Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah instrumen utama untuk menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan di perguruan tinggi, khususnya di Indonesia. Walaupun sering “diasumsikan” bahwa tanggung jawab utama SPMI berada di pundak Rektor atau Kepala Penjaminan Mutu, kenyataannya SPMI melibatkan lebih banyak pihak.
SPMI adalah “sistem mutu” yang seharusnya dikelola secara kolektif oleh semua aras / tingkatan manajemen. Mulai dari rektor, dekan, kepala program studi, hingga kepala unit kerja, setiap manajer memiliki “role” / peran penting dalam memastikan bahwa sistem penjaminan mutu berjalan efektif di seluruh aspek perguruan tinggi.
SPMI tidak hanya menjadi tanggung jawab Rektor atau pimpinan tertinggi (Ketua / Direktur). Semua aras / lapisan manajemen terlibat dalam mengimplementasikan dan memantau mutu di berbagai aspek institusi. Dari mutu akademik, administrasi, hingga layanan penelitian dan pengabdian masyarakat, setiap elemen ini membutuhkan keterlibatan aktif dari seluruh stakeholder di perguruan tinggi.
Memang benar Rektor memegang peran strategis dalam menetapkan visi dan arah kebijakan mutu institusi. Namun, keberhasilan SPMI dalam praktik memerlukan kolaborasi yang erat dengan Dekan, Kepala Departemen, Kepala Program Studi, dan Kepala Unit Kerja. Mereka bertanggung jawab untuk menerjemahkan visi dan kebijakan tersebut ke dalam langkah-langkah operasional di tingkat fakultas dan program studi masing-masing.
Sebagai pimpinan tertinggi, Rektor memiliki tanggung jawab untuk menetapkan kebijakan mutu strategis atau Kebijakan SPMI. Rektor memimpin dalam menetapkan visi dan misi perguruan tinggi, serta memastikan bahwa SPMI selaras dengan tujuan strategis jangka panjang perguruan tinggi. Selain itu, Rektor bertanggung jawab menyediakan resources yang diperlukan—baik dari sisi finansial, SDM, teknologi, dan lain-lain—untuk mendukung pelaksanaan SPMI di seluruh institusi.
Agar berhasil, Rektor tidak boleh bekerja sendiri. Pelaksanaan SPMI berada di tangan berbagai pimpinan di tingkatan lebih rendah, termasuk Dekan dan Kepala Program Studi, yang bertugas menerjemahkan kebijakan strategis menjadi langkah-langkah nyata (operasional) di lapangan.
Masing-masing Dekan dan Kaprodi, menterjemahkan kebijakan strategis Rektorat menjadi Standar Pendidikan Tinggi untuk masing-masing Fakultas, baik Standar Pendidikan dan Pengajaran, Standar Penelitian dan Pengabdian Masyarakat.
Dekan wajib mengimplementasikan dan mengelola SPMI di tingkat fakultas. Dekan bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kebijakan SPMI yang ditetapkan oleh Rektor diimplementasikan di fakultas masing-masing. Dalam hal ini, Dekan juga berfungsi “sebagai jembatan” antara kebijakan tingkat universitas dan pelaksanaan di tingkat program studi.
Kepala Program Studi memainkan peran “krusial” dalam mengelola mutu di tingkat program studi. Mereka bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kurikulum, penelitian, dan layanan mahasiswa berjalan sesuai standar mutu yang telah ditetapkan. Selain itu, Kepala Program Studi juga terlibat dalam memantau Indikator Kinerja Utama (IKU) dan Indikator Kinerja Tambahan (IKT) untuk memastikan bahwa program studi mencapai standar SPMI yang telah ditetepkan.
Selain elemen akademik, Kepala Unit Kerja juga memainkan peran penting dalam menjamin mutu layanan non-akademik.
Misalnya, layanan administrasi kemahasiswaan, teknologi informasi, dan perpustakaan berperan mendukung proses akademik. Kepala Unit Kerja bertanggung jawab untuk memastikan bahwa layanan tersebut berjalan sesuai standar SPMI yang mendukung keberhasilan akademik dan kepuasan mahasiswa.
Mutu layanan non-akademik tidak bisa diabaikan dalam SPMI. Kinerja unit-unit ini berkontribusi secara langsung terhadap keberhasilan SPMI secara keseluruhan. Tanpa dukungan dari unit-unit kerja yang efisien, sulit bagi program akademik untuk mencapai mutu yang optimal.
Salah satu elemen penting dalam SPMI adalah siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar). Dalam siklus ini, semua stakeholder manajerial, dari Rektor hingga Kepala Unit Kerja, memiliki peran spesifik yang saling memperkuat dan saling melengkapi.
Siklus PPEPP | Peran Manajerial |
---|---|
Penetapan Standar Pendidikan Tinggi | Rektor menetapkan kebijakan dan standar mutu strategis, yang kemudian diterjemahkan oleh Dekan dan Kepala Program Studi dalam konteks operasional fakultas dan program studi. |
Pelaksanaan Standar Pendidikan Tinggi | Dekan, Kepala Program Studi, dan Kepala Unit Kerja melaksanakan kebijakan tersebut dengan memantau implementasi di bidang akademik dan non-akademik. |
Evaluasi Pemenuhan Standar Pendidikan Tinggi | Setiap stakeholder internal terlibat dalam proses audit dan penilaian kinerja. Kepala Penjaminan Mutu, bersama dengan unit-unit terkait, mengoordinasikan evaluasi ini untuk menilai apakah standar mutu yang ditetapkan telah tercapai. |
Pengendalian Pelaksanaan Standar Pendidikan Tinggi | Dilakukan melalui pemantauan terus-menerus dan pengambilan langkah-langkah korektif dan preventif bila ditemukan kekurangan. |
Peningkatan Standar Pendidikan Tinggi | Melibatkan seluruh level pimpinan untuk terus mencari cara memperbaiki sistem penjaminan mutu agar lebih efektif dan efisien. |
Teori Sistem pertama kali dipelopori oleh Ludwig von Bertalanffy, seorang peneliti biologi asal Austria pada tahun 1940-an. Teori sistem berpendapat bahwa sebuah sistem sebagai kumpulan elemen-elemen yang saling berinteraksi dan membentuk satu kesatuan.
Dalam konteks organisasi atau institusi pendidikan, teori ini menjelaskan bahwa setiap bagian atau elemen, seperti individu, departemen, atau unit kerja, tidak dapat bekerja sendiri sendiri. Setiap elemen saling kait mengkait dan memengaruhi keseluruhan sistem, yang menciptakan hasil yang lebih besar (sinergi) dari sekadar jumlah masing-masing elemen tersebut.
Pemahaman teori sistem dalam SPMI menekankan bahwa keberhasilan mutu perguruan tinggi tidak hanya ditentukan oleh upaya individu atau satu unit kerja saja, namun oleh koordinasi dan sinergi antar unit kerja.
Dengan demikian, setiap aras pimpinan—mulai dari Rektor hingga Kepala Unit Kerja—memiliki peran yang tidak hanya berdiri sendiri, namun saling melengkapi, saling berkontribusi melalui interaksi dinamis untuk mencapai tujuan kolektif. Interaksi yang efektif antara elemen-elemen ini menentukan keberhasilan keseluruhan sistem mutu.
Dengan tanggung jawab yang tersebar di seluruh aras manajemen, jelas bahwa SPMI adalah sebuah sistem yang membutuhkan komitmen untuk “kepemilikan bersama“. Rektor memimpin di tingkat kebijakan strategis, sementara Dekan, Kepala Program Studi, dan Kepala Unit Kerja bertanggung jawab untuk menjalankan dan memastikan implementasi di lapangan.
Kolaborasi di antara stakeholder internal ini sangat penting untuk memastikan keberhasilan SPMI. Setiap tingkatan manajemen “memiliki peran spesifik” dalam siklus PPEPP. Mereka harus saling melengkapi (sinergi) untuk memastikan mutu pendidikan yang berkelanjutan dan responsif terhadap tantangan zaman.
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah tanggung jawab kolektif yang melibatkan semua stakeholder internal di perguruan tinggi. Rektor, Dekan, Kepala Departemen, Kepala Program Studi, dan Kepala Unit Kerja semuanya memiliki peran masing-masing dalam memastikan keberhasilan sistem ini.
Bila satu bagian tidak berjalan, maka akan mengganggu bagian yang lain.
“Setiap elemen dalam sistem Perguruan Tinggi memiliki peran penting, dan interaksi positif antar elemenlah yang menentukan kesuksesan.”
Kepemilikan SPMI tidak hanya ada di tangan satu individu atau posisi tertentu, melainkan tersebar di seluruh elemen manajerial, yang bersama-sama bertanggung jawab untuk menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan di perguruan tinggi.
Dengan konsep “kepemilikan kolektif” ini, perguruan tinggi dapat lebih agile, adaptif dan responsif terhadap perubahan, sekaligus memastikan bahwa SPMI berjalan dengan efektif dan berkelanjutan. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Dunia pendidikan tinggi di Indonesia sedang menghadapi krisis yang signifikan. Sebanyak 84 perguruan tinggi swasta (PTS) terancam ditutup (news.detik.com) karena gagal memenuhi standar akreditasi yang ditetapkan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).
Kasus ini menyoroti kerapuhan sistem pendidikan tinggi di era transformasi besar. Perguruan tinggi yang sebelumnya dianggap eksis kini mengalami kelalaian dalam pengelolaan dan gagal memenuhi standar mutu yang ditetapkan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa tantangan dalam dunia pendidikan semakin sulit diprediksi. Lingkungan BANI (Brittle, Anxious, Non-linear, and Incomprehensible) mencerminkan kondisi yang rapuh, cemas, tidak linier, dan sulit dipahami.
Di tengah situasi ini, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) tidak lagi dapat berjalan dengan pendekatan konvensional. Perguruan tinggi harus lebih adaptif dan inovatif untuk menjaga mutu di dunia yang semakin tidak stabil.
Transformasi pendidikan tinggi sangat diperlukan untuk menghindari kegagalan yang lebih luas. Penyesuaian terhadap tantangan lingkungan BANI menjadi kunci bagi institusi pendidikan agar tetap relevan dan kompetitif.
Di tengah realitas ini, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perguruan tinggi tidak bisa lagi berjalan dengan cara-cara yang konvensional.
SPMI dengan kerangka Siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) masih tetap dibutuhkan dan tetap penting. Namun, perguruan tinggi harus menyesuaikan sistem ini agar tetap fleksibel dan adaptif. Lingkungan yang terus berubah menuntut inovasi dan kemampuan untuk merespons perubahan secara cepat.
Sistem pendidikan tinggi yang “terlihat kokoh” ternyata sangat rentan terhadap guncangan. Ini bisa dilihat dari ketidakstabilan ekonomi, perubahan teknologi, hingga perubahan mendadak dalam kebijakan. Kerapuhan ini memaksa perguruan tinggi untuk membangun fondasi SPMI yang lebih kuat dan tahan terhadap tekanan eksternal.
Penetapan standar SPMI (dalam PPEPP) harus mempertimbangkan kemungkinan krisis yang tak terduga. Bukan lagi sekadar mengikuti prosedur, namun SPMI harus dirancang dengan ketahanan untuk menghadapi perubahan drastis.
Ketidakpastian juga “menciptakan kecemasan” di kalangan stakeholder pendidikan. Mahasiswa, dosen, dan masyarakat khawatir tentang masa depan pekerjaan, relevansi kurikulum, dan daya saing di pasar kerja global.
SPMI harus merespons Anxious (kecemasan) ini dengan memberikan kepastian dalam pelaksanaannya. Proses yang transparan, adaptif, dan komunikatif menjadi kunci agar institusi tetap relevan. Institusi harus mampu meyakinkan stakeholder bahwa standar SPMI “telah sesuai” (relevan) dengan tuntutan zaman.
Di era BANI, non-linearitas juga menjadi tantangan besar. Perubahan kecil dapat berdampak sangat besar, dan sering kali hubungan sebab-akibat, sulit untuk diprediksi. Di sinilah evaluasi pemenuhan standar berbasis data menjadi krusial dalam kerangka PPEPP.
Evaluasi pemenuhan standar SPMI, tidak lagi bisa dilakukan dengan cara-cara lama yang konvensional. Perguruan tinggi harus memanfaatkan pendekatan data dinamis, real-time, dan menyesuaikan tindakan secepat mungkin (as soon as possible) ketika terjadi penyimpangan. Metode Monitoring (MoNev) dan Audit Mutu Internal (AMI), harus terus ditingkatkan efektifitasnya.
Pandemi COVID-19, 3-4 tahun yang lalu, memaksa pergeseran drastis ke pembelajaran daring, yang mengubah mutu pendidikan secara tidak linier. Institusi yang siap dengan teknologi dapat mempertahankan kualitas pembelajaran, sementara yang kurang siap, harus menerima kenyataan pahit mengalami penurunan mutu. Perbedaan kecil dalam akses teknologi menghasilkan dampak besar pada hasil pendidikan.
Di sisi lain, penggunaan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) telah mendisrupsi metode penilaian tradisional. Penilaian tidak lagi berdasarkan ujian tertulis semata, melainkan lebih pada keterampilan dan kemampuan adaptasi mahasiswa terhadap teknologi, menunjukkan bahwa mutu pendidikan tidak lagi bergerak secara linier.
Selain itu, perubahan kurikulum yang cepat diperlukan untuk menghadapi otomatisasi dan AI di dunia kerja. Institusi yang cepat beradaptasi, mampu menghasilan lulusan yang lebih siap, sebaliknya yang lamban akan tertinggal. Mutu pendidikan semakin sulit diprediksi dan berubah drastis sesuai dengan tuntutan global.
Baca juga: Transformatif SPMI: Kunci Bertahan di Era BANI
Kompleksitas informasi di era BANI telah membuat pengendalian pelaksanaan standar pendidikan tinggi menjadi lebih sulit. Banyaknya data dan informasi yang beredar (berlimpah) sering kali membuat pengambilan keputusan tidak sederhana. Hal ini menuntut adanya inovasi dalam pengendalian pelaksanaan standar pendidikan tinggi.
SPMI harus fleksibel dan terbuka terhadap pendekatan baru. Penggunaan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan big data bisa membantu mengolah informasi yang kompleks. Selain itu, pengendalian pelaksanaan standar perlu menciptakan ruang untuk eksperimen yang terukur dan berani mengambil risiko.
Pada akhirnya, peningkatan mutu di lingkungan BANI tidak bisa lagi mengikuti pola linier. Peningkatan kecil-kecilan (continuous improvement) tidak cukup untuk menghadapi tantangan besar di dunia yang serba tidak pasti. Perguruan tinggi harus berani melakukan transformasi yang radikal.
Inovasi dalam metode pengajaran, kurikulum, dan teknologi pembelajaran harus terus menjadi prioritas. Peningkatan ini tidak hanya bersifat inkremental, tetapi juga tranformatif revolusioner, di mana institusi proaktif mencari terobosan dan peluang inovasi untuk terus memperbaiki mutu.
Sejalan dengan jurnal ilmiah dalam Scientific Journal of Astana IT University: Innovative Development of Educational Systems in The BANI environment oleh Bushuyev (2023), institusi pendidikan perlu mengadopsi pendekatan berbasis kompetensi. Pengintegrasian teknologi baru dan pembangunan budaya inovasi serta ketahanan menjadi kunci untuk mempersiapkan mahasiswa menghadapi masa depan yang penuh tantangan.
Dengan pendekatan berbasis kompetensi, perguruan tinggi dapat lebih fokus pada pengembangan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan industri. Ini juga memastikan bahwa lulusan siap menghadapi kompleksitas dunia kerja yang terus berubah.
Pengintegrasian teknologi baru, seperti pembelajaran berbasis digital, big data dan AI, memungkinkan institusi beradaptasi dengan cepat terhadap perkembangan yang tidak terduga. Teknologi ini juga membantu mempercepat proses evaluasi dan pengendalian pelaksanaan standar pendidikan tinggi.
Pada akhirnya, membangun budaya inovasi dan ketahanan adalah langkah krusial dalam menjawab tantangan BANI. Institusi yang terus berinovasi akan lebih siap menghadapi era disrupsi dan ketidakpastian.
Untuk menghadapi tantangan di era BANI, SPMI dan siklus PPEPP harus lebih responsif terhadap perubahan. Solusi yang cepat dan fleksibel menjadi kebutuhan utama bagi perguruan tinggi saat ini.
Proses penjaminan mutu tidak bisa lagi bergantung pada siklus PPEPP yang kaku dan formal. Pendekatan yang lebih berbasis data, real-time, dan iteratif harus diterapkan.
Dengan pendekatan ini, perguruan tinggi dapat beradaptasi lebih baik terhadap perubahan. Standar SPMI akan tetap relevan bahkan di tengah disrupsi yang tidak terduga.
Jika inovasi dan ketahanan diterapkan, dampaknya bisa signifikan pada 84 PTS yang terancam ditutup. Budaya inovasi di semua level dapat menghidupkan kembali sistem mutu mereka.
Inovasi akan memperbaiki kelalaian dalam pengelolaan. Ini juga membantu institusi menghadapi ketidakpastian dengan solusi yang kreatif.
Ketahanan sistem penjaminan mutu tidak diukur dari sekadar kepatuhan terhadap aturan. Ketangguhan di tengah disrupsi menjadi ukuran utama keberhasilan SPMI.
Jika 84 PTS mampu mengadopsi pendekatan ini, mereka dapat bertahan dan bersaing kembali. Hanya dengan inovasi dan transformasi berkelanjutan, mutu pendidikan dapat terus terjaga.
Dengan demikian, SPMI menjadi instrumen yang tangguh dan relevan untuk menjaga mutu pendidikan. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Di era digital atau yang dikenal sebagai era BANI, kecepatan komunikasi menjadi faktor penting dalam mendukung operasional organisasi, termasuk perguruan tinggi. BANI menggambarkan lingkungan yang rapuh, gelisah, non-linier, dan sulit dipahami, sehingga menuntut organisasi untuk dapat beradaptasi dengan cepat. Dalam situasi seperti ini, kecepatan dalam menyampaikan dan menerima informasi sangat penting agar organisasi tetap dapat berjalan efektif, efisien dan responsif.
Dalam penerapan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi, kecepatan informasi memainkan peran penting di setiap tahapan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar). Dengan respons yang cepat dan tepat, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa setiap tahap SPMI berjalan sesuai rencana, serta mampu melakukan peningkatan secara terus-menerus untuk mencapai mutu yang lebih baik.
Penggunaan email dan WhatsApp sebagai media komunikasi di perguruan tinggi sudah cukup meluas. Kedua platform ini sering digunakan untuk bertukar informasi secara cepat antara unit kerja dan individu di dalam organisasi. Respons yang cepat di email dan WhatsApp menjadi sangat penting dalam menjaga kelancaran siklus SPMI, memastikan setiap tugas dan keputusan berjalan sesuai rencana.
Namun, untuk individu-individu tertentu, kebiasaan yang lambat merespons pesan digital dapat menjadi hambatan serius. Ketika pesan tidak direspon dengan cepat, proses dalam PPEPP, seperti penetapan standar SPMI, akan terkendala jadwal penyusunannya. Akibatnya, kelancaran dan efektivitas pelaksanaan penjaminan mutu di perguruan tinggi dapat terganggu secara signifikan.
Ron Ashkenas, dalam Management: How to Loosen Organizational Boundaries (Journal of Business Strategy) menekankan pentingnya kecepatan sebagai salah satu kunci kesuksesan organisasi.
Kecepatan sangat relevan dalam konteks perguruan tinggi, terutama ketika terkait dengan respons terhadap pesan di platform digital seperti email dan WhatsApp. Dalam dunia akademik yang dinamis, respons cepat terhadap informasi menjadi penting untuk menjaga efektivitas operasional.
Email dan WhatsApp tidak hanya memfasilitasi pertukaran informasi antar individu dan unit kerja dalam perguruan tinggi, tetapi juga membantu memastikan setiap tahapan dalam siklus PPEPP berjalan sesuai rencana. Setiap tahapan, mulai dari penetapan standar hingga peningkatan standar, membutuhkan respons yang cepat dan tepat agar proses penjaminan mutu tidak terhambat.
Keterlambatan dalam merespons pesan, baik melalui email maupun WhatsApp, dapat menimbulkan penundaan yang signifikan dalam pelaksanaan standar dan pengendalian standar. Ketika individu atau tim tidak merespons pesan tepat waktu, tugas yang seharusnya segera ditindaklanjuti menjadi terhambat, dan ini dapat berdampak langsung pada efektivitas SPMI di perguruan tinggi.
Kecepatan merespons pesan digital, terutama email dan WhatsApp, menjadi sangat penting dalam setiap tahap PPEPP. Pada tahap Penetapan standar, keputusan terkait kebijakan mutu sering kali memerlukan persetujuan lintas unit yang mungkin disampaikan melalui email. Jika email yang berisi “konfirmasi” atau “masukan penting” terlambat direspon, proses penetapan kebijakan bisa terhambat dan mengganggu kelancaran tahapan berikutnya.
Pada tahap Evaluasi Pelaksanaan Standar SPMI, pengumpulan data dari berbagai unit harus dilakukan dengan cepat agar analisis bisa segera dilakukan. Respons yang lambat terhadap pesan-pesan elektronik yang meminta data evaluasi dapat menunda proses analisis tersebut. Akibatnya, tindakan perbaikan yang seharusnya segera dilakukan juga akan tertunda.
WhatsApp, meskipun sering dianggap sebagai platform komunikasi informal, kini menjadi alat penting untuk koordinasi dalam banyak konteks, termasuk di pendidikan tinggi. Kemampuan WA dalam menyampaikan pesan instan menjadikannya sangat berguna untuk pengambilan keputusan cepat. Oleh karena itu, lambat merespons pesan WhatsApp dalam perguruan tinggi dapat berpengaruh langsung terhadap efisiensi dan efektivitas implementasi PPEPP.
Baca juga: Penguatan SPMI melalui Komunikasi Internal Perguruan Tinggi
Kecepatan merespons pesan email dan WhatsApp berhubungan erat dengan budaya organisasi (quality culture). Perguruan tinggi yang mendorong respons cepat menunjukkan bahwa mereka menghargai efisiensi dan waktu. Ini cermin komitmen mereka terhadap mutu dan kelancaran operasional.
Sebaliknya, jika individu dalam organisasi terbiasa menunda merespons, dan terjadi “pembiaran”, hal ini mencerminkan kurangnya perhatian organisasi terhadap mutu pendidikan. Penundaan bisa mengganggu alur kerja dan menghambat koordinasi, yang pada akhirnya berdampak pada penurunan mutu pekerjaan.
Organisasi yang responsif, lebih mampu menjaga reputasi mutu dan mampu mencapai target operasional standar dengan lebih baik.
Untuk membangun budaya organisasi yang mendukung respons cepat terhadap pesan digital, perguruan tinggi perlu menetapkan standar waktu respons yang jelas dan dapat diukur. Misalnya kebijakan setiap pesan yang membutuhkan tindakan segera harus direspon maksimal 1-2 jam agar tidak menghambat alur kerja.
Pesan yang tidak mendesak, organisasi dapat membuat kebijakan boleh dijawab dalam maksimal 12 jam. Dengan demikian, setiap pesan memiliki prioritas yang jelas dan ditangani sesuai tingkat kepentingannya. Konsisten kebijakan ini membantu menjaga keteraturan dan meminimalkan penundaan dalam proses komunikasi.
Selain itu, pelatihan time management (manajemen waktu) bagi staf karyawan dan dosen sangat diperlukan. Pelatihan ini membantu mereka mengelola pesan digital yang terus meningkat tanpa mengorbankan efisiensi kerja. Dengan keterampilan manajemen waktu yang baik, individu dapat merespons pesan dengan lebih cepat dan efektif. Ada banyak aplikasi project management yang dapat digunakan seperti trello, manday.com dan lain sebagainya.
Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?
Sebagai penegasan akhir, SPMI membutuhkan kecepatan, bukan “slow respon.”
Kecepatan dalam merespons pesan email, WhatsApp atau aplikasi lain, menjadi kunci utama untuk memastikan keberhasilan implementasi PPEPP di perguruan tinggi. Respons cepat memastikan bahwa setiap tahap dalam siklus PPEPP berjalan sesuai jadwal yang telah ditetapkan.
Kebiasaan lambat merespons pesan digital dapat menjadi problem serius bagi tercapainya standar mutu yang diinginkan.
Penundaan dalam komunikasi bisa memperlambat pengambilan keputusan, menghambat perbaikan, dan merusak efektivitas penjaminan mutu di perguruan tinggi.
Dengan membangun budaya “fast respon“, perguruan tinggi dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Teknologi yang tepat, seperti fitur prioritas di email atau WhatsApp, juga harus dimanfaatkan untuk mendukung kelancaran komunikasi dan mencegah keterlambatan.
Penetapan standar komunikasi yang jelas akan memperkuat sistem penjaminan mutu. Ini akan memastikan bahwa siklus PPEPP berjalan efektif, mendukung peningkatan mutu secara berkelanjutan, dan memperkuat reputasi perguruan tinggi. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi berperan penting dalam menjaga dan meningkatkan mutu akademik dan non akademik melalui siklus PPEPP (Perencanaan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar).
Ketentuan pemerintah tentang SPMI diatur dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023 pasal 67 sampai pasal 70.
Sementara ketentuan sebelumnya, SPMI diatur dalam Permenristekdikti no 62 tahun 2016. Jadi sudah cukup lama peraturan tentang SPMI diwajibkan pada perguruan tinggi di Indonesia.
Bagaimana evaluasi terhadap efektivitas implementasi SPMI selama ini?
Efektivitas SPMI diyakini sangat bergantung pada bagaimana institusi mengelola pengetahuan melalui aktifitas knowledge management (KM).
Carl Frappaolo, seorang praktisi dan pakar KM, mendefinisikan knowledge management sebagai “pemanfaatan kebijaksanaan kolektif untuk meningkatkan responsivitas dan inovasi.”
Frappaolo menekankan bahwa knowledge management bertujuan untuk memanfaatkan pengetahuan bersama dari seluruh anggota organisasi, sehingga organisasi dapat lebih tanggap terhadap perubahan dan tantangan.
Knowledge Management mendorong inovasi, mendorong keunggulan kompetitif dan pertumbuhan. Dengan knowledge management yang efektif, perguruan tinggi dapat mengidentifikasi pengetahuan kunci yang mendorong inovasi dan keunggulan kompetitif.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi dalam penerapan Knowledge Management adalah fenomena knowledge hoarding atau“penghindaran berbagi pengetahuan”
Fenomena di mana individu cenderung tidak bersedia berbagi pengetahuan yang mereka miliki. Hal ini tentu saja dapat menghambat kolaborasi dan inovasi di lingkungan perguruan tinggi.
Dalam jurnal Management Science Letters: “Knowledge Management Processes and Innovation Performance: The Moderating Effect of Employees’ Knowledge Hoarding” (Lina Al-Abbadi dkk.), peneliti menyoroti fenomena Knowledge hoarding (Penghindaran Berbagi Pengetahuan).
Fenomena ini sering disebabkan oleh kurangnya kepercayaan antar anggota organisasi serta adanya tekanan kompetitif di lingkungan akademik.
Di Indonesia, fenomena ini diduga juga terjadi, misalnya ketika dosen yang mengikuti pelatihan, seminar, atau workshop tidak berbagi informasi atau materi yang diperoleh dengan kolega atau institusi.
Hal diatas dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti keinginan untuk menjaga posisi kompetitif, meningkatkan reputasi pribadi, atau memperoleh keuntungan dalam persaingan akademik.
Fenomena Knowledge Hoarding ini berdampak buruk terhadap dinamika organisasi, kinerja inovasi dan kinerja kolektif.
Lina Al-Abbadi juga menyebutkan bahwa Knowledge Hoarding berdampak negatif pada proses manajemen pengetahuan dan kinerja inovasi.
Ketika informasi tidak disebarluaskan di internal organisasi. Proses inovasi di Institusi menjadi lambat dan kurang efisien.
Inovasi dalam bidang akademik memerlukan pertukaran ide yang bebas dan terbuka antar individu, dan perilaku knowledge hoarding akan sangat membatasi aliran informasi yang sangat dibutuhkan dalam proses peningkatan mutu.
Lebih jauh, iklim organisasi yang tidak mendukung knowledge sharing (berbagi pengetahuan) dapat menciptakan ketidakpercayaan antar staf akademik, yang memperburuk kolaborasi dan interaksi kerja.
Penting untuk dipahami, perbedaan konsepsi antara penghindaran berbagi pengetahuan (knowledge hoarding), penyembunyian pengetahuan (knowledge hiding), dan berbagi pengetahuan (knowledge sharing).
Knowledge hoarding tidak selalu dilakukan dengan niat buruk, terkadang individu melakukan sebagai strategi untuk melindungi tujuan dan kepentingan pribadi.
Dalam lingkungan akademik, perilaku knowledge hoarding tentu dapat merusak iklim inovasi, merusak dinamika organisasi dan memperlambat perkembangan mutu pendidikan.
Sebaliknya, Sharing knowledge (berbagi pengetahuan) dipandang sebagai tindakan positif yang mendorong sinergi, kolaborasi dan inovasi.
Tantangan di depan, Perguruan tinggi yang ingin unggul, harus mampu menciptakan iklim yang sehat dan mendorong budaya berbagi informasi dan pengetahuan.
Dalam konsep Islam, knowledge hoarding atau penghindaran berbagi pengetahuan bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Islam mendorong penyebaran ilmu untuk kebaikan bersama.
Ajaran Islam mewajibkan umatnya untuk berbagi ilmu, walaupun dalam skala yang kecil, sebagaimana sabda Baginda Rasulullah SAW, “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.”
Umat dilarang untuk menyembunyikan ilmu yang bermanfaat, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 159), yang memperingatkan bahwa mereka yang menahan petunjuk Allah akan mendapat hukuman pembalasan.
Lebih lanjut, Islam juga menekankan pentingnya berbagi ilmu sebagai bentuk amal jariyah.
Ilmu yang bermanfaat apabila dibagi akan terus memberikan pahala bahkan setelah seseorang meninggal.
Untuk menjawab tantangan diatas, perguruan tinggi perlu memperkuat tata kelola dengan mengintegrasikan knowledge management secara lebih mendalam dalam standar SPMI perguruan tinggi.
Salah satu tips yang dapat diambil adalah dengan menambahkan komponen/ klausul manajemen pengetahuan dalam isi standar tata kelola institusi.
Dengan mengintegrasikan KM secara menyeluruh dalam standar tata kelola, perguruan tinggi diharapkan dapat mencegah atau mengurangi perilaku Knowledge Hoarding.
Dengan demikian budaya kolaborasi dan inovasi muncul dan berkembangan dengan baik.
Hal ini sejalan dengan tujuan SPMI (PPEPP), meningkatkan mutu pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat secara terus menerus (continuous improvement).
Baca juga: Sinergi SPMI dan Knowledge Management
Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi tidak dapat dipisahkan dari penerapan knowledge management yang efektif dan efisien.
Tantangan berupa knowledge hoarding di kalangan staf akademik, Insya Allah akan dapat diatasi melalui kebijakan tata kelola yang lebih kolaboratif dan transparan.
Jurnal “Knowledge Management Processes and Innovation Performance: The Moderating Effect of Employees’ Knowledge Hoarding” menyoroti bahwa perilaku knowledge hoarding dapat menghambat inovasi dan mengurangi kinerja institusi secara keseluruhan.
Oleh karena itu, dengan menambahkan atau meningkatkan “isi” standar tata kelola perguruan tinggi berbasis knowledge management, institusi akan dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, kolaboratif, dan inovatif. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi adalah langkah krusial untuk memastikan mutu pendidikan yang berkelanjutan. Melalui penerapan standar yang konsisten, SPMI membantu perguruan tinggi memenuhi ekspektasi kualitas dan akuntabilitas yang semakin tinggi di dunia pendidikan.
SPMI terdiri dari siklus PPEPP—Perencanaan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar—yang berfungsi sebagai kerangka kerja guna memastikan setiap aspek operasional institusi berjalan sesuai standar mutu yang telah ditetapkan. Siklus ini mengintegrasikan proses dan prosedur yang membantu perguruan tinggi dalam melakukan evaluasi serta perbaikan berkelanjutan.
Dalam penerapan SPMI, menumbuhkan budaya “satu kali dayung, dua tiga pulau terlampaui” sangat relevan sebagai filosofi yang menekankan efisiensi dan efektivitas. Dengan mengedepankan pendekatan ini, perguruan tinggi dapat secara simultan mencapai berbagai tujuan, meningkatkan kualitas, dan memaksimalkan sumber daya yang tersedia.
Budaya “satu kali dayung, dua tiga pulau terlampaui” mencerminkan upaya strategis untuk merancang satu tindakan yang menghasilkan beberapa outcome positif sekaligus. Pendekatan ini menekankan pentingnya efisiensi dalam mencapai berbagai tujuan secara bersamaan.
Filosofi ini selaras dengan Prinsip Pareto 20/80, yang menyatakan bahwa 20% dari “upaya yang tepat” dapat memberikan 80% hasil yang diinginkan. Prinsip ini menunjukkan bahwa fokus pada upaya yang paling penting dan berpengaruh mampu membawa hasil optimal dengan usaha yang lebih terarah.
Dalam konteks SPMI, penerapan Prinsip Pareto memungkinkan perguruan tinggi memusatkan resources dan energi pada aktivitas-aktivitas utama yang berdampak signifikan terhadap peningkatan mutu. Dengan mengidentifikasi dan mengelola aktivitas-aktivitas kunci ini, institusi dapat mencapai hasil lebih besar dalam penjaminan mutu pendidikan.
Pada tahap Penetapan Standar dalam siklus PPEPP, perguruan tinggi perlu mengidentifikasi area prioritas yang membutuhkan perhatian khusus untuk meningkatkan mutu. Dengan menerapkan Prinsip Pareto, institusi dapat memfokuskan diri pada 20% aktivitas yang paling berpengaruh, yang diperkirakan mampu menghasilkan 80% dari hasil yang diinginkan dalam peningkatan mutu pendidikan.
Sebagai contoh, jika kompetensi dosen menjadi salah satu prioritas utama, peningkatan kompetensi melalui program pelatihan dapat membawa dampak besar bagi mutu pembelajaran, kepuasan mahasiswa, dan reputasi institusi. Dengan menempatkan investasi pada pengembangan dosen, perguruan tinggi tidak hanya memperbaiki satu aspek, tetapi juga memajukan berbagai indikator kinerja penting.
Dosen yang lebih kompeten akan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran dan bimbingan yang mereka berikan. Dampaknya tidak hanya terlihat pada peningkatan kepuasan mahasiswa, tetapi juga pada prestasi akademik mahasiswa yang lebih baik, menciptakan lingkaran positif bagi pencapaian akademik dan reputasi institusi.
Pada tahap Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP), budaya “satu kali dayung, dua tiga pulau terlampaui” mendorong perguruan tinggi untuk menerapkan strategi yang efisien dan efektif.
Contoh, integrasi teknologi digital dalam proses pembelajaran tidak hanya memodernisasi metode pengajaran, tetapi juga meningkatkan aksesibilitas pendidikan, memungkinkan fleksibilitas waktu, dan mengurangi biaya operasional dalam jangka panjang.
Satu langkah strategis (integrasi teknologi digital) ternyata mampu mencapai beberapa tujuan sekaligus, sejalan dengan filosofi efisiensi yang diusung.
Bagaimana dengan pelaksanaan standar-standar yang lain? Tentu saja bisa dicarikan program sinergi yang bisa mencapai beberapa tujuan sekaligus. Disinilah tantangan yang harus dihadapi pengelola institusi pendidikan.
Tahap Evaluasi Pemenuhan Standar (dalam PPEPP) menjadi momen kritis untuk menilai efektivitas dari program kerja yang telah dilaksanakan.
Dengan menggunakan Prinsip Pareto, institusi perguruan tinggi dapat menganalisis data kinerja untuk mengidentifikasi aktivitas mana saja yang memberikan dampak terbesar.
Kegiatan Monev atau Audit dapat diarah untuk mencari temuan-temuan yang terkait prinsip pareto dan prioritas organisasi.
Jika ditemukan bahwa ada sebagian kecil dari program atau kegiatan memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan mutu, institusi dapat memfokuskan kembali resources (sumber daya) pada area tersebut untuk memaksimalkan hasil.
Dalam tahap Pengendalian Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP), perguruan tinggi perlu memastikan bahwa proses yang berjalan tetap sesuai dengan standar mutu dan melakukan penyesuaian jika diperlukan.
Budaya “satu kali dayung, dua tiga pulau terlampaui” dapat diterapkan dengan mengembangkan mekanisme pengendalian yang tidak hanya memastikan kepatuhan, tetapi juga mendorong perbaikan berkelanjutan di berbagai aspek.
Misalnya, penerapan sistem manajemen mutu berbasis teknologi informasi dapat meningkatkan efisiensi pengendalian dan memberikan data real-time untuk pengambilan keputusan yang lebih tepat.
Perbaikan yang dilakukan atas temuan audit, harus diarahkan ke hal yang subtansial. Bukan hanya tindakan koreksi, namun lebih pada perbaikan korektif dan preventif. Tindakan preventif juga akan mencegah masalah baru di berbagai aspek organisasi.
Tahap Peningkatan Standar (dalam PPEPP) merupakan kulminasi dari siklus SPMI, di mana hasil evaluasi dan pengendalian digunakan untuk melakukan perbaikan yang berkelanjutan (kaizen).
Prinsip Pareto dan budaya efisiensi mendorong perguruan tinggi untuk fokus pada inovasi yang memiliki dampak luas.
Contoh, pengembangan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan industri.
Pengembangan kurikulum tidak hanya meningkatkan relevansi pendidikan, namun juga meningkatkan peluang kerja bagi lulusan dan memperkuat hubungan dengan pemangku kepentingan eksternal.
Penerapan Prinsip Pareto dalam penguatan SPMI membantu perguruan tinggi untuk tidak terjebak dalam berbagai program yang tersebar di berbagai bidang.
Dengan memfokuskan resources, energi pada 20% aktivitas kunci, institusi dapat mencapai 80% dari hasil yang diinginkan, sehingga sumber daya dapat digunakan secara optimal.
Namun, penting untuk diingat bahwa pemilihan aktivitas kunci ini memerlukan analisis yang mendalam dan pemahaman konteks yang baik untuk menghindari risiko salah prioritas.
Membangun budaya “satu kali dayung, dua tiga pulau terlampaui” dalam pengelolaan mutu juga menuntut “perubahan mindset” di seluruh lapisan institusi.
Semua pihak, mulai dari pimpinan hingga staf operasional, perlu memahami dan menyadari pentingnya efisiensi dan efektivitas dalam setiap tindakan.
Kerjasama antar departemen dan komunikasi yang baik menjadi kunci dalam memastikan bahwa strategi yang diterapkan mampu mencapai berbagai tujuan secara simultan.
Selain itu, keterampilan dalam pemikiran strategis (conceptual skills) dan pengambilan keputusan berbasis data menjadi penting untuk mendukung penerapan prinsip ini.
Perguruan tinggi perlu mengembangkan kapasitas analitis untuk memahami tren, mengidentifikasi peluang / ancaman, dan mengevaluasi risiko.
Penggunaan teknologi informasi dan kecerdasan buatan (AI) dapat menjadi alat bantu yang efektif dalam mendukung analisis dan pengambilan keputusan.
AI, dapat membantu dalam memproses data yang kompleks, memberikan prediksi, dan menyusun rekomendasi yang berbasis pengetahuan luas, sehingga memudahkan institusi dalam menentukan pilihan prioritas strategis.
Institusi juga perlu berhati-hati dalam menerapkan Prinsip Pareto agar tidak mengabaikan aspek-aspek penting lainnya yang mungkin tidak terlihat memberikan dampak besar dalam jangka pendek, tetapi esensial untuk keberlanjutan mutu dalam jangka panjang.
Misalnya, aspek pengembangan motivasi, budaya organisasi dan kesejahteraan staf mungkin tidak langsung terlihat dalam indikator kinerja utama, tetapi memiliki peran penting dalam mendukung ekosistem pendidikan yang sehat dan produktif.
Sebagai penutup, penguatan SPMI melalui siklus PPEPP yang dipadukan dengan budaya “satu kali dayung, dua tiga pulau terlampaui” dan penerapan Prinsip Pareto 20/80 merupakan pendekatan strategis yang dapat diambil untuk meningkatkan mutu perguruan tinggi.
Pendekatan ini memungkinkan institusi untuk menggunakan sumber daya secara efisien, memaksimalkan hasil, dan memastikan bahwa upaya yang dilakukan berdampak signifikan terhadap pencapaian visi dan misi organisasi.
Dengan pemahaman yang mendalam, analisis yang cermat, dan dukungan teknologi, perguruan tinggi dapat mengoptimalkan pengelolaan mutu dan berkontribusi secara lebih signifikan dalam mencetak sumber daya manusia yang unggul dan kompetitif di tingkat global. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) menjadi instrumen utama yang dirancang untuk memastikan bahwa standar mutu terpenuhi dan proses akademik berjalan dengan baik.
Hal ini diatur dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Ketentuan tentang SPMI diatur dalam pasal 67 sampai pasal 70.
Sementara ketentuan sebelumnya diatur dalam Permenristekdikti no 62 tahun 2016. Jadi sudah cukup lama peraturan tentang SPMI diwajibkan pada perguruan tinggi di Indonesia.
Namun, sejauh ini apakah SPMI benar-benar menjamin peningkatan mutu secara substansial? Atau hanya sekadar menjadi alat administratif yang mempertebal tumpukan dokumen mutu di perguruan tinggi?
SPMI, yang terdiri dari lima tahap siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar (PPEPP), bertujuan untuk menciptakan lingkaran proses yang memastikan mutu terus diperbaiki dan dikembangkan (kaizen).
Secara teoritis, siklus PPEPP dapat membantu peningkatan mutu.
SPMI memberi panduan dan struktur yang jelas dalam penetapan standar, pelaksanaannya, dan evaluasi yang berkelanjutan untuk memastikan terwujudnya peningkatan standar.
Namun, tidak dipungkiri efektivitas dari implementasi siklus PPEPP masih sering diperdebatkan.
Diduga masih cukup banyak institusi pendidikan tinggi menjalankan SPMI sebagai bentuk pemenuhan kewajiban administratif belaka.
Laporan-laporan SPMI yang dihasilkan dari proses PPEPP sering kali menjadi indikator formal yang dinilai oleh pemerintah atau lembaga akreditasi.
Perguruan tinggi pun disibukkan dengan kegiatan mengelolaan dokumen, memastikan bahwa semua persyaratan administratif terpenuhi.
Namun, pertanyaannya adalah, apakah pemenuhan dokumen tersebut benar-benar merefleksikan peningkatan mutu secara substansial dalam proses pendidikan?
Dengan kata lain, proses siklus PPEPP mungkin dijalankan secara mekanis-formalitas, namun gagal dalam memberikan perubahan nyata terhadap mutu pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Dalam beberapa kasus, institusi pendidikan tinggi mungkin lebih fokus pada “compliance” terhadap aturan regulasi formal tanpa benar-benar melakukan evaluasi mendalam terhadap “Impact” dari standar mutu yang diterapkan.
Baca juga: Pengorbanan dan Dedikasi: Fondasi Kepemimpinan SPMI
Tahap evaluasi pemenuhan standar dalam siklus PPEPP merupakan titik kritis yang menentukan apakah sistem penjaminan mutu benar-benar berjalan efektif.
Pada tahap ini, perguruan tinggi harus mengukur sejauh mana pelaksanaan standar sesuai dengan standar yang ditetapkan. Tanpa mekanisme evaluasi yang sistematis dan transparan, evaluasi akan menjadi sekadar formalitas belaka.
Di sisi lain, evaluasi yang hanya berbasis data kuantitatif, seperti jumlah alumni atau nilai akreditasi sering tidak mencerminkan mutu pembelajaran yang sebenarnya.
Evaluasi seharusnya melibatkan umpan balik dari mahasiswa, dosen, dan stakeholder lainnya untuk memberikan gambaran yang lebih utuh tentang mutu pendidikan.
Pendekatan evaluasi pemenuhan standar yang dangkal hanya akan menghasilkan gambaran semu tentang mutu.
Setelah evaluasi pemenuhan standar dilakukan, pengendalian pelaksanaan standar dan peningkatan standar seharusnya menjadi proses yang secara aktif mengatasi kelemahan dan / atau menangkap peluang untuk memperbaiki mutu.
Akan tetapi, tahap ini sering menjadi tantangan berat.
Pengendalian Pelaksanaan Standar dilakukan berdasarkan data yang tidak lengkap. Akibatnya analisis yang dangkal dapat berujung pada rekomendasi perbaikan yang tidak relevan.
Di sisi lain, perguruan tinggi sering kali juga menghadapi keterbatasan resources (sumber daya), baik dari sisi anggaran, sarpras maupun tenaga dosen. Hal ini akan menghambat implementasi dari perbaikan yang telah direncanakan.
Apakah perguruan tinggi benar-benar dapat meningkatkan mutu ketika keterbatasan anggaran membatasi inovasi dan pengembangan program?
Tentu masing-masing perguruan tinggi yang bisa menjawab tantangan diatas.
Baca juga: Penyebab Kegagalan SPMI
Di era yang semakin cepat berubah, perguruan tinggi dituntut untuk tidak hanya mengikuti prosedur yang terstruktur seperti dalam SPMI, tetapi juga harus mampu “membongkar sekat pembatas organisasi” dan bersikap ramping, lincah dan inovatif.
Ron Ashkenas, dalam jurnal yang berjudul Management: How to Loosen Organizational Boundaries (Journal of Business Strategy) menekankan bahwa kecepatan (speed), fleksibilitas (flexibility), integrasi (integration), dan inovasi (innovation) adalah “penggerak utama keberhasilan” organisasi modern.
Ashkenas berpendapat bahwa di tengah lingkungan eksternal yang semakin kompleks dan dinamis, organisasi “wajib” terus menerus beradaptasi dan memperbarui strategi mereka untuk menjadi unggul.
Pertanyaan selanjutnya, apakah SPMI dapat memberikan ruang bagi empat nilai-nilai diatas? Atau justru SPMI berubah bentuk menjadi monster penghalang kemajuan dengan berbagai kerumitan administrasi yang ada?
Kecepatan (speed) dan fleksibilitas (flexibility) penting untuk menghadapi tantangan global dan dinamika dunia yang terus berubah. Praktik SPMI yang kaku, terlalu fokus pada prosedur-prosedur formal dapat memperlambat kemampuan perguruan tinggi untuk beradaptasi dengan cepat.
Perguruan tinggi perlu mengadopsi pendekatan yang lebih gesit (lean and agile) dalam merespons perkembangan teknologi, tuntutan mahasiswa, dan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Konsep Ron Ashkenas nomor tiga adalah integrasi (integration).
Mengacu pada kemampuan perguruan tinggi untuk menyatukan berbagai elemen, proses, dan fungsi agar bekerja secara sinergis menuju tujuan bersama.
Integrasi tidak hanya berarti menghubungkan departemen atau unit kerja yang berbeda, tetapi juga menyelaraskan strategi, sistem, dan budaya perguruan tinggi. Dengan integrasi yang baik, setiap bagian bekerja dalam harmoni untuk mencapai hasil yang lebih besar.
Konsep keempat adalah Inovasi (innovation).
Dalam konteks SPMI, inovasi tidak hanya berarti penerapan teknologi baru atau metode pembelajaran mutakhir, namun mencakup cara berpikir dan pendekatan baru dalam menjalankan siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar (PPEPP).
Perguruan tinggi harus mendorong segenap dosen, tendik dan mahasiswa untuk terus berpikir kritis dan kreatif, serta menghasilkan terobosan-terobosan baru dalam pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat.
Berikut contoh implementasi nilai-nilai inovasi yang dapat dikembangkan perguruan tinggi.
Pengembangan Sistem Informasi SPMI berbasis digital yang terintegrasi. Sistem ini memungkinkan perguruan tinggi mengelola siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan (PPEPP) secara otomatis dan efisien.
Melalui platform ini, kebijakan SPMI, standar mutu, dokumen PPEPP, dan data hasil evaluasi bisa diakses secara real-time oleh dosen, tendik, dan manajemen.
Melalui platform SPMI berbasis digital, hasil evaluasi pembelajaran, kinerja dosen, serta umpan balik mahasiswa dapat langsung diinput ke dalam sistem, yang kemudian diolah menjadi laporan otomatis.
Dashboard digital yang tersedia memberikan visualisasi data untuk memantau secara real-time apakah pelaksanaan di lapangan telah sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan.
Pada akhirnya, menjadi renungan bersama, apakah SPMI benar-benar menjamin mutu pendidikan?
Apakah SPMI benar-benar dapat memberikankan nilai tambah?
Apakah SPMI benar-benar memberi manfaat? Atau sebaliknya “Unfaedah”.
Jawabannya tergantung pada institusi masing-masing.
Sejauh mana institusi pendidikan menerapkan praktik SPMI secara substansial, bukan hanya sekadar formalitas semata.
SPMI memiliki potensi besar untuk meningkatkan mutu.
Namun potensi tersebut “hanya akan terwujud” jika perguruan tinggi mampu menjalankan siklus PPEPP secara mendalam dan berkelanjutan (kaizen).
Akhirnya, mengacu pada jurnal yang ditulis Ron Ashkenas, perguruan tinggi harus mampu untuk terus menerus bertransformasi.
Perguruan tinggi harus mampu menyeimbangkan praktik SPMI dengan tuntutan best practice era modern.
Siklus PPEPP harus mampu “membongkar sekat organisasi” dengan 4 mantra.
Empat mantra itu adalah kecepatan (speed), fleksibilitas (flexibility), integrasi (integration), dan inovasi (innovation). Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Audit Mutu Internal (AMI) dalam perguruan tinggi merupakan salah satu elemen penting dalam memastikan dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi.
Ketentuan AMI diatur dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023 Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi pasal 68 ayat 2.
Dalam ayat tersebut berbunyi: Evaluasi pemenuhan standar pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan secara berkala melalui pemantauan, evaluasi diri, audit mutu internal, asesmen, dan/atau cara lain yang ditetapkan perguruan tinggi.
Melalui AMI, institusi pendidikan dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan (SWOT) yang ada dalam implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) serta memastikan bahwa proses akademik dan non-akademik berjalan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Dalam konteks ini, penguatan AMI berbasis SPMI yang mengikuti siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar (PPEPP) menjadi sangat penting dalam mendorong kontinuitas perbaikan dan pencapaian mutu yang berkelanjutan (kaizen).
SPMI merupakan kerangka kerja (framework) yang dirancang untuk memastikan bahwa setiap aktifitas dalam perguruan tinggi, baik di bidang akademik maupun non-akademik, memenuhi standar SPMI yang telah ditetapkan oleh institusi.
Siklus PPEPP berperan penting sebagai fondasi utama dalam operasionalisasi SPMI, di mana setiap tahap harus dilaksanakan secara sistematis, terpadu dan berkelanjutan.
Dalam siklus PPEPP, “Penetapan standar” mengacu pada definisi standar yang harus dicapai, “Pelaksanaan Standar” adalah penerapan standar tersebut dalam operasional sehari-hari, “Evaluasi Pemenuhan Standar” meninjau efektivitas pelaksanaan, “Pengendalian Pelaksanaan Standar” bertujuan memastikan bahwa tindakan korektif dan preventif diambil bila terjadi deviasi, dan “Peningkatan Standar” berfokus pada perbaikan berkelanjutan (kaizen).
Penguatan AMI berbasis PPEPP memberikan beberapa manfaat utama bagi perguruan tinggi.
Pertama, siklus ini memastikan bahwa seluruh proses akademik dan manajerial di kampus didasarkan pada standar mutu yang jelas dan konsisten.
Evaluasi berkala yang dilakukan dalam AMI memastikan bahwa implementasi dari setiap standar tersebut dipantau dan dievaluasi secara ketat.
Ketika terdapat kesenjangan atau ketidaksesuaian (KTS), proses pengendalian dapat diaktifkan untuk memperbaiki kesalahan, yang pada gilirannya mendorong peningkatan mutu secara berkelanjutan.
Untuk itu, AMI yang kuat dan terorganisasi dengan baik dapat membantu perguruan tinggi dalam menjaga akuntabilitas dan meningkatkan daya saing institusi, baik di tingkat nasional, regional maupun internasional.
Baca juga: Kritisi AMI, Dibalik Kegagalan Mutu Perguruan Tinggi
Di sisi lain, peran auditor dalam proses AMI juga sangat krusial. Peran ini harus terus dijaga, diperkuat dan ditingkatkan.
Seorang auditor tidak hanya bertugas untuk menilai kesesuaian antara pelaksanaan dan standar SPMI yang telah ditetapkan, namun juga auditor harus bertindak sebagai agen perubahan (change agent) yang mendorong perbaikan dan inovasi.
Di sinilah pentingnya memahami bahasa tubuh (body language) bagi auditor. Bahasa tubuh adalah salah satu bentuk komunikasi nonverbal yang sering kali lebih jujur, lebih bisa dipercaya dibandingkan kata-kata yang diucapkan.
Dalam konteks audit, seorang auditor yang mampu membaca signal-signal bahasa tubuh dapat menangkap isyarat tersembunyi yang mungkin tidak terucapkan secara verbal oleh auditee.
Contoh, tanda-tanda kegelisahan, ketidaknyamanan, atau keraguan dapat menjadi petunjuk penting bahwa ada hal-hal yang tidak disampaikan secara eksplisit oleh auditee.
Pemahaman tentang bahasa tubuh membantu auditor dalam “membangun hubungan” (human relations) yang lebih baik dengan auditee.
Dengan menyadari dan memahami respons nonverbal, auditor dapat menyesuaikan pendekatan komunikasinya untuk memastikan bahwa proses audit berjalan secara lancar tanpa menciptakan resistensi atau ketegangan.
Auditor yang “peka” terhadap signal bahasa tubuh juga dapat mengidentifikasi situasi di mana auditee mungkin merasa terancam atau cemas, sehingga mereka dapat menyesuaikan teknik building rapport, wawancara atau observasi agar lebih suportif dan efektif.
Kemampuan membaca signal bahasa tubuh juga memberikan keunggulan bagi auditor dalam mengevaluasi kejujuran dan keterbukaan auditee, yang menjadi salah satu aspek kunci dalam keberhasilan audit mutu internal.
Baca juga: Tips Komunikasi Auditor SPMI
Sejalan dengan hal ini, kutipan penting dari Peter Drucker, “The most important thing in communication is hearing what isn’t said,” menekankan pentingnya memperhatikan aspek-aspek komunikasi yang tidak diungkapkan secara eksplisit.
Dalam konteks audit mutu internal, seorang auditor harus memiliki kepekaan tinggi terhadap sinyal-sinyal yang tidak langsung diucapkan, namun mengandung makna yang dalam (makna tersirat).
Terkadang, informasi penting justru terletak pada apa yang “tidak diucapkan” oleh auditee, baik karena ketidaksadaran atau keengganan.
Auditor yang efektif adalah auditor yang mampu “mendengarkan” melalui observasi nonverbal, menangkap suasana hati (mood), dan memahami dinamika interpersonal yang terjadi selama proses audit.
Bahasa tubuh, walau sering diabaikan dalam konteks formal audit, sebenarnya memiliki dampak yang signifikan terhadap keberhasilan audit itu sendiri.
Kepekaan auditor terhadap signal yang tidak terucap memungkinkan mereka menggali lebih dalam, memperjelas ketidakpastian, dan memberikan rekomendasi perbaikan yang lebih relevan dan tepat sasaran.
Sebagai contoh, seorang auditor mungkin memperhatikan bahwa auditee menghindari kontak mata. Tatapan mata selalu kebawah ketika ditanya tentang pelaksanaan prosedur tertentu.
Signal ini menjadi petunjuk bahwa auditee merasa tidak yakin atau tidak nyaman dengan jawaban yang diberikan, hal ini mengindikasikan ada potensi masalah yang perlu digali lebih lanjut.
Contoh lain, misalnya auditee terlihat gelisah, dan sering menggerakkan tangan atau mengetuk-ngetuk kaki saat ditanya tentang kesesuaian implementasi standar mutu.
Bahasa tubuh seperti ini dapat menunjukkan ketegangan, yang bisa jadi terkait dengan area yang masih bermasalah atau belum diimplementasikan dengan baik.
Pada akhirnya, penguatan AMI berbasis SPMI (PPEPP) dan kemampuan auditor dalam memahami komunikasi nonverbal adalah 2 (dua) faktor penting yang saling melengkapi dalam upaya mewujudkan sistem penjaminan mutu yang efektif di perguruan tinggi.
Pemahaman mendalam tentang komunikasi, baik verbal maupun nonverbal, memperkaya proses audit dan membantu institusi dalam mencapai standar SPMI yang lebih tinggi secara berkelanjutan. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Perguruan tinggi saat ini menghadapi tantangan eksternal yang semakin kompleks seiring dengan dinamika perubahan global. Untuk menjaga kualitas, mereka mengandalkan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), yang terdiri dari siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar (PPEPP).
Siklus PPEPP ini berperan sebagai fondasi utama dalam menjaga mutu pendidikan dan memastikan adanya perbaikan yang berkelanjutan. Dengan pendekatan ini, perguruan tinggi diharapkan mampu mempertahankan kualitas yang tinggi meskipun lingkungan terus berubah.
Namun, perubahan global yang begitu cepat menuntut SPMI untuk terus diperkuat. Penguatan ini penting agar perguruan tinggi tetap relevan dan mampu beradaptasi dengan tuntutan zaman. Tanpa kemampuan adaptasi, perguruan tinggi berisiko tertinggal.
Saat ini, lingkungan global sering digambarkan dalam konsep “BANI” yang berarti rapuh (brittle), gelisah (anxious), non-linier, dan sulit dipahami (incomprehensible). Konsep ini mencerminkan ketidakpastian yang semakin besar di berbagai bidang.
Dalam konteks ini, kita diingatkan oleh kata-kata Charles Darwin bahwa keberlangsungan hidup tidak bergantung pada kekuatan atau kecerdasan, melainkan pada kemampuan untuk beradaptasi secara cepat dan efektif terhadap perubahan.
“It is not the strongest of the species that survives, not the most intelligent that survives. It is the one that is the most adaptable to change.” ~ Charles Darwin
PPEPP, sebagai kerangka dalam SPMI, dirancang untuk memastikan bahwa perguruan tinggi dapat menilai, mengevaluasi dan meningkatkan mutu secara terus-menerus.
Namun, tantangan berat di era BANI menuntut lebih dari sekadar penerapan mekanis siklus PPEPP.
Dalam lingkungan yang rapuh (brittle) dan tidak dapat diprediksi, setiap perguruan tinggi harus memiliki kemampuan untuk secara proaktif mengidentifikasi perubahan yang terjadi di sekitarnya dan dengan cepat menyesuaikan “Isi standar” SPMI dengan situasi yang baru.
Baca juga: Mengukir Identitas Perguruan Tinggi: Mission Differentiation
Perguruan tinggi tidak lagi bisa bergantung pada “standar yang stagnan” atau kebijakan dan prosedur yang tidak fleksibel.
Justru, keberhasilan siklus PPEPP kini sangat bergantung pada seberapa responsif perguruan tinggi dalam menghadapi perubahan dan ketidakpastian.
Pada tahap Penetapan Standar, perguruan tinggi harus mampu memahami realitas dunia yang terus berubah. Perguruan tinggi harus mampu melalukan analisis SWOT yang handal dan akurat.
Dunia pendidikan saat ini tidak hanya terpengaruh oleh perkembangan ilmu pengetahuan saja, tetapi juga oleh tantangan ekonomi, sosial, politik, dan teknologi yang bergerak sangat cepat.
Di era BANI, perubahan sering kali bersifat “non-linier”, di mana hubungan sebab-akibat tidak selamanya dapat diprediksi.
Perguruan tinggi harus meninjau kembali standar mutu secara lebih fleksibel dan adaptif, serta menetapkan kebijakan SPMI yang mampu merespons dinamika eksternal dengan cepat.
Dalam tahap Pelaksanaan, kemampuan adaptasi menjadi kunci yang sangat penting.
Perguruan tinggi harus mengembangkan program akademik yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat (Tri Dharma) yang tidak hanya memenuhi standar nasional, namun juga harus mampu merespons tuntutan global.
Era BANI memaksa perguruan tinggi untuk menciptakan lulusan yang benar-benar kompeten, tidak hanya memiliki pengetahuan teknis (hard skills), namun juga keterampilan adaptif, kreativitas, dan daya juang untuk menghadapi ketidakpastian (soft skills).
Pelaksanaan Standar yang berhasil adalah yang mampu mengintegrasikan teknologi dan inovasi untuk menghadirkan fleksibilitas dalam pembelajaran.
Pelaksanaan Standar harus mampu memfasilitasi keterhubungan antara stakeholder akademisi, industri, dan masyarakat.
Tahap Evaluasi Pemenuhan Standar (dalam PPEPP) juga harus mengalami transformasi. Di lingkungan yang rapuh dan sulit dipahami, metode evaluasi konvensional mungkin tidak lagi memadai.
Perguruan tinggi perlu mengembangkan sistem evaluasi yang lebih dinamis dan real-time, memungkinkan monitoring secara terus-menerus (real time) terhadap hasil pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Evaluasi Pemenuhan Standar (dalam PPEPP) harus berfokus pada bagaimana perguruan tinggi beradaptasi dengan perubahan yang cepat dan menilai apakah pendekatan baru yang diambil benar-benar meningkatkan daya saing institusi.
Contoh inovasi program Evaluasi Pemenuhan Standar (dalam PPEPP): Perguruan tinggi menerapkan dashboard real-time berbasis data untuk memantau kinerja mahasiswa, dosen, dan penelitian. Misalnya, data pembelajaran online dipantau terus-menerus untuk menilai efektivitas metode baru dan respons mahasiswa.
Pada tahap Pengendalian Pelaksanaan Standar, tantangan era BANI semakin memperjelas bahwa tidak ada satu pun solusi yang pasti atau berlaku untuk jangka panjang. Pengendalian mutu di perguruan tinggi harus bersifat proaktif, fleksibel dan disesuaikan dengan kondisi terkini.
Jika perguruan tinggi tetap terpaku pada proses pengendalian yang kaku, mereka berisiko tertinggal dalam menghadapi perubahan.
Pengendalian Pelaksanaan Standar di era BANI bukan hanya soal menjaga kesesuaian dengan standar yang ada, tetapi juga tentang bagaimana standar itu dapat diubah atau ditingkatkan untuk menyesuaikan dengan tantangan baru.
Contoh pengendalian fleksibel dalam Pengendalian Pelaksanaan Standar:
Misalnya, saat pembelajaran online (daring) meningkat, perguruan tinggi menambahkan indikator kinerja baru terkait kemampuan dosen dalam mengajar secara online.
Dengan cara ini, standar mutu SPMI dapat terus disesuaikan (adaptasi) untuk merespons perubahan kondisi dan tantangan yang muncul, memastikan institusi tetap relevan di tengah lingkungan era BANI.
Akhirnya, pada tahap Peningkatan Standar SPMI (dalam PPEPP), teori Darwin yang menekankan pentingnya kemampuan adaptasi sangat relevan.
Peningkatan mutu perguruan tinggi tidak boleh hanya berfokus pada peningkatan standar secara bertahap atau linear. Justru, peningkatan di era BANI harus bersifat “responsif, berani, dan radikal”.
Perguruan tinggi harus mampu melakukan inovasi-transformatif yang mendobrak “batas-batas tradisional”, mengadopsi pendekatan multidisiplin, dan memanfaatkan teknologi untuk merespons tuntutan global.
Contoh peningkatan radikal dalam Peningkatan Standar SPMI: Perguruan tinggi meluncurkan program studi baru multidisiplin yang menggabungkan kecerdasan buatan (AI), bisnis, dan etika, merespons kebutuhan global akan tenaga ahli yang mampu memahami teknologi sekaligus dampak sosialnya.
Selain itu, metode pembelajaran berbasis simulasi virtual, Augmented Reality (AR) dan proyek global diterapkan untuk membekali lulusan dengan keterampilan adaptif, menjawab tantangan era BANI dengan inovasi yang berani dan responsif.
Baca juga: Penguatan SPMI melalui Struktur “Agile”
Akhirnya, kutipan dari Charles Darwin, yang menyatakan bahwa keberlangsungan hidup (survival) tidak ditentukan oleh yang paling kuat atau paling cerdas, melainkan oleh yang paling mampu beradaptasi dengan perubahan, sangat relevan bagi perguruan tinggi di era BANI.
Kemampuan untuk merespons perubahan dengan cepat (transformatif) menjadi sangat penting, dan siklus PPEPP harus disesuaikan dengan pemahaman tentang SWOT dan kompleksitas lingkungan sekitar.
Perguruan tinggi yang dapat menerapkan SPMI dengan responsif (PTN dan Swasta) akan lebih siap menghadapi tantangan di dunia yang semakin tidak pasti (non-linier), sehingga mereka dapat terus relevan dan berperan dalam masyarakat global yang terus berkembang.
Dalam ekosistem pendidikan yang rapuh (brittle) dan berubah dengan cepat, perguruan tinggi yang mampu bertahan dan berkembang adalah mereka yang tidak hanya mengandalkan kekuatan tradisional, tetapi juga yang mampu dengan cepat (speed) dan efektif beradaptasi terhadap realitas baru. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Audit Mutu Internal (AMI) adalah alat penting untuk memperkuat Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi.
Melalui AMI, manajemen perguruan tinggi bisa mendapatkan informasi penting tentang sejauh mana standar SPMI diterapkan dan dipatuhi oleh setiap unit kerja.
Dalam SPMI, ada siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) yang bertujuan untuk memastikan terjadinya perbaikan berkelanjutan (kaizen).
AMI berfungsi memastikan bahwa semua proses dan kebijakan berjalan sesuai standar SPMI yang sudah ditetapkan.
Namun, pelaksanaannya tidak selalu mudah. AMI menghadapi berbagai tantangan, salah satunya adalah kesulitan “menuliskan” hasil audit kepada auditee.
Ketidakjelasan dalam penulisan PTKP (Permintaan Tindakan Korektif dan Preventif) seringkali menyebabkan kebingungan di kalangan auditee.
Akibatnya, proses perbaikan bisa terlambat atau bahkan temuan audit diabaikan dan tidak ditindaklanjuti.
Di sinilah relevansi artikel berjudul: “Mengapa Temuan Audit Sering Tak Ditindaklanjuti?” menjadi penting.
SPMI di perguruan tinggi melibatkan lima langkah utama, yaitu PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar).
Dalam proses ini, AMI berperan penting pada tahap evaluasi dan pengendalian.
Evaluasi bertujuan untuk menilai apakah program kerja dan hasilnya sudah berjalan sesuai standar SPMI yang ditetapkan.
Sementara itu, pengendalian dilakukan untuk memastikan bahwa jika ada ketidaksesuaian (KTS), langkah perbaikan bisa segera diambil.
Melalui AMI, perguruan tinggi bisa dengan tepat mengidentifikasi area yang perlu diperbaiki dan mengurangi risiko yang bisa menghambat pencapaian mutu.
AMI yang efektif tidak hanya menemukan masalah, tapi juga memberikan solusi yang jelas untuk meningkatkan kualitas.
Salah satu tantangan penting dalam AMI adalah bagaimana menyampaikan finding (temuan) secara jelas dan mudah dipahami, sehingga auditee merasa nyaman dan tidak kesulitan.
Penulisan finding yang tidak terstruktur, berpotensi menambah kebingungan, mempersulit mencari akar masalah, dan memperlambat proses perbaikan.
Oleh karena itu, salah satu pendekatan yang dapat diterapkan untuk mengatasi hal diatas adalah metode PLOR (Problem, Location, Objective, dan Reference). Metode PLOR membantu memberikan struktur, cara penulisan temuan yang baik dan benar.
Kaidah PLOR, terdiri dari : Problem (masalah yang ditemukan). Location (lokasi/departemen ditemukannya masalah), Objective (bukti temuan yang terjadi/terlihat), Reference (dokumen yang mendasari temuan, seperti standar, SOP/IK, persyaratan teknis, peraturan).
Struktur PLOR membantu menghindari multitafsir dan mempercepat proses rencana tindak lanjut, karena setiap temuan sudah terstruktur dengan baik dan didukung oleh bukti-bukti objektif yang relevan.
Struktur PLOR dalam AMI tidak hanya membantu meningkatkan pemahaman auditee terhadap “isi” temuan, namun juga berdampak langsung terhadap penguatan PPEPP (penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian dan peningkatan standar).
Baca juga: Auditor AMI: Dibenci atau Disayang?
Dengan penyampaian hasil audit yang jelas dan terstruktur, auditee (unik kerja) dapat dengan cepat menindaklanjuti KTS yang ditemukan. Dengan kata lain proses pengendalian dan peningkatan mutu (siklus PPEPP) dapat dilakukan lebih cepat, efektif dan efisien.
Audit Mutu Internal (AMI) merupakan bagian integral dari upaya penguatan SPMI (PPEPP) di lembaga perguruan tinggi.
Untuk memastikan AMI berjalan efektif, pendekatan PLOR (Problem, Location, Objective, dan Reference) dalam penulisan PTKP (permintaan tindakan korektif dan preventif) sangat diperlukan.
Dengan struktur penulisan yang jelas, teraudit (auditee) dapat lebih mudah memahami masalah yang dihadapi, memahami tempat (lokasi) terjadinya masalah, memahami bukti-bukti objektif, serta referensi regulasi yang menjadi acuan.
Demikian, semoga berkah dn bermanfaat. Stay Relevant!
Oleh Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, konsultan mutu pendidikan.
Instagram: @mutupendidikan
Audit Mutu Internal (AMI) di perguruan tinggi telah menjadi instrumen penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas pendidikan. Melalui AMI, institusi akan dapat mencari peluang-peluang untuk melakukan perbaikan secara berkelanjutan (kaizen).
Namun, dalam praktiknya, dibeberapa perguruan tinggi, diduga AMI seringkali masih terjebak pada budaya “koreksi” semata, yakni perbaikan hanya sebatas pada “simtom” atau gejala saja.
Akibatnya, siklus kesalahan akan berulang, masalah yang sama akan ditemukan lagi pada saat kegiatan AMI berikutnya.
Sehingga ada ungkapan: “Lu lagi…lu lagi, itu lagi…itu lagi”. Masalah yang berulang muncul saat AMI dilakukan.
Hal ini terjadi karena tindakan koreksi yang dilakukan, sering bersifat sementara dan tidak disertai perubahan substansi dalam sistem. Ibarat menyapu lantai yang kotor, lalu dimasukkan ke bawah karpet.
Ungkapan “menyapu lantai yang kotor, lalu dimasukkan ke bawah karpet” mengandung makna metaforis bahwa individu berusaha menutupi atau menyembunyikan masalah, tidak berusaha menyelesaikan secara tuntas.
Dalam konteks organisasi, hal ini bisa merujuk pada praktik di mana sebuah masalah diatasi hanya secara “kosmetik”, tanpa tindakan yang substansi untuk memperbaikinya.
Institusi ingin terlihat baik dari luar, namun mengabaikan masalah-masalah mendasar yang memerlukan perhatian serius.
Akibatnya, masalah tersebut berpotensi muncul kembali, berulang dan terus berulang, mungkin dalam skala yang semakin besar.
Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), terutama dalam kerangka PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar), menuntut pendekatan yang lebih menyeluruh (holistik).
SPMI yang ideal bukan hanya bertujuan untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi, namun mencegah terjadinya kesalahan serupa di masa yang akan datang.
Untuk itu, AMI perlu bertransformasi, tidak hanya berhenti pada tindakan koreksi, tetapi berkembang menjadi lebih korektif, sekaligus mengedepankan langkah-langkah proaktif melalui pendekatan preventif yang menyeluruh.
Masih kuatnya budaya koreksi, seringkali disebabkan oleh faktor internal perguruan tinggi.
Tekanan untuk memenuhi persyaratan akreditasi dan regulasi eksternal yang mendorong institusi fokus pada “perbaikan cepat” dan instan terhadap temuan-temuan audit.
Tim auditor dan unit yang diaudit cenderung “kompak” lebih mengutamakan penyelesaian langsung dibandingkan upaya untuk mencegah terulangnya masalah di masa depan.
“Habit” ini semakin mengakar ketika sistem penjaminan mutu internal hanya memprioritaskan hasil-hasil yang sifatnya jangka pendek.
Aristoteles, filsuf Yunani mengatakan: “Quality is not an act, it is a habit.”
Ungkapan “Quality is not an act, it is a habit” berarti mutu bukanlah sesuatu yang dilakukan sesekali atau secara spontan (act), melainkan merupakan hasil dari tindakan konsisten dan berulang (habit) yang dilakukan secara terus-menerus.
Mutu bukanlah hasil dari satu tindakan saja, namun terbentuk melalui kebiasaan yang baik, kerja keras, kerja cerdas dan disiplin yang dilakukan secara berkesinambungan.
Dengan kata lain, untuk mencapai mutu pendidikan, individu atau institusi harus menjadikan “best practice” (praktik terbaik) sebagai bagian integral dari keseharian mereka.
Perguruan tinggi lebih fokus pada pengisian laporan audit dan pemenuhan target administratif, daripada pengembangan sistem yang lebih adaptif dan mampu mengidentifikasi potensi risiko sejak dini.
Akibatnya, langkah-langkah preventif menjadi terabaikan, dan masalah-masalah yang sama kerap muncul di siklus audit berikutnya.
Koreksi: Menghilangkan gejala (simtom). Korektif: Menghilangkan akar masalah. Preventif: Mencegah munculnya masalah
SPMI yang ideal mengharuskan adanya keseimbangan antara tindakan koreksi, korektif, dan preventif. Ketiganya saling melengkapi dan memastikan bahwa sistem mutu di perguruan tinggi terus berkembang.
Namun, untuk mencapai keseimbangan ini, AMI harus berfokus pada aspek-aspek yang lebih mendasar (subtansial) dari sistem penjaminan mutu internal, terutama pada fase pengendalian dan peningkatan.
Pendekatan preventif dalam AMI tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki kesalahan yang telah terjadi, tetapi juga mengidentifikasi potensi risiko (manajemen resiko) yang mungkin muncul dan mengambil langkah-langkah untuk mencegahnya.
Ini membutuhkan perubahan pola pikir, pola sikap dan cara kerja yang lebih proaktif serta integrasi yang lebih baik antara proses PPEPP dalam SPMI.
Berikut adalah beberapa langkah penting dalam menggerakkan AMI dari tindakan koreksii, korektif ke preventif:
Sejalan dengan penguatan SPMI, perguruan tinggi memiliki peran penting dalam menggerakkan perubahan. Perubahan dari budaya hanya koreksi saja, menjadi budaya korektif dan preventif.
Institusi pendidikan tinggi harus melihat AMI sebagai alat (tools) strategis yang tidak hanya memperbaiki kesalahan tetapi juga mencari nilai tambah untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Ini berarti bahwa perguruan tinggi harus berani keluar dari “zona nyaman”, di mana audit hanya digunakan untuk kegiatan formalitas dan menutupi masalah jangka pendek.
Audit mutu internal harus mampu bertransformasi dan mampu memprioritaskan upaya pencegahan yang lebih menyeluruh (holistik).
Dengan mendorong budaya pencegahan (preventif), AMI menjadi lebih dari sekadar instrumen administratif. AMI menjadi bagian integral dari pengembangan sistem penjaminan mutu internal yang berkelanjutan dan mendukung pencapaian target standar pendidikan yang lebih luas.
Audit Mutu Internal (AMI) yang bertransformasi dari tindakan koreksi ke korektif, korektif ke preventif adalah kunci penguatan SPMI di perguruan tinggi.
Dengan membangun budaya yang lebih proaktif, AMI bukan hanya mengatasi masalah yang sudah terjadi saja, AMI dapat dikembangkan menjadi motor penggerak “kaizen”.
Perguruan tinggi harus keluar dari siklus koreksi semata dan mulai membangun sistem yang lebih responsif, adaptif, dan inovatif, demi menjaga mutu pendidikan yang terus berkembang.
Saatnya AMI bergerak maju, dari sekadar koreksi, menjadi korektif, selanjutnya menuju budaya pencegahan, untuk masa depan pendidikan tinggi yang lebih baik. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, tim konsultan mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi