بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Era BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, Incomprehensible) telah membawa dunia pendidikan tinggi ke dalam lanskap yang penuh gejolak dan tantangan. Perguruan tinggi tidak lagi cukup hanya menjaga mutu akademik saat ini, namun juga dituntut untuk beradaptasi dan bertranformasi secara cepat terhadap perubahan yang tidak dapat diprediksi (nonlinier).
Dalam situasi ini, mission differentiation menjadi sangat strategi bagi perguruan tinggi untuk menegaskan ciri khas / keunikan mereka.
Hal ini menjadi penting dalam menjawab kebutuhan lokal maupun berkontribusi terhadap problematik masyarakat global.
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), dengan siklus PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar, memberikan framework bagi perguruan tinggi untuk memastikan ketercapaian standar mutu secara berkelanjutan (kaizen). Namun, SPMI saja tidak akan efektif bila persoalan manajemen strategik belum terjawab secara relevan. Perguruan tinggi wajib merancang misi yang spesifik melalui penetapan mission differentiation. Metode ini membantu institusi tidak hanya mampu bertahan, namun juga mampu tumbuh berkembang di era BANI yang penuh perubahan.
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Era BANI menuntut institusi untuk lebih adaptif, fleksibel dan inovatif. Brittle atau rapuhnya sistem global, seperti yang terlihat pada pandemi atau krisis ekonomi, menuntut institusi untuk merancang keunikan misi yang tangguh dan berorientasi pada keberlanjutan. Ketidakpastian dan perubahan yang tidak linier menuntut institusi untuk fokus pada solusi yang cepat, tepat dan efektif.
Dalam situasi ini, mission differentiation menjadi lebih dari sekadar strategi. Ini adalah bentuk respons penting terhadap dunia yang berubah dengan sangat cepat. Institusi dituntut harus memanfaatkan sumber daya lokal dan teknologi untuk mampu berkinerja dan menciptakan dampak yang relevan. Contoh, perguruan tinggi di daerah agraris dapat memfokuskan misi mereka pada teknologi pertanian berbasis data untuk membantu petani meningkatkan produktivitas mereka.
Baca juga: SPMI Dinamis: Peningkatkan Daya Saing Perguruan Tinggi
Merancang mission differentiation dapat dilakukan dengan analisis mendalam terhadap kekuatan internal (strengths) dan kebutuhan eksternal (opportunities). Perguruan tinggi harus berusaha keras untuk memahami potensi-potensi unik institusi, baik dari segi kekuatan SDM, infrastruktur, hubungan dengan industri, hingga keunggulan geografis dan budaya. Misal, politeknik di wilayah pesisir dapat memanfaatkan kedekatan posisi geografis dengan laut untuk menjadi pusat unggulan riset kelautan dan keberlanjutan ekosistem. Contoh lain, Perguruan tinggi yang unggul dibidang kreatifitas dan kewirausahaan dapat mengambil misi institusi berbasis pengembangan ekosistem startup dan kewirausahaan.
Langkah berikutnya, perguruan tinggi perlu merumuskan pernyataan misi (yang unik) yang relevan dengan tantangan era BANI. Hal ini mencakup respons terhadap isu-isu global seperti kecerdasan buatan, perubahan iklim, transformasi teknologi, dan ketidaksetaraan sosial.
Perguruan tinggi harus melibatkan segenap stakeholder—termasuk orang tua, mahasiswa, alumni, dunia industri, dan masyarakat lokal—untuk memastikan misi unik yang mencerminkan kebutuhan nyata.
Misal, politeknik di kawasan industri nikel dapat merancang misi yang fokus pada pendidikan vokasi berbasis teknologi pengolahan nikel untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di wilayah tersebut.
Setelah misi unik ditetapkan, integrasi dengan siklus PPEPP menjadi sangat penting. Misi yang dirumuskan harus diimplementasikan ke dalam standar SPMI, program kerja, dan evaluasi kinerja. Contoh, perguruan tinggi dengan misi sebagai pusat riset energi terbarukan dapat menetapkan indikator kinerja utama (IKU) seperti jumlah hak paten, publikasi bereputasi, dan kemitraan dengan perusahaan energi hijau. Evaluasi, pengendalian dan peningkatan standar yang berkelanjutan, dilakuan untuk memastikan bahwa misi tersebut tetap relevan.
Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI
Buku “Designing the New American University” karya Michael M. Crow dan William B. Dabars menekankan pentingnya “inovasi” sebagai inti dari misi perguruan tinggi. Mereka menggarisbawahi bahwa institusi pendidikan harus responsif, adaptif terhadap kebutuhan masyarakat tanpa mengorbankan standar mutu akademik. Inovasi memungkinkan perguruan tinggi bertransformasi dengan cepat di tengah arus perubahan global yang nonlinier (BANI).
Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini relevan untuk membangun perguruan tinggi yang unggul dan kompetitif. Contoh, perguruan tinggi di daerah agraris dapat mengintegrasikan riset teknologi pertanian untuk meningkatkan hasil budidaya pertanian. Politeknik di kawasan industri perdagangan dapat menjadi pusat pendidikan vokasi berbasis otomatisasi, menjawab kebutuhan tenaga kerja yang berkembang di era digital.
Dengan mengadaptasi prinsip-prinsip dari buku tersebut, institusi di Indonesia dapat menciptakan misi yang tidak hanya relevan secara lokal namun juga memiliki dampak positif secara global. Integrasi inovasi dan kebutuhan masyarakat akan menjadikan misi unik institusi lebih tangguh menghadapi dinamika era BANI. Selain itu, Crow juga menyoroti bagaimana “desain ulang institusional” dapat membantu institusi menjadi lebih adaptif dalam menghadapi isu-isu besar seperti perubahan iklim, transformasi teknologi, dan ketidaksetaraan sosial.
Baca juga: Revolusi Mutu Perguruan Tinggi dan SPMI Digital
Merancang mission differentiation di era BANI adalah landasan penting bagi perguruan tinggi untuk membangun identitas yang kuat dan relevan.
Dengan memanfaatkan kerangka kerja PPEPP, institusi dapat memastikan bahwa misi unik mereka tidak hanya menjadi visi internal, tetapi juga terintegrasi ke dalam semua aspek operasional, mulai dari penetapan standar, pelaksanaan hingga peningkatan standar.
Misi yang spesifik dan adaptif, memungkinkan institusi menjadi lebih unggul dalam menghadapi dinamika era penuh ketidakpastian ini. Michael M. Crow dan William B. Dabars, menekankan bahwa inovasi institusional merupakan elemen kunci bagi universitas untuk tetap relevan dan berkontribusi pada tantangan sosial dan ekonomi yang terus berubah. Dengan komitmen terhadap misi unik yang berorientasi pada masa depan, perguruan tinggi dapat menjadi katalis perubahan yang signifikan.
Terakhir, Nelson Mandela pernah mengatakan, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Dengan misi unik yang dirancang dengan baik, institusi tidak hanya relevan, namun mampu menjadi “agen perubahan” yang membawa manfaat nyata bagi masyarakat dan dunia. Stay Relevant!
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Institusi perguruan tinggi saat ini menghadapi tantangan besar untuk menjaga mutu pendidikan sekaligus membangun “identitas yang relevan” di tengah persaingan global. Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) menyediakan framework penting untuk memastikan mutu yang berkelanjutan melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar). Siklus ini memungkinkan perguruan tinggi menetapkan standar mutu yang konsisten sambil tetap memberi ruang bagi peningkatan standar.
Untuk efektifitas tata kelola, perguruan tinggi perlu memahami perbedaan antara mission differentiation dan positioning. Mission differentiation menekankan pada keunikan (kekhasan) misi institusi, sementara positioning fokus pada upaya bagaimana misi tersebut tersampaikan dan diterima baik oleh audiens. Kedua konsep ini saling melengkapi dalam membantu perguruan tinggi menciptakan keunggulan yang khas dan relevan di mata stakeholder.
Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier
Mission differentiation adalah strategi di mana perguruan tinggi menetapkan misi spesifik yang mencerminkan kekuatan dan tujuan unik mereka.
Visi dan Misi ini menjadi acuan utama untuk mengarahkan seluruh kegiatan (program kerja) institusi, termasuk pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Contoh, sebuah perguruan tinggi di kawasan pesisir dapat menetapkan misi untuk menjadi pusat unggulan dalam pengelolaan hasil laut. Misi ini memungkinkan perguruan tinggi mengembangkan program-program yang relevan, seperti teknik pengolahan hasil laut, penelitian ekologi maritim atau pelatihan keberlanjutan bagi nelayan lokal dan lain-lain.
Prinsip mission differentiation menekankan pentingnya memahami bahwa perguruan tinggi “tidak perlu meniru” institusi lain untuk dianggap sukses. Sebaliknya, prinsip ini mendorong setiap perguruan tinggi untuk mengidentifikasi peran uniknya dalam memenuhi kebutuhan lokal sekaligus memberikan kontribusi terhadap isu-isu global.
Strategi ini memastikan bahwa setiap perguruan tinggi memiliki keunikan yang menciptakan nilai (manfaat) yang berbeda di mata pemangku kepentingan (stakeholder).
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Bila mission differentiation fokus pada “apa” (what) yang dilakukan perguruan tinggi, positioning adalah “bagaimana” (how) misi tersebut diterima dan dipahami oleh audiens. Dalam buku “Positioning: The Battle for Your Mind,” Al Ries dan Jack Trout menekankan bahwa positioning bukan hanya tentang produk itu sendiri, namun tentang bagaimana produk tersebut “dipersepsi” oleh khalayak audiens.
Dalam konteks tata kelola perguruan tinggi, positioning berarti upaya membangun citra institusi di benak publik, mahasiswa, dan mitra industri berdasarkan “keunikan” misinya.
Misalnya, bila misi perguruan tinggi “X” adalah menjadi pusat unggulan riset energi terbarukan, positioning mereka dapat mengkomunikasikan hasil kontribusi nyata dalam inovasi energi, seperti keberhasilan paten teknologi hijau atau kolaborasi dengan mitra global. Ini artinya, positioning menerjemahkan mission differentiation menjadi persepsi yang kuat dan relevan di benak stakeholder.
Baca juga: AMI: Mencegah Masalah, Bukan Memperbaiki
Fungsi mission differentiation dan positioning adalah saling melengkapi, namun memiliki peran yang berbeda. Mission differentiation mendefinisikan tujuan dan keunikan institusi, sedangkan peran positioning membawa keunikan ke dalam persepsi (benak) audiens.
Tanpa mission differentiation, positioning akan kehilangan arah karena tidak ada keunikan yang dapat dikomunikasikan. Sebaliknya, tanpa positioning, mission differentiation hanya menjadi visi internal yang tidak dikenal oleh stakeholder (masyarakat).
Dalam penerapan SPMI, siklus PPEPP memberikan ruang untuk integrasi kedua strategi tersebut. Tahap penetapan standar (dalam PPEPP) dapat dilakukan berdasarkan misi spesifik perguruan tinggi. Tahap pelaksanaan standar, dilakukan dengan menyusun program yang efektif dan efisien dalam mencapai misi spesifik perguruan tinggi, sementara tahap evaluasi standar mencakup pengukuran sejauh mana positioning berhasil diterima dan dipahami oleh audiens. Tahap pengendalian dan peningkatan (dalam PPEPP) kemudian memastikan bahwa misi dan persepsi terus berkembang untuk tetap relevan di tengah perubahan.
Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI
Mission differentiation dan positioning adalah pilar baru dalam membangun tata kelola perguruan tinggi. Mission differentiation membantu institusi menetapkan tujuan yang spesifik, sementara positioning memastikan bahwa keunikan misi behasil dipahami dan diterima oleh audiens. Kedua konsep ini bekerja bersama, bersinergi untuk menciptakan identitas perguruan tinggi yang kuat dan relevan.
Dengan integrasi mission differentiation dan positioning ke dalam siklus PPEPP, institusi dapat meningkatkan standar SPMI yang sesuai misi unik (secara bekelanjutan), dan juga mampu mengkomunikasikan dengan baik pada masyarakat. Langkah ini memungkinkan institusi membangun daya saing di tingkat lokal, regional maupun global. Stay Relevant!
Maka temukanlah misi, berpegang pada keunikan,
Tentukan posisi, beranikan langkah di depan.
Agar dunia mendengar, dan sejarah pun mengenang,
Sebuah institusi dengan arah yang jelas, harapan gemilang.
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) menjadi pilar penting dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 menegaskan bahwa siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) adalah mekanisme inti yang wajib diterapkan setiap perguruan tinggi untuk memastikan keberlanjutan mutu pendidikan. Siklus PPEPP ini tidak hanya berfungsi sebagai panduan teknis untuk peningkatan standar, namun juga sebagai kerangka kerja strategis untuk mencapai standar nasional dan melampaui ekspektasi mutu yang telah ditetapkan.
Namun, penerapan SPMI tidak cukup hanya dengan pendekatan teknokratis semata. Peran dimensi manusia (psikologi), khususnya dalam membangun budaya mutu, menjadi aspek yang sangat krusial. Salah satu pendekatan berbasis psikologi organisasi adalah konsep Pygmalion Effect. Konsep yang diperkenalkan oleh Livingston (1988) menawarkan pendekatan menarik.
“Harapan (ekspektasi) tinggi dari manajemen berfungsi sebagai pendorong strategis yang mampu mengarahkan karyawan dan pemangku kepentingan untuk mengoptimalkan potensi mereka, menghasilkan kinerja unggul yang selaras dengan visi organisasi.”
Efek ini tentu relevan bila diterapkan dalam pelaksanaan SPMI, terutama untuk mendorong motivasi dan kinerja yang berorientasi pada mutu.
Integrasi konsep Pygmalion Effect dalam implementasi SPMI membuka peluang untuk memaksimalkan potensi sumber daya manusia (SDM) di perguruan tinggi. Dengan memberikan “trust” dan harapan tinggi kepada segenap unit kerja, dosen, dan makasiswa, manajemen tidak hanya menggerakkan motivasi intrinsik mereka namun juga membangun budaya inovasi yang berkelanjutan (kaizen). Konsep ini memberikan nilai tambah signifikan bagi penerapan siklus PPEPP. SPMI tidak sekadar menjadi kewajiban administratif belaka, namun lebih dari itu dapat menjadi katalisator transformasi mutu di perguruan tinggi.
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Livingston (1988) dalam artikel “Pygmalion in Management” menyoroti bagaimana ekspektasi (harapan) tinggi pimpinan mampu secara signifikan memengaruhi inner motivation bawahan. Konsep Pigmalion Effect menjelaskan bahwa “ketika individu dipercaya memiliki potensi besar, mereka cenderung merespons dengan prestasi yang lebih baik“. Efek ini menggarisbawahi bahwa “harapan” (ekspektasi) berfungsi sebagai katalis penting dalam pengembangan individu dan organisasi.
Terkait SPMI, ekspektasi tinggi dari manajemen terhadap unit kerja, dosen, dan mahasiswa mampu membentuk budaya mutu yang lebih kuat. Ekspektasi tinggi yang diberikan, memberikan dorongan psikologis yang menggerakkan individu dan juga juga membangun rasa percaya diri dalam menghadapi tantangan-tantangan mutu pendidikan tinggi.
Baca juga: Teori 2 Faktor: Memadukan SPMI dengan Motivasi Intrinsik
Ekspektasi yang tinggi, bila diiringi dengan kebijakan yang suportif, mampu mendorong inovasi dan transformasi institusi pendidikan. Dalam situasi ini, setiap individu merasa dihormati, diberdayakan, dan termotivasi untuk berkontribusi secara maksimal dalam mewujudkan visi dan misi institusi.
Contoh misalnya, pimpinan menetapkan standar penelitian yang lebih tinggi dari SN Dikti, dengan keyakinan dan ekspektasi tinggi bahwa dosen mampu meningkatkan jumlah publikasi ilmiah di jurnal bereputasi. Untuk mendukung ekspektasi ini, manajemen menyediakan pelatihan penulisan karya ilmiah dan menyediakan insentif penelitian.
Implementasi SPMI, sebagaimana diatur dalam Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, mewajibkan setiap perguruan tinggi untuk menjalankan siklus PPEPP sebagai kerangka kerja utama.
Pada tahap penetapan standar (dalam PPEPP), Pygmalion Effect dapat digunakan untuk menetapkan indikator dan target SPMI yang “ambisius namun realistis”.
Manajemen perguruan tinggi yang “yakin dan percaya pada potensi pemangku kepentingan” akan merancang standar yang tidak hanya memenuhi SN Dikti, namun juga melampaui standar nasional sebagaimana diamanatkan dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023.
Pada tahap pelaksanaan (dalam PPEPP), pigmalion effect diimplementasikan dengan memberi kepercayaan dan tanggung jawab besar kepada unit kerja, dosen dan mahasiswa untuk melaksanakan program kerja untuk mencapai standar yang telah ditetapkan. Tentu saja kepercayaan yang diberikan harus dilengkapi dengan sumber daya (resources) yang mencukupi. Ekspektasi tinggi pimpinan terhadap kemampuan kerja mereka menciptakan suasana kerja yang menantang, di mana setiap individu merasa dihargai, diberdayakan dan didukung untuk berkontribusi maksimal.
Contoh untuk mahasiswa, perguruan tinggi memberi kepecayaan kepada mahasiswa untuk memimpin proyek inovasi pengabdian masyarakat. Ekspektasi tinggi diberikan bahwa mahasiswa mampu memberikan solusi nyata untuk proyek ini. Ekspektasi ini mendorong mahasiswa bekerja keras untuk berusaha mencapai hasil inovasi terbaik.
Tahap berikutnya adalah tahap evaluasi (dalam PPEPP). Tahap ini menjadi momen penting untuk menerapkan Pygmalion Effect melalui feedback yang membangun. Evaluasi yang dibangun adalah evaluasi yang “menekankan pada prestasi dan peluang pengembangan” (best practice, good point, temuan positif), daripada sekadar melihat pada kekurangan (ketidaksesuaian, temuan negatif). Pendekaan ini akan memperkuat kepercayaan (keyakinan) individu terhadap kemampuan mereka untuk bisa memberikan yang terbaik sesuai ekspektasi manajemen.
Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier
Pada tahap pengendalian dan peningkatan (dalam PPEPP), kekuatan Pygmalion Effect menjadi semakin nyata. Dengan motivasi dan komunikasi internal yang baik, manajemen dapat mendorong inovasi yang konsisten ke arah pencapaian visi misi institusi. Strategi ini sejalan dengan prinsip otonomi perguruan tinggi yang diatur dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023, di mana institusi memiliki keleluasaan untuk mengembangkan sistem mutu sesuai dengan mission differentiation masing-masing.
Contoh, Ketika terjadi ketidaksesuaian (KTS) dalam audit mutu internal (AMI) atau kegiatan monitoring rutin (monev), alih alih menyampaikan teguran (punishment), pimpinan memilih menggunakan “pendekatan konstruktif” dengan mengangkat potensi tim untuk memperbaiki masalah. Mereka memberikan dorongan semangat dan menawarkan sumber daya tambahan dan pelatihan untuk membantu karyawan mencapai target SPMI.
Efektivitas SPMI tidak hanya bergantung pada kelengkapan dokumen SPMI dan kepatuhan terhadap regulasi, namun juga pada dimensi psikologis seperti keyakinan kolektif terhadap potensi yang mereka miliki untuk menjadi pemenang (self-fulfilling prophecy).
Prinsip penting Pygmalion Effect mengingatkan kita bahwa ekspektasi tinggi, ketika dikomunikasikan dengan cara yang tepat serta diiringi dengan dukungan nyata, mampu mengubah mindset dan perilaku karyawan (stakeholder).
Berdasarkan Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 Pasal 69 ayat (1) butir a.4. perguruan tinggi wajib mendokumentasikan seluruh langkah PPEPP dengan menggunakan tata cara tertentu. Pendekatan berbasis Pygmalion Effect dapat menjadi elemen pendukung untuk memastikan bahwa dokumentasi ini tidak sekedar arsip administratif-formalitas belaka, namun juga sumber inspirasi bagi transformasi dan inovasi mutu pendidikan.
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Mengintegrasikan Pygmalion Effect ke dalam manajemen SPMI memberikan dimensi baru untuk memperkuat keberhasilan siklus PPEPP. Metode ini menekankan pentingnya “ekspektasi tinggi” yang didukung dengan kebijakan dan “action” nyata. Ketika pemimpin perguruan tinggi, dari semua level, yakin dan percaya terhadap potensi dosen, unit kerja, dan mahasiswa, maka ini menjadi kekuatan dahsyat. seperti mitologi yunani, patung Galatea yang menjadi hidup karena dedikasi Pygmalion, individu dapat berkembang dan mencapai potensi mereka ketika dikelilingi oleh ekspektasi positif dan dukungan yang konsisten.
Baca juga: AMI: Mencegah Masalah, Bukan Memperbaiki
Saat menggali parit dalam Perang Khandaq, Rasulullah SAW melihat umatnya menghadapi kesulitan besar, baik secara fisik maupun mental. Namun, beliau tetap memberikan motivasi dan ekspektasi tinggi kepada mereka, bahkan menggambarkan masa depan Islam yang gemilang. Beliau berkata, “Kota Persia dan Romawi akan menjadi milik umat Islam.” Seperti Pigmalion effect, harapan ini tidak hanya memotivasi sahabat tetapi juga membangun keyakinan kuat untuk terus berjuang.
Di sisi lain, Islam menekankan pentingnya prasangka baik, yang secara tidak langsung berkaitan dengan Pygmalion Effect. Dalam hadis qudsi, Allah SWT berfirman:
“Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Jika ia berprasangka baik kepada-Ku, maka baginya kebaikan. Jika ia berprasangka buruk kepada-Ku, maka baginya keburukan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hal ini juga berlaku dalam hubungan antar manusia. Ketika seseorang berpikir positif terhadap orang lain dan mempercayai potensi mereka, hal tersebut dapat mendorong orang tersebut untuk memenuhi harapan tersebut. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi adalah langkah penting untuk menjaga relevansi mutu pendidikan tinggi. Siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) didesain untuk memastikan proses yang berkesinambungan dalam peningkatan mutu (kaizen). Akan tetapi, sebagaimana disampaikan Christopher Booker dalam buku Groupthink: A Study in Self Delusion, dinamika kelompok yang disfungsional, atau groupthink, sering menjadi “penghambat tersembunyi” dalam proses pengambilan keputusan.
Groupthink (pemikiran kelompok) adalah kondisi di mana kelompok lebih mengutamakan harmoni internal dibandingkan dengan mempertanyakan keputusan secara kritis.
Dalam konteks SPMI, tim gugus kendali mutu (GKM) atau pimpinan dikhawatirkan terlalu fokus pada mencapai kesepakatan / kekompakan, sehingga mengabaikan fakta-fakta atau data yang bertentangan. Hal ini menciptakan suasana yang tampaknya menyenangkan dan solid, namun sebenarnya rapuh karena kurangnya evaluasi kritis.
Booker berpendapat, ketika kelompok kerja terjebak dalam pola pikir yang sama, mereka cenderung mengabaikan pandangan kritis dan merasionalisasi keputusan-keputusan yang keliru. Dalam situasi ini, ide-ide yang berbeda yang seharusnya menjadi masukan berharga sering kali diabaikan. Akibatnya, evaluasi cenderung formalitas saja, tanpa perbaikan-perbaikan yang substansial.
Keputusan dalam kondisi groupthink, bukan hanya kurang efektif, namun berisiko memperburuk masalah yang ada. Oleh sebab itu, untuk memastikan keberhasilan SPMI, penting bagi perguruan tinggi untuk waspada fenomena groupthink dan mendorong keterbukaan terhadap perbedaan pendapat (budaya kritis).
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Salah satu dampak dari groupthink, terciptanya “harmoni palsu” dalam kelompok. Dalam konteks SPMI, harmoni semacam ini sering muncul ketika evaluasi mutu (monev atau audit mutu) dilakukan tanpa benar-benar mengidentifikasi akar permasalahan. Unit kerja mungkin hanya mencari bukti yang mendukung bahwa standar telah terpenuhi, tanpa mempertanyakan apakah bukti-bukti tersebut mencerminkan fakta di lapangan.
Ketika “harmoni palsu” dijadikan tameng untuk menjaga citra kekompakan, kritik, dan gagasan yang tak nyaman disingkirkan. Dalam situasi ini, evaluasi dan pengendalian kehilangan makna, membuat siklus PPEPP tak lebih dari formalitas tanpa substansi.
Kelompok yang terjebak dalam pola pikir “harmoni palsu” kehilangan kemampuan untuk melihat situasi dari sudut pandang lain, sulit untuk berpikir out of the box. Dalam bukunya, Booker memberikan contoh bagaimana decision yang diambil tanpa mempertimbangkan pandangan alternatif sering kali gagal menghasilkan solusi yang baik. Hal ini menghambat upaya perbaikan yang seharusnya menjadi intisari dari implemenasi SPMI.
Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier
Untuk mencegah munculnya groupthink dalam SPMI, institusi harus membangun budaya yang mendorong refleksi kritis dan menghargai perbedaan pendapat. Unit kerja dapat menghindari jebakan “harmoni palsu” bila mereka siap menghadapi fakta yang tidak sesuai dengan harapan pribadi.
Dalam siklus PPEPP, keberanian untuk “mencari akar masalah” menjadi kunci di setiap tahap, dari penetapan, pelaksanaan hingga peningkatan standar.
Ada beberapa ide untuk mencegah munculnya groupthink. Institusi dapat melibatkan pihak eksternal (seperti konsultan atau auditor eksternal) sebagai langkah praktis untuk memberikan perspektif yang objektif. Pandangan kritis dari pihak eksternal membantu memecahkan bias kelompok dan memastikan evaluasi didasarkan pada data yang relevan dan obyektif, bukan sekedar hasil konsensus internal.
Solusi lain, penting bagi unit kerja untuk memiliki pemahaman mendalam (literasi) tentang prinsip-prinsip SPMI. Ketrampilan menggunakan data dan keberanian menyampaikan pandangan yang berbeda dapat mendorong proses pengambilan keputusan yang lebih obyektif. Dengan langkah-langkah ini, SPMI tidak hanya sekedar menjadi prosedur administratif, namun alat strategis untuk menubuhkan perubahan nyata dalam organisasi.
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Christopher Booker juga menyoroti bahwa groupthink sering terjadi pada organisasi dengan pola kepemimpinan yang terlalu dominan (otokratis). Dalam pelaksanaan SPMI, risiko ini muncul ketika pimpinan perguruan tinggi terlalu mendikte arah evaluasi dan pengendalian, sehingga anggota kelompok merasa enggan untuk menyuarakan ide dan pendapat yang berbeda. Akibatnya, dinamika kelompok menjadi terhambat, proses PPEPP selanjutnya hanya menjadi formalitas belaka, yang tidak menghasilkan peningkatan substansial.
Pada tahap peningkatan (dalam PPEPP), dinamika kelompok yang sehat menjadi sangat penting. Peningkatan standar SPMI memerlukan keberanian untuk mengambil keputusan berdasarkan fakta-fakta yang mungkin tidak populer.
Jika tim atau unit kerja tidak memiliki ruang untuk menyampaikan gagasan kritis, maka keputusan yang diambil cenderung hanya mempertahankan status quo saja.
Misalnya keputusan untuk peningkatan target dan indikator standar, gaya kepemimpinan partisipatif mungkin menjadi lebih relevan dengan mendorong unit kerja untuk siap menerima tantangan baru. Ancaman groupthink dapat dicegah dengan komunikasi 2 arah untuk menetapkan target dan strategi baru sesuai dengan prinsip MBO (management by objective).
Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI
Buku menarik Groupthink: A Study in Self Delusion, menegaskan bahwa groupthink adalah cerminan kegagalan produktifitas kelompok demi menyeimbangkan kebutuhan sosial dengan evaluasi kritis. Dalam konteks SPMI, ini menjadi pelajaran berharga bahwa “harmoni palsu” dapat menjadi musuh nyata yang merusak esensi penguatan SPMI. Tanpa keberanian untuk mengungkapkan fakta dan kebenaran, siklus PPEPP hanya akan menjadi formalitas-administratif belaka, yang kehilangan potensinya untuk mendorong perbaikan yang berkelanjutan (kaizen).
Untuk mencapai pendidikan tinggi yang bermutu, perguruan tinggi harus berani membangun budaya refleksi kritis yang mendorong keberagaman pandangan. Mencegah groupthink tidak hanya soal keberanian menyuarakan perbedaan, namun juga penting menciptakan SPMI yang kondusif, dan kepemimpinan yang inklusif. Dengan gagasan ini, SPMI dapat menjadi alat transformasi yang benar-benar strategis, dan bukan sekadar pemenuhan regulasi-formalitas belaka.
George Bernard Shaw seorang penulis dan dramawan pernah mengatakan, “Kemajuan tidak mungkin tanpa perubahan, dan mereka yang tidak dapat mengubah pikiran mereka tidak dapat mengubah apa pun.”
Demikian juga Pendidikan tinggi, membutuhkan keberanian untuk berubah, dimulai dari saat ini dengan keberanian berpikir berbeda. Stay Relevant!
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah pilar penting untuk memastikan perguruan tinggi tetap kompetitif dan memenuhi standar mutu pendidikan. 5 siklus yang terdiri: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar (disingkat PPEPP) dalam SPMI dirancang untuk membantu proses keberlanjutan mutu.
Akan tetapi, keberhasilan PPEPP tidak hanya bergantung pada prosedur administratif saja, namun juga pada pengembangan pola pikir, pola sikap dan pola perilaku setiap individu dalam institusi.
Buku best seller, The 7 Habits of Highly Effective People karya Stephen R. Covey menawarkan prinsip-prinsip universal yang dapat digunakan untuk memperkuat pelaksanaan SPMI. Tujuh kebiasaan dari Covey, mulai dari sikap pertama, proaktif hingga membangun sinergi, memberikan kerangka soft skills penting untuk mengelola PPEPP. Prinsip 7 habits ini tidak hanya fokus pada efektivitas individu namun juga memperkuat sinergi dan kerja sama kolektif pada perguruan tinggi.
Dengan melatih 7 kebiasaan Covey, perguruan tinggi diharapkan dapat mengimplementasikan PPEPP sebagai bagian dari budaya mutu yang holistik. 7 Habits mendorong setiap aktor untuk aktif dalam peningkatan mutu berkelanjutan (kaizen), menjadikan SPMI bukan sekadar kewajiban prosedural-administratif, namun sebagai tools strategis untuk mencapai keunggulan perguruan tinggi.
Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”
Tahap pertama dalam PPEPP adalah “Penetapan Standar SPMI”. Tahap ini bertujuan untuk merumuskan tujuan strategis mutu yang selaras dengan pernyataan visi dan misi institusi. Di sinilah peran penting kebiasaan pertama, Be Proactive (Jadilah Proaktif), menjadi relevan.
Perguruan tinggi harus proaktif dan berinisiatif untuk mengidentifikasi kebutuhan dan peluang-peluang pengembangan tanpa menunggu hadirnya tekanan eksternal.
Perguruan tinggi juga perlu proaktif memantapkan “mission differentiation”. Penting untuk menetapkan ciri khas / keunikan / positioning, sehingga dapat membangun branding yang kuat di mata konsumen. Proaktif menetapkan strategi segmentasi, penetapan target dan pengambilan posisi sangat penting di era persaingan global saat ini.
Habit penting yang nomor dua adalah, Begin with the End in Mind (Mulai dengan Akhir yang Ada di Pikiran). Habit ini membantu institusi dalam menetapkan target dan hasil yang ingin dicapai. Standar SPMI harus dirancang optimis dan SMART (Spesific, Masurable, Attainable, Relevant & Timed), dan harus terintegrasi dengan dengan visi jangka panjang. Penetapan Standar yang baik memiliki arah yang jelas dan strategis, baik dalam aspek pendidikan, penelitian, maupun pengabdian masyarakat (Tridharma Perguruan Tinggi).
Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier
Tahap “Pelaksanaan Standar” (dalam PPEPP) sering menghadapi tantangan dalam pengelolaan sumber daya yang terbatas, persoalan integrasi dan persoalan motivasi. Habit nomor tiga dari Covey, Put First Things First (Dahulukan yang Utama), menginspirasi pentingnya mengambil prioritas yang berdampak terhadap mutu institusi. Institusi harus fokus pada inisiatif strategis, seperti peningkatan mutu pengajaran atau “penyelarasan” kurikulum dengan kebutuhan dan tantangan dunia kerja.
Misalnya, daripada fokus menghabiskan waktu hanya pada dokumentasi yang bersifat formalitas, institusi dapat memprioritaskan training untuk dosen dalam metode pembelajaran inovatif atau meningkatkan akses teknologi pembelajaran. Kegiatan ini tidak hanya mendukung pencapaian standar SPMI namun juga memberikan dampak langsung kepada mahasiswa, dan stakeholder lainnya.
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Tahap “Evaluasi Standar” (dalam PPEPP) adalah tahap penting untuk mengukur pencapaian mutu pendidikan, sekaligus mendeteksi area-area mana saja yang perlu tindakan korektif dan preventif. Habits nomor lima dari Covey adalah, Seek First to Understand, Then to Be Understood (Berusaha Memahami Dahulu, Baru Dipahami). Habits ini mengajarkan pentingnya mendengarkan semua pemangku kepentingan (customer voice) sebelum menetapkan tindakan korektif.
Dengan mendengarkan masukan atau input dari mahasiswa, dosen, staf karyawan hingga mitra eksternal, perguruan tinggi dapat memperoleh pemahaman yang holistik tentang harapan konsumen.
Contoh, dalam proses evaluasi kepuasan mahasiswa, alih-alih hanya menggunakan kuesioner yang rentan terdapat validitas alat, institusi dapat menyelenggarakan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) atau program design thinking. Melalui FGD, mahasiswa dapat menyampaikan kebutuhan mereka secara langsung, seperti harapan untuk materi yang lebih relevan dengan dunia nyata. Pendekatan empatik untuk proses design thinking tidak hanya menghasilkan data yang lebih kaya namun juga membangun “trust” antara institusi dan komunitasnya.
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Tahap “Pengendalian Standar” (dalam PPEPP) menuntut pendekatan yang tidak hanya memastikan standar SPMI terpenuhi namun juga menciptakan manfaat (value) bagi stakeholder. Habit nomor empat dari Covey adalah, Think Win-Win (Berpikir Menang-Menang). Habit ini menekankan pentingnya menciptakan solusi yang saling win-win (saling menguntungkan). Dalam konteks pengendalian standar SPMI, ini berarti kebijakan dan langkah pengawasan harus mendukung kepentingan institusi sekaligus memberikan dampak positif bagi semua pihak yang terlibat seperti dosen, mahasiswa, dan staf.
Misalnya, pengelola mutu dapat menerapkan sistem pengendalian SPMI berbasis penghargaan. Contohnya dengan memberikan pengakuan (recognisi) atau insentif bagi dosen yang berhasil meningkatkan mutu pengajaran berdasarkan hasil evaluasi. Hasil pengendalian (dalam PPEPP) dapat diterjemahkan menjadi peningkatan mutu fasilitas belajar, seperti ruang diskusi yang lebih nyaman atau laboratorium yang lengkap.
Dengan pola pikir menang-menang (win-win), institusi menumbuhkan rasa kepemilikan bersama, di mana semua pihak merasa menjadi bagian dari keberhasilan yang telah diraih.
Tahap “Peningkatan Standar” (dalam PPEPP) adalah intisari dari proses proses perbaikan yang dilakukan secara terus menerus (kaizen). Hebit nomor enam dari Covey adalah Synergize (Bersinergi), menekankan pentingnya kerja sama untuk menciptakan solusi yang lebih unggul, inovatif dan berdampak besar. Dengan sinergi, institusi dapat membangun kekuatan melalui penggabungan ide, pengalaman, dan keahlian dari berbagai pihak, baik internal maupun eksternal.
Contoh, perguruan tinggi dapat menginisiasi forum kolaboratif antara fakultas yang berbeda untuk mendesain “kurikulum multidisiplin” yang relevan dengan tuntutan dunia industri. Institusi juga dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi lain untuk bertukar informasi dan berbagi praktik baik dalam metode pendidikan dan pengajaran.
Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI
Habit nomor tujuh dari Covey adalah Sharpen the Saw (Asah Gergaji). Habit ini menekankan pentingnya pertumbuhan dan pengembangan berkelanjutan untuk menjaga efektivitas individu dan organisasi. Perguruan tinggi harus terus update kemampuan dan sumber dayanya, termasuk pelatihan staf, adopsi teknologi baru, dan penyempurnaan PEPPP (dalam SPMI). Investasi berkelanjutan ini memungkinkan institusi tetap relevan di tengah dinamika era VUCA yang selalu berubah.
Sekedar contoh, institusi dapat mengadakan program pelatihan rutin bagi dosen untuk memperbarui keterampilan mengajar berbasis teknologi LMS (learning management system). Selain itu, pembaruan sistem informasi SPMI yang memungkinkan pelaporan dan analisis data secara real-time dapat meningkatkan efisiensi kegiatan PPEPP. Dengan tetap fokus pada pengembangan berkelanjutan, institusi tidak hanya memenuhi standar SPMI namun juga menciptakan lingkungan untuk bertransformasi dan beradaptasi dengan baik.
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
Implementasi dan integrasi prinsip-prinsip The 7 Habits of Highly Effective People dalam SPMI, memungkinkan institusi untuk mengelola PPEPP lebih dari sekadar siklus formalitas-administratif, namun sebagai fondasi budaya mutu yang “terinternalisasi” dalam setiap aktivitas.
Dengan fokus pada efektivitas individu dan kolaborasi kolektif, perguruan tinggi dapat menciptakan sistem yang relevan, tidak hanya menjaga mutu namun juga terus berupaya meningkatkannya.
Ketika budaya mutu telah menjadi bagian dari DNA institusi, perguruan tinggi akan semakin siap untuk menghadapi tantangan global sekaligus memberikan kontribusi nyata bagi semua stakeholder. Seperti kutipan yang disampaikan Covey, “The key is in not spending time, but in investing it.” Dengan menginvestasikan waktu dan sumber daya untuk membangun budaya mutu (SPMI), perguruan tinggi dapat mencapai puncak efektivitas dan keunggulan. Stay Relevant!
Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi sangat penting untuk menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan yang berkelanjutan. Di tengah tantangan globalisasi dan aneka tuntutan stakeholder, perguruan tinggi harus bersungguh sungguh dalam menjaga mutu akademik dan non akademik. Untuk mencapai target tersebut, peran pemimpin tentu sangat penting, tidak hanya dalam aspek tata kelola namun juga sebagai teladan (role model) dalam membangun budaya mutu di seluruh aras (level) organisasi.
Pemimpin perguruan tinggi berfungsi sebagai “role model” yang mempengaruhi perilaku civitas akademika.
Dalam hal ini, Social Learning Theory (teori pembelajaran sosial) dari Albert Bandura memberi wawasan bagaimana peran penting pemimpin dalam membentuk budaya mutu. Melalui perilaku dan interaksi sosial yang terjadi di lingkungan kampus, pemimpin menunjukkan komitmen terhadap mutu pendidikan. Perilaku pemimpin akan menjadi contoh yang diikuti oleh segenap dosen, staf, dan mahasiswa.
Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?
SPMI adalah sistem yang dirancang untuk memastikan seluruh elemen perguruan tinggi, dari kebijakan hingga pengelolaan pendidikan, sesuai dengan standar SPMI yang telah ditetapkan. Untuk memperkuat efektivitas SPMI dan peningkatan standar, diterapkan pula siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian dan Peningkatan Standar). Siklus ini menekankan peran aktif seluruh civitas akademika dalam menjaga mutu pendidikan.
Agar SPMI berjalan dengan optimal, diperlukan “leader” yang tidak hanya memahami teknis PPEPP (SPMI), namun juga berperan aktif sebagai katalis dalam membangun budaya mutu.
Pemimpin perguruan tinggi (rektor, ketua, direktur, dekan dan kaprodi) harus mampu “menjadi inspirator” dan menggerakkan semua stakeholder terkait untuk berkomitmen pada mutu melalui pendekatan yang substantif dan konsisten.
Sebagai role model, pemimpin mencontohkan nilai-nilai mutu dalam setiap perilakunya. Contoh, bila pemimpin menunjukkan “komitmen tinggi” dan detail terhadap standar SPMI, baik dalam pengajaran maupun administrasi, maka dosen dan staf otomatis akan tergerak untuk mengikuti contoh tersebut.
Pemimpin yang konsisten dengan “komitmen mutu” akan menjadi teladan yang kuat. Sikap dan perilaku ini dapat menjadi inspirasi bagi segenap civitas akademika untuk mencapai target-target SPMI yang lebih tinggi.
Baca juga: SPMI dan Teori Kepemimpinan Edwin Ghiselli
Albert Bandura, melalui Social Learning Theory, menjelaskan, individu belajar tidak hanya melalui pengalaman langsung, namun juga dengan mengamati perilaku orang lain. Proses ini disebut modeling.
Dalam konteks perguruan tinggi, pemimpin yang menunjukkan perilaku positif dan konsisten dalam menjaga mutu pendidikan akan menjadi teladan (role model) bagi segenap dosen, staf, dan mahasiswa.
Ketika pemimpin aktif menampilkan perilaku yang sesuai standar SPMI, seluruh civitas akademika akan tergerak untuk meniru perilaku tersebut. Melalui proses observasi dan imitasi, nilai-nilai positif tersebut dapat tersosialisasikan, membentuk budaya SPMI di seluruh institusi. Pemimpin yang konsisten dalam penerapan nilai-nilai SPMI ini akan membentuk sikap kolektif yang berorientasi pada peningkatan mutu.
Selain konsep “modeling”, Bandura juga memperkenalkan konsep “self-efficacy”, yaitu keyakinan individu terhadap kemampuan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam SPMI, pemimpin yang memiliki keyakinan kuat untuk keberhasilan SPMI ini akan memberikan dampak positif pada rasa percaya diri anggota tim kerja. Mereka akan merasa lebih siap dan termotivasi untuk ikut serta dalam menjaga dan meningkatkan standar SPMI.
Contoh lain, pemimpin yang aktif dalam kegiatan evaluasi dan memberikan umpan balik konstruktif akan meningkatkan rasa percaya diri di antara tim kerja, dosen dan staf. Dengan kepercayaan diri yang lebih besar, mereka akan lebih bersemangat untuk mengutamakan mutu dalam kegiatan akademik dan non akademik.
Akhirnya, melalui keteladanan (memberi contoh-contoh positif) dan pemberdayaan “keyakinan diri” (self-efficacy), pemimpin berperan krusial dalam menanamkan budaya SPMI yang berkelanjutan di perguruan tinggi, sebagaimana digambarkan dalam Social Learning Theory Bandura.
Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”
Pemimpin institusi perguruan tinggi tidak hanya bertindak sebagai role model melalui perilaku sehari-hari, namun juga memiliki peran penting dalam menumbuhkan lingkungan sosial yang kondusif dan mendukung Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Dengan membangun jaringan komunikasi internal yang terbuka antara pimpinan, unit kerja, dosen, staf, dan mahasiswa, pemimpin dapat membentuk ekosistem yang optimal bagi pengembangan mutu pendidikan yang berkelanjutan.
Menurut Albert Bandura, pembelajaran sosial terjadi tidak hanya ternjadi pada level individu, namun juga dalam tingkat kelompok atau organisasi. Sehingga, pemimpin institusi perguruan tinggi yang mampu mendorong interaksi sosial positif di antara civitas akademika akan memperkuat penerapan SPMI dalam jangka panjang. Melalui komunikasi dan interaksi yang terbuka, nilai-nilai PPEPP (SPMI) akan lebih mudah dimengerti dan diimplementasikan bersama.
Pemimpin yang efektif (dalam mengelola SPMI) juga fokus pada membangun budaya yang mengutamakan mutu, bukan hanya pada mencari target hasil formal semata seperti akreditasi atau evaluasi eksternal. Lebih dari itu, pemimpin sebagai role model, fokus pada membangun budaya SPMI yang substantif. Hal ini tentu memberikan “Impact” yang lebih langgeng, karena mutu menjadi bagian dari rutinitas organisasi, bukan hanya sekadar target administratif. Sebagaimana disampaikan oleh filsuf Aristoteles, quality is not an act, it is a habit.
Melalui model kepemimpinan yang berbasis pembelajaran sosial, pemimpin dapat menginspirasi setiap individu untuk aktif menjaga dan meningkatkan standar SPMI. Inspirasi ini dilakukan melalui komunikasi internal yang terus menerus disampaikan dan juga melibatkan partisipasi banyak pihak.
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Keberhasilan SPMI di perguruan tinggi sangat bergantung pada kemampuan pemimpin untuk mengintegrasikan nilai-nilai mutu dalam setiap aspek organisasi. Tidak cukup jika hanya diajarkan sebagai konsep; nilai mutu harus muncul dan tercermin dalam perilaku sehari-hari. Pemimpin berperan sebagai inspirator bagi seluruh civitas akademika untuk senantiasa berkomitmen terhadap tujuan dan tantangan bersama.
Dalam konteks ini, teori pembelajaran sosial dari Bandura sangat relevan, di mana pemimpin bertindak sebagai role model atau teladan bagi orang lain. Ketika pimpinan memberikan komitmen pada mutu, unit kerja, dosen, staf, dan mahasiswa akan terinspirasi dan termotivasi untuk menerapkan pola standar yang sama. Tindak tanduk pemimpin yang konsisten memprioritaskan mutu secara efektif memperkuat budaya di semua level dalam institusi.
Selain memantau SPMI dalam praktik sehari-hari, pimpinan juga harus memperhatikan dan menjaga relevansi sistem ini. Keberhasilan SPMI jangka panjang tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan saat ini, namun juga oleh adaptasi, transformasi dan peningkatan berkelanjutan. Pemimpin harus terus memperbarui (update) pendekatan dalam pengelolaan mutu dan memfasilitasi pengembangan kapasitas seluruh stakeholder internal.
Komitmen pimpinan dalam memperkuat kompetensi, motivasi dan partisipasi tim kerja akan menciptakan sistem yang tangguh dan berkelanjutan. Pimpinan yang mendukung peningkatan kompetensi dosen dan pelibatan mahasiswa akan memupuk budaya SPMI dalam kehidupan kampus sehari-hari.
Akhirnya, budaya SPMI yang dibangun dan diperkuat, akan menjadi nilai yang dihayati dan diterapkan secara konsisten oleh seluruh anggota civitas akademika.
Membangun mutu pendidikan, bukan hanya sekedar memenuhi standar formal-administratif, namun juga membangun “identitas perguruan tinggi” yang kompetitif, unggul dan berkelanjutan.
Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier
Kepemimpinan SPMI memiliki peran penting dalam menumbuhkan kesadaran, motivasi dan komitmen terhadap mutu di semua level perguruan tinggi. Dengan implementasi prinsip-prinsip modeling dan self-efficacy, pemimpin dapat membentuk budaya SPMI yang lebih terinternalisasi, di mana setiap karyawan merasa terinspirasi untuk aktif dan turut serta dalam menjaga standar SPMI yang tinggi.
Pembelajaran sosial memungkinkan seluruh civitas akademika, dari pimpinan, unik kerja hingga mahasiswa, bersinergi untuk mencapai target mutu pendidikan. Melalui keteladanan dan komitmen, saatnya “mutu menjadi identitas kampus”, menjawab semua tantangan, masa kini maupun masa depan.
Sebagai penutup, ijinkan penulis menggemakan kembali kata-kata Albert Bandura: “People’s beliefs about their abilities have a profound effect on those abilities.” Stay Relevant!
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Di era globalisasi yang berubah pesat, institusi perguruan tinggi menghadapi tekanan besar untuk memastikan tercapainya mutu Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat) melalui Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) yang kokoh. SPMI berperan sebagai framework penting yang terdiri dari siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan (PPEPP). Siklus PPEPP didesain untuk memastikan bahwa semua proses akademik dan non akademik memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan. Efektivitas SPMI tidak hanya terletak pada prosedur dan kebijakan yang dijalankan, namun juga pada motivasi, keterlibatan aktif unit kerja, staf pengajar dan tendik (tenaga kependidikan) dalam mendukung pencapaian mutu berkelanjutan.
Teori Motivasi 2 Faktor dari Frederick Herzberg (1968) memberikan wawasan untuk mengenal dan memahami motivasi kerja dalam konteks SPMI. Herzberg membedakan faktor yang menciptakan kepuasan kerja (faktor motivator) dari faktor yang hanya mencegah ketidakpuasan (faktor higienis / pemelihara).
Menurut Herzberg, faktor motivator meniputi aspek seperti pencapaian, pengakuan, dan tanggung jawab (motivasi intrinsik). Faktor-faktor tersebut dapat mendorong unit kerja, tenaga pengajar dan staf untuk bekerja lebih giat / lebih baik karena mereka merasakan makna dan kepuasan dari pekerjaan yang mereka emban.
Faktor kedua adalah faktor “higienis”. Faktor higienis (pemelihara) seperti kebijakan organisasi, kondisi kerja, dan keamanan kerja juga memainkan peran krusial. Walaupun faktor higienis tidak menciptakan kepuasan langsung, mereka penting untuk “mencegah ketidakpuasan” yang juga dapat mengganggu prestasi kerja. Dalam konteks SPMI, faktor higienis perlu diberikan (dipenuhi) untuk menciptakan stabilitas dan dukungan bagi kepala unit kerja, staf dosen dan staf administrasi. Ketika kondisi kerja sudah mendukung, tenaga kerja akan merasa nyaman dan “siap” untuk bekerja / berkontribusi bagi peningkatan mutu.
Untuk penguatan dan keberhasilan SPMI, institusi harus mempertimbangkan “keseimbangan” antara faktor motivator dan faktor higienis.
Penting sekali memfasilitasi unit kerja, dosen dan staf dengan kebijakan yang jelas dan menyediakan kesempatan (peluang) untuk tanggung jawab serta pengakuan. Hal tersebut adalah cara-cara untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kepuasan, motivasi dan keterlibatan penuh. Keterlibatan ini pada akhirnya berkontribusi pada keberhasilan pelaksanaan mutu (SPMI) secara holistik.
Implementasi teori 2 faktor dari Herzberg dapat menumbuhkan kepuasan kerja yang lebih tinggi dan mendorong keterlibatan yang lebih baik. Dengan memperhatikan 2 kebutuhan tersebut (motivator dan higienis), perguruan tinggi dapat membangun lingkungan yang mendukung peningkatan mutu, mendorong institusi untuk lebih unggul, adaptif, dan berdaya saing tinggi.
Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?
Saat ini perubahan lingkungan semakin bergejolak dan mengarah ke era VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous) dan BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, Incomprehensible). Di era tersebut, perguruan tinggi menghadapi tantangan yang semakin ambigu, kompleks dan sulit diprediksi. Kondisi yang tidak stabil ini dapat mengganggu kenyamanan kerja dari unit kerja, tenaga pengajar dan staf. Tentu saja bila tidak ada solusi, dapat berdampak langsung pada keberlanjutan pelaksanaan SPMI. Di sinilah peran teori 2 faktor Herzberg memberikan panduan penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang kondusif secara psikologis maupun profesional.
Faktor higienis atau faktor pemelihara dalam teori Herzberg, seperti kebijakan kerja yang adil, kondisi kerja yang menyenangkan, dan stabilitas karier, sangat diperlukan untuk menghadapi ketidakpastian era VUCA dan BANI. Institusi dapat menyesuaikan kebijakan kerja dengan memperkuat stabilitas dan keamanan kerja bagi tim unit kerja, dosen dan staf. Kebijakan organisasi yang adil dan menarik membantu menjaga kenyamanan anggota organisasi, sehingga mereka “tetap dapat fokus” pada peningkatan mutu.
Herzberg menjeleskan bahwa faktor higienis (faktor pemelihara) tidak langsung menciptakan motivasi intrinsik, namun tetap penting untuk mencegah ketidakpuasan kerja.
Di era BANI, di mana kecemasan (Anxious) menjadi hal sering terjadi, faktor-faktor higienis ini berperan besar dalam menciptakan lingkungan yang stabil dan mendukung. Dengan adanya stabilitas lingkungan organisasi, unit kerja, dosen dan staf akan lebih tenang dalam menghadapi dinamika perubahan yang sering terjadi.
Pemenuhan faktor higienis yang tepat membantu perguruan tinggi meminimalkan risiko ketidakpuasan dan menciptakan rasa aman bagi tenaga kerja. Dalam lingkup SPMI, perguruan tinggi juga dapat memberikan dukungan profesional yang berkelanjutan dan menyesuaikan kebijakan SPMI sesuai kebutuhan perubahan. Sehingga, institusi dapat menjaga motivasi staf SDM secara lebih efektif di tengah kondisi yang sulit diprediksi.
Implementasi teori 2 faktor Herzberg dalam lingkungan VUCA dan BANI menunjukkan bahwa stabilitas di tingkat higienis adalah strategi penting. Walau faktor higienis tidak menambah motivasi intrinsik, namun membantu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penguatan SPMI, memastikan perguruan tinggi mencapai keunggulan mutu di tengah tantangan lingkungan yang uncertainty, kompleks dan beragam.
Selain faktor higienis (faktor pemelihara), Herzberg juga menekankan pentingnya faktor motivator untuk membangun motivasi intrinsik. Dalam konteks SPMI, faktor motivator ini sangat berperan dalam implementasi siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar SPMI). Perguruan tinggi perlu memperkuat faktor ini untuk mendorong motivasi dan keterlibatan unit kerja, dosen dan staf secara lebih mendalam.
Pada tahap penetapan standar (dalam PPEPP), melibatkan semua unit kerja dalam proses perumusan standar mutu dan kebijakan akademik dapat “meningkatkan rasa memiliki” terhadap tujuan yang ditetapkan. Ketika unit kerja merasa terlibat dalam penetapan standar, mereka akan memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Menurut Frederick Herzberg, pencapaian (achievement) dan tanggung jawab merupakan motivator kuat yang mendorong unit kerja untuk bekerja dengan lebih baik dan terarah.
Selanjutnya, pada tahap pelaksanaan (dalam PPEPP), memberikan tanggung jawab kepada tim unit kerja untuk mengimplementasikan standar mutu, dapat menumbuhkan rasa puas terhadap pekerjaan mereka. Ketika mereka diberi kebebasan untuk menjalankan standar, kepuasan kerja akan meningkat seiring dengan kepercayaan yang telah diberikan. Rasa tanggung jawab (responsibility) yang tinggi ini dapat memperkuat motivasi intrinsik.
Pengakuan (recognition) juga menjadi elemen penting dalam menumbuhkan motivasi kerja yang kuat. Memberikan penghargaan atau apresiasi kepada unit kerja yang berhasil mencapai atau bahkan melampaui standar SPMI. Unit kerja dan dosen yang berhasil berinovasi dalam pengajaran dan penelitian, memperoleh penghargaan yang nyata. Herzberg menjelaskan bahwa pengakuan (recognition) adalah elemen motivator penting yang dapat mendorong kepuasan kerja secara signifikan.
Pada akhirnya, implementasi teori 2 faktor dari Herzberg dalam SPMI memungkinkan perguruan tinggi untuk membangun lingkungan yang mendukung motivasi intrinsik. Prestasi, penghargaan dan pengakuan terhadap kontribusi unit kerja, tidak hanya meningkatkan motivasi dan keterlibatan, namun juga memicu pencapaian standar SPMI yang lebih tinggi.
Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”
Herzberg menjelaskan bahwa “faktor motivasi dan higienis” saling melengkapi satu dengan lainnya dalam menumbuhkan kepuasan dan ketahanan kerja. Dalam konteks SPMI, kedua faktor tersebut dapat dioptimalkan secara sinergis untuk membangun motivasi, komitmen dan keterlibatan penuh dalam siklus PPEPP. Hal ini menjadi fondasi utama bagi pencapaian mutu di perguruan tinggi.
Pada tahap evaluasi dan pengendalian (dalam PPEPP), dukungan perguruan tinggi berupa akses ke sumber daya yang memadai serta kebijakan yang transparan berfungsi sebagai faktor higienis yang penting. Faktor ini memastikan bahwa segenap tim kerja merasa didukung dan dilindungi, hal ini sangat diperlukan untuk stabilitas kerja mereka.
Dengan adanya kebijakan yang adaptif, rasa aman dapat dipertahankan. Ketika kebutuhan SDM diperhatikan, potensi ketidakpuasan dapat diminimalkan, sehingga pelaksanaan siklus SPMI berjalan lebih produktif. Kebijakan yang adaptif ini memastikan bahwa standar SPMI dapat dipenuhi meskipun di tengah kondisi yang penuh gejolak era VUCA dan BANI.
Selanjutnya, pada tahap peningkatan (dalam PPEPP), perguruan tinggi dapat memperkuat motivasi intrinsik tim kerja (pimpinan, dosen dan staf) dengan memberikan pengakuan atas kontribusi mereka. Penghargaan (recognition) atas keberhasilan dalam meningkatkan standar SPMI dapat mendorong motivasi intrinsik.
Implementasi teori dua faktor dari Herzberg dalam SPMI memungkinkan institusi menghadapi tantangan era VUCA dan BANI dengan menciptakan lingkungan kerja yang stabil dan berorientasi pada pencapaian mutu. Integrasi faktor motivator dan higienis dapat menghasilkan sistem mutu yang lebih responsif terhadap kebutuhan SDM. Hal ini bila dilaksanakan dengan baik, dapat berkontribusi pada pencapaian standar SPMI, dan menjadikan perguruan tinggi lebih unggul dan kompetitif. Stay Relevant!
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di institusi perguruan tinggi kini menjadi kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditawar lagi. Dalam era pendidikan tinggi yang semakin dinamis dan penuh gejolak (Era VUCA dan BANI), perguruan tinggi harus terus meningkatkan standar mutu mereka agar unggul dan tidak tertinggal. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 53 Tahun 2023, Pasal 68 ayat 1, SPMI mencakup lima tahapan siklus, yaitu Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan, atau sering disingkat dengan sebutan siklus PPEPP.
Kelima tahapan siklus PPEPP ini didesain untuk menumbuhkan keteraturan, meningkatkan akuntabilitas, serta membangun mutu perguruan tinggi secara holistik. Melalui implementasi siklus PPEPP secara teratur, perguruan tinggi diharapkan mampu mengelola mutu institusi secara berkesinambungan. Namun, faktanya berkata lain, banyak perguruan tinggi masih menghadapi permasalahan dalam menjalankan setiap siklus ini dengan efektif. Tantangan utama sering kali muncul dalam aspek “pengendalian” dan “peningkatan” mutu (dalam PPEPP) yang berkelanjutan (kaizen).
Problematik lain, institusi perguruan tinggi tertentu kerap terjebak dalam budaya formalitas prosedural. SPMI dijalankan “sekedar ada dokumen”, tanpa berfokus pada “impact” nyata dalam operasional, kegiatan akademik dan non akademik. Pelaksanaan SPMI sering kali terbatas pada semangat pemenuhan dokumen dan laporan formal semata. Situasi ini sering kali menyebabkan SPMI tidak memberi dampak “substansi” terhadap perbaikan mutu yang dicita-citakan bersama. Dampak negatifnya, SPMI yang seharusnya menjadi tools dalam membangun mutu justru terkesan kaku dan kurang berfungsi secara optimal.
Inilah alasan utama mengapa process mapping dapat memainkan peran yang sangat penting. Robert Damelio, dalam bukunya The Basics of Process Mapping (1996), menjabarkankan bahwa visualisasi alur kerja yang sistematis sangat bermanfaat bagi organisasi untuk mengenali aliran proses secara keseluruhan (holistik). Visualisasi ini membantu organisasi, termasuk institusi perguruan tinggi, untuk mengidentifikasi tantangan-tantangan dan mengungkap peluang perbaikan yang sebelumnya sulit diidentifikasi.
Melalui process mapping yang tepat, perguruan tinggi dapat melihat dengan jelas “big picture”, bagaimana setiap proses berinteraksi dan di mana letak masalah / hambatan yang mungkin dapat muncul. Alur kerja (flow chart) yang divisualisasikan, memungkinkan institusi untuk lebih memahami aspek operasional day to day, bukan sekadar administratif belaka. Kelebihan ini menjadikan process mapping sebagai metode yang menarik untuk memperkuat efektivitas SPMI.
Permendikbudristek no 53 tahun 2023 adalah momentum penting untuk mengubah cara pandang terhadap SPMI. Dengan memanfaatkan konsep process mapping dan metode visualisasi proses, perguruan tinggi tidak hanya fokus pada pemenuhan dokumen dan laporan saja, namun juga dapat lebih berorientasi pada “result” dan peningkatan mutu yang nyata. Inilah saatnya perguruan tinggi bertransformasi, beradaptasi dan menumbuhkan SPMI yang lebih inovatif, berbasis data, dan berkelanjutan.
Pada tahap penetapan (P) dalam SPMI, process mapping membantu perguruan tinggi merancang “peta proses kerja” yang lengkap. Peta proses ini mencakup berbagai kegiatan akademik dan non akademik, termasuk administratif, yang relevan dengan tantangan mutu pendidikan. Melalui visualisasi, tim pelaksana dapat melihat alur proses secara keseluruhan (big picture) dan memastikan setiap langkahnya berjalan sesuai standar yang diharapkan (berisi 5 W dan 1 H).
Visualisasi alur kerja (process mapping), membantu manajemen (rektor, dekan, kaprodi) memahami keterkaitan antar-fungsi dalam organisasi. Selain itu, juga membantu untuk menghitung kebutuhan sumber daya (resources), serta jalur komunikasi yang diperlukan. Dengan demikian, setiap bagian (unit kerja) dalam setiap proses dapat berjalan lebih terintegrasi dan terkoordinasi. Peluang ini juga memberi kesempatan bagi institusi untuk mengidentifikasi titik-titik kritis (key success factors) yang perlu mendapat perhatian lebih besar dalam pelaksanaannya.
Keuntungan lain, process mapping juga tidak hanya membantu memetakan prosedur; metode ini juga dapat membuka peluang untuk mengidentifikasi risiko potensial yang mungkin timbul di berbagai titik-titik proses (manajemen resiko). Contoh, dalam proses penerimaan mahasiswa baru (PMB), pemetaan alur kerja memungkinkan institusi mengantisipasi hambatan-hambatan yang mungkin dapat terjadi dan mempersiapkan langkah-langkah mitigasi yang diperlukan.
Pada tahap pelaksanaan (P), process mapping mendukung institusi untuk mengkoordinasikan dan memantau pelaksanaan proses secara terperinci dan sistematis. Karena SPMI melibatkan kolaborasi antar-unit, peta proses ini menyediakan gambaran peran dan tanggung jawab setiap unit dengan jelas. Dengan peta yang terstruktur, risiko tumpang tindih (overlap) atau keterlambatan dalam pelaksanaan program mutu dapat dikurangi /dicegah.
Secara umum, process mapping memberi panduan yang kuat, berfungsi sebagai “peta jalan” yang memastikan setiap langkah teridentifikasi dengan baik. Pendekatan ini memungkinkan institusi untuk mencapai target mutu secara efektif dan efisien, sekaligus mengoptimalkan penggunaan resources yang ada.
Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?
Pada tahap evaluasi (E) dalam SPMI, process mapping menyediakan panduan untuk melakukan avaluasi mendalam terhadap kinerja proses. Evaluasi ini berguna untuk menilai efektivitas pelaksanaan, memastikan setiap langkah sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan. Dengan adanya peta proses, perguruan tinggi dapat lebih mudah mengidentifikasi aspek-aspek mana saja yang perlu dikoreksi.
Visualisasi alur kerja yang disediakan melalui process mapping membantu institusi menilai kinerja secara visual. Kondisi ini memungkinkan identifikasi dini terhadap elemen-elemen yang membutuhkan tindakan koreksi. Keunggulan visualisasi, perguruan tinggi dapat segera memprediksi dan mengatasi kekurangan sebelum masalah tersebut berkembang lebih lanjut.
Keunggulan lain, process mapping juga bermanfaat sebagai alat untuk membandingkan antara perencanaan awal dengan hasil aktual dari proses yang berjalan (fungsi kontrol). Kondisi ini memberi institusi perguruan tinggi dasar yang kuat untuk melakukan mengevaluasi. Proses ini mendukung dan memudahkan pengambilan keputusan, agar lebih akurat berdasarkan data nyata.
Pada tahap pengendalian (P), process mapping berperan krusial dalam merancang mekanisme kontrol yang lebih efektif. Damelio dalam bukunya menjelaskan bahwa visualisasi alur kerja memungkinkan penetapan tahapan titik-titik kontrol yang kritis. Hal ini sangat relevan pada proses-proses penting yang berdampak pada mutu pendidikan, seperti proses belajar mengajar, penilaian akademik dan lain-lain.
Dalam konteks SPMI, menetapkan titik kontrol kritis ini, penting untuk memastikan mutu pendidikan terjaga dengan baik, terutama pada area-area yang berisiko tinggi. Dengan adanya panduan visual yang holistik, perguruan tinggi dapat mencegah risiko dan mempertahankan mutu melalui fungsi kontrol yang konsisten.
Tahap peningkatan (P) dalam PPEPP adalah “inti” dari SPMI, terjadinya proses perbaikan standar yang dilakukan secara terus menerus. Process mapping memainkan peran vital dalam pembantu terlaksananya tahap Peningkatan (P). Setelah evaluasi dan pengendalian, “pemetaan yang diperbarui secara berkala” memberikan gambaran menyeluruh tentang area-area mana saja yang memerlukan peningkatan. Hal ini mendukung perbaikan berkelanjutan (kaizen) dan proses inovasi dalam sistem pendidikan tinggi.
Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”
Berikut adalah contoh visualisasi sederhana untuk proses PMB (penerimaan mahasiswa baru). Dengan menggunakan diagram alur (flowchart), manajemen dapat menjelaskan tahap-tahap utama dalam proses PMB. Dalam diagram ini, setiap tahap (steps) diilustrasikan secara runtut untuk membantu memahami alur kerja.
Inilah contoh visualisasi alur kerja process mapping untuk proses penerimaan mahasiswa baru. Diagram ini menunjukkan alur kerja mulai dari proses registrasi online hingga proses daftar ulang. Langkah-langkah utama adalah sebagai berikut:
Setiap langkah saling terhubung melalui arah membaca dari kiri ke kanan. Arah dari kiri ke kanan menunjukkan urutan proses yang jelas dan aliran kerja yang sistematis. Visualisasi ini membantu tim kerja di perguruan tinggi dalam memahami keseluruhan proses, mengidentifikasi potensi hambatan, dan mengoptimalkan efisiensi di setiap tahap. Adapun bentuk-bentuk desain visualisasi tentu ada beberapa model bentuk, ada bebrapa aplikasi software yang dapat membantu pembuatan desain visualisasi, misalnya dengan Visio atau Canva.
Secara umum dapat disimpulkan, penerapan process mapping dalam kerangka SPMI (PPEPP) menjadi pendekatan strategis yang mampu mendorong peningkatan efisiensi dan budaya mutu di institusi perguruan tinggi. Visualisasi “proses bisnis” memungkinkan perguruan tinggi untuk memetakan alur kerja dengan jelas dan runtut. Hal ini membantu unit kerja untuk memahami fungsi, kontribusi dan peran mereka dalam mencapai standar mutu yang lebih baik.
Peta proses yang jelas dan transparan membantu proses “integrasi” berbagai pihak dalam satu pemahaman utuh tentang alur kerja. Dengan keterlibatan seluruh unit kerja, perguruan tinggi dapat membangun pemahaman bersama mengenai kontribusi masing-masing terhadap capaian mutu secara holistik. Hal ini membangun motivasi dan “keterhubungan” (integrasi) antara semua elemen dalam organisasi.
Sejalan dengan paparan Robert Damelio, dalam bukunya The Basics of Process Mapping (1996) process mapping memberi perguruan tinggi kemampuan untuk melihat kontribusi setiap proses secara utuh dan lengkap. Kondisi ini memastikan bahwa setiap tahap dalam alur kerja memberikan kontribusi nyata bagi peningkatan mutu. Melalui pemetaan proses, perguruan tinggi dapat melihat jalur perbaikan yang konkret dan mengefektifkan aliran kerja yang ada.
Pendekatan process mapping juga menjadi salah satu “solusi inovatif” bagi perguruan tinggi untuk memperkuat sistem penjaminan mutu. Dengan metode visualisasi proses bisnis, perguruan tinggi memiliki alat efektif untuk memperbaiki dan meningkatkan daya saing institusi. Proses ini mendukung kesiapan perguruan tinggi dalam menghadapi tantangan mutu di era pendidikan yang semakin kompetitif.
Melalui penerapan process mapping yang optimal, institusi tidak hanya meningkatkan capaian akreditasi, namun juga dapat membangun komitmen bersama menuju mutu pendidikan yang berkelanjutan. Transformasi besar ini memungkinkan perguruan tinggi menjadi institusi yang tidak hanya berdaya saing tinggi, namun juga tetap relevan dalam persaingan global. Stay Relevant!
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Kebijakan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi merupakan langkah strategis untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. SPMI dirancang untuk memastikan bahwa setiap aspek-aspek pendidikan, termasuk proses pembelajaran, kurikulum dan hasil evaluasi, memenuhi standar yang ditetapkan. Hal ini sangat penting untuk menjamin mutu pendidikan yang ditawarkan kepada mahasiswa.
Kita semua maklum bahwa implementasi SPMI tidak hanya fokus pada aspek administratif dan teknis saja, namun juga harus mempertimbangkan “aspek motivasi” yang memberi dampak dan mempengaruhi semua pemangku kepentingan di perguruan tinggi.
Pimpinan, dosen, mahasiswa, dan staf administrasi memiliki peran krusial dalam mendukung keberhasilan SPMI. Motivasi mereka sangat berpengaruh terhadap partisipasi dan komitmen dalam proses peningkatan mutu pendidikan.
Dalam konteks ini, teori motivasi dari Abraham Maslow memberikan perspektif yang menarik untuk memahami bagaimana kebutuhan individu (need) dapat dipenuhi dalam lingkungan akademik. Dengan memenuhi kebutuhan berdasarkan hierarki Maslow, perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan semua pemangku kepentingan, sehingga kondisi ini “dapat meningkatkan efektivitas implementasi SPMI”.
Teori motivasi Maslow mengelompokkan kebutuhan manusia (need) dalam lima tingkatan: fisiologis, rasa aman, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri.
Dalam konteks implementasi SPMI, pemahaman tentang hierarki kebutuhan ini sangat penting untuk merumuskan strategi yang efektif dalam meningkatkan motivasi, partisipasi dan komitmen dari semua pihak di perguruan tinggi.
Kebutuhan fisiologis dan rasa aman (di perguruan tinggi) mencakup penyediaan fasilitas serta lingkungan kerja yang aman bagi dosen, tenaga kependidikan dan mahasiswa. Memastikan bahwa kebutuhan dasar (basic need) bisa terpenuhi menjadi langkah awal yang penting dalam menciptakan suasana akademik yang nyaman dan kondusif.
Dengan memenuhi kebutuhan dasar tersebut, institusi dapat mendorong individu untuk berkontribusi aktif dalam proses peningkatan mutu pendidikan. Kondisi yang ideal ini, menurut Maslow dapat meningkatkan motivasi dan partisipasi semua stakeholder, sehingga bersemangat untuk mendukung keberhasilan SPMI.
Baca juga: Mengapa Temuan Audit Sering Tak Ditindaklanjuti?
Kebutuhan sosial dan kebutuhan penghargaan merupakan kebutuhan yang ke 3 dan ke 4. Kebutuhan ini memainkan fungsi penting dalam membangun komunitas akademik yang kondusif. Oleh sebab itu, institusi perlu menciptakan lingkungan yang mendukung interaksi sosial dan kolaborasi antara dosen, tenaga kependidikan dan mahasiswa. Kegiatan seperti family gathering, outbound, seminar, lokakarya, dan diskusi kelompok menjadi sarana efektif untuk memenuhi kebutuhan sosial ini.
Pengakuan terhadap prestasi individu dan tim juga merupakan aspek penting dalam memenuhi kebutuhan yang ke 4 yaitu penghargaan. Memberikan penghargaan (recognisi) kepada dosen yang sukses menerapkan metode pengajaran interaktif atau mahasiswa yang berprestasi dalam pengabdian masyarakat dapat meningkatkan semangat, motivasi dan rasa percaya diri mereka.
Dengan memfasilitasi kegiatan-interaksi sosial dan memberikan pengakuan, perguruan tinggi tidak hanya memotivasi individu (tim) untuk berpartisipasi aktif, namun juga mendorong peningkatan mutu pendidikan secara holistik. Langkah ini penting untuk menciptakan komunitas akademik yang menyenangkan, inovatif dan produktif.
Kebutuhan ke 5 menurut teori Maslow adalah aktualisasi diri. Kebutuhan ini berada di puncak hierarki Maslow dan berkaitan dengan pencapaian potensi tertinggi dari individu. Dalam konteks SPMI, penting bagi institusi untuk memberikan kesempatan bagi dosen, tendik dan mahasiswa untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka.
Dukungan untuk penelitian skala internasional, kolaborasi dengan dunia usaha (industri), dan program pengembangan diri yang berkelanjutan merupakan langkah strategis untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri ini. Dengan menyediakan sarana, fasilitas dan kesempatan tersebut, perguruan tinggi dapat mendorong individu untuk mencapai potensi terbaik mereka (aktualisasi diri).
Memenuhi kebutuhan aktualisasi diri tidak hanya dapat menghasilkan lulusan yang bermutu, namun juga menciptakan budaya akademik yang inovatif dan responsif terhadap perubahan. Ini sangat penting dalam menghadapi tantangan dan tuntutan dunia pendidikan yang terus berubah dengan cepat.
Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?
Penerapan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi harus melibatkan partisipasi semua stakeholder dan menciptakan mekanisme evaluasi yang transparan, sebagaimana diatur dalam Panduan SPMI yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (2023).
Dengan mengintegrasikan teori motivasi Maslow dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan SPMI, manajemen perguruan tinggi dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi memperbaiki mutu pendidikan. Hal ini dapat terjadi karena institusi telah membantu mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan (need) individu di lingkungan akademik dan non akademik.
Keterlibatan aktif semua pihak (quality is everyone responsibility) dalam proses penjaminan mutu sangat penting untuk keberhasilan SPMI. Upaya ini juga sejalan dengan Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, yang menekankan pentingnya integrasi, kolaborasi dan partisipasi dalam mencapai mutu pendidikan yang unggul.
Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”
Sebagai penutup, berikut catatan yang bisa diambil, hubungan antara pelaksanaan kebijakan SPMI dan teori motivasi Maslow menegaskan pentingnya “pendekatan holistik” dalam pengelolaan pendidikan tinggi.
Perguruan tinggi yang memahami dan merespons kebutuhan motivasi individu akan lebih efektif dalam menciptakan lingkungan yang mendukung proses pembelajaran dan pengembangan. Kondisi ini menjadi dasar untuk menghasilkan lulusan yang bermutu dan siap menghadapi tantangan di dunia kerja.
Implementasi SPMI “tidak cukup” hanya melibatkan aspek teknis dan administratif saja, namun juga aspek pengembangan manusia sebagai sumber daya utama dalam pendidikan. Dengan memberikan “perhatian penuh” pada kebutuhan motivasi setiap individu, institusi akan mendapatkan kemudahan dalam membangun budaya akademik yang inovatif dan produktif, dosen dan mahasiswa merasa dihargai dan termotivasi untuk berkontribusi secara maksimal.
Dalam perjalanan menuju peningkatan mutu pendidikan, penting bagi perguruan tinggi untuk menyadari bahwa motivasi dan proses penjaminan mutu “tidak dapat dipisahkan”.
Motivasi dan proses penjaminan mutu merupakan satu kesatuan yang holistik. Seperti yang dikatakan oleh Abraham Maslow, “Apa yang manusia dapat lakukan, mereka harus lakukan,” (What a man can be, he must be) menekankan bahwa potensi manusia dapat terwujud ketika kebutuhan mereka terpenuhi dan mereka merasa termotivasi. Individu yang termotivasi akan menjadi kekuatan dahsyat untuk memajukan SPMI secara holistik. Stay Relevant!
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
“Dalam mengembangkan kerangka teori dan eksplorasi konsep awal, penulis menggunakan bantuan ChatGPT, model AI dari OpenAI, yang memberikan masukan dalam proses brainstorming dan merumuskan ide.”
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi