• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

SPMI Berkualitas? Mulai dari 10 Pilar TQM Edward Sallis!

Budaya Mutu, SPMI dan Sikap Kerja

SPMI Berkualitas? Mulai dari 10 Pilar TQM Edward Sallis!

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Di tengah arus perubahan dan tuntutan akuntabilitas publik yang semakin kuat, mutu pendidikan menjadi topik yang tidak lagi bisa dianggap pelengkap. Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) hadir sebagai jantung dari manajemen mutu di satuan pendidikan, mulai dari sekolah hingga perguruan tinggi. Namun, masih banyak institusi yang memandang SPMI sekadar sebagai dokumen formal atau kewajiban administratif. Padahal, di baliknya terdapat kekuatan untuk mengubah budaya kerja dan hasil pendidikan secara menyeluruh.

Edward Sallis, melalui bukunya Total Quality Management in Education, menawarkan 10 pilar penting yang dapat menjadi inspirasi dalam membangun budaya mutu sejati. Ketika prinsip-prinsip Sallis dipadukan dengan kerangka kerja SPMI yang berbasis siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan), maka lahirlah sinergi kuat antara nilai-nilai universal manajemen mutu dan kerangka regulatif nasional. Siklus PPEPP merupakan bentuk regulasi untuk manajemen mutu perguruan tinggi.

Baca juga: Antara Ideal dan Realitas: Apa Isi Kebijakan SPMI Kampusmu?

1. Visi Mutu: Dimulai dari Komitmen Moral dan Profesional

Sallis menekankan pentingnya komitmen moral dan profesional sebagai alasan utama menjalankan manajemen mutu.

Komitmen ini perlu menjadi pondasi dalam siklus Penetapan (P) dalam PPEPP (regulasi untuk perguruan tinggi). Visi mutu yang dilandasi moral dan profesionalitas akan menciptakan standar yang tidak sekadar tinggi, tetapi juga relevan dan bermakna bagi peserta didik dan masyarakat.

2. Siswa / Mahasiswa Bukan Objek, Tapi Subjek Mutu

Sallis memperkenalkan gagasan penting: pelanggan pendidikan adalah siswa / mahasiswa dan semua pihak yang berkepentingan. Konsep ini merevolusi cara pandang kita terhadap peserta didik—dari yang semula dianggap “hasil produksi” menjadi aktor utama dalam proses peningkatan mutu.

Dalam tahap Pelaksanaan (P) SPMI, institusi harus mendengarkan suara siswa / mahasiswa dan menjadikannya bahan dalam merancang kurikulum, layanan, hingga tata kelola.

Baca juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik

GKM dan Motivasi Kerja
Tidak ada transformasi budaya tanpa kepemimpinan yang kuat

3. Kepemimpinan Mutu: Dari Gagasan ke Teladan

Mereka tidak hanya memimpin dari belakang meja, tetapi juga hadir di lapangan, menyapa siswa / mahasiswa, dan mendengar aspirasi guru / dosen.

Dalam konteks Evaluasi (E) PPEPP, kepemimpinan memiliki peran penting dalam menganalisis capaian, monitoring serta mendampingi tim mutu, dan menjadikan data sebagai dasar pengambilan keputusan. Kepemimpinan dalam mutu bukan tentang kontrol, tapi tentang penggerak perubahan.

4. Tim sebagai Penggerak Mutu: Bangun Kolaborasi!

Tahapan Pengendalian (P) dalam PPEPP membutuhkan kerja tim yang solid. Mereka harus bisa mengidentifikasi akar masalah, merancang solusi, dan mengontrol pelaksanaan standar mutu secara terintegrasi. Di sinilah sinergi antar individu diuji—apakah institusi mampu bergerak sebagai satu tubuh? Melakukan integrasi dan sinergi yang solid.

Baca juga: 7 Fakta Menarik Tentang IKU yang Perlu Kamu Tahu Sebagai Mahasiswa

5. Mutu adalah Proses, Bukan Hasil Akhir

Pilar Sallis yang lain adalah pentingnya membangun budaya belajar—baik bagi siswa / mahasiswa maupun tenaga pendidik. Mutu bukanlah tujuan yang dicapai lalu selesai; ia adalah proses belajar terus-menerus yang melekat dalam keseharian.

Pada tahap Peningkatan (P) dalam PPEPP, semangat belajar ini menjadi roh dari seluruh proses. Evaluasi tidak berhenti pada angka, tapi menjadi bahan refleksi kolektif. Institusi yang belajar adalah institusi yang meningkat dan berkembang.

6. Manfaatkan TQM Tools sebagai Instrumen PPEPP

Dalam SPMI, alat-alat ini bisa digunakan untuk mengevaluasi indikator mutu, merancang rencana perbaikan, dan mendokumentasikan proses PPEPP secara lebih terstruktur dan partisipatif. Mutu bukan hanya ide, tapi praktik nyata yang bisa dilihat dan diukur.

Baca juga: SPMI dan Ironi Lulusan Menganggur: Mutu di Atas Kertas, Bukan di Lapangan?

7. Fokus pada Nilai Tambah

Sallis menekankan pentingnya pengukuran mutu yang berorientasi pada value-added—seberapa besar institusi memberi dampak positif bagi siswa / mahasiswa dibanding saat mereka masuk. Ini mendorong kita tidak hanya terpaku pada hasil akhir (output), tetapi juga pada proses transformasi.

SPMI modern tidak cukup hanya dengan mengejar standar, tapi juga harus mengukur seberapa jauh kita telah memperbaiki kualitas pembelajaran dan layanan.

8. Benchmarking: Belajar dari yang Terbaik

Sallis menyarankan agar lembaga pendidikan aktif membandingkan diri dengan yang terbaik.

Dalam konteks PPEPP, benchmarking relevan dalam Penetapan dan Peningkatan. Kita bisa merumuskan standar yang lebih baik berdasarkan praktik unggul dari institusi lain. Pendidikan adalah ruang kolaborasi, bukan kompetisi kaku.

9. Penilaian Diri: Evaluasi Adalah Cermin

Dalam SPMI, penilaian diri adalah ujung tombak tahap Evaluasi dan Pengendalian. Bukan untuk mencari kesalahan, tapi untuk menemukan ruang perbaikan. Dari cermin inilah semangat perbaikan lahir.

10. Strategi Mutu Jangka Panjang

Mutu yang berkelanjutan tidak bisa lahir dari pendekatan reaktif. Ia butuh visi, misi, dan rencana operasional yang solid.

SPMI mendorong setiap institusi menyusun Quality Policy (Kebijakan SPMI) dan Quality Plan (Penetapan Standar) yang selaras dengan siklus PPEPP. Dengan peta jalan ini, mutu bukan hanya prioritas sesaat, tetapi perjalanan jangka panjang menuju keunggulan.

Baca juga: Gamifikasi SPMI: Mungkinkah Diterapkan di Perguruan Tinggi?

Penutup: Mari Bergerak

Implementasi SPMI bukan sekadar menjawab permintaan regulasi, melainkan komitmen terhadap keberlangsungan dan keberdayaan institusi pendidikan. Integrasi 10 prinsip Edward Sallis menjadi pintu masuk membangun budaya mutu yang hidup, bukan sekadar tertulis.


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. Kemdikbudristek. (2023). Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 210/M/2023 tentang Indikator Kinerja Utama Perguruan Tinggi dan LLDIKTI. Jakarta: Kemdikbudristek.
  4. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  5. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  6. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  7. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  8. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

admin

MOTTO: Senantiasa bergerak dan berempati untuk menebar manfaat bagi Mutu Pendidikan di Indonesia

    ×

    Layanan Informasi

    × Hubungi Kami