
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Di tengah arus perubahan dan tuntutan akuntabilitas publik yang semakin kuat, mutu pendidikan menjadi topik yang tidak lagi bisa dianggap pelengkap. Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) hadir sebagai jantung dari manajemen mutu di satuan pendidikan, mulai dari sekolah hingga perguruan tinggi. Namun, masih banyak institusi yang memandang SPMI sekadar sebagai dokumen formal atau kewajiban administratif. Padahal, di baliknya terdapat kekuatan untuk mengubah budaya kerja dan hasil pendidikan secara menyeluruh.
Edward Sallis, melalui bukunya Total Quality Management in Education, menawarkan 10 pilar penting yang dapat menjadi inspirasi dalam membangun budaya mutu sejati. Ketika prinsip-prinsip Sallis dipadukan dengan kerangka kerja SPMI yang berbasis siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan), maka lahirlah sinergi kuat antara nilai-nilai universal manajemen mutu dan kerangka regulatif nasional. Siklus PPEPP merupakan bentuk regulasi untuk manajemen mutu perguruan tinggi.
Artikel ini akan mengajak Anda menyelami 10 pilar Sallis yang bisa diintegrasikan ke dalam transformasi budaya mutu SPMI secara nyata.
Baca juga: Antara Ideal dan Realitas: Apa Isi Kebijakan SPMI Kampusmu?
Sallis menekankan pentingnya komitmen moral dan profesional sebagai alasan utama menjalankan manajemen mutu.
Dalam konteks SPMI, komitmen ini bukan hanya soal memenuhi akreditasi, tapi tentang keyakinan bahwa setiap siswa atau mahasiswa berhak mendapat pendidikan terbaik yang bisa diberikan institusi.
Komitmen ini perlu menjadi pondasi dalam siklus Penetapan (P) dalam PPEPP (regulasi untuk perguruan tinggi). Visi mutu yang dilandasi moral dan profesionalitas akan menciptakan standar yang tidak sekadar tinggi, tetapi juga relevan dan bermakna bagi peserta didik dan masyarakat.
Sallis memperkenalkan gagasan penting: pelanggan pendidikan adalah siswa / mahasiswa dan semua pihak yang berkepentingan. Konsep ini merevolusi cara pandang kita terhadap peserta didik—dari yang semula dianggap “hasil produksi” menjadi aktor utama dalam proses peningkatan mutu.
Dalam tahap Pelaksanaan (P) SPMI, institusi harus mendengarkan suara siswa / mahasiswa dan menjadikannya bahan dalam merancang kurikulum, layanan, hingga tata kelola.
Menempatkan siswa / mahasiswa sebagai pelanggan utama berarti memperhatikan kebutuhan mereka secara menyeluruh, bukan hanya mengejar nilai akademik.
Baca juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik
Tidak ada transformasi budaya tanpa kepemimpinan yang kuat. Menurut Sallis, pemimpin lembaga pendidikan harus menjadi role model dalam membangun semangat mutu.
Mereka tidak hanya memimpin dari belakang meja, tetapi juga hadir di lapangan, menyapa siswa / mahasiswa, dan mendengar aspirasi guru / dosen.
Dalam konteks Evaluasi (E) PPEPP, kepemimpinan memiliki peran penting dalam menganalisis capaian, monitoring serta mendampingi tim mutu, dan menjadikan data sebagai dasar pengambilan keputusan. Kepemimpinan dalam mutu bukan tentang kontrol, tapi tentang penggerak perubahan.
Sallis meyakini bahwa tim yang kuat adalah fondasi manajemen mutu yang berkelanjutan. Tim kerja lintas bidang, baik akademik maupun administratif, menjadi wadah inovasi dan pemecahan masalah bersama.
Tahapan Pengendalian (P) dalam PPEPP membutuhkan kerja tim yang solid. Mereka harus bisa mengidentifikasi akar masalah, merancang solusi, dan mengontrol pelaksanaan standar mutu secara terintegrasi. Di sinilah sinergi antar individu diuji—apakah institusi mampu bergerak sebagai satu tubuh? Melakukan integrasi dan sinergi yang solid.
Baca juga: 7 Fakta Menarik Tentang IKU yang Perlu Kamu Tahu Sebagai Mahasiswa
Pilar Sallis yang lain adalah pentingnya membangun budaya belajar—baik bagi siswa / mahasiswa maupun tenaga pendidik. Mutu bukanlah tujuan yang dicapai lalu selesai; ia adalah proses belajar terus-menerus yang melekat dalam keseharian.
Pada tahap Peningkatan (P) dalam PPEPP, semangat belajar ini menjadi roh dari seluruh proses. Evaluasi tidak berhenti pada angka, tapi menjadi bahan refleksi kolektif. Institusi yang belajar adalah institusi yang meningkat dan berkembang.
Sallis memperkenalkan berbagai alat sederhana namun efektif dalam menerapkan TQM: brainstorming, fishbone diagram, flowchart, hingga Pareto analysis. Alat-alat ini tidak hanya cocok dalam industri, tetapi sangat relevan dalam mengelola mutu pendidikan.
Dalam SPMI, alat-alat ini bisa digunakan untuk mengevaluasi indikator mutu, merancang rencana perbaikan, dan mendokumentasikan proses PPEPP secara lebih terstruktur dan partisipatif. Mutu bukan hanya ide, tapi praktik nyata yang bisa dilihat dan diukur.
Baca juga: SPMI dan Ironi Lulusan Menganggur: Mutu di Atas Kertas, Bukan di Lapangan?
Sallis menekankan pentingnya pengukuran mutu yang berorientasi pada value-added—seberapa besar institusi memberi dampak positif bagi siswa / mahasiswa dibanding saat mereka masuk. Ini mendorong kita tidak hanya terpaku pada hasil akhir (output), tetapi juga pada proses transformasi.
SPMI modern tidak cukup hanya dengan mengejar standar, tapi juga harus mengukur seberapa jauh kita telah memperbaiki kualitas pembelajaran dan layanan.
PPEPP menjadi alat refleksi untuk menjawab pertanyaan: “Apakah kita sudah memberi nilai tambah nyata?”
Belajar dari institusi lain bukan berarti rendah diri. Benchmarking adalah cara cerdas untuk mempercepat kemajuan mutu tanpa harus mengulang kesalahan yang sama.
Sallis menyarankan agar lembaga pendidikan aktif membandingkan diri dengan yang terbaik.
Dalam konteks PPEPP, benchmarking relevan dalam Penetapan dan Peningkatan. Kita bisa merumuskan standar yang lebih baik berdasarkan praktik unggul dari institusi lain. Pendidikan adalah ruang kolaborasi, bukan kompetisi kaku.
Salah satu kontribusi besar Sallis adalah menekankan pentingnya self-assessment. Institusi yang sehat adalah yang rutin bercermin—mengevaluasi diri tanpa takut terhadap kekurangan.
Dalam SPMI, penilaian diri adalah ujung tombak tahap Evaluasi dan Pengendalian. Bukan untuk mencari kesalahan, tapi untuk menemukan ruang perbaikan. Dari cermin inilah semangat perbaikan lahir.
Sallis menutup pilar-pilarnya dengan dorongan untuk menyusun strategi mutu jangka panjang.
Mutu yang berkelanjutan tidak bisa lahir dari pendekatan reaktif. Ia butuh visi, misi, dan rencana operasional yang solid.
SPMI mendorong setiap institusi menyusun Quality Policy (Kebijakan SPMI) dan Quality Plan (Penetapan Standar) yang selaras dengan siklus PPEPP. Dengan peta jalan ini, mutu bukan hanya prioritas sesaat, tetapi perjalanan jangka panjang menuju keunggulan.
Baca juga: Gamifikasi SPMI: Mungkinkah Diterapkan di Perguruan Tinggi?
Implementasi SPMI bukan sekadar menjawab permintaan regulasi, melainkan komitmen terhadap keberlangsungan dan keberdayaan institusi pendidikan. Integrasi 10 prinsip Edward Sallis menjadi pintu masuk membangun budaya mutu yang hidup, bukan sekadar tertulis.
Mari kita gerakkan PPEPP bukan sebagai kewajiban administratif, tetapi sebagai siklus belajar institusional yang menghidupkan semangat pelayanan terbaik untuk siswa / mahasiswa dan masyarakat. Karena di era sekarang, mutu bukan lagi pilihan—ia adalah keniscayaan. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi