• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Monthly Archive September 2024

Kendala Budaya Mutu Pendidikan

Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?

Pendahuluan

Dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) menjadi instrumen utama yang dirancang untuk memastikan bahwa standar mutu terpenuhi dan proses akademik berjalan dengan baik.

Hal ini diatur dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Ketentuan tentang SPMI diatur dalam pasal 67 sampai pasal 70.

Sementara ketentuan sebelumnya diatur dalam Permenristekdikti no 62 tahun 2016. Jadi sudah cukup lama peraturan tentang SPMI diwajibkan pada perguruan tinggi di Indonesia.

Namun, sejauh ini apakah SPMI benar-benar menjamin peningkatan mutu secara substansial? Atau hanya sekadar menjadi alat administratif yang mempertebal tumpukan dokumen mutu di perguruan tinggi?

SPMI, yang terdiri dari lima tahap siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar (PPEPP), bertujuan untuk menciptakan lingkaran proses yang memastikan mutu terus diperbaiki dan dikembangkan (kaizen).

Secara teoritis, siklus PPEPP dapat membantu peningkatan mutu.

SPMI memberi panduan dan struktur yang jelas dalam penetapan standar, pelaksanaannya, dan evaluasi yang berkelanjutan untuk memastikan terwujudnya peningkatan standar.

Namun, tidak dipungkiri efektivitas dari implementasi siklus PPEPP masih sering diperdebatkan.

Kemana Arah SPMI: Administratif atau Substantif?

Diduga masih cukup banyak institusi pendidikan tinggi menjalankan SPMI sebagai bentuk pemenuhan kewajiban administratif belaka.

Laporan-laporan SPMI yang dihasilkan dari proses PPEPP sering kali menjadi indikator formal yang dinilai oleh pemerintah atau lembaga akreditasi.

Perguruan tinggi pun disibukkan dengan kegiatan mengelolaan dokumen, memastikan bahwa semua persyaratan administratif terpenuhi.

Namun, pertanyaannya adalah, apakah pemenuhan dokumen tersebut benar-benar merefleksikan peningkatan mutu secara substansial dalam proses pendidikan?

Dengan kata lain, proses siklus PPEPP mungkin dijalankan secara mekanis-formalitas, namun gagal dalam memberikan perubahan nyata terhadap mutu pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Dalam beberapa kasus, institusi pendidikan tinggi mungkin lebih fokus pada “compliance” terhadap aturan regulasi formal tanpa benar-benar melakukan evaluasi mendalam terhadap “Impact” dari standar mutu yang diterapkan.

Baca juga: Pengorbanan dan Dedikasi: Fondasi Kepemimpinan SPMI

Evaluasi sebagai Formalitas?

Tahap evaluasi pemenuhan standar dalam siklus PPEPP merupakan titik kritis yang menentukan apakah sistem penjaminan mutu benar-benar berjalan efektif.

Pada tahap ini, perguruan tinggi harus mengukur sejauh mana pelaksanaan standar sesuai dengan standar yang ditetapkan. Tanpa mekanisme evaluasi yang sistematis dan transparan, evaluasi akan menjadi sekadar formalitas belaka.

Di sisi lain, evaluasi yang hanya berbasis data kuantitatif, seperti jumlah alumni atau nilai akreditasi sering tidak mencerminkan mutu pembelajaran yang sebenarnya.

Evaluasi seharusnya melibatkan umpan balik dari mahasiswa, dosen, dan stakeholder lainnya untuk memberikan gambaran yang lebih utuh tentang mutu pendidikan.

Siklus PPEPP: Terjebak Lingkaran Statis

Setelah evaluasi pemenuhan standar dilakukan, pengendalian pelaksanaan standar dan peningkatan standar seharusnya menjadi proses yang secara aktif mengatasi kelemahan dan / atau menangkap peluang untuk memperbaiki mutu.

Akan tetapi, tahap ini sering menjadi tantangan berat.

Pengendalian Pelaksanaan Standar dilakukan berdasarkan data yang tidak lengkap. Akibatnya analisis yang dangkal dapat berujung pada rekomendasi perbaikan yang tidak relevan.

Di sisi lain, perguruan tinggi sering kali juga menghadapi keterbatasan resources (sumber daya), baik dari sisi anggaran, sarpras maupun tenaga dosen. Hal ini akan menghambat implementasi dari perbaikan yang telah direncanakan.

Apakah perguruan tinggi benar-benar dapat meningkatkan mutu ketika keterbatasan anggaran membatasi inovasi dan pengembangan program?

Tentu masing-masing perguruan tinggi yang bisa menjawab tantangan diatas.

Baca juga: Penyebab Kegagalan SPMI

Membongkar Pembatas

Di era yang semakin cepat berubah, perguruan tinggi dituntut untuk tidak hanya mengikuti prosedur yang terstruktur seperti dalam SPMI, tetapi juga harus mampu “membongkar sekat pembatas organisasi” dan bersikap ramping, lincah dan inovatif.

Ron Ashkenas, dalam jurnal yang berjudul Management: How to Loosen Organizational Boundaries (Journal of Business Strategy) menekankan bahwa kecepatan (speed), fleksibilitas (flexibility), integrasi (integration), dan inovasi (innovation) adalah “penggerak utama keberhasilan” organisasi modern.

Ashkenas berpendapat bahwa di tengah lingkungan eksternal yang semakin kompleks dan dinamis, organisasi “wajib” terus menerus beradaptasi dan memperbarui strategi mereka untuk menjadi unggul.

Kecepatan (speed) dan fleksibilitas (flexibility) penting untuk menghadapi tantangan global dan dinamika dunia yang terus berubah. Praktik SPMI yang kaku, terlalu fokus pada prosedur-prosedur formal dapat memperlambat kemampuan perguruan tinggi untuk beradaptasi dengan cepat.

Perguruan tinggi perlu mengadopsi pendekatan yang lebih gesit (lean and agile) dalam merespons perkembangan teknologi, tuntutan mahasiswa, dan kebutuhan pasar tenaga kerja.

Konsep Ron Ashkenas nomor tiga adalah integrasi (integration).

Mengacu pada kemampuan perguruan tinggi untuk menyatukan berbagai elemen, proses, dan fungsi agar bekerja secara sinergis menuju tujuan bersama.

Integrasi tidak hanya berarti menghubungkan departemen atau unit kerja yang berbeda, tetapi juga menyelaraskan strategi, sistem, dan budaya perguruan tinggi. Dengan integrasi yang baik, setiap bagian bekerja dalam harmoni untuk mencapai hasil yang lebih besar.

Konsep keempat adalah Inovasi (innovation).

Dalam konteks SPMI, inovasi tidak hanya berarti penerapan teknologi baru atau metode pembelajaran mutakhir, namun mencakup cara berpikir dan pendekatan baru dalam menjalankan siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar (PPEPP).

Perguruan tinggi harus mendorong segenap dosen, tendik dan mahasiswa untuk terus berpikir kritis dan kreatif, serta menghasilkan terobosan-terobosan baru dalam pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat.

Contoh inovasi SPMI

Berikut contoh implementasi nilai-nilai inovasi yang dapat dikembangkan perguruan tinggi.

Pengembangan Sistem Informasi SPMI berbasis digital yang terintegrasi. Sistem ini memungkinkan perguruan tinggi mengelola siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan (PPEPP) secara otomatis dan efisien.

Melalui platform ini, kebijakan SPMI, standar mutu, dokumen PPEPP, dan data hasil evaluasi bisa diakses secara real-time oleh dosen, tendik, dan manajemen.

Melalui platform SPMI berbasis digital, hasil evaluasi pembelajaran, kinerja dosen, serta umpan balik mahasiswa dapat langsung diinput ke dalam sistem, yang kemudian diolah menjadi laporan otomatis.

Dashboard digital yang tersedia memberikan visualisasi data untuk memantau secara real-time apakah pelaksanaan di lapangan telah sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan.

Penutup

Pada akhirnya, menjadi renungan bersama, apakah SPMI benar-benar menjamin mutu pendidikan?

Apakah SPMI benar-benar dapat memberikankan nilai tambah?

Apakah SPMI benar-benar memberi manfaat? Atau sebaliknya “Unfaedah”.

Jawabannya tergantung pada institusi masing-masing.

Sejauh mana institusi pendidikan menerapkan praktik SPMI secara substansial, bukan hanya sekadar formalitas semata.

SPMI memiliki potensi besar untuk meningkatkan mutu.

Namun potensi tersebut “hanya akan terwujud” jika perguruan tinggi mampu menjalankan siklus PPEPP secara mendalam dan berkelanjutan (kaizen).

Akhirnya, mengacu pada jurnal yang ditulis Ron Ashkenas, perguruan tinggi harus mampu untuk terus menerus bertransformasi.

Perguruan tinggi harus mampu menyeimbangkan praktik SPMI dengan tuntutan best practice era modern.

Siklus PPEPP harus mampu “membongkar sekat organisasi” dengan 4 mantra.

Empat mantra itu adalah kecepatan (speed), fleksibilitas (flexibility), integrasi (integration), dan inovasi (innovation). Stay Relevant!


Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Teknik Bertanya dalam AMI

Audit Mutu Internal: Membaca yang Tak Terucap

Pendahuluan

Audit Mutu Internal (AMI) dalam perguruan tinggi merupakan salah satu elemen penting dalam memastikan dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi.

Ketentuan AMI diatur dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023 Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi pasal 68 ayat 2.

Dalam ayat tersebut berbunyi: Evaluasi pemenuhan standar pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan secara berkala melalui pemantauan, evaluasi diri, audit mutu internal, asesmen, dan/atau cara lain yang ditetapkan perguruan tinggi.

Melalui AMI, institusi pendidikan dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan (SWOT) yang ada dalam implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) serta memastikan bahwa proses akademik dan non-akademik berjalan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

Siklus PPEPP

Dalam konteks ini, penguatan AMI berbasis SPMI yang mengikuti siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar (PPEPP) menjadi sangat penting dalam mendorong kontinuitas perbaikan dan pencapaian mutu yang berkelanjutan (kaizen).

SPMI merupakan kerangka kerja (framework) yang dirancang untuk memastikan bahwa setiap aktifitas dalam perguruan tinggi, baik di bidang akademik maupun non-akademik, memenuhi standar SPMI yang telah ditetapkan oleh institusi.

Siklus PPEPP berperan penting sebagai fondasi utama dalam operasionalisasi SPMI, di mana setiap tahap harus dilaksanakan secara sistematis, terpadu dan berkelanjutan.

Dalam siklus PPEPP, “Penetapan standar” mengacu pada definisi standar yang harus dicapai, “Pelaksanaan Standar” adalah penerapan standar tersebut dalam operasional sehari-hari, “Evaluasi Pemenuhan Standar” meninjau efektivitas pelaksanaan, “Pengendalian Pelaksanaan Standar” bertujuan memastikan bahwa tindakan korektif dan preventif diambil bila terjadi deviasi, dan “Peningkatan Standar” berfokus pada perbaikan berkelanjutan (kaizen).

Penguatan AMI berbasis PPEPP memberikan beberapa manfaat utama bagi perguruan tinggi.

Pertama, siklus ini memastikan bahwa seluruh proses akademik dan manajerial di kampus didasarkan pada standar mutu yang jelas dan konsisten.

Evaluasi berkala yang dilakukan dalam AMI memastikan bahwa implementasi dari setiap standar tersebut dipantau dan dievaluasi secara ketat.

Ketika terdapat kesenjangan atau ketidaksesuaian (KTS), proses pengendalian dapat diaktifkan untuk memperbaiki kesalahan, yang pada gilirannya mendorong peningkatan mutu secara berkelanjutan.

Untuk itu, AMI yang kuat dan terorganisasi dengan baik dapat membantu perguruan tinggi dalam menjaga akuntabilitas dan meningkatkan daya saing institusi, baik di tingkat nasional, regional maupun internasional.

Baca juga: Kritisi AMI, Dibalik Kegagalan Mutu Perguruan Tinggi

Auditor dan Komunikasi Nonverbal

Di sisi lain, peran auditor dalam proses AMI juga sangat krusial. Peran ini harus terus dijaga, diperkuat dan ditingkatkan.

Seorang auditor tidak hanya bertugas untuk menilai kesesuaian antara pelaksanaan dan standar SPMI yang telah ditetapkan, namun juga auditor harus bertindak sebagai agen perubahan (change agent) yang mendorong perbaikan dan inovasi.

Di sinilah pentingnya memahami bahasa tubuh (body language) bagi auditor. Bahasa tubuh adalah salah satu bentuk komunikasi nonverbal yang sering kali lebih jujur, lebih bisa dipercaya dibandingkan kata-kata yang diucapkan.

Dalam konteks audit, seorang auditor yang mampu membaca signal-signal bahasa tubuh dapat menangkap isyarat tersembunyi yang mungkin tidak terucapkan secara verbal oleh auditee.

Contoh, tanda-tanda kegelisahan, ketidaknyamanan, atau keraguan dapat menjadi petunjuk penting bahwa ada hal-hal yang tidak disampaikan secara eksplisit oleh auditee.

Pemahaman tentang bahasa tubuh membantu auditor dalam “membangun hubungan” (human relations) yang lebih baik dengan auditee.

Dengan menyadari dan memahami respons nonverbal, auditor dapat menyesuaikan pendekatan komunikasinya untuk memastikan bahwa proses audit berjalan secara lancar tanpa menciptakan resistensi atau ketegangan.

Auditor yang “peka” terhadap signal bahasa tubuh juga dapat mengidentifikasi situasi di mana auditee mungkin merasa terancam atau cemas, sehingga mereka dapat menyesuaikan teknik building rapport, wawancara atau observasi agar lebih suportif dan efektif.

Kemampuan membaca signal bahasa tubuh juga memberikan keunggulan bagi auditor dalam mengevaluasi kejujuran dan keterbukaan auditee, yang menjadi salah satu aspek kunci dalam keberhasilan audit mutu internal.

Baca juga: Tips Komunikasi Auditor SPMI

Hearing What isn’t Said

Sejalan dengan hal ini, kutipan penting dari Peter Drucker, “The most important thing in communication is hearing what isn’t said,” menekankan pentingnya memperhatikan aspek-aspek komunikasi yang tidak diungkapkan secara eksplisit.

Dalam konteks audit mutu internal, seorang auditor harus memiliki kepekaan tinggi terhadap sinyal-sinyal yang tidak langsung diucapkan, namun mengandung makna yang dalam (makna tersirat).

Terkadang, informasi penting justru terletak pada apa yang “tidak diucapkan” oleh auditee, baik karena ketidaksadaran atau keengganan.

Auditor yang efektif adalah auditor yang mampu “mendengarkan” melalui observasi nonverbal, menangkap suasana hati (mood), dan memahami dinamika interpersonal yang terjadi selama proses audit.

Kepekaan auditor terhadap signal yang tidak terucap memungkinkan mereka menggali lebih dalam, memperjelas ketidakpastian, dan memberikan rekomendasi perbaikan yang lebih relevan dan tepat sasaran.

Sebagai contoh, seorang auditor mungkin memperhatikan bahwa auditee menghindari kontak mata. Tatapan mata selalu kebawah ketika ditanya tentang pelaksanaan prosedur tertentu.

Signal ini menjadi petunjuk bahwa auditee merasa tidak yakin atau tidak nyaman dengan jawaban yang diberikan, hal ini mengindikasikan ada potensi masalah yang perlu digali lebih lanjut.

Contoh lain, misalnya auditee terlihat gelisah, dan sering menggerakkan tangan atau mengetuk-ngetuk kaki saat ditanya tentang kesesuaian implementasi standar mutu.

Bahasa tubuh seperti ini dapat menunjukkan ketegangan, yang bisa jadi terkait dengan area yang masih bermasalah atau belum diimplementasikan dengan baik.

Penutup

Pada akhirnya, penguatan AMI berbasis SPMI (PPEPP) dan kemampuan auditor dalam memahami komunikasi nonverbal adalah 2 (dua) faktor penting yang saling melengkapi dalam upaya mewujudkan sistem penjaminan mutu yang efektif di perguruan tinggi.

Pemahaman mendalam tentang komunikasi, baik verbal maupun nonverbal, memperkaya proses audit dan membantu institusi dalam mencapai standar SPMI yang lebih tinggi secara berkelanjutan. Stay Relevant!


Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Transformatif SPMI: Kunci Bertahan di Era BANI

Di tengah dinamika perubahan global, perguruan tinggi dihadapkan pada tantangan eksternal yang semakin kompleks dan dinamis.

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), yang dibangun di atas siklus iteratif yang terdiri dari Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar (PPEPP).

Siklus ini berperan sebagai fondasi utama dalam menjaga mutu pendidikan dan memastikan peningkatan berkelanjutan.

Namun, seiring dengan perubahan cepat yang terjadi (di lingkungan global), penguatan SPMI menjadi semakin krusial agar perguruan tinggi dapat tetap relevan dan juga mampu beradaptasi.

Situasi yang saat ini dihadapi sering kali disebut sebagai perubahan “BANI”. BANI bermakna lingkungan yang rapuh (brittle), gelisah (anxious), non-linier, dan sulit dipahami (incomprehensible).

Dalam konteks ini, quote dari Charles Darwin kembali mengingatkan bahwa keberlangsungan hidup tidak bergantung pada kekuatan atau kecerdasan, melainkan pada kemampuan untuk beradaptasi secara cepat dan efektif terhadap perubahan.

Transformasi Siklus PPEPP

PPEPP, sebagai kerangka dalam SPMI, dirancang untuk memastikan bahwa perguruan tinggi dapat menilai, mengevaluasi dan meningkatkan mutu secara terus-menerus.

Namun, tantangan berat di era BANI menuntut lebih dari sekadar penerapan mekanis siklus PPEPP.

Dalam lingkungan yang rapuh (brittle) dan tidak dapat diprediksi, setiap perguruan tinggi harus memiliki kemampuan untuk secara proaktif mengidentifikasi perubahan yang terjadi di sekitarnya dan dengan cepat menyesuaikan “Isi standar” SPMI dengan situasi yang baru.

Baca juga: Mengukir Identitas Perguruan Tinggi: Mission Differentiation

Perguruan tinggi tidak lagi bisa bergantung pada “standar yang stagnan” atau kebijakan dan prosedur yang tidak fleksibel.

Justru, keberhasilan siklus PPEPP kini sangat bergantung pada seberapa responsif perguruan tinggi dalam menghadapi perubahan dan ketidakpastian.

Pada tahap Penetapan Standar, perguruan tinggi harus mampu memahami realitas dunia yang terus berubah. Perguruan tinggi harus mampu melalukan analisis SWOT yang handal dan akurat.

Dunia pendidikan saat ini tidak hanya terpengaruh oleh perkembangan ilmu pengetahuan saja, tetapi juga oleh tantangan ekonomi, sosial, politik, dan teknologi yang bergerak sangat cepat.

Di era BANI, perubahan sering kali bersifat “non-linier”, di mana hubungan sebab-akibat tidak selamanya dapat diprediksi.

Perguruan tinggi harus meninjau kembali standar mutu secara lebih fleksibel dan adaptif, serta menetapkan kebijakan SPMI yang mampu merespons dinamika eksternal dengan cepat.

Dalam tahap Pelaksanaan, kemampuan adaptasi menjadi kunci yang sangat penting.

Perguruan tinggi harus mengembangkan program akademik yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat (Tri Dharma) yang tidak hanya memenuhi standar nasional, namun juga harus mampu merespons tuntutan global.

Era BANI memaksa perguruan tinggi untuk menciptakan lulusan yang benar-benar kompeten, tidak hanya memiliki pengetahuan teknis (hard skills), namun juga keterampilan adaptif, kreativitas, dan daya juang untuk menghadapi ketidakpastian (soft skills).

Pelaksanaan Standar yang berhasil adalah yang mampu mengintegrasikan teknologi dan inovasi untuk menghadirkan fleksibilitas dalam pembelajaran.

Pelaksanaan Standar harus mampu memfasilitasi keterhubungan antara stakeholder akademisi, industri, dan masyarakat.

Tahap Evaluasi Pemenuhan Standar (dalam PPEPP) juga harus mengalami transformasi. Di lingkungan yang rapuh dan sulit dipahami, metode evaluasi konvensional mungkin tidak lagi memadai.

Perguruan tinggi perlu mengembangkan sistem evaluasi yang lebih dinamis dan real-time, memungkinkan monitoring secara terus-menerus (real time) terhadap hasil pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

Evaluasi Pemenuhan Standar (dalam PPEPP) harus berfokus pada bagaimana perguruan tinggi beradaptasi dengan perubahan yang cepat dan menilai apakah pendekatan baru yang diambil benar-benar meningkatkan daya saing institusi.

Contoh inovasi program Evaluasi Pemenuhan Standar (dalam PPEPP): Perguruan tinggi menerapkan dashboard real-time berbasis data untuk memantau kinerja mahasiswa, dosen, dan penelitian. Misalnya, data pembelajaran online dipantau terus-menerus untuk menilai efektivitas metode baru dan respons mahasiswa.

Pada tahap Pengendalian Pelaksanaan Standar, tantangan era BANI semakin memperjelas bahwa tidak ada satu pun solusi yang pasti atau berlaku untuk jangka panjang. Pengendalian mutu di perguruan tinggi harus bersifat proaktif, fleksibel dan disesuaikan dengan kondisi terkini.

Jika perguruan tinggi tetap terpaku pada proses pengendalian yang kaku, mereka berisiko tertinggal dalam menghadapi perubahan.

Contoh pengendalian fleksibel dalam Pengendalian Pelaksanaan Standar:

Misalnya, saat pembelajaran online (daring) meningkat, perguruan tinggi menambahkan indikator kinerja baru terkait kemampuan dosen dalam mengajar secara online.

Dengan cara ini, standar mutu SPMI dapat terus disesuaikan (adaptasi) untuk merespons perubahan kondisi dan tantangan yang muncul, memastikan institusi tetap relevan di tengah lingkungan era BANI.

Akhirnya, pada tahap Peningkatan Standar SPMI (dalam PPEPP), teori Darwin yang menekankan pentingnya kemampuan adaptasi sangat relevan.

Peningkatan mutu perguruan tinggi tidak boleh hanya berfokus pada peningkatan standar secara bertahap atau linear. Justru, peningkatan di era BANI harus bersifat “responsif, berani, dan radikal”.

Contoh peningkatan radikal dalam Peningkatan Standar SPMI: Perguruan tinggi meluncurkan program studi baru multidisiplin yang menggabungkan kecerdasan buatan (AI), bisnis, dan etika, merespons kebutuhan global akan tenaga ahli yang mampu memahami teknologi sekaligus dampak sosialnya.

Selain itu, metode pembelajaran berbasis simulasi virtual, Augmented Reality (AR) dan proyek global diterapkan untuk membekali lulusan dengan keterampilan adaptif, menjawab tantangan era BANI dengan inovasi yang berani dan responsif.

Baca juga: Penguatan SPMI melalui Struktur “Agile”

Penutup

Akhirnya, kutipan dari Charles Darwin, yang menyatakan bahwa keberlangsungan hidup (survival) tidak ditentukan oleh yang paling kuat atau paling cerdas, melainkan oleh yang paling mampu beradaptasi dengan perubahan, sangat relevan bagi perguruan tinggi di era BANI.

Kemampuan untuk merespons perubahan dengan cepat (transformatif) menjadi sangat penting, dan siklus PPEPP harus disesuaikan dengan pemahaman tentang SWOT dan kompleksitas lingkungan sekitar.

Perguruan tinggi yang dapat menerapkan SPMI dengan responsif (PTN dan Swasta) akan lebih siap menghadapi tantangan di dunia yang semakin tidak pasti (non-linier), sehingga mereka dapat terus relevan dan berperan dalam masyarakat global yang terus berkembang.

Dalam ekosistem pendidikan yang rapuh (brittle) dan berubah dengan cepat, perguruan tinggi yang mampu bertahan dan berkembang adalah mereka yang tidak hanya mengandalkan kekuatan tradisional, tetapi juga yang mampu dengan cepat (speed) dan efektif beradaptasi terhadap realitas baru. Stay Relevant!


Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Audit Mutu Internal

Mengapa Temuan Audit Sering Tak Ditindaklanjuti?

Pendahuluan

Audit Mutu Internal (AMI) adalah alat penting untuk memperkuat Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi.

Melalui AMI, manajemen perguruan tinggi bisa mendapatkan informasi penting tentang sejauh mana standar SPMI diterapkan dan dipatuhi oleh setiap unit kerja.

Dalam SPMI, ada siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) yang bertujuan untuk memastikan terjadinya perbaikan berkelanjutan (kaizen).

AMI berfungsi memastikan bahwa semua proses dan kebijakan berjalan sesuai standar SPMI yang sudah ditetapkan.

Namun, pelaksanaannya tidak selalu mudah. AMI menghadapi berbagai tantangan, salah satunya adalah kesulitan “menuliskan” hasil audit kepada auditee.

Ketidakjelasan dalam penulisan PTKP (Permintaan Tindakan Korektif dan Preventif) seringkali menyebabkan kebingungan di kalangan auditee.

Akibatnya, proses perbaikan bisa terlambat atau bahkan temuan audit diabaikan dan tidak ditindaklanjuti.

Di sinilah relevansi artikel berjudul: “Mengapa Temuan Audit Sering Tak Ditindaklanjuti?” menjadi penting.

Penguatan SPMI

SPMI di perguruan tinggi melibatkan lima langkah utama, yaitu PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar).

Dalam proses ini, AMI berperan penting pada tahap evaluasi dan pengendalian.

Evaluasi bertujuan untuk menilai apakah program kerja dan hasilnya sudah berjalan sesuai standar SPMI yang ditetapkan.

Sementara itu, pengendalian dilakukan untuk memastikan bahwa jika ada ketidaksesuaian (KTS), langkah perbaikan bisa segera diambil.

Melalui AMI, perguruan tinggi bisa dengan tepat mengidentifikasi area yang perlu diperbaiki dan mengurangi risiko yang bisa menghambat pencapaian mutu.

AMI yang efektif tidak hanya menemukan masalah, tapi juga memberikan solusi yang jelas untuk meningkatkan kualitas.

PLOR dalam Penulisan Finding (temuan)

Salah satu tantangan penting dalam AMI adalah bagaimana menyampaikan finding (temuan) secara jelas dan mudah dipahami, sehingga auditee merasa nyaman dan tidak kesulitan.

Penulisan finding yang tidak terstruktur, berpotensi menambah kebingungan, mempersulit mencari akar masalah, dan memperlambat proses perbaikan.

Oleh karena itu, salah satu pendekatan yang dapat diterapkan untuk mengatasi hal diatas adalah metode PLOR (Problem, Location, Objective, dan Reference). Metode PLOR membantu memberikan struktur, cara penulisan temuan yang baik dan benar.

  • Problem: Bagian ini harus dapat menjelaskan ketidaksesuaian (KTS) yang ditemukan selama audit. Deskripsi masalah harus fokus pada fakta bahwa terdapat ketidaksesuaian dengan standar SPMI yang telah ditetapkan oleh perguruan tinggi. Contoh, bila ditemukan dokumentasi evaluasi program studi tidak lengkap, auditor cukup menunjukkan bahwa dokumentasi tersebut tidak memenuhi standar yang telah ditentukan, tanpa harus menjelaskan penyebab dari ketidaklengkapan tersebut.
  • Location: Penjelasan mengenai “dimana” ketidaksesuaian (KTS) terjadi sangat penting agar auditee dapat segera mengetahui area yang perlu diperbaiki. Informasi mengenai lokasi harus spesifik, misalnya di fakultas X, Departemen Y, program studi Z, atau bagian administrasi tertentu.
  • Objective: Setiap temuan (finding) harus didukung oleh bukti-bukti konkret yang relevan, seperti dokumen, data, atau hasil observasi. Bukti ini memperkuat validitas temuan dan memudahkan auditee menerima serta menindaklanjutinya.
  • Reference: Bagian ini memberikan acuan regulasi, kebijakan, atau standar yang menjadi dasar temuan audit. Auditee akan lebih mudah memahami temuan-temuan jika ada acuan yang jelas, misalnya dari Standar Nasional Pendidikan Tinggi, matrik penilaian BAN atau regulasi internal perguruan tinggi.

Struktur PLOR membantu menghindari multitafsir dan mempercepat proses rencana tindak lanjut, karena setiap temuan sudah terstruktur dengan baik dan didukung oleh bukti-bukti objektif yang relevan.

Penguatan PPEPP

Struktur PLOR dalam AMI tidak hanya membantu meningkatkan pemahaman auditee terhadap “isi” temuan, namun juga berdampak langsung terhadap penguatan PPEPP (penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian dan peningkatan standar).

Baca juga: Auditor AMI: Dibenci atau Disayang?

Dengan penyampaian hasil audit yang jelas dan terstruktur, auditee (unik kerja) dapat dengan cepat menindaklanjuti KTS yang ditemukan. Dengan kata lain proses pengendalian dan peningkatan mutu (siklus PPEPP) dapat dilakukan lebih cepat, efektif dan efisien.

Penutup

Audit Mutu Internal (AMI) merupakan bagian integral dari upaya penguatan SPMI (PPEPP) di lembaga perguruan tinggi.

Untuk memastikan AMI berjalan efektif, pendekatan PLOR (Problem, Location, Objective, dan Reference) dalam penulisan PTKP (permintaan tindakan korektif dan preventif) sangat diperlukan.

Dengan struktur penulisan yang jelas, teraudit (auditee) dapat lebih mudah memahami masalah yang dihadapi, memahami tempat (lokasi) terjadinya masalah, memahami bukti-bukti objektif, serta referensi regulasi yang menjadi acuan.

Demikian, semoga berkah dn bermanfaat. Stay Relevant!


Oleh Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, konsultan mutu pendidikan.

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Budaya Mutu, SPMI dan Sikap Kerja

Saatnya AMI Bergerak: Dari Koreksi ke Preventif

Pendahuluan

Audit Mutu Internal (AMI) di perguruan tinggi telah menjadi instrumen penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas pendidikan. Melalui AMI, institusi akan dapat mencari peluang-peluang untuk melakukan perbaikan secara berkelanjutan (kaizen).

Namun, dalam praktiknya, dibeberapa perguruan tinggi, diduga AMI seringkali masih terjebak pada budaya “koreksi” semata, yakni perbaikan hanya sebatas pada “simtom” atau gejala saja.

Akibatnya, siklus kesalahan akan berulang, masalah yang sama akan ditemukan lagi pada saat kegiatan AMI berikutnya.

Sehingga ada ungkapan: “Lu lagi…lu lagi, itu lagi…itu lagi”. Masalah yang berulang muncul saat AMI dilakukan.

Hal ini terjadi karena tindakan koreksi yang dilakukan, sering bersifat sementara dan tidak disertai perubahan substansi dalam sistem. Ibarat menyapu lantai yang kotor, lalu dimasukkan ke bawah karpet.

Ungkapan “menyapu lantai yang kotor, lalu dimasukkan ke bawah karpet” mengandung makna metaforis bahwa individu berusaha menutupi atau menyembunyikan masalah, tidak berusaha menyelesaikan secara tuntas.

Dalam konteks organisasi, hal ini bisa merujuk pada praktik di mana sebuah masalah diatasi hanya secara “kosmetik”, tanpa tindakan yang substansi untuk memperbaikinya.

Institusi ingin terlihat baik dari luar, namun mengabaikan masalah-masalah mendasar yang memerlukan perhatian serius.

Akibatnya, masalah tersebut berpotensi muncul kembali, berulang dan terus berulang, mungkin dalam skala yang semakin besar.

Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), terutama dalam kerangka PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar), menuntut pendekatan yang lebih menyeluruh (holistik).

SPMI yang ideal bukan hanya bertujuan untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi, namun mencegah terjadinya kesalahan serupa di masa yang akan datang.

Budaya Koreksi: Mengapa Masih Dominan?

Masih kuatnya budaya koreksi, seringkali disebabkan oleh faktor internal perguruan tinggi.

Tekanan untuk memenuhi persyaratan akreditasi dan regulasi eksternal yang mendorong institusi fokus pada “perbaikan cepat” dan instan terhadap temuan-temuan audit.

Tim auditor dan unit yang diaudit cenderung “kompak” lebih mengutamakan penyelesaian langsung dibandingkan upaya untuk mencegah terulangnya masalah di masa depan.

“Habit” ini semakin mengakar ketika sistem penjaminan mutu internal hanya memprioritaskan hasil-hasil yang sifatnya jangka pendek.

Ungkapan “Quality is not an act, it is a habit” berarti mutu bukanlah sesuatu yang dilakukan sesekali atau secara spontan (act), melainkan merupakan hasil dari tindakan konsisten dan berulang (habit) yang dilakukan secara terus-menerus.

Mutu bukanlah hasil dari satu tindakan saja, namun terbentuk melalui kebiasaan yang baik, kerja keras, kerja cerdas dan disiplin yang dilakukan secara berkesinambungan.

Dengan kata lain, untuk mencapai mutu pendidikan, individu atau institusi harus menjadikan “best practice” (praktik terbaik) sebagai bagian integral dari keseharian mereka.

Perguruan tinggi lebih fokus pada pengisian laporan audit dan pemenuhan target administratif, daripada pengembangan sistem yang lebih adaptif dan mampu mengidentifikasi potensi risiko sejak dini.

Akibatnya, langkah-langkah preventif menjadi terabaikan, dan masalah-masalah yang sama kerap muncul di siklus audit berikutnya.

Dari Koreksi ke Korektif ke Preventif

SPMI yang ideal mengharuskan adanya keseimbangan antara tindakan koreksi, korektif, dan preventif. Ketiganya saling melengkapi dan memastikan bahwa sistem mutu di perguruan tinggi terus berkembang.

Namun, untuk mencapai keseimbangan ini, AMI harus berfokus pada aspek-aspek yang lebih mendasar (subtansial) dari sistem penjaminan mutu internal, terutama pada fase pengendalian dan peningkatan.

Pendekatan preventif dalam AMI tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki kesalahan yang telah terjadi, tetapi juga mengidentifikasi potensi risiko (manajemen resiko) yang mungkin muncul dan mengambil langkah-langkah untuk mencegahnya.

Ini membutuhkan perubahan pola pikir, pola sikap dan cara kerja yang lebih proaktif serta integrasi yang lebih baik antara proses PPEPP dalam SPMI.

Berikut adalah beberapa langkah penting dalam menggerakkan AMI dari tindakan koreksii, korektif ke preventif:

  • Identifikasi Risiko: Perguruan tinggi perlu memperkuat fase evaluasi dan pengendalian dalam PPEPP, dengan melakukan identifikasi risiko secara sistematis. Risiko-risiko yang muncul dari kebijakan, proses, atau sumber daya harus diidentifikasi dan dipetakan sejak dini untuk mencegah kegagalan di masa yang akan datang.
  • Perbaikan Proses, Bukan Hanya Hasil: AMI harus mampu berfokus pada perbaikan proses, bukan hanya melihat hasil (output). Ini berarti bahwa audit harus mencakup analisis mendalam tentang bagaimana sebuah kesalahan terjadi, mengapa hal itu bisa terjadi, dan bagaimana memperbaiki sistem agar kesalahan serupa tidak muncul lagi.
  • Pengembangan Sumber Daya Manusia: Budaya pencegahan (preventif) dalam AMI harus didukung oleh pengembangan sumber daya manusia yang memadai. Tim audit dan seluruh staf perguruan tinggi harus dilatih untuk memahami pentingnya tindakan preventif dan mampu mempebaiki dalam pekerjaan sehari-hari.
  • Penggunaan Data dan Teknologi: Teknologi & analisis data harus dioptimalkan untuk memprediksi potensi masalah dan mengevaluasi kinerja secara “real-time”. Dengan memanfaatkan data-data yang akurat, perguruan tinggi dapat lebih cepat mengidentifikasi tanda-tanda awal dari kemungkinan masalah dan mengambil tindakan preventif sebelum masalah menjadi besar.
  • Penguatan Budaya Mutu: Transformasi AMI ke arah preventif hanya akan berhasil jika budaya kualitas di seluruh perguruan tinggi dikuatkan. Setiap individu dalam perguruan tinggi harus memiliki tanggung jawab terhadap kualitas, bukan hanya tim audit atau unit penjaminan mutu.

Budaya Preventif

Sejalan dengan penguatan SPMI, perguruan tinggi memiliki peran penting dalam menggerakkan perubahan. Perubahan dari budaya hanya koreksi saja, menjadi budaya korektif dan preventif.

Institusi pendidikan tinggi harus melihat AMI sebagai alat (tools) strategis yang tidak hanya memperbaiki kesalahan tetapi juga mencari nilai tambah untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Ini berarti bahwa perguruan tinggi harus berani keluar dari “zona nyaman”, di mana audit hanya digunakan untuk kegiatan formalitas dan menutupi masalah jangka pendek.

Audit mutu internal harus mampu bertransformasi dan mampu memprioritaskan upaya pencegahan yang lebih menyeluruh (holistik).

Dengan mendorong budaya pencegahan (preventif), AMI menjadi lebih dari sekadar instrumen administratif. AMI menjadi bagian integral dari pengembangan sistem penjaminan mutu internal yang berkelanjutan dan mendukung pencapaian target standar pendidikan yang lebih luas.

Penutup

Audit Mutu Internal (AMI) yang bertransformasi dari tindakan koreksi ke korektif, korektif ke preventif adalah kunci penguatan SPMI di perguruan tinggi.

Dengan membangun budaya yang lebih proaktif, AMI bukan hanya mengatasi masalah yang sudah terjadi saja, AMI dapat dikembangkan menjadi motor penggerak “kaizen”.

Perguruan tinggi harus keluar dari siklus koreksi semata dan mulai membangun sistem yang lebih responsif, adaptif, dan inovatif, demi menjaga mutu pendidikan yang terus berkembang.

Saatnya AMI bergerak maju, dari sekadar koreksi, menjadi korektif, selanjutnya menuju budaya pencegahan, untuk masa depan pendidikan tinggi yang lebih baik. Stay Relevant!


Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, tim konsultan mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

×

Layanan Informasi

× Hubungi Kami