بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Di era kecerdasan buatan (AI) yang terus tumbuh dan berkembang, hubungan antara perguruan tinggi dan dunia industri menjadi semakin kritis. Perubahan drastis yang dipicu oleh otomatisasi dan teknologi canggih telah menggeser kebutuhan sumber daya manusia (SDM), menuntut keterampilan baru yang lebih kompleks, kreatif dan multidisiplin. Dampaknya terasa nyata, dengan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda berbagai industri sebagai respons terhadap disrupsi teknologi. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan dasar: sudahkah perguruan tinggi merespons dengan tepat dan cepat kebutuhan dunia usaha dan industri di era AI? Dan bagaimana respons ini dapat menentukan keberhasilan lulusan serta menjaga relevansi institusi pendidikan tinggi di tengah perubahan yang begitu dinamis?
Kolaborasi dan kerja sama antara kampus dan industri di era AI tidak lagi sekadar tentang mencetak tenaga kerja yang siap memenuhi tuntutan pasar, namun juga tentang membentuk lulusan yang mampu menjadi inovator, problem solver, dan pemimpin perbaikan di masa depan. Perguruan tinggi harus bergerak cepat (speed) untuk beradaptasi dengan lanskap yang terus berubah ini, menyelaraskan kurikulum dan metode pengajaran dengan kebutuhan industri berbasis teknologi. Artikel ini mengajak kita untuk mengeksplorasi bagaimana perguruan tinggi dapat merespons dinamika ini dengan lebih cerdas dan strategis, serta mengapa kecepatan dan ketepatan respons menjadi penentu keberhasilan institusi.
Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat
Revolusi industri 4.0, yang ditandai dengan dominasi kecerdasan buatan (AI), big data, dan otomatisasi, telah menciptakan disrupsi dan lanskap baru dalam dunia kerja. Pekerjaan tradisional yang dahulu menjadi tulang punggung ekonomi kini berubah semua, perlahan tapi pasti tergantikan oleh teknologi canggih. Di sisi lain, kebutuhan akan keterampilan baru seperti analisis data, pemrograman, pembelajaran mesin, dan pemikiran kritis terus meningkat. Tak hanya itu, kemampuan emosional atau soft skills, seperti komunikasi, kerja tim, kreativitas, dan adaptabilitas, semakin menjadi penentu keberhasilan, melengkapi keunggulan teknis (technical skills) yang dimiliki individu.
Bagi perguruan tinggi, tantangan ini tentu harus menjadi panggilan untuk terus melakukan pembaruan besar dalam kurikulum, sarana prasarana dan pendekatan pengajaran. Tidak cukup hanya menawarkan program studi berbasis teknologi, institusi harus melatih mahasiswa untuk berpikir kritis, kreatif, bekerja secara kolaboratif dalam tim multidisiplin, serta mampu mengintegrasikan inovasi teknologi dengan solusi nyata bagi masyarakat. Respons yang lambat terhadap perubahan ini bukan hanya memperlebar kesenjangan, namun juga dapat membuat lulusan kehilangan relevansi di dunia kerja era AI yang bergerak sangat dinamis.
Baca juga: Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?
Di era kecerdasan buatan (AI), perguruan tinggi perlu memperkuat partnership dengan dunia industri dan dunia usaha untuk memastikan relevansi program pendidikan. Kerja sama ini dapat mencakup pengembangan kurikulum berbasis teknologi, penelitian bersama dalam bidang AI, hingga penyelenggaraan pelatihan dan magang yang melibatkan para profesional industri. Melalui kolaborasi semacam ini, mahasiswa tidak hanya belajar teori di laboratorium dan ruang kelas, namun juga mendapatkan pengalaman praktik langsung di lapangan. Pengalaman praktis ini menjadi elemen penting dalam menciptakan proses pembelajaran yang holistik dan aplikatif.
Selain itu, teknologi berbasis AI dapat menjadi jembatan untuk memperkuat hubungan partnership antara perguruan tinggi dan dunia industri. Platform digital dapat digunakan untuk memantau kebutuhan industri secara real-time, membantu perguruan tinggi merancang program kegiatan yang sesuai dengan tren dan tuntutan global. Program pembelajaran berbasis AI memungkinkan penyesuaian kurikulum, metode pengajaran dengan perkembangan terkini, menjadikan proses belajar mengajar lebih relevan. Namun, untuk mewujudkan semua ini, perguruan tinggi juga harus siap dengan SDM yang kompeten serta sarana prasarana yang memadai. Dengan langkah ini, perguruan tinggi tidak hanya memperkuat posisinya sebagai pusat pendidikan dan inovasi, namun juga sebagai mitra strategis dalam ekosistem industri yang terus berkembang.
Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?
Perguruan tinggi yang responsif terhadap perubahan di era kecerdasan buatan (AI) tidak hanya mencetak lulusan yang siap kerja, namun juga menjadi pelopor dalam menciptakan inovasi yang relevan dengan kebutuhan zaman. Respons yang tepat dan cepat mencakup pembaruan kurikulum, investasi pada teknologi pembelajaran mutakhir, serta pembentukan jejaring kerja yang erat dengan industri terkait. Lebih dari itu, perguruan tinggi diharapkan mampu menjadi pioner menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan di sektor yang belum ada saat ini, namun akan menjadi kebutuhan skills untuk masa depan. Hal ini akan menempatkan institusi sebagai perguruan tinggi unggulan yang visioner.
Namun, respons ini tidak cukup hanya sekadar cepat. Perguruan tinggi juga harus memastikan bahwa inovasi yang dilakukan tidak hanya menjawab kebutuhan saat ini, namun juga memiliki dampak berkelanjutan. Salah satu elemen kunci untuk mencapai visi ini adalah melalui proses evaluasi dan umpan balik (feedback) yang melibatkan mahasiswa, dosen, staf serta mitra industri. Proses ini memastikan bahwa setiap program tetap relevan, efektif, dan adaptif terhadap perubahan yang terjadi.
Penting pula bagi perguruan tinggi untuk secara berkala memperbarui dokumen mutu pendidikan mereka, seperti visi, misi, kebijakan, dan standar dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Dokumen-dokumen ini adalah peta jalan yang mengarahkan seluruh aktivitas akademik dan pengelolaan institusi, sekaligus menjadi landasan dalam menjawab tantangan era AI. Dengan melakukan pembaruan (update) yang terus menerus, perguruan tinggi dapat menjaga arah strategis yang sesuai dengan perkembangan zaman, memastikan bahwa misi unik (mission differentiation) mereka tetap relevan, kebijakan tetap proaktif, dan standar mutu SPMI terus ditingkatkan. Respons yang terarah dan didukung oleh dokumen mutu yang kuat inilah yang akan membawa perguruan tinggi ke masa depan yang lebih optimis.
Baca juga: Kebijakan SPMI: Pilar Utama Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi
Di era AI, respons perguruan tinggi terhadap kebutuhan dunia industri menjadi lebih krusial dari tahun-tahun sebelumnya. Kolaborasi yang erat, penggunaan teknologi yang cerdas, dan pendekatan inovatif dapat memastikan bahwa lulusan tidak hanya relevan, namun juga siap memimpin perubahan di masa depan. Perguruan tinggi yang responsif terhadap dinamika industri di era AI akan memainkan peran penting sebagai katalisator inovasi dan pembangunan. Keberhasilan institusi kini diukur dari kemampuannya untuk menjembatani pengetahuan dengan praktik, sekaligus menciptakan karya nyata bagi dunia yang terus berubah. Stay Relevant!
Baca juga: Lima Prinsip SPMI: Fondasi Kokoh Menuju Keunggulan Institusi
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Perguruan tinggi sering kali dipandang oleh masyarakat sebagai pusat inovasi, pusat pembelajaran, dan pendorong perubahan sosial. Telah kita maklumi bersama, bahwa keberhasilan institusi pendidikan tinggi tidak terlepas dari peran krusial dari segenap dosen dan tenaga kependidikan. Mereka adalah pilar utama yang memastikan roda akademik, non-akademik, dan administrasi berputar dengan lancar, menjadikan visi dan misi perguruan tinggi bukan sekadar dokumen, namun sebagai acuan, inspirasi dan arah kebijakan yang harus diwujudkan setiap hari.
Meski demikian, pertanyaan mendasar tetap muncul: seberapa besar perhatian yang diberikan institusi perguruan tinggi untuk melayani dan memuliakan mereka dengan sepenuh hati? Dosen dan tenaga kependidikan adalah stakeholder kunci yang, jika dipuaskan kebutuhan dan keinginannya, dapat bekerja dengan loyalitas tinggi dan motivasi yang tak tergoyahkan. Artikel ini akan mengupas bagaimana perguruan tinggi dapat merawat, memberdayakan, dan menciptakan kebahagiaan bagi mereka—karena pada akhirnya, keberhasilan institusi bergantung pada kebahagiaan, motivasi dan semangat mereka yang penuh berdedikasi.
Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?
Baca juga: SPMI dan Teori Motivasi Maslow
Dosen adalah ujung tombak dalam mencetak generasi penerus yang unggul. Lebih dari sekadar pengajar, mereka adalah peneliti yang menggali pengetahuan baru, mentor yang membimbing mahasiswa menuju potensinya, dan inspirator yang menanamkan motivasi dan semangat pembelajaran. Dalam menjalankan peran ini, dosen menghadapi tantangan yang kompleks, mulai dari beban mengajar dan target penelitian hingga kewajiban pengabdian kepada masyarakat. Tidak jarang, tanggung jawab administratif juga menambah beban mereka. Untuk mendukung peran strategis ini, perguruan tinggi harus menyediakan fasilitas yang memadai, seperti ruang kerja yang tenang dan nyaman, kemudahan akses ke jurnal internasional, serta dukungan penuh untuk menghadiri konferensi atau pelatihan guna meningkatkan kapasitas mereka.
Namun, pelayanan kepada dosen tidak cukup hanya dengan menyediakan fasilitas fisik. Mereka juga membutuhkan pengakuan atas kontribusi yang telah diberikan. Penghargaan formal, sistem reward yang adil dan layak, serta kesempatan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan strategis di kampus adalah bentuk penghormatan yang menunjukkan bahwa mereka dihargai sebagai mitra utama. Dengan pendekatan yang inklusif ini, dosen tidak hanya merasa didukung secara profesional, namun juga dihormati secara personal, menjadikan mereka pendorong utama kemajuan perguruan tinggi.
Baca juga: SPMI dan Teori Motivasi ERG
Baca juga: Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?
Sementara dosen sering menjadi “wajah” perguruan tinggi, tenaga kependidikan adalah penopang (suporting) tak terlihat di balik layar yang memastikan roda institusi terus berputar dengan lancar. Mereka mengelola administrasi, mendukung operasional kampus, dan menjadi penghubung penting antara mahasiswa, dosen, serta manajemen. Tanpa kontribusi dan peran mereka, sistem perguruan tinggi tidak akan mampu berjalan dengan efektif dan efisien.
Oleh sebab itu, perguruan tinggi harus memberikan perhatian serius kepada keinginan dan kebutuhan tenaga kependidikan. Cintai, layani dan hormati mereka sebagai salah satu stakeholder intenal yang penting. Berikan pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan keterampilan dan motivasi mereka. Langkah ini tidak hanya memperkuat motivasi dan kinerja individu, namun juga memperkokoh eksistensi institusi. Lebih dari itu, perguruan tinggi perlu menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan nyaman, di mana tenaga kependidikan merasa dihormati, didukung, dan memiliki kesempatan untuk berkembang. Kesejahteraan mereka bukan hanya soal gaji atau tunjangan yang adil, namun juga tentang membangun budaya kerja yang inklusif, suportif, dan berorientasi pada kualitas kehidupan kerja (Quality of Work Life/QWL). Dengan demikian, tenaga kependidikan akan semakin setia, loyal dan dapat memberikan dedikasi yang terbaik.
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
Baca juga: Akreditasi: Simbol atau Substansi?
Dosen dan tenaga kependidikan adalah dua elemen yang saling melengkapi dalam ekosistem perguruan tinggi, bekerja bersama untuk memastikan keberlangsungan visi dan misi institusi. Untuk melayani mereka dengan sepenuh hati, perguruan tinggi perlu mengadopsi pendekatan yang holistik. Institusi perlu mendengarkan dan berempati terhadap harapan dan kebutuhan mereka, memberikan umpan balik (feedback) yang membangun, serta menyediakan sumber daya yang memadai untuk mendukung pekerjaan mereka. Kolaborasi yang erat antara manajemen dan stakeholder internal ini akan menciptakan lingkungan kerja yang produktif, harmonis, dan berkelanjutan.
Dengan memberikan perhatian yang tulus kepada dosen dan tenaga kependidikan, perguruan tinggi tidak hanya meningkatkan budaya mutu, namun juga memperkuat reputasi sebagai institusi yang adaptif dan siap menghadapi tantangan masa depan. Ketika mereka merasa dihargai dan didukung, semangat untuk berkontribusi pun akan tumbuh, memberikan dampak yang besar tidak hanya bagi mahasiswa, tetapi juga bagi masyarakat luas yang menjadi bagian dari ekosistem pendidikan tinggi.
Baca juga: Teori 2 Faktor: Memadukan SPMI dengan Motivasi Intrinsik
Baca juga: Siapa Saja Stakeholder Perguruan Tinggi? Mengenal, Memahami dan Melayani
Dosen dan tenaga kependidikan bukan sekadar pekerja di kampus, mereka adalah pilar utama yang menopang keberhasilan institusi pendidikan tinggi. Mereka bukan hanya mendukung roda akademik dan administratif, namun juga memberikan jiwa pada ekosistem pendidikan. Melayani mereka dengan cermat berarti menyediakan fasilitas yang nyaman, dukungan yang berkelanjutan, dan pengakuan yang tulus atas kontribusi mereka. Dengan menciptakan ruang untuk tumbuh dan berkembang, perguruan tinggi akan mampu membangun ekosistem akademik yang inklusif, berkelanjutan, dan penuh makna.
Keberhasilan sebuah kampus tidak hanya diukur dari pencapaian akademik semata, namun juga dari bagaimana ia menghargai individu-individu yang dengan dedikasi dan semangatnya ikut membangun institusi. Karena sejatinya, di balik setiap mahasiswa yang berhasil, terdapat kerja keras dosen dan tenaga kependidikan yang tak pernah lelah mendukung. Sebagaimana Maya Angelou pernah berkata, “People will forget what you said, people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel.” Dengan menghargai, membahagiakan dan melayani mereka dengan sepenuh hati, perguruan tinggi menciptakan fondasi yang kuat untuk masa depan yang lebih cerah. Stay Relevant!
Baca juga: Knowledge Management: Rekomendasi untuk Revisi Permendikbudristek 53 Tahun 2023
Baca juga: Kemalasan Sosial: Musuh Tersembunyi SPMI
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Perguruan tinggi tidak hanya menjadi pusat pendidikan dan penelitian, tetapi juga memikul tanggung jawab besar untuk melayani, menghormati dan membahagiakan masyarakat. Sebagai salah satu stakeholder utama, masyarakat menaruh harapan besar terhadap institusi pendidikan tinggi: membantu memecahkan berbagai persoalan sosial, memberdayakan komunitas, dan meningkatkan kualitas hidup. Namun, pertanyaan kritis terus muncul: sejauh mana perguruan tinggi mampu memenuhi harapan ini secara efektif dan berkelanjutan? Apakah kontribusi yang diberikan benar-benar signifikan atau hanya sebatas formalitas?
Pengabdian kepada masyarakat bukan sekadar kewajiban moral, melainkan bagian penting dari Tridharma Perguruan Tinggi. Melalui program-program pengabdian, perguruan tinggi dapat berperan sebagai katalisator perubahan, membangun hubungan harmonis dengan komunitas sekitar, dan menciptakan dampak yang nyata serta berkelanjutan. Sebuah perguruan tinggi yang berhasil melayani masyarakat tidak hanya membuktikan relevansi dirinya, namun juga meletakkan landasan bagi kemajuan sosial yang lebih luas.
Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat
Masyarakat (public) bukan sekadar penerima manfaat dari program perguruan tinggi, tetapi merupakan mitra aktif dalam proses pengabdian. Ketika perguruan tinggi melaksanakan program-program pengabdian pada masyarakat (PkM), seperti bakti sosial, pelatihan keterampilan atau penyuluhan, masyarakat tidak hanya menerima hasilnya, namun juga berkontribusi sebagai tim kerja yang memberikan masukan dan umpan balik berharga. Peran aktif masyarakat ini memastikan bahwa inisiatif dan program yang dijalankan benar-benar relevan, tepat sasaran dengan kebutuhan lokal dan memiliki dampak jangka panjang yang berkelanjutan.
Lebih dari itu, melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program menciptakan rasa kepemilikan yang kuat. Kolaborasi yang harmonis semacam ini tidak hanya mempererat hubungan antara kampus dan komunitas, namun juga membangun kepercayaan (trust) yang menjadi landasan kokoh bagi sinergi yang lebih besar di masa depan. Dengan pendekatan ini, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa program-program PkM yang dirancang tidak hanya menjawab kebutuhan, namun juga selaras dengan aspirasi masyarakat. Harapannya, institusi akan semakin dihormati, dicintai dan disayangi oleh masyarakat.
Untuk mencapai hal tersebut, perguruan tinggi perlu lebih sering hadir di tengah komunitas lokal. Dialog langsung dengan masyarakat memungkinkan perguruan tinggi memahami lebih dalam problematika yang mereka hadapi. Dari sini, sinergi yang efektif dan efisien dapat dibangun. Program kerja hendaknya disusun melalui kombinasi pendekatan bottom-up dan top-down yang terintegrasi, sehingga mampu menjembatani kebutuhan masyarakat dengan visi dan misi unik perguruan tinggi (mission differentiation). Dengan cara ini, pengabdian kepada masyarakat (PkM) bukan hanya menjadi kewajiban formal, namun merupakan program kerja yang dibangun dengan niat tulus untuk memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat luas.
Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?
Di era modern ini, perguruan tinggi memiliki banyak peluang untuk mengintegrasikan inovasi teknologi dalam pelayanan kepada masyarakat. Teknologi tepat guna adalah tools yang sangat berharga bila dirancang dengan baik. Contohnya, penggunaan aplikasi digital untuk memberikan pelatihan keterampilan, seminar daring, atau akses ke informasi kesehatan yang vital. Teknologi ini memungkinkan perguruan tinggi menjangkau masyarakat yang lebih luas, termasuk di daerah terpencil, sekaligus meningkatkan efektivitas program yang dijalankan. Misalnya pengembangkan Massive Open Online Courses (MOOCs), sebagai platform pembelajaran online yang praktis, bisa diakses dari mana saja dengan waktu yang fleksibel.
Namun, teknologi saja belum cukup. Perguruan tinggi harus memastikan bahwa inovasi yang dihadirkan tetap berlandaskan pendekatan humanis. Masyarakat harus merasa didengar dan dihormati dalam setiap proses, sehingga teknologi menjadi alat untuk mempererat hubungan, bukan sekadar alat distribusi satu arah.
Baca juga: Akreditasi: Simbol atau Substansi?
Melayani masyarakat adalah tugas mulia yang penuh tantangan. Keterbatasan anggaran, rendahnya motivasi untuk berbagi, koordinasi antar pihak yang tidak selalu sejalan, serta kesenjangan antara harapan dan realitas sering kali menjadi hambatan dalam menjalankan program pengabdian. Untuk mengatasi ini, perguruan tinggi perlu mengadopsi pendekatan kolaboratif yang melibatkan berbagai elemen, seperti pemerintah daerah, organisasi keagamaan, ormas, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan sektor swasta. Kolaborasi lintas sektor ini tidak hanya membantu mengatasi keterbatasan sumber daya, tetapi juga memperluas jangkauan serta meningkatkan dampak program pengabdian.
Selain itu, evaluasi menjadi langkah penting yang tidak boleh diabaikan. Perguruan tinggi harus melibatkan masyarakat dalam proses evaluasi untuk memahami sejauh mana program yang dijalankan relevan dan memberikan manfaat nyata. Dengan mendengar langsung umpan balik dari komunitas, perguruan tinggi dapat terus memperbaiki dan menyesuaikan program mereka agar lebih efektif dan sesuai kebutuhan. Pendekatan ini memastikan bahwa pengabdian kepada masyarakat tidak hanya menjadi formalitas, tetapi sebuah usaha yang benar-benar memberikan dampak positif dan berkelanjutan.
Baca juga: Siapa Saja Stakeholder Perguruan Tinggi? Mengenal, Memahami dan Melayani
Masyarakat sebagai stakeholder adalah elemen utama dalam ekosistem pendidikan tinggi. Perguruan tinggi yang benar-benar melayani masyarakat tidak boleh hanya menjalankan program pengabdian sebagai formalitas atau kewajiban administratif belaka, namun harus berkomitmen penuh untuk menciptakan dampak nyata yang dirasakan oleh komunitas. Dengan semangat kolaborasi yang erat, inovasi yang relevan, dan pendekatan humanis yang tulus, perguruan tinggi dapat menjadi pilar kokoh dalam membangun masyarakat madani yang lebih sejahtera, mandiri, dan berdaya.
Pada akhirnya, keberhasilan sebuah perguruan tinggi tidak hanya ditentukan oleh peringkat akreditasi atau prestasi akademik yang diraihnya, namun oleh seberapa besar kontribusi nyata terhadap kemajuan sosial, kemanusiaan dan kesejahteraan masyarakat. Perguruan tinggi yang mampu menjembatani kesenjangan antara teori ilmu pengetahuan dengan kebutuhan masyarakat. Perguruan tinggi yang berperan lebih dari sekadar institusi biasa—ia menjadi katalisator perubahan yang memberi makna pada setiap langkahnya.
Sebagai penutup, perguruan tinggi tidak boleh menjadi “menara gading” yang jauh dari realitas dan kebutuhan masyarakat. Sebaliknya, ia harus menjadi mitra sejati yang dekat dengan komunitas, hadir dengan solusi, dan siap berempati untuk mendengarkan. Dengan demikian, perguruan tinggi tidak hanya mencetak lulusan yang unggul, namun juga membangun peradaban yang lebih baik bagi generasi mendatang. Stay Relevant!
Baca juga: Permendikbudristek 53/2023: Mengapa ‘Budaya Mutu’ Harus Jadi Fokus Utama?
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Di tengah berbagai tuntutan yang dihadapi perguruan tinggi, mahasiswa sering diakui sebagai stakeholder utama, bahkan disebut sebagai stakeholder nomor satu. Mereka bukan sekadar peserta pendidikan, tetapi juga alasan keberadaan institusi pendidikan tinggi. Mahasiswa adalah penerima manfaat utama dari proses belajar mengajar sekaligus wajah masa depan bangsa, kader yang akan menentukan arah perjalanan negeri ini. Namun, pertanyaan yang tetap relevan adalah: apakah mahasiswa benar-benar menjadi pusat perhatian kampus? Apakah perguruan tinggi telah memberikan layanan terbaik untuk mereka? Atau justru mahasiswa hanya dianggap sebagai angka dalam laporan institusional?
Dalam kenyataannya, banyak perguruan tinggi masih fokus pada aspek administratif seperti akreditasi, peringkat, dan kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah. Di tengah perhatian yang terpusat pada indikator-indikator formal ini, kebutuhan dan pengalaman mahasiswa sering kali berada di pinggiran. Kondisi ini memunculkan dilema mendalam: sejauh mana kampus benar-benar memandang dan memperlakukan mahasiswa sebagai stakeholder terpenting, bukan sekadar komponen statistik belaka.
Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI
Sebagai stakeholder utama, mahasiswa memiliki hak fundamental untuk menerima pendidikan yang bermutu tinggi, relevan dengan tantangan zaman, dan memberikan dampak nyata. Mereka bukan sekadar pengguna layanan pendidikan, melainkan mitra dalam ekosistem akademik yang kompleks. Mahasiswa hadir dengan membawa harapan, ambisi, dan mimpi yang seharusnya dipupuk melalui kurikulum yang inovatif, fasilitas yang mendukung, serta interaksi yang penuh makna dengan para dosen sebagai pembimbing intelektual dan pembimbing moral.
Namun, kenyataan sering kali berbicara lain. Mahasiswa kerap merasa menjadi objek dari sistem pendidikan, sekadar peserta pasif, bukan subjek yang memiliki suara. Kurikulum yang terlalu kaku, akses yang terbatas terhadap sumber daya, dan minimnya komunikasi dua arah antara mahasiswa, dosen, dan pengelola kampus menjadi isu yang terus terulang. Dalam situasi seperti ini, mahasiswa sering kali tidak diperlakukan sebagai stakeholder utama, melainkan hanya sebagai angka dalam statistik atau formalitas demi memenuhi indikator keberhasilan institusi. Keadaan ini bukan saja merugikan mahasiswa, namun juga mengaburkan esensi sejati pendidikan tinggi sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya potensi individu.
Di era kecerdasan buatan (AI) yang terus berkembang, kebutuhan mahasiswa melampaui sekadar fasilitas fisik. Mereka mendambakan layanan yang cepat, efektif, dan responsif untuk mendukung proses pembelajaran mereka. Teknologi diharapkan hadir sebagai alat yang mempermudah akses pendidikan, memberikan bimbingan karier yang relevan, dan menyediakan dukungan emosional di tengah tekanan akademik serta tantangan psikologis yang semakin kompleks. Namun, sayangnya, tidak semua perguruan tinggi menyediakan mekanisme yang memadai untuk mendengar dan memenuhi kebutuhan tersebut secara komprehensif.
Perguruan tinggi yang benar-benar ingin melayani mahasiswa harus berkomitmen pada transparansi dan inklusivitas. Saluran komunikasi yang terbuka—seperti forum diskusi, survei kepuasan, kotak saran daring, atau dialog langsung dengan manajemen—bukan hanya menjadi formalitas, tetapi sarana untuk mempererat hubungan antara mahasiswa dan pengelola kampus. Lebih dari sekadar mendengar, perguruan tinggi harus mampu bertindak berdasarkan masukan yang diterima, dengan melakukan koreksi dan langkah preventif yang nyata. Melalui pendekatan ini, mahasiswa tidak hanya merasa didengar, namun juga dihargai, dihormati, dan dilibatkan secara aktif dalam membentuk mutu pendidikan yang sesuai dengan harapan dan kebutuhan mereka. Dengan demikian, kampus menjadi tempat yang benar-benar mencerminkan aspirasi dan potensi generasi muda.
Baca juga: Connecting The Dots: Transformasi SPMI melalui Kolaborasi Tim
Salah satu cara paling tepat untuk menegaskan bahwa mahasiswa adalah stakeholder utama adalah dengan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Mahasiswa seharusnya memiliki representasi (perwakilan) yang kuat di berbagai forum strategis, seperti perancangan kurikulum, evaluasi layanan, hingga pengembangan fasilitas kampus. Dengan partisipasi aktif mereka, kebijakan kampus tidak hanya menjadi lebih relevan, namun juga mencerminkan kebutuhan dan aspirasi mereka yang sebenarnya. Lebih dari itu, keterlibatan ini mampu menumbuhkan rasa memiliki dan loyalitas yang mendalam terhadap institusi.
Ketika mahasiswa diberi ruang untuk berkontribusi, mereka tidak lagi sekadar menjadi penerima manfaat, tetapi juga partner sejati dalam mengelola kampus. Mereka membawa perspektif segar yang berharga dalam menghadapi tantangan pendidikan modern. Pendekatan ini tidak hanya memberikan keuntungan bagi mahasiswa, namun juga meningkatkan kredibilitas perguruan tinggi sebagai institusi yang responsif, inklusif, dan relevan dengan generasi muda. Dalam lingkungan seperti ini, kampus tidak hanya menjadi tempat belajar, namun juga menjadi rumah bagi inovasi dan kolaborasi yang bermutu.
Baca juga: Tools Canggih untuk SPMI: Tips Mengurai Benang Kusut
Mahasiswa adalah inti dari keberadaan perguruan tinggi. Mereka bukan sekadar penerima layanan, tetapi juga partner strategis yang memiliki suara penting dalam menentukan arah, strategi dan masa depan institusi. Dengan menempatkan mahasiswa di pusat perhatian, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa setiap kebijakan, standar, program, dan layanan dirancang untuk menjawab kebutuhan nyata mereka, sekaligus memberikan dampak positif yang berkelanjutan. Dalam hubungan ini, mahasiswa bukan hanya angka statistik dalam laporan tahunan, tetapi jiwa-jiwa yang menghidupkan dinamika akademik.
Baca juga: Inovasi atau Mati: Integrasi PPEPP dengan Strategic Quality Management
Perguruan tinggi yang benar-benar memahami, berempati dan melayani mahasiswa dengan sepenuh hati akan menciptakan ekosistem pendidikan yang inklusif, memberdayakan, dan bermakna. Keberhasilan sebuah kampus tidak semata-mata diukur dari akreditasi atau peringkat yang diraih, tetapi dari seberapa jauh institusi tersebut mampu memenuhi ekspektasi dan menginspirasi stakeholder utamanya: mahasiswa. Karena pada akhirnya, masa depan pendidikan tidak hanya terletak pada keberadaan sistem, namun pada bagaimana sistem tersebut membangun jiwa-jiwa manusia. Stay Relevant!
“Pendidikan sejati adalah yang memuliakan jiwa dan menghidupkan semangat pembelajarnya.”
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Akreditasi telah menjadi simbol penting bagi perguruan tinggi dalam menunjukkan peringkat mutu mereka. Mendapatkan akreditasi unggul sering kali dianggap sebagai puncak prestasi yang mencerminkan kinerja institusi. Hanya saja, di balik hal tersebut, muncul pertanyaan: apakah akreditasi hanya sekadar simbol, atau benar-benar mencerminkan substansi mutu pendidikan yang dapat dipercaya?
Institusi perguruan tinggi sering kali menghadapi dilema dalam menyeimbangkan antara pemenuhan regulasi dan menciptakan dampak nyata. Ketika akreditasi terlalu fokus pada pengumpulan dokumen dan kepatuhan prosedur, esensi pendidikan tinggi sebagai penggerak perubahan dan inovasi sering kali terpinggirkan (kurang menjadi fokus utama).
Baca juga: Siapa Saja Stakeholder Perguruan Tinggi? Mengenal, Memahami dan Melayani
Akreditasi secara umum bertujuan memastikan bahwa perguruan tinggi memenuhi standar / kriteria tertentu dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (PkM). Dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah (BAN-PT atau LAM), akreditasi membantu memberikan kerangka kerja (framework) yang seragam untuk menilai mutu institusi.
Kendati demikian, proses akreditasi sering kali menjadi beban administratif. Perguruan tinggi, dengan sumber daya yang relatif terbatas, fokusnya “beralih” dari upaya menciptakan inovasi dan mutu, menjadi sekadar memenuhi indikator teknis dan persyaratan akreditasi. Institusi berlomba-lomba meraih predikat unggul, namun apakah mutu pendidikan yang dicapai benar-benar dirasakan manfaatnya bagi mahasiswa dan masyarakat luas?
Baca juga: Jangan Biarkan Korupsi Menodai SPMI: Langkah Preventif bagi Perguruan Tinggi
Pemerintah memainkan peran penting dalam menetapkan standar melalui kebijakan seperti Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN-Dikti). Regulasi ini bertujuan untuk memastikan standar mutu pendidikan tinggi tetap terjaga. Hanya saja, bila terlalu banyak persyaratan untuk mematuhi regulasi dapat membuat perguruan tinggi kehilangan fleksibilitas untuk berinovasi.
Alih-alih menjadi katalis untuk mendorong perubahan, regulasi sering kali dianggap sebagai beban administrasi. Perguruan tinggi terjebak pada upaya pemenuhan dokumen, sementara nilai-nilai inti pendidikan yang jauh lebih relevan terpaksa terpinggirkan. Regulasi yang baik seharusnya mampu memotivasi, mengarahkan dan memfasilitasi perguruan tinggi untuk mencapai mutu secara substansial, bukan sekadar kepatuhan administratif.
Baca juga: Permendikbudristek 53/2023: Mengapa ‘Budaya Mutu’ Harus Jadi Fokus Utama?
Salah satu tolok ukur keberhasilan pendidikan tinggi adalah sejauh mana memberi kontribusi pada mahasiswa dan masyarakat. Akan tetapi, ketika fokus pada akreditasi menjadi dominasi, pengalaman belajar mahasiswa secara keseluruhan sering kali terabaikan. Kurikulum bisa jadi lebih disesuaikan untuk memenuhi tuntutan standar akreditasi nasional daripada membekali mahasiswa dengan skills yang relevan di tingkat lokal.
Selain itu, program pengabdian kepada masyarakat (PkM) sering kali hanya menjadi formalitas untuk memenuhi persyaratan akreditasi. Sehingga, kontribusi nyata pada permasalahan masyarakat sering kali kurang optimal. Inilah hal-hal yang menjadi tantangan bersama untuk segera dicari solusi pemecahannya.
Baca juga: Evaluasi Permendikbudristek 53/2023: Kecepatan versus Akuntabilitas
Tidak bisa disangkal, akreditasi adalah elemen penting yang tidak dapat dihindari oleh perguruan tinggi. Namun, akreditasi seharusnya tidak hanya menjadi tujuan akhir, melainkan sarana untuk menciptakan manfaat yang lebih besar bagi para stakeholder. Dengan pendekatan yang tepat, akreditasi dapat bertransformasi dari sekadar simbol administratif menjadi alat yang mendorong perbaikan berkelanjutan. Perguruan tinggi harus mampu menemukan keseimbangan antara memenuhi tuntutan regulasi dengan menciptakan dampak nyata melalui pendidikan yang inovatif dan bermutu tinggi.
Kuncinya terletak pada integrasi misi unik perguruan tinggi (mission differentiation) dengan kebutuhan masyarakat serta stakeholder lainnya. Melalui kemitraan strategis, kolaborasi lintas sektor, dan sinergi yang harmonis, perguruan tinggi dapat membuktikan bahwa mereka tidak hanya mengejar pengakuan formal, tetapi juga menanamkan semangat perbaikan berkelanjutan (continuous improvement) dalam setiap langkah mereka. Dengan semangat ini, perguruan tinggi tidak hanya memenuhi ekspektasi, tetapi juga menjadi agen perubahan yang membawa manfaat bagi generasi kini dan masa depan.
Baca juga: Inovasi Penjaminan Mutu: Masukan Untuk Evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023
Akreditasi seharusnya tidak berhenti pada label “simbol” semata. Lebih dari itu, akreditasi harus menjadi cerminan nyata dari mutu pendidikan yang sesungguhnya, relevansi kurikulum yang sejalan dengan kebutuhan zaman, dan dampak sosial yang dirasakan oleh masyarakat luas. Perguruan tinggi tidak cukup hanya fokus pada kepatuhan administratif, namun harus menjadikan akreditasi sebagai tools untuk mendorong transformasi nyata dalam dunia pendidikan. Komitmen ini menuntut keberanian untuk melangkah melampaui rutinitas dan berinovasi demi menciptakan perbaikan yang bermakna.
Sebagai agen perubahan (change agent), perguruan tinggi memiliki peran penting dalam membangun masa depan yang lebih baik. Dengan integrasi visi misi ke setiap program dan kebijakan, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa setiap langkah menuju akreditasi memiliki nilai yang substansial. Hanya dengan komitmen ini, akreditasi akan menjadi instrumen yang tepat guna untuk membangun masyarakat yang berkelanjutan. Semoga dengan upaya ini, perguruan tinggi dapat terus relevan dan memberi keberkahan bagi umat, Insya Allah. Stay Relevant!
Baca juga: Kebijakan SPMI: Pilar Utama Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Perguruan tinggi sesungguhnya lebih dari sekadar institusi pendidikan. Ia adalah bagian dari ekosistem dinamis yang melibatkan berbagai pihak dengan harapan dan kepentingan masing-masing. Dalam menjalankan fungsi Tridharma—pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat—perguruan tinggi tentu harus pandai membaca, memahami dan mengelola kepentingan masing-masing stakeholder (pemangku kepentingan). Artikel ini akan menguraikan secara singkat siapa saja yang tergolong sebagai stakeholder perguruan tinggi, dan bagaimana tips terbaik untuk melayani, membahagiakan dan memuaskan harapan dan keinginan mereka.
Baca juga: Penguatan SPMI dengan 10 Peran Manajer ala Mintzberg
Mahasiswa adalah stakeholder utama yang menjadi jantung dari perguruan tinggi. Mahasiswa hadir dengan mimpi dan harapan masing-masing. Mereka mendaftar dan diterima, tujuannya untuk mendapatkan pendidikan terbaik yang akan membekali mereka menghadapi peluang dan tantangan masa depan. Perguruan tinggi, tentu saja harus memastikan bahwa kurikulum, dosen, fasilitas, dan tata kelola, semua tersedia dengan baik, dan semua harus dapat memenuhi “need and want” mereka yang terus berkembang. Di era AI saat ini, mahasiswa juga menuntut akses media online, diskusi interaktif, dan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan (skills) non-akademik.
Namun, di sisi lain, mahasiswa bukan hanya pembelajar, mereka juga partner dalam ekosistem pendidikan. Sebagai salah satu stakeholder, suara mereka sangat berharga bagi perguruan tinggi. Dengan melibatkan mahasiswa dalam proses pengambilan keputusan, seperti sesi brainstorming, survey dan forum diskusi, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa harapan dan usulan mereka didengar. Hal ini tidak hanya meningkatkan kepuasan mahasiswa (customer satisfaction), namun juga menumbuhkan rasa ikut memiliki terhadap institusi.
Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi
Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?
Dosen dan tenaga kependidikan adalah SDM penting di balik keberhasilan perguruan tinggi. Mereka bertugas mengawal dan memastikan mutu pendidikan, melakukan penelitian, dan menjalankan pengabdian kepada masyarakat. Kendati demikian, di balik tanggung jawab Tridharma tersebut, dosen dan tenaga kependidikan juga merupakan stakeholder internal. Mereka juga memiliki harapan, keinginan dan kebutuhan.
Untuk memenuhi harapan, keinginan dan kebutuhan tersebut, perguruan tinggi perlu membangun lingkungan kerja yang mendukung atau QWL (quality of work life). Pelatihan / pengembangan, fasilitas penelitian, dan pengakuan atas prestasi adalah beberapa cara yang diperlukan untuk menjaga semangat dosen dan staf tetap tinggi. Dengan merawat budaya kerja yang inklusif dan suportif, perguruan tinggi tidak hanya meningkatkan mutu layanan akademik namun juga membangun loyalitas SDM internal.
Baca juga: Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku: Pilar Utama Budaya Mutu SPMI
Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat
Dunia kerja, dunia industri adalah stakeholder utama yang sering kali menentukan arah pendidikan tinggi. Industri menginginkan lulusan yang siap bekerja, kreatif, dan mampu beradaptasi dengan perubahan cepat. Perguruan tinggi memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memastikan bahwa kurikulum senantiasa relevan dengan tuntutan DUDI (dunia usaha dan dunia industri).
Salah satu strategi penting yang dapat diterapkan adalah menjalin partnership dengan berbagai sektor DUDI. Program magang di lokasi usaha, penelitian bersama, atau proyek kolaborasi, dapat menjadi jembatan antara teori dan praktik. Melalui kolaborasi ini, perguruan tinggi diharapkan dapat memenuhi harapan dunia kerja, dan juga memberikan pengalaman nyata bagi para mahasiswa.
Baca juga: SPMI Berbasis Pengetahuan: Aset Utama Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab sosial (social responsibility) untuk memberi pelayanan kepada masyarakat. Pengabdian kepada masyarakat (PkM) adalah salah satu pilar Tridharma yang memastikan bahwa hasil pendidikan dan penelitian dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Harapan masyarakat mencakup banyak hal, diantaranya solusi problem lokal, pemberdayaan ekonomi, pendidikan, teknologi tepat guna, pelestarian lingkungan hidup dan lain sebagainya.
Untuk memenuhi ekspektasi diatas, perguruan tinggi perlu mengadopsi pendekatan komunikasi yang berbasis partisipasi. Masyarakat dilibatkan dalam perencanaan, brainstorming dan pelaksanaan program untuk memastikan relevansi dan keberlanjutan program kerja. Keberhasilan perguruan tinggi selain diukur dari prestasi akademik, juga dilihat dari sejauh mana dampak program, dirasakan oleh masyarakat luas.
Baca juga: Kemalasan Sosial: Musuh Tersembunyi SPMI
Baca juga: Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?
Sebagai pengarah kebijakan, pemerintah memiliki peran penting untuk membimbing perguruan tinggi mencapai standar mutu tertentu (persyaratan minimal). Selain itu, pemerintah sering kali menjadi sumber pendanaan utama, baik untuk hibah pendidikan, penelitian maupun pengabdian. Harapan pemerintah biasanya fokus pada peningkatan mutu pendidikan, daya saing internasional, dan kontribusi program kerja pada pembangunan nasional.
Untuk memenuhi ekspektasi ini, perguruan tinggi perlu membangun komunikasi dan hubungan yang harmonis dengan pemerintah. Mematuhi regulasi seperti Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN-Dikti), melaksanakan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan melaporkan pencapaian secara transparan pada PDDikti (Pangkalan Data Pendidikan Tinggi) adalah langkah penting untuk kepatuhan pada regulasi. Kolaborasi yang harmonis dengan pemerintah dapat membuka peluang pendanaan (hibah) dan dukungan untuk program-program kreatif dan inovatif.
Baca juga: Kebijakan SPMI: Pilar Utama Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi
Baca juga: Akreditasi: Simbol atau Substansi?
Perguruan tinggi yang berhasil adalah perguruan tinggi yang mampu merangkul, melayani dan memuaskan seluruh stakeholder-nya. Setiap kelompok stakeholder memiliki “need and want” serta harapan yang berbeda-beda. Namun demikian semua harus dilayani melalui pendekatan yang baik, strategi yang inklusif, dan kolaborasi yang saling menguntungkan (win-win). Dengan melayani dan membahagiakan beragam stakeholder tersebut, perguruan tinggi telah menjalankan tugasnya dengan baik, dan sebagai imbalannya, tentu saja institusi akan semakin dicintai, dihormati dan disayangi (oleh stakeholder). Stay Relevant!
Baca juga: Transformasi SPMI: Komunikasi Internal sebagai Game-Changer
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Penjaminan mutu pendidikan tinggi di Indonesia merupakan salah satu pilar penting untuk memastikan bahwa sistem pendidikan tinggi menghasilkan lulusan yang kompeten dan relevan dengan kebutuhan global.
Permendikbudristek No. 53/2023 merupakan regulasi Pemerintah dan landasan hukum bagi pelaksanaan penjaminan mutu melalui Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME). Namun, implementasi di lapangan tidak semudah membalik telapak tangan.
Kebijakan diatas kerap kali dihadapkan berbagai tantangan, termasuk keterbatasan fleksibilitas dan tingginya beban administratif bagi pelaksana perguruan tinggi.
Melalui Surat Edaran Nomor 15 Tahun 2024, Menteri mengundang pemangku kepentingan untuk memberikan masukan, saran dan pertimbangan atas evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023. Artikel ini bertujuan untuk memberikan masukan dan usulan konkret guna meningkatkan efektivitas kebijakan penjaminan mutu pendidikan tinggi. Masukan ini fokus pada upaya perbaikan fleksibilitas, relevansi, dan inovasi yang dibutuhkan perguruan tinggi untuk bersaing secara global.
Baca juga: Usulan Revisi Permendikbudristek No 53/2023: Otonomi dan Fleksibiltas Penjaminan Mutu
Permendikbudristek No. 53/2023 memiliki potensi untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip penjaminan mutu berbasis Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti). Kebijakan ini memberikan kerangka kerja yang jelas untuk perguruan tinggi dalam melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Standar Dikti yang ditetapkan dirancang untuk memastikan keselarasan mutu pendidikan tinggi di tingkat nasional.
Permendikbudristek No. 53/2023 juga mendorong dan memberikan peluang bagi perguruan tinggi untuk melampaui SN Dikti melalui pengembangan Standar Dikti yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi. Kebijakan ini menjadi penting karena memastikan semua perguruan tinggi, baik PTN maupun PTS, memiliki pedoman yang sama untuk meningkatkan mutu pendidikan mereka.
Namun demikian, pendekatan seragam yang ditetapkan dalam Permendikbudristek No. 53/2023 pasal 68 terkait kewajiban PPEPP (penetapan, pelaksanaan , evaluasi, pengendalian dan peningkatan standar), menurut hemat penulis, berpotensi menjadi hambatan bagi perguruan tinggi dengan mengembangkan SPMI mereka.
Kebingungan terhadap konsep PPEPP dan administrasi yang berat untuk memenuhi lima komponen PPEPP sering kali menyita sumber daya yang seharusnya dapat dialokasikan untuk pengembangan mutu melalui inovasi dan eksperimen lainnya. Kurangnya ruang fleksibilitas dapat mempersulit perguruan tinggi untuk menyesuaikan metode penjaminan mutu mereka dengan visi dan misi unik (mission diferentiation) masing-masing.
Salah satu cara untuk meningkatkan efektivitas (dan efisiensi) penjaminan mutu adalah dengan mengalihkan fokus dari proses administratif ke hasil nyata yang ingin dicapai.
Evaluasi berbasis hasil memungkinkan perguruan tinggi untuk mencapai target standar mutu mereka tanpa harus terikat pada metode atau cara-cara tertentu.
Contoh, perguruan tinggi dapat menggunakan indikator keberhasilan seperti tingkat kepuasan mahasiswa, daya serap lulusan di dunia kerja, atau inovasi penelitian. Pendekatan ini memberikan ruang bagi perguruan tinggi untuk bereksperimen dengan cara atau metode manajemen mutu lain tanpa harus terikat menerapkan “PPEPP” versi pemerintah, contoh seperti memakai PDCA (Plan-Do-Check-Act), Lean- Agile Management, metode balance scorecard, atau metode QMS lain seperti ISO 21000.
Kebebasan memilih sistem manajemen mutu tentu sangat relevan dengan semangat otonomi perguruan tinggi yang diamanahkan UU no 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Perguruan tinggi dapat memilih sistem mutu yang sesuai dengan kemampuan, potensi dan kebutuhan mereka. Pendekatan kebijakan “berbasis hasil” mendorong perguruan tinggi untuk fokus pada hasil nyata (substantif) dari sistem penjaminan mutu (QMS) yang mereka pilih secara mandiri.
Setiap perguruan tinggi memiliki karakteristik dan misi unik (mission differentition) yang berbeda, baik dari segi sumber daya, lokasi geografis, maupun fokus keilmuan. Oleh sebab itu, kebijakan penjaminan mutu perlu memberikan keleluasaan kepada perguruan tinggi untuk menyesuaikan implementasinya dengan konteks lokal. Perguruan tinggi dapat bebas mengadopsi metode alternatif yang mereka anggap paling cocok, misal seperti Six Sigma, MBO (management by objective) atau model lainnya. Perguruan tinggi dapat berinovasi dengan modifikasi PPEPP menjadi cukup 3 langkah saja (lebih mudah diingat): Penetapan, Pelaksanaan dan Evaluasi saja (dimana tahap Penetapan dan Peningkatan sudah dimasukkan dalam indikator proses Evaluasi). Institusi juga dapat berinovasi dengan berbagai kombinasi dan pilihan kearifan lokal untuk memenuhi komponen PPEPP. Penyesuaian ini, memungkinkan institusi untuk tetap fokus pada hasil (capaian standar) tanpa harus terbebani oleh proses administratif yang diseragamkan.
Baca juga: Inkrementalisme dalam SPMI: Realistis atau Jalan di Tempat?
Pemerintah dapat memberikan insentif berupa pendanaan tambahan bagi perguruan tinggi yang berhasil mengembangkan model inovasi dalam penjaminan mutu.
Misalnya, perguruan tinggi yang mengadopsi teknologi digital dan AI untuk meningkatkan efisiensi sistem manajemen mutu dapat menerima hibah untuk memperluas implementasi tersebut. Hal ini tidak hanya mendorong inovasi namun juga menciptakan model praktik baik (best practice) yang dapat diadopsi oleh institusi lain.
Lebih lanjut, Kementerian dapat memfasilitasi pilot project untuk menguji pendekatan baru dalam penjaminan mutu. Program ini memungkinkan perguruan tinggi untuk mencoba metode baru tanpa harus menghadapi risiko besar, (sambil tetap terjaga untuk memenuhi kewajiban standar nasional).
Selain dukungan finansial, pemerintah dapat memberikan penghargaan (reward & recognition) kepada institusi yang berhasil mencapai prestasi luar biasa dalam inovasi pengembangan sistem manajemen mutu pendidikan.
Penghargaan ini dapat berupa hadiah atau akreditasi khusus, publikasi hasil pencapaian, atau status “excellence” yang meningkatkan reputasi institusi di tingkat nasional maupun internasional. Hal ini tentu dapat meningkatkan semangat / motivasi dosen dan karyawan. Mereka akan bersungguh-sungguh mengejar hal-hal yang substantif bukan sekedar formalitas administratif belaka.
Baca juga: SPMI dalam Perspektif Easton: Pendidikan Tinggi di Persimpangan Jalan?
Untuk evaluasi Kebijakan SPMI pada Permendikbudristek No. 53/2023, berikut 5 poin masukan sebagai bahan pertimbangan:
Baca juga: Menakar Keberhasilan SPMI: Efektifkah Siklus PPEPP?
Evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023 merupakan langkah krusial untuk membangun kebijakan penjaminan mutu yang lebih fleksibel, adaptif, dan relevan dengan kebutuhan pendidikan tinggi di Indonesia.
Dengan memberikan ruang bagi perguruan tinggi untuk berinovasi dan menyesuaikan metode mereka, kebijakan ini dapat meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan.
Pendekatan berbasis hasil, dukungan teknologi, dan insentif inovasi akan memastikan bahwa kebijakan penjaminan mutu tidak hanya menjadi alat kontrol semata, namun juga pendorong transformasi dalam pendidikan tinggi. Dengan demikian, Insya Allah pendidikan tinggi di Indonesia akan lebih siap menghadapi tantangan global sambil tetap relevan dengan tuntutan dan harapan stakeholder lokal. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi