• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Peran Dosen yang Berkembang: Mengajar, Membimbing, dan Menginspirasi

SPMI dan Standar Proses Pembelajaran

Peran Dosen yang Berkembang: Mengajar, Membimbing, dan Menginspirasi

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Perubahan zaman tak hanya membawa teknologi baru, tapi juga menantang ulang cara kita memahami peran seorang dosen dalam dunia pendidikan tinggi.

Mahasiswa memiliki akses ke ribuan jurnal, video ilmiah, dan platform belajar daring. Maka, pertanyaannya: apakah dosen masih relevan? Jawabannya bukan hanya iya, tapi mereka justru kunci dari transformasi pendidikan yang lebih bermakna.

Psikologi pembelajaran menegaskan pentingnya peran guru sebagai fasilitator, bukan sekadar informator. Teori konstruktivisme, misalnya, menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif yang membangun sendiri pengetahuannya. Dalam konteks ini, dosen dituntut menjadi pendamping intelektual, pembimbing proses berpikir kritis, dan perancang pengalaman belajar yang kaya makna. Dengan kata lain, dosen harus bertransformasi dari “pengajar” menjadi “arsitek pembelajaran”.

Baca juga: Evaluasi Dosen: Membangun Budaya Reflektif dalam Pendidikan dan Pengajaran

Self-Determination Theory (Deci & Ryan) menekankan pentingnya otonomi, keterhubungan, dan kompetensi dalam membangun motivasi intrinsik

Dari Papan Tulis ke Peran Strategis

Perubahan tidak dimulai dari teknologi, melainkan dari paradigma. Dosen yang masih terpaku pada pendekatan ceramah satu arah mulai tertinggal dari kebutuhan zaman. Mahasiswa hari ini membutuhkan ruang dialog, kolaborasi, dan refleksi.

Peran dosen pun berubah menjadi fasilitator proses berpikir, bukan penentu jawaban.

Perubahan peran ini juga menuntut kompetensi pedagogis yang kuat. Mengajar tidak lagi cukup bermodal penguasaan materi, tetapi juga kemampuan membangun relasi edukatif, merancang asesmen otentik, dan mengintegrasikan teknologi secara efektif. Teori motivasi belajar seperti Self-Determination Theory (Deci & Ryan) menekankan pentingnya otonomi, keterhubungan, dan kompetensi dalam membangun motivasi intrinsik. Dosen abad 21 perlu memahami itu, agar proses belajar benar-benar hidup dan bermakna. Tiga Elemen Kunci dalam SDT (Self-Determination Theory):

  1. Autonomy (Otonomi)
    Merasa memiliki kendali atas pilihan dan tindakan sendiri. Dalam konteks belajar, mahasiswa akan lebih termotivasi jika merasa bahwa mereka belajar karena kemauan sendiri, bukan karena paksaan.
  2. Competence (Kompetensi)
    Merasa mampu dan efektif dalam melakukan tugas. Ketika mahasiswa merasakan kemajuan dan keberhasilan, motivasi intrinsik mereka meningkat.
  3. Relatedness (Keterhubungan)
    Merasa terhubung secara sosial dengan orang lain, seperti dosen, teman, atau komunitas belajar. Lingkungan sosial yang suportif memperkuat motivasi dan keterlibatan dalam belajar.

Baca juga: Ketika Dosen dan Staf Gagal Paham SPMI, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Menjadi Mitra Belajar Mahasiswa

Mahasiswa masa kini datang dengan karakteristik yang berbeda. Mereka adalah digital native, terbiasa belajar dari berbagai sumber dan lebih tertarik pada konteks nyata ketimbang hafalan teoritis.

Hubungan dosen-mahasiswa menjadi lebih dialogis dan setara, meskipun tetap dengan tanggung jawab akademik yang tegas.

Dalam relasi seperti ini, peran dosen meluas: bukan hanya mengajar, tetapi juga membimbing penelitian, memfasilitasi proyek sosial, bahkan membantu mahasiswa merancang jalur karier. Proses pembelajaran pun tidak lagi eksklusif dalam ruang kelas. Kolaborasi lintas kampus, magang industri, atau proyek berbasis komunitas menjadi bagian dari desain pembelajaran. Semua ini membutuhkan kehadiran dosen yang transformatif, yang mampu menjembatani dunia akademik dan dunia nyata.

Baca juga: Rahasia Kampus Unggul: Mereka Punya Standar Lulusan yang Jelas

SPMI dan Reposisi Peran Dosen

Dalam regulasi terbaru, Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, SPMI menjadi instrumen wajib bagi setiap perguruan tinggi untuk memastikan bahwa seluruh proses pendidikan—including transformasi peran dosen—berjalan sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan dan ditingkatkan secara berkelanjutan.

Melalui SPMI, dosen tidak hanya menjalankan tugas ajar, tetapi juga terlibat dalam proses evaluasi dan peningkatan mutu secara sistematis. Ini berarti ada ruang untuk refleksi: apakah metode yang digunakan efektif? Apakah mahasiswa benar-benar belajar? Bagaimana hasil belajar diukur dan digunakan untuk perbaikan? Dengan pendekatan ini, kualitas pembelajaran tidak hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi bagian dari budaya institusional.

Baca juga: Mengapa Standar Pengelolaan Harus Merata Hingga ke Prodi

PDCA dan PPEPP 2
PPEPP: Dosen tidak perlu langsung menjadi sempurna, tetapi dituntut untuk selalu lebih baik dari kemarin.

PPEPP dan Semangat Kaizen di Kelas

Salah satu kekuatan utama SPMI adalah kerangka PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan. Dalam konteks peran dosen, PPEPP menjadi alat untuk menilai dan memperbaiki praktik mengajar secara berkelanjutan. Ini selaras dengan semangat kaizen, yakni filosofi Jepang tentang perbaikan terus-menerus yang dilakukan langkah demi langkah.

Misalnya, setelah pelaksanaan perkuliahan, dosen dapat melakukan evaluasi berbasis umpan balik mahasiswa, hasil asesmen, atau refleksi pribadi. Hasil evaluasi itu kemudian menjadi dasar untuk mengendalikan dan memperbaiki pendekatan di pertemuan berikutnya. Ini bukan hanya memenuhi regulasi, tetapi menjadi praktik reflektif yang memperkuat kompetensi pedagogis dan kepedulian terhadap pengalaman belajar mahasiswa.

Baca juga: Kunci Mutu Prodi: Saatnya SDM Pengelola Naik Level!

Penutup

Reposisi peran dosen bukan agenda temporer, melainkan keharusan struktural untuk menjawab tantangan zaman.

Dengan dukungan sistem mutu seperti SPMI dan alat evaluasi seperti PPEPP, dosen memiliki fondasi dan arah untuk bertumbuh secara profesional. Karena sejatinya, pendidikan bermutu dimulai dari pembelajaran yang bermakna—dan pembelajaran bermakna dimulai dari dosen yang berdaya dan berjiwa belajar. Stay Relevant!


Referensi

  1. Bruner, J. S. (1960). The process of education. Cambridge, MA: Harvard University Press.
  2. Dewey, J. (1938). Experience and education. New York, NY: Macmillan.
  3. Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2000). The “what” and “why” of goal pursuits: Human needs and the self-determination of behavior. Psychological Inquiry
  4. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  5. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  6. Kim, W. C., & Mauborgne, R. (2005). Blue ocean strategy: How to create uncontested market space and make the competition irrelevant. Harvard Business School Press.
  7. OpenAI. (2025). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  8. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  9. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2024). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  10. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  11. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

admin

MOTTO: Senantiasa bergerak dan berempati untuk menebar manfaat bagi Mutu Pendidikan di Indonesia

    ×

    Layanan Informasi

    × Hubungi Kami