بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan kebijakan pemerintah (kementerian pendidikan) yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Kebijakan ini mewajibkan penerapan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) secara berkelanjutan guna menciptakan budaya mutu di lingkungan perguruan tinggi. Peraturan terbaru tentang siklus PPEPP dituangkan dalam Permendikbudristek no 53 tahun 2023 pasal 68.
Melalui SPMI, perguruan tinggi diharapkan mampu bersaing di tingkat nasional maupun internasional. Mampu mendorong perguruan tinggi untuk unggul di tingkat global. Namun, implementasi SPMI di perguruan tinggi diduga sering menghadapi berbagai kendala. Ada berbagai kendala yang bisa ditemukan, diantaranya terkait rendahnya pemahaman dan komitmen terhadap SPMI, kendala lain seperti keterbatasan sumber daya dan resistensi dari aktor-aktor internal. Bagaimana mengatasi problematik ini?
Adalah Amitai Etzioni, seorang sosiolog dan ilmuwan politik terkenal yang dikenal atas kontribusinya dalam teori organisasi dan kebijakan publik. Etzioni memperkenalkan Model Mixed Scanning, sebuah pendekatan pengambilan keputusan yang menggabungkan analisis mendalam pada area prioritas (pemindaian komprehensif) dengan pengamatan / pemindaian terbatas pada aspek lain.
Model Mixed Scanning dikembangkan untuk membantu para decision maker bertindak lebih efektif dalam situasi kompleks yang dibatasi oleh keterbatasan resources (sumber daya).
Model Mixed Scanning dari Amitai Etzioni memungkinkan decision dibuat secara lebih fleksibel, adaptif dan bertahap. Model ini memberikan ruang untuk mengkombinasikan analisis detail dan pendekatan incremental. Model ini membantu organisasi atau institusi pendidikan untuk mengoptimalkan sumber daya pada prioritas penting sambil tetap memantau aspek-aspek lain. Dengan demikian pengambilan keputusan dapat lebih adaptif dan terukur.
Untuk mengatasi problematik dalam penerapan SPMI, Model Mixed Scanning menawarkan solusi dimana institusi dapat mengimplementasikan SPMI secara step by step, menyesuaikan proses sesuai dengan tantangan, kebutuhan dan kondisi spesifik masing-masing institusi.
Baca juga: SPMI Perguruan Tinggi: Bisakah Kebijakan ini Gagal?
Model Mixed Scanning mengkombinasikan dua pendekatan pengambilan keputusan, yaitu high-order scanning (peninjauan komprehensif) dan detailed scanning (peninjauan terfokus). Pendekatan ini memungkinkan kebijakan dilihat dari perspektif makro sekaligus menangani detail-detail teknis secara lebih mendalam (mikro).
Dengan pendekatan fleksibilitas tersebut, pimpinan perguruan tinggi dapat memprioritaskan isu strategis secara komprehensif sambil tetap (fokus) menyelesaikan masalah-masalah kecil secara bertahap. Hal ini membuat kebijakan SPMI tidak hanya bersifat ambisius (idealis) namun tetap dijaga realistis dalam implementasinya.
Mixed Scanning membantu perguruan tinggi fokus mencapai rencana strategi (renstra) jangka panjang tanpa mengabaikan penyesuaian di setiap unit kerja. Perguruan tinggi fleksibel dan dapat beradaptasi dengan kapasitas dan kondisi lokal masing-masing, memastikan bahwa tahapan peningkatan mutu berjalan efektif dan dilakukan secara terus menerus.
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Secara konsep, siklus PPEPP dalam SPMI sudah selaras dengan prinsip Mixed Scanning. Pada tahap Penetapan standar (dalam PPEPP), perguruan tinggi menggunakan high-order scanning untuk merumuskan kebijakan berdasarkan visi dan misi institusi, kebutuhan dunia usaha-industri, serta regulasi nasional, seperti yang diatur dalam Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023.
Tahap Evaluasi dan Pengendalian (dalam PPEPP) membutuhkan detailed scanning untuk mendeteksi problematik, kekurangan dan memastikan setiap kegiatan berjalan sesuai standar SPMI. Dengan peninjauan mendalam (detail scanning) ini, perguruan tinggi dapat melakukan penyesuaian tepat waktu (adaptasi) guna menjaga konsistensi dan keberlanjutan peningkatan mutu di seluruh unit kerja.
Dengan mengintegrasikan “langkah besar dan kecil”, institusi dapat melakukan evaluasi dan pengendalian mutu secara efektif. Peningkatan mutu tidak lagi dilihat sebagai “proyek satu kali jadi”, tetapi sebagai proses berkesinambungan di mana setiap unit kerja terus menerus beradaptasi dan berinovasi dengan baik.
Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier
Mixed Scanning membantu Institusi menghadapi kompleksitas (kerumitan) kebijakan dengan lebih efektif. Pendekatan ini memadukan “fleksibilitas dan ketelitian”, memungkinkan institusi untuk tetap fokus pada tujuan meskipun menghadapi dinamika kebijakan. Institusi tentu harus teliti untuk menjaga relevansi kebijakan SPMI dengan berbagai tuntunan stakeholder yang ada (internal dan eksternal).
Perubahan kebijakan nasional sering menjadi problematik dan tantangan bagi program penjaminan mutu. Namun, dengan pendekatan incremental, perguruan tinggi dapat menyesuaikan kebijakan mutu secara bertahap tanpa mengorbankan stabilitas dan mutu program yang sedang berjalan.
Panduan SPMI Perguruan Tinggi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2023) juga menekankan pentingnya evaluasi secara berkelanjutan. Evaluasi melalui program monitoring dan Audit Mutu Internal (AMI) memungkinkan perguruan tinggi merespons perubahan lingkungan eksternal dan kebutuhan stakeholder secara efektif dan efisien.
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Salah satu tantangan “paling heboh” dalam implementasi SPMI adalah memastikan bahwa kebijakan SPMI yang diperjuangkan, lebih dari sekadar formalitas administratif belaka.
Banyak perguruan tinggi masih berkutat melihat SPMI sebagai kewajiban demi memenuhi tuntutan akreditasi.
Banyak institusi yang belum mampu “menginternalisasi nilai-nilai esensi peningkatan mutu” dalam proses sehari-hari. Itulah sebabnya mengapa dalam Permendikbudristek no 53 tahun 2023 pasal 69 ayat (1)b berbunyi: “Perguruan tinggi dalam mengimplementasikan SPMI mempunyai tugas: mengintegrasikan implementasi SPMI pada manajemen perguruan tinggi”.
Dengan pendekatan Mixed Scanning, kebijakan SPMI dapat diterapkan secara bertahap dan substansial. Alih-alih hanya mengumpulkan dan mencari-cari dokumen untuk akreditasi, perguruan tinggi bisa fokus pada peningkatan mutu pembelajaran melalui evaluasi rutin proses belajar-mengajar dan umpan balik dari mahasiswa. Komitmen ini memastikan kebijakan bukan sekadar pemenuhan prosedur belaka, tetapi berdampak nyata pada pendidikan pendidikan.
Sistem dokumentasi juga perlu diperbaiki agar kebutuhan akreditasi juga dipersiapkan dengan baik. Permendikbudristek no 53 tahun 2023 pasal 69 ayat (1)a.4. berbunyi: “Perguruan tinggi dalam mengimplementasikan SPMI mempunyai tugas: menetapkan perangkat SPMI yang minimal: tata cara pendokumentasian implementasi”.
Langkah-langkah incremental juga membantu membangun “quality culture” yang berkelanjutan. Setiap anggota civitas akademika, dari pimpinan, dosen hingga tenaga kependidikan, dituntut melihat peningkatan mutu sebagai bagian dari tanggung jawab bersama (quality is everyone responsibility), bukan hanya sekedar memenuhi tuntutan eksternal. Mindset harus bergeser dari kepatuhan formalitas semata, namun menuju kesadaran akan pentingnya peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan (kaizen).
Model Mixed Scanning memberikan gambaran yang relevan untuk mengoptimalkan implementasi SPMI di perguruan tinggi. Kombinasi antara peninjauan komprehensif dan incremental memungkinkan institusi lebih fleksibel, adaptif dalam menghadapi tantangan kebijakan maupun kendala operasional sehari-hari.
Dengan pendekatan ini, bila dijalankan dengan baik, siklus PPEPP dalam SPMI dapat berjalan lebih efektif dan terarah. Setiap langkah menuju peningkatan mutu menjadi bagian dari proses yang terencana dan berkesinambungan, hal ini memastikan perguruan tinggi selalu siap beradaptasi, berinovasi dan bertransformasi terhadap tantangan perubahan lingkungan.
Model Mixed Scanning dapat digunakan membantu perguruan tinggi membangun budaya mutu yang kokoh dan konsisten. Hal ini dapat menjadi modal penting bagi perguruan tinggi Indonesia untuk bersaing secara global. Ingat! “Perbaikan kecil yang konsisten adalah fondasi bagi keunggulan yang berkelanjutan di masa depan.” Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi merupakan elemen utama yang disusun pemerintah dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 pasal 68, mewajibkan perguruan tinggi menerapkan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) untuk memastikan perbaikan berkelanjutan (kaizen). Kebijakan ini bertujuan agar setiap perguruan tinggi secara konsisten meningkatkan mutu akademik dan non akademik.
Namun, pelaksanaan SPMI di perguruan tinggi sering kali menghadapi tantangan karena perbedaan sumber daya, kapabilitas, dan komitmen antar institusi. Perguruan tinggi besar dengan akses lebih baik ke sumber daya lebih banyak kemudahan untuk menjalankan PPEPP dibandingkan institusi kecil atau di daerah. Hal ini menyebabkan kesenjangan dalam implementasi, di mana beberapa perguruan tinggi diduga hanya mampu melaksanakan SPMI secara formalitas tanpa perubahan substansial dalam mutu.
Baca juga: SPMI Perguruan Tinggi: Bisakah Kebijakan ini Gagal?
David Easton (1917–2014) adalah seorang pemikir politik terkemuka yang mengembangkan teori sistem politik. Easton memberikan wawasan bahwa politik berfungsi seperti sebuah sistem. Dalam karyanya A Systems Analysis of Political Life (1965), Easton memperkenalkan konsep bahwa proses politik dapat dianalisis melalui 3 hal: input, output, dan umpan balik (feedback). Pandangan ini mengilustrasikan bahwa sistem politik menerima masukan (input) dari masyarakat dan stakeholder, lalu memprosesnya untuk menghasilkan kebijakan sebagai bentuk output (luaran).
Easton berargumentasi bahwa kebijakan publik sebagai interaksi dinamis antara input dan output. Input berupa tuntutan dan dukungan dari masyarakat (stakeholder) atau aktor politik diproses menjadi kebijakan yang kemudian berdampak pada publik. Dampak kebijakan tersebut menciptakan feedback (umpan balik), yang memungkinkan pemerintah merevisi kebijakan agar lebih cocok terhadap kebutuhan dan tantangan kedepan.
Dalam konteks SPMI dan siklus PPEPP, tuntutan dari pemerintah, mahasiswa, dan masyarakat luas (stakeholder) berperan sebagai input, sedangkan pelaksanaan PPEPP menjadi output kebijakan yang diterapkan perguruan tinggi. Tahap evaluasi dan pengendalian mutu (dalam PPEPP) menyediakan umpan balik untuk memastikan kebijakan dapat terus direview, diperbaiki dan ditingkatkan, sehingga implementasi SPMI relevan dan efektif dalam mendorong peningkatan mutu pendidikan tinggi di Indonesia.
Menurut Easton (1965), kebijakan publik merupakan produk dari proses input dan output dalam sistem politik. Input (masukan) dapat berupa tuntutan, harapan dan dukungan dari masyarakat atau pemangku kepentingan (stakeholder), yang diproses melalui mekanisme dalam sistem politik. Hasil dari proses ini adalah output (luaran) berupa kebijakan yang diimplementasikan untuk mencapai tujuan tertentu. Setelah kebijakan diimplementasikan, dampaknya terhadap masyarakat akan menghasilkan umpan balik (feedback), yang kemudian menjadi bagian dari siklus kebijakan berikutnya.
Baca juga: Kompleksitas SPMI: Mampukah Kebijakan ini Bertahan?
Dalam konteks pendidikan tinggi, tuntutan / harapan dari pemerintah, dunia industri, mahasiswa, dan masyarakat terhadap mutu pendidikan menjadi input penting bagi perguruan tinggi untuk menyusun kebijakan SPMI. Permintaan dan harapan tersebut (demands) mencakup peningkatan mutu lulusan, layanan pendidikan, dan akreditasi yang baik. Selain itu, dukungan pemerintah dalam bentuk regulasi dan insentif, seperti Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, juga menjadi faktor yang memengaruhi keberhasilan implementasi SPMI dan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar).
Proses PPEPP bersifat iteratif, di mana umpan balik dari evaluasi pelaksanaan standar mendorong perguruan tinggi untuk menyesuaikan standar baru di siklus berikutnya. Sebagai contoh, jika evaluasi menunjukkan bahwa mutu standar kompetensi lulusan masih rendah, perguruan tinggi dapat membuat penyesuaian seperti meningkatkan keterlibatan dosen dalam pendidikan dan pengajaran atau memperbaiki kurikulum. Dengan demikian, proses input-output dan umpan balik dalam implementasi SPMI sesuai dengan “prinsip adaptasi kebijakan” yang dinamis, (teori sistem politik Easton).
Implementasi SPMI melalui siklus PPEPP merupakan wujud nyata dari output kebijakan Pemerintah. Pada tahap awal, perguruan tinggi menetapkan standar mutu SPMI dan menjalankan kebijakan sesuai dengan rencana strategis (renstra) yang telah dirancang. Kebijakan ini bertujuan untuk mencapai perbaikan mutu secara berkelanjutan, baik dalam aspek akademik maupun non akademik.
Namun, dalam praktiknya, tidak semua perguruan tinggi memiliki komitmen dan kapasitas yang sama untuk memenuhi tuntutan mutu tersebut. Perguruan tinggi dengan keterbatasan sumber daya (resources) sering kali hanya mampu fokus pada kepatuhan administratif untuk memenuhi standar akreditasi. Pemenuhan administratif tidak serta merta membawa “perubahan kongkrit” terhadap mutu layanan pendidikan yang diberikan.
Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”
Hal ini sejalan dengan teori David Easton, beliau menyatakan bahwa output (luaran) kebijakan sangat bergantung pada kemampuan sistem untuk mengolah input (masukan) secara efektif dan menyesuaikan diri (adaptasi) dengan kondisi internal dan eksternal.
Perguruan tinggi yang tidak mampu mengelola sumber dayanya (resources) dengan baik cenderung hanya fokus pada aspek formalitas pembuatan kebijakan SPMI, sementara perguruan tinggi yang lebih siap, dapat memanfaatkan kebijakan SPMI untuk menghasilkan dampak nyata bagi peningkatan mutu pendidikan.
Proses evaluasi dan pengendalian (dalam siklus PPEPP) menegaskan pentingnya umpan balik (feedback) sebagaimana diuraikan David Easton. Evaluasi rutin (periodik) memungkinkan institusi untuk mendeteksi kesenjangan dan kendala dalam implementasi Standar SPMI. Dengan Pemantauan (monitoring) maupun melalui Audit Mutu Internal (AMI), setiap kelemahan sistem, akan dapat segera diidentifikasi.
Sebagai ilustrasi, hasil AMI dapat saja mengungkap rendahnya keterlibatan dosen dalam penelitian atau ketidaksesuaian antara isi kurikulum dengan kebutuhan industri. Temuan (finding) ini memberikan dasar bagi institusi untuk memperbaiki kebijakan dan strategi mereka di siklus PPEPP berikutnya. Umpan balik (feedback) menjadi penting agar setiap siklus PPEPP baru lebih efektif dan relevan dengan kebutuhan eksternal terkini.
Tanpa umpan balik yang handal (valid), kebijakan SPMI berisiko menjadi jalan ditempat /formalitas administratif. Kebijakan seperti itu “kehilangan roh” dan fungsinya sebagai alat peningkatan mutu yang dinamis. Oleh sebab itu, siklus PPEPP harus dioptimalkan melalui evaluasi terus-menerus dan penyesuaian kebijakan (transformasi-adaptasi) berdasarkan umpan balik untuk memastikan peningkatan mutu pendidikan yang berkelanjutan (kaizen).
Baca juga: Auditor AMI: Dibenci atau Disayang?
Saat ini, penerapan SPMI menempatkan perguruan tinggi di “persimpangan jalan”. Di satu sisi, kebijakan SPMI berpotensi mendorong perbaikan berkelanjutan (kaizen) dan meningkatkan reputasi akademik. Hal ini tentu saja mensyaratkan SPMI dijalankan dengan “komitmen penuh”. Siklus PPEPP memungkinkan institusi melakukan penyesuaian terus-menerus (adaptasi) sehingga mutu pendidikan dapat meningkat secara konsisten.
Di sisi lain, SPMI berpotensi menjadi beban administratif, bila fokus utama institusi hanya pada “pemenuhan regulasi” belaka.
Perguruan tinggi yang terlalu berorientasi pada kepatuhan dokumentasi dan akreditasi berisiko terjebak dalam rutinitas formalitas tanpa perubahan nyata. Hal ini dapat mengurangi substansi kebijakan sebagai alat transformasi mutu dan justru “mempersulit inovasi” dalam proses Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Agar kebijakan SPMI tidak menjadi sekadar formalitas belaka, perguruan tinggi harus “berkomitmen total” memanfaatkan evaluasi dan umpan balik dalam siklus PPEPP. Dengan feedback yang relevan, perguruan tinggi dapat memastikan setiap upaya perbaikan menghasilkan dampak nyata terhadap mutu pendidikan. Melalui pemantauan, AMI dan perbaikan berkelanjutan, SPMI diharapkan menjadi alat strategis untuk membangun mutu dalam kompetisi global.
Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?
Melalui teori sistem politik Easton, SPMI dapat dipahami sebagai proses dinamis yang melibatkan interaksi antara tuntutan (demands), dukungan (supports), kebijakan (policies), dan umpan balik (feedback). Tuntutan dan dukungan dari pemangku kepentingan—seperti pemerintah, dunia industri, dosen, dan mahasiswa—menjadi “input penting” yang harus diperhatikan-dikelola perguruan tinggi dalam menjalankan kebijakan mutu.
Institusi harus aktif dalam mengolah input dan umpan balik untuk memastikan kebijakan SPMI berjalan efektif dan efisien. Evaluasi rutin (periodik) dalam siklus PPEPP memberikan kesempatan untuk menyesuaikan kebijakan berdasarkan hasil evaluasi, sehingga setiap siklus PPEPP membawa peningkatan mutu yang kongkrit. Apabila umpan balik tidak di-manage dengan baik, SPMI berisiko jalan di tempat, hanya menjadi formalitas administratif tanpa dampak substansial.
Melalui siklus PPEPP yang responsif-adaptif terhadap perubahan, SPMI dapat menjadi instrumen penting dalam membangun pendidikan tinggi yang bermutu.
Dengan pengelolaan yang tepat, kebijakan SPMI berpotensi menciptakan perbaikan berkelanjutan (kaizen) dan memungkinkan institusi mencapai transformasi mutu yang diharapkan. Stay relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) menjadi pilar penting dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 Pasal 68 mewajibkan setiap perguruan tinggi menerapkan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) sebagai bagian dari komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan secara berkelanjutan (continuous improvement).
Namun, implementasi kebijakan ini sering menghadapi berbagai kendala dan tantangan di lapangan. Perbedaan sumber daya (resources), kapabilitas, dan komitmen di antara perguruan tinggi menyebabkan pelaksanaan siklus PPEPP berjalan tidak seragam. Beberapa perguruan tinggi, terutama di daerah dengan keterbatasan sumber daya, sulit menjalankan seluruh tahapan siklus PPEPP secara optimal.
Dalam konteks inilah, teori inkrementalisme Charles E. Lindblom menjadi penting untuk dikaji. Lindblom berargumen bahwa kebijakan publik sering berkembang melalui penyesuaian bertahap, sedikit demi sedikit, bukan perubahan besar dan radikal. Penerapan SPMI dapat dipahami sebagai proses inkremental-adaptif, di mana perbaikan mutu terjadi secara bertahap berdasarkan pengalaman dan evaluasi yang dilakukan secara terus menerus.
Baca juga: Menakar Keberhasilan SPMI: Efektifkah Siklus PPEPP?
Teori inkrementalisme dari Charles E. Lindblom menyatakan bahwa kebijakan publik lebih sering diimplementasikan melalui penyesuaian kecil dan bertahap daripada perubahan menyeluruh dan radikal.
Hal diatas dilakukan karena pembuat kebijakan dihadapkan pada keterbatasan waktu, informasi, dan sumber daya (resources) sehingga tidak memungkinkan untuk merumuskan solusi optimal secara langsung dan komprehensif.
Dalam pelaksanaannya, para decision maker cenderung mengambil langkah-langkah “pragmatis” dengan mendasarkan kebijakan baru pada kebijakan lama yang telah dibuat sebelumnya. Hal ini menyebabkan terjadi kondisi adaptasi secara bertahap, sehingga kebijakan dapat berkembang dinamis dan mampu mengatasi berbagai kendala yang muncul di lapangan.
Dalam konteks lembaga pendidikan tinggi di Indonesia, implementasi SPMI tidak dapat secepatnya mencapai standar tinggi dalam waktu singkat. Perguruan tinggi umumnya melakukan perbaikan bertahap, sedikit demi sedikit berdasarkan pengalaman dan kendala yang ditemukan selama proses evaluasi. Pendekatan inkremental seperti ini memungkinkan siklus PPEPP menjadi lebih realistis dengan kondisi aktual yang dihadapi oleh masing-masing perguruan tinggi.
Siklus PPEPP merupakan proses iteratif. Proses PPEPP di perguruan tinggi menggambarkan pendekatan bertahap yang diusung oleh Charles E. Lindblom. Pada tahap awal implementasi, perguruan tinggi mungkin hanya fokus pada penetapan dan pelaksanaan standar (dalam PPEPP). Contoh, perguruan tinggi memulai tahapan dengan menyusun standar untuk program studi dan memperkenalkan mekanisme awal pelaksanaan (dalam PPEPP) tanpa memprioritaskan evaluasi mendalam.
Dalam perjalanan kemudian, perguruan tinggi mulai memprioritaskan evaluasi dan pengendalian standar (dalam PPEPP) setelah siklus penetapan dan pelaksanaan dilakukan. Misalnya, setelah menjalankan siklus PPEPP pertama, perguruan tinggi mungkin belajar dan menyadari bahwa standar awal tidak relevan dengan praktik aktual. Selanjutnya dilakukan penyesuaian melalui evaluasi untuk memperbaiki standar (kebijakan) dan perbaikan proses penerapannya.
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Akan tetapi, tantangan berikutnya muncul ketika penyesuaian bertahap tidak diikuti dengan perubahan nyata. Dalam beberapa kasus, institusi pendidikan tinggi terjebak dalam rutinitas administratif belaka, mereka fokus hanya pada pemenuhan dokumen tanpa menghasilkan peningkatan standar yang signifikan. Sebagai ilustrasi, persyaratan akreditasi hanya dipenuhi dokumen formal tanpa perubahan substantif dalam pengajaran atau riset, siklus PPEPP berisiko menjadi sekadar rutinitas birokratis tanpa “impact” signifikan terhadap mutu pendidikan.
Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI
Sesuai dengan konsep inkrementalisme dari Lindblom, implementasi kebijakan SPMI membutuhkan kompromi antara berbagai aktor di perguruan tinggi, seperti pejabat pimpinan, dosen, dan tenaga kependidikan. Setiap kelompok memiliki kepentingan dan prioritas yang berbeda beda, sehingga komunikasi-negosiasi dan penyesuaian menjadi proses penting dalam penerapan kebijakan SPMI. Sebagai ilustrasi, pimpinan mungkin fokus pada pencapaian akreditasi institusi, sementara dosen lebih fokus pada peningkatan kegiatan penelitian dan pengajaran.
Resistensi (penolakan) dapat terjadi ketika kebijakan diterapkan secara ambisius atau perubahan drastis tanpa mempertimbangkan kesiapan dan kepentingan masing-masing kelompok (aktor).
Sebagai contoh, apabila perguruan tinggi langsung menetapkan target penelitian internasional tanpa memperhatikan keterbatasan sumber daya dosen, kebijakan tersebut berpotensi ditolak dan sulit diimplementasikan. Proses negosiasi membantu memastikan bahwa setiap kelompok (aktor) merasa dilibatkan dan berkomitmen dalam pencapaian target-target standar mutu (SPMI).
Dengan pola inkremental, perguruan tinggi dapat membangun komitmen secara bertahap melalui uji coba dan perbaikan secara terus menerus. Misalnya, pada tahap awal, pimpinan menetapkan standar SPMI yang rendah dan meningkatkan secara bertahap seiring dengan peningkatan kapasitas dosen dan staf. Pola ini memungkinkan semua pihak beradaptasi secara bertahap, mengurangi resistensi, dan menciptakan kolaborasi untuk mencapai peningkatan mutu yang berkelanjutan (Kaizen)
Evaluasi (dalam PPEPP) merupakan elemen penting dalam SPMI. Elemen ini konsisten dengan prinsip inkrementalisme. Setiap tahap siklus, evaluasi memberikan umpan balik yang digunakan untuk memperbaiki kebijakan di masa depan. Melalui evaluasi (Audit dan Monev), perguruan tinggi dapat mengidentifikasi kesenjangan (gap) dan kendala, seperti rendahnya partisipasi dosen dalam proses PPEPP atau ketidakselarasan antara standar mutu internal dengan tuntutan akreditasi nasional.
Berdasarkan hasil evaluasi, melalui temuan audit, asesmen dan monev, perguruan tinggi dapat menyesuaikan kebijakan agar lebih relevan dan operasional di siklus berikutnya. Contoh, jika keterlibatan dosen dalam penelitian dinilai rendah, kebijakan dapat diubah untuk memberikan insentif penelitian atau pelatihan tambahan tentang metodologi riset. Dengan perbaikan bertahap ini, implementasi PPEPP dapat terus berkembang dan selaras dengan kebutuhan dan tantangan di masa yang akan datang.
Baca juga: Kritisi AMI, di Balik Kegagalan Mutu Perguruan Tinggi
Walaupun pendekatan inkrementalisme memberikan fleksibilitas dalam implementasi SPMI, namun ada risiko bahwa penyesuaian inkremental tidak berakhir indah, hanya mampu “jalan di tempat”.
Beberapa lembaga perguruan tinggi mungkin hanya mampu fokus pada kepatuhan administratif, seperti pemenuhan kelengkapan dokumen SPMI untuk akreditasi, tanpa menghasilkan perbaikan nyata dalam mutu pendidikan. Hal ini terjadi bila setiap siklus PPEPP hanya diperlakukan sebagai prosedur rutin tanpa mempertimbangkan dampak nyata terhadap mutu Tri Dharma seperti pendidikan-pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat.
Evaluasi (dalam PPEPP) yang dilakukan secara dangkal juga berpotensi membuat perubahan menjadi sekadar formalitas tanpa memberikan dampak signifikan terhadap perbaikan mutu pendidikan. Contoh, perguruan tinggi mampu menyelesaikan tahap evaluasi hanya untuk memenuhi syarat akreditasi, namun tidak menggunakan hasil evaluasi tersebut (temuan) untuk memperbaiki kelemahan yang ada. Meskipun langkah ini secara administratif dianggap mematuhi regulasi, namun perubahan yang dihasilkan tidak relevan, tidak sesuai dengan tuntutan perubahan lingkungan.
Oleh sebab itu, penting bagi institusi untuk memastikan bahwa setiap langkah dalam siklus PPEPP menghasilkan “impact” konkret dan terukur. Misal, evaluasi dapat mengidentifikasi bahwa tingkat keterlibatan dosen dalam penelitian rendah. Untuk merespon hal tersebut, perguruan tinggi bisa merancang kebijakan baru, seperti memberikan insentif atau alokasi waktu khusus untuk mendukung kegiatan riset.
Pelaksanaan SPMI melalui pendekatan inkrementalisme menekankan bahwa peningkatan mutu pendidikan tinggi merupakan proses perbaikan terus menerus dan adaptif. Perguruan tinggi perlu menyadari bahwa transformasi tidak mudah seperti membalik telapak tangan, tetapi melalui langkah-langkah kecil, sedikit demi sedikit yang sistematis dan terarah. Setiap tahapan dalam siklus PPEPP memungkinkan perguruan tinggi untuk mengevaluasi hasil yang dicapai dan mengambil tindakan yang sesuai dengan kebutuhan yang berkembang.
Langkah dan penyesuaian bertahap ini tidak boleh menjadi alasan untuk stagnasi. Perguruan tinggi harus tetap fokus pada tujuan jangka panjang, visi-misi dan menghindari jebakan rutinitas administratif. Tanpa pemantauan (monitoring) dan komitmen yang berkelanjutan, pelaksanaan siklus PPEPP dapat berhenti (jalan di tempat), tanpa membawa perubahan nyata pada mutu pendidikan. Oleh karena itu, evaluasi berkelanjutan dan perbaikan yang konsisten wajib harus ada.
Perubahan kecil yang dilakukan secara terus menerus akan membentuk dasar yang kokoh untuk perbaikan mutu di masa depan.
“Continuous improvement is better than delayed perfection,” sebagaimana ungkapan yang menggambarkan bahwa perbaikan kecil namun konsisten lebih efektif daripada menunggu perubahan sempurna namun tidak kunjung datang. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah kebijakan Pemerintah yang dipandang cukup strategis untuk meningkatkan dan menjaga mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 menekankan pentingnya perguruan tinggi menerapkan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) untuk mendorong perbaikan mutu secara berkelanjutan (kaizen).
Namun, di tengah tuntutan peningkatan mutu dan perubahan undang-undang dan peraturan menteri, muncul pertanyaan kritis: Apakah siklus PPEPP cukup efektif dalam mendongkrak mutu pendidikan tinggi di Indonesia?, atau hanya berakhir sebagai beban formalitas administratif belaka? Evaluasi komprehensif diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan SPMI tidak hanya menjadi prosedur rutin, namun juga mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap mutu dan relevansi pendidikan di Indonesia.
Untuk menjawab persoalan tersebut, diperlukan evaluasi komprehensif atas implementasi SPMI guna menilai efektivitas kebijakan dalam meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Kerangka evaluasi William N. Dunn akan dipakai sebagai pisau analisis dalam kajian ini. Teori dari Dunn memberikan pemahaman yang komprehensif tentang pelaksanaan kebijakan.
William N. Dunn adalah seorang profesor di Graduate School of Public and International Affairs, University of Pittsburgh. Ia dikenal luas atas kontribusinya dalam analisis kebijakan publik melalui karya seperti Public Policy Analysis: An Integrated Approach, yang digunakan secara global dalam studi kebijakan dan administrasi publik.
Dunn mengusulkan 6 (enam) kriteria evaluasi, yaitu efektivitas, efisiensi, kecukupan, keadilan, responsivitas, dan kelayakan.
Enam kriteria diatas tidak hanya membantu menilai keberhasilan kebijakan, namun juga mengidentifikasi tantangan, kendala serta area-area yang memerlukan perbaikan dalam siklus PPEPP. Analisis dengan 6 kriteria diatas dapat memberikan wawasan tentang bagaimana kebijakan SPMI dapat dioptimalkan untuk mendukung peningkatan mutu secara berkelanjutan (kaizen).
Kriteria pertama menurut Dunn adalah efektivitas. Dalam konteks SPMI, efektivitas diukur berdasarkan keberhasilan mencapai target yang relevan dan peningkatan akreditasi perguruan tinggi.
Jika siklus PPEPP diterapkan dengan benar, perguruan tinggi diharapkan mampu meningkatkan mutu dalam dua aspek yaitu akademik dan non-akademik.
Namun, ada dugaan, bahwa pelaksanaan siklus PPEPP seringkali tidak merata di seluruh program studi. Ketidakkonsistenan ini menimbulkan pertanyaan, apakah kebijakan tersebut benar-benar memberikan dampak signifikan atau hanya berakhir sebagai formalitas / prosedur administratif tanpa perubahan yang substansial.
Selain itu, efektivitas kebijakan SPMI dapat dievaluasi melalui indikator kinerja yang dicapai melalui pencapaian target dari standar SPMI, contoh seperti publikasi ilmiah, peningkatan kompetensi lulusan, dan kepuasan mahasiswa. Keberhasilan pencapaian target standar SPMI ini tidak hanya diukur dari kepatuhan administratif, namun dari dampak nyata terhadap mutu pendidikan dan relevansi lulusan di pasar tenaga kerja.
Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier
Efisiensi menekankan penggunaan resources (sumber daya) secara optimal untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Dalam pelaksanaan siklus PPEPP, perguruan tinggi perlu memastikan bahwa budget, infrastruktur, dan tenaga SDM digunakan secara efektif untuk mendukung peningkatan mutu secara berkelanjutan.
Namun di beberapa perguruan tinggi, implementasi SPMI sering kali menghadapi tantangan berupa keterbatas anggaran dan kapasitas (skills) sumber daya manusia, terutama di perguruan tinggi swasta di daerah-daerah. Proses penting seperti evaluasi dan pengendalian mutu memerlukan sistem informasi serta dukungan administrasi yang memadai, namun tidak semua perguruan tinggi memiliki kemampuan tersebut, sehingga menghambat pencapaian dari standar SPMI.
Permasalahan diatas memunculkan pertanyaan penting: Apakah kebijakan SPMI mampu berjalan efisien di semua jenis perguruan tinggi?
Efisiensi siklus PPEPP sangat bergantung pada keterampilan manajerial dan komitmen pimpinan perguruan tinggi dalam mengalokasikan sumber daya secara strategis. Tanpa pengelolaan yang baik, kebijakan SPMI berisiko menjadi boros dan mahal tanpa memberikan hasil signifikan.
Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”
Kecukupan untuk menjawab pertanyaan apakah kebijakan yang disusun cukup untuk memecahkan masalah yang ingin diatasi.
Dalam konteks SPMI, kebijakan SPMI disusun bertujuan untuk memastikan standar SPMI dipenuhi oleh perguruan tinggi, program studi dan unit kerja.
Bagaimana dalam praktiknya? Diduga tidak semua masalah pendidikan tinggi dapat diselesaikan hanya melalui penerapan PPEPP. Beberapa masalah seperti rendahnya minat penelitian di kalangan dosen atau kurangnya keterlibatan industri dalam pengembangan kurikulum mungkin tidak sepenuhnya teratasi melalui kebijakan SPMI.
Oleh sebab itu, kebijakan SPMI dianggap cukup atau memadai (adequacy) bila mampu memperbaiki “sebagian besar” aspek mutu pendidikan, meskipun mungkin belum mencakup untuk seluruh dimensi mutu di perguruan tinggi. Oleh karena itu, perguruan tinggi “perlu aktif” melakukan penyesuaian dan inovasi kebijakan agar penerapan PPEPP dapat memenuhi kebutuhan internal sekaligus menjawab tantangan eksternal.
Kriteria keadilan atau pemerataan, dilakukan untuk mengukur sejauh mana manfaat kebijakan didistribusikan “secara adil” (equity) di antara semua pihak yang terlibat.
Kebijakan SPMI harus memastikan bahwa seluruh program studi dan unit di perguruan tinggi mendapatkan perhatian dan dukungan yang adil serta memadai. Namun, dalam praktik diduga bahwa terdapat ketimpangan dalam penerapan PPEPP, di mana program studi unggulan atau fakultas yang lebih mapan cenderung mendapatkan dukungan sumber daya yang lebih besar.
Akses yang merata terhadap sumber daya pendidikan juga menjadi indikator penting dalam menilai keadilan kebijakan. Perguruan tinggi perlu memastikan semua mahasiswa dari berbagai latar belakang mendapatkan layanan pendidikan tanpa diskriminasi.
Responsivitas, bermakna kemampuan perguruan tinggi untuk menyesuaikan kebijakan dengan perubahan regulasi dan tuntutan pemangku kepentingan.
Dalam dunia pendidikan tinggi yang dinamis, kebijakan SPMI harus responsif-adaptif terhadap perkembangan teknologi, tuntutan industri, dan kebutuhan mahasiswa. Namun, birokrasi yang kompleks dan kurangnya komunikasi-koordinasi sering kali menjadi penghambat dalam penerapan kebijakan SPMI yang cepat dan tepat.
Beberapa perguruan tinggi menunjukkan kemampuan responsif dengan memodifikasi kurikulum dan mengadopsi teknologi digital untuk meningkatkan mutu pendidikan. Akan tetapi, tidak semua institusi memiliki fleksibilitas yang sama. Hal ini menimbulkan tantangan dalam menjaga agar standar SPMI yang ditetapkan perguruan tinggi tetap relevan dengan kebutuhan dan tuntutan yang berkembang.
Kriteria terakhir adalah kelayakan (appropriateness), yang menilai apakah kebijakan SPMI relevan dengan masalah yang dihadapi dan selaras dengan tujuan pendidikan tinggi.
Kebijakan SPMI akan dianggap tepat jika mampu mendukung pencapaian visi dan misi perguruan tinggi serta memenuhi standar nasional dan internasional. Kelayakan juga berkaitan dengan sejauh mana kebijakan SPMI mampu beradaptasi dengan perubahan kondisi eksternal perguruan tinggi.
Diduga kuat, di beberapa perguruan tinggi kebijakan SPMI hanya menjadi rutinitas administratif belaka, tanpa menyentuh permasalahan substansial. Perguruan tinggi perlu memastikan bahwa siklus PPEPP tidak hanya berfokus pada kepatuhan formal, namun juga pada peningkatan mutu yang signifikan dan berkelanjutan (continuous improvement).
Baca juga: Kurangi Kerumitan SPMI, Bisakah?
Evaluasi kebijakan SPMI dengan prspektif 6 (enam) kriteria William Dunn memberikan wawasan mendalam tentang efektivitas dan mutu kebijakan di perguruan tinggi.
SPMI yang dijalankan melalui siklus PPEPP memiliki potensi besar dalam meningkatkan mutu pendidikan tinggi. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada faktor-faktor utama, seperti ketersediaan sumber daya, komitmen pimpinan, dan responsivitas terhadap perubahan kebutuhan.
Dalam praktiknya, tidak semua perguruan tinggi mampu menjalankan kebijakan SPMI secara efisien dan merata. Beberapa perguruan tinggi menghadapi kendala dalam penerapan siklus PPEPP, baik karena keterbatasan sumber daya maupun hambatan komunikasi-koordinasi. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi dan penyesuaian berkelanjutan agar kebijakan ini dapat diimplementasikan dengan baik dan benar sesuai dengan dinamika pendidikan tinggi.
Penerapan 6 kriteria dari Dunn membantu mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan kebijakan serta memberikan arahan untuk perbaikan.
Perguruan tinggi harus memastikan bahwa SPMI tidak hanya menjadi kewajiban formalitas-administratif, namun juga sebagai tools (alat) strategis untuk mencapai keunggulan dan peningkatan mutu yang berkelanjutan.
Dengan komitmen dan pengelolaan (management) yang tepat, siklus PPEPP dapat menjadi mekanisme yang efektif dalam menjamin mutu dan relevansi pendidikan tinggi di Indonesia. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Implementasi Kebijakan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi adalah regulasi penting ditetapkan pemerintah untuk memastikan peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan. Siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar—berfungsi sebagai panduan bagi perguruan tinggi untuk “mengintegrasikan” kebijakan mutu ke dalam semua aspek operasional dan proses pembelajaran. Peraturan Pengintegrasian SPMI dalam manajemen perguruan tinggi, dapat dilihat pada pasal 69, ayat (1)b Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
Namun, di perguruan tinggi, implementasi ini tidak selalu berjalan dengan mulus sesuai rencana. Kesenjangan (gap) sering muncul antara perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya. Kebijakan yang dirancang di tingkat strategis di lingkungan kementerian, namun seringkali sulit diterjemahkan ke dalam tindakan nyata di unit-unit operasional di kampus. Sulitnya komunikasi-koordinasi internal juga memperburuk kesulitan ini.
Dalam konteks ini, teori implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier memberikan penjelasan menarik tentang mengapa kebijakan yang tampak baik di atas kertas sering mengalami tantangan berat dalam penerapannya.
Para pimpinan perguruan tinggi, baik rektor, ketua maupun direktur, merasa “pusing tujuh keliling” bagaimana cara-cara praktis mengelola SPMI dengan baik dan benar. Mereka menyadari bahwa keberhasilan implementasi tidak hanya bergantung pada desain kebijakan, namun juga pada kemampuan organisasi dalam menghadapi kompleksitas masalah dan dinamika faktor eksternal.
Teori Mazmanian dan Sabatier menekankan bahwa “kompleksitas” masalah adalah salah satu faktor penting yang memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan (Mazmanian & Sabatier, Implementation and Public Policy, 1983). Dalam perguruan tinggi, perubahan menuju penerapan budaya mutu bukan hanya masalah teknis, tetapi juga melibatkan adaptasi di seluruh organisasi. Managing change merupakan salah satu tantangan besar bagi pengelola organisasi.
Birokrasi yang kaku, struktur yang berlapis dan (pola pikir, pola sikap dan pola perilaku) yang sudah terbentuk menjadi hambatan dalam proses perubahan. Organisasi sudah sulit untuk lincah fleksibel mengikuti perubahan lingkungan (struktural yang lembam atau inersia). Aktor-aktor internal, seperti pimpinan, dosen dan staf administrasi, sering kali enggan meninggalkan kebiasaan (habit) lama, sehingga membuat implementasi kebijakan SPMI berjalan lambat atau tidak konsisten.
Siklus PPEPP nomor tiga, yang terdiri dari monitoring-evaluasi (monev) dan audit mutu secara berkala, kerap dipandang sebagai tugas administratif semata. Alih-alih digunakan sebagai “tools” untuk perbaikan berkelanjutan (kaizen), audit dan monev seringkali tidak dianggap strategis oleh sebagian besar pelaksana di lapangan.
Resistensi (penolakan) tersebut menggambarkan bagaimana faktor “budaya mutu” berpengaruh besar terhadap efektivitas kebijakan pemerintah. Semakin kompleks dan beragam perilaku aktor dalam sebuah organisasi, seperti yang dijabarkan oleh Mazmanian dan Sabatier, semakin berat pula kebijakan tersebut dapat dijalankan dengan baik.
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Salah satu aspek krusial dalam teori Mazmanian dan Sabatier adalah bahwa kebijakan pemerintah yang efektif harus mampu mengarahkan implementasi secara jelas. Tujuan yang spesifik dan instrumen yang memadai sangat penting agar kebijakan dapat dijalankan sesuai harapan stakeholder. Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 telah menyediakan kerangka (framework) kebijakan yang mengatur penjaminan mutu di perguruan tinggi.
Keberhasilan implementasi tidak hanya bergantung pada kerangka kebijakan, tetapi juga pada kemampuan perguruan tinggi untuk mengintegrasikan PPEPP ke dalam strategi operasional sehari-hari. Perguruan tinggi perlu memastikan bahwa setiap tahap PPEPP berjalan “selaras” dengan manajemen mutu di semua level, mulai dari statuta, RIP, Renstra, Kebijakan SPMI, Perangkat PPEPP, Standar, Prosedur dan Instruksi Kerja.
Keterlibatan dan koordinasi langsung dari pimpinan puncak sangat penting agar PPEPP tidak sekadar menjadi formalitas administratif belaka. Pimpinan harus mampu berkomunikasi dan memotivasi seluruh komponen organisasi untuk melihat PPEPP sebagai instrumen peningkatan mutu yang berkelanjutan. Pimpinan harus menjadi role model yang terdepan untuk dicontoh anggota organisasi. Tanpa komitmen penuh dari segenap pimpinan dan keterlibatan seluruh elemen, kebijakan yang baik di atas kertas sulit memberikan dampak (impact) nyata pada peningkatan mutu pendidikan.
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Faktor lingkungan eksternal memainkan peran penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan SPMI. Perguruan tinggi harus mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan FUCA, BANI dan kebijakan nasional serta memenuhi tuntutan akreditasi dari lembaga eksternal. Dinamika ini membuat pelaksanaan PPEPP tidak hanya bergantung pada internal kampus, tetapi juga pada perubahan lingkungan yang berlaku di tingkat nasional dan global.
Perubahan lingkungan VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) dan BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, Incomprehensible) menuntut perguruan tinggi untuk beradaptasi cepat, tepat dan fleksibel. Dalam perspektif Mazmanian dan Sabatier, keberhasilan implementasi kebijakan bergantung pada kemampuan perguruan tinggi menghadapi dinamika ini melalui penyusunan (pemutakhiran) visi-misi, koordinasi internal, desain kebijakan yang jelas, dan adaptasi terus menerus terhadap perubahan faktor eksternal.
Mazmanian dan Sabatier menggaris bawahi bahwa dukungan politik dan lingkungan eksternal sangat krusial dalam memengaruhi keberhasilan kebijakan (Mazmanian & Sabatier, 1983). Ketika ada perubahan undang-undang, kebijakan akreditasi atau peraturan pendidikan, perguruan tinggi perlu memastikan bahwa “Standar SPMI” tetap relevan dan selaras dengan tuntutan terbaru. Keterlambatan dalam beradaptasi bisa menghambat pencapaian mutu yang diharapkan. Dengan kata lain. standar SPMI harus terus menerus di mutakhirkan (update) agar tetap relevant.
Monitoring dan evaluasi internal menjadi sangat krusial agar dokumen SPMI dapat terus diperbarui sesuai perkembangan eksternal. Perguruan tinggi harus melakukan evaluasi berkala dan menerapkan umpan balik untuk mengatasi kesenjangan antara perubahan eksternal, regulasi dan praktik. Ini memastikan bahwa kebijakan SPMI tetap efektif dan mampu menghadapi perubahan di lingkungan yang dinamis.
Implementasi SPMI dan PPEPP di perguruan tinggi merupakan proses dinamis dan kompleks yang memerlukan keterlibatan seluruh komponen organisasi. Melalui kerangka teori implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier, dapat dipahami bahwa keberhasilan kebijakan tidak hanya bergantung pada perumusan yang baik, namun juga pada pelaku aktor-aktor di lapangan.
Perguruan tinggi yang mampu mengintegrasikan PPEPP ke dalam praktik manajemen kampus tidak hanya akan memenuhi regulasi, tetapi juga berpeluang untuk meningkatkan mutu pendidikan secara terus menerus. Proses ini membutuhkan komitmen dari seluruh elemen, termasuk pimpinan puncak, dosen, dan staf administrasi, agar kebijakan SPMI berjalan efektif dan efisien. Segenap SDM di perguruan tinggi, bersama-sama perlu memperkuat budaya mutu organisasi.
Budaya mutu organisasi meliputi pola pikir, pola sikap dan pola perilaku yang sesuai dengan standar SPMI yang telah ditetapkan. Perlu membangun etos kerja yang kuat, yaitu komitmen untuk kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas dan kerja ikhlas.
Dengan komunikasi-koordinasi yang efektif dan pemantauan yang berkesinambungan, siklus PPEPP dapat berfungsi sebagai instrumen perubahan yang nyata. Audit mutu internal, dan Monev internal memungkinkan perguruan tinggi menyesuaikan kebijakan SPMI dengan perkembangan eksternal, memastikan bahwa peningkatan mutu tidak berhenti hanya pada pemenuhan standar, tetapi terus berkembang untuk menghadapi tantangan era VUCA dan BANI saat ini dan di masa yang akan datang. Stay Relevant!
Baca juga: Pengorbanan dan Dedikasi: Fondasi Kepemimpinan SPMI
Sumber:
Mazmanian, D. A., & Sabatier, P. A. (1983). Implementation and Public Policy. Glenview, IL: Scott Foresman.
Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
Buku Pedoman Implementasi SPMI bagi Perguruan Tinggi Akademik (LLDikti Wilayah III, 2024)
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) telah menjadi regulasi penting dalam menjaga dan meningkatkan mutu perguruan tinggi di Indonesia. Siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan (PPEPP) memastikan bahwa standar mutu diterapkan secara berkelanjutan (kaizen), sehingga perguruan tinggi dapat mempertahankan dan meningkatkan mutu sesuai dengan tuntutan zaman.
SPMI berperan penting dalam membantu perguruan tinggi menjaga konsistensi dalam mutu layanan pendidikan. Regulasi SPMI Pendidikan tinggi, diatur dalam Permendikbudristek no 53 tahun 2023 pasal 67 sampai dengan pasal 70.
Akan tetapi, dengan perubahan cepat dalam dunia pendidikan serta perkembangan teknologi digital, perguruan tinggi harus mengadopsi pendekatan baru yang lebih strategis.
Transformasi digital dalam SPMI bukan lagi sebuah pilihan, namun merupakan kebutuhan untuk tetap relevan dan kompetitif di era global.
Digitalisasi SPMI memungkinkan perguruan tinggi meningkatkan efisiensi, responsivitas, dan aksesibilitas layanan, yang berujung pada peningkatan mutu dan kepuasan mahasiswa. Melalui SPMI digital, perguruan tinggi tidak hanya mengadopsi teknologi dalam aspek administratif, namun juga dalam meningkatkan mutu pengajaran, pelayanan, penelitian serta interaksi dengan mahasiswa.
Menurut temuan jurnal “Student Satisfaction and Retention: Impact of Service Quality and Digital Transformation” oleh Forid et al. (2022), dicatat bahwa “keandalan tetap menjadi pilar utama kepuasan mahasiswa, karena layanan yang andal secara langsung memengaruhi pengalaman pendidikan mereka.”
Dalam konteks SPMI digital, keandalan layanan pendidikan dan administrasi harus dipastikan melalui sistem digital yang terintegrasi dan dapat diandalkan. Digitalisasi di sini berperan penting dalam menjamin kecepatan dan akurasi layanan, mulai dari pendaftaran mahasiswa hingga penyediaan materi pembelajaran secara online.
Perguruan tinggi yang sukses menerapkan SPMI digital akan mampu memberikan pengalaman yang lebih baik bagi mahasiswa melalui layanan yang responsif dan terpercaya. Ini juga sejalan dengan temuan jurnal bahwa “pembeda dalam kepuasan mahasiswa adalah responsif dan kehandalan dalam layanan.” Layanan yang cepat tanggap terhadap keluhan, kebutuhan akademik, serta komunikasi yang lebih efisien akan memperkuat kepercayaan dan kepuasan mahasiswa.
Temuan dalam jurnal diatas juga menegaskan bahwa “transformasi digital bukan lagi sebuah kemewahan, tetapi sebuah keharusan untuk memenuhi harapan mahasiswa modern dan meningkatkan kepuasan mereka.” Perguruan tinggi yang gagal mengadopsi teknologi digital dalam SPMI akan tertinggal di belakang.
Sistem digital tidak hanya mempercepat proses administrasi, tetapi juga memungkinkan perguruan tinggi untuk memantau dan mengevaluasi mutu dengan data yang lebih tepat dan akurat.
Dalam era ini, layanan berbasis teknologi seperti platform LMS (e-learning), penggunaan big data untuk analisis kinerja akademik, serta aplikasi digital untuk komunikasi antara dosen dan mahasiswa menjadi sangat penting. Perguruan tinggi yang mampu memanfaatkan teknologi informasi (IT) akan dapat dengan cepat beradaptasi dan meningkatkan efektivitas proses PPEPP secara keseluruhan.
Temuan jurnal berikutnya, “Empati, meskipun penting, tidak secara signifikan mempengaruhi kepuasan mahasiswa, mahasiswa lebih memprioritaskan aspek fungsional daripada aspek emosional dalam kualitas layanan.”
Hal diatas menandakan bahwa dalam implementasi SPMI digital, perguruan tinggi harus berfokus pada aspek fungsional, seperti efisiensi sistem dan kemudahan akses layanan, daripada terlalu menekankan interaksi emosional. Apa artinya empati dan keramahtamahan bila tidak diimbangi dengan aspek fungsional dari layanan digital yang ada.
Penguatan layanan digital yang mudah digunakan dan diakses kapan saja menjadi prioritas utama. Dengan mengoptimalkan aspek-aspek yang lebih fungsional, perguruan tinggi dapat meminimalisasi kesenjangan antara harapan mahasiswa dan layanan yang diterima, yang pada akhirnya meningkatkan kepuasan dan retensi mahasiswa.
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Jurnal diatas juga menemukan, “Retensi mahasiswa sangat terkait dengan kepuasan. Mahasiswa yang puas cenderung menyelesaikan studi dan mempromosikan institusi.”
Dalam konteks ini, SPMI digital tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan mutu akademik, namun juga mempertahankan mahasiswa dan meningkatkan reputasi perguruan tinggi. Mahasiswa yang puas dengan sistem pendidikan berbasis digital akan lebih loyal dan cenderung menyelesaikan studi dengan baik.
SPMI digital juga membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk membangun komunitas alumni yang kuat dan proaktif, yang dapat berkontribusi pada pertumbuhan institusi di masa yang akan datang.
Melalui integrasi SPMI digital, perguruan tinggi dapat memanfaatkan teknologi untuk menciptakan layanan yang lebih responsif dan andal, sesuai dengan tuntutan mahasiswa modern. Digitalisasi SPMI memberikan perguruan tinggi kemampuan untuk menghadirkan layanan pendidikan yang lebih cepat, tepat, dan mudah diakses, baik dari segi administrasi maupun pembelajaran. Kecepatan dan keandalan dalam pelayanan sangat penting karena berkontribusi langsung terhadap kepuasan mahasiswa. Pengelolaan berbasis digital ini memastikan perguruan tinggi lebih efisien dalam memantau dan mengelola mutu pendidikan mereka.
Transformasi digital, seperti yang dikemukakan dalam temuan Forid et al. (2022), memiliki dampak yang signifikan dalam meningkatkan kepuasan mahasiswa dan memperkuat daya saing perguruan tinggi di tingkat global. Teknologi memungkinkan universitas untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa yang semakin digital-savvy dan mengharapkan pengalaman pendidikan yang lebih modern. Hal ini juga memungkinkan perguruan tinggi untuk berinovasi dalam metode pembelajaran dan administrasi, yang pada akhirnya mendukung efektivitas SPMI dan meningkatkan reputasi mereka di kancah internasional.
Di era digital, kualitas layanan bukan hanya soal pencapaian standar, tetapi soal menciptakan keunggulan kompetitif yang baru.
Dengan SPMI digital, perguruan tinggi dituntut tidak hanya sekedar melaksanakan standar SPMI, namun juga menetapkan standar baru yang lebih tinggi untuk pendidikan berkelanjutan.
Transformasi ini tidak hanya memastikan perguruan tinggi mampu bersaing di era global, tetapi juga memberikan fondasi bagi inovasi yang mendukung keberlanjutan dan relevansi pendidikan di masa depan. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan framework penting dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan di perguruan tinggi.
Menurut Permendikbudristek 53 tahun 2023, dalam pasal 68 ayat 1, diatur tentang implementasi siklus PPEPP.
Melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan), SPMI memungkinkan perguruan tinggi untuk menyesuaikan proses pendidikan sesuai dengan standar minimal yang ditetapkan oleh pemerintah. Siklus ini memastikan bahwa institusi secara berkelanjutan memantau dan memperbaiki kinerja pendidikan, menciptakan standar mutu yang konsisten dan terukur.
Namun, di tengah tantangan global yang terus berkembang seperti kemajuan teknologi dan perubahan kebutuhan pasar tenaga kerja, perguruan tinggi dituntut untuk lebih adaptif.
Sistem mutu yang hanya memenuhi standar statis tidak lagi cukup; diperlukan kemampuan dinamis untuk merespons perubahan eksternal dengan cepat.
Dalam konteks ini, integrasi McKinsey 7S Model menawarkan pendekatan yang relevan untuk memperkuat SPMI. Model ini memberikan panduan yang komprehensif untuk menyelaraskan tujuh elemen kunci dalam organisasi, yaitu struktur, strategi, sistem, staf, keterampilan, gaya, dan nilai bersama, sehingga perguruan tinggi dapat secara fleksibel menyesuaikan diri dengan lingkungan yang terus berubah.
McKinsey 7S Model adalah kerangka kerja yang digunakan secara luas untuk membantu organisasi mengelola perubahan dengan menyelaraskan tujuh elemen utama: struktur, strategi, sistem, staf, keterampilan, gaya, dan nilai bersama.
Dalam konteks perguruan tinggi, model Mc kinsey 7S menjadi sangat relevan karena setiap elemen tersebut harus bekerja bersama secara sinergis untuk memastikan keberhasilan implementasi SPMI. Pendekatan ini memungkinkan perguruan tinggi untuk mengelola perubahan internal yang diperlukan untuk mencapai tujuan strategis dengan lebih efektif.
Dengan melakukan evaluasi dan penyesuaian terus-menerus terhadap elemen-elemen 7S, perguruan tinggi dapat beradaptasi lebih cepat terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan eksternal, seperti perkembangan teknologi, perubahan regulasi dan kebutuhan pasar kerja. Hal ini memastikan bahwa upaya peningkatan mutu pendidikan tinggi tidak hanya memenuhi standar SPMI yang ditetapkan, tetapi juga memperkuat daya saing perguruan tinggi dalam menghadapi tantangan perubahan zaman.
Konsep McKinsey 7S telah terbukti efektif dalam membantu organisasi beradaptasi dengan perubahan lingkungan, seperti yang dijelaskan dalam jurnal “Implementing McKinsey 7S Model of Organizational Diagnosis and Planned Change, Best Western Italy Case Analysis” yang diterbitkan dalam Journal of International Business and Management (JIBM). DOI: https://doi.org/10.37227/JIBM-2021-09-1438
Studi kasus di Best Western Italy menunjukkan bahwa perusahaan tersebut berhasil mengelola perubahan organisasi (managing change) dengan menyesuaikan setiap elemen dalam model 7S.
Jurnal diatas menekankan bahwa perubahan yang berhasil hanya dapat terjadi ketika semua elemen organisasi—struktur, strategi, sistem, staf, keterampilan, gaya, dan nilai bersama—“berfungsi secara harmonis”.
Dalam konteks perguruan tinggi, penerapan konsep 7S juga diperlukan untuk memperkuat Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI).
Struktur organisasi perguruan tinggi harus dirancang agar mendukung pelaksanaan strategi mutu yang telah ditetapkan. Misalnya, pembagian peran dan tanggung jawab antara fakultas, departemen, dan unit pendukung harus dikelola dengan baik untuk mencapai tujuan strategis secara efektif.
Sejauh mana pola sentralisasi dan desentralisasi organisasi dibangun agar iklim inovatif dapat terwujud. Sejauh mana sinkronisasi dan integrasi pekerjaan dapat dibangun agar tercapai sinergi yang optimal.
Selain itu, sistem penilaian dan evaluasi di perguruan tinggi harus dirancang sedemikian rupa agar memberikan informasi yang akurat dan relevan kepada para stakeholder (pemangku kepentingan).
Dengan sistem evaluasi yang tepat, perguruan tinggi dapat lebih cepat melakukan perbaikan untuk memastikan bahwa peningkatan mutu pendidikan dapat dilakukan secara tepat waktu dan terukur.
Nilai bersama (shared values) dalam organisasi, seperti yang diuraikan dalam jurnal JIBM, memainkan peran penting dalam memfasilitasi perubahan. Di perguruan tinggi, nilai-nilai seperti inovasi, komitmen terhadap keunggulan akademik, dan inklusivitas harus terus diperkuat. Nilai-nilai ini menciptakan budaya perguruan tinggi yang mendukung keberhasilan implementasi SPMI.
Budaya organisasi yang dipandu oleh nilai-nilai bersama ini tidak hanya memastikan keberhasilan perubahan, tetapi juga memberikan arah bagi setiap langkah dalam pengelolaan mutu di perguruan tinggi. Dengan demikian, nilai bersama (shared values) menjadi pusat dari perubahan yang berkelanjutan, memastikan setiap elemen berfungsi secara sinergis.
Dalam lingkungan pendidikan tinggi yang semakin kompleks, penyesuaian terhadap elemen 7S menjadi kunci penting untuk menjaga fleksibilitas dan keberlanjutan mutu. Dengan mengintegrasikan konsep 7S ke dalam SPMI, perguruan tinggi berpeluang memastikan keberhasilan mereka dalam menghadapi tantangan masa depan.
Agar perguruan tinggi tetap unggul, relevan dan kompetitif, evaluasi berkelanjutan terhadap elemen-elemen dalam McKinsey 7S sangat penting. Lingkungan pendidikan tinggi terus berkembang, sehingga perguruan tinggi harus terus menilai dan menyesuaikan staf (staff), keterampilan (skills), serta gaya kepemimpinan (style) mereka.
Staf akademik dan administratif harus memiliki keterampilan yang sesuai dengan perkembangan zaman, baik dalam hal pengajaran, penelitian, pengabdian, maupun administrasi.
Selain keterampilan (skills), gaya kepemimpinan (style) di perguruan tinggi juga harus mendukung proses manajemen (systems) yang inovatif dan fleksibel. Pemimpin perguruan tinggi harus mampu berperan sebagai agen perubahan (change agent) yang mendorong budaya inovatif dan lingkungan akademik yang dinamis. Dengan gaya kepemimpinan yang “proaktif dan responsif”, perguruan tinggi akan lebih siap menghadapi perubahan lingkungan eksternal dan memperkuat implementasi SPMI.
Proses evaluasi yang terus-menerus terhadap elemen-elemen McKinsey 7S tidak hanya membantu perguruan tinggi beradaptasi dengan perubahan, tetapi juga memastikan setiap elemen mendukung tujuan strategis perguruan tinggi (pencapaian visi dan misi). Evaluasi yang berkelanjutan memungkinkan setiap elemen, seperti staf, keterampilan, dan sistem, untuk tetap relevan dengan kebutuhan institusi.
Evaluasi terhadap staf mencakup penilaian kompetensi dalam menghadapi perubahan teknologi dan metodologi pengajaran baru. Perguruan tinggi harus menyediakan pelatihan yang memadai untuk memastikan bahwa staf memiliki keterampilan yang relevan dengan perkembangan terkini.
Lebih jauh lagi, keterampilan manajemen (skills) juga harus dinilai secara berkala untuk memastikan bahwa sistem dan proses yang dijalankan dapat mendukung implementasi strategi secara efektif. Keterampilan ini penting dalam menghadapi perubahan kebijakan pendidikan, perkembangan teknologi, dan tuntutan pasar tenaga kerja.
Seperti yang diuraikan dalam jurnal diatas, evaluasi berkelanjutan terhadap elemen-elemen organisasi membantu menjaga fleksibilitas dan ketangguhan dalam menghadapi tantangan masa depan.
Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?
Integrasi McKinsey 7S Model ke dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) memberikan perguruan tinggi alat (tools) yang cukup handal untuk menghadapi tantangan global.
Evaluasi dan adaptasi terus-menerus terhadap elemen-elemen kunci seperti struktur, strategi, sistem, staf, keterampilan, gaya kepemimpinan, dan nilai bersama (shared values) menjadi kunci keberhasilan dalam menjaga mutu pendidikan.
Dalam dunia pendidikan yang semakin dinamis, perguruan tinggi tidak hanya dituntut untuk memenuhi standar SPMI yang ada, tetapi juga perlu membangun kapabilitas internal yang tangguh.
Sebagaimana diuraikan dalam jurnal “Implementing McKinsey 7S Model of Organizational Diagnosis and Planned Change, Best Western Italy Case Analysis”, penerapan 7S membantu organisasi tetap relevan di tengah perubahan.
Jurnal diatas menjelaskan bagaimana Best Western Italy berhasil melakukan perubahan signifikan dengan menyesuaikan setiap elemen organisasi agar berjalan selaras. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan elemen-elemen internal secara sinergis sangat penting untuk menghadapi tantangan organisasi di masa depan.
Dalam konteks perguruan tinggi, evaluasi terhadap elemen-elemen seperti staf (staff) dan keterampilan (skills) sangat diperlukan untuk memastikan mereka tetap relevan dengan perkembangan terbaru di bidang pendidikan, teknologi, dan riset.
Perguruan tinggi harus memastikan bahwa sistem (systems) dan struktur organisasi (structure) dapat mendukung inovasi dan fleksibilitas yang dibutuhkan untuk menjawab tuntutan zaman. Penyesuaian ini tidak hanya memastikan keberlanjutan mutu, tetapi juga memperkuat kapabilitas institusi untuk tetap kompetitif.
Nilai bersama (shared values) dan budaya organisasi juga memainkan peran sentral dalam memastikan keberhasilan SPMI. Nilai-nilai seperti komitmen terhadap inovasi, kolaborasi, dan keunggulan akademik harus terus dijaga dan diperkuat. Nilai ini menciptakan landasan moral yang kuat dan memotivasi seluruh pemangku kepentingan untuk bekerja menuju tujuan yang sama dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Dengan demikian, integrasi McKinsey 7S Model tidak hanya membantu perguruan tinggi memenuhi standar, tetapi juga membangun kapabilitas yang tangguh dan fleksibel untuk menghadapi masa depan.
“Untuk berhasil dalam dunia yang terus berubah, perguruan tinggi tidak cukup hanya memenuhi standar SPMI; namun mereka harus menciptakan standar-standar baru untuk layanan pendidikan terbaik, McKinsey 7S model dapat menjadi toolnya” Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi (PT) memberikan kerangka (framework) yang kuat untuk menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan secara konsisten.
SPMI membantu institusi menjalankan siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan (PPEPP) guna mencapai standar mutu yang diharapkan. Namun, dalam era kompetisi global, bila PT hanya berpegang pada “isi” standar SPMI saja tentu tidak cukup untuk meraih keunggulan.
Perguruan tinggi saat ini, dituntut “harus” lebih fleksibel dan inovatif untuk menghadapi perubahan cepat dalam teknologi, pasar kerja, dan kebijakan pendidikan. Di sinilah pentingnya SPMI dinamis, yang menggabungkan siklus PPEPP dengan pendekatan dynamic capabilities. Hal ini memungkinkan institusi untuk tidak hanya mempertahankan standar mutu, tetapi juga terus berinovasi dan beradaptasi secara efektif dengan perubahan eksternal yang sangat cepat.
Teori dynamic capabilities yang dikembangkan oleh David J. Teece dalam jurnal berjudul “Dynamic Capabilities as (Workable) Management Systems Theory” menyoroti pentingnya organisasi memiliki kemampuan untuk beradaptasi dalam lingkungan yang berubah.
Teece menyatakan bahwa untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, organisasi harus mampu merasakan (sensing), merebut (seizing), dan mentransformasi (transforming) peluang. Jurnal ini diterbitkan di Journal of Management & Organization, Volume 24, Nomor 3, tahun 2018 oleh Cambridge University Press.
Dalam konteks perguruan tinggi, kemampuan dinamis ini sangat penting. Perguruan Tinggi tidak hanya harus memenuhi standar mutu yang ditetapkan oleh SPMI, namun juga harus mampu merespons perubahan di bidang pendidikan.
Perubahan ini bisa berupa perkembangan teknologi baru, gaya hidup (budaya), kebijakan pemerintah yang diperbarui, atau perubahan kebutuhan pasar kerja. Dengan kemampuan untuk cepat (speed) merespons perubahan, perguruan tinggi akan dapat terus relevan dan persaingan di tingkat nasional, regional maupun global.
Kemampuan dinamis ini memungkinkan perguruan tinggi untuk berinovasi dan menyesuaikan strategi mereka sesuai dengan kebutuhan zaman. Hal ini memastikan bahwa “institusi tidak hanya berfokus pada standar SPMI yang ada“, tetapi juga proaktif dalam mencari peluang baru yang mendukung pertumbuhan organisasi.
Siklus PPEPP dalam SPMI memberikan struktur untuk melakukan kaizen atau continuous improvement, tetapi proses ini harus lebih dari sekadar formalitas. Feedback yang diterima melalui evaluasi harus memicu tindakan nyata dan transformasi dalam sistem pendidikan.
Dalam pasal 68 ayat 2 Permendikbudristek no 53 tahun 2023 disebutkan bahwa feedback / evaluasi SPMI dilakukan melalui Monitoring Evaluasi (Monev), Audit Mutu Internal (AMI) dan atau Assessment (penilaian).
Perguruan tinggi (PT) yang berhasil adalah mereka yang mampu merespons hasil evaluasi (dalam PPEPP) dengan perubahan signifikan, memastikan mereka akan tetap relevan (stay relevant) dalam persaingan global.
Feedback bukanlah akhir, tetapi awal dari inovasi baru.
Di era digital, teknologi bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendasar bagi perguruan tinggi yang ingin tetap kompetitif.
Institusi yang berhasil memanfaatkan teknologi IT dapat meningkatkan efisiensi proses pembelajaran melalui platform e-learning dan hybrid learning, seperti yang dilakukan oleh Universitas Harvard dan MIT melalui platform edX, yang memungkinkan mahasiswa dari seluruh dunia mengakses kursus dari jarak jauh.
Contoh lain dari pemanfaatan teknologi dibidang kecerdasan buatan (AI). Teknologi ini membantu dalam proses pembelajaran adaptif, di mana teknologi mampu menyesuaikan materi berdasarkan tingkat pemahaman siswa, seperti yang diterapkan di Arizona State University.
Selain itu, teknologi juga memainkan peran penting dalam meningkatkan efisiensi administrasi.
Perguruan tinggi yang menggunakan sistem manajemen informasi berbasis cloud, dapat mengelola proses akademik, data keuangan, hingga SDM dengan lebih efisien. Stanford University, memanfaatkan big data dan analytics untuk memantau kinerja mahasiswa dan mendukung pengambilan keputusan (decision making process) berbasis data yang lebih baik.
Teknologi juga membuka pintu kolaborasi internasional, memperluas peluang riset dan inovasi. Cambridge University telah bekerja sama dengan berbagai perguruan tinggi di seluruh dunia melalui inisiatif riset berbasis teknologi. Hal ini membuktikan bahwa kolaborasi lintas negara, yang dimediasi oleh teknologi, mampu membawa institusi ke level yang lebih tinggi.
SPMI dinamis tidak hanya tentang proses internal, namun juga tentang bagaimana perguruan tinggi “terhubung” berinteraksi dengan dunia luar.
Koneksi dengan pemerinah, dengan industri, dan universitas global menjadi kunci dalam menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan berkelanjutan. Perguruan tinggi harus memiliki kemampuan untuk “membaca” perubahan zaman dan menciptakan kolaborasi yang menguntungkan bagi semua pihak.
SPMI dinamis memberikan perguruan tinggi kemampuan untuk lebih dari sekadar memenuhi standar SPMI yang telah ditetapkan.
Dengan mengintegrasikan pendekatan dynamic capabilities seperti yang dijelaskan oleh David J. Teece dalam jurnalnya “Dynamic Capabilities as (Workable) Management Systems Theory”, perguruan tinggi dapat mengembangkan kapabilitas adaptif yang memungkinkan mereka tetap relevan di tengah perubahan global yang cepat.
Dengan mengintegrasikan siklus SPMI—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan—dengan “kapabilitas dinamis”, institusi dapat dengan lebih baik merespons tantangan dan peluang baru yang muncul di bidang teknologi, pendidikan dan pasar kerja.
Di era digital ini, perguruan tinggi yang sukses bukan hanya yang mengikuti aturan dan standar formal, tetapi yang mampu berinovasi secara berkelanjutan. Inovasi ini mungkin datang dari penerapan teknologi terbaru dalam pembelajaran, penyesuaian kurikulum dengan kebutuhan pasar global, atau kolaborasi lintas negara yang menghasilkan riset-riset mutakhir.
Dengan pendekatan dynamic capabilities, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa mereka tidak hanya mampu bertahan dalam lingkungan yang berubah, tetapi juga berkembang untuk mencapai keunggulan kompetitif di tingkat internasional (global).
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Penting bagi perguruan tinggi untuk memahami bahwa kapabilitas dinamis harus berjalan seiring dengan proses SPMI. Standar mutu tidak boleh menjadi tujuan akhir, melainkan fondasi bagi inovasi yang lebih besar. Standar SPMI harus terus berubah mengikuti proses inovasi yang terus dilakukan.
Dengan memiliki kapabilitas untuk bertransformasi sesuai tuntutan zaman, institusi pendidikan tinggi akan lebih siap menghadapi masa depan yang semakin ketat dalam persaingan.
Sebagai penutup, penulis menggarisbawahi pentingnya SPMI yang dinamis:
“SPMI yang unggul bukan hanya tentang memenuhi standar, melainkan tentang menciptakan inovasi dan kapabilitas yang memungkinkan perguruan tinggi untuk berkembang di tingkat regional dan internasional.” Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Audit Mutu Internal (AMI) adalah instrumen penting dalam menjaga dan meningkatkan mutu perguruan tinggi. Dalam sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), AMI tidak hanya berfungsi untuk memperbaiki kesalahan atau ketidaksesuaian (KTS), tetapi juga bertujuan untuk “mencegah masalah” sebelum terjadi. Peran proaktif ini sangat penting dalam memastikan bahwa standar mutu tetap terpenuhi dan terus ditingkatkan.
AMI yang efektif tidak hanya bersifat reaktif terhadap ketidaksesuaian yang ditemukan selama audit, namun juga berfokus pada identifikasi potensi masalah yang dapat memengaruhi mutu pendidikan. Dengan cara ini, perguruan tinggi dapat mengambil tindakan preventif lebih awal untuk menghindari risiko yang mungkin mengganggu mutu akademik dan operasional.
Dalam konteks SPMI, Audit Mutu Internal (AMI) berada pada tahap Evaluasi Pemenuhan Standar Pendidikan Tinggi dalam siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar).
Proses evaluasi ini dilakukan untuk memeriksa apakah pelaksanaan di berbagai unit perguruan tinggi telah sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan. Dengan AMI, perguruan tinggi dapat menilai kinerja baik di bidang akademik maupun non-akademik secara objektif.
Lebih dari itu, AMI berperan krusial dalam mencegah / mengantisipasi risiko yang mungkin muncul dari kelemahan dalam sistem atau kekurangan dalam pelaksanaan standar.
Dengan mengidentifikasi potensi masalah, perguruan tinggi dapat mengambil langkah preventif lebih awal untuk memastikan mutu tetap terjaga dan meningkat.
Seringkali, AMI dipersepsikan sebagai alat untuk memperbaiki kesalahan atau memperbaiki ketidaksesuaian yang ditemukan selama audit. Namun, perspektif ini sangat lemah.
AMI yang efektif harus mampu “mencegah masalah”, bukan hanya memperbaiki yang sudah terjadi.
Penguatan AMI yang proaktif akan mengarahkan institusi untuk mengidentifikasi akar penyebab masalah yang mungkin belum tampak (tersembunyi) dan menciptakan tindakan pencegahan yang tepat sebelum masalah muncul.
Untuk mewujudkan peran preventif ini, hasil audit perlu ditindaklanjuti dengan tiga langkah utama: koreksi, tindakan korektif, dan tindakan preventif. Koreksi adalah langkah pertama (cepat) yang diambil untuk memperbaiki kesalahan yang sudah terjadi. Contoh, jika audit menemukan adanya ketidaksesuaian dalam pencatatan data mahasiswa, langkah koreksi dapat berupa memperbaiki kesalahan tersebut dengan segera. Koreksi adalah solusi cepat untuk mengatasi dampak dari ketidaksesuaian yang sudah muncul.
Namun, tindakan koreksi saja tidak cukup untuk memastikan pencapaian mutu jangka panjang. Oleh karena itu, setelah melakukan koreksi, perguruan tinggi perlu melangkah ke tindakan korektif.
Tindakan korektif lebih strategis karena berfokus pada penghilangan akar penyebab masalah agar tidak terulang di masa depan. Contoh ada kesalahan dalam pencatatan data mahasiswa disebabkan oleh ketidakmampuan staf dalam menggunakan sistem informasi akademik, tindakan korektif yang diperlukan adalah memberikan pelatihan kepada staf yang bersangkutan, atau mungkin memperbaiki sistem pencatatan agar lebih mudah digunakan. Tindakan ini tidak hanya memperbaiki masalah yang muncul, tetapi juga mencegah timbulnya kesalahan serupa di kemudian hari.
Langkah terpenting berikutnya adalah tindakan preventif. Berbeda dengan koreksi dan tindakan korektif yang cenderung reaktif, tindakan preventif bersifat proaktif, dengan tujuan mencegah masalah sebelum masalah tersebut muncul. Tindakan ini memastikan bahwa potensi masalah dapat dicegah lebih awal, sehingga mutu dan efektivitas sistem tetap terjaga.
Contoh, Bila ditemukan bahwa sistem pencatatan manual sering menjadi sumber kesalahan, tindakan preventif yang dapat diambil adalah mengembangkan sistem pencatatan otomatis yang lebih andal. Dengan sistem yang otomatis, risiko kesalahan dapat dicegah secara signifikan.
Dalam sistem penjaminan mutu yang ideal, tindakan preventif muncul dari evaluasi berkala yang dilakukan melalui AMI. Dengan audit yang terencana dan komprehensif, perguruan tinggi dapat mengidentifikasi area berisiko yang dapat memengaruhi mutu dan kemudian merancang strategi untuk meminimalkan atau menghilangkan risiko tersebut.
AMI yang efektif memandu perguruan tinggi tidak hanya memperbaiki kesalahan yang ada, tetapi juga mengantisipasi potensi masalah di masa depan. Dengan demikian, institusi dapat menjaga dan meningkatkan mutu secara berkelanjutan, serta lebih siap menghadapi tantangan ke depan.
Sebagai Penutup, perlu digarisbawahi peran utama AMI bukan hanya untuk memperbaiki kesalahan, namun untuk mencegah kesalahan sebelum terjadi.
Dengan menggabungkan tindakan koreksi, korektif, dan yang paling penting, tindakan preventif, AMI membantu perguruan tinggi mengatasi masalah yang ada sekaligus mengantisipasi potensi masalah di masa depan.
AMI menjadi instrumen penting dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan secara berkelanjutan. AMI memastikan perguruan tinggi siap menghadapi tantangan ke depan.
Dengan fokus pada pencegahan, perguruan tinggi dapat terus beroperasi secara efektif dan mencapai standar mutu yang diinginkan. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan pilar penting dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan di perguruan tinggi. Di tengah kompetisi yang semakin ketat, terutama dalam program studi bisnis, manajemen, ekonomi, dan akuntansi, akreditasi menjadi alat penting untuk menilai mutu institusi. Lembaga Akreditasi Mandiri Ekonomi, Manajemen, Bisnis, dan Akuntansi (LAMEMBA) berperan dalam mengevaluasi program studi di bidang ini untuk memastikan apakah mereka memenuhi standar mutu yang yang dipersyaratkan.
Namun, di balik keberhasilan akreditasi LAMEMBA, ada satu kunci utama yang tak bisa diabaikan: SPMI yang efektif. Sistem ini bukan hanya formalitas tuntutan regulasi, melainkan mekanisme yang menjaga agar seluruh aspek pendidikan berjalan sesuai dengan standar yang ditetapkan, dari penetapan visi hingga evaluasi berkelanjutan. Tanpa SPMI yang kokoh, program studi akan kesulitan mencapai akreditasi yang diinginkan.
SPMI bukan hanya formalitas administrasi dalam pendidikan tinggi, tetapi merupakan mekanisme inti yang menentukan bagaimana mutu pendidikan dijaga, dikendalikan, dan ditingkatkan. SPMI memastikan bahwa setiap elemen dalam sistem pendidikan bekerja sesuai standar yang telah ditetapkan, untuk menjaga konsistensi dan relevansi mutu.
Dalam kerangka SPMI, siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) berfungsi sebagai landasan kokoh untuk penjaminan mutu yang berkelanjutan. Setiap tahap ini membantu perguruan tinggi menetapkan standar mutu, melaksanakan kegiatan sesuai standar, mengevaluasi hasilnya, dan mengambil langkah perbaikan yang diperlukan, sehingga mutu pendidikan terus berkembang (ditingkatkan).
Pada tahap Penetapan Standar Pendidikan Tinggi, rektor bertanggung jawab untuk menetapkan visi strategis terkait mutu pendidikan. Visi ini harus mengikuti perkembangan terkini di bidang ekonomi, manajemen, bisnis, dan akuntansi, agar standar yang ditetapkan relevan dengan kebutuhan akademik dan industri.
Visi dan misi yang kuat menjadi fondasi penetapan standar pendidikan tinggi. Standar ini diterjemahkan menjadi indikator yang dapat diukur, sehingga program studi dapat mencapai target yang telah ditetapkan.
Tanpa perencanaan yang SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, and Time-Bound), seperti kata Benjamin Franklin, “If you fail to plan, you plan to fail.” Tanpa visi dan standar yang relevan, program studi akan kesulitan memenuhi persyaratan ketat dari LAMEMBA dan berisiko gagal dalam meraih akreditasi.
Tahap Pelaksanaan Standar Pendidikan Tinggi melibatkan stakeholder di perguruan tinggi. Dekan, kepala program studi, dan kepala unit kerja bertanggung jawab memastikan pelaksanaan standar mutu yang telah ditetapkan. Pada tahap ini, SPMI berperan penting dalam menjaga mutu proses pembelajaran, termasuk mutu pengelolaan kurikulum, mutu metode pengajaran, mutu penelitian, dan mutu pengabdian kepada masyarakat.
Kerjasama dengan dunia usaha dunia industri (DUDI) juga menjadi kunci dalam tahap ini, agar lulusan memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Dalam konteks akreditasi LAMEMBA, relevansi kurikulum dan keterlibatan industri sangat penting untuk memastikan lulusan siap bersaing di pasar tenaga kerja global.
Untuk mencapai target dan indikator SPMI, motivasi 4K sangat relevan: “Kerja keras” dalam melaksanakan standar mutu, “kerja cerdas” dengan inovasi dan adaptasi, “kerja tuntas” untuk mencapai hasil maksimal, dan “kerja ikhlas” dalam dedikasi untuk peningkatan mutu pendidikan.
Pelaksanaan Standar yang baik harus didukung oleh Evaluasi Pemenuhan Standar Pendidikan Tinggi yang baik pula. Tahap ini memungkinkan program studi melakukan penilaian mendalam (assessment) terhadap pencapaian yang telah dilakukan, seperti mutu pembelajaran, kinerja dosen, serta kontribusi dalam penelitian dan pengabdian masyarakat.
“Evaluasi yang menyeluruh adalah kunci untuk memastikan bahwa standar mutu yang telah ditetapkan benar-benar terlaksana.”
Salah satu alat penting dalam evaluasi adalah tracer study, yang mengukur seberapa baik lulusan terserap di dunia kerja dan bagaimana kontribusi mereka di dunia usaha dan dunia industri.
Penilaian terhadap mutu penelitian juga sangat penting, terutama yang berdampak langsung pada pengembangan ekonomi dan bisnis. Penelitian yang aplikatif menunjukkan relevansi akademik dengan dunia nyata, yang menjadi bagian penting dari evaluasi SPMI.
Untuk mendukung proses evaluasi ini, diperlukan sinergi 3 tools evaluasi: Audit Mutu Internal untuk menilai kesesuaian terhadap standar mutu, Monitoring dan Evaluasi (Monev) untuk mengawasi dan memperbaiki proses berkelanjutan, serta Penilaian (assessment) untuk mengukur pencapaian hasil akhir. Sinergi ketiga alat ini memastikan evaluasi berjalan komprehensif dan berkelanjutan, sehingga program studi dapat terus meningkatkan mutu pendidikan.
Setelah evaluasi dilakukan, program studi memasuki tahap Pengendalian Pelaksanaan Standar Pendidikan Tinggi, di mana hasil evaluasi dianalisis secara mendalam. Jika ditemukan kekurangan atau penyimpangan, tindakan korektif segera diambil. Tahap ini tidak hanya berfokus pada perbaikan yang bersifat reaktif, tetapi juga proaktif dalam menjaga standar mutu yang tinggi.
Pengendalian yang efektif melibatkan tiga tindakan perbaikan utama. Pertama, koreksi untuk menghilangkan simtom (gejala), yaitu perbaikan langsung pada masalah yang terlihat. Kedua, korektif untuk menghilangkan akar masalah, agar penyebab mendasar dari masalah tersebut tidak muncul kembali. Langkah ini penting untuk mencegah terjadinya masalah serupa muncul kembali di masa depan.
Selain itu, tindakan preventif (pencegahan) juga diperlukan sebagai bagian dari budaya mutu. Dengan menginternalisasi pencegahan dalam setiap proses, program studi tidak hanya merespons masalah yang ada, tetapi juga mencegah masalah baru muncul, sehingga siap menghadapi tantangan akreditasi LAMEMBA yang ketat dan memastikan mutu pendidikan tetap terjaga.
Tahap terakhir dalam PPEPP adalah Peningkatan Standar Pendidikan Tinggi, yang menjadi inti dari SPMI yang berkelanjutan. Pada tahap ini, program studi tidak hanya berupaya untuk memenuhi standar yang telah ditetapkan, tetapi juga berusaha melampaui ekspektasi.
Proses peningkatan yang berkelanjutan (kaizen) menjadi kunci untuk menjaga mutu yang relevan dan terus berkembang.
Peningkatan juga dapat dicapai melalui “inovasi“, terobosan baru dalam berbagai aspek di perguruan tinggi (akademik dan non akademik). Langkah-langkah ini memastikan bahwa program studi tidak hanya mengikuti tren, namun juga menciptakan real impact bagi dunia akademik dan profesional. Dalam hal ini, program studi harus mengadopsi strategi “mission differentiation“, yaitu menyesuaikan keunggulan dan misi program dengan kebutuhan unik dari bidang atau industri yang mereka layani.
Budaya mutu yang kuat harus diinternalisasi oleh seluruh civitas akademika, mulai dari top management (pimpinan tertinggi) hingga tenaga pengajar dan staf pendukung. Pola pikir, pola sikap dan pola perilaku sesuai dengan Standar Mutu Pendidikan. Dengan demikian, setiap individu dalam institusi memiliki peran dalam menjalankan peningkatan mutu yang berkelanjutan (kaizen), memperkuat diferensiasi misi, dan memastikan program studi tetap unggul dan relevan di tengah lingkungan eksternal yang sangat dinamis.
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
LAMEMBA, sebagai lembaga akreditasi mandiri yang fokus pada ekonomi, manajemen, bisnis, dan akuntansi, menetapkan standar penilaian yang ketat. Standar ini menekankan relevansi dengan industri, kualitas lulusan, serta kontribusi akademik yang nyata. Untuk mencapai akreditasi yang sukses, perguruan tinggi harus menunjukkan bahwa sistem penjaminan mutu internal (SPMI) mereka berjalan secara holistik-komprehensif melalui pelaksanaan PPEPP.
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) yang efektif menjadi “rahasia di balik kesuksesan akreditasi LAMEMBA”. Hanya melalui SPMI yang kokoh dan dinamis, program studi dapat meningkatkan mutu dan relevansinya, serta memenuhi ekspektasi yang ditetapkan oleh dunia pendidikan dan industri. Setiap tahap dari siklus PPEPP memberikan kerangka kerja untuk mengelola, mengawasi, dan memperbaiki mutu.
“SPMI tak bisa berjalan sendiri (auto pilot), hanya dengan komitmen bersama seluruh civitas akademika, mutu bisa kita capai.”
Komitmen yang kuat dari rektor, dekan, kaprodi, hingga kepala unit kerja diperlukan untuk menjalankan sistem mutu dengan konsistensi dan efisiensi. Tanpa dukungan dari setiap elemen perguruan tinggi, pelaksanaan PPEPP hanya akan menjadi formalitas belaka, “keterpaksaan” untuk memenuhi regulasi.
Secara keseluruhan, SPMI yang efektif adalah fondasi utama untuk mencapai akreditasi unggul di LAMEMBA. Penguatan setiap tahapan PPEPP akan membantu perguruan tinggi tidak hanya meraih pengakuan atas mutu program studinya, namun juga memperkuat “reputasi institusi” secara keseluruhan. Reputasi yang tinggi akan menarik lebih banyak peminat (mahasiswa dan kerjasama industri).
Dengan komitmen bersama dan implementasi SPMI yang kokoh, perguruan tinggi tidak hanya siap menghadapi akreditasi, tetapi juga mampu menavigasi tantangan yang muncul dari dunia kerja yang semakin kompleks dan dinamis. Ini memastikan keberlanjutan mutu dan daya saing lulusan di masa yang akan datang. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi