
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Disclaimer:
“Tulisan ini disusun dalam dua semangat berbeda: pertama, sebagai inspirasi teknis bagi rekan-rekan kampus yang harus tetap menjalankan regulasi; lihat blog Inspirasi SPMI, kedua, sebagai masukan kritis apabila ruang revisi kebijakan masih terbuka. Kritik bukan berarti menolak mutu, tapi menuntut sistem yang lebih sehat.”
Ketika berbicara tentang mutu pendidikan tinggi, kita sering kali terburu-buru mencari format, instrumen, atau sistem yang bisa langsung diadopsi. Namun, jika kita melihat ke kampus-kampus terbaik di dunia seperti Harvard, MIT, Oxford, dan NUS, yang tampak justru bukan keseragaman bentuk, melainkan keluwesan sistem. Mereka tidak menjadikan mutu sebagai soal kepatuhan administratif, tetapi sebagai bagian dari budaya berpikir, berdiskusi, dan terus bertumbuh.
Di tengah arus regulasi mutu yang masih terasa teknis dan rinci, melakukan benchmarking digital ke kampus-kampus besar dunia membuka mata bahwa penjaminan mutu tidak selalu harus kaku.
Justru, semakin tinggi reputasi sebuah institusi, semakin longgar sistemnya terlihat di permukaan. Tapi jangan salah, kelonggaran itu bukan kelemahan, melainkan cermin dari kedewasaan manajerial dan kuatnya budaya akademik yang menopang sistem tersebut dari dalam.
Universitas seperti NUS di Singapura, sejak menjadi universitas otonom pada tahun 2006, mengembangkan sistem mutu internal yang kontekstual. Mereka mengikuti kerangka nasional QAFU, tetapi diberi keleluasaan penuh untuk menentukan bagaimana standar, proses evaluasi, dan tindak lanjutnya dilakukan (MOE Singapore, 2006). Siklus PDCA digunakan sebagai filosofi umum manajemen mutu, namun tidak diwajibkan dalam bentuk format yang kaku.
MIT dan Harvard, misalnya, menjalankan akreditasi melalui badan regional NECHE, namun tetap bebas membangun sistem mutu internal.
Fokus utama mereka bukan pada dokumentasi administratif, melainkan pada refleksi institusional melalui umpan balik mahasiswa, diskusi akademik, dan evaluasi lintas unit. Seperti yang dikemukakan Deming (1986), mutu sejati adalah hasil dari pembelajaran terus-menerus, bukan kepatuhan sesaat terhadap indikator atau target jangka pendek.
Oxford University memiliki sistem penjaminan mutu yang kuat tetapi tidak seragam. Setiap fakultas memiliki otonomi dalam menyusun proses refleksi dan pengendalian mutu sesuai dengan kebutuhan keilmuannya masing-masing.
Prinsip dasar yang dianut adalah transparansi, kolaborasi, dan kemampuan untuk menyesuaikan sistem dengan perubahan konteks akademik dan sosial (QAA UK, 2022).
Di Harvard, sistem QA dikembangkan secara desentralistik, dengan unit-unit seperti Harvard Business School atau School of Public Health membentuk kerangka mutu internal mereka sendiri. Masing-masing menjalankan siklus evaluasi dan peningkatan mutu yang tidak dibatasi oleh template formal. Ini sejalan dengan pendekatan total quality yang menekankan kualitas sebagai bagian dari budaya kerja, bukan sebagai aktivitas yang berdiri sendiri (Goetsch & Davis, 2014).
Salah satu ciri khas sistem mutu di kampus top dunia adalah adanya kepemilikan bersama. Mutu bukan hanya menjadi tugas unit penjaminan mutu, tetapi menjadi komitmen kolektif seluruh sivitas akademika.
Mahasiswa dilibatkan dalam penyusunan kebijakan akademik, dosen menjadi aktor utama dalam evaluasi dan pengembangan, dan pimpinan memfasilitasi proses refleksi ini secara strategis (Yukl, 2010; Goetsch & Davis, 2014).
Dalam kerangka manajemen, pendekatan ini merupakan integrasi antara POLC (fungsi manajemen: Planning, Organizing, Leading, Controlling) dan PDCA (siklus Plan, Do, Check, Act). Griffin (2022) menyebut bahwa perencanaan strategis dan siklus pengendalian adalah dua sisi dari koin yang sama—yang satu membentuk struktur, yang lain menghidupkannya.
Apa yang kita pelajari dari kampus-kampus dunia adalah bahwa mutu tumbuh dari partisipasi dan refleksi, bukan dari kepatuhan administratif semata. Dalam konteks Indonesia, Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 masih membawa semangat pengaturan yang sangat teknis.
Kewajiban penggunaan format PPEPP dan perangkat mutu yang seragam dikhawatirkan berisiko mengkerdilkan otonomi kampus dan menggeser fokus mutu dari budaya menjadi borang.
Menurut Denhardt & Denhardt (2007), dalam administrasi publik modern, peran pemerintah bukan lagi sebagai pengatur (steering), tetapi sebagai fasilitator (serving, not steering). Prinsip ini seharusnya menjadi pijakan dalam merancang regulasi mutu pendidikan tinggi. Pemerintah perlu memberi kerangka umum dan indikator dasar, namun membiarkan institusi menentukan jalannya sendiri. Ketika otonomi tumbuh, akuntabilitas justru menguat dari dalam.
Sebagai masukan terhadap Permen 53/2023, pendekatan yang lebih fleksibel dan kontekstual sangat dibutuhkan. Sistem mutu internal seharusnya memungkinkan variasi metodologi, istilah, dan instrumen, asalkan memenuhi prinsip evaluasi dan peningkatan berkelanjutan. Negara tidak perlu mengatur cara berpikir kampus, cukup menetapkan hasil yang ingin dicapai dan membuka ruang dialog.
Belajar dari kampus dunia tidak berarti menyalin. Yang kita petik adalah semangatnya: membangun mutu yang tumbuh dari refleksi dan keterlibatan, bukan dari pemenuhan administratif semata. Mutu yang luwes justru lebih kuat, karena ia terhubung dengan kenyataan di dalam institusi, bukan hanya ekspektasi dari luar.
Kita tidak harus menjadi Oxford, Harvard atau MIT. Tapi kita bisa menanamkan prinsip yang sama: bahwa mutu sejati tumbuh dari rasa memiliki, dari refleksi yang jujur, dan dari kepercayaan bahwa setiap kampus tahu cara terbaik untuk berkembang.
Benchmarking bukanlah tentang meniru angka, tetapi memahami napas dari sistem yang hidup dan berkembang dalam ritme mereka sendiri – dengan irama mutu yang tumbuh dari dalam. Stay Relevant!
Kategori: Administrasi Publik, Benchmarking, Internasional
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi