
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Mission differentiation bukan sekadar jargon strategi, melainkan pondasi penting agar perguruan tinggi tidak terjebak dalam kompetisi seragam yang memaksa semua kampus berlomba menjadi “world class university” tanpa mempertimbangkan kekhasan dan potensi lokalnya. Dalam era VUCA dan BANI yang penuh ketidakpastian, justru kekhasan dan otentisitas inilah yang menjadi nilai jual utama kampus.
Kampus yang mampu mengenali siapa dirinya dan siapa yang ia layani, berpeluang lebih besar untuk tumbuh berkelanjutan.
Pedoman Implementasi SPMI 2024 menyatakan bahwa sistem penjaminan mutu tidak dapat diberlakukan secara seragam, tetapi harus dikembangkan sesuai misi perguruan tinggi. Oleh karena itu, rumusan misi yang jelas, berbeda, dan relevan menjadi titik awal dari semua proses peningkatan mutu.
Tidak hanya sebagai tagline, mission differentiation perlu dirancang melalui pendekatan sistemik—yang bisa dijalankan, diukur, dan dijaga melalui siklus PPEPP (penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian dan peningkatan standar).
Baca juga: Mission Differentiation: Rahasia Kampus Kecil Bisa Unggul di Tengah Kompetisi Nasional
Langkah pertama dalam merumuskan mission differentiation adalah menggali DNA institusi. Ini mencakup sejarah berdirinya, nilai-nilai yang dianut, potensi unggulan yang dimiliki, serta kebutuhan masyarakat sekitar. Jangan buru-buru meniru universitas ternama; justru keunggulan Anda bisa tersembunyi dalam kekhasan yang selama ini dianggap biasa.
Menurut pendekatan TQM (Total Quality Management) dari Edward Sallis, pendidikan berkualitas berasal dari pemahaman terhadap pelanggan—dalam hal ini mahasiswa, masyarakat, dan pengguna lulusan.
Maka misi yang baik, lahir dari refleksi jujur terhadap kekuatan internal dan kebutuhan eksternal yang nyata.
Baca juga: SPMI dan Ironi Lulusan Menganggur: Mutu di Atas Kertas, Bukan di Lapangan?
Konsep marketing modern menawarkan alat penting untuk mission differentiation: STP (Segmentation, Targeting, Positioning). Kampus harus memahami siapa segmen utamanya—apakah anak muda dari daerah industri, komunitas pesantren, wirausaha pemula, atau pekerja profesional yang ingin kuliah malam?
Setelah segmen ditentukan, langkah berikutnya adalah memilih target spesifik. Di sinilah kampus perlu realistis dan fokus: tidak semua orang harus dilayani.
Target yang jelas akan memandu strategi akademik, pemilihan dosen, hingga promosi kampus. Kampus kecil bisa besar di hati masyarakat jika tahu untuk siapa ia hadir.
Baca juga: Mutu adalah Kepemimpinan, Bukan Sekadar Administrasi
Misi bukan sekadar kalimat indah. Dalam konteks SPMI, misi harus bisa diturunkan menjadi indikator dan standar mutu. Oleh karena itu, rumusan misi sebaiknya singkat, tajam, dan menyentuh aspek diferensial kampus Anda.
Hindari istilah generik seperti “unggul” atau “berdaya saing global” jika tidak dibarengi arah spesifik.
Dalam PPEPP, misi menjadi bagian dari tahap Penetapan. Misi yang kuat akan memandu seluruh penetapan standar dan dokumen turunan lainnya, seperti RIP, Renstra, dan SPMI. Bahkan, menurut Pedoman Implementasi SPMI 2024, misi harus menjadi referensi utama dalam penyusunan dan evaluasi standar mutu pendidikan tinggi.
Baca juga: GKM di Kampus: Antara Idealitas Mutu dan Realitas Kinerja
Langkah 4: Integrasikan SPMI
Setelah misi ditetapkan, langkah berikutnya adalah menjadikan misi sebagai “roh” dari sistem mutu SPMI (Sistem Penjaminan Mutu Internal).
Di sinilah peran PPEPP sangat krusial. Semua standar dikembangkan dan dieksekusi dengan mempertimbangkan misi kampus. Evaluasi, pengendalian, dan peningkatan mutu pun harus menjawab satu pertanyaan kunci: “Apakah ini mendekatkan kita ke misi?”
Pedoman SPMI 2024 menekankan bahwa standar tidak boleh dilepaskan dari konteks institusi. Kampus vokasi tentu punya indikator mutu yang berbeda dengan kampus riset. Maka, diferensiasi misi bukan hanya branding, tapi juga memengaruhi sistem mutu dan arah pengembangan institusi.
Baca juga: SPMI dan Dunia Kerja: Sudahkah Kampus Dengarkan Industri?
Mission differentiation tidak akan berdampak bila hanya disimpan dalam dokumen. Ia harus dikomunikasikan secara konsisten ke publik—baik melalui situs web, media sosial, maupun dalam narasi akademik sehari-hari.
Inilah positioning sejati: bagaimana kampus ingin diingat dan diakui oleh masyarakat.
Dalam konteks manajemen PPEPP, komunikasi misi adalah bagian dari Pelaksanaan Standar. Masyarakat yang memahami keunikan kampus akan lebih mudah percaya, dan mitra akan lebih tertarik bekerja sama. Bahkan dalam akreditasi, kejelasan misi akan memperkuat kesan bahwa kampus punya arah yang otentik dan realistis.
Baca juga: SPMI Tanpa Teknologi Digital? Bersiaplah Hadapi Kegagalan!
Menjadi otentik tidak berarti menjadi eksklusif. Justru dengan membangun diferensiasi misi yang kuat, kampus akan lebih inklusif—mampu melayani segmen yang tepat dengan cara yang paling relevan.
Di era disrupsi, kekhasan bukan kelemahan. Justru itu kekuatan.
Dengan mengikuti 5 (lima) langkah ini dan menjadikannya bagian dari sistem PPEPP dan SPMI, kampus tidak hanya berbeda, tetapi luar biasa (extraordinary). Seperti yang dikatakan dalam prinsip Blue Ocean Strategy, “The only way to beat the competition is to stop trying to beat the competition.” Maka berhentilah meniru. Mulailah menjadi dirimu sendiri—secara strategis, terukur, dan bermutu. Stay Relevant!
Baca juga: Paradoks Mutu: Saat SPMI Tak Bicara Soal Dunia Kerja
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi