• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Kesalahan Klasik: Mutu Diserahkan ke LPM Tanpa Keterlibatan Manajemen Puncak

SPMI dan Kemalasan Sosial

Kesalahan Klasik: Mutu Diserahkan ke LPM Tanpa Keterlibatan Manajemen Puncak

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Penjaminan mutu di perguruan tinggi sering kali dianggap sebagai tugas eksklusif Lembaga Penjaminan Mutu (LPM), seolah-olah hanya unit ini yang bertanggung jawab terhadap mutu akademik dan administrasi. Hal ini menjadi kesalahan mendasar dalam banyak institusi pendidikan tinggi.

Menurut Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) 2024, mutu adalah “tanggung jawab kolektif” seluruh civitas akademika, bukan hanya LPM. Edward Deming mengatakan “Quality is everyone’s responsibility“, jika perguruan tinggi ingin mencapai standar pendidikan yang tinggi, maka keterlibatan aktif dari rektor, dekan, kepala program studi, dosen, dan tenaga kependidikan sangat diperlukan. Tanpa komitmen ini, LPM hanya akan menjadi unit administratif belaka, yang sibuk mengurus dokumen administrasi tanpa pengaruh nyata terhadap peningkatan mutu.

Belajar dari ISO 9001

ISO 9001:2008 sebelumnya mewajibkan adanya Management Representative (MR) sebagai individu yang bertanggung jawab atas sistem manajemen mutu dalam organisasi. Namun, pada ISO 9001:2015, persyaratan ini dihapus dengan alasan bahwa tanggung jawab mutu tidak boleh hanya berada pada satu orang atau unit tertentu. Sebaliknya, manajemen puncak harus mengambil peran yang lebih aktif dalam memastikan keberhasilan sistem mutu.

Dalam konteks perguruan tinggi, konsep ini sangat relevan. Jika LPM dianggap sebagai “MR” yang bertanggung jawab sepenuhnya atas mutu, maka akan terjadi isolasi sistem penjaminan mutu.

Oleh karena itu, seperti dalam ISO 9001:2015, perguruan tinggi harus memastikan bahwa mutu menjadi bagian dari strategi kelembagaan, bukan hanya kewajiban formal yang diurus oleh satu unit.

Ketika Manajemen Puncak Tidak Terlibat

Jika manajemen puncak tidak terlibat dalam sistem penjaminan mutu, maka beberapa konsekuensi negatif akan terjadi. Pertama, budaya mutu tidak akan terbentuk secara menyeluruh. Dosen dan tenaga kependidikan mungkin tidak memahami pentingnya mutu dan melihatnya sebagai beban tambahan daripada sebagai bagian dari proses akademik yang terintegrasi.

Kedua, sistem mutu yang ada menjadi sekadar pemenuhan dokumen untuk keperluan akreditasi tanpa adanya perubahan nyata dalam mutu pengajaran dan penelitian. Hal ini mirip dengan organisasi yang menerapkan ISO 9001 hanya untuk mendapatkan sertifikasi, tetapi tidak benar-benar menjalankan prinsip perbaikan berkelanjutan.

Reformasi Sistem Mutu

Agar sistem mutu perguruan tinggi tidak terjebak dalam birokrasi, manajemen puncak harus mengambil peran aktif dalam beberapa aspek utama:

  1. Kepemimpinan yang Berorientasi pada Mutu – Rektor dan dekan harus menjadikan mutu sebagai bagian dari visi dan strategi perguruan tinggi, bukan sekadar tanggung jawab LPM.
  2. Integrasi Mutu ke dalam Pengambilan Keputusan – Setiap kebijakan akademik dan administratif harus mempertimbangkan aspek mutu dan bukan hanya sekadar target angka dalam akreditasi.
  3. Keterlibatan Seluruh Civitas Akademika – Mutu tidak bisa hanya menjadi urusan unit tertentu; dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan harus menjadi bagian dari sistem mutu yang berkelanjutan.

Dengan menerapkan reformasi ini, perguruan tinggi dapat mengadopsi pendekatan Continuous Quality Improvement (CQI) yang lebih efektif, seperti yang ditekankan dalam ISO 9001:2015. Dengan demikian, mutu menjadi budaya yang hidup dalam institusi, bukan hanya sekadar formalitas administratif.

Poin Penting: Mutu adalah Kepemimpinan

Kesalahan klasik dalam banyak perguruan tinggi adalah menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab mutu kepada LPM, tanpa keterlibatan aktif dari top management. Belajar dari perubahan ISO 9001:2015, tanggung jawab mutu harus didistribusikan ke seluruh bagian organisasi agar sistem mutu tidak terisolasi dan kehilangan efektivitasnya.

LPM tetap memiliki fungsi penting, tetapi bukan sebagai satu-satunya pihak yang mengurus mutu. Sebaliknya, mutu harus menjadi bagian dari strategi institusi yang dikelola bersama, dari tingkat tertinggi hingga operasional harian di kelas dan laboratorium. Hanya dengan pendekatan ini, sistem penjaminan mutu dapat berjalan secara efektif dan berkelanjutan. Stay Relevant


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

admin

MOTTO: Senantiasa bergerak dan berempati untuk menebar manfaat bagi Mutu Pendidikan di Indonesia

    ×

    Layanan Informasi

    × Hubungi Kami