Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi merupakan elemen utama yang disusun pemerintah dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 pasal 68, mewajibkan perguruan tinggi menerapkan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) untuk memastikan perbaikan berkelanjutan (kaizen). Kebijakan ini bertujuan agar setiap perguruan tinggi secara konsisten meningkatkan mutu akademik dan non akademik.
Namun, pelaksanaan SPMI di perguruan tinggi sering kali menghadapi tantangan karena perbedaan sumber daya, kapabilitas, dan komitmen antar institusi. Perguruan tinggi besar dengan akses lebih baik ke sumber daya lebih banyak kemudahan untuk menjalankan PPEPP dibandingkan institusi kecil atau di daerah. Hal ini menyebabkan kesenjangan dalam implementasi, di mana beberapa perguruan tinggi diduga hanya mampu melaksanakan SPMI secara formalitas tanpa perubahan substansial dalam mutu.
Baca juga: SPMI Perguruan Tinggi: Bisakah Kebijakan ini Gagal?
David Easton (1917–2014) adalah seorang pemikir politik terkemuka yang mengembangkan teori sistem politik. Easton memberikan wawasan bahwa politik berfungsi seperti sebuah sistem. Dalam karyanya A Systems Analysis of Political Life (1965), Easton memperkenalkan konsep bahwa proses politik dapat dianalisis melalui 3 hal: input, output, dan umpan balik (feedback). Pandangan ini mengilustrasikan bahwa sistem politik menerima masukan (input) dari masyarakat dan stakeholder, lalu memprosesnya untuk menghasilkan kebijakan sebagai bentuk output (luaran).
Easton berargumentasi bahwa kebijakan publik sebagai interaksi dinamis antara input dan output. Input berupa tuntutan dan dukungan dari masyarakat (stakeholder) atau aktor politik diproses menjadi kebijakan yang kemudian berdampak pada publik. Dampak kebijakan tersebut menciptakan feedback (umpan balik), yang memungkinkan pemerintah merevisi kebijakan agar lebih cocok terhadap kebutuhan dan tantangan kedepan.
Dalam konteks SPMI dan siklus PPEPP, tuntutan dari pemerintah, mahasiswa, dan masyarakat luas (stakeholder) berperan sebagai input, sedangkan pelaksanaan PPEPP menjadi output kebijakan yang diterapkan perguruan tinggi. Tahap evaluasi dan pengendalian mutu (dalam PPEPP) menyediakan umpan balik untuk memastikan kebijakan dapat terus direview, diperbaiki dan ditingkatkan, sehingga implementasi SPMI relevan dan efektif dalam mendorong peningkatan mutu pendidikan tinggi di Indonesia.
Menurut Easton (1965), kebijakan publik merupakan produk dari proses input dan output dalam sistem politik. Input (masukan) dapat berupa tuntutan, harapan dan dukungan dari masyarakat atau pemangku kepentingan (stakeholder), yang diproses melalui mekanisme dalam sistem politik. Hasil dari proses ini adalah output (luaran) berupa kebijakan yang diimplementasikan untuk mencapai tujuan tertentu. Setelah kebijakan diimplementasikan, dampaknya terhadap masyarakat akan menghasilkan umpan balik (feedback), yang kemudian menjadi bagian dari siklus kebijakan berikutnya.
Baca juga: Kompleksitas SPMI: Mampukah Kebijakan ini Bertahan?
Dalam konteks pendidikan tinggi, tuntutan / harapan dari pemerintah, dunia industri, mahasiswa, dan masyarakat terhadap mutu pendidikan menjadi input penting bagi perguruan tinggi untuk menyusun kebijakan SPMI. Permintaan dan harapan tersebut (demands) mencakup peningkatan mutu lulusan, layanan pendidikan, dan akreditasi yang baik. Selain itu, dukungan pemerintah dalam bentuk regulasi dan insentif, seperti Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, juga menjadi faktor yang memengaruhi keberhasilan implementasi SPMI dan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar).
Proses PPEPP bersifat iteratif, di mana umpan balik dari evaluasi pelaksanaan standar mendorong perguruan tinggi untuk menyesuaikan standar baru di siklus berikutnya. Sebagai contoh, jika evaluasi menunjukkan bahwa mutu standar kompetensi lulusan masih rendah, perguruan tinggi dapat membuat penyesuaian seperti meningkatkan keterlibatan dosen dalam pendidikan dan pengajaran atau memperbaiki kurikulum. Dengan demikian, proses input-output dan umpan balik dalam implementasi SPMI sesuai dengan “prinsip adaptasi kebijakan” yang dinamis, (teori sistem politik Easton).
Implementasi SPMI melalui siklus PPEPP merupakan wujud nyata dari output kebijakan Pemerintah. Pada tahap awal, perguruan tinggi menetapkan standar mutu SPMI dan menjalankan kebijakan sesuai dengan rencana strategis (renstra) yang telah dirancang. Kebijakan ini bertujuan untuk mencapai perbaikan mutu secara berkelanjutan, baik dalam aspek akademik maupun non akademik.
Namun, dalam praktiknya, tidak semua perguruan tinggi memiliki komitmen dan kapasitas yang sama untuk memenuhi tuntutan mutu tersebut. Perguruan tinggi dengan keterbatasan sumber daya (resources) sering kali hanya mampu fokus pada kepatuhan administratif untuk memenuhi standar akreditasi. Pemenuhan administratif tidak serta merta membawa “perubahan kongkrit” terhadap mutu layanan pendidikan yang diberikan.
Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”
Hal ini sejalan dengan teori David Easton, beliau menyatakan bahwa output (luaran) kebijakan sangat bergantung pada kemampuan sistem untuk mengolah input (masukan) secara efektif dan menyesuaikan diri (adaptasi) dengan kondisi internal dan eksternal.
Perguruan tinggi yang tidak mampu mengelola sumber dayanya (resources) dengan baik cenderung hanya fokus pada aspek formalitas pembuatan kebijakan SPMI, sementara perguruan tinggi yang lebih siap, dapat memanfaatkan kebijakan SPMI untuk menghasilkan dampak nyata bagi peningkatan mutu pendidikan.
Proses evaluasi dan pengendalian (dalam siklus PPEPP) menegaskan pentingnya umpan balik (feedback) sebagaimana diuraikan David Easton. Evaluasi rutin (periodik) memungkinkan institusi untuk mendeteksi kesenjangan dan kendala dalam implementasi Standar SPMI. Dengan Pemantauan (monitoring) maupun melalui Audit Mutu Internal (AMI), setiap kelemahan sistem, akan dapat segera diidentifikasi.
Sebagai ilustrasi, hasil AMI dapat saja mengungkap rendahnya keterlibatan dosen dalam penelitian atau ketidaksesuaian antara isi kurikulum dengan kebutuhan industri. Temuan (finding) ini memberikan dasar bagi institusi untuk memperbaiki kebijakan dan strategi mereka di siklus PPEPP berikutnya. Umpan balik (feedback) menjadi penting agar setiap siklus PPEPP baru lebih efektif dan relevan dengan kebutuhan eksternal terkini.
Tanpa umpan balik yang handal (valid), kebijakan SPMI berisiko menjadi jalan ditempat /formalitas administratif. Kebijakan seperti itu “kehilangan roh” dan fungsinya sebagai alat peningkatan mutu yang dinamis. Oleh sebab itu, siklus PPEPP harus dioptimalkan melalui evaluasi terus-menerus dan penyesuaian kebijakan (transformasi-adaptasi) berdasarkan umpan balik untuk memastikan peningkatan mutu pendidikan yang berkelanjutan (kaizen).
Baca juga: Auditor AMI: Dibenci atau Disayang?
Saat ini, penerapan SPMI menempatkan perguruan tinggi di “persimpangan jalan”. Di satu sisi, kebijakan SPMI berpotensi mendorong perbaikan berkelanjutan (kaizen) dan meningkatkan reputasi akademik. Hal ini tentu saja mensyaratkan SPMI dijalankan dengan “komitmen penuh”. Siklus PPEPP memungkinkan institusi melakukan penyesuaian terus-menerus (adaptasi) sehingga mutu pendidikan dapat meningkat secara konsisten.
Di sisi lain, SPMI berpotensi menjadi beban administratif, bila fokus utama institusi hanya pada “pemenuhan regulasi” belaka.
Perguruan tinggi yang terlalu berorientasi pada kepatuhan dokumentasi dan akreditasi berisiko terjebak dalam rutinitas formalitas tanpa perubahan nyata. Hal ini dapat mengurangi substansi kebijakan sebagai alat transformasi mutu dan justru “mempersulit inovasi” dalam proses Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Agar kebijakan SPMI tidak menjadi sekadar formalitas belaka, perguruan tinggi harus “berkomitmen total” memanfaatkan evaluasi dan umpan balik dalam siklus PPEPP. Dengan feedback yang relevan, perguruan tinggi dapat memastikan setiap upaya perbaikan menghasilkan dampak nyata terhadap mutu pendidikan. Melalui pemantauan, AMI dan perbaikan berkelanjutan, SPMI diharapkan menjadi alat strategis untuk membangun mutu dalam kompetisi global.
Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?
Melalui teori sistem politik Easton, SPMI dapat dipahami sebagai proses dinamis yang melibatkan interaksi antara tuntutan (demands), dukungan (supports), kebijakan (policies), dan umpan balik (feedback). Tuntutan dan dukungan dari pemangku kepentingan—seperti pemerintah, dunia industri, dosen, dan mahasiswa—menjadi “input penting” yang harus diperhatikan-dikelola perguruan tinggi dalam menjalankan kebijakan mutu.
Institusi harus aktif dalam mengolah input dan umpan balik untuk memastikan kebijakan SPMI berjalan efektif dan efisien. Evaluasi rutin (periodik) dalam siklus PPEPP memberikan kesempatan untuk menyesuaikan kebijakan berdasarkan hasil evaluasi, sehingga setiap siklus PPEPP membawa peningkatan mutu yang kongkrit. Apabila umpan balik tidak di-manage dengan baik, SPMI berisiko jalan di tempat, hanya menjadi formalitas administratif tanpa dampak substansial.
Melalui siklus PPEPP yang responsif-adaptif terhadap perubahan, SPMI dapat menjadi instrumen penting dalam membangun pendidikan tinggi yang bermutu.
Dengan pengelolaan yang tepat, kebijakan SPMI berpotensi menciptakan perbaikan berkelanjutan (kaizen) dan memungkinkan institusi mencapai transformasi mutu yang diharapkan. Stay relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi