
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Pada beberapa perguruan tinggi, masih terdapat persepsi yang keliru bahwa Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah tanggung jawab eksklusif unit penjaminan mutu (nama lain: lembaga / pusat penjaminan mutu).
Akibatnya, banyak dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa menganggapnya sebagai sekadar urusan administratif yang terpisah dari aktivitas akademik dan non akademik sehari-hari. Jika pemahaman ini terus berlanjut, SPMI hanya akan menjadi rutinitas dokumentasi yang hadir tanpa makna, tanpa memberikan dampak nyata terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Lebih dari sekadar memenuhi standar atau akreditasi, SPMI adalah “komitmen bersama” untuk membangun budaya mutu yang berkelanjutan, komitmen untuk bersinergi, komitmen untuk saling memperkuat. Keberhasilannya bergantung pada motivasi dan komunikasi internal yang kuat, yang menyatukan seluruh elemen dalam ekosistem perguruan tinggi. Dari pimpinan hingga mahasiswa, dari rektor hingga tenaga kebersihan dan keamanan, setiap sivitas akademika memegang peran penting dalam memastikan bahwa standar mutu tidak hanya diterapkan, tetapi juga menjadi bagian dari praktik akademik dan operasional sehari-hari (non akademik). Ketika seluruh SDM terlibat secara aktif, SPMI bukan lagi sekadar prosedur formalitas semata, melainkan cerminan dari dedikasi institusi dalam menciptakan pendidikan yang unggul dan berdaya saing.
Baca juga: Standar SPMI Harus Diperbarui, Kapan Waktu yang Tepat?
Jika implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) hanya dibebankan pada unit penjaminan mutu, berbagai risiko dapat muncul, salah satunya adalah minimnya pemahaman dan kepatuhan dari unit kerja lain, terhadap standar SPMI yang telah ditetapkan.
Misalnya, jika dosen tidak sepenuhnya memahami standar pembelajaran yang diharapkan, kualitas pengajaran akan menjadi tidak konsisten dan bervariasi. Dampaknya, pengalaman belajar mahasiswa pun tidak optimal, yang pada akhirnya berpengaruh pada daya saing lulusan di dunia kerja. Demikian pula, jika dosen kurang memahami standar kurikulum, penyusunan kurikulum berisiko tidak sesuai dengan panduan yang telah ditetapkan, yang berpotensi menghambat pencapaian tujuan akademik perguruan tinggi.
Lebih dari itu, tanpa keterlibatan aktif seluruh sivitas akademika, SPMI kerap hanya menjadi formalitas administratif yang hanya untuk memenuhi persyaratan regulasi belaka. SPMI baru mendapat perhatian disaat-saat tertentu saja, saat menghadapi evaluasi eksternal atau proses akreditasi. Kampus yang tidak memiliki budaya mutu yang kuat akan mengalami kesulitan dalam menjaga dan meningkatkan standar akademik secara berkelanjutan. Jika kondisi ini terus berlanjut, perguruan tinggi tidak hanya akan kesulitan mencapai standar mutu yang diharapkan, namun berisiko kehilangan reputasi dan kepercayaan dari mahasiswa, orang tua, serta mitra industri. Oleh karena itu, keterlibatan menyeluruh dari semua elemen kampus menjadi kunci dalam memastikan SPMI benar-benar menjadi alat transformasi mutu pendidikan, bukan sekadar formalitas persyaratan regulasi atau untuk akreditasi.
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Dosen tidak hanya berperan sebagai staf pengajar, namun juga memiliki tanggung jawab strategis dalam memastikan standar mutu akademik diterapkan secara optimal. Setiap metode pengajaran, kurikulum, dan interaksi dengan mahasiswa merupakan bagian dari upaya berkelanjutan dalam meningkatkan mutu pendidikan. Dengan “memahami, mencintai dan menerapkan” standar Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), dosen dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih kondusif, sesuai dengan standar nasional maupun internasional. Namun, kurangnya sosialisasi mengenai standar ini masih menjadi kendala, menyebabkan banyak dosen belum sepenuhnya memahami dan menginternalisasi asas / prinsip-prinsip SPMI dalam praktik akademik dan non akademik.
Di sisi lain, tenaga kependidikan memainkan peran yang “tidak kalah penting” dalam menjaga mutu layanan akademik dan non akademik. Administrasi yang efisien, pelayanan mahasiswa yang responsif, serta sistem informasi yang transparan adalah elemen kunci dalam menunjang keberhasilan SPMI. Tanpa dukungan penuh dari tenaga kependidikan, sistem SPMI yang telah dirancang dengan baik tidak akan berjalan optimal, dan pengalaman belajar mahasiswa dapat terganggu. Lebih dari itu, yang paling penting, efektivitas layanan akademik dan non akademik juga bergantung pada kepemimpinan perguruan tinggi. Jika pimpinan tidak memberikan teladan serta contoh yang baik dalam mengedepankan budaya mutu, maka standar yang telah ditetapkan berisiko tidak diimplementasikan secara optimal di seluruh lini institusi.
Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat
Mahasiswa sering kali dipandang hanya sebagai penerima manfaat dari sistem mutu, padahal mereka memiliki peran krusial dalam keberhasilan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Keterlibatan aktif mahasiswa dalam evaluasi pembelajaran, kepuasan akademik, serta berbagai kegiatan organisasi kampus dapat menjadi “sumber umpan balik yang berharga” (feedback) bagi pengembangan mutu pendidikan. Suara mahasiswa bukan sekadar refleksi pengalaman belajar mereka, tetapi juga menjadi cerminan kualitas institusi yang harus terus diperbaiki dan ditingkatkan.
Lebih dari itu, mahasiswa yang memiliki kesadaran terhadap pentingnya mutu pendidikan akan lebih proaktif dalam belajar, terlibat dalam diskusi akademik yang konstruktif, serta turut mendorong kampus untuk senantiasa meningkatkan standar layanan dan proses pembelajaran. Kesadaran ini bukan hanya membentuk lulusan yang unggul secara akademik, tetapi juga melahirkan individu yang memiliki jiwa inovasi, kepekaan terhadap kualitas, serta soft skills untuk menghadapi tantangan di dunia profesional.
Namun, mampukah para dosen menanamkan kesadaran ini di kalangan mahasiswa? Selain membangun partisipasi dalam program mutu, dosen juga memiliki tanggung jawab untuk membimbing mahasiswa dalam menanamkan akhlak, soft skills, dan budi pekerti yang baik. Pendidikan bukan hanya soal pencapaian akademik, tetapi juga tentang pembentukan karakter dan etika yang akan menjadi fondasi bagi generasi penerus bangsa. Oleh karena itu, sinergi antara pembelajaran akademik dan pendidikan karakter harus menjadi bagian dari strategi peningkatan mutu di perguruan tinggi.
Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?
Untuk memastikan keterlibatan penuh seluruh civitas akademika dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), perguruan tinggi perlu mengambil langkah-langkah konkret yang terarah dan berkelanjutan.
Salah satu faktor kunci dalam keberhasilan implementasi SPMI adalah komunikasi internal yang efektif, sehingga setiap unit memahami perannya dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan. Sosialisasi dan pelatihan terkait SPMI harus dilakukan secara berkala guna menghindari kesenjangan pemahaman antarunit. Selain itu, penggunaan media visual seperti poster, banner, serta kampanye budaya mutu di berbagai sudut kampus dapat menjadi sarana efektif untuk menanamkan kesadaran bahwa “Quality is Everyone’s Responsibility”—mutu adalah tanggung jawab bersama.
Lebih dari sekadar sosialisasi, perguruan tinggi juga perlu menerapkan mekanisme umpan balik dan perbaikan berkelanjutan. Evaluasi yang dilakukan tidak boleh sekadar formalitas administratif, tetapi harus menjadi dasar bagi pengambilan keputusan strategis dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dan layanan akademik. Penguatan sistem evaluasi dapat dilakukan melalui monitoring terpadu, Audit Mutu Internal (AMI), serta program tinjauan manajemen (management reviews) yang memastikan seluruh standar dan kebijakan mutu diimplementasikan secara konsisten dan terus mengalami peningkatan. Dengan pendekatan ini, budaya mutu tidak hanya tertulis dalam dokumen kebijakan, tetapi benar-benar “terinternalisasi” menjadi bagian dari keseharian seluruh elemen kampus, mencerminkan komitmen perguruan tinggi dalam mencetak lulusan yang unggul dan berdaya saing tinggi.
Baca juga: Lima Prinsip SPMI: Fondasi Kokoh Menuju Keunggulan Institusi
Keberhasilan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) tidak bisa dicapai hanya oleh satu unit, melainkan membutuhkan kolaborasi aktif seluruh civitas akademika.
Dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa, hingga pimpinan kampus harus memiliki “quality awareness”, kesadaran bahwa mutu bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan tanggung jawab bersama dalam menciptakan lingkungan akademik dan non-akademik yang unggul dan berkelanjutan.
Ketika setiap elemen kampus bergerak selaras dalam menjaga dan meningkatkan mutu, perguruan tinggi tidak hanya akan memiliki sistem SPMI yang kokoh, tetapi juga mampu membangun ekosistem akademik yang berkualitas, kompetitif, dan relevan dengan dinamika zaman. Budaya mutu yang tertanam dengan baik akan memastikan bahwa standar akademik tidak hanya dipenuhi, tetapi juga terus berkembang demi menghasilkan lulusan yang siap bersaing di tingkat global.
Namun, siapa yang paling bertanggung jawab untuk mengubah persepsi keliru bahwa SPMI hanyalah urusan satu unit? Jawabannya ada pada pimpinan! Dengan otoritas dan pengaruh yang dimilikinya, pimpinan perguruan tinggi memiliki kekuatan untuk menata ulang sistem, memperkuat komunikasi internal, serta mendorong keterlibatan seluruh elemen kampus dalam membangun budaya mutu. Kini, pertanyaannya adalah: Apakah para pemimpin perguruan tinggi siap mengambil peran ini? Stay Relevant!
Baca juga: Inovasi atau Mati: Integrasi PPEPP dengan Strategic Quality Management
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi