
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Perubahan zaman tak hanya membawa teknologi baru, tapi juga menantang ulang cara kita memahami peran seorang dosen dalam dunia pendidikan tinggi.
Dahulu, dosen adalah sumber utama pengetahuan, satu-satunya yang memegang otoritas akademik di kelas. Namun, di era digital dan informasi terbuka seperti sekarang, peran itu tak lagi cukup.
Mahasiswa memiliki akses ke ribuan jurnal, video ilmiah, dan platform belajar daring. Maka, pertanyaannya: apakah dosen masih relevan? Jawabannya bukan hanya iya, tapi mereka justru kunci dari transformasi pendidikan yang lebih bermakna.
Psikologi pembelajaran menegaskan pentingnya peran guru sebagai fasilitator, bukan sekadar informator. Teori konstruktivisme, misalnya, menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif yang membangun sendiri pengetahuannya. Dalam konteks ini, dosen dituntut menjadi pendamping intelektual, pembimbing proses berpikir kritis, dan perancang pengalaman belajar yang kaya makna. Dengan kata lain, dosen harus bertransformasi dari “pengajar” menjadi “arsitek pembelajaran”.
Baca juga: Evaluasi Dosen: Membangun Budaya Reflektif dalam Pendidikan dan Pengajaran
Perubahan tidak dimulai dari teknologi, melainkan dari paradigma. Dosen yang masih terpaku pada pendekatan ceramah satu arah mulai tertinggal dari kebutuhan zaman. Mahasiswa hari ini membutuhkan ruang dialog, kolaborasi, dan refleksi.
Mahasiswa tidak sekadar ingin “diberi tahu”, tetapi ingin diajak mengeksplorasi, mempertanyakan, bahkan menantang konsep-konsep yang diajarkan.
Peran dosen pun berubah menjadi fasilitator proses berpikir, bukan penentu jawaban.
Perubahan peran ini juga menuntut kompetensi pedagogis yang kuat. Mengajar tidak lagi cukup bermodal penguasaan materi, tetapi juga kemampuan membangun relasi edukatif, merancang asesmen otentik, dan mengintegrasikan teknologi secara efektif. Teori motivasi belajar seperti Self-Determination Theory (Deci & Ryan) menekankan pentingnya otonomi, keterhubungan, dan kompetensi dalam membangun motivasi intrinsik. Dosen abad 21 perlu memahami itu, agar proses belajar benar-benar hidup dan bermakna. Tiga Elemen Kunci dalam SDT (Self-Determination Theory):
Baca juga: Ketika Dosen dan Staf Gagal Paham SPMI, Siapa yang Bertanggung Jawab?
Mahasiswa masa kini datang dengan karakteristik yang berbeda. Mereka adalah digital native, terbiasa belajar dari berbagai sumber dan lebih tertarik pada konteks nyata ketimbang hafalan teoritis.
Maka, dosen tidak lagi berdiri di menara gading. Mereka harus turun menjadi mitra belajar yang terbuka, pendidik, adaptif, dan mampu mengelola dinamika kelas yang lebih cair.
Hubungan dosen-mahasiswa menjadi lebih dialogis dan setara, meskipun tetap dengan tanggung jawab akademik yang tegas.
Dalam relasi seperti ini, peran dosen meluas: bukan hanya mengajar, tetapi juga membimbing penelitian, memfasilitasi proyek sosial, bahkan membantu mahasiswa merancang jalur karier. Proses pembelajaran pun tidak lagi eksklusif dalam ruang kelas. Kolaborasi lintas kampus, magang industri, atau proyek berbasis komunitas menjadi bagian dari desain pembelajaran. Semua ini membutuhkan kehadiran dosen yang transformatif, yang mampu menjembatani dunia akademik dan dunia nyata.
Baca juga: Rahasia Kampus Unggul: Mereka Punya Standar Lulusan yang Jelas
Reposisi peran dosen tentu tidak bisa berjalan sendiri. Ia membutuhkan sistem yang mendukung, salah satunya adalah Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI).
Dalam regulasi terbaru, Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, SPMI menjadi instrumen wajib bagi setiap perguruan tinggi untuk memastikan bahwa seluruh proses pendidikan—including transformasi peran dosen—berjalan sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan dan ditingkatkan secara berkelanjutan.
Melalui SPMI, dosen tidak hanya menjalankan tugas ajar, tetapi juga terlibat dalam proses evaluasi dan peningkatan mutu secara sistematis. Ini berarti ada ruang untuk refleksi: apakah metode yang digunakan efektif? Apakah mahasiswa benar-benar belajar? Bagaimana hasil belajar diukur dan digunakan untuk perbaikan? Dengan pendekatan ini, kualitas pembelajaran tidak hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi bagian dari budaya institusional.
Baca juga: Mengapa Standar Pengelolaan Harus Merata Hingga ke Prodi
Salah satu kekuatan utama SPMI adalah kerangka PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan. Dalam konteks peran dosen, PPEPP menjadi alat untuk menilai dan memperbaiki praktik mengajar secara berkelanjutan. Ini selaras dengan semangat kaizen, yakni filosofi Jepang tentang perbaikan terus-menerus yang dilakukan langkah demi langkah.
Dosen tidak perlu langsung menjadi sempurna, tetapi dituntut untuk selalu lebih baik dari kemarin.
Misalnya, setelah pelaksanaan perkuliahan, dosen dapat melakukan evaluasi berbasis umpan balik mahasiswa, hasil asesmen, atau refleksi pribadi. Hasil evaluasi itu kemudian menjadi dasar untuk mengendalikan dan memperbaiki pendekatan di pertemuan berikutnya. Ini bukan hanya memenuhi regulasi, tetapi menjadi praktik reflektif yang memperkuat kompetensi pedagogis dan kepedulian terhadap pengalaman belajar mahasiswa.
Baca juga: Kunci Mutu Prodi: Saatnya SDM Pengelola Naik Level!
Era pendidikan tinggi abad 21 menuntut lebih dari sekadar perubahan kurikulum atau teknologi. Ia menuntut perubahan cara pandang: bahwa dosen bukan sekadar pengajar, tetapi pembelajar, pendidik, inovator, dan pemimpin transformasi akademik.
Reposisi peran dosen bukan agenda temporer, melainkan keharusan struktural untuk menjawab tantangan zaman.
Dengan dukungan sistem mutu seperti SPMI dan alat evaluasi seperti PPEPP, dosen memiliki fondasi dan arah untuk bertumbuh secara profesional. Karena sejatinya, pendidikan bermutu dimulai dari pembelajaran yang bermakna—dan pembelajaran bermakna dimulai dari dosen yang berdaya dan berjiwa belajar. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi