بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Ketika Universitas X (fiktif) menghadapi penurunan peringkat akreditasi, akar permasalahan ternyata bukanlah absennya kebijakan atau kurangnya dokumen Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Setelah diselidiki lebih dalam, masalah utama justru terletak pada implementasi SPMI yang berjalan setengah hati, terfragmentasi, dan tidak menyentuh inti budaya mutu. Siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) yang telah dirancang hanya sekadar rutinitas administratif, tanpa jiwa dan makna substansial yang mampu menggerakkan perubahan. Di tengah kondisi suram ini, hadirnya Dr. Fulan (fiktif) sebagai rektor baru membawa secercah harapan, bak angin segar yang meniupkan semangat baru ke seluruh penjuru kampus. Semua bergembira.
Dr. Fulan, dengan pendekatan kepemimpinan transformasional, memahami bahwa tantangan ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan merevisi dokumen SPMI atau memperbaiki SOP, prosedur teknis semata. Lebih dari itu, ia melihat perlunya menghidupkan kembali “ruh” semangat kolektif komunitas akademik. Melalui program andalannya, “Kampus Unggul 2030”, ia membangun visi bersama yang menginspirasi, sebuah tujuan besar yang mengajak seluruh civitas akademika untuk bergerak bahu membahu dalam satu irama. Tidak berhenti di situ saja, Dr. Fulan turun langsung ke lapangan, berdialog dengan dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan. Dengan penuh semangat, ia menjelaskan pentingnya siklus PPEPP sebagai landasan transformasi, sekaligus memotivasi mereka untuk memandang budaya mutu bukan sebagai beban, namun sebagai bagian dari identitas kampus yang bermartabat.
Edward Sallis, dalam Total Quality Management in Education, menegaskan bahwa kepemimpinan sejati tidak hanya tentang merumuskan visi-misi saja namun juga mewujudkannya melalui aksi nyata. Kisah fiktif Universitas X menjadi ilustrasi bagaimana kepemimpinan transformasional mampu menghidupkan kembali ruh budaya mutu yang sempat pudar.
Melalui sinergi antara visi misi dan tindakan, Dr. Fulan berhasil menjadikan siklus PPEPP sebagai alat perubahan yang nyata, mendorong kampus untuk terus berinovasi dan bertransformasi menuju keunggulan berkelanjutan.
Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI
Tahap pertama dalam siklus PPEPP adalah penetapan standar, sebuah fase sangat penting yang merefleksikan visi dan misi institusi pendidikan tinggi. Lebih dari sekadar memenuhi Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti), standar ini sejatinya harus menjadi landasan untuk melampaui ekspektasi dan meraih keunggulan.
Namun, tidak semua anggota organisasi memiliki keyakinan penuh akan potensi mereka. Dalam situasi ini, hadirnya Dr. Fulan sebagai pemimpin transformasional mengubah pesimisme menjadi optimisme. Dengan caranya yang inspiratif, ia meyakinkan setiap individu bahwa mereka memiliki kekuatan dan potensi luar biasa untuk mendorong perubahan dan menciptakan prestasi gemilang.
Edward Sallis, dalam Total Quality Management in Education, menekankan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang mampu “mengkomunikasikan visi dengan penuh semangat dan keyakinan.”
Bagi Dr. Fulan, visi bukanlah sekadar sederet kata kata tanpa makna dalam dokumen, melainkan nyala api yang menggerakkan hati dan pikiran seluruh komunitas akademik. Dengan komunikasi yang membangkitkan inspirasi, ia menanamkan rasa kepemilikan yang mendalam di antara dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Visi yang kuat ini menyatukan gerak langkah, mengharmoniskan perbedaan (diversity), dan membentuk ekosistem pendidikan yang dinamis, kolaboratif, serta mampu beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah.
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Pelaksanaan standar menjadi tahap kedua dalam siklus PPEPP, di mana visi misi harus bertransformasi menjadi aksi nyata yang efektif. Di tahap ini, kepemimpinan transformasional memainkan peran sentral, berfokus pada pemberdayaan individu dan tim untuk menciptakan solusi inovatif.
Dr. Fulan, dengan semangat yang menular, menghidupkan filosofi kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas, dan kerja ikhlas sebagai prinsip utama yang membimbing seluruh komunitas akademik. Prinsip ini tidak hanya mendorong produktivitas, namun juga menumbuhkan keikhlasan dalam setiap langkah menuju perbaikan.
Sebagai seorang pemimpin transformasional, Dr. Fulan menjalankan peran sebagaimana yang digambarkan Edward Sallis: seorang fasilitator perubahan (change agent) yang menggerakkan institusi dengan strategi dan aksi nyata. Ia memastikan bahwa setiap anggota staf memiliki sumber daya yang memadai, lingkungan kerja yang mendukung, dan kebebasan dari hambatan birokrasi yang kerap menghambat inovasi. Dengan menciptakan atmosfer kolaborasi yang kondusif, ia memfasilitasi perguruan tinggi untuk melaksanakan praktik terbaik dalam pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Pendekatan ini, yang diterapkan secara efektif oleh Dr. Fulan, menjadikan setiap langkah perbaikan tidak hanya sebagai kewajiban, tetapi juga sebagai bagian dari perjalanan bermakna menuju keunggulan. Semua bahagia.
Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI
Tahap Evaluasi dan Pengendalian adalah urat nadi dari siklus PPEPP, memastikan bahwa implementasi SPMI tidak hanya berjalan sesuai rencana tetapi juga terus disempurnakan, harus bisa melampaui target yang telah ditetapkan.
Audit mutu internal, monev dan assessment, bukan sekadar ritual formalitas belaka, namun upaya berkelanjutan untuk menemukan celah perbaikan dan menetapkan langkah strategis. Dalam hal ini, kepemimpinan transformasional berperan sebagai motor penggerak utama yang mendorong evaluasi berbasis data dan dialog terbuka. Di bawah arahan Dr. Fulan, program audit mutu internal dikelola dengan cermat dan efektif. Para auditor didorong untuk menemukan temuan yang substansial, bukan sekadar administratif, sementara setiap rencana tindak lanjut dikawal dengan penuh dedikasi hingga benar-benar terlaksana.
Edward Sallis menegaskan bahwa keberhasilan evaluasi mutu bergantung pada adanya feedback loops yang berkelanjutan. Pemimpin transformasional harus memastikan keterlibatan aktif semua pemangku kepentingan—mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, hingga pengguna lulusan—dalam memberikan umpan balik yang konstruktif. Data dan masukan yang terkumpul menjadi informasi kuat bagi pengambilan keputusan yang lebih efektif. Dr. Fulan membuka berbagai saluran kritik dan saran, dari kotak saran fisik hingga formulir komplain daring, menjadikannya mudah diakses oleh semua pihak. Melalui cara-cara ini, evaluasi tidak hanya menjadi proses pengukuran belaka, namun juga bentuk wujud nyata dari komitmen untuk terus berkembang, berinovasi, dan mencapai keunggulan yang terus menerus (continuous improvement).
Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?
Budaya mutu bukanlah sesuatu yang dapat dicapai dalam semalam. McKinsey menggambarkannya sebagai “shared values”, yakni nilai-nilai yang dianut bersama dan tertanam dalam setiap aspek kehidupan institusi.
Kepemimpinan transformasional menjadi kunci untuk menanamkan nilai-nilai tersebut diatas ke dalam DNA perguruan tinggi. Lebih dari sekadar memberi instruksi, seorang pemimpin harus mampu menghadapi resistensi terhadap perubahan dengan cara-cara yang elegan, inklusif, dan kolaboratif. Pendekatan ini memastikan bahwa setiap karyawan merasa dihormati, didengarkan, dan dilibatkan dalam perjalanan transformasi menuju budaya mutu yang berkelanjutan.
Sallis mencatat bahwa kepemimpinan transformasional tidak hanya menginspirasi visi besar tetapi juga memberdayakan individu untuk mewujudkannya. Pemimpin sejati menciptakan lingkungan yang mendorong kreativitas, inovasi, dan keberanian untuk mencoba hal-hal baru tanpa takut gagal. Hal ini diwujudkan oleh Dr. Fulan dengan memperkenalkan berbagai metode pengambilan keputusan yang kreatif dan partisipatif, seperti mind mapping, design thinking, dan teknik lainnya yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Melalui pendekatan ini, Dr. Fulan berhasil membangun ekosistem akademik yang dinamis, di mana setiap ide memiliki tempat untuk tumbuh dan setiap kontribusi dihargai sebagai bagian dari upaya kolektif menuju peningkatan mutu secara terus menerus (kaizen).
Baca juga: Penguatan SPMI dengan 10 Peran Manajer ala Mintzberg
Kepemimpinan transformasional adalah salah satu pendekatan strategis yang menghubungkan visi dan misi besar dengan aksi nyata dalam implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI).
Dengan merujuk pada prinsip-prinsip yang diuraikan oleh Edward Sallis dalam Total Quality Management in Education, perguruan tinggi harus dapat menjadikan siklus PPEPP sebagai proses yang berkelanjutan. Siklus ini tidak sekadar prosedur, melainkan sebagai landasan kokoh yang mendorong inovasi, kolaborasi, dan peningkatan mutu pendidikan tinggi yang berorientasi pada keunggulan dan keberlanjutan.
Kini, saatnya para pemimpin pendidikan tinggi melangkah dengan penuh keyakinan, memimpin dengan visi yang jelas, dan menggerakkan aksi kolektif yang bermakna. Kepemimpinan yang inspiratif dan inklusif akan membangkitkan semangat seluruh elemen komunitas akademik untuk bekerja bersama demi masa depan yang lebih baik. Pendidikan tinggi Indonesia, dengan semangat kepemimpinan transformasional, memiliki potensi untuk menjadi pilar utama dalam pembangunan sumber daya manusia yang unggul, kompetitif, dan berdaya saing global.
Sejalan dengan itu, kita dapat mengambil hikmah dari firman Allah dalam Surah Ar-Ra’d ayat 11: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” Ayat ini mengajarkan bahwa perubahan sejati harus dimulai dari dalam, baik oleh individu maupun sebuah institusi. Pemimpin transformasional adalah mereka yang mampu menanamkan kesadaran ini, mendorong setiap elemen dalam perguruan tinggi untuk mengambil tanggung jawab dalam proses perbaikan. Dengan tekad yang kuat dan niat yang tulus, perubahan menuju budaya mutu yang berkelanjutan bukanlah sekadar impian kosong, namun sebuah kenyataan yang bisa diwujudkan bersama. Kita harus yakin. Stay Relevant!
Baca juga: Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku: Pilar Utama Budaya Mutu SPMI
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Perguruan tinggi di Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan mutu akademik dan non-akademik. Proses akreditasi oleh BAN-PT atau LAM, yang menjadi tolok ukur mutu perguruan tinggi, menuntut persiapan yang matang dan menyeluruh. Namun, sering kali, kendala muncul meski sumber daya yang tersedia memadai. Salah satu hambatan utama adalah lemahnya koordinasi dan “komunikasi internal,” yang berdampak pada rendahnya pemahaman staf dan dosen terhadap kebijakan serta standar SPMI yang telah ditetapkan. Akibatnya, implementasi sistem penjaminan mutu internal (SPMI) menjadi kurang efektif, menggambarkan bagaimana komunikasi internal dapat menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan SPMI di perguruan tinggi.
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan framework dalam menjaga dan meningkatkan mutu secara berkelanjutan (kaizen) di dunia pendidikan tinggi. Sebagai realisasi dari Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 53 Tahun 2023, SPMI mengintegrasikan siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar (PPEPP). Siklus ini bukan sekadar kerangka kerja, melainkan fondasi strategis yang memastikan perguruan tinggi mampu memenuhi, bahkan melampaui, standar nasional yang telah ditetapkan. Implementasi SPMI menjadi wujud nyata dari komitmen perguruan tinggi terhadap mutu pendidikan tinggi di Indonesia.
Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI
Namun, keberhasilan SPMI tidak dapat dilepaskan dari peran komunikasi internal yang strategis, efektif, dan terstruktur. Komunikasi internal tidak hanya menjadi alat untuk menyampaikan informasi, tetapi juga jembatan yang menyelaraskan visi, meningkatkan partisipasi, dan memastikan setiap elemen organisasi memahami serta menginternalisasi standar SPMI.
Tanpa komunikasi internal yang kuat, SPMI akan kehilangan daya dorongnya. Oleh karena itu, perguruan tinggi harus menjadikan komunikasi internal sebagai prioritas utama, agar sistem penjaminan mutu tidak hanya menjadi sekadar dokumen, tetapi juga budaya yang hidup di seluruh jenjang organisasi.
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dalam pendidikan tinggi memiliki tujuan strategis untuk mengoptimalkan pelaksanaan Tridharma melalui standar pendidikan tinggi yang tidak hanya memenuhi, tetapi juga melampaui Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN-Dikti). Namun, tantangan kerap muncul dalam implementasinya.
Banyak perguruan tinggi di Indonesia menghadapi kesulitan dalam menyelaraskan elemen-elemen organisasi yang terlibat dalam SPMI. Hambatan seperti lemahnya koordinasi, disparitas pemahaman, dan minimnya keterlibatan pemangku kepentingan menjadi kendala yang signifikan.
Oleh sebab itu, diperlukan transformasi fundamental yang mampu menyelaraskan tujuan ideal SPMI dengan praktik operasional di lapangan secara konsisten dan berkelanjutan.
Transformasi tersebut dapat diwujudkan melalui komunikasi internal yang strategis dan terstruktur. Sebagai contoh, penerapan standar baru dalam proses pembelajaran sering kali menghadirkan potensi konflik dan kesalahpahaman di antara pimpinan, dosen, serta staf administrasi. Namun, dengan komunikasi internal yang dirancang dengan matang—melalui forum silaturahmi, pelatihan rutin, hingga pemanfaatan platform digital—pesan dapat tersampaikan dengan jelas, sehingga setiap elemen organisasi dapat terlibat secara optimal.
Komunikasi internal yang efektif tidak hanya menjembatani perbedaan, tetapi juga menjadi katalis dalam membangun budaya mutu yang tangguh di perguruan tinggi.
Dalam konteks Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), komunikasi internal adalah proses penyampaian dan pertukaran informasi, arahan, serta umpan balik yang terjadi di dalam perguruan tinggi untuk memastikan bahwa semua stakeholder, termasuk pimpinan, dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa, memahami dan terlibat aktif dalam implementasi standar mutu yang telah ditetapkan.
Komunikasi internal yang efektif adalah elemen fundamental dalam keberhasilan implementasi kebijakan di perguruan tinggi. Dalam buku Internal Communications: A Manual for Practitioners karya Liam FitzPatrick dan Klavs Valskov, dijelaskan bahwa komunikasi internal yang terencana dapat memperkuat budaya organisasi. Sebagai contoh, ketika perguruan tinggi memperkenalkan metode pembelajaran berbasis proyek, komunikasi yang strategis memastikan setiap pimpinan, dosen dan tenaga kependidikan memahami peran mereka, sehingga proses transisi berjalan lancar tanpa konflik atau miskomunikasi.
Perguruan tinggi dapat mengadopsi berbagai strategi komunikasi internal, mulai dari buletin rutin, media visual seperti poster, hingga diskusi interaktif melalui platform digital.
Keberhasilan perguruan tinggi dalam menjalankan SPMI kerap kali bergantung pada tim komunikasi internal yang kompeten, yang mampu menyusun pesan secara jelas, mendistribusikan informasi dengan efektif, dan mendengarkan masukan dari semua elemen organisasi. Pendekatan ini menciptakan kolaborasi yang produktif dan memperkuat rasa memiliki dalam setiap langkah menuju mutu pendidikan yang berkelanjutan.
Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?
Tahap Penetapan Standar (dalam PPEPP) memerlukan pendekatan komunikasi yang terarah dan terstruktur. Pada tahap ini, perguruan tinggi harus memastikan bahwa semua pemangku kepentingan internal memiliki pemahaman yang sama tentang target dan indikator keberhasilan yang ditetapkan. Sebagai ilustrasi, ketika sebuah perguruan tinggi memperkenalkan standar baru untuk kurikulum berbasis kompetensi, penting untuk mengadakan serangkaian pertemuan yang melibatkan dosen, mahasiswa, dan pemangku kepentingan eksternal. Diskusi ini tidak hanya menjelaskan manfaat kebijakan baru, tetapi juga memberikan panduan langkah-langkah implementasi. Dengan komunikasi yang efektif, resistensi (penolakan) terhadap perubahan dapat diminimalkan, sehingga transisi berjalan lebih lancar.
Tahap Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) adalah momen penting di mana komunikasi internal menjadi penggerak utama (tools) keberhasilan. Dalam perguruan tinggi yang memiliki berbagai unit kerja, risiko fragmentasi dalam implementasi sangat mungkin terjadi tanpa adanya komunikasi yang solid. Sebagai contoh, ketika standar baru untuk metode evaluasi mahasiswa diterapkan, komunikasi yang kurang jelas dapat memicu kebingungan di kalangan dosen. Namun, dengan adanya panduan yang sistematis dan pelatihan yang komprehensif, setiap unit dapat berkontribusi secara harmonis, memastikan bahwa tujuan bersama dapat tercapai dengan optimal.
Tahap Evaluasi Pemenuhan standar (dalam PPEPP) membutuhkan keterbukaan dan transparansi yang maksimal. Perguruan tinggi dapat menggunakan survei internal (melalui monev) sebagai alat untuk mengumpulkan umpan balik dari dosen dan mahasiswa mengenai implementasi standar yang telah berjalan. Sebagai contoh, ketika mengevaluasi efektivitas metode pembelajaran daring (Learning Management System/LMS), data yang diperoleh dari survei dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi kelemahan dan merancang perbaikan yang relevan. Sejalan dengan pandangan FitzPatrick, komunikasi yang jujur selama fase evaluasi menjadi kunci dalam menemukan tantangan dan peluang perbaikan yang berkelanjutan.
Tahap Pengendalian Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) menuntut komunikasi yang responsif dan intensif untuk memastikan setiap penyimpangan dapat segera diatasi. Ketika ditemukan pelanggaran terhadap standar penelitian, misalnya, tim pengelola mutu perlu segera mengadakan diskusi dengan pihak terkait untuk menemukan solusi yang tepat. Komunikasi internal yang responsif memungkinkan identifikasi masalah dilakukan secara cepat, sehingga penyelesaiannya tidak hanya efektif tetapi juga sesuai dengan kebutuhan spesifik perguruan tinggi.
Tahap Peningkatan Standar (dalam PPEPP) adalah fase yang berorientasi pada inovasi dan kolaborasi berkelanjutan. Pada tahap ini, komunikasi internal memainkan peran penting dalam menyebarluaskan informasi tentang praktik terbaik (best practice) yang telah berhasil diterapkan di satu unit untuk direplikasi oleh unit lain. Sebagai contoh, jika sebuah fakultas menemukan metode pembelajaran inovatif yang mampu meningkatkan keterlibatan mahasiswa, metode ini dapat dibagikan kepada fakultas lain melalui forum internal atau publikasi internal. FitzPatrick menegaskan bahwa komunikasi dua arah adalah motor penggerak dalam menciptakan inovasi dan berbagi kesuksesan, mendorong budaya mutu yang progresif di seluruh institusi.
Penguatan SPMI melalui siklus PPEPP memerlukan integrasi komunikasi internal yang efektif dan efisien di setiap tahapannya. Perguruan tinggi yang menghadapi tantangan, seperti meningkatkan peringkat akreditasi, dapat memanfaatkan komunikasi internal untuk membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya pencapaian mutu. Dengan melibatkan semua unit dalam diskusi rutin serta menyediakan informasi yang akurat melalui portal internal dan sistem manajemen pengetahuan (knowledge management), proses perubahan dapat dilaksanakan secara lebih terarah, efisien, dan inklusif.
Pandangan yang disampaikan dalam Internal Communications: A Manual for Practitioners menggarisbawahi bahwa keberhasilan komunikasi internal tidak hanya ditentukan oleh pilihan saluran (communication channels), namun juga oleh kualitas keterlibatan, kejelasan, dan konsistensi pesan yang disampaikan.
Dalam konteks SPMI, komunikasi internal yang dirancang secara strategis mampu menjadi katalisator dalam mendorong perguruan tinggi menuju pencapaian mutu yang unggul dan berkelanjutan, menciptakan budaya mutu yang kokoh dan progresif.
Oleh karena itu, perguruan tinggi harus memprioritaskan pengembangan sistem komunikasi internal yang terencana, adaptif, dan partisipatif. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip SPMI dan praktik komunikasi internal yang efektif, institusi pendidikan tinggi InsyaAllah dapat memenuhi standar nasional, dan juga memperluas daya saing mereka di tingkat nasional, regional maupun global. Komitmen terhadap komunikasi internal yang solid akan memastikan bahwa setiap langkah menuju mutu unggul menjadi bagian dari perjalanan kolektif seluruh elemen perguruan tinggi. Stay Relevant!
Dalam diam data, suara menyala,
Komunikasi internal merajut asa.
SPMI melangkah dengan teguh,
Menyemai mutu di setiap sudut yang utuh.
Baca juga: Penguatan SPMI dengan 10 Peran Manajer ala Mintzberg
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Bayangkan sebuah tim struktural di perguruan tinggi sedang mengerjakan tugas strategis untuk menyusun standar mutu SPMI. Dari luar, sepintas nampak anggota tim aktif berkontribusi. Namun, di balik rapat yang terlihat harmonis, ada anggota tim yang pasif, tidak memberikan kontribusi maksimal, ia berharap rekan-rekan lain akan menuntaskan sebagian besar pekerjaan. Fenomena seperti ini, dikenal dengan istilah kemalasan sosial (social loafing). Fenomena psikologi ini sering kali tidak terlihat di permukaan, namun dapat berdampak signifikan terhadap keberhasilan mutu pendidikan.
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah “tools” untuk menjamin dan meningkatkan mutu pendidikan secara terus-menerus (continuous improvement). Dengan mengoptimalkan siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar (PPEPP), perguruan tinggi diharapkan dapat membangun proses pendidikan yang memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan. Namun, potensi besar dari kerangka kerja PPEPP ini bisa terkikis jika tantangan dinamika kelompok seperti kemalasan sosial tidak bisa dikelola dengan baik.
Dalam buku psikologi berjudul Group Dynamics karya Donelson R. Forsyth diulas tentang fenomena kemalasan sosial (social loafing).
Kemalasan sosial dijelaskan sebagai kecenderungan seseorang untuk mengurangi usaha mereka dalam kelompok dibandingkan ketika bekerja sendiri.
Fenomena ini sering muncul karena tanggung jawab dalam kelompok dibagi secara tidak jelas, sehingga individu merasa kontribusinya tidak penting atau tidak teridentifikasi. Dalam konteks SPMI, jika fenomena ini tidak diantisipasi, kemalasan sosial dapat menjadi ancaman besar bagi keberhasilan SPMI. Perguruan tinggi harus menyadari dan mengelola dinamika ini agar sistem mutu berjalan efektif dan efisien.
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
Tahap penetapan standar SPMI (dalam PPEPP) adalah langkah krusial yang menentukan arah mutu pendidikan di perguruan tinggi. Namun, seperti yang disampaikan Forsyth, kemalasan sosial cenderung muncul ketika tanggung jawab yang diperlukan tidak dibagi dengan jelas. Jika standar mutu dirancang tanpa pembagian tugas yang spesifik, beberapa anggota tim mungkin mengambil sikap pasif (kemalasan sosial).
Untuk mengantisipasi persoalan ini, institusi harus memastikan bahwa setiap anggota tim memiliki peran (role) yang jelas dan target pekerjaan masing-masing harus dapat diukur dengan baik (measurable).
Baca juga: Teori 2 Faktor: Memadukan SPMI dengan Motivasi Intrinsik
Tahap pelaksanaan standar (dalam PPEPP) sering kali melibatkan berbagai unit di perguruan tinggi, mulai dari level universitas, fakultas hingga administrasi. Forsyth menjelaskan bahwa:
Individu cenderung mengurangi usaha mereka dalam tugas kelompok ketika mereka merasa kontribusinya tidak teridentifikasi atau tidak signifikan terhadap hasil keseluruhan kelompok.
Dalam penerapan SPMI, fenomena ini dapat muncul jika unit-unit tidak memiliki sistem pelaporan yang jelas untuk menunjukkan kinerja mereka baik sebagai individu, maupun sebagai tim.
Forsyth berpendapat bahwa upaya peningkatan “norma kolektif” dan “kohesi kelompok” dapat membantu mengurangi kemalasan sosial. Untuk itu institusi harus mampu menciptakan budaya kerja di mana setiap unit memahami dampak langsung kontribusi mereka terhadap keberhasilan SPMI.
Sebagai contoh, sebuah institusi perguruan tinggi dapat menetapkan “norma kolektif” berupa kewajiban setiap unit untuk menyampaikan laporan capaian mutu secara transparan dalam forum bulanan yang melibatkan seluruh stakeholder internal. Dalam forum yang dibuat “bergengsi” ini, keberhasilan unit kerja akan diakui dan dijadikan motivasi bagi unit lain, menciptakan rasa saling mendukung yang memperkuat “kohesi kelompok”. Ketika karyawan merasa bahwa kontribusi mereka diakui, dihargai dan berdampak langsung pada pencapaian tujuan bersama, semangat kolektif ini secara efektif mengurangi kemalasan sosial dan meningkatkan komitmen terhadap pencapaian target-target SPMI.
Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI
Tahap Evaluasi Pemenuhan Standar (dalam PPEPP) bertujuan untuk menilai sejauh mana standar SPMI yang telah ditetapkan, telah dilaksanakan dan dicapai.
Evaluasi pemenuhan standar SPMI, dapat dilakukan dalam berbagai cara misalnya melalui esessment, audit mutu internal maupun dengan monev. Terkait teori kemalasan sosial, difusi tanggung jawab dapat menyebabkan penurunan kinerja evaluasi. Bila anggota tim merasa bahwa tugas mereka hanya bagian kecil dari keseluruhan proses, bisa jadi mereka tidak memberikan upaya terbaik.
Salah satu solusi mengatasi hal ini, manajemen dapat menggunakan “sistem target” untuk mendorong individu yang terlibat menjadi aktif. Target yang jelas dan spesifik dapat mencegah kemalasan sosial dan meningkatkan motivasi kerja. Cara ini tidak hanya meningkatkan akuntabilitas namun memberi kontribusi nyata bagi perbaikan mutu.
Sebagai contoh, dalam kegiatan audit mutu internal (AMI) di sebuah perguruan tinggi, tim auditor dapat diberikan target spesifik yang sesuai dengan bidang atau unit yang mereka tangani, seperti mengevaluasi kurikulum, efektivitas pembelajaran, atau manajemen sarana prasarana. Hasil evaluasi masing-masing anggota harus disampaikan dalam laporan individu yang kemudian dipresentasikan dalam rapat tim auditor. Melalui cara ini, setiap auditor mengetahui bahwa kontribusi mereka tidak hanya dilihat oleh manajemen namun juga oleh rekan-rekan auditor lainnya. Pendekatan ini menciptakan rasa tanggung jawab personal sekaligus kolektif, mendorong mereka untuk memberikan prestasi terbaik dalam proses AMI.
Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits
Pada tahap Pengendalian Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP), perguruan tinggi harus memastikan bahwa penyimpangan dari standar dapat segera diperbaiki melalui tindakan koreksi, korektif, dan preventif. Namun, seperti yang diuraikan dalam teori kemalasan sosial (social loafing), karyawan sering kali menghindari tanggung jawab jika mereka merasa tugas tersebut lebih cocok dilakukan oleh orang lain. Hal ini dapat memperlambat atau bahkan menggagalkan proses pengendalian pelaksanaan standar.
Menurut pendapat Forsyth, norma kelompok yang kuat dapat menjadi solusi untuk masalah ini. Institusi perlu membangun budaya “tanggung jawab kolektif” yang mendorong semua pihak untuk berperan aktif dalam proses pengendalian pelaksanaan standar. Dengan norma ini, setiap individu akan merasa memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa standar yang diterapkan tidak hanya dipatuhi tetapi juga terus diperbaiki seiring waktu. Budaya seperti ini menciptakan rasa saling percaya dan mendukung di antara anggota kelompok, sehingga secara efektif mampu mengurangi kecenderungan kemalasan sosial.
Tahap Peningkatan Standar (dalam PPEPP) merupakan langkah terakhir dalam siklus PPEPP. Tahap ini memerlukan pendekatan yang tidak hanya berorientasi pada kepatuhan tetapi juga inovasi. Untuk itu, institusi perlu menciptakan lingkungan yang memotivasi individu untuk berpikir kreatif dan inovatif. Dalam bukunya Group Dynamics, Forsyth menekankan bahwa inovasi dalam kelompok hanya dapat tercapai jika anggota tim merasa bahwa kontribusi mereka dihargai dan diakui.
Institusi dapat memfasilitasi hal ini dengan memberikan penghargaan terhadap ide-ide baru, mengadakan forum untuk mendiskusikan inovasi, dan menunjukkan bagaimana masukan individu diterjemahkan menjadi kebijakan yang lebih baik. Dengan langkah-langkah tersebut, tahap peningkatan standar tidak hanya menjadi kegiatan formalitas administratif belaka, tetapi juga berfungsi sebagai upaya strategis untuk membawa mutu pendidikan ke arah yang lebih baik.
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
SPMI adalah tools yang penting untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada bagaimana perguruan tinggi mampu mengelola “dinamika kelompok” yang terlibat dalam setiap tahap siklus PPEPP. Salah satu problem yang menonjol dalam dinamika kelompok adalah persoalan “kemalasan sosial”.
Dengan mengenal, memahami dan mengatasi “kemalasan sosial”, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa setiap individu memberikan kontribusi maksimal untuk mencapai tujuan bersama.
Sebagai penutup, semangat kerja sama dalam mengatasi kemalasan sosial sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya tanggung jawab kolektif. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Ma’idah: 2). Ayat ini mengingatkan bahwa setiap individu memiliki kewajiban untuk berkontribusi secara aktif dalam kebaikan bersama, termasuk dalam konteks peningkatan mutu pendidikan. Dengan menginternalisasi nilai-nilai ini, perguruan tinggi dapat membangun budaya kerja yang harmonis, bertanggung jawab, dan bermakna bagi segenap pemangku kepentingan. Stay Relevant!
Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi adalah langkah strategis untuk mencapai standar mutu pendidikan yang unggul dan berkelanjutan. SPMI melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) berusaha memastikan bahwa setiap aspek Tridharma perguruan tinggi—pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat—terjamin mutunya dengan baik.
Siklus PPEPP ini diatur dalam peraturan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbudristek no 53 tahun 2023). Peraturan menteri tersebut mendorong pada terbangunnya otonomi perguruan tinggi. Dengan peraturan tersebut, memungkinkan institusi perguruan tinggi merancang dan mengimplementasikan standar SPMI yang sesuai dengan mission differentiation masing-masing. Standar SPMI dapat terus ditingkatkan dan dikembangkan secara berkesinambungan sesuai keinginan dan harapan stakeholder masing-masing institusi.
Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?
Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?
Buku berjudul Working Knowledge: How Organizations Manage What They Know yang ditulis oleh Thomas H. Davenport dan Laurence Prusak menjelaskan pentingnya pengetahuan sebagai aset strategis bagi organisasi.
Pengetahuan adalah sumber daya strategis dan memiliki nilai sangat penting bagi keberlanjutan organisasi.
Penerapan Manajemen pengetahuan, sangat relevan bagi perguruan tinggi terutama pada pelaksanaan siklus PPEPP. Manajemen Pengetahuan, bila dikembangkan, memerlukan dukungan dan keterlibatan seluruh civitas akademika untuk saling berbagi pengetahuan, serta bersama- sama memanfaatkan informasi dengan sebaik-baiknya.
Dengan “manajemen pengetahuan”, penguatan SPMI diharapkan menjadi lebih efektif dan efisien.
Unit kerja, staf dosen dan staf administrasi dapat saling berbagi pengetahuan (yang relevan) secara terbuka mengenai banyak hal, praktik efektif, hasil evaluasi, dan area yang perlu diperbaiki.
Pendekatan ini menciptakan sinergi, budaya kolaborasi dan keterbukaan informasi, yang pada akhirnya memicu peningkatan mutu institusi.
Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”
Davenport dan Prusak menjelaskan bahwa knowledge flows atau “aliran pengetahuan” lebih bernilai dibandingkan sekadar knowledge stocks atau “stok pengetahuan”.
Pengetahuan yang terus mengalir dan terus di update memungkinkan organisasi mendapat asupan segar tentang informasi, hal ini menyebabkan institusi mampu beradaptasi lebih cepat.
Pada perguruan tinggi, prinsip ini dapat diimplementasikan melalui sistem informasi manajemen yang berbasis digital, yang menjadi pusat dokumentasi dan pengelolaan pengetahuan institusi. Dengan aliran pengetahuan yang terstruktur dan selalu diperbarui, perguruan tinggi memiliki informasi yang lengkap untuk mengelola standar SPMI secara lebih efektif dan efisien.
Davenport dan Prusak menekankan gagasan bahwa knowledge is a critical organizational resource (pengetahuan adalah sumber daya organisasi yang penting) dan bahwa pengelolaan pengetahuan dengan baik dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif. Prinsip ini, bila diterapkan membantu untuk penguatan SPMI, yang tidak hanya fokus pemenuhan standar minimal, namun juga membantu peningkatan standar-standar SPMI terbaik. Integrasi manajemen pengetahuan menjadi sangat relevan untuk membantu institusi mencapai visi dan misi, serta memenuhi ekspektasi para stakeholder.
Melalui manajemen pengetahuan, institusi dapat menciptakan berbagai nilai tambah, termasuk pengembangan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Kondisi ini memungkinkan institusi untuk terus tumbuh, berinovasi dan berkontribusi bagi lingkungan sekitarnya, menjadikan pengetahuan sebagai fondasi utama dalam pencapaian target-target SPMI.
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Davenport dan Prusak menyampaikan pentingnya knowledge sharing (berbagi pengetahuan) sebagai elemen penting strategi organisasi. Hal ini sejalan dengan kebutuhan informasi dalam siklus PPEPP, di mana setiap tahap harus dikelola dengan baik, dicatat dan diarsipkan secara konsisten untuk memastikan efektivitas dan keterlacakan.
Melalui integrasi knowledge sharing, institusi dapat memastikan bahwa standar SPMI tidak hanya diterapkan secara efektif namun juga terus menerus ditingkatkan berdasarkan masukan dari proses evaluasi. Davenport dan Prusak fokus pada ide bahwa pengetahuan harus dapat diakses, dibagikan, dan digunakan untuk mendukung tujuan strategis organisasi.
Untuk mendukung langkah diatas, pengetahuan yang terdokumentasi dan ter-update memungkinkan organisasi untuk beradaptasi lebih baik terhadap perubahan lingkungan. Pendokumentasi pengetahuan dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan cloud storage / sistem informasi manajemen yang bisa diakses secara online.
Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier
Pendokumentasian pengetahuan, memungkinkan SPMI membangun budaya mutu yang kolaboratif dan adaptif. Semua informasi penting tentang praktik terbaik, progress kegiatan dan hasil evaluasi, tersedia dan mudah diakses oleh seluruh elemen institusi pendidikan tinggi.
Berikut contoh integrasi Manajemen Pengetahuan (knowledge management) dalam siklus PPEPP:
Sebagai penutup, implementasi “SPMI berbasis pengetahuan” menjadikan pengetahuan sebagai aset beharga bagi upaya peningkatan mutu perguruan tinggi. Dengan integrasi KM, perguruan tinggi diharapkan lebih mudah melampaui dan meningkatkan standar SPMI, menciptakan lingkungan akademik yang inovatif serta mampu bertransformasi terhadap perubahan lingkungan.
Mengoptimalkan aliran pengetahuan (knowledge flows) di setiap siklus PPEPP mendorong institusi untuk lebih responsif dan terarah dalam mengelola mutu. Setiap elemen dari siklus PPEPP— mulai dari penetapan hingga peningkatan—didukung oleh informasi yang lengkap, akurat dan up-to-date, menciptakan sistem mutu yang berorientasi pada akreditasi sekaligus menjaga dan mempertahankan kepuasan stakeholder.
Pengetahuan (knowledge) bukan hanya sebuah instrumen untuk mencapai akreditasi, melainkan kunci untuk menggapai keunggulan yang berkelanjutan. Sebagai penutup, ijinkan penulis menyampaikan bahwa:
“Pengetahuan yang terjaga laksana cahaya,
Terpancar terang, penuh daya.
Menjadi fondasi yang kokoh dan teguh,
Membawa perguruan tinggi menuju puncak jaya dan teduh”. Stay Relevant!
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) pada perguruan tinggi di Indonesia menjadi fondasi penting dalam mewujudkan pendidikan tinggi yang bermutu. Berdasarkan Pedoman Implementasi SPMI Perguruan Tinggi Penyelenggara Pendidikan Akademik yang diterbitkan Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan, SPMI mencakup lima langkah penting yang dikenal sebagai siklus PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar. Langkah-langkah ini disusun untuk membangun sistem mutu yang berkelanjutan dan adaptif terhadap harapan internal perguruan tinggi serta segenap stakeholder.
Akan tetapi, penerapan SPMI yang efektif tidak hanya bergantung pada struktur dan prosedur formal saja.
Kesuksesan SPMI sangat tergantung pada SDM (sumber daya manusia) yang ada di dalam organisasi. SDM yang memiliki pola pikir, pola sikap, dan pola perilaku yang sesuai dengan budaya mutu.
Buku Psikologi Sosial karya David G. Myers dan Jean M. Twenge, membahas bagaimana teori psikologi sosial dapat memberi wawasan untuk memperkuat pilar budaya mutu yang berbasis pada SPMI.
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
Pola pikir (mindset / cognitive) adalah fondasi penting untuk membangun sistem penjaminan mutu yang efektif. Dalam konteks SPMI, pola pikir strategis menjadi urgen agar seluruh civitas akademika memahami pentingnya standar mutu (quality awareness) sebagai instrumen untuk mencapai mission differentiation institusi. Menurut Pedoman Implementasi SPMI, standar mutu yang ditetapkan harus diupayakan melampaui Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti) dan mencerminkan kebutuhan lokal perguruan tinggi.
David G. Myers dan Jean M. Twenge (dalam Psikologi Sosial) menekankan bahwa pola pikir (mindset) seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor pembelajaran kognitif dan pengalaman sosial.
Pola pikir (mindset / cognitive) yang berorientasi pada mutu dapat dibangun melalui training, workshop dan edukasi lainnya yang menggugah kesadaran kolektif (quality awareness) tentang manfaat serta dampak positif penerapan standar.
Contoh, institusi perguruan tinggi dapat menyelenggarakan topik pelatihan atau lokakarya yang menjelaskan hubungan antara peningkatan standar mutu pendidikan dengan prestasi akademik institusi.
Baca juga: SPMI Berbasis Pengetahuan: Aset Utama Perguruan Tinggi
Sikap (attitude / affective) merupakan refleksi dari keyakinan dan perasaan seseorang terhadap isu-isu tertentu, yang memengaruhi perilaku (behavior) mereka. Dalam tahap Pelaksanaan Standar SPMI (dalam PPEPP), pola sikap menjadi indikator penting bagi keberhasilan implementasi.
Sikap positif (positive attitude) terhadap standar mutu SPMI dapat terbentuk melalui norma sosial yang mendukung dan kebijakan yang menghargai pencapaian mutu.
Menurut konsep dari ilmu Psikologi Sosial, norma kelompok memiliki kekuatan besar dalam membentuk sikap seseorang (karyawan). Norma kelompok dapat terbangun dari level universitas (budaya organisasi), fakultas maupun program studi (menjadi sub budaya). Dalam institusi perguruan tinggi, penerapan regulasi dan kebijakan yang tepat, menjadi sangat penting. Penghargaan (reward system) bagi tenaga pendidik dan staf karyawan yang berkontribusi pada capaian mutu dapat memperkuat “norma positif” dalam organisasi. Selain itu, Pedoman Implementasi SPMI (2024) juga menekankan pentingnya membangun transparansi dan akuntabilitas sebagai bagian dari budaya mutu. Hal ini merupakan prinsip penting tata kelola yang mendukung “perbaikan sikap” ke arah yang semakin baik.
Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!
Perilaku (behavior / psychomotor) merupakan manifestasi konkret dari pola pikir, pola sikap yang telah terbangun.
Dalam tahap Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar (dalam PPEPP), perilaku proaktif dan kolaboratif sangat penting untuk mendukung proses perbaikan berkelanjutan. Contoh, keterlibatan dalam proses evaluasi standar pendidikan tinggi (esesmen, monev atau audit) memerlukan perilaku terbuka (open minded) terhadap feedback (umpan balik) yang telah disampaikan. Manifestasi perilaku positif juga muncul dalam bentuk “komitmen konkret” untuk melakukan perbaikan secara terus menerus.
Myers dan Twenge (2018) menjelaskan bahwa perilaku dapat dibentuk melalui pengaruh situasional dan dukungan sistemik dalam organisasi. Dalam konteks perguruan tinggi di Indonesia, hal ini berarti institusi harus mampu memfasilitasi lingkungan yang mendukung perilaku sesuai dengan prinsip siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan). Manajemen perguruan tinggi dapat berinovasi dengan menciptakan ekosistem yang saling memperkuat, seperti menyediakan akses terhadap data evaluasi mutu melalui platform digital yang terintegrasi, mengadakan pelatihan teknis secara berkala untuk dosen dan staf, serta menerapkan mekanisme penghargaan yang adil bagi program studi atau individu yang menunjukkan kinerja unggul.
Pedoman Implementasi SPMI (2024) juga menekankan bahwa dokumentasi dan pelaporan yang sistematis adalah bagian integral dari pengendalian mutu, yang hanya dapat dicapai melalui perilaku disiplin di setiap tahap siklus PPEPP.
Hal ini terlihat dalam praktik di kampus-kampus, yang secara konsisten mengadakan audit internal untuk memastikan bahwa standar mutu diimplementasikan secara tepat. Hasil audit tidak hanya dilaporkan tetapi juga digunakan sebagai bahan diskusi dalam rapat koordinasi lintas unit untuk mendorong perbaikan mutu. Perilaku disiplin seperti ini menunjukkan bagaimana pelaksanaan SPMI yang terstruktur dapat menciptakan budaya mutu yang berkelanjutan, memastikan bahwa perguruan tinggi mampu memenuhi dan melampaui standar nasional pendidikan tinggi.
Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI
Pola pikir, pola sikap, dan pola perilaku merupakan pilar penting dalam membangun budaya mutu yang unggul di perguruan tinggi.
Pola pikir (mindset) yang strategis memungkinkan perguruan tinggi untuk menyusun standar SPMI yang sesuai dengan “need and want” stakeholder, baik lokal, nasional maupun internasional. Sikap kerja positif (pola sikap) juga bagian yang tak terpisahkan dalam budaya mutu, sikap positif membantu memastikan keberhasilan pelaksanaan standar SPMI. Selain itu, perilaku (behavior) yang konsisten dalam mengevaluasi dan memperbaiki mutu juga menciptakan peningkatan standar dalam siklus PPEPP (kaizen).
Teori psikologi sosial, menawarkan framework untuk memahami bagaimana pola pikir, pola sikap, dan pola perilaku dapat dibentuk untuk mendukung penguatan SPMI. Teori psikologi sosial memberi wawasan tentang pentingnya pengaruh norma sosial dan pengalaman kolektif dalam membentuk budaya organisasi. Contoh dengan kegiatan “Quality Day” , sebagai perayaan yang melibatkan seluruh anggota organisasi. Dalam satu hari ini diisi dengan aneka kegiatan yang menarik seperti lokakarya, diskusi, pelatihan, dan penghargaan terhadap prestasi mutu yang telah dicapai. Hal ini tidak hanya memperkuat sikap positif terhadap standar SPMI namun juga mendorong pride dan keterlibatan aktif dari seluruh elemen organisasi.
Dalam dunia yang terus berubah (Era BANI), perguruan tinggi harus mampu beradaptasi dengan cepat. Prinsip siklus PPEPP menjadi tools untuk mendorong pendidikan tinggi di Indonesia tetap relevan dan menjadi unggul secara global. Integrasi pola pikir, pola sikap, dan pola perilaku dapat menciptakan transformasi budaya yang berkelanjutan dan memperkuat daya saing internasional.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, ia menyempurnakan pekerjaannya” (HR. Thabrani). Hadist ini mengingatkan kita semua bahwa komitmen terhadap mutu dan upaya perbaikan dalam setiap aspek adalah bagian dari nilai spiritual, yang selaras dengan prinsip-prinsip dasar SPMI. Stay Relevant.
Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Dalam dunia pendidikan tinggi yang semakin kompetitif di era BANI, perguruan tinggi dituntut untuk membangun positioning, yaitu memiliki identitas yang unik dan jelas. Mission differentiation adalah strategi penting untuk menciptakan keunggulan institusi yang berkelanjutan. Dengan misi unik yang spesifik, perguruan tinggi dapat memfokuskan segenap energi dan upaya mereka pada pencapaian misi tersebut. Langkah penting ini untuk menjawab harapan stakeholder, dan untuk menghadapi tantangan global yang penuh ketidakpastian (era BANI).
Mission differentiation tidak hanya memperkuat posisi di kancah lokal, namun juga membantu perguruan tinggi untuk mampu bersaing di tingkat nasional dan internasional.
Namun, diduga masih banyak perguruan tinggi yang kesulitan merumuskan mission differentiation yang relevan dengan kondisi internal dan eksternal institusi. Tulisan singkat ini menawarkan langkah-langkah praktis untuk membantu perguruan tinggi menyusun “misi unik” yang unggul, adaptif, dan sesuai dengan tuntutan pemangku kepentingan (stakeholder).
Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?
Langkah pertama dalam merancang mission differentiation yang baik adalah dengan mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan internal yang dimiliki perguruan tinggi.
Institusi perlu menggali potensi potensi apa saja yang dimiliki organisasi, termasuk keunggulan program studi, keunggulan SDM, atau budaya lokal yang dimiliki organisasi. Contoh, politeknik di daerah pesisir dapat memanfaatkan lokasi strategis untuk merancang misi yang fokus pada penelitian kelautan dan keberlanjutan ekosistem laut. Cara ini membantu institusi menemukan “identitas unik” yang sesuai dengan kekuatan dan potensi mereka.
Langkah selanjutnya, perguruan tinggi harus melakukan analisis terhadap peluang dan ancaman dari perubahan lingkungan eksternal.
Lingkungan eksternal bisa meliputi berbagai hal seperti: ekonomi, sosial, budaya, teknologi, demografi, hukum dan lain sebagainya. Pemahaman mendalam tentang perubahan, harapan masyarakat dan tren global sangat penting untuk menetapkan pilihan mission differentiation. Contoh, politeknik yang berada di kawasan industri dapat merespons permintaan tenaga kerja dengan mengembangkan pendidikan vokasi berbasis soft skills dan teknologi otomatisasi.
Langkah berikutnya adalah upaya untuk melibatkan stakeholder dalam proses perumusan “misi unik”.
Misi unik adalah misi yang dirancang bersama dengan melibatkan stakeholder seperti orang tua, mahasiswa, alumni, mitra industri, serta masyarakat publik. Institusi dapat menyelenggarakan fokus group discussion (FGD), workshop atau survei harapan untuk menyerap aspirasi dari berbagai sumber.
Politeknik di daerah agraris misalnya, dapat melibatkan perkumpulan petani untuk merancang penelitian pertanian berbasis teknologi sesuai keinginan dan harapan masyarakat lokal.
Integrasi misi unik ke dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) juga menjadi tantangan yang harus dihadapi. Melalui siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar (PPEPP), misi unik institusi dapat diintegrasikan dalam bentuk kebijakan SPMI, standar mutu, dan pedoman kerja lainnya.
Langkah akhir, misi unik yang telah dirancang harus dikomunikasikan secara efektif dan efisien. Institusi dapat menggunakan berbagai media, seperti radio lokal, media sosial, laporan tahunan, atau poster untuk mempromosikan identitas perguruan tinggi (positioning) pada masyarakat luas. Politeknik di bidang vokasi dapat menggunakan slogan “Pemimpin Pendidikan Vokasi di Era Digital.”
Komunikasi yang terpadu diperlukan untuk memastikan bahwa misi unik tidak hanya menjadi dokumen internal saja namun juga dikenal dan diminati oleh masyarakat luas.
Dengan langkah-langkah diatas, bila dilakukan dengan efektif, perguruan tinggi dapat merancang mission differentiation yang unggul dan relevan.
Michael M. Crow adalah administrator pendidikan tinggi dan inovator akademik dalam manajemen universitas, sedangkan kawannya William B. Dabars adalah seorang sejarawan akademik yang fokus pada studi tentang evolusi universitas riset di Amerika. Mereka berdua bersama-sama memberi wawasan strategis dan akademik untuk merancang model pendidikan tinggi yang relevan dengan tuntutan zaman.
Buku Crow dan Dabars “Designing the New American University” menekankan pentingnya semangat “inovasi” sebagai ujung tombak dari misi perguruan tinggi. Menurut mereka, institusi harus mampu beradaptasi merespons tuntutan pemangku kepentingan secara langsung sambil tetap mempertahankan standar akademik yang tinggi.
Semangat inovasi tidak hanya menjadi elemen tambahan, namun harus terintegrasi dari setiap aspek operasional perguruan tinggi.
Crow mendorong perguruan tinggi untuk merancang misi yang relevan dengan tantangan lokal dan global. Misal, sekolah tinggi yang berlokasi di daerah dengan potensi energi terbarukan dapat mengambil peluang tersebut dan berusaha menyusun misi unik yang relevan.
Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI
Merancang mission differentiation adalah langkah krusial untuk membangun “identitas perguruan tinggi” yang kuat dan relevan. Dengan memahami potensi internal dan tantangan eksternal, institusi dapat memastikan bahwa misi unik mereka tidak hanya berorientasi pada kebutuhan lokal, namun juga memiliki dampak nasional dan internasional.
Integrasi misi ke dalam SPMI memungkinkan pencapaian visi institusi dapat terwujud. Dengan misi unik yang jelas dan terarah, InsyaAllah institusi akan mampu menciptakan inovasi yang berdampak nyata bagi masyarakat luas. Crow menyarankan, Inovasi bukan aktivitas sesaat saja, namun harus menjadi etos kerja yang dilakukan terus menerus.
Sebagai penutup, Nelson Mandela pernah mengatakan, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Dengan misi unik yang spesifik dan fokus pada keberlanjutan, perguruan tinggi dapat menjadi pilar perubahan yang berdampak besar bagi masyarakat dunia. Stay Relevant!
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Peningkatan mutu pendidikan tinggi merupakan prioritas strategis dalam menghadapi tantangan globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Berdasarkan Permendikbudristek 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, perguruan tinggi dituntut untuk menjalankan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) secara efektif untuk bidang akademik dan non akademik. Untuk bidang akademik, ditujukan untuk memastikan seluruh aspek Tridharma Perguruan Tinggi—pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat—berjalan sesuai standar yang ditetapkan. Sedangkan untuk bidang non akademik, meliputi penguatan mutu pada organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan, dan sarana prasarana.
Melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar), SPMI tidak hanya menjadi alat formalitas administratif, namun secara “substansi” ditujukan untuk pendorong transformasi institusi menuju keberlanjutan mutu.
Namun, fakta di lapangan, implementasi SPMI tidak semudah membalik telapak tangan. Justru sering kali menghadapi tantangan “leadership dan manajerial” yang kompleks. Dalam konteks ini, teori kepemimpinan dan manajerial yang disampaikan oleh Henry Mintzberg dalam The Nature of Managerial Work memberikan perspektif yang menarik. 10 peran manajer yang dikembangkan oleh Mitzberg, dapat menjadi acuan praktis dalam memperkuat efektivitas SPMI di perguruan tinggi.
Baca juga: Bagaimana Teori X dan Y Membentuk Masa Depan SPMI
Henry Mintzberg mengelompokkan pekerjaan manajerial ke dalam tiga kategori, yakni: peran interpersonal, peran informasional, dan peran pengambilan keputusan. 3 (tiga) peran ini menjelaskan bagaimana seorang manajer berinteraksi, berkomunikasi, dan mengambil keputusan (decision making).
Dalam konteks pendidikan tinggi, ketiga kategori peran ini sangat relevan untuk mengelola “kompleksitas” operasional perguruan tinggi, termasuk tantangan strategis yang dihadapi oleh perguruan tinggi, khususnya dalam penguatan SPMI.
Pada peran hubungan antar manusia (interpersonal), pimpinan (manajemen) perguruan tinggi bertindak sebagai pemimpin (leader), simbol organisasi (figurehead), dan penghubung (liaison) antara berbagai stakeholder yang ada. Peran (role) ini penting untuk membantu memastikan komitmen terhadap standar SPMI di semua level (aras) institusi.
Kategori ke dua adalah peran informasional. Peran ini memungkinkan pimpinan perguruan tinggi untuk mengumpulkan data (monitor), menganalisis informasi, dan menyebarkannya data (disseminator) kepada pihak yang membutuhkan. Peran informasional juga melingkup sebagai juru bicara (spokesperson) untuk memberi motivasi dalam pelaksanaan PPEPP.
Kategori yang ke tiga adalah peran pengambilan keputusan (decisional). Peran ini menjadi inti penting dalam pengelolaan SPMI. Pimpinan harus mampu bertindak sebagai inovator dalam tahap penetapan dan peningkatan standar SPMI, penyelesaikan masalah pada tahap evaluasi pemenuhan dan pengendalian pelaksanaan standar, serta pengelola sumber daya yang strategis pada tahap pelaksanaan standar SPMI. Dengan integrasi tiga peran ke dalam siklus PPEPP, perguruan tinggi diharapkan dapat menjalankan SPMI secara lebih fokus, terarah dan adaptif.
Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI
Pada “tahap penetapan standar SPMI” (dalam PPEPP), perguruan tinggi memerlukan pimpinan yang dapat berperan sebagai figurehead (tokoh) untuk memberikan semangat dan legitimasi formal dalam menetapkan visi dan misi organisasi. Peran sebagai tokoh yang kharismatik bertujuan memastikan bahwa standar yang dirancang sesuai dengan visi misi perguruan tinggi dan kebutuhan stakeholder. Peran figurehead diperkuat dengan peran leader, di mana pemimpin harus mampu menginspirasi sivitas akademika untuk mendukung dan mengimplementasikan kebijakan SPMI yang telah ditetapkan. Kepemimpinan yang visioner dan paham manajemen mutu, sangat penting untuk menciptakan landasan yang kuat bagi implementasi SPMI.
Baca juga: Integrasi PPEPP dan Goal Setting: Terobosan dalam Penguatan SPMI
Dalam “tahap pelaksanaan standar SPMI” (dalam PPEPP), peran pimpinan sebagai liaison menjadi sangat diperlukan. Peran ini untuk membangun network (hubungan) kerja sama yang solid dan terintegrasi, baik di internal maupun di luar institusi. Pimpinan seperti rektor, ketua atau direktur beserta jajaran manajemen lainnya harus mampu memastikan bahwa seluruh elemen organisasi aktif terlibat dalam pelaksanaan standar SPMI. Selain itu, dalam tahap pelaksanaan standar, peran sebagai resource allocator (alokasi sumber daya) menjadi sangat diperlukan. Pimpinan harus mampu mengelola sumber daya secara strategis, termasuk alokasi SDM, anggaran, dan infrastruktur, guna mencapai tujuan secara efektif dan efisien.
“Tahap evaluasi pemenuhan standar SPMI” (dalam PPEPP) membutuhkan ketelitian dalam mengumpulkan dan menganalisis data. Dalam tahap ini, walau 10 peran dari Mitzberg tetap diperlukan, peran monitor merupakan peran yang sangat diperlukan. Peran monitor membantu pimpinan untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan SPMI dengan baik. Manajemen perlu mengidentifikasi kesenjangan (gap), serta mengevaluasi kesesuaian antara implementasi dan standar SPMI yang telah ditetapkan. Informasi yang diperoleh dari proses ini, baik dari monev, assessment atau audit mutu internal, kemudian disampaikan (disosialisasikan) kepada seluruh pihak yang relevan melalui peran disseminator, sehingga hasil evaluasi dapat dipahami dan digunakan untuk tindakan korektif dan preventif.
Ketika terjadi penyimpangan (ketidaksesuaian/ KTS) dalam pelaksanaan standar SPMI, pimpinan harus aktif untuk melakukan perbaikan. Peran manajer sebagai disturbance handler, menjadi sangat diperlukan. Peran ini digunakan untuk menangani hambatan, masalah dan konflik yang muncul. “Ketangkasan” dalam peran ini memungkinkan “tahap pengendalian pelaksanaan standar SPMI” dilakukan dengan efektif, cepat dan tepat, sehingga “dampak negatif” dapat dihindari. Pimpinan perguruan tinggi (manajemen) harus memiliki kemampuan untuk mengatasi berbagai hambatan, baik yang bersifat teknis maupun strategis, demi menjaga konsistensi pelaksanaan standar SPMI.
Tahap terakhir, yaitu “tahap peningkatan standar SPMI“. Tahap ini tentu saja menuntut inovasi berkelanjutan dari manajemen (pimpinan). Peran pimpinan sebagai entrepreneur menjadi sangat diperlukan. Peran ini memberikan perspektif bagi pimpinan untuk mencari peluang baru (inovasi) yang dapat meningkatkan mutu institusi. Penting sekali untuk meninjau ulang “mission differentiation” perguruan tinggi. Peran entrepreneur, sangat diperlukan untuk membangun “misi unik dan positioning” perguruan tinggi. Contoh, inovasi untuk adopsi teknologi pembelajaran terbaru, pengembangan kurikulum yang relevan terhadap kebutuhan zaman, serta membangun kerja sama global yang strategis.
Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?
Henry Mintzberg menegaskan bahwa peran manajerial bersifat dinamis dan multidimensi, sebuah peran yang sangat relevan dalam implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Pimpinan perguruan tinggi harus mampu mengintegrasikan 10 peran manajerial secara simultan dan fleksibel untuk keberhasilan SPMI (siklus PPEPP).
Kemampuan (ability) ini menjadi kunci penting dalam menjawab tantangan kompleks SPMI yang muncul. Berbagai tantangan selalu hadir silih berganti baik dari eksternal maupun internal, seperti perubahan regulasi, tuntutan mahasiswa yang semakin beragam, serta tuntutan daya saing di tingkat global.
Keberhasilan implementasi siklus PPEPP “sangat bergantung” dari kemampuan pimpinan untuk mengadaptasi dinamika internal dan eksternal institusi perguruan tinggi. Contoh, dalam menghadapi perubahan regulasi, pimpinan harus mampu mengoptimalkan peran sebagai disseminator untuk menyampaikan (sosialisasi) kebijakan baru kepada seluruh civitas akademika secara efektif. Demikian pula peran disturbance handler, peran ini menjadi krusial saat perguruan tinggi harus menyelesaikan konflik atau hambatan yang muncul secara tidak terduga.
Dengan pendekatan yang komprehensif (holistik), pengelolaan SPMI dapat menjadi lebih relevan tidak sekadar proses formalitas-administratif belaka. Pengelolaan SPMI yang unggul memerlukan budaya mutu yang kuat yang melekat di setiap perilaku anggota organisasi. Integrasi 10 peran Mintzberg ke dalam siklus PPEPP tidak hanya memperkuat landasan manajemen, namun juga mendorong transformasi menuju institusi yang unggul dalam arti yang sebenarnya.z
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) melalui integrasi 10 peran manajer Henry Mintzberg menawarkan pendekatan yang menyeluruh dan strategis.
Dengan mengoptimalkan 10 peran Mitzberg dalam siklus PPEPP, perguruan tinggi dapat memastikan pelaksanaan yang tidak hanya terpaku pada prosedur formalitas administratif, namun juga berorientasi pada pencapaian hasil yang nyata.
Perguruan tinggi yang mampu mengadopsi ide kreatif (wawasan) dari Mintzberg, InsyaAllah akan lebih siap menghadapi tantangan masa depan. 10 Peran manajerial diatas dapat memperkuat daya saing institusi, dan berkontribusi pada peningkatan mutu pendidikan di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Dengan mengedepankan manajemen yang dinamis (multi dimensi), SPMI (siklus PPEPP) dapat menjadi katalisator transformasi, membangun budaya mutu yang terintegrasi dalam setiap aspek Tridharma Perguruan Tinggi.
Sebagai penutup, ayat suci Al-Qur’an menekankan pentingnya upaya dan kerja keras untuk membangun masa depan yang lebih baik:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11).
Ayat ini menegaskan bahwa perubahan yang positif memerlukan usaha dan tindakan nyata dari manusia, sejalan dengan esensi penguatan SPMI yang melibatkan peran aktif pimpinan dalam membangun budaya mutu yang unggul dan berkelanjutan. Stay Relevant!
Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Dalam pendidikan tinggi, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) berperan penting untuk menjaga dan meningkatkan mutu Tridharma Perguruan Tinggi yang terdiri dari pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar), perguruan tinggi memiliki “framework” yang sistematis untuk mencapai peningkatan mutu secara berkelanjutan. Akan tetapi, di lapangan, implementasi SPMI sering menghadapi kesulitan, seperti kurangnya komitmen stakeholder, tujuan yang “tidak clear”, atau kesenjangan antara rencana dan pelaksanaan.
Untuk mengatasi problematik diatas, teori motivasi Goal Setting yang ditulis oleh Edwin Locke dan Gary Latham menawarkan solusi alternatif yang dapat dipertimbangkan. Teori Goal Setting menekankan pentingnya penetapan tujuan yang spesifik, terukur, dan relevan untuk memotivasi karyawan serta tim kerja untuk mencapai hasil terbaik. Dengan integrasi prinsip Goal Setting ke dalam siklus PPEPP, institusi dapat meningkatkan kejelasan tujuan (Clarity) dan mendorong komitmen semua pihak dalam mendukung pencapaian target mutu pendidikan.
Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI
Teori Goal Setting menegaskan bahwa tujuan yang spesifik, menantang, dan terukur mampu memotivasi individu serta organisasi untuk mencapai hasil yang terbaik.
Dalam siklus PPEPP, tahap Penetapan merupakan “kunci penting” keberhasilan seluruh proses. Penetapan tujuan (target dan indikator) yang kabur sering kali menjadi penghambat besar dalam implementasi SPMI. Jadi perlu ekstra hati-hati dalam tahap ini, karena menjadi patokan utama bagi tahap berikutnya.
Tujuan Standar SPMI harus ditetapkan dengan jelas, spesifik, dan mudah dipahami (Clarity). Tujuan yang membingungkan, seperti “menjadi lebih baik,” sulit dicapai karena tidak memberikan arahan yang jelas. Sebaliknya, tujuan seperti “meningkatkan kepuasan pengguna perpustakaan sebesar 10% dalam 1 tahun” memberikan panduan yang lebih konkret dan jelas.
Dengan menerapkan prinsip Goal Setting, perguruan tinggi dapat menetapkan tujuan (target dan indikator) mutu yang lebih spesifik dan relevan. Contoh, daripada hanya mencanangkan “meningkatkan layanan akademik,” institusi dapat menentukan target seperti “meningkatkan kepuasan mahasiswa sebesar 15% dalam satu tahun melalui digitalisasi layanan akademik.” Standar ini tidak hanya memberikan fokus yang lebih tajam tetapi juga mempermudah evaluasi pencapaian tujuan.”. Ada 2 metode yang sering digunakan dalam pentetapan standar SPMI yang baik, metode “ABCD” dan metode “KPI”. Kedua metode ini akan dibahas lebih detail dalam artikel berikutnya, InsyaAllah.
Tujuan (Target Standar SPMI) harus cukup menantang (challenge) sehingga memotivasi, tetapi tetap realistis. Tujuan yang sangat mudah tidak akan memberikan motivasi tambahan, sebaliknya tujuan yang terlalu sulit dapat menyebabkan stres dan frustrasi. Tingkat kesulitan yang tepat mendorong tim kerja untuk berusaha lebih keras dan menemukan cara baru (inovasi) untuk berhasil.
Teori Goal Setting menekankan pentingnya “komitmen” terhadap tujuan yang telah ditetapkan. Komitmen adalah sikap dan perilaku anggota organisasi dalam mendukung tujuan, nilai, dan misi organisasi.
Dalam siklus PPEPP, keberhasilan implementasi sangat bergantung pada komitmen dan keterlibatan semua stakeholder internal, mulai dari pimpinan, unit kerja hingga mahasiswa. Partisipasi aktif semua pihak dalam goal setting dapat meningkatkan rasa memiliki, kepuasan dan tanggung jawab terhadap pencapaian mutu.
Tujuan yang diterima secara bersama sama (kolektif) lebih mungkin dicapai dibandingkan dengan tujuan yang dipaksakan. Hal ini sejalan dengan teori Goal Setting yang menegaskan bahwa keterlibatan bersama tidak hanya mendorong komitmen, namun juga menciptakan lingkungan kolaboratif untuk mencapai hasil optimal.
Umpan balik (feedback) yang rutin dan berkelanjutan sangat penting untuk memantau progress dan menyesuaikan strategi jika diperlukan. Feedback membantu unit kerja memahami apakah mereka berada di jalur yang benar (on the track) dan memberikan motivasi tambahan ketika mereka mendekati tujuan.
Bila tugas-tugas yang diperlukan untuk mencapai tujuan sangat kompleks (task complexity), penting untuk memberikan sumber daya yang memadai. Tujuan yang sangat rumit dapat dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil untuk membuatnya lebih mudah untuk dikerjakan. Indikator standar SPMI harus mudah dimengerti sehingga mampu mendorong motivasi kerja yang optimal.
Tahap Pelaksanaan (dalam PPEPP) sering kali diangap sebagai tantangan terbesar, sebab melibatkan kemampuan untuk penerjemahan tujuan jangka panjang (RIP/ Renstra) menjadi langkah (program kerja) konkret. Dalam hal ini, teori Goal Setting menawarkan panduan yang terukur, sehingga setiap langkah dapat dipantau dengan jelas. Dengan umpan balik yang efektif, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa setiap unit kerja memahami peran (role) mereka dalam mencapai tujuan strategis yang lebih besar.
Tahapan Evaluasi (dalam PPEPP) adalah momen penting untuk menilai kemajuan (progress) terhadap pencapaian tujuan (target). Goal Setting menyarankan agar evaluasi dilakukan secara berkala dengan memberikan umpan balik yang jelas dan konstruktif. Dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023, pasal 68 ayat (2) disebutkan evaluasi dilaksanakan secara berkala melalui pemantauan, evaluasi diri, audit mutu internal, asesmen, dan/atau cara lain yang ditetapkan perguruan tinggi. Hal Ini memungkinkan institusi untuk mengidentifikasi penyimpangan dari tujuan dan mengambil tindakan korektif dan preventif secara cepat. Umpan balik (feedback) yang positif juga dapat meningkatkan motivasi karyawan untuk terus bekerja lebih baik.
Tahap Pengendalian dan Peningkatan (dalam PPEPP), sejalan dengan gagasan Goal Setting tentang pembaruan tujuan (peningkatan standar) yang berkelanjutan. Setelah perguruan tinggi berhasil mencapai satu tujuan (target), standar baru yang lebih tinggi dapat ditetapkan untuk menjaga momentum peningkatan mutu. Dengan demikian, PPEPP tidak hanya menjadi siklus administratif (rutinitas) belaka, namun juga alat strategis untuk mendorong proses kaizen (continuous improvement).
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
Integrasi teori motivasi Goal Setting ke dalam siklus PPEPP memberikan inspirasi baru dalam memperkuat SPMI. Dengan memastikan setiap tujuan (standar SPMI) dalam PPEPP dirancang secara spesifik, terukur, dan relevan, perguruan tinggi diharapkan dapat mengatasi berbagai tantangan implementasi SPMI.
Integrasi siklus PPEPP dan teori Goal Setting tidak hanya memberikan framework yang sistematis namun juga menginspirasi perbaikan budaya mutu di perguruan tinggi. Ketika tujuan (target dan indikator) dirancang dengan cermat dan didukung oleh komitmen, maka pemenuhan dan peningkatan standar SPMI akan menjadi keniscayaan.
“Clarity in goals creates focus, and focus leads to achievement,” (Kejelasan dalam tujuan melahirkan fokus, dan fokus mengantarkan pada pencapaian). Perguruan tinggi yang mampu menyelaraskan visi-misi dengan prinsip Goal Setting akan menemukan pondasi yang kokoh untuk bersaing di tingkat lokal, regional dan global. Stay Relevant!
Puisi: Target yang Menyala
Clarity menggambar garis terang,
Target yang spesifik jadi bintang terang.
Fokus menyatu, langkah berpadu,
Visi-misi terjalin, tak lagi semu.
Di pentas dunia, arah dituju,
Komitmen teguh, takkan rapuh.
Dalam tantangan, perguruan tegap,
Mutu terjaga, nama pun menggapai harap.
Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Era BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, Incomprehensible) telah membawa dunia pendidikan tinggi ke dalam lanskap yang penuh gejolak dan tantangan. Perguruan tinggi tidak lagi cukup hanya menjaga mutu akademik saat ini, namun juga dituntut untuk beradaptasi dan bertranformasi secara cepat terhadap perubahan yang tidak dapat diprediksi (nonlinier).
Dalam situasi ini, mission differentiation menjadi sangat strategi bagi perguruan tinggi untuk menegaskan ciri khas / keunikan mereka.
Hal ini menjadi penting dalam menjawab kebutuhan lokal maupun berkontribusi terhadap problematik masyarakat global.
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), dengan siklus PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar, memberikan framework bagi perguruan tinggi untuk memastikan ketercapaian standar mutu secara berkelanjutan (kaizen). Namun, SPMI saja tidak akan efektif bila persoalan manajemen strategik belum terjawab secara relevan. Perguruan tinggi wajib merancang misi yang spesifik melalui penetapan mission differentiation. Metode ini membantu institusi tidak hanya mampu bertahan, namun juga mampu tumbuh berkembang di era BANI yang penuh perubahan.
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Era BANI menuntut institusi untuk lebih adaptif, fleksibel dan inovatif. Brittle atau rapuhnya sistem global, seperti yang terlihat pada pandemi atau krisis ekonomi, menuntut institusi untuk merancang keunikan misi yang tangguh dan berorientasi pada keberlanjutan. Ketidakpastian dan perubahan yang tidak linier menuntut institusi untuk fokus pada solusi yang cepat, tepat dan efektif.
Dalam situasi ini, mission differentiation menjadi lebih dari sekadar strategi. Ini adalah bentuk respons penting terhadap dunia yang berubah dengan sangat cepat. Institusi dituntut harus memanfaatkan sumber daya lokal dan teknologi untuk mampu berkinerja dan menciptakan dampak yang relevan. Contoh, perguruan tinggi di daerah agraris dapat memfokuskan misi mereka pada teknologi pertanian berbasis data untuk membantu petani meningkatkan produktivitas mereka.
Baca juga: SPMI Dinamis: Peningkatkan Daya Saing Perguruan Tinggi
Merancang mission differentiation dapat dilakukan dengan analisis mendalam terhadap kekuatan internal (strengths) dan kebutuhan eksternal (opportunities). Perguruan tinggi harus berusaha keras untuk memahami potensi-potensi unik institusi, baik dari segi kekuatan SDM, infrastruktur, hubungan dengan industri, hingga keunggulan geografis dan budaya. Misal, politeknik di wilayah pesisir dapat memanfaatkan kedekatan posisi geografis dengan laut untuk menjadi pusat unggulan riset kelautan dan keberlanjutan ekosistem. Contoh lain, Perguruan tinggi yang unggul dibidang kreatifitas dan kewirausahaan dapat mengambil misi institusi berbasis pengembangan ekosistem startup dan kewirausahaan.
Langkah berikutnya, perguruan tinggi perlu merumuskan pernyataan misi (yang unik) yang relevan dengan tantangan era BANI. Hal ini mencakup respons terhadap isu-isu global seperti kecerdasan buatan, perubahan iklim, transformasi teknologi, dan ketidaksetaraan sosial.
Perguruan tinggi harus melibatkan segenap stakeholder—termasuk orang tua, mahasiswa, alumni, dunia industri, dan masyarakat lokal—untuk memastikan misi unik yang mencerminkan kebutuhan nyata.
Misal, politeknik di kawasan industri nikel dapat merancang misi yang fokus pada pendidikan vokasi berbasis teknologi pengolahan nikel untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di wilayah tersebut.
Setelah misi unik ditetapkan, integrasi dengan siklus PPEPP menjadi sangat penting. Misi yang dirumuskan harus diimplementasikan ke dalam standar SPMI, program kerja, dan evaluasi kinerja. Contoh, perguruan tinggi dengan misi sebagai pusat riset energi terbarukan dapat menetapkan indikator kinerja utama (IKU) seperti jumlah hak paten, publikasi bereputasi, dan kemitraan dengan perusahaan energi hijau. Evaluasi, pengendalian dan peningkatan standar yang berkelanjutan, dilakuan untuk memastikan bahwa misi tersebut tetap relevan.
Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI
Buku “Designing the New American University” karya Michael M. Crow dan William B. Dabars menekankan pentingnya “inovasi” sebagai inti dari misi perguruan tinggi. Mereka menggarisbawahi bahwa institusi pendidikan harus responsif, adaptif terhadap kebutuhan masyarakat tanpa mengorbankan standar mutu akademik. Inovasi memungkinkan perguruan tinggi bertransformasi dengan cepat di tengah arus perubahan global yang nonlinier (BANI).
Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini relevan untuk membangun perguruan tinggi yang unggul dan kompetitif. Contoh, perguruan tinggi di daerah agraris dapat mengintegrasikan riset teknologi pertanian untuk meningkatkan hasil budidaya pertanian. Politeknik di kawasan industri perdagangan dapat menjadi pusat pendidikan vokasi berbasis otomatisasi, menjawab kebutuhan tenaga kerja yang berkembang di era digital.
Dengan mengadaptasi prinsip-prinsip dari buku tersebut, institusi di Indonesia dapat menciptakan misi yang tidak hanya relevan secara lokal namun juga memiliki dampak positif secara global. Integrasi inovasi dan kebutuhan masyarakat akan menjadikan misi unik institusi lebih tangguh menghadapi dinamika era BANI. Selain itu, Crow juga menyoroti bagaimana “desain ulang institusional” dapat membantu institusi menjadi lebih adaptif dalam menghadapi isu-isu besar seperti perubahan iklim, transformasi teknologi, dan ketidaksetaraan sosial.
Baca juga: Revolusi Mutu Perguruan Tinggi dan SPMI Digital
Merancang mission differentiation di era BANI adalah landasan penting bagi perguruan tinggi untuk membangun identitas yang kuat dan relevan.
Dengan memanfaatkan kerangka kerja PPEPP, institusi dapat memastikan bahwa misi unik mereka tidak hanya menjadi visi internal, tetapi juga terintegrasi ke dalam semua aspek operasional, mulai dari penetapan standar, pelaksanaan hingga peningkatan standar.
Misi yang spesifik dan adaptif, memungkinkan institusi menjadi lebih unggul dalam menghadapi dinamika era penuh ketidakpastian ini. Michael M. Crow dan William B. Dabars, menekankan bahwa inovasi institusional merupakan elemen kunci bagi universitas untuk tetap relevan dan berkontribusi pada tantangan sosial dan ekonomi yang terus berubah. Dengan komitmen terhadap misi unik yang berorientasi pada masa depan, perguruan tinggi dapat menjadi katalis perubahan yang signifikan.
Terakhir, Nelson Mandela pernah mengatakan, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Dengan misi unik yang dirancang dengan baik, institusi tidak hanya relevan, namun mampu menjadi “agen perubahan” yang membawa manfaat nyata bagi masyarakat dan dunia. Stay Relevant!
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Institusi perguruan tinggi saat ini menghadapi tantangan besar untuk menjaga mutu pendidikan sekaligus membangun “identitas yang relevan” di tengah persaingan global. Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) menyediakan framework penting untuk memastikan mutu yang berkelanjutan melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar). Siklus ini memungkinkan perguruan tinggi menetapkan standar mutu yang konsisten sambil tetap memberi ruang bagi peningkatan standar.
Untuk efektifitas tata kelola, perguruan tinggi perlu memahami perbedaan antara mission differentiation dan positioning. Mission differentiation menekankan pada keunikan (kekhasan) misi institusi, sementara positioning fokus pada upaya bagaimana misi tersebut tersampaikan dan diterima baik oleh audiens. Kedua konsep ini saling melengkapi dalam membantu perguruan tinggi menciptakan keunggulan yang khas dan relevan di mata stakeholder.
Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier
Mission differentiation adalah strategi di mana perguruan tinggi menetapkan misi spesifik yang mencerminkan kekuatan dan tujuan unik mereka.
Visi dan Misi ini menjadi acuan utama untuk mengarahkan seluruh kegiatan (program kerja) institusi, termasuk pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Contoh, sebuah perguruan tinggi di kawasan pesisir dapat menetapkan misi untuk menjadi pusat unggulan dalam pengelolaan hasil laut. Misi ini memungkinkan perguruan tinggi mengembangkan program-program yang relevan, seperti teknik pengolahan hasil laut, penelitian ekologi maritim atau pelatihan keberlanjutan bagi nelayan lokal dan lain-lain.
Prinsip mission differentiation menekankan pentingnya memahami bahwa perguruan tinggi “tidak perlu meniru” institusi lain untuk dianggap sukses. Sebaliknya, prinsip ini mendorong setiap perguruan tinggi untuk mengidentifikasi peran uniknya dalam memenuhi kebutuhan lokal sekaligus memberikan kontribusi terhadap isu-isu global.
Strategi ini memastikan bahwa setiap perguruan tinggi memiliki keunikan yang menciptakan nilai (manfaat) yang berbeda di mata pemangku kepentingan (stakeholder).
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Bila mission differentiation fokus pada “apa” (what) yang dilakukan perguruan tinggi, positioning adalah “bagaimana” (how) misi tersebut diterima dan dipahami oleh audiens. Dalam buku “Positioning: The Battle for Your Mind,” Al Ries dan Jack Trout menekankan bahwa positioning bukan hanya tentang produk itu sendiri, namun tentang bagaimana produk tersebut “dipersepsi” oleh khalayak audiens.
Dalam konteks tata kelola perguruan tinggi, positioning berarti upaya membangun citra institusi di benak publik, mahasiswa, dan mitra industri berdasarkan “keunikan” misinya.
Misalnya, bila misi perguruan tinggi “X” adalah menjadi pusat unggulan riset energi terbarukan, positioning mereka dapat mengkomunikasikan hasil kontribusi nyata dalam inovasi energi, seperti keberhasilan paten teknologi hijau atau kolaborasi dengan mitra global. Ini artinya, positioning menerjemahkan mission differentiation menjadi persepsi yang kuat dan relevan di benak stakeholder.
Baca juga: AMI: Mencegah Masalah, Bukan Memperbaiki
Fungsi mission differentiation dan positioning adalah saling melengkapi, namun memiliki peran yang berbeda. Mission differentiation mendefinisikan tujuan dan keunikan institusi, sedangkan peran positioning membawa keunikan ke dalam persepsi (benak) audiens.
Tanpa mission differentiation, positioning akan kehilangan arah karena tidak ada keunikan yang dapat dikomunikasikan. Sebaliknya, tanpa positioning, mission differentiation hanya menjadi visi internal yang tidak dikenal oleh stakeholder (masyarakat).
Dalam penerapan SPMI, siklus PPEPP memberikan ruang untuk integrasi kedua strategi tersebut. Tahap penetapan standar (dalam PPEPP) dapat dilakukan berdasarkan misi spesifik perguruan tinggi. Tahap pelaksanaan standar, dilakukan dengan menyusun program yang efektif dan efisien dalam mencapai misi spesifik perguruan tinggi, sementara tahap evaluasi standar mencakup pengukuran sejauh mana positioning berhasil diterima dan dipahami oleh audiens. Tahap pengendalian dan peningkatan (dalam PPEPP) kemudian memastikan bahwa misi dan persepsi terus berkembang untuk tetap relevan di tengah perubahan.
Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI
Mission differentiation dan positioning adalah pilar baru dalam membangun tata kelola perguruan tinggi. Mission differentiation membantu institusi menetapkan tujuan yang spesifik, sementara positioning memastikan bahwa keunikan misi behasil dipahami dan diterima oleh audiens. Kedua konsep ini bekerja bersama, bersinergi untuk menciptakan identitas perguruan tinggi yang kuat dan relevan.
Dengan integrasi mission differentiation dan positioning ke dalam siklus PPEPP, institusi dapat meningkatkan standar SPMI yang sesuai misi unik (secara bekelanjutan), dan juga mampu mengkomunikasikan dengan baik pada masyarakat. Langkah ini memungkinkan institusi membangun daya saing di tingkat lokal, regional maupun global. Stay Relevant!
Maka temukanlah misi, berpegang pada keunikan,
Tentukan posisi, beranikan langkah di depan.
Agar dunia mendengar, dan sejarah pun mengenang,
Sebuah institusi dengan arah yang jelas, harapan gemilang.
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi