
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Kemajuan teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI), telah merevolusi berbagai sendi-sendi kehidupan, termasuk dunia pendidikan tinggi. Dalam konteks implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), tantangan baru muncul di tengah kebutuhan untuk memadukan kecanggihan teknologi AI dengan sentuhan manusiawi (human relation skills). Pertanyaannya kini bukan hanya apakah pemimpin perguruan tinggi mampu menghadapi perubahan ini, tetapi juga apakah mereka bersedia (mau) menyesuaikan gaya kepemimpinan mereka agar tetap relevan dan efektif di era AI yang terus berkembang.
AI membuka peluang banyak hal untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pekerjaan. Dalam sekejap AI mampu pengumpulan data, analisis, hingga evaluasi mutu pendidikan. Namun, persoalannya meski teknologi ini menawarkan keunggulan signifikan, ia tidak dapat menggantikan peran penting hubungan antar manusia khususnya leadership skills dalam membangun budaya mutu (quality culture) yang kokoh. Untuk itu, keterampilan kepemimpinan untuk memberikan arahan, membimbing, dan mendelegasikan menjadi sangat penting. Gaya kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Paul Hersey dan Ken Blanchard menawarkan pendekatan yang fleksibel. Dengan gaya kepemimpinan situasional memungkinkan pemimpin menghadapi dinamika perubahan teknologi sambil tetap menjaga keterlibatan emosional dan kepercayaan antar anggota tim.
Baca juga: Kampus dan Industri: Mengapa Respons Perguruan Tinggi Jadi Penentu di Era AI?
Era AI sungguh luar biasa, menuntut integrasi teknologi dalam proses SPMI, seperti penerapan siklus PPEPP (penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian dan peningkatan standar) dalam manajemen mutu pendidikan di perguruan tinggi. Contoh integrasi penggunaan perangkat lunak untuk analisis data mutu akademik atau sistem pemantauan pembelajaran, akan sangat membantu efisien pekerjaan. Namun, keberhasilan teknologi ini sangat bergantung pada kesiapan SDM yang memakainya. Gaya kepemimpinan situasional yang dikembangkan Hersey dan Blanchard, memungkinkan pemimpin perguruan tinggi dari rektor, dekan dan struktural lainnya untuk menyesuaikan gaya memimpin berdasarkan tingkat kesiapan teknis dan emosional anak buah. Ketika staf merasa tidak percaya diri dengan teknologi baru, gaya “Directing” (perintah) dapat digunakan untuk memberikan arahan dan bimbingan yang jelas.
Namun, lain lagi, bila anggota tim yang mulai memahami teknologi tetapi masih ragu dan membutuhkan dorongan, pemimpin dapat beralih ke gaya “Coaching” (membimbing). Dengan gaya ini pemimpin memberikan semangat, motivasi dan panduan yang diperlukan agar teknologi yang baru dipelajari dapat bejalan efektif. Adapun, bagi anggota staf yang sudah pandai dan mahir, pemimpin dapat mendelegasikan tanggung jawab penuh dengan gaya “Delegating” (delegasi). Dengan gaya ini memungkinkan anak buah bersemangat untuk bebas menjalankan peran mereka secara mandiri sambil tetap ada pantauan oleh pimpinan. Dalam kasus diatas, pemimpin berperan optimal sebagai jembatan antara inovasi teknologi dengan dinamika kemampuan bawahan yang heterogen.
Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat
Dalam dunia yang semakin dipengaruhi oleh teknologi AI, kekhawatiran akan kehilangan pekerjaan atau ketidakpastian sering kali menjadi bayangan yang menghantui para pegawai. Resistensi terhadap perubahan ini dapat menjadi penghambat keberhasilan implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Di sinilah gaya kepemimpinan “Supporting” (dukungan / merangkul) memainkan peran penting. Dengan berempati dan mendengarkan kekhawatiran staf, pemimpin menunjukkan bahwa AI dirancang bukan untuk menggantikan, namun untuk memudahkan pekerjaan mereka. Dengan gaya ini (supporting), pemimpin dapat membangun kepercayaan dan mengikis keragu-raguan yang muncul.
Lebih jauh lagi, pemimpin yang adaptif harus mampu memanfaatkan teknologi untuk mengurangi tugas-tugas administratif yang repetitif, dengan cara ini, pemimpin memberikan ruang bagi staf untuk fokus pada inovasi dan pengembangan mutu pendidikan (SPMI). Dengan pendekatan gaya situasional, pemimpin tidak hanya mengelola perubahan namun juga mengubah kekhawatiran menjadi peluang. Resistensi (penolakan) yang awalnya ditakuti dapat dirubah menjadi energi untuk menciptakan inovasi dan budaya mutu yang lebih baik.
Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI
Era AI bukan sekadar tentang teknologi, tetapi juga tentang cara kita memimpin, berkomunikasi, dan beradaptasi. Sumber Daya Manusia (SDM) di perguruan tinggi harus mampu memandang teknologi sebagai peluang untuk berkembang, bukan sebagai ancaman. Dengan mengadopsi gaya kepemimpinan situasional, rektor, dekan, dan para pemimpin lainnya dapat memastikan bahwa setiap individu dalam organisasi berkontribusi secara produktif dalam proses Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan).
Transformasi ini memerlukan kesadaran mendalam (awareness) bahwa keberhasilan SPMI tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan AI yang digunakan, namun juga oleh cara AI tersebut diintegrasikan secara harmonis ke dalam ekosistem manusia di perguruan tinggi. Gaya kepemimpinan yang adaptif menjadi kunci untuk menciptakan keseimbangan ideal antara teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan, memperkuat peran pendidikan tinggi sebagai pilar inovasi dan kemajuan.
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Pada akhirnya, tujuan utama SPMI adalah menciptakan budaya mutu yang berkelanjutan. AI dapat membantu dalam menyediakan data dan wawasan yang lebih baik, tetapi manusia tetap menjadi penggerak utama dalam menciptakan perubahan yang berarti. Gaya kepemimpinan situasional memungkinkan pemimpin untuk mengarahkan, mendukung, dan mendelegasikan peran dengan cara yang ideal yang mampu memberdayakan seluruh elemen organisasi.
Di tengah tantangan era AI, pemimpin yang fleksibel dan adaptif akan mampu membangun kolaborasi yang solid antara manusia dan teknologi. Ketika semua pihak merasa didukung, dihargai dan diberdayakan, keberhasilan SPMI bukan lagi sekadar visi, melainkan realitas yang bakal terwujud. Apakah Anda benar-benar siap memimpin tantangan perubahan ini? Stay Relevant!
Baca juga: SPMI dan Teori Kepemimpinan Manajerial Grid
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi merupakan instrumen vital untuk memastikan bahwa institusi pendidikan dapat memberikan layanan pendidikan yang bermutu tinggi sesuai dengan standar nasional dan internasional.
Implementasi SPMI yang efektif memerlukan pendekatan manajerial yang baik, salah satunya adalah inspirasi penerapan teori Manajerial Grid yang dikembangkan oleh Robert Blake dan Jane Mouton.
Teori ini memberikan kerangka kerja untuk menilai dan mengembangkan gaya kepemimpinan yang mampu menyeimbangkan perhatian terhadap produksi (pencapaian standar mutu pendidikan) dan kepuasan karyawan (staf dan dosen).
Artikel ini bertujuan memberikan wawasan pada segenap tim manajemen pendidikan tinggi terkait metode dan upaya menemukan gaya kepemimpinan yang sesuai.
Manajerial Grid adalah sebuah model yang mengidentifikasi 5 (lima) gaya kepemimpinan berdasarkan dua dimensi utama: perhatian terhadap produksi (tasks) dan perhatian terhadap orang (people). Kelima gaya tersebut meliputi:
Gaya kepemimpinan “Team Management” (9,9) dianggap sebagai yang paling efektif karena menyeimbangkan perhatian terhadap target-target standar SPMI dan pemenuhan kebutuhan karyawan (material dan non material). Visi dan misi organisasi tercapai, kepuasan karyawan juga dapat diperoleh.
Integrasi teori Manajerial Grid dapat memberikan inspirasi bagi manajemen perguruan tinggi dalam pengembangan SPMI yang efektif dan efisien.
Sebuah perguruan tinggi “X” di Indonesia telah mengimplementasikan Manajerial Grid dalam pengembangan SPMI mereka. Dengan fokus pada gaya “Team Management,” Pimpinan perguruan tinggi “X” berhasil meningkatkan keterlibatan dosen dan staf dalam proses penjaminan mutu.
Sebagai hasilnya, terdapat peningkatan signifikan dalam kepuasan mahasiswa, akreditasi program studi, dan kualitas penelitian/ pengabdian yang dihasilkan. Visi misi dapat tercapai dan segenap dosen /karyaman merasa puas dengan iklim kerja di organisasi.
Teori Manajerial Grid dari Blake dan Mouton “menawarkan inspirasi” yang berharga dalam pengembangan SPMI di perguruan tinggi. Dengan menyeimbangkan perhatian maksimal terhadap produksi dan karyawan, perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan yang kondusif untuk peningkatan mutu pendidikan.
Penerapan gaya kepemimpinan “Team Management” dapat membantu mengembangkan budaya mutu yang kuat, meningkatkan kolaborasi, dan memastikan adaptasi yang fleksibel terhadap perubahan dan tantangan.
Oleh karena itu, integrasi gaya kepemimpinan “Team Management” dalam SPMI InsyaAllah sangat bermanfaat untuk mencapai keunggulan lembaga pendidikan tinggi. Stay Relevant!
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan mekanisme yang esensial bagi perguruan tinggi untuk memastikan bahwa proses Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat) memenuhi standar mutu yang diinginkan.
Keberhasilan implementasi SPMI sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan yang digunakan.
Kurt Lewin, seorang pakar psikolog, mengajukan Teori 3 (tiga) Gaya Kepemimpinan yaitu: gaya otoriter, gaya demokratis, dan gaya laissez-faire.
Artikel singkat ini mencoba mengulas bagaimana model gaya kepemimpinan dari Lewin dapat diterapkan dalam konteks SPMI. Penerapan gaya kepemimpinan yang sesuai, InsyaAllah akan membantu untuk mencapai peningkatan mutu yang berkelanjutan di perguruan tinggi.
Hasil penelitian Kurt Lewin dan tim kerjanya mengidentifikasi 3 (tiga) gaya kepemimpinan utama, yaitu:
Proses “Kaizen” dalam SPMI dilakukan melalui “Siklus PPEPP”, berikut contoh pemilihan gaya kepemimpinan yang sesuai:
Gaya kepemimpinan yang efektif adalah kunci keberhasilan implementasi SPMI di perguruan tinggi. Dengan menerapkan prinsip-prinsip dari Teori Gaya Kepemimpinan Lewin, pemimpin dapat menyesuaikan pendekatan mereka untuk memenuhi kebutuhan spesifik dalam setiap tahap SPMI.
Setiap perguruan tinggi memiliki tingkat kematangan bawahan yang berbeda beda, tentu memerlukan gaya kepemimpinan yang disesuaikan. Lewin menawarkan 3 (tiga) gaya kepemimpinan.
Kepemimpinan demokratis, dengan kolaborasi, partisipasi dan keterlibatan yang tinggi, umumnya paling efektif untuk mendorong komitmen dan kolaborasi yang diperlukan dalam peningkatan mutu berkelanjutan (kaizen).
Namun, dalam situasi-situasi tertentu, kepemimpinan otoriter (tegas) atau laissez-faire (pelimpahan penuh) juga dapat diterapkan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Stay Relevant!
Layanan Informasi