• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Kepemimpinan

SPMI dan Kecerdasan Emosional

SPMI di Era AI: Apakah Gaya Kepemimpinan Anda Siap Beradaptasi?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Kemajuan teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI), telah merevolusi berbagai sendi-sendi kehidupan, termasuk dunia pendidikan tinggi. Dalam konteks implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), tantangan baru muncul di tengah kebutuhan untuk memadukan kecanggihan teknologi AI dengan sentuhan manusiawi (human relation skills). Pertanyaannya kini bukan hanya apakah pemimpin perguruan tinggi mampu menghadapi perubahan ini, tetapi juga apakah mereka bersedia (mau) menyesuaikan gaya kepemimpinan mereka agar tetap relevan dan efektif di era AI yang terus berkembang.

AI membuka peluang banyak hal untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pekerjaan. Dalam sekejap AI mampu pengumpulan data, analisis, hingga evaluasi mutu pendidikan. Namun, persoalannya meski teknologi ini menawarkan keunggulan signifikan, ia tidak dapat menggantikan peran penting hubungan antar manusia khususnya leadership skills dalam membangun budaya mutu (quality culture) yang kokoh. Untuk itu, keterampilan kepemimpinan untuk memberikan arahan, membimbing, dan mendelegasikan menjadi sangat penting. Gaya kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Paul Hersey dan Ken Blanchard menawarkan pendekatan yang fleksibel. Dengan gaya kepemimpinan situasional memungkinkan pemimpin menghadapi dinamika perubahan teknologi sambil tetap menjaga keterlibatan emosional dan kepercayaan antar anggota tim.

Baca juga: Kampus dan Industri: Mengapa Respons Perguruan Tinggi Jadi Penentu di Era AI?

Menjembatani Teknologi dan Manusia

Era AI sungguh luar biasa, menuntut integrasi teknologi dalam proses SPMI, seperti penerapan siklus PPEPP (penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian dan peningkatan standar) dalam manajemen mutu pendidikan di perguruan tinggi. Contoh integrasi penggunaan perangkat lunak untuk analisis data mutu akademik atau sistem pemantauan pembelajaran, akan sangat membantu efisien pekerjaan. Namun, keberhasilan teknologi ini sangat bergantung pada kesiapan SDM yang memakainya. Gaya kepemimpinan situasional yang dikembangkan Hersey dan Blanchard, memungkinkan pemimpin perguruan tinggi dari rektor, dekan dan struktural lainnya untuk menyesuaikan gaya memimpin berdasarkan tingkat kesiapan teknis dan emosional anak buah. Ketika staf merasa tidak percaya diri dengan teknologi baru, gaya “Directing” (perintah) dapat digunakan untuk memberikan arahan dan bimbingan yang jelas.

Namun, lain lagi, bila anggota tim yang mulai memahami teknologi tetapi masih ragu dan membutuhkan dorongan, pemimpin dapat beralih ke gaya “Coaching” (membimbing). Dengan gaya ini pemimpin memberikan semangat, motivasi dan panduan yang diperlukan agar teknologi yang baru dipelajari dapat bejalan efektif. Adapun, bagi anggota staf yang sudah pandai dan mahir, pemimpin dapat mendelegasikan tanggung jawab penuh dengan gaya “Delegating” (delegasi). Dengan gaya ini memungkinkan anak buah bersemangat untuk bebas menjalankan peran mereka secara mandiri sambil tetap ada pantauan oleh pimpinan. Dalam kasus diatas, pemimpin berperan optimal sebagai jembatan antara inovasi teknologi dengan dinamika kemampuan bawahan yang heterogen.

Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat

Gaya Kepemimpinan Situasional dari Hersey dan Blanchard

Menghadapi Ketakutan dan Resistensi

Dalam dunia yang semakin dipengaruhi oleh teknologi AI, kekhawatiran akan kehilangan pekerjaan atau ketidakpastian sering kali menjadi bayangan yang menghantui para pegawai. Resistensi terhadap perubahan ini dapat menjadi penghambat keberhasilan implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Di sinilah gaya kepemimpinan “Supporting” (dukungan / merangkul) memainkan peran penting. Dengan berempati dan mendengarkan kekhawatiran staf, pemimpin menunjukkan bahwa AI dirancang bukan untuk menggantikan, namun untuk memudahkan pekerjaan mereka. Dengan gaya ini (supporting), pemimpin dapat membangun kepercayaan dan mengikis keragu-raguan yang muncul.

Lebih jauh lagi, pemimpin yang adaptif harus mampu memanfaatkan teknologi untuk mengurangi tugas-tugas administratif yang repetitif, dengan cara ini, pemimpin memberikan ruang bagi staf untuk fokus pada inovasi dan pengembangan mutu pendidikan (SPMI). Dengan pendekatan gaya situasional, pemimpin tidak hanya mengelola perubahan namun juga mengubah kekhawatiran menjadi peluang. Resistensi (penolakan) yang awalnya ditakuti dapat dirubah menjadi energi untuk menciptakan inovasi dan budaya mutu yang lebih baik.

Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI

Transformasi Kepemimpinan di Era AI

Era AI bukan sekadar tentang teknologi, tetapi juga tentang cara kita memimpin, berkomunikasi, dan beradaptasi. Sumber Daya Manusia (SDM) di perguruan tinggi harus mampu memandang teknologi sebagai peluang untuk berkembang, bukan sebagai ancaman. Dengan mengadopsi gaya kepemimpinan situasional, rektor, dekan, dan para pemimpin lainnya dapat memastikan bahwa setiap individu dalam organisasi berkontribusi secara produktif dalam proses Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan).

Transformasi ini memerlukan kesadaran mendalam (awareness) bahwa keberhasilan SPMI tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan AI yang digunakan, namun juga oleh cara AI tersebut diintegrasikan secara harmonis ke dalam ekosistem manusia di perguruan tinggi. Gaya kepemimpinan yang adaptif menjadi kunci untuk menciptakan keseimbangan ideal antara teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan, memperkuat peran pendidikan tinggi sebagai pilar inovasi dan kemajuan.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

Penutup

Pada akhirnya, tujuan utama SPMI adalah menciptakan budaya mutu yang berkelanjutan. AI dapat membantu dalam menyediakan data dan wawasan yang lebih baik, tetapi manusia tetap menjadi penggerak utama dalam menciptakan perubahan yang berarti. Gaya kepemimpinan situasional memungkinkan pemimpin untuk mengarahkan, mendukung, dan mendelegasikan peran dengan cara yang ideal yang mampu memberdayakan seluruh elemen organisasi.

Di tengah tantangan era AI, pemimpin yang fleksibel dan adaptif akan mampu membangun kolaborasi yang solid antara manusia dan teknologi. Ketika semua pihak merasa didukung, dihargai dan diberdayakan, keberhasilan SPMI bukan lagi sekadar visi, melainkan realitas yang bakal terwujud. Apakah Anda benar-benar siap memimpin tantangan perubahan ini? Stay Relevant!

Baca juga: SPMI dan Teori Kepemimpinan Manajerial Grid


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Kepemimpinan Mutu Pendidikan & SPMI

SPMI dan Teori Kepemimpinan Manajerial Grid

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi merupakan instrumen vital untuk memastikan bahwa institusi pendidikan dapat memberikan layanan pendidikan yang bermutu tinggi sesuai dengan standar nasional dan internasional.

Implementasi SPMI yang efektif memerlukan pendekatan manajerial yang baik, salah satunya adalah inspirasi penerapan teori Manajerial Grid yang dikembangkan oleh Robert Blake dan Jane Mouton.

Teori ini memberikan kerangka kerja untuk menilai dan mengembangkan gaya kepemimpinan yang mampu menyeimbangkan perhatian terhadap produksi (pencapaian standar mutu pendidikan) dan kepuasan karyawan (staf dan dosen).

Artikel ini bertujuan memberikan wawasan pada segenap tim manajemen pendidikan tinggi terkait metode dan upaya menemukan gaya kepemimpinan yang sesuai.

Teori Manajerial Grid

Manajerial Grid adalah sebuah model yang mengidentifikasi 5 (lima) gaya kepemimpinan berdasarkan dua dimensi utama: perhatian terhadap produksi (tasks) dan perhatian terhadap orang (people). Kelima gaya tersebut meliputi:

  1. Impoverished Management (1,1): Indikatornya “rendah” perhatian terhadap 2 hal, produksi dan orang. Ini merupakan gaya kepemimpinan yang paling buruk, perhatian pada produksi dan karyawan, sama-sama sangat rendah. Penerapan gaya ini tentu akan merugikan tidak saja bagi pencapaian kinerja SPMI, namun juga menurunkan moral kerja karyawan.
  2. Country Club Management (1,9): Indikatornya, tinggi perhatian terhadap orang (nilai 9) tetapi rendah terhadap produksi (nilai 1). Model gaya ini juga bisa digolongkan sebagai tidak efektif, SPMI sama sekali tidak diperhatikan dan dibiarkan tidak produktif. Sementara pimpinan terlalu fokus perhatian pada karyawan “pimpinan penggembira”, tanpa peduli pada pencapaian kinerja mereka.
  3. Authority-Compliance (9,1): Tinggi perhatian terhadap produksi tetapi rendah terhadap orang. Kebalikan dengan gaya Country Club, gaya ini mirip dengan gaya otoriter. Pimpinan fokus pada pencapaian target Standar SPMI namun “cuek” dengan kebutuhan karyawan. Karyawan tidak diperhatikan kesejahteraannya maupun hubungan sosialnya. Gaya ini, juga tidak efektif, karyawan menjadi tidak nyaman bekerja dan cenderung akan mengundurkan diri (resign).
  4. Middle-of-the-Road Management (5,5): Moderat (sedang) perhatian terhadap produksi dan orang. Ini gaya yang tengah-tengah (mediocre), dimana perhatian pada pencapaian standar SPMI sedang saja, dan perhatian pada manusia juga sedang saja. Penerapan gaya ini juga bukan yang ideal, karena prestasi organisasi juga akan sedang-sedang saja, sulit untuk mendapatkan akreditasi “unggul”.
  5. Team Management (9,9): Tinggi perhatian terhadap produksi dan orang. Inilah perilaku gaya kepemimpinan yang paling ideal. Pemimpin “fokus maksimal” pada 2 hal, pencapaian target-target standar SPMI dan juga fokus maksimal pada kepuasan para staf dan dosen.

Gaya Kepemimpinan “Team Management”

Integrasi teori Manajerial Grid dapat memberikan inspirasi bagi manajemen perguruan tinggi dalam pengembangan SPMI yang efektif dan efisien.

  1. Keseimbangan antara capaian Target SPMI dan Kesejahteraan Karyawan: Dengan mengadopsi gaya kepemimpinan “Team Management,” perguruan tinggi dapat memastikan bahwa “perhatian maksimal” terhadap kualitas akademik (pencapaian semua standar) dan kesejahteraan karyawan seimbang dengan nilai terbaik (9.9). Hal ini penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang nyaman, kondusif bagi inovasi dan peningkatan kualitas pendidikan.
  2. Pengembangan Budaya Mutu: Gaya kepemimpinan 9.9 “Team Management” menekankan pada perhatian terhadap orang dapat membantu mengembangkan budaya mutu (quality culture) yang kuat. Karyawan yang merasa dihargai, dihormati dan didukung akan lebih termotivasi untuk berpartisipasi dalam upaya penjaminan mutu.
  3. Peningkatan Kolaborasi dan Komunikasi: Model gaya kepemimpinan 9.9 “Team Management” mendorong peningkatan kolaborasi dan komunikasi antara pemimpin dan karyawan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa semua pihak “terlibat maksimal” dalam proses penjaminan mutu dan merasa memiliki tanggung jawab bersama untuk mencapai standar mutu yang ditetapkan.

Contoh Ilustrasi Penerapan

Kesimpulan

Teori Manajerial Grid dari Blake dan Mouton “menawarkan inspirasi” yang berharga dalam pengembangan SPMI di perguruan tinggi. Dengan menyeimbangkan perhatian maksimal terhadap produksi dan karyawan, perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan yang kondusif untuk peningkatan mutu pendidikan.

Penerapan gaya kepemimpinan “Team Management” dapat membantu mengembangkan budaya mutu yang kuat, meningkatkan kolaborasi, dan memastikan adaptasi yang fleksibel terhadap perubahan dan tantangan.

Oleh karena itu, integrasi gaya kepemimpinan “Team Management” dalam SPMI InsyaAllah sangat bermanfaat untuk mencapai keunggulan lembaga pendidikan tinggi. Stay Relevant!

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Pilihan Gaya Kepemimpinan

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan mekanisme yang esensial bagi perguruan tinggi untuk memastikan bahwa proses Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat) memenuhi standar mutu yang diinginkan.

Keberhasilan implementasi SPMI sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan yang digunakan.

Kurt Lewin, seorang pakar psikolog, mengajukan Teori 3 (tiga) Gaya Kepemimpinan yaitu: gaya otoriter, gaya demokratis, dan gaya laissez-faire.

Artikel singkat ini mencoba mengulas bagaimana model gaya kepemimpinan dari Lewin dapat diterapkan dalam konteks SPMI. Penerapan gaya kepemimpinan yang sesuai, InsyaAllah akan membantu untuk mencapai peningkatan mutu yang berkelanjutan di perguruan tinggi.

Teori Tiga Gaya Kepemimpinan

Hasil penelitian Kurt Lewin dan tim kerjanya mengidentifikasi 3 (tiga) gaya kepemimpinan utama, yaitu:

  1. Gaya Kepemimpinan Demokratis (Democratic Leadership):
    • Ciri-Ciri: Pemimpin mendorong partisipasi dan keterlibatan anggota kelompok (tim SPMI) dalam pengambilan keputusan. Diskusi dan masukan dari anggota sangat dihargai. Ide-ide dan kreatifitas sangat dihargai.
    • Konteks SPMI: Gaya ini sangat cocok untuk implementasi SPMI karena mendorong partisipasi dan kolaborasi, meningkatkan rasa memiliki dan komitmen terhadap mutu pendidikan.
  2. Gaya Kepemimpinan Otoriter (Authoritarian Leadership):
    • Ciri-Ciri: Pemimpin (Rektor, Dekan) membuat semua keputusan sendiri, memberikan instruksi yang jelas dan spesifik, serta mengontrol jalannya kegiatan secara ketat.
    • Konteks SPMI: Gaya ini mungkin efektif dalam “situasi darurat” atau ketika keputusan cepat diperlukan untuk mengatasi masalah kualitas yang mendesak. Gaya ini dapat diterapkan bila bawahan cenderung malas, santai dan tidak suka membuat target yang tinggi. Perlu diingat, penggunaan berlebihan gaya ini, dapat mengurangi motivasi dan partisipasi karyawan.
  3. Gaya Kepemimpinan “Memberi Kebebasan” (Laissez-Faire):
    • Ciri-Ciri: Pemimpin memberikan kebebasan (wewenang) penuh kepada anggota kelompok untuk membuat keputusan dan menyelesaikan pekerjaan mereka sendiri, dengan sedikit atau tanpa arahan.
    • Konteks SPMI: Gaya ini bisa efektif di mana anggota tim yang sangat kompeten dan termotivasi bekerja secara mandiri. Karyawan yang mandiri ingin diberi kebebasan untuk aktualisasi diri. Namun perlu berhati hati, pemberian kebebasan yang berlebih, serta kurangnya arahan dan kontrol pimpinan dapat menyebabkan ketidakpastian dan penurunan produktivitas.
Implikasi Gaya Kepemimpinan

Proses “Kaizen” dalam SPMI dilakukan melalui “Siklus PPEPP”, berikut contoh pemilihan gaya kepemimpinan yang sesuai:

  1. Penetapan Standar SPMI (Standard Setting):
    • Contoh Gaya Demokratis: Pimpinan melibatkan seluruh staf akademik dan administratif dalam proses penetapan standar mutu. Diskusi kelompok dan brainstorming dapat digunakan untuk memastikan standar yang ditetapkan realistis dan dapat dicapai.
    • Contoh Gaya Otoriter: Pimpinan menetapkan sendiri standar yang harus dicapai oleh anggota tim (unit kerja). Gaya ini cocok bila pimpinan menguasai semua persoalan (ahli dibidang SPMI), sementara bawahan cenderung malas dan pasif, suka cari target yang gampang.
    • Contoh Gaya Laissez-Faire: Pimpinan memberi kebebasan penuh agar bawahan menetapkan sendiri isi standar, indikator dan target yang harus dicapai. Gaya ini cocok bila bawahan memiliki motivasi berprestasi yang tinggi dan suka tanggung jawab.
  2. Pelaksanaan Standar SPMI (Implementation):
    • Contoh Gaya Demokratis: Pimpinan mendorong kolaborasi dan adaptasi yang diperlukan selama pelaksanaan. Mendiskusikan bagaimana langkah-langkah dan melaksanakan kegiatan penyelenggaraan pendidikan dengan menggunakan Standar SPMI sebagai tolok ukur pencapaian.
    • Contoh Gaya Otoriter: Pimpinan mengambil peran yang lebih otoriter (tegas) untuk memastikan bahwa semua anggota memahami prosedur dan tanggung jawab mereka. Memberikan instruksi dan pengawasan dalam pelaksanaan standar SPMI. Gaya cocok bila bawahan masih belum dewasa, belum memiliki komitmen dan rasa tanggung jawab.
    • Contoh Gaya Laissez-Faire: Pimpinan memberi wewenang penuh dengan sedikit kontrol dalam proses pelaksanaan dan implementasi standar SPMI. Gaya cocok bila bawahan sudah matang, kompeten dan self-driver.
  3. Evaluasi Pelaksanaan Standar (Evaluation):
    • Contoh Gaya Demokratis: Proses evaluasi diusahakan melibatkan seluruh pemangku kepentingan agar lebih efektif. Pimpinan mengadakan pertemuan evaluasi rutin di mana setiap orang dapat memberikan umpan balik dan saran untuk perbaikan. Bawahan memberikan masukan tentang metode evaluasi yang tepat. Masukan terhadap perbaikan AUdit Mutu Internal, Monitoring dan evaluasi (monev) maupun metode assessment.
    • Contoh Gaya Otoriter: Pimpinan memerintahkan dengan tegas kegiatan AMI dan Monev, memantau dengan ketat implementasi pelaksanaannya.
    • Contoh Gaya Laissez-Faire: Pimpinan memberikan delegasi dan wewenang penuh untuk menyelenggarakan kegiatan evaluasi SPMI. Bawahan dibebaskan untuk mengambil keputusan upaya peningkatan proses Audit dan Monev.
  4. Pengendalian (Control):
    • Kepemimpinan Demokratis: Mendorong transparansi dan keterlibatan dalam proses pengendalian dapat meningkatkan komitmen terhadap pemeliharaan standar mutu. Semua tim diajak dan dilibatkan untuk mencari tindakan koreksi, korektif dan preventif yang terbaik.
    • Kepemimpinan Otoriter: Gaya ini dapat dipilih di mana perlu pengendalian ketat untuk memastikan kepatuhan terhadap standar. Pimpinan dengan tegas mengawal pencapaian target standar yang telah ditetapkan, dan langsung memberikan perintah upaya perbaikan yang perlu dilakukan. Namun, penting untuk menjaga keseimbangan agar tidak mengurangi motivasi kerja dosen dan karyawan pelaksana.
    • Contoh Gaya Laissez-Faire: Upaya perbaikan (tindakan korektif) diserahkan sepenuhnya pada tim pelaksana. Pimpinan dapat mengambil gaya ini bila bawahan cukup dewasa, suka tantangan, mandiri dan kreatif.
  5. Peningkatan Standar (Standard Improvement):
    • Kepemimpinan Demokratis: Pimpinan (rektor, ketua, direktur) menggunakan pendekatan kolaboratif untuk terus meningkatkan standar mutu. Diskusi terbuka dan inovasi dapat dihasilkan dari partisipasi aktif seluruh anggota. Anggota diajak mendiskusikan target standar baru yang lebih SMART, target yang lebih relevan dan menantang.
    • Contoh Gaya Otoriter: Bila anak buah menunjukkan gelagat kurang dewasa, pasif, tidak kreatif, malas, maka gaya otoriter dapat digunakan. Bawahan yang “malas” (tipe X) akan cenderung menetapkan target yang rendah dan mudah dicapai tanpa harus bekerja keras. Dalam kondisi ini pimpinan harus mengambil alih peran untuk menetapkan standar yang tinggi.
    • Contoh Gaya Laissez-Faire: Sebaliknya, bila bawahan sangat cerdas, pekerja keras, suka tantangan, maka pimpinan bisa memberikan kebebasan penuh untuk menetapkan “peningkatan standar SPMI”, gaya yang digunakan ini adalah Laissez-Faire, beri mereka kebebasan penuh untuk mandiri dan berkreasi. Pimpinan hanya mengontrol dari jarak jauh.
Kesimpulan

Gaya kepemimpinan yang efektif adalah kunci keberhasilan implementasi SPMI di perguruan tinggi. Dengan menerapkan prinsip-prinsip dari Teori Gaya Kepemimpinan Lewin, pemimpin dapat menyesuaikan pendekatan mereka untuk memenuhi kebutuhan spesifik dalam setiap tahap SPMI.

Setiap perguruan tinggi memiliki tingkat kematangan bawahan yang berbeda beda, tentu memerlukan gaya kepemimpinan yang disesuaikan. Lewin menawarkan 3 (tiga) gaya kepemimpinan.

Kepemimpinan demokratis, dengan kolaborasi, partisipasi dan keterlibatan yang tinggi, umumnya paling efektif untuk mendorong komitmen dan kolaborasi yang diperlukan dalam peningkatan mutu berkelanjutan (kaizen).

Namun, dalam situasi-situasi tertentu, kepemimpinan otoriter (tegas) atau laissez-faire (pelimpahan penuh) juga dapat diterapkan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Stay Relevant!

1
×

Layanan Informasi

× Hubungi Kami