampu menjawab tantangan dunia kerja, memenuhi standar industri, dan menjadi pemimpin masa depan yang kompeten. Dalam konteks ini, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) hadir sebagai instrumen strategis, yang diimplementasikan melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar) untuk menjamin proses peningkatan mutu yang sesuai harapan stakeholder.

Benchmarking memberikan ruang bagi institusi untuk bercermin pada praktik terbaik, mengidentifikasi kesenjangan, dan mengadaptasi solusi inovatif yang relevan. Lebih dari sekadar meniru, benchmarking adalah proses belajar untuk tumbuh bersama, dengan visi menuju institusi pendidikan yang unggul, berkualitas, dan berdaya saing tinggi. Berbekal semangat dan motivasi baru, Dr. Fulan siap memimpin Politeknik X dalam mengoptimalkan strategi benchmarking untuk mewujudkan transformasi yang diharapkan.

Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan

Mengapa Perlu Benchmarking?

SPMI adalah sebuah sistem yang disusun secara sistematis untuk memastikan mutu pendidikan dapat terjaga dan meningkat secara terus menerus. Melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar), perguruan tinggi dapat menetapkan standar yang relevan, melaksanakan rencana aksi, mengevaluasi, mengendalikan penyimpangan, serta memperbaiki kualitas sesuai harapan pemangku kepentingan. Lebih dari sekadar prosedur administratif formalitas, siklus PPEPP merupakan langkah penting yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Siklus iterasi PPEPP ini memungkinkan terjadinya perbaikan yang berkelanjutan.

Namun, walaupun kerangka PPEPP telah terbangun dengan baik, tantangan implementasi tak dapat dielakkan. Keterbatasan sumber daya (resources), resistensi dari karyawan, serta ketiadaan tolok ukur yang memadai sering kali menghambat upaya peningkatan mutu.

Dr. Fulan memahami betul tantangan tersebut dan dengan tekad yang kuat, ia berkomitmen untuk mengoptimalkan benchmarking sebagai tools untuk mengejar ketertinggalan.

Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!

Benchmarking: Belajar dari yang Terbaik

Melalui benchmarking, perguruan tinggi dapat mengidentifikasi kesenjangan (gaps) kinerja apa saja yang muncul, memahami praktik terbaik, dan mengadaptasi langkah-langkah strategis yang diperlukan. Sallis menjelaskan bahwa benchmarking bukan sekadar proses meniru, melainkan sebuah upaya belajar dari pengalaman pihak lain yang lebih maju (unggul) dalam bidang tertentu.

Sebagai contoh, dalam benchmarking terkait tata kelola, sebuah perguruan tinggi dapat membandingkan sistem manajemen akademik dan keuangan dengan institusi yang diakui unggul dalam efisiensi tata kelola. Misal, Politeknik X belajar dari Universitas Y yang telah berhasil menerapkan sistem tata kelola berbasis teknologi informasi untuk mempermudah proses administrasi akademik dan transparansi anggaran. Hasilnya, Politeknik X dapat mengadaptasi teknologi yang sejenis untuk meningkatkan efisiensi dan layanan yang lebih baik kepada mahasiswa serta stakeholder lainnya.

Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI

Jenis-Jenis Benchmarking dalam SPMI

Dalam penerapan SPMI berbasis PPEPP, benchmarking hadir sebagai tools penting dalam mengevaluasi efektivitas kebijakan dan program perguruan tinggi. Jenis pertama adalah internal benchmarking, yaitu proses membandingkan kinerja antar fakultas atau program studi di dalam satu institusi. Misalnya, Fakultas Hukum membandingkan tingkat kelulusan mahasiswa dengan Fakultas Farmasi untuk mengevaluasi efektivitas metode pengajaran.

Pendekatan ini membantu perguruan tinggi memahami capaian antar fakultas atau prodi internal, mengidentifikasi kesenjangan (gaps) yang terjadi, dan mendorong terciptanya kompetisi sehat untuk mencapai standar SPMI terbaik.

Selanjutnya functional benchmarking, jenis ini fokus pada perbandingan fungsi-fungsi spesifik dengan institusi lain yang memiliki praktik lebih unggul. Misalnya, pengelolaan kurikulum, sistem penilaian pembelajaran, atau layanan administrasi yang lebih memuaskan. Dengan metode ini, perguruan tinggi dapat belajar dari keberhasilan institusi lain dan melakukan adaptasi metode tersebut sesuai dengan kebutuhan internal.

Terakhir generic benchmarking, jenis ini memungkinkan perguruan tinggi untuk belajar dari organisasi di luar dunia pendidikan, misal ke pabrik, hotel atau kantor-kantor swasta lainnya. Praktik manajemen mutu yang diterapkan di sektor non-pendidikan, seperti marketing, efisiensi sumber daya atau inovasi layanan, sering kali relevan dan dapat diadaptasi sesuai konteks institusi pendidikan. Melalui ketiga jenis ini, institusi memiliki keleluasaan dalam menentukan tolok ukur yang paling strategis guna mendorong peningkatan mutu secara berkelanjutan (continuous improvement).

Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits

Implementasi Benchmarking dalam Siklus PPEPP

Pada tahap Penetapan Standar (dalam PPEPP), benchmarking menjadi tools penting bagi perguruan tinggi untuk menetapkan standar SPMI yang lebih tinggi. Dengan melakukan perbandingan terhadap institusi terbaik, perguruan tinggi dapat merumuskan target kinerja yang tidak hanya realistis, tetapi juga optimis dan ambisius. Data dari benchmarking memberi perspektif baru mengenai target dan potensi yang dapat dicapai, mendorong perguruan tinggi untuk siap berkompetisi dalam menetapkan standar mutu yang lebih unggul.

Memasuki tahap Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP), praktik terbaik yang diperoleh dari hasil benchmarking dapat diadopsi dan disesuaikan dengan konteks lokal perguruan tinggi. Perguruan tinggi dapat belajar dari bagaimana institusi lain melaksanakan standar SPMI mereka secara efektif dan efisien. Adaptasi ini memungkinkan perguruan tinggi untuk merumuskan strategi pelaksanaan yang lebih terukur dan selaras dengan karakteristik internal mereka, sehingga implementasi berjalan optimal dan menghasilkan dampak yang bermanfaat.

Pada tahap Evaluasi Pemenuhan Standar (dalam PPEPP), benchmarking menyediakan data yang diperlukan untuk mengukur kesenjangan antara kinerja aktual dengan target yang telah ditetapkan. Misalnya, jika tingkat kelulusan di suatu perguruan tinggi hanya mencapai 80%, sementara institusi pembanding mencapai 90%, maka benchmarking membantu mengidentifikasi faktor-faktor yang perlu diperbaiki. Analisis kesenjangan (gaps) ini menjadi pijakan (baseline) untuk merancang strategi perbaikan yang lebih tepat sasaran, memastikan kelemahan diatasi dengan pendekatan yang sistematis dan berbasis data. Kegiatan benchmarking di integrasikan dengan kegiatan audit mutu internal, monev dan assessment yang selama ini sudah dijalankan.

Tahap Pengendalian Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) kemudian berfokus pada penerapan tindakan koreksi, korektif dan preventif berdasarkan hasil evaluasi benchmarking. Tindakan ini bukan hanya untuk menutup kesenjangan, namun juga memastikan bahwa pencapaian mutu tidak hanya bersifat sementara, melainkan berkelanjutan. Melalui pengendalian yang efektif, perguruan tinggi dapat menjaga konsistensi dalam mencapai target dan mengantisipasi tantangan yang mungkin muncul di masa depan.

Akhirnya, pada tahap Peningkatan Standar (dalam PPEPP), benchmarking menjadi sumber inspirasi untuk merumuskan kebijakan dan program inovatif, dan untuk meningkatkan standar yang relevan. Dengan memahami praktik terbaik (best practice), perguruan tinggi akan mampu meningkatkan mutu internal, dan juga membangun budaya perbaikan berkelanjutan di setiap unit kerja organisasi. Nilai-nilai seperti keterbukaan dan optimisme terhadap perubahan, kolaborasi antar unit, dan semangat untuk belajar dari keberhasilan pihak lain perlu ditanamkan sebagai shared values. Nilai-nilai inilah yang akan menumbuhkan budaya inovasi yang kokoh dan mendorong perguruan tinggi untuk terus bertransformasi menuju keunggulan yang berkelanjutan (continuous improvement).

Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI

Tantangan dan Penerapan Benchmarking

Salah satu tantangan terbesar adalah keterbatasan akses terhadap data kinerja institusi lain. Mengapa? Ya, karena hal ini sering dianggap sebagai informasi sensitif dan bersifat tertutup atau rahasia. Situasi ini menuntut adanya semangat kolaborasi dan keterbukaan antar perguruan tinggi untuk berbagi praktik terbaik secara transparan demi kemajuan bersama. Tanpa sinergi dan kepercayaan, proses benchmarking akan sulit mencapai tujuannya kita harapkan bersama.

Tantangan lain, terkait kemampuan adaptasi praktik terbaik dari institusi lain. Setiap perguruan tinggi memiliki budaya, karakteristik, dan konteks lokal yang unik, sehingga penerapan langsung tanpa penyesuaian sering kali tidak efektif dan tidak relevan. Oleh sebab itu, institusi perlu memahami konteksnya secara mendalam dan melakukan modifikasi yang tepat agar praktik tersebut dapat berjalan selaras dengan kebutuhan institusi.

Namun, di balik tantangan semua ini, benchmarking memberi peluang strategis untuk membangun keunggulan kompetitif. Dengan memahami kekuatan dan kelemahan internal melalui siklus PPEPP serta mengambil pelajaran dari keberhasilan institusi lain, perguruan tinggi dapat mengoptimalkan potensi mereka. Pendekatan berbasis data yang sistematis dan inovatif akan membantu perguruan tinggi merumuskan kebijakan, visi dan misi yang lebih efektif dan membawa transformasi nyata. Dengan leadership yang kuat dan visi yang jelas, Politeknik X di bawah arahan Dr. Fulan siap menjawab tantangan era BANI dengan semangat kolaborasi, inovasi dan komitmen menuju unggul.

Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?

Benchmarking melalui Media Digital

Melalui internet, perguruan tinggi dapat mengakses laporan publikasi, studi kasus, dan data dari institusi-institusi terbaik di seluruh dunia, misalnya kampus Harvard, MIT atau Oxford. Platform seperti Google, webaite resmi institusi, dan sumber daring lainnya memungkinkan pengumpulan informasi yang cepat, luas, dan efisien. Teknologi ini memberikan kemudahan dalam membandingkan praktik terbaik secara global dengan biaya yang jauh lebih rendah dibandingkan kunjungan langsung.

Selain itu, penggunaan media digital seperti ChatGPT atau alat kecerdasan buatan lainnya dapat membantu menganalisis tren, menemukan inovasi, dan menyarankan langkah-langkah strategis. Dengan pendekatan ini, perguruan tinggi dapat tetap kompetitif dan relevan di tengah persaingan global, sekaligus mempercepat proses adaptasi dan transformasi terhadap praktik terbaik. Pemanfaatan media digital bukan hanya menjadi alternatif, tetapi juga solusi efektif dan efisien untuk mendorong transformasi menuju unggul.

Baca juga: SPMI Tanpa Knowledge Management? Jurang Kegagalan!

Penutup

Penguatan SPMI melalui siklus PPEPP merupakan strategi penting untuk memastikan mutu pendidikan di perguruan tinggi. Namun, agar implementasi PPEPP lebih efektif, konsep benchmarking seperti yang diuraikan oleh Edward Sallis menjadi tools penting dalam mengevaluasi kinerja, mengidentifikasi best practice, dan merumuskan langkah perbaikan (koreksi, korektif dan preventif) yang berkelanjutan.

Dengan komitmen yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan, perguruan tinggi dapat mewujudkan visi menjadi institusi yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Dr. Fulan siap melaksanakan benchmarking dengan sebaik-baiknya.

Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Mulk ayat 2, “(Allah) yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” Ayat ini mengingatkan kita bahwa peningkatan mutu dan inovasi adalah bagian dari ikhtiar manusia untuk mencapai amal terbaik di hadapan Allah. Dengan tekad, doa, dan semangat yang sungguh-sungguh, perguruan tinggi dapat menjadi lembaga yang tidak hanya unggul secara akademik, namun juga memberi manfaat luas bagi masyarakat dan bangsa. Stay Relevant!

Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Knowledge Management

SPMI Tanpa Knowledge Management? Jurang Kegagalan!

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Bayangkan sebuah perguruan tinggi yang baru saja meraih predikat akreditasi A atau Unggul. Namun, hanya dalam waktu tiga tahun, status tersebut mulai goyah dan terancam ditinjau ulang. Keluhan masyarakat meningkat, data penting tidak tersedia ketika dibutuhkan, dan suara ketidakpuasan dari mahasiswa serta orang tua terus menggema. Apa yang sebenarnya terjadi? Banyak faktor bisa menjadi penyebabnya, namun salah satu yang paling mendasar adalah ketiadaan sistem yang jelas untuk mengelola dan mendistribusikan pengetahuan di dalam institusi. Pengetahuan berharga yang dimiliki dosen dan staf karyawan tidak pernah terdokumentasi dengan baik, sehingga saat mereka pensiun, perguruan tinggi kehilangan aset intelektualnya yang tak ternilai—warisan yang seharusnya menjadi pondasi bagi keberlanjutan mutu.

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi hadir sebagai jawaban atas tantangan ini. Berdasarkan Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, SPMI dirancang menjadi instrumen vital untuk memastikan mutu pendidikan selalu terjaga sesuai standar yang telah ditetapkan. Dengan pendekatan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar), SPMI menghidupkan semangat perbaikan berkelanjutan—kaizen—sebuah filosofi yang menanamkan budaya belajar, inovasi, dan peningkatan mutu di setiap lini organisasi.

KM, atau Knowledge Management, menghadirkan pendekatan sistematis untuk menangkap, membagikan, dan memanfaatkan pengetahuan dalam organisasi. Ia bukan sekadar alat, melainkan strategi menyeluruh untuk memastikan bahwa setiap pengetahuan, baik yang tersurat maupun tersirat, tidak hanya tersimpan tetapi juga dimanfaatkan secara optimal demi keberlanjutan dan kemajuan.

Dalam konteks perguruan tinggi, KM menjadi landasan kokoh yang mendukung implementasi siklus PPEPP. Melalui KM, setiap pemangku kepentingan dapat mengakses data, informasi, dan wawasan yang relevan untuk mendukung pengambilan keputusan yang tepat. Tanpa pengelolaan pengetahuan yang baik, institusi berisiko kehilangan efisiensi operasional serta menghadapi ancaman pada kredibilitasnya, sebuah harga mahal yang tidak dapat dibiarkan.

Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan

Edward Sallis, dalam bukunya Total Quality Management in Education, menekankan pentingnya pengelolaan pengetahuan dalam sebuah organisasi, baik pengetahuan eksplisit yang terdokumentasi maupun pengetahuan tacit yang tersimpan dalam pengalaman dan keahlian individu. Kedua jenis pengetahuan ini memiliki peran yang sangat krusial dalam memastikan keberlanjutan organisasi. Wawasan yang disampaikan oleh Edward Sallis menjadi sumber inspirasi berharga, khususnya bagi perguruan tinggi, untuk menciptakan budaya berbagi pengetahuan yang mendorong inovasi dan perbaikan berkelanjutan.

Sebagai contoh penerapan Knowledge Management (KM), sebuah politeknik berhasil mengembangkan sistem “pelaporan daring berbasis KM”. Sistem ini dirancang untuk mendokumentasikan hasil workshop, seminar, atau pelatihan yang diikuti oleh dosen. Setiap dosen yang hadir dalam kegiatan tersebut diwajibkan untuk mengisi laporan daring yang mencakup ide-ide kreatif, materi pelatihan, serta rekomendasi yang dapat diterapkan di kampus. Laporan ini kemudian tersimpan otomatis dalam database institusi, yang dapat diakses oleh program studi lain sebagai sumber inspirasi untuk inovasi akademik maupun pengembangan kebijakan. Sistem ini memastikan bahwa wawasan dan pengalaman tidak hilang, melainkan terus memberikan manfaat bagi organisasi secara menyeluruh.

KM Untuk Menyusun Standar Terbaik

Pengetahuan tacit dari tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dapat di konversi menjadi eksplisit melalui diskusi kolektif dan dokumentasi yang baik. Dengan cara ini, institusi dapat memastikan keberhasilan penetapan standar SPMI dengan wawasan yang mendalam.

Sebagai contoh, sebuah politeknik dapat meningkatkan standar kurikulum dengan mengintegrasikan umpan balik mahasiswa dari survei kepuasan. Data ini kemudian dikombinasikan dengan pengalaman dosen senior yang terdokumentasi dalam laporan internal. Manfaat yang diperoleh, perguruan tinggi tersebut mampu merumuskan standar kurikulum baru berbasis kompetensi yang lebih relevan dengan kebutuhan dunia industri.

Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!

KM Untuk Mendorong Konsistensi

Pengetahuan eksplisit seperti standar dan SOP dapat didistribusikan melalui platform digital. Di sisi lain, forum kolaboratif antar tim (seperti brainstorming dan design thinking) mendorong berbagi pengetahuan tacit yang menjadi faktor keberhasilan di lapangan.

Sebagai contoh, sebuah universitas dapat menerapkan aplikasi berbasis cloud untuk menyimpan seluruh dokumen kebijakan dan standar SPMI. Staf dosen dan tenaga kependidikan dapat dengan mudah mengakses dokumen ini kapan saja. Aplikasi digital ini juga memungkinkan diskusi daring yang mempercepat solusi terhadap kendala lapangan, outputnya, implementasi standar SPMI dapat berjalan lebih optimal, efektif dan efisien.

Baca juga: Teori 2 Faktor: Memadukan SPMI dengan Motivasi Intrinsik

KM Untuk Transparansi Dan Akuntabilitas

Sallis menekankan pentingnya menciptakan budaya berbagi pengetahuan agar terwujud transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan evaluasi.

Sebagai contoh, sebuah universitas dapat mengelola audit mutu internal dengan memanfaatkan platform berbasis KM. Semua data penting misal: laporan proses belajar mengajar, capaian kinerja dosen, hasil evaluasi mata kuliah, dan tingkat kelulusan mahasiswa diunggah ke dalam sistem terintegrasi. Data ini kemudian dianalisis oleh tim auditor, yang menghasilkan usulan perbaikan spesifik untuk setiap program studi. Hasil audit juga disosialisasikan secara transparan kepada segenap stakeholder terkait, mendorong akuntabilitas dan partisipasi dalam peningkatan mutu pendidikan.

Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI

KM Untuk Menjamin Kesesuaian Standar

Sebagai contoh, sebuah sekolah tinggi dapat menerapkan sistem audit mutu internal berbasis KM untuk memastikan standar SPMI dipatuhi. Data dari laporan audit rutin diunggah ke dalam sistem berbasis web, memungkinkan pimpinan untuk mengidentifikasi fakultas atau prodi mana saja yang memerlukan dukungan untuk perbaikan. Ketika ditemukan kegiatan yang belum sesuai standar, tim langsung mengakses dokumentasi terkait untuk memberikan bimbingan kepada unit kerja yang bersangkutan, sehingga proses perbaikan dapat dilakukan dengan efektif, cepat dan tepat.

Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits

KM Untuk Mendorong Inovasi

Pengetahuan tacit, seperti intuisi, pengalaman nyata, dan keterampilan staf senior yang sering kali tidak terdokumentasi, sesungguhnya memainkan peran kunci dalam mendorong inovasi. Sementara, pengetahuan eksplisit adalah informasi yang telah terstruktur dan terdokumentasi, seperti kebijakan, standar SPMI atau laporan penelitian, yang dapat diakses dan dibagikan dengan mudah. Melalui proses dokumentasi dan kolaborasi yang sistematis, tacit knowledge dapat dikonversi menjadi eksplisit untuk menciptakan wawasan baru. Demikian juga eksplisit knowledge diinternalisasi kembali menjadi tacit melalui praktik nyata dan pembelajaran organisasi, hal ini mendukung peningkatan berkelanjutan di perguruan tinggi.

Sebagai contoh, sebuah politeknik dapat menggunakan hasil evaluasi mata kuliah dari seluruh program studi untuk menciptakan modul pelatihan untuk dosen-dosen baru. Data eksplisit dari evaluasi digabungkan dengan pengalaman dosen senior (tacit) melalui brainstorming, workshop dan diskusi kelompok. Modul ini selanjutnya diterapkan dalam pelatihan, untuk memastikan bahwa metode pengajaran yang efektif telah diinternalisasi.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

Penutup

Knowledge Management (KM) adalah pilar utama yang memastikan setiap tahap dalam siklus PPEPP berjalan dengan optimal. Tanpa KM, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) berisiko kehilangan arah dan efektivitasnya, sementara institusi dapat terjebak dalam kesulitan mengelola mutu secara konsisten. Kehilangan kendali atas pengetahuan berarti kehilangan peluang untuk terus berkembang dan menjaga keberlanjutan.

KM bukan sekadar alat teknis. Ia membawa filosofi mendalam yang menanamkan budaya pembelajaran dalam organisasi. Edward Sallis menegaskan bahwa KM mendorong terciptanya pembelajaran organisasi—sebuah elemen yang tidak hanya mendukung inovasi, tetapi juga menjadi fondasi bagi keberlanjutan dan daya saing institusi di masa depan. Dengan KM, perguruan tinggi tidak hanya menjaga mutu, tetapi juga terus bergerak maju sebagai tempat yang menciptakan dampak intelektual dan sosial.

Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi

Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

×

Layanan Informasi

× Hubungi Kami