• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Materi SPMI

SPMI dan Kecerdasan Buatan

Kampus dan Industri: Mengapa Respons Perguruan Tinggi Jadi Penentu di Era AI?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Di era kecerdasan buatan (AI) yang terus tumbuh dan berkembang, hubungan antara perguruan tinggi dan dunia industri menjadi semakin kritis. Perubahan drastis yang dipicu oleh otomatisasi dan teknologi canggih telah menggeser kebutuhan sumber daya manusia (SDM), menuntut keterampilan baru yang lebih kompleks, kreatif dan multidisiplin. Dampaknya terasa nyata, dengan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda berbagai industri sebagai respons terhadap disrupsi teknologi. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan dasar: sudahkah perguruan tinggi merespons dengan tepat dan cepat kebutuhan dunia usaha dan industri di era AI? Dan bagaimana respons ini dapat menentukan keberhasilan lulusan serta menjaga relevansi institusi pendidikan tinggi di tengah perubahan yang begitu dinamis?

Kolaborasi dan kerja sama antara kampus dan industri di era AI tidak lagi sekadar tentang mencetak tenaga kerja yang siap memenuhi tuntutan pasar, namun juga tentang membentuk lulusan yang mampu menjadi inovator, problem solver, dan pemimpin perbaikan di masa depan. Perguruan tinggi harus bergerak cepat (speed) untuk beradaptasi dengan lanskap yang terus berubah ini, menyelaraskan kurikulum dan metode pengajaran dengan kebutuhan industri berbasis teknologi. Artikel ini mengajak kita untuk mengeksplorasi bagaimana perguruan tinggi dapat merespons dinamika ini dengan lebih cerdas dan strategis, serta mengapa kecepatan dan ketepatan respons menjadi penentu keberhasilan institusi.

Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat

Tantangan Era AI

Revolusi industri 4.0, yang ditandai dengan dominasi kecerdasan buatan (AI), big data, dan otomatisasi, telah menciptakan disrupsi dan lanskap baru dalam dunia kerja. Pekerjaan tradisional yang dahulu menjadi tulang punggung ekonomi kini berubah semua, perlahan tapi pasti tergantikan oleh teknologi canggih. Di sisi lain, kebutuhan akan keterampilan baru seperti analisis data, pemrograman, pembelajaran mesin, dan pemikiran kritis terus meningkat. Tak hanya itu, kemampuan emosional atau soft skills, seperti komunikasi, kerja tim, kreativitas, dan adaptabilitas, semakin menjadi penentu keberhasilan, melengkapi keunggulan teknis (technical skills) yang dimiliki individu.

Bagi perguruan tinggi, tantangan ini tentu harus menjadi panggilan untuk terus melakukan pembaruan besar dalam kurikulum, sarana prasarana dan pendekatan pengajaran. Tidak cukup hanya menawarkan program studi berbasis teknologi, institusi harus melatih mahasiswa untuk berpikir kritis, kreatif, bekerja secara kolaboratif dalam tim multidisiplin, serta mampu mengintegrasikan inovasi teknologi dengan solusi nyata bagi masyarakat. Respons yang lambat terhadap perubahan ini bukan hanya memperlebar kesenjangan, namun juga dapat membuat lulusan kehilangan relevansi di dunia kerja era AI yang bergerak sangat dinamis.

Baca juga: Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?

Kemitraan Kampus dan Industri

Di era kecerdasan buatan (AI), perguruan tinggi perlu memperkuat partnership dengan dunia industri dan dunia usaha untuk memastikan relevansi program pendidikan. Kerja sama ini dapat mencakup pengembangan kurikulum berbasis teknologi, penelitian bersama dalam bidang AI, hingga penyelenggaraan pelatihan dan magang yang melibatkan para profesional industri. Melalui kolaborasi semacam ini, mahasiswa tidak hanya belajar teori di laboratorium dan ruang kelas, namun juga mendapatkan pengalaman praktik langsung di lapangan. Pengalaman praktis ini menjadi elemen penting dalam menciptakan proses pembelajaran yang holistik dan aplikatif.

Selain itu, teknologi berbasis AI dapat menjadi jembatan untuk memperkuat hubungan partnership antara perguruan tinggi dan dunia industri. Platform digital dapat digunakan untuk memantau kebutuhan industri secara real-time, membantu perguruan tinggi merancang program kegiatan yang sesuai dengan tren dan tuntutan global. Program pembelajaran berbasis AI memungkinkan penyesuaian kurikulum, metode pengajaran dengan perkembangan terkini, menjadikan proses belajar mengajar lebih relevan. Namun, untuk mewujudkan semua ini, perguruan tinggi juga harus siap dengan SDM yang kompeten serta sarana prasarana yang memadai. Dengan langkah ini, perguruan tinggi tidak hanya memperkuat posisinya sebagai pusat pendidikan dan inovasi, namun juga sebagai mitra strategis dalam ekosistem industri yang terus berkembang.

Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?

Responsif dan fokus pada Masa Depan

Perguruan tinggi yang responsif terhadap perubahan di era kecerdasan buatan (AI) tidak hanya mencetak lulusan yang siap kerja, namun juga menjadi pelopor dalam menciptakan inovasi yang relevan dengan kebutuhan zaman. Respons yang tepat dan cepat mencakup pembaruan kurikulum, investasi pada teknologi pembelajaran mutakhir, serta pembentukan jejaring kerja yang erat dengan industri terkait. Lebih dari itu, perguruan tinggi diharapkan mampu menjadi pioner menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan di sektor yang belum ada saat ini, namun akan menjadi kebutuhan skills untuk masa depan. Hal ini akan menempatkan institusi sebagai perguruan tinggi unggulan yang visioner.

Namun, respons ini tidak cukup hanya sekadar cepat. Perguruan tinggi juga harus memastikan bahwa inovasi yang dilakukan tidak hanya menjawab kebutuhan saat ini, namun juga memiliki dampak berkelanjutan. Salah satu elemen kunci untuk mencapai visi ini adalah melalui proses evaluasi dan umpan balik (feedback) yang melibatkan mahasiswa, dosen, staf serta mitra industri. Proses ini memastikan bahwa setiap program tetap relevan, efektif, dan adaptif terhadap perubahan yang terjadi.

Penting pula bagi perguruan tinggi untuk secara berkala memperbarui dokumen mutu pendidikan mereka, seperti visi, misi, kebijakan, dan standar dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Dokumen-dokumen ini adalah peta jalan yang mengarahkan seluruh aktivitas akademik dan pengelolaan institusi, sekaligus menjadi landasan dalam menjawab tantangan era AI. Dengan melakukan pembaruan (update) yang terus menerus, perguruan tinggi dapat menjaga arah strategis yang sesuai dengan perkembangan zaman, memastikan bahwa misi unik (mission differentiation) mereka tetap relevan, kebijakan tetap proaktif, dan standar mutu SPMI terus ditingkatkan. Respons yang terarah dan didukung oleh dokumen mutu yang kuat inilah yang akan membawa perguruan tinggi ke masa depan yang lebih optimis.

Baca juga: Kebijakan SPMI: Pilar Utama Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi

Penutup

Di era AI, respons perguruan tinggi terhadap kebutuhan dunia industri menjadi lebih krusial dari tahun-tahun sebelumnya. Kolaborasi yang erat, penggunaan teknologi yang cerdas, dan pendekatan inovatif dapat memastikan bahwa lulusan tidak hanya relevan, namun juga siap memimpin perubahan di masa depan. Perguruan tinggi yang responsif terhadap dinamika industri di era AI akan memainkan peran penting sebagai katalisator inovasi dan pembangunan. Keberhasilan institusi kini diukur dari kemampuannya untuk menjembatani pengetahuan dengan praktik, sekaligus menciptakan karya nyata bagi dunia yang terus berubah. Stay Relevant!

Baca juga: Lima Prinsip SPMI: Fondasi Kokoh Menuju Keunggulan Institusi


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Servant Leadership

Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Perguruan tinggi sering kali dipandang oleh masyarakat sebagai pusat inovasi, pusat pembelajaran, dan pendorong perubahan sosial. Telah kita maklumi bersama, bahwa keberhasilan institusi pendidikan tinggi tidak terlepas dari peran krusial dari segenap dosen dan tenaga kependidikan. Mereka adalah pilar utama yang memastikan roda akademik, non-akademik, dan administrasi berputar dengan lancar, menjadikan visi dan misi perguruan tinggi bukan sekadar dokumen, namun sebagai acuan, inspirasi dan arah kebijakan yang harus diwujudkan setiap hari.

Meski demikian, pertanyaan mendasar tetap muncul: seberapa besar perhatian yang diberikan institusi perguruan tinggi untuk melayani dan memuliakan mereka dengan sepenuh hati? Dosen dan tenaga kependidikan adalah stakeholder kunci yang, jika dipuaskan kebutuhan dan keinginannya, dapat bekerja dengan loyalitas tinggi dan motivasi yang tak tergoyahkan. Artikel ini akan mengupas bagaimana perguruan tinggi dapat merawat, memberdayakan, dan menciptakan kebahagiaan bagi mereka—karena pada akhirnya, keberhasilan institusi bergantung pada kebahagiaan, motivasi dan semangat mereka yang penuh berdedikasi.

Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?

Baca juga: SPMI dan Teori Motivasi Maslow

Peran Strategis Dosen di Kampus

Dosen adalah ujung tombak dalam mencetak generasi penerus yang unggul. Lebih dari sekadar pengajar, mereka adalah peneliti yang menggali pengetahuan baru, mentor yang membimbing mahasiswa menuju potensinya, dan inspirator yang menanamkan motivasi dan semangat pembelajaran. Dalam menjalankan peran ini, dosen menghadapi tantangan yang kompleks, mulai dari beban mengajar dan target penelitian hingga kewajiban pengabdian kepada masyarakat. Tidak jarang, tanggung jawab administratif juga menambah beban mereka. Untuk mendukung peran strategis ini, perguruan tinggi harus menyediakan fasilitas yang memadai, seperti ruang kerja yang tenang dan nyaman, kemudahan akses ke jurnal internasional, serta dukungan penuh untuk menghadiri konferensi atau pelatihan guna meningkatkan kapasitas mereka.

Namun, pelayanan kepada dosen tidak cukup hanya dengan menyediakan fasilitas fisik. Mereka juga membutuhkan pengakuan atas kontribusi yang telah diberikan. Penghargaan formal, sistem reward yang adil dan layak, serta kesempatan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan strategis di kampus adalah bentuk penghormatan yang menunjukkan bahwa mereka dihargai sebagai mitra utama. Dengan pendekatan yang inklusif ini, dosen tidak hanya merasa didukung secara profesional, namun juga dihormati secara personal, menjadikan mereka pendorong utama kemajuan perguruan tinggi.

Baca juga: SPMI dan Teori Motivasi ERG

Baca juga: Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?

Tenaga Kependidikan dan Keberhasilan Akademik

Sementara dosen sering menjadi “wajah” perguruan tinggi, tenaga kependidikan adalah penopang (suporting) tak terlihat di balik layar yang memastikan roda institusi terus berputar dengan lancar. Mereka mengelola administrasi, mendukung operasional kampus, dan menjadi penghubung penting antara mahasiswa, dosen, serta manajemen. Tanpa kontribusi dan peran mereka, sistem perguruan tinggi tidak akan mampu berjalan dengan efektif dan efisien.

Oleh sebab itu, perguruan tinggi harus memberikan perhatian serius kepada keinginan dan kebutuhan tenaga kependidikan. Cintai, layani dan hormati mereka sebagai salah satu stakeholder intenal yang penting. Berikan pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan keterampilan dan motivasi mereka. Langkah ini tidak hanya memperkuat motivasi dan kinerja individu, namun juga memperkokoh eksistensi institusi. Lebih dari itu, perguruan tinggi perlu menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan nyaman, di mana tenaga kependidikan merasa dihormati, didukung, dan memiliki kesempatan untuk berkembang. Kesejahteraan mereka bukan hanya soal gaji atau tunjangan yang adil, namun juga tentang membangun budaya kerja yang inklusif, suportif, dan berorientasi pada kualitas kehidupan kerja (Quality of Work Life/QWL). Dengan demikian, tenaga kependidikan akan semakin setia, loyal dan dapat memberikan dedikasi yang terbaik.

Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan

Baca juga: Akreditasi: Simbol atau Substansi?

Membangun Ekosistem Akademik

Dosen dan tenaga kependidikan adalah dua elemen yang saling melengkapi dalam ekosistem perguruan tinggi, bekerja bersama untuk memastikan keberlangsungan visi dan misi institusi. Untuk melayani mereka dengan sepenuh hati, perguruan tinggi perlu mengadopsi pendekatan yang holistik. Institusi perlu mendengarkan dan berempati terhadap harapan dan kebutuhan mereka, memberikan umpan balik (feedback) yang membangun, serta menyediakan sumber daya yang memadai untuk mendukung pekerjaan mereka. Kolaborasi yang erat antara manajemen dan stakeholder internal ini akan menciptakan lingkungan kerja yang produktif, harmonis, dan berkelanjutan.

Dengan memberikan perhatian yang tulus kepada dosen dan tenaga kependidikan, perguruan tinggi tidak hanya meningkatkan budaya mutu, namun juga memperkuat reputasi sebagai institusi yang adaptif dan siap menghadapi tantangan masa depan. Ketika mereka merasa dihargai dan didukung, semangat untuk berkontribusi pun akan tumbuh, memberikan dampak yang besar tidak hanya bagi mahasiswa, tetapi juga bagi masyarakat luas yang menjadi bagian dari ekosistem pendidikan tinggi.

Baca juga: Teori 2 Faktor: Memadukan SPMI dengan Motivasi Intrinsik

Baca juga: Siapa Saja Stakeholder Perguruan Tinggi? Mengenal, Memahami dan Melayani

Penutup

Dosen dan tenaga kependidikan bukan sekadar pekerja di kampus, mereka adalah pilar utama yang menopang keberhasilan institusi pendidikan tinggi. Mereka bukan hanya mendukung roda akademik dan administratif, namun juga memberikan jiwa pada ekosistem pendidikan. Melayani mereka dengan cermat berarti menyediakan fasilitas yang nyaman, dukungan yang berkelanjutan, dan pengakuan yang tulus atas kontribusi mereka. Dengan menciptakan ruang untuk tumbuh dan berkembang, perguruan tinggi akan mampu membangun ekosistem akademik yang inklusif, berkelanjutan, dan penuh makna.

Keberhasilan sebuah kampus tidak hanya diukur dari pencapaian akademik semata, namun juga dari bagaimana ia menghargai individu-individu yang dengan dedikasi dan semangatnya ikut membangun institusi. Karena sejatinya, di balik setiap mahasiswa yang berhasil, terdapat kerja keras dosen dan tenaga kependidikan yang tak pernah lelah mendukung. Sebagaimana Maya Angelou pernah berkata, “People will forget what you said, people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel.” Dengan menghargai, membahagiakan dan melayani mereka dengan sepenuh hati, perguruan tinggi menciptakan fondasi yang kuat untuk masa depan yang lebih cerah. Stay Relevant!

Baca juga: Knowledge Management: Rekomendasi untuk Revisi Permendikbudristek 53 Tahun 2023

Baca juga: Kemalasan Sosial: Musuh Tersembunyi SPMI


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Pengabdian pada Masyarakat

Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Perguruan tinggi tidak hanya menjadi pusat pendidikan dan penelitian, tetapi juga memikul tanggung jawab besar untuk melayani, menghormati dan membahagiakan masyarakat. Sebagai salah satu stakeholder utama, masyarakat menaruh harapan besar terhadap institusi pendidikan tinggi: membantu memecahkan berbagai persoalan sosial, memberdayakan komunitas, dan meningkatkan kualitas hidup. Namun, pertanyaan kritis terus muncul: sejauh mana perguruan tinggi mampu memenuhi harapan ini secara efektif dan berkelanjutan? Apakah kontribusi yang diberikan benar-benar signifikan atau hanya sebatas formalitas?

Pengabdian kepada masyarakat bukan sekadar kewajiban moral, melainkan bagian penting dari Tridharma Perguruan Tinggi. Melalui program-program pengabdian, perguruan tinggi dapat berperan sebagai katalisator perubahan, membangun hubungan harmonis dengan komunitas sekitar, dan menciptakan dampak yang nyata serta berkelanjutan. Sebuah perguruan tinggi yang berhasil melayani masyarakat tidak hanya membuktikan relevansi dirinya, namun juga meletakkan landasan bagi kemajuan sosial yang lebih luas.

Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat

Masyarakat sebagai Mitra

Masyarakat (public) bukan sekadar penerima manfaat dari program perguruan tinggi, tetapi merupakan mitra aktif dalam proses pengabdian. Ketika perguruan tinggi melaksanakan program-program pengabdian pada masyarakat (PkM), seperti bakti sosial, pelatihan keterampilan atau penyuluhan, masyarakat tidak hanya menerima hasilnya, namun juga berkontribusi sebagai tim kerja yang memberikan masukan dan umpan balik berharga. Peran aktif masyarakat ini memastikan bahwa inisiatif dan program yang dijalankan benar-benar relevan, tepat sasaran dengan kebutuhan lokal dan memiliki dampak jangka panjang yang berkelanjutan.

Lebih dari itu, melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program menciptakan rasa kepemilikan yang kuat. Kolaborasi yang harmonis semacam ini tidak hanya mempererat hubungan antara kampus dan komunitas, namun juga membangun kepercayaan (trust) yang menjadi landasan kokoh bagi sinergi yang lebih besar di masa depan. Dengan pendekatan ini, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa program-program PkM yang dirancang tidak hanya menjawab kebutuhan, namun juga selaras dengan aspirasi masyarakat. Harapannya, institusi akan semakin dihormati, dicintai dan disayangi oleh masyarakat.

Untuk mencapai hal tersebut, perguruan tinggi perlu lebih sering hadir di tengah komunitas lokal. Dialog langsung dengan masyarakat memungkinkan perguruan tinggi memahami lebih dalam problematika yang mereka hadapi. Dari sini, sinergi yang efektif dan efisien dapat dibangun. Program kerja hendaknya disusun melalui kombinasi pendekatan bottom-up dan top-down yang terintegrasi, sehingga mampu menjembatani kebutuhan masyarakat dengan visi dan misi unik perguruan tinggi (mission differentiation). Dengan cara ini, pengabdian kepada masyarakat (PkM) bukan hanya menjadi kewajiban formal, namun merupakan program kerja yang dibangun dengan niat tulus untuk memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat luas.

Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?

Inovasi Kesejahteraan Sosial

Di era modern ini, perguruan tinggi memiliki banyak peluang untuk mengintegrasikan inovasi teknologi dalam pelayanan kepada masyarakat. Teknologi tepat guna adalah tools yang sangat berharga bila dirancang dengan baik. Contohnya, penggunaan aplikasi digital untuk memberikan pelatihan keterampilan, seminar daring, atau akses ke informasi kesehatan yang vital. Teknologi ini memungkinkan perguruan tinggi menjangkau masyarakat yang lebih luas, termasuk di daerah terpencil, sekaligus meningkatkan efektivitas program yang dijalankan. Misalnya pengembangkan Massive Open Online Courses (MOOCs), sebagai platform pembelajaran online yang praktis, bisa diakses dari mana saja dengan waktu yang fleksibel.

Namun, teknologi saja belum cukup. Perguruan tinggi harus memastikan bahwa inovasi yang dihadirkan tetap berlandaskan pendekatan humanis. Masyarakat harus merasa didengar dan dihormati dalam setiap proses, sehingga teknologi menjadi alat untuk mempererat hubungan, bukan sekadar alat distribusi satu arah.

Baca juga: Akreditasi: Simbol atau Substansi?

Tantangan dalam Melayani Masyarakat

Melayani masyarakat adalah tugas mulia yang penuh tantangan. Keterbatasan anggaran, rendahnya motivasi untuk berbagi, koordinasi antar pihak yang tidak selalu sejalan, serta kesenjangan antara harapan dan realitas sering kali menjadi hambatan dalam menjalankan program pengabdian. Untuk mengatasi ini, perguruan tinggi perlu mengadopsi pendekatan kolaboratif yang melibatkan berbagai elemen, seperti pemerintah daerah, organisasi keagamaan, ormas, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan sektor swasta. Kolaborasi lintas sektor ini tidak hanya membantu mengatasi keterbatasan sumber daya, tetapi juga memperluas jangkauan serta meningkatkan dampak program pengabdian.

Selain itu, evaluasi menjadi langkah penting yang tidak boleh diabaikan. Perguruan tinggi harus melibatkan masyarakat dalam proses evaluasi untuk memahami sejauh mana program yang dijalankan relevan dan memberikan manfaat nyata. Dengan mendengar langsung umpan balik dari komunitas, perguruan tinggi dapat terus memperbaiki dan menyesuaikan program mereka agar lebih efektif dan sesuai kebutuhan. Pendekatan ini memastikan bahwa pengabdian kepada masyarakat tidak hanya menjadi formalitas, tetapi sebuah usaha yang benar-benar memberikan dampak positif dan berkelanjutan.

Baca juga: Siapa Saja Stakeholder Perguruan Tinggi? Mengenal, Memahami dan Melayani

Penutup

Masyarakat sebagai stakeholder adalah elemen utama dalam ekosistem pendidikan tinggi. Perguruan tinggi yang benar-benar melayani masyarakat tidak boleh hanya menjalankan program pengabdian sebagai formalitas atau kewajiban administratif belaka, namun harus berkomitmen penuh untuk menciptakan dampak nyata yang dirasakan oleh komunitas. Dengan semangat kolaborasi yang erat, inovasi yang relevan, dan pendekatan humanis yang tulus, perguruan tinggi dapat menjadi pilar kokoh dalam membangun masyarakat madani yang lebih sejahtera, mandiri, dan berdaya.

Pada akhirnya, keberhasilan sebuah perguruan tinggi tidak hanya ditentukan oleh peringkat akreditasi atau prestasi akademik yang diraihnya, namun oleh seberapa besar kontribusi nyata terhadap kemajuan sosial, kemanusiaan dan kesejahteraan masyarakat. Perguruan tinggi yang mampu menjembatani kesenjangan antara teori ilmu pengetahuan dengan kebutuhan masyarakat. Perguruan tinggi yang berperan lebih dari sekadar institusi biasa—ia menjadi katalisator perubahan yang memberi makna pada setiap langkahnya.

Sebagai penutup, perguruan tinggi tidak boleh menjadi “menara gading” yang jauh dari realitas dan kebutuhan masyarakat. Sebaliknya, ia harus menjadi mitra sejati yang dekat dengan komunitas, hadir dengan solusi, dan siap berempati untuk mendengarkan. Dengan demikian, perguruan tinggi tidak hanya mencetak lulusan yang unggul, namun juga membangun peradaban yang lebih baik bagi generasi mendatang. Stay Relevant!

Baca juga: Permendikbudristek 53/2023: Mengapa ‘Budaya Mutu’ Harus Jadi Fokus Utama?


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Stakeholder

Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Di tengah berbagai tuntutan yang dihadapi perguruan tinggi, mahasiswa sering diakui sebagai stakeholder utama, bahkan disebut sebagai stakeholder nomor satu. Mereka bukan sekadar peserta pendidikan, tetapi juga alasan keberadaan institusi pendidikan tinggi. Mahasiswa adalah penerima manfaat utama dari proses belajar mengajar sekaligus wajah masa depan bangsa, kader yang akan menentukan arah perjalanan negeri ini. Namun, pertanyaan yang tetap relevan adalah: apakah mahasiswa benar-benar menjadi pusat perhatian kampus? Apakah perguruan tinggi telah memberikan layanan terbaik untuk mereka? Atau justru mahasiswa hanya dianggap sebagai angka dalam laporan institusional?

Dalam kenyataannya, banyak perguruan tinggi masih fokus pada aspek administratif seperti akreditasi, peringkat, dan kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah. Di tengah perhatian yang terpusat pada indikator-indikator formal ini, kebutuhan dan pengalaman mahasiswa sering kali berada di pinggiran. Kondisi ini memunculkan dilema mendalam: sejauh mana kampus benar-benar memandang dan memperlakukan mahasiswa sebagai stakeholder terpenting, bukan sekadar komponen statistik belaka.

Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI

Mahasiswa: Antara Prioritas dan Formalitas

Sebagai stakeholder utama, mahasiswa memiliki hak fundamental untuk menerima pendidikan yang bermutu tinggi, relevan dengan tantangan zaman, dan memberikan dampak nyata. Mereka bukan sekadar pengguna layanan pendidikan, melainkan mitra dalam ekosistem akademik yang kompleks. Mahasiswa hadir dengan membawa harapan, ambisi, dan mimpi yang seharusnya dipupuk melalui kurikulum yang inovatif, fasilitas yang mendukung, serta interaksi yang penuh makna dengan para dosen sebagai pembimbing intelektual dan pembimbing moral.

Namun, kenyataan sering kali berbicara lain. Mahasiswa kerap merasa menjadi objek dari sistem pendidikan, sekadar peserta pasif, bukan subjek yang memiliki suara. Kurikulum yang terlalu kaku, akses yang terbatas terhadap sumber daya, dan minimnya komunikasi dua arah antara mahasiswa, dosen, dan pengelola kampus menjadi isu yang terus terulang. Dalam situasi seperti ini, mahasiswa sering kali tidak diperlakukan sebagai stakeholder utama, melainkan hanya sebagai angka dalam statistik atau formalitas demi memenuhi indikator keberhasilan institusi. Keadaan ini bukan saja merugikan mahasiswa, namun juga mengaburkan esensi sejati pendidikan tinggi sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya potensi individu.

Baca juga: Benchmarking: Membuka Jalan Menuju SPMI Unggul

Teori Motivasi Penguatan

Apakah Kampus Mendengar Suara Mahasiswa?

Di era kecerdasan buatan (AI) yang terus berkembang, kebutuhan mahasiswa melampaui sekadar fasilitas fisik. Mereka mendambakan layanan yang cepat, efektif, dan responsif untuk mendukung proses pembelajaran mereka. Teknologi diharapkan hadir sebagai alat yang mempermudah akses pendidikan, memberikan bimbingan karier yang relevan, dan menyediakan dukungan emosional di tengah tekanan akademik serta tantangan psikologis yang semakin kompleks. Namun, sayangnya, tidak semua perguruan tinggi menyediakan mekanisme yang memadai untuk mendengar dan memenuhi kebutuhan tersebut secara komprehensif.

Perguruan tinggi yang benar-benar ingin melayani mahasiswa harus berkomitmen pada transparansi dan inklusivitas. Saluran komunikasi yang terbuka—seperti forum diskusi, survei kepuasan, kotak saran daring, atau dialog langsung dengan manajemen—bukan hanya menjadi formalitas, tetapi sarana untuk mempererat hubungan antara mahasiswa dan pengelola kampus. Lebih dari sekadar mendengar, perguruan tinggi harus mampu bertindak berdasarkan masukan yang diterima, dengan melakukan koreksi dan langkah preventif yang nyata. Melalui pendekatan ini, mahasiswa tidak hanya merasa didengar, namun juga dihargai, dihormati, dan dilibatkan secara aktif dalam membentuk mutu pendidikan yang sesuai dengan harapan dan kebutuhan mereka. Dengan demikian, kampus menjadi tempat yang benar-benar mencerminkan aspirasi dan potensi generasi muda.

Baca juga: Connecting The Dots: Transformasi SPMI melalui Kolaborasi Tim

Mengintegrasikan Mahasiswa dalam Pengambilan Keputusan

Salah satu cara paling tepat untuk menegaskan bahwa mahasiswa adalah stakeholder utama adalah dengan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Mahasiswa seharusnya memiliki representasi (perwakilan) yang kuat di berbagai forum strategis, seperti perancangan kurikulum, evaluasi layanan, hingga pengembangan fasilitas kampus. Dengan partisipasi aktif mereka, kebijakan kampus tidak hanya menjadi lebih relevan, namun juga mencerminkan kebutuhan dan aspirasi mereka yang sebenarnya. Lebih dari itu, keterlibatan ini mampu menumbuhkan rasa memiliki dan loyalitas yang mendalam terhadap institusi.

Ketika mahasiswa diberi ruang untuk berkontribusi, mereka tidak lagi sekadar menjadi penerima manfaat, tetapi juga partner sejati dalam mengelola kampus. Mereka membawa perspektif segar yang berharga dalam menghadapi tantangan pendidikan modern. Pendekatan ini tidak hanya memberikan keuntungan bagi mahasiswa, namun juga meningkatkan kredibilitas perguruan tinggi sebagai institusi yang responsif, inklusif, dan relevan dengan generasi muda. Dalam lingkungan seperti ini, kampus tidak hanya menjadi tempat belajar, namun juga menjadi rumah bagi inovasi dan kolaborasi yang bermutu.

Baca juga: Tools Canggih untuk SPMI: Tips Mengurai Benang Kusut

Penutup

Mahasiswa adalah inti dari keberadaan perguruan tinggi. Mereka bukan sekadar penerima layanan, tetapi juga partner strategis yang memiliki suara penting dalam menentukan arah, strategi dan masa depan institusi. Dengan menempatkan mahasiswa di pusat perhatian, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa setiap kebijakan, standar, program, dan layanan dirancang untuk menjawab kebutuhan nyata mereka, sekaligus memberikan dampak positif yang berkelanjutan. Dalam hubungan ini, mahasiswa bukan hanya angka statistik dalam laporan tahunan, tetapi jiwa-jiwa yang menghidupkan dinamika akademik.

Baca juga: Inovasi atau Mati: Integrasi PPEPP dengan Strategic Quality Management

Perguruan tinggi yang benar-benar memahami, berempati dan melayani mahasiswa dengan sepenuh hati akan menciptakan ekosistem pendidikan yang inklusif, memberdayakan, dan bermakna. Keberhasilan sebuah kampus tidak semata-mata diukur dari akreditasi atau peringkat yang diraih, tetapi dari seberapa jauh institusi tersebut mampu memenuhi ekspektasi dan menginspirasi stakeholder utamanya: mahasiswa. Karena pada akhirnya, masa depan pendidikan tidak hanya terletak pada keberadaan sistem, namun pada bagaimana sistem tersebut membangun jiwa-jiwa manusia. Stay Relevant!

“Pendidikan sejati adalah yang memuliakan jiwa dan menghidupkan semangat pembelajarnya.”


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Akreditasi 2

Akreditasi: Simbol atau Substansi?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Akreditasi telah menjadi simbol penting bagi perguruan tinggi dalam menunjukkan peringkat mutu mereka. Mendapatkan akreditasi unggul sering kali dianggap sebagai puncak prestasi yang mencerminkan kinerja institusi. Hanya saja, di balik hal tersebut, muncul pertanyaan: apakah akreditasi hanya sekadar simbol, atau benar-benar mencerminkan substansi mutu pendidikan yang dapat dipercaya?

Institusi perguruan tinggi sering kali menghadapi dilema dalam menyeimbangkan antara pemenuhan regulasi dan menciptakan dampak nyata. Ketika akreditasi terlalu fokus pada pengumpulan dokumen dan kepatuhan prosedur, esensi pendidikan tinggi sebagai penggerak perubahan dan inovasi sering kali terpinggirkan (kurang menjadi fokus utama).

Baca juga: Siapa Saja Stakeholder Perguruan Tinggi? Mengenal, Memahami dan Melayani

Akreditasi: Beban Administratif?

Akreditasi secara umum bertujuan memastikan bahwa perguruan tinggi memenuhi standar / kriteria tertentu dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (PkM). Dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah (BAN-PT atau LAM), akreditasi membantu memberikan kerangka kerja (framework) yang seragam untuk menilai mutu institusi.

Kendati demikian, proses akreditasi sering kali menjadi beban administratif. Perguruan tinggi, dengan sumber daya yang relatif terbatas, fokusnya “beralih” dari upaya menciptakan inovasi dan mutu, menjadi sekadar memenuhi indikator teknis dan persyaratan akreditasi. Institusi berlomba-lomba meraih predikat unggul, namun apakah mutu pendidikan yang dicapai benar-benar dirasakan manfaatnya bagi mahasiswa dan masyarakat luas?

Baca juga: Jangan Biarkan Korupsi Menodai SPMI: Langkah Preventif bagi Perguruan Tinggi

Regulasi: Memaksa atau Mengarahkan?

Pemerintah memainkan peran penting dalam menetapkan standar melalui kebijakan seperti Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN-Dikti). Regulasi ini bertujuan untuk memastikan standar mutu pendidikan tinggi tetap terjaga. Hanya saja, bila terlalu banyak persyaratan untuk mematuhi regulasi dapat membuat perguruan tinggi kehilangan fleksibilitas untuk berinovasi.

Alih-alih menjadi katalis untuk mendorong perubahan, regulasi sering kali dianggap sebagai beban administrasi. Perguruan tinggi terjebak pada upaya pemenuhan dokumen, sementara nilai-nilai inti pendidikan yang jauh lebih relevan terpaksa terpinggirkan. Regulasi yang baik seharusnya mampu memotivasi, mengarahkan dan memfasilitasi perguruan tinggi untuk mencapai mutu secara substansial, bukan sekadar kepatuhan administratif.

Baca juga: Permendikbudristek 53/2023: Mengapa ‘Budaya Mutu’ Harus Jadi Fokus Utama?

Mahasiswa dan Masyarakat: Hanya Penonton?

Salah satu tolok ukur keberhasilan pendidikan tinggi adalah sejauh mana memberi kontribusi pada mahasiswa dan masyarakat. Akan tetapi, ketika fokus pada akreditasi menjadi dominasi, pengalaman belajar mahasiswa secara keseluruhan sering kali terabaikan. Kurikulum bisa jadi lebih disesuaikan untuk memenuhi tuntutan standar akreditasi nasional daripada membekali mahasiswa dengan skills yang relevan di tingkat lokal.

Selain itu, program pengabdian kepada masyarakat (PkM) sering kali hanya menjadi formalitas untuk memenuhi persyaratan akreditasi. Sehingga, kontribusi nyata pada permasalahan masyarakat sering kali kurang optimal. Inilah hal-hal yang menjadi tantangan bersama untuk segera dicari solusi pemecahannya.

Baca juga: Evaluasi Permendikbudristek 53/2023: Kecepatan versus Akuntabilitas

Menemukan Substansi

Tidak bisa disangkal, akreditasi adalah elemen penting yang tidak dapat dihindari oleh perguruan tinggi. Namun, akreditasi seharusnya tidak hanya menjadi tujuan akhir, melainkan sarana untuk menciptakan manfaat yang lebih besar bagi para stakeholder. Dengan pendekatan yang tepat, akreditasi dapat bertransformasi dari sekadar simbol administratif menjadi alat yang mendorong perbaikan berkelanjutan. Perguruan tinggi harus mampu menemukan keseimbangan antara memenuhi tuntutan regulasi dengan menciptakan dampak nyata melalui pendidikan yang inovatif dan bermutu tinggi.

Kuncinya terletak pada integrasi misi unik perguruan tinggi (mission differentiation) dengan kebutuhan masyarakat serta stakeholder lainnya. Melalui kemitraan strategis, kolaborasi lintas sektor, dan sinergi yang harmonis, perguruan tinggi dapat membuktikan bahwa mereka tidak hanya mengejar pengakuan formal, tetapi juga menanamkan semangat perbaikan berkelanjutan (continuous improvement) dalam setiap langkah mereka. Dengan semangat ini, perguruan tinggi tidak hanya memenuhi ekspektasi, tetapi juga menjadi agen perubahan yang membawa manfaat bagi generasi kini dan masa depan.

Baca juga: Inovasi Penjaminan Mutu: Masukan Untuk Evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023

Penutup

Akreditasi seharusnya tidak berhenti pada label “simbol” semata. Lebih dari itu, akreditasi harus menjadi cerminan nyata dari mutu pendidikan yang sesungguhnya, relevansi kurikulum yang sejalan dengan kebutuhan zaman, dan dampak sosial yang dirasakan oleh masyarakat luas. Perguruan tinggi tidak cukup hanya fokus pada kepatuhan administratif, namun harus menjadikan akreditasi sebagai tools untuk mendorong transformasi nyata dalam dunia pendidikan. Komitmen ini menuntut keberanian untuk melangkah melampaui rutinitas dan berinovasi demi menciptakan perbaikan yang bermakna.

Sebagai agen perubahan (change agent), perguruan tinggi memiliki peran penting dalam membangun masa depan yang lebih baik. Dengan integrasi visi misi ke setiap program dan kebijakan, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa setiap langkah menuju akreditasi memiliki nilai yang substansial. Hanya dengan komitmen ini, akreditasi akan menjadi instrumen yang tepat guna untuk membangun masyarakat yang berkelanjutan. Semoga dengan upaya ini, perguruan tinggi dapat terus relevan dan memberi keberkahan bagi umat, Insya Allah. Stay Relevant!

Baca juga: Kebijakan SPMI: Pilar Utama Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Stakeholder dan SPMI

Siapa Saja Stakeholder Perguruan Tinggi? Mengenal, Memahami dan Melayani

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Perguruan tinggi sesungguhnya lebih dari sekadar institusi pendidikan. Ia adalah bagian dari ekosistem dinamis yang melibatkan berbagai pihak dengan harapan dan kepentingan masing-masing. Dalam menjalankan fungsi Tridharma—pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat—perguruan tinggi tentu harus pandai membaca, memahami dan mengelola kepentingan masing-masing stakeholder (pemangku kepentingan). Artikel ini akan menguraikan secara singkat siapa saja yang tergolong sebagai stakeholder perguruan tinggi, dan bagaimana tips terbaik untuk melayani, membahagiakan dan memuaskan harapan dan keinginan mereka.

Baca juga: Penguatan SPMI dengan 10 Peran Manajer ala Mintzberg

Mahasiswa: Harapan untuk Masa Depan

Mahasiswa adalah stakeholder utama yang menjadi jantung dari perguruan tinggi. Mahasiswa hadir dengan mimpi dan harapan masing-masing. Mereka mendaftar dan diterima, tujuannya untuk mendapatkan pendidikan terbaik yang akan membekali mereka menghadapi peluang dan tantangan masa depan. Perguruan tinggi, tentu saja harus memastikan bahwa kurikulum, dosen, fasilitas, dan tata kelola, semua tersedia dengan baik, dan semua harus dapat memenuhi “need and want” mereka yang terus berkembang. Di era AI saat ini, mahasiswa juga menuntut akses media online, diskusi interaktif, dan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan (skills) non-akademik.

Namun, di sisi lain, mahasiswa bukan hanya pembelajar, mereka juga partner dalam ekosistem pendidikan. Sebagai salah satu stakeholder, suara mereka sangat berharga bagi perguruan tinggi. Dengan melibatkan mahasiswa dalam proses pengambilan keputusan, seperti sesi brainstorming, survey dan forum diskusi, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa harapan dan usulan mereka didengar. Hal ini tidak hanya meningkatkan kepuasan mahasiswa (customer satisfaction), namun juga menumbuhkan rasa ikut memiliki terhadap institusi.

Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi

Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?

Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Keberhasilan Akademik

Dosen dan tenaga kependidikan adalah SDM penting di balik keberhasilan perguruan tinggi. Mereka bertugas mengawal dan memastikan mutu pendidikan, melakukan penelitian, dan menjalankan pengabdian kepada masyarakat. Kendati demikian, di balik tanggung jawab Tridharma tersebut, dosen dan tenaga kependidikan juga merupakan stakeholder internal. Mereka juga memiliki harapan, keinginan dan kebutuhan.

Untuk memenuhi harapan, keinginan dan kebutuhan tersebut, perguruan tinggi perlu membangun lingkungan kerja yang mendukung atau QWL (quality of work life). Pelatihan / pengembangan, fasilitas penelitian, dan pengakuan atas prestasi adalah beberapa cara yang diperlukan untuk menjaga semangat dosen dan staf tetap tinggi. Dengan merawat budaya kerja yang inklusif dan suportif, perguruan tinggi tidak hanya meningkatkan mutu layanan akademik namun juga membangun loyalitas SDM internal.

Baca juga: Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku: Pilar Utama Budaya Mutu SPMI

Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat

Dunia Kerja dan Dunia Industri

Dunia kerja, dunia industri adalah stakeholder utama yang sering kali menentukan arah pendidikan tinggi. Industri menginginkan lulusan yang siap bekerja, kreatif, dan mampu beradaptasi dengan perubahan cepat. Perguruan tinggi memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memastikan bahwa kurikulum senantiasa relevan dengan tuntutan DUDI (dunia usaha dan dunia industri).

Salah satu strategi penting yang dapat diterapkan adalah menjalin partnership dengan berbagai sektor DUDI. Program magang di lokasi usaha, penelitian bersama, atau proyek kolaborasi, dapat menjadi jembatan antara teori dan praktik. Melalui kolaborasi ini, perguruan tinggi diharapkan dapat memenuhi harapan dunia kerja, dan juga memberikan pengalaman nyata bagi para mahasiswa.

Baca juga: SPMI Berbasis Pengetahuan: Aset Utama Perguruan Tinggi

Masyarakat: Penerima Dampak Sosial

Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab sosial (social responsibility) untuk memberi pelayanan kepada masyarakat. Pengabdian kepada masyarakat (PkM) adalah salah satu pilar Tridharma yang memastikan bahwa hasil pendidikan dan penelitian dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Harapan masyarakat mencakup banyak hal, diantaranya solusi problem lokal, pemberdayaan ekonomi, pendidikan, teknologi tepat guna, pelestarian lingkungan hidup dan lain sebagainya.

Untuk memenuhi ekspektasi diatas, perguruan tinggi perlu mengadopsi pendekatan komunikasi yang berbasis partisipasi. Masyarakat dilibatkan dalam perencanaan, brainstorming dan pelaksanaan program untuk memastikan relevansi dan keberlanjutan program kerja. Keberhasilan perguruan tinggi selain diukur dari prestasi akademik, juga dilihat dari sejauh mana dampak program, dirasakan oleh masyarakat luas.

Baca juga: Kemalasan Sosial: Musuh Tersembunyi SPMI

Baca juga: Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?

Pemerintah: Pengarah Kebijakan dan Regulasi

Sebagai pengarah kebijakan, pemerintah memiliki peran penting untuk membimbing perguruan tinggi mencapai standar mutu tertentu (persyaratan minimal). Selain itu, pemerintah sering kali menjadi sumber pendanaan utama, baik untuk hibah pendidikan, penelitian maupun pengabdian. Harapan pemerintah biasanya fokus pada peningkatan mutu pendidikan, daya saing internasional, dan kontribusi program kerja pada pembangunan nasional.

Untuk memenuhi ekspektasi ini, perguruan tinggi perlu membangun komunikasi dan hubungan yang harmonis dengan pemerintah. Mematuhi regulasi seperti Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN-Dikti), melaksanakan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan melaporkan pencapaian secara transparan pada PDDikti (Pangkalan Data Pendidikan Tinggi) adalah langkah penting untuk kepatuhan pada regulasi. Kolaborasi yang harmonis dengan pemerintah dapat membuka peluang pendanaan (hibah) dan dukungan untuk program-program kreatif dan inovatif.

Baca juga: Kebijakan SPMI: Pilar Utama Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi

Baca juga: Akreditasi: Simbol atau Substansi?

Penutup

Perguruan tinggi yang berhasil adalah perguruan tinggi yang mampu merangkul, melayani dan memuaskan seluruh stakeholder-nya. Setiap kelompok stakeholder memiliki “need and want” serta harapan yang berbeda-beda. Namun demikian semua harus dilayani melalui pendekatan yang baik, strategi yang inklusif, dan kolaborasi yang saling menguntungkan (win-win). Dengan melayani dan membahagiakan beragam stakeholder tersebut, perguruan tinggi telah menjalankan tugasnya dengan baik, dan sebagai imbalannya, tentu saja institusi akan semakin dicintai, dihormati dan disayangi (oleh stakeholder). Stay Relevant!

Baca juga: Transformasi SPMI: Komunikasi Internal sebagai Game-Changer


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Mutu Pendidikan Tinggi 1

Mutu Pendidikan Tinggi: Memahami Esensi dan Dampaknya

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Mutu pendidikan tinggi adalah landasan utama dalam menghasilkan lulusan yang relevan dengan kebutuhan zaman. Mutu ini mencakup berbagai aspek, mulai dari kurikulum, staf dosen yang kompeten, hingga fasilitas sarana prasarana yang memadai. Mutu pendidikan tinggi tidak hanya bicara tentang pencapaian akademik, namun juga tentang bagaimana perguruan tinggi dapat berkiprah sebagai pusat inovasi dan solusi atas segala problem yang dihadapi pemangku kepentingan.

Lebih lanjut, mutu pendidikan tinggi adalah mutu keseluruhan (totalitas) dari proses pendidikan yang mampu memenuhi tuntutan standar nasional maupun internasional. Hal ini mencakup kemampuan menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi akademis, keterampilan praktis, dan sikap kerja (attitude) yang profesional. Mutu pendidikan tinggi adalah tolok ukur (indikator) keberhasilan perguruan tinggi dalam mempersiapkan mahasiswa untuk berkiprah di dunia nyata.

Baca juga: Merancang Mission Differentiation di Era BANI

Dampak Mutu Pendidikan Tinggi

Mutu pendidikan tinggi memiliki dampak langsung pada mahasiswa. Lulusan dari institusi yang bermutu lebih siap menghadapi tantangan dunia nyata karena mereka telah dibekali dengan berbagai ketrampilan, diantaranya keterampilan kritis (hard skills dan soft skills), ketrampilan berkolaborasi, dan daya adaptasi yang tinggi. Mereka tidak hanya menjadi pekerja yang kompeten dan berintegritas, namun juga siap untuk memimpin masa depan yang berubah dengan cepat.

Dampak mutu pendidikan tinggi tentu akan dirasakan juga oleh masyarakat luas. Perguruan tinggi yang bermutu akan berkontribusi pada kemajuan sosial dan ekonomi. Mereka akan menghasilkan penelitian yang aplikatif dan inovatif. Institusi yang bermutu akan mampu menjadi mitra strategis dalam pembangunan, membantu mengatasi problematik yang dihadapi masyarakat, seperti kelaparan, ketimpangan, dan konflik sosial politik.

Sebaliknya, perguruan tinggi yang kurang bermutu cenderung menghasilkan lulusan yang tidak siap berkompetisi. Lulusannya memiliki keterampilan yang kurang relevan dan daya saing yang rendah. Institusi yang kurang bermutu, sering kali gagal memanfaatkan potensi penelitian dan pengabdian masyarakat untuk memberikan solusi nyata bagi pemangku kepentingan.

Baca juga: Penguatan SPMI dengan 10 Peran Manajer ala Mintzberg

Mutu Pendidikan Tinggi dalam Era AI

Era AI menghadirkan tantangan dan peluang baru bagi relevansi mutu pendidikan tinggi. Kemajuan dalam teknologi kecerdasan buatan (AI) mengubah banyak hal terkait cara belajar, cara bekerja, dan cara berinovasi. Oleh sebab itu, perguruan tinggi harus mampu mengintegrasikan teknologi AI ke dalam semua standar pendidikan yang relevan untuk menghadirkan pembelajaran yang bermutu tinggi. Dengan dukungan AI, mahasiswa dapat menikmati pembelajaran yang relevan disesuaikan dengan harapan dan kebutuhan semua pihak.

Lebih jauh lagi, institusi perlu memastikan bahwa lulusan siap menghadapi dunia kerja yang akan didominasi oleh teknologi AI. Ini berarti mencakup banyak hal seperti pembelajaran tentang etika AI, keterampilan digital tingkat lanjut, dan pemahaman bagaimana AI dapat diterapkan dalam berbagai tipe indusri. Perguruan tinggi yang bermutu akan menyiapkan lulusan yang trampil sebagai pengguna AI, dan juga “sekaligus” trampil sebagai inovator AI.

Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi

Menjaga dan Meningkatkan Mutu Pendidikan Tinggi

Mutu pendidikan tinggi tidak dapat dicapai instan hanya dengan satu kali ikhtiar; ini adalah proses terus menerus tanpa henti, yang memerlukan evaluasi dan perbaikan secara ajeg. Institusi pendidikan tinggi perlu memastikan bahwa semua aktivitas dan program kerja, mulai dari kurikulum hingga pelayanan kepada mahasiswa, berjalan sesuai standar yang telah ditetapkan. Sistem penjaminan mutu internal (SPMI) adalah salah satu cara untuk memastikan hal tersebut.

Baca juga: Kebijakan SPMI: Pilar Utama Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi

Di samping itu, umpan balik (feed back) dari mahasiswa, alumni, dan dunia kerja (DUDI) memainkan peran krusial dalam proses peningkatan mutu. Dengan mendengar masukan dari pemangku kepentingan (customer voice), perguruan tinggi akan mampu melakukan inovasi yang relevan dengan tuntutan nyata mereka. Langkah ini tidak hanya memperkuat kepercayaan (trust) dari pemangku kepentingan, namun juga mendukung institusi untuk siap bertransformasi agar senantiasa relevan di tengah-tengah masyarakat.

Baca juga: Kemalasan Sosial: Musuh Tersembunyi SPMI

Penutup

Mutu pendidikan tinggi adalah kunci penting untuk menghasilkan lulusan yang kompeten, unggul, dan siap menghadapi tantangan di era AI. Dengan memahami esensi mutu dan dampaknya, perguruan tinggi didorong untuk terus berinovasi dalam memberikan pendidikan yang bermanfaat bagi masyarakat. Melalui upaya adaptasi teknologi AI, evaluasi rutin, dan kolaborasi strategis, pendidikan tinggi Insya Allah akan menjadi motor penggerak bagi kemajuan bangsa di masa yang serba digital. Stay Relevant!

Baca juga: Knowledge Management: Rekomendasi untuk Revisi Permendikbudristek 53 Tahun 2023


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan DMS

Knowledge Management: Rekomendasi untuk Revisi Permendikbudristek 53 Tahun 2023

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan sistem mutu yang diatur Undang-Undang Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012 yang berfungsi untuk menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Namun, di tengah percepatan transformasi digital dan kompleksitas global yang sering dirangkum dengan istilah era BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, Incomprehensible), SPMI menghadapi tantangan yang semakin dinamis.

SPMI dituntut tidak hanya sekadar mempertahankan relevansinya, namun juga harus mampu beradaptasi untuk mendukung keberlanjutan mutu. Dalam konteks ini, integrasi Knowledge Management (KM) menjadi pilihan strategis yang perlu dipertimbangkan untuk memperkuat daya respons institusi terhadap perubahan.

Baca juga: Permendikbudristek 53/2023: Mengapa ‘Budaya Mutu’ Harus Jadi Fokus Utama?

Knowledge Management (KM) adalah pendekatan sistematis yang bertujuan mengidentifikasi, mengelola, dan mendistribusikan pengetahuan di dalam organisasi. Dalam konteks pendidikan tinggi, KM memainkan peran penting untuk memastikan bahwa pengetahuan yang diperoleh institusi—baik dari hasil pemantauan, audit mutu, hingga praktik terbaik—dapat terdokumentasi dengan baik, dan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung proses pengambilan keputusan dalam organisasi. Melalui KM, institusi pendidikan dapat mengolah data yang telah dikumpulkan menjadi wawasan (informasi) yang berharga. Wawasan tersebut tentu akan menjadi daya dorong untuk menciptakan inovasi, dan memperkuat daya saing institusi.

Mengenal Knowledge Management

SPMI, sebagaimana diatur dalam Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, khususnya pada Pasal 67 hingga 70, mewajibkan perguruan tinggi untuk melaksanakan siklus PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian dan Peningkatan Standar Mutu secara berkelanjutan.

Seperti yang dipaparkan oleh Edward Sallis, dalam bukunya Total Quality Management in Education, KM memungkinkan institusi untuk mengelola dua jenis pengetahuan, yakni: tacit (pengetahuan yang tidak terdokumentasi) dan eksplisit (pengetahuan yang terdokumentasi). Dalam konteks SPMI, KM berfungsi mengolah semua informasi yang relevan seperti hasil evaluasi diri, audit mutu internal, dan pengendalian mutu lainnya menjadi wawasan strategis yang dapat digunakan untuk inovasi dan peningkatan berkelanjutan (kaizen).

Baca juga: Evaluasi Permendikbudristek 53/2023: Kecepatan versus Akuntabilitas

Integrasi KM dalam PPEPP

Langkah pertama adalah mendefinisikan KM sebagai proses sistematis untuk mengelola informasi, pengalaman, dan keahlian guna mendukung peningkatan mutu pendidikan tinggi. Definisi ini dapat dimasukkan dalam bagian Ketentuan Umum revisi Permendikbudristek 53 Tahun 2023, sehingga KM secara eksplisit diakui sebagai elemen penting dalam sistem penjaminan mutu internal (SPMI).

Langkah kedua adalah memastikan integrasi KM dalam siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan). Dalam tahap Penetapan, KM mendukung perguruan tinggi untuk menetapkan standar mutu berbasis data historis, praktik terbaik, dan pengalaman terdokumentasi. Pada tahap Pelaksanaan, KM membantu memastikan implementasi standar berjalan sesuai rencana dengan memanfaatkan pengetahuan yang terdokumentasi sebagai panduan operasional. KM juga dapat berfungsi sebagai alat untuk menyimpan dan mendistribusikan informasi penting selama pelaksanaan.

Pada tahap Evaluasi, KM berperan dalam mengumpulkan data dan informasi dari evaluasi diri, pemantauan, audit mutu internal, asesmen dan pelaporan mutu. Data ini kemudian diolah menjadi wawasan strategis pada tahap Pengendalian, di mana informasi digunakan untuk mengidentifikasi kesenjangan mutu dan memberikan umpan balik kepada manajemen. Akhirnya, pada tahap Peningkatan, KM mendukung penyebaran pengetahuan kepada pemangku kepentingan internal dan eksternal, sehingga memastikan hasil evaluasi dan pengendalian mutu digunakan untuk merancang Peningkatan Standar dan perbaikan berkelanjutan. Dengan demikian, KM menjadi elemen integral yang memperkuat setiap tahap dalam siklus PPEPP.

Baca juga: Inovasi Penjaminan Mutu: Masukan Untuk Evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023

Revisi Permendikbudristek 53 Tahun 2023

Untuk mengintegrasikan KM dalam revisi Permendikbudristek 53 Tahun 2023, berikut adalah usulan isi pasal yang dapat dipertimbangkan:

Pasal XYZ – Definisi Knowledge Management:
  1. Knowledge Management adalah proses sistematis untuk mengidentifikasi, mengumpulkan, mengelola, dan mendistribusikan informasi, data, dan pengalaman dalam rangka mendukung pengambilan keputusan dan peningkatan mutu secara berkelanjutan.
  2. Knowledge Management mencakup pengelolaan pengetahuan tacit dan eksplisit yang relevan dengan pengelolaan mutu pendidikan tinggi.
Pasal XYZ – Integrasi KM dalam SPMI:
  1. Perguruan tinggi mengembangkan sistem Knowledge Management yang mendukung pelaksanaan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI).
  2. Sistem Knowledge Management sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
    • Pengumpulan data dan informasi yang mencakup hasil pemantauan, evaluasi diri, audit internal, pelaporan mutu, serta kegiatan akademik dan non-akademik yang relevan.
    • Pengolahan data menjadi wawasan strategis untuk peningkatan mutu.
    • Penyimpanan dan penyebaran informasi kepada pemangku kepentingan internal dan eksternal.
    • Melakukan evaluasi berkala atas efektivitas sistem Knowledge Management yang diterapkan, guna memastikan kesesuaiannya dengan kebutuhan dan dinamika institusi.
Pasal XYZ – Pengembangan Kapasitas KM:
  1. Perguruan tinggi menyediakan infrastruktur teknologi yang mendukung pengelolaan pengetahuan.
  2. Perguruan tinggi mengembangkan budaya organisasi yang mendukung kolaborasi, berbagi pengetahuan, dan pembelajaran berkelanjutan.

Baca juga: Usulan Revisi Permendikbudristek No. 53/2023: Otonomi dan Fleksibilitas Penjaminan Mutu

Penutup

Dengan KM, perguruan tinggi akan mampu mengelola pengetahuan secara sistematis, memungkinkan adaptasi yang lebih cepat, dan meningkatkan efisiensi dalam mengembangan inovasi pendidikan. Revisi Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 yang mengakomodasi KM diharapkan dapat menjadi milestone menuju pendidikan tinggi yang unggul, inovatif, dan berkelanjutan. Stay relevant!

Baca juga: Kebijakan SPMI: Pilar Utama Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Perilaku Korupsi

Jangan Biarkan Korupsi Menodai SPMI: Langkah Preventif bagi Perguruan Tinggi

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Korupsi selalu menjadi ancaman laten yang tak hanya merugikan keuangan negara (PTN) atau Badan Penyelenggara (PTS), namun juga mencederai sistem mutu pendidikan tinggi. Dalam konteks Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), korupsi dapat menghancurkan landasan utama yang dibangun di atas prinsip transparansi, akuntabilitas dan perbaikan berkelanjutan. SPMI disusun untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi memberikan layanan bermutu untuk segenap pemangku kepentingan, namun bila tidak waspada, perilaku korupsi dapat menghancurkan prinsip-prinsip SPMI yang telah dibangun.

Penyimpangan seperti gratifikasi dalam proses PMB, korupsi waktu, penggelapan dana, nepotisme dalam rekrutmen, hingga manipulasi laporan kinerja menjadi contoh nyata yang mengancam keberhasilan SPMI.

Perguruan tinggi sepatutnya harus mulai melihat ancaman ini sebagai “musuh besar” yang harus diberantas demi menjaga marwah, kredibilitas dan integritas SPMI.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

Budaya Integritas sebagai Tameng

Integritas harus diupayakan untuk menjadi nilai inti yang tertanam dalam setiap kebijakan, keputusan, dan tindakan. Hal ini tentu saja tidak mudah, harus dimulai dengan memberi contoh (teladan) dari level pimpinan. Ketika pimpinan (role model) mencontohkan komitmen terhadap transparansi, hal itu tentu akan menciptakan efek domino positif, bergulir di seluruh level organisasi.

Pimpinan perguruan tinggi juga wajib menginternalisasi nilai-nilai integritas dalam setiap proses pengambilan keputusan. Contoh, dalam pengelolaan dana dan rekrutmen staf akademik, proses harus dilakukan terbuka dan tranparan mengikut prosedur yang telah dibakukan. Proses ini harus dilengkapi dengan mekanisme pengendalian yang melibatkan pihak independen, seperti auditor atau satuan pengawas internal (SPI). Dengan pendekatan ini, budaya integritas tidak hanya menjadi slogan yang ada di banner, poster atau spanduk, namun telah menjadi prinsip yang terinternalisasi dalam budaya organisasi.

Baca juga: Permendikbudristek 53/2023: Mengapa ‘Budaya Mutu’ Harus Jadi Fokus Utama?

Sistem Pengawasan yang Transparan

Perguruan tinggi harus memiliki tim audit mutu internal (AMI) yang kritis, independen dan berdaya guna. Audit mutu internal tidak hanya berfungsi sebagai alat evaluasi, namun juga sebagai sistem peringatan dini (early warning system) untuk mendeteksi risiko dan potensi penyimpangan sebelum menjadi masalah besar.

Selain audit, penggunaan teknologi (IT) dalam pengawasan juga dapat meningkatkan transparansi. Sistem digital untuk pelaporan dan pengelolaan data memungkinkan semua pihak yang berkepentingan untuk monitoring kinerja SPMI secara real-time (waktu nyata). Dengan akses terbuka terhadap informasi yang relevan, peluang untuk melakukan penyimpangan akan dapat dihindari, dan kepercayaan terhadap SPMI akan dapat meningkat.

Baca juga: SPMI Tanpa Knowledge Management? Jurang Kegagalan!

SPMI dan Public Speaking
Pendidikan dan Pelatihan

Pendidikan dan Pelatihan

Program workshop, pendidikan dan pelatihan di kampus-kampus juga dapat meningkatkan pemahaman staf dan mahasiswa tentang dampak buruk korupsi. Program ini juga bisa mencakup berbagai media seperti ceramah, video, atau simulasi (kasus nyata) untuk menunjukkan bagaimana korupsi mampu merusak sistem dan membahayakan reputasi perguruan tinggi.

Program pendidikan dan pelatihan juga harus mampu untuk melatih keterampilan tertentu seperti laporan dugaan penyimpangan melalui saluran yang aman. Sistem whistleblowing (pengungkapan pelanggaran) dan pelaporan anonim tidak hanya melindungi pelapor, namun juga menjadi salah satu metode efektif untuk mengidentifikasi pelanggaran yang mungkin terjadi.

Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI

Penutup

Sebagai penutup, SPMI bukan sekadar alat administratif, namun wujud komitmen perguruan tinggi untuk meningkatkan mutu pendidikan secara berkelanjutan.

Dengan tindakan preventif (pencegahan) yang konsisten dan komprehensif, institusi akan dapat memastikan bahwa SPMI berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Institusi yang mampu menjaga kejujuran dan akuntabilitas implementasi SPMI Insya Allah akan mencetak lulusan bermutu yang siap bersaing di tingkat internasional. Oleh karena itu jangan biarkan perilaku korupsi menghancurkan misi perguruan tinggi yang mulia ini. Stay Relevant!

Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Mutu Pendidikan Indonesia

Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi adalah langkah penting untuk menjaga relevansi mutu pendidikan tinggi. Siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) didesain untuk memastikan proses yang berkesinambungan dalam peningkatan mutu (kaizen). Akan tetapi, sebagaimana disampaikan Christopher Booker dalam buku Groupthink: A Study in Self Delusion, dinamika kelompok yang disfungsional, atau groupthink, sering menjadi “penghambat tersembunyi” dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam konteks SPMI, tim gugus kendali mutu (GKM) atau pimpinan dikhawatirkan terlalu fokus pada mencapai kesepakatan / kekompakan, sehingga mengabaikan fakta-fakta atau data yang bertentangan. Hal ini menciptakan suasana yang tampaknya menyenangkan dan solid, namun sebenarnya rapuh karena kurangnya evaluasi kritis.

Booker berpendapat, ketika kelompok kerja terjebak dalam pola pikir yang sama, mereka cenderung mengabaikan pandangan kritis dan merasionalisasi keputusan-keputusan yang keliru. Dalam situasi ini, ide-ide yang berbeda yang seharusnya menjadi masukan berharga sering kali diabaikan. Akibatnya, evaluasi cenderung formalitas saja, tanpa perbaikan-perbaikan yang substansial.

Keputusan dalam kondisi groupthink, bukan hanya kurang efektif, namun berisiko memperburuk masalah yang ada. Oleh sebab itu, untuk memastikan keberhasilan SPMI, penting bagi perguruan tinggi untuk waspada fenomena groupthink dan mendorong keterbukaan terhadap perbedaan pendapat (budaya kritis).

Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”

Harmoni Palsu dan Jebakan Pemikiran Kolektif

Salah satu dampak dari groupthink, terciptanya “harmoni palsu” dalam kelompok. Dalam konteks SPMI, harmoni semacam ini sering muncul ketika evaluasi mutu (monev atau audit mutu) dilakukan tanpa benar-benar mengidentifikasi akar permasalahan. Unit kerja mungkin hanya mencari bukti yang mendukung bahwa standar telah terpenuhi, tanpa mempertanyakan apakah bukti-bukti tersebut mencerminkan fakta di lapangan.

Kelompok yang terjebak dalam pola pikir “harmoni palsu” kehilangan kemampuan untuk melihat situasi dari sudut pandang lain, sulit untuk berpikir out of the box. Dalam bukunya, Booker memberikan contoh bagaimana decision yang diambil tanpa mempertimbangkan pandangan alternatif sering kali gagal menghasilkan solusi yang baik. Hal ini menghambat upaya perbaikan yang seharusnya menjadi intisari dari implemenasi SPMI.

Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier

SPMI dan budaya kritis
SPMI dan budaya kritis

Membangun Budaya Kritis

Untuk mencegah munculnya groupthink dalam SPMI, institusi harus membangun budaya yang mendorong refleksi kritis dan menghargai perbedaan pendapat. Unit kerja dapat menghindari jebakan “harmoni palsu” bila mereka siap menghadapi fakta yang tidak sesuai dengan harapan pribadi.

Ada beberapa ide untuk mencegah munculnya groupthink. Institusi dapat melibatkan pihak eksternal (seperti konsultan atau auditor eksternal) sebagai langkah praktis untuk memberikan perspektif yang objektif. Pandangan kritis dari pihak eksternal membantu memecahkan bias kelompok dan memastikan evaluasi didasarkan pada data yang relevan dan obyektif, bukan sekedar hasil konsensus internal.

Solusi lain, penting bagi unit kerja untuk memiliki pemahaman mendalam (literasi) tentang prinsip-prinsip SPMI. Ketrampilan menggunakan data dan keberanian menyampaikan pandangan yang berbeda dapat mendorong proses pengambilan keputusan yang lebih obyektif. Dengan langkah-langkah ini, SPMI tidak hanya sekedar menjadi prosedur administratif, namun alat strategis untuk menubuhkan perubahan nyata dalam organisasi.

Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?

Groupthink pada Siklus PPEPP

Christopher Booker juga menyoroti bahwa groupthink sering terjadi pada organisasi dengan pola kepemimpinan yang terlalu dominan (otokratis). Dalam pelaksanaan SPMI, risiko ini muncul ketika pimpinan perguruan tinggi terlalu mendikte arah evaluasi dan pengendalian, sehingga anggota kelompok merasa enggan untuk menyuarakan ide dan pendapat yang berbeda. Akibatnya, dinamika kelompok menjadi terhambat, proses PPEPP selanjutnya hanya menjadi formalitas belaka, yang tidak menghasilkan peningkatan substansial.

Pada tahap peningkatan (dalam PPEPP), dinamika kelompok yang sehat menjadi sangat penting. Peningkatan standar SPMI memerlukan keberanian untuk mengambil keputusan berdasarkan fakta-fakta yang mungkin tidak populer.

Misalnya keputusan untuk peningkatan target dan indikator standar, gaya kepemimpinan partisipatif mungkin menjadi lebih relevan dengan mendorong unit kerja untuk siap menerima tantangan baru. Ancaman groupthink dapat dicegah dengan komunikasi 2 arah untuk menetapkan target dan strategi baru sesuai dengan prinsip MBO (management by objective).

Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI

Penutup

Buku menarik Groupthink: A Study in Self Delusion, menegaskan bahwa groupthink adalah cerminan kegagalan produktifitas kelompok demi menyeimbangkan kebutuhan sosial dengan evaluasi kritis. Dalam konteks SPMI, ini menjadi pelajaran berharga bahwa “harmoni palsu” dapat menjadi musuh nyata yang merusak esensi penguatan SPMI. Tanpa keberanian untuk mengungkapkan fakta dan kebenaran, siklus PPEPP hanya akan menjadi formalitas-administratif belaka, yang kehilangan potensinya untuk mendorong perbaikan yang berkelanjutan (kaizen).

Untuk mencapai pendidikan tinggi yang bermutu, perguruan tinggi harus berani membangun budaya refleksi kritis yang mendorong keberagaman pandangan. Mencegah groupthink tidak hanya soal keberanian menyuarakan perbedaan, namun juga penting menciptakan SPMI yang kondusif, dan kepemimpinan yang inklusif. Dengan gagasan ini, SPMI dapat menjadi alat transformasi yang benar-benar strategis, dan bukan sekadar pemenuhan regulasi-formalitas belaka.

Demikian juga Pendidikan tinggi, membutuhkan keberanian untuk berubah, dimulai dari saat ini dengan keberanian berpikir berbeda. Stay Relevant!

Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan


Referensi

  1. Booker, C. (2020). Groupthink: A study in self delusion. Bloomsbury Publishing.
  2. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2022). Organizational Behavior (18th ed.). Pearson.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

×

Layanan Informasi

× Hubungi Kami