
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Penjaminan mutu di perguruan tinggi sering kali dianggap sebagai tugas eksklusif Lembaga Penjaminan Mutu (LPM), seolah-olah hanya unit ini yang bertanggung jawab terhadap mutu akademik dan administrasi. Hal ini menjadi kesalahan mendasar dalam banyak institusi pendidikan tinggi.
Akibatnya, fakultas, dosen, dan bahkan manajemen puncak cenderung melihat mutu sebagai urusan LPM, bukan sebagai bagian integral dari strategi institusional yang lebih luas.
Menurut Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) 2024, mutu adalah “tanggung jawab kolektif” seluruh civitas akademika, bukan hanya LPM. Edward Deming mengatakan “Quality is everyone’s responsibility“, jika perguruan tinggi ingin mencapai standar pendidikan yang tinggi, maka keterlibatan aktif dari rektor, dekan, kepala program studi, dosen, dan tenaga kependidikan sangat diperlukan. Tanpa komitmen ini, LPM hanya akan menjadi unit administratif belaka, yang sibuk mengurus dokumen administrasi tanpa pengaruh nyata terhadap peningkatan mutu.
ISO 9001:2008 sebelumnya mewajibkan adanya Management Representative (MR) sebagai individu yang bertanggung jawab atas sistem manajemen mutu dalam organisasi. Namun, pada ISO 9001:2015, persyaratan ini dihapus dengan alasan bahwa tanggung jawab mutu tidak boleh hanya berada pada satu orang atau unit tertentu. Sebaliknya, manajemen puncak harus mengambil peran yang lebih aktif dalam memastikan keberhasilan sistem mutu.
Dalam konteks perguruan tinggi, konsep ini sangat relevan. Jika LPM dianggap sebagai “MR” yang bertanggung jawab sepenuhnya atas mutu, maka akan terjadi isolasi sistem penjaminan mutu.
Manajemen puncak mungkin menganggap mutu sebagai tugas administratif belaka, padahal kualitas pendidikan adalah faktor strategis yang membutuhkan kepemimpinan aktif.
Oleh karena itu, seperti dalam ISO 9001:2015, perguruan tinggi harus memastikan bahwa mutu menjadi bagian dari strategi kelembagaan, bukan hanya kewajiban formal yang diurus oleh satu unit.
Jika manajemen puncak tidak terlibat dalam sistem penjaminan mutu, maka beberapa konsekuensi negatif akan terjadi. Pertama, budaya mutu tidak akan terbentuk secara menyeluruh. Dosen dan tenaga kependidikan mungkin tidak memahami pentingnya mutu dan melihatnya sebagai beban tambahan daripada sebagai bagian dari proses akademik yang terintegrasi.
Kedua, sistem mutu yang ada menjadi sekadar pemenuhan dokumen untuk keperluan akreditasi tanpa adanya perubahan nyata dalam mutu pengajaran dan penelitian. Hal ini mirip dengan organisasi yang menerapkan ISO 9001 hanya untuk mendapatkan sertifikasi, tetapi tidak benar-benar menjalankan prinsip perbaikan berkelanjutan.
Dalam jangka panjang, perguruan tinggi akan mengalami stagnasi dan kehilangan daya saing karena kurangnya komitmen terhadap mutu yang berorientasi pada peningkatan nyata.
Agar sistem mutu perguruan tinggi tidak terjebak dalam birokrasi, manajemen puncak harus mengambil peran aktif dalam beberapa aspek utama:
Permendikbudristek No 53 tahun 2023 Pasal 69 Ayat (1)b : “Perguruan Tinggi dalam mengimplementasikan SPMI mempunyai tugas “mengintegrasikan” implementasi SPMI pada manajemen perguruan tinggi”
Dengan menerapkan reformasi ini, perguruan tinggi dapat mengadopsi pendekatan Continuous Quality Improvement (CQI) yang lebih efektif, seperti yang ditekankan dalam ISO 9001:2015. Dengan demikian, mutu menjadi budaya yang hidup dalam institusi, bukan hanya sekadar formalitas administratif.
Kesalahan klasik dalam banyak perguruan tinggi adalah menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab mutu kepada LPM, tanpa keterlibatan aktif dari top management. Belajar dari perubahan ISO 9001:2015, tanggung jawab mutu harus didistribusikan ke seluruh bagian organisasi agar sistem mutu tidak terisolasi dan kehilangan efektivitasnya.
Jika perguruan tinggi ingin benar-benar meningkatkan mutu pendidikan, maka kepemimpinan harus mengambil peran lebih aktif dalam membangun budaya mutu.
LPM tetap memiliki fungsi penting, tetapi bukan sebagai satu-satunya pihak yang mengurus mutu. Sebaliknya, mutu harus menjadi bagian dari strategi institusi yang dikelola bersama, dari tingkat tertinggi hingga operasional harian di kelas dan laboratorium. Hanya dengan pendekatan ini, sistem penjaminan mutu dapat berjalan secara efektif dan berkelanjutan. Stay Relevant
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi