• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Author Archive admin

Conecting the dots dan SPMI

Membumikan Strategi Kampus: Semua Unit Paham dan Bergerak Sesuai Arah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Di banyak perguruan tinggi, strategi kampus seringkali hanya “hidup” di dalam dokumen resmi seperti Renstra, Statuta, dan SPMI. Namun ketika ditanya ke unit-unit pelaksana, banyak yang tak memahami—apalagi merasa terlibat dalam—strategi tersebut. Akibatnya, program kerja berjalan sendiri-sendiri, tidak terhubung dengan arah strategis kampus.

Padahal dalam Pedoman Implementasi SPMI 2024, dikatakan bahwa sistem mutu tidak hanya soal dokumen, tapi budaya. Agar budaya mutu tumbuh, strategi kampus harus dibumikan—dipahami, dimiliki, dan dijalankan oleh seluruh unsur institusi.

Baca juga: PPEPP Bukan Beban, Tapi Solusi, Benarkah?

Sederhanakan Bahasa Strategi

Salah satu kendala implementasi strategi kampus adalah bahasa dokumen yang terlalu teknokratis. Renstra, Statuta, dan RIP sering ditulis dengan gaya legalistik, abstrak, dan jauh dari bahasa sehari-hari. Ini membuat dosen, tendik, dan bahkan kepala unit kerja merasa bahwa dokumen strategis hanya milik “pimpinan pusat.”

Misalnya, visi tentang “menjadi pusat kewirausahaan lokal berbasis digital” harus diterjemahkan ke dalam kegiatan prodi, LPPM, dan kemahasiswaan secara kontekstual dan konkrit.

Baca juga: Kampus Ideal: Gabungan Estetika dan Fungsi

Evaluasi Diri sebagai Titik Awal

Sebelum strategi disosialisasikan, kampus perlu melakukan Evaluasi Diri Institusi (EDI) yang menyeluruh. EDI akan memberikan data tentang persepsi, kekuatan, dan kelemahan unit-unit dalam memahami dan menjalankan arah kampus. EDI yang berbasis SWOT akan memetakan aspek internal dan eksternal yang bisa menjadi pengungkit atau penghambat strategi.

Menurut Edward Sallis dalam TQM for Education, evaluasi mutu terbaik adalah yang melibatkan semua unsur institusi, bukan hanya top-level management. EDI yang baik akan membuka ruang diskusi dan menumbuhkan rasa memiliki terhadap strategi. Dengan demikian, dokumen tidak lagi disusun “untuk akreditasi”, tapi sebagai hasil refleksi kolektif.

Baca juga: Kampus Impian: Seperti Apa Sarana dan Prasarana yang Ideal di Mata Mahasiswa?

Jika dokumen kampus disusun tanpa keterhubungan, strategi akan kehilangan arah

Integrasi Antar Dokumen

Dalam pendekatan PPEPP, penetapan standar mutu harus dimulai dari visi dan misi kampus. Maka statuta dan RIP menjadi rujukan utama dalam menyusun Renstra dan Renop. Pedoman SPMI 2024 menyebut bahwa sistem mutu hanya efektif jika standar, program, dan evaluasi berjalan dalam satu sistem yang terintegrasi. Oleh karena itu, pembumian strategi juga menuntut integrasi antar dokumen.

Baca juga: Membangun Budaya Mutu: Apakah Pemimpin Anda Memiliki Skor 9,9 di Managerial Grid?

Kepemimpinan dan Komunikasi Internal

Strategi tidak akan jalan tanpa pemimpin yang konsisten dan inspiratif. Pimpinan kampus harus menjadi “juru bicara utama” misi institusi, bukan hanya saat penyusunan dokumen, tapi dalam percakapan sehari-hari. Dalam konteks SPMI, kepemimpinan adalah bagian penting dari pelaksanaan dan pengendalian mutu.

Komunikasi internal juga memegang peran penting. Forum koordinasi lintas unit, infografis strategi, dashboard IKU, hingga media internal bisa menjadi alat untuk menyampaikan arah strategis secara berkelanjutan.

Baca juga: Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?

Motivasi dan Budaya Kinerja yang Relevan

Budaya mutu tidak tumbuh dari dokumen, tapi dari motivasi dan kesadaran kolektif. Setiap unit perlu tahu: “mengapa ini penting untuk saya?” Jika strategi hanya dimaknai sebagai beban administratif, maka akan sulit dibumikan. Oleh karena itu, penting mengaitkan strategi kampus dengan nilai-nilai unit dan keseharian mereka.

Dalam konteks PPEPP, tahap Pengendalian dan Peningkatan harus dilakukan dengan pendekatan coaching dan refleksi. Bukan sekadar audit, tetapi percakapan dua arah yang membangun kepercayaan dan perbaikan bersama. Ini selaras dengan prinsip TQM: mutu lahir dari keterlibatan semua orang dalam proses peningkatan berkelanjutan.

Baca juga: Mutu Pendidikan Tinggi: Memahami Esensi dan Dampaknya

Penutup

Membumikan strategi kampus adalah pekerjaan kepemimpinan, komunikasi, dan sistem. Tidak cukup hanya punya dokumen yang lengkap—yang lebih penting adalah semua unit memahami, merasa terlibat, dan bergerak dalam arah yang sama.

Dengan pendekatan PPEPP, berbasis EDI dan SWOT, serta dipandu semangat mission differentiation, strategi kampus bisa menjadi realitas sehari-hari. Maka tugas kita bukan sekadar merancang strategi yang hebat, tapi membuatnya “hidup” di setiap ruang kerja, kelas, dan laboratorium kampus. Stay Relevant!

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. Kim, W. C., & Mauborgne, R. (2005). Blue ocean strategy: How to create uncontested market space and make the competition irrelevant. Harvard Business School Press.
  4. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  5. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  6. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  7. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  8. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Revisi Dokumen Strategis Kampus: Mana yang Harus Diperbarui Lebih Dulu?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Dalam dinamika pendidikan tinggi yang terus berubah—baik karena regulasi baru, tantangan VUCA/BANI, maupun kompetisi antarkampus—banyak perguruan tinggi mulai menyadari bahwa dokumen strategis mereka sudah tidak lagi relevan. Namun, meninjau ulang dokumen seperti Statuta, RIP, Renstra, Renop, dan SPMI sering dilakukan secara sporadis, tidak terstruktur, bahkan tanpa urutan yang logis. Akibatnya, terjadi tumpang tindih kebijakan, arah pengembangan yang tidak sinkron, serta standar mutu yang kehilangan pijakan.

Pedoman Implementasi SPMI 2024 secara eksplisit menekankan bahwa sistem mutu harus sesuai dengan misi perguruan tinggi, dan implementasinya bersifat sistemik, bukan sekadar administratif. Maka, pembaruan dokumen strategis harus dilakukan secara holistik, terintegrasi, dan berdasarkan pendekatan PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan). Artikel ini menyajikan langkah sistematis yang bisa diikuti oleh pimpinan kampus agar proses pembaruan dokumen strategis menjadi efektif, efisien, dan berdampak.

Baca juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik

Mulai dari Evaluasi Diri

Evaluasi ini harus berdasarkan data dan fakta terkini—baik capaian tridharma, hasil tracer study, maupun kepuasan stakeholder. Analisis SWOT menjadi alat utama untuk memahami kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan kampus secara jujur dan menyeluruh.

Edward Sallis dalam Total Quality Management in Education menyebut bahwa peningkatan mutu tidak akan terjadi tanpa kesadaran institusi terhadap realitas internal dan kebutuhan eksternal. Evaluasi ini menjadi dasar pembentukan misi yang kuat, yang akan menjiwai seluruh dokumen strategis berikutnya. Dalam kerangka PPEPP, ini adalah tahap Penetapan yang berbasis refleksi dan data.

Baca juga: Mission Differentiation: Rahasia Kampus Kecil Bisa Unggul di Tengah Kompetisi Nasional

Statuta sebagai Pondasi

Statuta adalah dokumen dasar yang berfungsi sebagai konstitusi institusi. Permenristekdikti No. 16 Tahun 2018 menegaskan bahwa statuta harus mencerminkan jati diri, visi-misi, tata kelola, dan arah pengembangan kampus.

Statuta yang baru sebaiknya fleksibel terhadap perubahan regulasi, tetapi tetap kuat sebagai landasan filosofis dan strategis. Di sinilah pentingnya memasukkan mission differentiation—yakni arah khusus yang membedakan kampus dari institusi lain. Ini penting agar dokumen turunan seperti RIP dan Renstra tidak kehilangan pijakan utama.

Baca juga: Statuta Sudah Usang? Inilah Cara Cerdas Memulai Transformasi Perguruan Tinggi dari Akar

RIP dan Renstra: Arah Jangka Panjang dan Menengah

RIP (Rencana Induk Pengembangan) adalah peta besar kampus dalam 15–25 tahun ke depan. Dokumen ini harus mencerminkan hasil Evaluasi Diri Institusi dan misi terbaru. Fokusnya bukan pada janji besar, melainkan arah strategis berdasarkan potensi unik kampus: misalnya kampus kewirausahaan lokal, pusat inovasi pertanian, atau pengembangan desa digital.

Renstra (Rencana Strategis) 5 tahunan adalah turunan RIP yang lebih konkret. Dalam Permendikbudristek 53/2023, Renstra wajib selaras dengan sistem penjaminan mutu dan capaian kinerja institusi.

Baca juga: SPMI dan Ironi Lulusan Menganggur: Mutu di Atas Kertas, Bukan di Lapangan?

Renop dan SPMI: Alat Eksekusi dan Penjaminan Mutu

Renop (Rencana Operasional) adalah alat pelaksana Renstra dalam horizon tahunan. Sayangnya, banyak Renop hanya berisi daftar kegiatan rutin. Agar efektif, Renop harus menyebutkan indikator dan sasaran yang selaras dengan Renstra dan IKU, serta menjawab kebutuhan peningkatan mutu.

SPMI berperan sebagai sistem pengendali dan penjamin mutu dari semua implementasi Renop dan Renstra. Pedoman SPMI 2024 menekankan bahwa standar mutu internal harus disusun berdasarkan misi institusi.

Baca juga: Mutu adalah Kepemimpinan, Bukan Sekadar Administrasi

Pentingnya Integrasi dan Urutan Logis

Maka integrasi antar dokumen harus dijaga dengan cermat. Hindari pendekatan sektoral dan bentuk Tim Koordinasi Strategis lintas bidang (LPM, perencanaan, SDM, akademik, keuangan, dll).

Pendekatan PPEPP dalam SPMI memberi kerangka ideal untuk menjaga keterpaduan. Penetapan standar dan strategi mutu (dalam statuta dan RIP) harus diikuti pelaksanaan (Renstra dan Renop), lalu dievaluasi dan dikendalikan (SPMI), dan ditingkatkan secara berkala. Dengan urutan ini, tidak ada dokumen yang tumpang tindih atau saling bertentangan.

Baca juga: Kesalahan Klasik: Mutu Diserahkan ke LPM Tanpa Keterlibatan Manajemen Puncak

Penutup

Kaji ulang (review) dokumen strategis kampus bukan sekadar memenuhi kewajiban administratif, tetapi upaya sadar untuk membangun kampus yang relevan, adaptif, dan bermutu. Dimulai dari Evaluasi Diri Institusi yang jujur, pembaruan harus dimulai dari hulu (Statuta), lalu mengalir ke RIP, Renstra, Renop, dan dijaga dengan SPMI.

Dengan pendekatan integratif, berbasis diferensiasi misi, dan berpijak pada siklus PPEPP, kampus tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga tumbuh dengan identitas yang jelas dan mutu yang berkelanjutan. Karena itu, jangan buru-buru merevisi dokumen parsial. Mulailah dari yang paling fundamental—dan bangunlah dari akar. Stay Relevant!

Baca juga: SPMI Tanpa Teknologi Digital? Bersiaplah Hadapi Kegagalan!


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. Kim, W. C., & Mauborgne, R. (2005). Blue ocean strategy: How to create uncontested market space and make the competition irrelevant. Harvard Business School Press.
  4. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  5. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  6. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  7. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  8. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Mission Differentiation Perguruan Tinggi

Mission Differentiation: Rahasia Kampus Kecil Bisa Unggul di Tengah Kompetisi Nasional


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Di tengah gempuran kampus besar yang kaya fasilitas dan jaringan, kampus kecil—terutama perguruan tinggi swasta—sering merasa tak berdaya dalam kompetisi pendidikan tinggi nasional. Padahal, unggul bukan soal ukuran, tetapi soal kejelasan arah dan kekuatan posisi.

Konsep ini mulai diarusutamakan dalam dokumen strategis seperti Rencana Induk Pengembangan (RIP), Rencana Strategis (Renstra), bahkan hingga branding institusi. Dengan pendekatan ini, kampus tidak perlu menjadi seperti universitas besar nasional. Sebaliknya, ia justru bisa unggul di ceruk pasar yang lebih spesifik. Strategi ini sejalan dengan prinsip dalam marketing modern: siapa yang paling paham segmennya, dialah yang paling mudah memenangkan hati konsumennya.

Baca juga: SPMI dan Ironi Lulusan Menganggur: Mutu di Atas Kertas, Bukan di Lapangan?

Kenali Segmen, Temukan Ceruknya

Dalam dunia pemasaran, langkah pertama sebelum menentukan strategi adalah memahami siapa target pasar kita. Dalam konteks pendidikan tinggi, ini berarti memahami siapa calon mahasiswa yang ingin kita layani, dari latar belakang mana, dengan kebutuhan seperti apa. Kampus kecil bisa mulai dengan market segmentation sederhana: wilayah geografis, karakteristik ekonomi, minat keahlian, hingga nilai budaya lokal.

Setelah memahami segmen ini, kampus harus berani memilih: tidak semua pasar harus dilayani. Inilah yang disebut targeting. Alih-alih membidik semua calon mahasiswa, kampus lebih baik fokus pada kelompok yang paling cocok dengan keunggulannya. Misalnya, kampus di daerah industri bisa memfokuskan diri sebagai kampus vokasi yang kuat di bidang manufaktur. Sementara kampus berbasis pesantren bisa menonjolkan perpaduan nilai spiritual dan kewirausahaan.

Baca juga: Mutu adalah Kepemimpinan, Bukan Sekadar Administrasi

Positioning: Tampil Beda Bukan Sekadar Gimmick

Dalam teori marketing modern, positioning adalah tentang bagaimana kita ingin dilihat dan diingat oleh publik. Untuk kampus kecil, positioning yang kuat bisa menjadi pembeda utama yang tak tergantikan. Misalnya, menjadi “kampus entreprenership berbasis ekonomi lokal” atau “kampus inovasi berbasis pedesaan” jauh lebih mengena ketimbang sekadar menyebut diri sebagai “unggul dan berdaya saing global”—yang terdengar klise dan tidak spesifik.

Positioning yang efektif harus konsisten di semua saluran komunikasi dan tertanam dalam program-program nyata. Mulai dari isi website, brosur PMB, media sosial, hingga kegiatan tridharma. Bahkan lebih dari itu, positioning yang kuat harus ditanamkan dalam dokumen resmi seperti visi-misi, RIP, Renstra, dan Statuta. Dengan begitu, misi kampus tidak hanya menjadi slogan, tetapi benar-benar mengarahkan semua keputusan strategis. Seperti dikatakan oleh Kim dan Mauborgne dalam Blue Ocean Strategy, “The only way to beat the competition is to stop trying to beat the competition.” Kampus kecil bisa unggul justru dengan keluar dari zona persaingan langsung dan menciptakan ruang pasarnya sendiri.

Baca juga: Kesalahan Klasik: Mutu Diserahkan ke LPM Tanpa Keterlibatan Manajemen Puncak

Konsep mission differentiation harus dituliskan secara eksplisit dalam RIP dan Renstra

Diferensiasi Misi dalam Dokumen Strategis

Konsep mission differentiation harus dituliskan secara eksplisit dalam RIP dan Renstra. RIP sebagai dokumen visi jangka panjang bisa memuat arah pengembangan yang khas: misalnya pengembangan sektor perikanan lokal, atau pusat kewirausahaan perempuan. Renstra kemudian menurunkan arah tersebut ke dalam sasaran, indikator, dan program kerja konkret.

Bukan hanya dokumen perencanaan, statuta sebagai fondasi hukum kampus pun sebaiknya merefleksikan diferensiasi ini. Misalnya dalam rumusan fungsi perguruan tinggi, tujuan institusional, atau struktur kelembagaan yang mendukung fokus strategis. Hal ini penting agar semua unit kerja bergerak dalam arah yang sama, dengan identitas yang jelas.

Bac juga: Inilah Alur Penetapan SPMI yang Jarang Diketahui

SPMI: Penjamin Misi agar Tak Menyimpang

Setelah misi dibedakan dan dideklarasikan, tantangan berikutnya adalah menjaganya tetap konsisten dalam pelaksanaan. Di sinilah peran penting Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). SPMI tidak hanya berfungsi sebagai alat akreditasi, tetapi sebagai mission control yang memastikan semua program dan kegiatan kampus tetap sejalan dengan arah strategis.

Evaluasi mutu pun harus fokus: bukan sekadar memenuhi borang, tapi menjawab apakah kampus sudah bergerak sesuai misinya. Dalam hal ini, siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) menjadi alat utama. Siklus ini memastikan bahwa standar yang ditetapkan benar-benar dijalankan, dinilai efektivitasnya, dikendalikan jika menyimpang, dan ditingkatkan bila sudah tidak relevan.

Baca juga: SPMI dan Dunia Kerja: Sudahkah Kampus Dengarkan Industri?

Penutup

Kampus kecil tidak perlu menjadi kampus besar untuk bisa unggul. Yang diperlukan adalah kejelasan misi, fokus pada segmen yang tepat, dan konsistensi pelaksanaan. Dengan diferensiasi misi yang kuat dan positioning yang terarah, kampus kecil bisa punya nilai unik yang tak dimiliki oleh institusi lain.

Ketika diferensiasi ini tertanam dalam dokumen strategis dan dijaga oleh SPMI, maka kampus kecil bisa menjadi besar dengan caranya sendiri: relevan, berdampak, dan unggul secara otentik. Stay Relevant!

Baca juga: SPMI Gagal Total? Jangan Salahkan Sistem, Perbaiki Komunikasi!


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. Kim, W. C., & Mauborgne, R. (2005). Blue ocean strategy: How to create uncontested market space and make the competition irrelevant. Harvard Business School Press.
  4. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  5. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  6. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  7. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  8. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Statuta Sudah Usang? Inilah Cara Cerdas Memulai Transformasi Perguruan Tinggi dari Akar

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Banyak perguruan tinggi swasta (PTS) menghadapi tekanan besar akibat perubahan lingkungan yang cepat, tidak pasti, kompleks, dan ambigu—dikenal sebagai era VUCA. Kini bahkan istilah BANI (brittle, anxious, nonlinear, incomprehensible) makin mencerminkan realitas dunia pendidikan tinggi yang rapuh dan sulit diprediksi. Dalam situasi seperti ini, transformasi institusi bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Namun, perbaikannya seringkali kampus justru memulai dari level program atau kegiatan, tanpa membenahi pondasi hukumnya: statuta.

Statuta adalah dokumen tertinggi dalam struktur kelembagaan perguruan tinggi. Di dalamnya termuat visi, misi, nilai-nilai dasar, sistem pengelolaan, hingga arah pengembangan tridharma.

Karena itu, langkah cerdas dan mendasar yang bisa diambil oleh pimpinan kampus adalah meninjau ulang dan menyusun statuta baru yang kontekstual.

Baca juga: Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?

Statuta sebagai Kompas Identitas

Permenristekdikti No. 16 Tahun 2018 dengan jelas menyebut bahwa setiap PTS wajib memiliki statuta sebagai peraturan dasar pengelolaan.

Dengan latar realitas yang terus berubah, statuta perlu memuat elemen-elemen identitas yang kuat namun tetap lentur. Visi dan misi tidak boleh sekadar slogan, melainkan harus mencerminkan mission differentiation—keunikan peran kampus dalam ekosistem pendidikan tinggi nasional. Apakah kampus ingin unggul sebagai pusat inovasi lokal? Sebagai pelopor pendidikan kewirausahaan? Atau sebagai jembatan industri dan akademik? Semua ini harus mulai ditanamkan di dalam statuta.

Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?

Fleksibel, Tapi Tidak Goyah

Salah satu tantangan umum dalam penyusunan statuta adalah kekakuan bahasa dan struktur, sehingga mudah sekali menjadi usang begitu ada perubahan regulasi. Padahal, revisi statuta bukan perkara ringan karena melibatkan badan penyelenggara dan proses legal formal. Oleh karena itu, statuta PTS perlu disusun dengan prinsip “fleksibel tapi tidak goyah”.

Bagaimana caranya? Dengan memuat ketentuan umum yang bersifat prinsipil, dan mendetailkan aspek-aspek teknis di dalam peraturan rektor, SOP, atau dokumen operasional lainnya. Misalnya, alih-alih mencantumkan seluruh bentuk pelaksanaan MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) secara rigid di statuta, cukup ditegaskan bahwa kampus mendukung implementasi kebijakan nasional pendidikan tinggi secara adaptif, dan detailnya diatur lebih lanjut di bawahnya.

Baca juga: Siapa Saja Stakeholder Perguruan Tinggi? Mengenal, Memahami dan Melayani

Statuta yang disusun ulang seharusnya menjadi titik tolak bagi penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI).

Landasan Bagi SPMI dan Transformasi Mutu

Statuta yang disusun ulang seharusnya menjadi titik tolak bagi penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Dalam Pasal 4 Permenristekdikti No. 16 Tahun 2018, disebutkan bahwa statuta harus mengatur tata kelola dan akuntabilitas publik.

SPMI dan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian dan Peningkatan Standar) tidak boleh hanya bertumpu pada borang dan SOP, tetapi harus menjadi sistem reflektif yang menurunkan nilai-nilai dalam statuta ke dalam standar, evaluasi, dan perbaikan berkelanjutan. Ketika statuta berbicara tentang nilai integritas dan inovasi, SPMI-lah yang menjaganya tetap hidup dalam praktik harian—dari proses pembelajaran hingga pengabdian masyarakat.

Baca juga: Membangun Budaya Mutu: Apakah Pemimpin Anda Memiliki Skor 9,9 di Managerial Grid?

Menjalin Integrasi dengan Dokumen Lain

Statuta adalah akar, tapi bukan satu-satunya unsur yang menopang pohon strategis kampus. Ia harus diturunkan ke dalam Rencana Induk Pengembangan (RIP), Rencana Strategis (Renstra), Rencana Operasional (Renop), hingga sistem indikator kinerja dan pelaporan. Maka, penyusunan ulang statuta harus dilakukan dengan pandangan sistemik.

Dengan begitu, seluruh elemen strategi kampus menjadi satu simpul yang saling menguatkan, bukan jalan masing-masing.

Baca juga: Inovasi Sarana dan Prasarana: Menjawab Tantangan Pendidikan Masa Depan

Penutup

Di tengah dunia yang bergerak semakin cepat dan tidak pasti, kampus butuh fondasi hukum yang kuat, namun tetap adaptif.

Pimpinan perguruan tinggi swasta yang visioner tidak akan membiarkan statuta tertinggal dari realitas. Sebaliknya, mereka akan menjadikannya sebagai kompas utama dalam membangun budaya mutu, diferensiasi misi, dan integrasi antar dokumen strategis lainnya. Karena transformasi sejati dimulai bukan dari program, tapi dari akar: statuta. Stay Relevant!

Baca juga: Harmoni Teori X dan Y: Membangun SPMI yang Humanis dan Berkelanjutan

Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. (2018). Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Tata Cara Penyusunan Statuta Perguruan Tinggi Swasta.
  4. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  5. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  6. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  7. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  8. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Regulasi Baru

SPMI dan Ironi Lulusan Menganggur: Mutu di Atas Kertas, Bukan di Lapangan?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Belakangan ini, dunia pendidikan global diguncang oleh berita mengejutkan: 23% lulusan Harvard Business School (HBS) angkatan 2024 tidak terserap dunia kerja dalam waktu tiga bulan setelah kelulusan.

Harvard, dengan seluruh reputasi dan kredensial akademiknya, tetap menyaksikan lulusan MBA-nya kesulitan mendapatkan pekerjaan. Ini memunculkan pertanyaan mendasar:

Baca juga: Gamifikasi SPMI: Mungkinkah Diterapkan di Perguruan Tinggi?

Mutu Pendidikan: Sekadar Prosedur?

Sesuai dengan Pedoman Implementasi SPMI 2024, mutu pendidikan tinggi ditetapkan melalui 5 siklus PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar Pendidikan Tinggi. Secara teoritis, ini merupakan sistem yang kokoh dan komprehensif.

Padahal, meskipun indikator seperti penyerapan lulusan sudah tercantum dalam instrumen akreditasi, implementasinya di lapangan sering belum dijadikan fokus utama dalam proses evaluasi mutu internal. Akibatnya, potensi untuk menggunakan data dunia kerja sebagai cermin kualitas lulusan belum sepenuhnya dimanfaatkan secara strategis dalam pengambilan keputusan mutu di perguruan tinggi.

Baca juga: Mutu adalah Kepemimpinan, Bukan Sekadar Administrasi

Mutu harus berpihak pada pemangku kepentingan utama: dunia kerja dan masyarakat.

Benarkan SPMI ditujukan untuk Dunia Kerja?

SPMI sebagai sistem mutu seharusnya lebih dari sekadar mekanisme pelaporan. Dalam Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, dijelaskan bahwa mutu harus berpihak pada pemangku kepentingan utama: dunia kerja dan masyarakat.

Baca juga: Kesalahan Klasik: Mutu Diserahkan ke LPM Tanpa Keterlibatan Manajemen Puncak

Relevansi Praktis

Untuk menjawab tantangan ini, SPMI perlu menjadi sistem reflektif, bukan hanya kepatuhan. Kampus harus benar-benar menyeriusi pertanyaan: “Sejauh mana lulusan kami dibutuhkan dan mampu bersaing di dunia nyata?”

Salah satu kunci transformasi adalah memperkuat indikator berbasis dampak. Misalnya, perguruan tinggi harus mulai serius menelaah sejauh mana lulusannya terserap di dunia kerja, bukan hanya berapa banyak yang lulus tepat waktu. Data dari tracer study harus diolah secara bermakna dan ditindaklanjuti, bukan hanya menjadi formalitas pelaporan.

Lebih dari itu, penting untuk menilai apakah kompetensi yang dimiliki lulusan benar-benar sesuai dengan kebutuhan industri saat ini. Ini bisa dideteksi dari gap antara kurikulum dan ekspektasi dunia kerja, yang seringkali luput dari perhatian karena SPMI terlalu fokus pada pemenuhan standar internal. Bahkan, untuk memastikan kesesuaian ini, perguruan tinggi seharusnya juga mencermati bagaimana performa lulusan dalam satu tahun pertama bekerja—apakah mereka mampu beradaptasi, berkembang, atau justru tertinggal.

Dan yang tak kalah penting adalah mendengarkan langsung suara dari industri, yakni perusahaan yang merekrut lulusan. Umpan balik dari pengguna lulusan harus menjadi bagian penting dalam siklus evaluasi mutu. Tanpa suara dari luar kampus, perguruan tinggi hanya akan menilai dirinya sendiri, dengan risiko besar: merasa bermutu tanpa pernah benar-benar tahu, apakah lulusannya memang dibutuhkan.

Baca juga: Mengapa GKM Gagal? Studi Kebutuhan Maslow dalam Manajemen Mutu

Penutup

Kasus Harvard jadi pengingat tajam: bahkan institusi dengan nama besar, juga berpotensi kehilangan relevansi. Maka, Indonesia perlu memastikan bahwa SPMI tidak hanya menjamin proses yang baik, tapi juga hasil yang berdampak. Stay Relevant!

Baca juga: SPMI Stagnan? Mungkin Program Pelatihan Terabaikan!


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan SPME

Gamifikasi SPMI: Mungkinkah Diterapkan di Perguruan Tinggi?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan mekanisme utama dalam menjaga mutu pendidikan tinggi secara berkelanjutan (kaizen). Namun, realitas di banyak perguruan tinggi menunjukkan bahwa implementasi SPMI sering kali kurang menarik bagi stakeholder internal. Dosen dan staf akademik cenderung melihat SPMI sebagai beban administratif yang bersifat birokratis, sementara mahasiswa jarang dilibatkan secara aktif dalam proses evaluasi mutu.

Minimnya keterlibatan ini dapat dikaitkan dengan fenomena kelembaman organisasi (organizational inertia), yaitu kecenderungan individu dalam suatu organisasi untuk mempertahankan kebiasaan lama dan menolak perubahan yang dianggap tidak memberikan manfaat langsung. Akibatnya, meskipun berbagai dokumen SPMI telah dirancang dengan baik, efektivitas implementasinya masih jauh dari harapan. Dalam konteks ini, gamifikasi menawarkan pendekatan baru yang dapat meningkatkan partisipasi stakeholder dengan cara yang lebih interaktif dan menarik.

Baca juga: Mengapa GKM Gagal? Studi Kebutuhan Maslow dalam Manajemen Mutu

Penerapan elemen permainan dalam aktivitas non-game

Gamifikasi: Solusi atau Sekadar Tren?

Gamifikasi adalah penerapan elemen permainan dalam aktivitas non-game untuk meningkatkan motivasi dan keterlibatan individu. Konsep ini telah sukses diterapkan dalam berbagai sektor, termasuk manajemen organisasi, pemasaran, dan pendidikan.

Penerapan gamifikasi dalam organisasi didukung oleh teori self-determination dari Deci dan Ryan, yang menekankan bahwa individu lebih termotivasi untuk berpartisipasi dalam suatu aktivitas ketika mereka merasa memiliki otonomi, kompetensi, dan keterhubungan sosial dalam tugas tersebut. Dengan menyediakan sistem penghargaan berbasis pencapaian, leaderboard kompetitif, dan sistem poin untuk partisipasi dalam evaluasi mutu, perguruan tinggi dapat meningkatkan keterlibatan stakeholder dalam SPMI.

Baca juga: SPMI Tanpa Teknologi Digital? Bersiaplah Hadapi Kegagalan!

Hambatan dalam Penerapan Gamifikasi

Meskipun gamifikasi menawarkan banyak peluang dan manfaat, implementasinya dalam SPMI di perguruan tinggi juga menghadapi berbagai tantangan. Salah satu kendala utama adalah kesiapan teknologi dan infrastruktur. Banyak perguruan tinggi masih menggunakan sistem manual dalam pengelolaan dokumen SPMI, sehingga sulit untuk menerapkan platform digital yang memungkinkan pemberian penghargaan secara otomatis atau pelacakan partisipasi secara real-time.

Selain itu, resistensi terhadap perubahan menjadi tantangan besar dalam organisasi akademik. Menurut teori perubahan organisasi dari Kotter, perubahan harus dilakukan secara bertahap dengan strategi komunikasi yang efektif untuk mengurangi resistensi. Jika pimpinan institusi tidak memberikan pemahaman yang cukup mengenai manfaat gamifikasi dalam SPMI, maka kemungkinan besar dosen dan staf akademik akan menganggap sistem ini sebagai beban tambahan yang tidak diperlukan.

Baca juga: SPMI Gagal Total? Jangan Salahkan Sistem, Perbaiki Komunikasi!

Risiko Gamifikasi dalam SPMI

Salah satu risiko terbesar dalam penerapan gamifikasi adalah kemungkinan bahwa sistem ini hanya akan berfungsi sebagai “hiburan sesaat” tanpa dampak nyata terhadap peningkatan mutu akademik. Jika elemen permainan dalam SPMI tidak dirancang dengan baik atau tidak memiliki keterkaitan langsung dengan tujuan akademik, maka gamifikasi berisiko kehilangan efektivitasnya dalam jangka panjang.

Agar gamifikasi tidak hanya menjadi sekadar tren, perguruan tinggi perlu memastikan bahwa sistem ini dirancang dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip reinforcement theory dari Skinner. Dengan menerapkan penguatan positif yang jelas dan relevan, seperti insentif akademik atau akses prioritas terhadap program pengembangan profesional, institusi dapat memastikan bahwa gamifikasi benar-benar memberikan dampak yang signifikan terhadap keterlibatan stakeholder dalam SPMI.

Inspirasi praktek baik

Meskipun menghadapi berbagai tantangan, beberapa perguruan tinggi di luar negeri telah menerapkan gamifikasi untuk meningkatkan keterlibatan karyawan dalam sistem mutu. Open University di Inggris, misalnya, berhasil meningkatkan partisipasi dosen dalam evaluasi pembelajaran hingga 45% dengan sistem penghargaan digital berbasis lencana dan poin. Sementara itu, di Indonesia, sebuah universitas swasta menerapkan kompetisi antar fakultas dalam penyusunan laporan mutu akademik, yang berdampak pada peningkatan kepatuhan fakultas terhadap kebijakan mutu.

Perguruan tinggi yang ingin mengadopsi sistem ini harus terlebih dahulu mengidentifikasi kesiapan institusinya dan mengembangkan strategi implementasi yang sesuai dengan karakteristik stakeholder mereka.

Baca juga: PPEPP Bukan Beban, Tapi Solusi, Benarkah?

Penutup

Gamifikasi memiliki potensi besar untuk meningkatkan keterlibatan stakeholder dalam SPMI, namun keberhasilannya sangat bergantung pada kesiapan teknologi, strategi komunikasi, dan relevansi sistem penghargaan yang diterapkan. Perguruan tinggi yang ingin mengadopsi gamifikasi dalam SPMI harus memastikan bahwa sistem ini tidak hanya menjadi elemen tambahan yang bersifat kosmetik, tetapi benar-benar berkontribusi terhadap peningkatan mutu akademik dan non akademik.

Penerapan gamifikasi dalam SPMI mungkin tidak selalu mudah, tetapi dengan pendekatan yang berbasis data dan strategi implementasi yang matang, gamifikasi dapat menjadi solusi inovatif untuk menciptakan budaya mutu yang lebih kolaboratif, interaktif, dan berkelanjutan di perguruan tinggi. Oleh karena itu, eksplorasi lebih lanjut mengenai efektivitas gamifikasi dalam berbagai konteks pendidikan tinggi perlu dilakukan untuk memastikan bahwa sistem ini benar-benar dapat memberikan dampak positif bagi institusi akademik. Stay Relevant!


Referensi

  1. Burke, B. (2014). Gamify: How Gamification Motivates People to Do Extraordinary Things. Gartner Press.
  2. Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic Motivation and Self-Determination in Human Behavior. Springer.
  3. Glover, I. (2013). “Play as You Learn: Gamification as a Technique for Motivating Learners.” Proceedings of EdMedia + Innovate Learning, 1999-2008.
  4. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  5. Kotter, J. P. (1996). Leading Change. Harvard Business Press.
  6. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2022). Organizational Behavior (19th ed.). Pearson.
  7. Vroom, V. H. (1964). Work and Motivation. Wiley.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Leadership

Mutu adalah Kepemimpinan, Bukan Sekadar Administrasi

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Dalam banyak institusi, terutama di perguruan tinggi, mutu sering dipahami sebagai serangkaian prosedur administratif seperti pengisian borang akreditasi, audit internal, dan laporan tahunan. Namun, persepsi semacam ini hanya menjadikan mutu sebagai kepatuhan pasif terhadap regulasi, bukan sebagai budaya organisasi yang mendorong peningkatan nyata menuju layanan excellence.

Pendekatan kepemimpinan transformasional, yang diperkenalkan oleh James MacGregor Burns (1978) dan dikembangkan lebih lanjut oleh Bass & Avolio (1994), menawarkan cara pandang yang lebih efektif dalam membangun sistem mutu. Pemimpin transformasional tidak hanya memastikan kepatuhan terhadap standar (compliance), tetapi juga “menginspirasi” perubahan, “menanamkan visi” mutu dalam organisasi, serta mendorong seluruh civitas akademika untuk terlibat dalam peningkatan berkelanjutan.

Baca juga: SPMI di Era AI: Apakah Gaya Kepemimpinan Anda Siap Beradaptasi?

Pemimpin transformasional adalah “role model” dalam organisasi

Kepemimpinan Transformasional: Kunci Menciptakan Budaya Mutu

Idealized Influence (Pengaruh Ideal) – Pemimpin Sebagai Teladan Mutu

Pemimpin transformasional adalah role model dalam organisasi. Dalam konteks Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), pemimpin harus menunjukkan komitmen kuat terhadap mutu, baik dalam kebijakan strategis maupun dalam praktik sehari-hari.

Sebaliknya, jika pemimpin secara aktif terlibat dalam peningkatan mutu akademik, penelitian, dan pelayanan kepada mahasiswa, maka mutu akan menjadi prioritas di seluruh institusi. Kepemimpinan transformasional menuntut pemimpin untuk menjadi “contoh nyata” (walk the talk) dalam penerapan budaya mutu, bukan hanya sekadar mengawasi implementasi prosedur administrasi.

Inspirational Motivation (Motivasi Inspirasional) – Membangun Visi Mutu yang Kuat

Pemimpin transformasional tidak hanya bekerja dengan angka dan dokumen, tetapi menginspirasi perubahan dengan visi yang jelas. Dalam konteks SPMI pendidikan, visi ini bisa berupa menjadi kampus unggulan, meningkatkan relevansi lulusan dengan industri, atau membangun sistem pembelajaran yang inovatif.

Ketika pemimpin mampu mengkomunikasikan visi ini dengan penuh semangat dan keyakinan, maka seluruh anggota organisasi akan merasa termotivasi dan terlibat dalam proses peningkatan standar SPMI. Sebaliknya, jika mutu hanya dipahami sebagai tugas administratif, maka akan sulit untuk membangun antusiasme dan motivasi dalam implementasinya.

Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI

Belajar dari ISO 9001:2015 – Mengapa MR Dihapus?

ISO 9001:2008 sebelumnya mewajibkan organisasi memiliki Management Representative (MR) yang bertanggung jawab terhadap sistem mutu. Namun, pada ISO 9001:2015, persyaratan ini dihapus. Mengapa?

Alasan utama perubahan ini adalah untuk memastikan bahwa tanggung jawab mutu tidak hanya berada di tangan segelintir orang atau satu unit (seperti LPM), tetapi menjadi bagian dari kepemimpinan organisasi secara keseluruhan. Dengan kata lain, ISO 9001:2015 menuntut penerapan kepemimpinan transformasional dalam sistem mutu, di mana pimpinan tertinggi harus terlibat secara langsung dalam membangun, mengarahkan, dan mengevaluasi sistem mutu di organisasi mereka.

Jika institusi hanya mengandalkan satu unit untuk mengelola SPMI tanpa keterlibatan pimpinan, maka sistem mutu tidak akan berjalan efektif dan hanya menjadi formalitas.

Baca juga: SPMI dan Teori Kepemimpinan Manajerial Grid

Administrasi Penting, tapi Tidak Bisa Berdiri Sendiri

Tidak dapat disangkal bahwa administrasi yang kuat sangat penting dalam sistem mutu. Standar akreditasi, regulasi pemerintah, dan evaluasi internal tetap dibutuhkan untuk memastikan bahwa perguruan tinggi berjalan sesuai aturan. Namun:

Misalnya, banyak perguruan tinggi telah menerapkan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) berdasarkan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti). Namun, dalam praktiknya, sering kali implementasi ini tidak benar-benar meningkatkan mutu pembelajaran karena hanya dijalankan sebagai prosedur administratif. Tanpa kepemimpinan yang aktif dalam penerapan dan evaluasi, sistem ini hanya akan berjalan sebagai rutinitas tanpa dampak nyata terhadap mutu akademik dan non akademik.

Menerapkan Kepemimpinan Transformasional

Agar mutu tidak hanya menjadi urusan administratif, berikut beberapa tips strategi berdasarkan kepemimpinan transformasional yang dapat diterapkan dalam SPMI perguruan tinggi:

  • Menjadikan mutu sebagai bagian dari visi dan strategi institusi – Bukan sekadar tugas tahunan untuk akreditasi, tetapi menjadi orientasi jangka panjang dalam pengambilan keputusan.
  • Melibatkan seluruh civitas akademika dalam peningkatan mutu – Bukan hanya tanggung jawab LPM, tetapi juga dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan, dan stakeholder lainnya.
  • Mendorong inovasi dalam pembelajaran dan riset – Mutu tidak hanya soal evaluasi dan audit, tetapi juga bagaimana meningkatkan pengalaman belajar dan penelitian.
  • Membangun budaya refleksi dan perbaikan berkelanjutan – Mutu bukan sesuatu yang dicapai sekali saja, tetapi harus selalu berkembang seiring waktu.

Dengan menerapkan strategi ini, sistem mutu tidak hanya akan berjalan sebagai kepatuhan administratif, tetapi benar-benar menciptakan lingkungan akademik yang unggul, inovatif, dan kompetitif.

Baca juga: SPMI dan Teori Kepemimpinan Edwin Ghiselli

Poin Penting: Mutu Butuh Pemimpin

Pelajaran dari ISO 9001:2015 menunjukkan bahwa mutu tidak bisa hanya diserahkan kepada satu unit seperti LPM / UPM / PJM, tetapi harus menjadi bagian dari strategi kepemimpinan organisasi. Dengan mengadopsi kepemimpinan transformasional, institusi pendidikan dapat membangun SPMI yang tidak hanya sekadar patuh terhadap regulasi, tetapi juga menghasilkan perubahan nyata dalam mutu layanan akademik dan non akademik. Stay Relevant!


Referensi

  1. Bass, B. M., & Avolio, B. J. (1994). Improving organizational effectiveness through transformational leadership. SAGE Publications.
  2. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  3. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  4. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  5. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  6. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  7. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  8. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Kemalasan Sosial

Kesalahan Klasik: Mutu Diserahkan ke LPM Tanpa Keterlibatan Manajemen Puncak

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Penjaminan mutu di perguruan tinggi sering kali dianggap sebagai tugas eksklusif Lembaga Penjaminan Mutu (LPM), seolah-olah hanya unit ini yang bertanggung jawab terhadap mutu akademik dan administrasi. Hal ini menjadi kesalahan mendasar dalam banyak institusi pendidikan tinggi.

Menurut Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) 2024, mutu adalah “tanggung jawab kolektif” seluruh civitas akademika, bukan hanya LPM. Edward Deming mengatakan “Quality is everyone’s responsibility“, jika perguruan tinggi ingin mencapai standar pendidikan yang tinggi, maka keterlibatan aktif dari rektor, dekan, kepala program studi, dosen, dan tenaga kependidikan sangat diperlukan. Tanpa komitmen ini, LPM hanya akan menjadi unit administratif belaka, yang sibuk mengurus dokumen administrasi tanpa pengaruh nyata terhadap peningkatan mutu.

Belajar dari ISO 9001

ISO 9001:2008 sebelumnya mewajibkan adanya Management Representative (MR) sebagai individu yang bertanggung jawab atas sistem manajemen mutu dalam organisasi. Namun, pada ISO 9001:2015, persyaratan ini dihapus dengan alasan bahwa tanggung jawab mutu tidak boleh hanya berada pada satu orang atau unit tertentu. Sebaliknya, manajemen puncak harus mengambil peran yang lebih aktif dalam memastikan keberhasilan sistem mutu.

Dalam konteks perguruan tinggi, konsep ini sangat relevan. Jika LPM dianggap sebagai “MR” yang bertanggung jawab sepenuhnya atas mutu, maka akan terjadi isolasi sistem penjaminan mutu.

Oleh karena itu, seperti dalam ISO 9001:2015, perguruan tinggi harus memastikan bahwa mutu menjadi bagian dari strategi kelembagaan, bukan hanya kewajiban formal yang diurus oleh satu unit.

Ketika Manajemen Puncak Tidak Terlibat

Jika manajemen puncak tidak terlibat dalam sistem penjaminan mutu, maka beberapa konsekuensi negatif akan terjadi. Pertama, budaya mutu tidak akan terbentuk secara menyeluruh. Dosen dan tenaga kependidikan mungkin tidak memahami pentingnya mutu dan melihatnya sebagai beban tambahan daripada sebagai bagian dari proses akademik yang terintegrasi.

Kedua, sistem mutu yang ada menjadi sekadar pemenuhan dokumen untuk keperluan akreditasi tanpa adanya perubahan nyata dalam mutu pengajaran dan penelitian. Hal ini mirip dengan organisasi yang menerapkan ISO 9001 hanya untuk mendapatkan sertifikasi, tetapi tidak benar-benar menjalankan prinsip perbaikan berkelanjutan.

Reformasi Sistem Mutu

Agar sistem mutu perguruan tinggi tidak terjebak dalam birokrasi, manajemen puncak harus mengambil peran aktif dalam beberapa aspek utama:

  1. Kepemimpinan yang Berorientasi pada Mutu – Rektor dan dekan harus menjadikan mutu sebagai bagian dari visi dan strategi perguruan tinggi, bukan sekadar tanggung jawab LPM.
  2. Integrasi Mutu ke dalam Pengambilan Keputusan – Setiap kebijakan akademik dan administratif harus mempertimbangkan aspek mutu dan bukan hanya sekadar target angka dalam akreditasi.
  3. Keterlibatan Seluruh Civitas Akademika – Mutu tidak bisa hanya menjadi urusan unit tertentu; dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan harus menjadi bagian dari sistem mutu yang berkelanjutan.

Dengan menerapkan reformasi ini, perguruan tinggi dapat mengadopsi pendekatan Continuous Quality Improvement (CQI) yang lebih efektif, seperti yang ditekankan dalam ISO 9001:2015. Dengan demikian, mutu menjadi budaya yang hidup dalam institusi, bukan hanya sekadar formalitas administratif.

Poin Penting: Mutu adalah Kepemimpinan

Kesalahan klasik dalam banyak perguruan tinggi adalah menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab mutu kepada LPM, tanpa keterlibatan aktif dari top management. Belajar dari perubahan ISO 9001:2015, tanggung jawab mutu harus didistribusikan ke seluruh bagian organisasi agar sistem mutu tidak terisolasi dan kehilangan efektivitasnya.

LPM tetap memiliki fungsi penting, tetapi bukan sebagai satu-satunya pihak yang mengurus mutu. Sebaliknya, mutu harus menjadi bagian dari strategi institusi yang dikelola bersama, dari tingkat tertinggi hingga operasional harian di kelas dan laboratorium. Hanya dengan pendekatan ini, sistem penjaminan mutu dapat berjalan secara efektif dan berkelanjutan. Stay Relevant


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Servant Leadership

GKM di Kampus: Antara Idealitas Mutu dan Realitas Kinerja

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Gugus Kendali Mutu (GKM) di perguruan tinggi lahir sebagai upaya meningkatkan mutu layanan akademik dan non akademik. Dengan konsep kolaboratif, GKM mengajak dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa untuk berpartisipasi dalam perbaikan mutu secara berkelanjutan. Secara ideal, GKM menjadi motor penggerak dalam implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), memastikan bahwa kebijakan dan praktik mutu akademik berjalan sesuai standar SPMI yang telah ditetapkan.

Namun, di lapangan, realitasnya sering kali berbeda. Banyak perguruan tinggi mengalami kesulitan dalam mengoptimalkan peran GKM, baik dari segi partisipasi, efektivitas, maupun keberlanjutan programnya. Alih-alih menjadi instrumen perbaikan mutu, GKM terkadang hanya berfungsi sebagai formalitas, sekedar ada, tanpa dampak signifikan bagi peningkatan kinerja institusi.

TQM dan Komitmen Kerja
Pentingnya Komitmen Pimpinan

Partisipasi dan Komitmen yang Masih Lemah

Salah satu tantangan utama dalam implementasi GKM adalah rendahnya partisipasi dari sivitas akademika. Banyak dosen dan tenaga kependidikan enggan menjadi tim GKM, mereka menganggap GKM sebagai tambahan beban kerja, bukan sebagai bagian dari tanggung jawab profesional mereka. Kurangnya pemahaman mengenai manfaat langsung GKM bagi individu dan institusi membuat keterlibatan dalam forum ini minim dan cenderung bersifat administratif semata.

Di sisi lain, pimpinan perguruan tinggi (rektor, ketua, direktur) sering kali belum memberikan dukungan penuh terhadap keberlangsungan GKM. Tanpa komitmen dan kesungguhan dari manajemen puncak, kegiatan GKM sulit mendapatkan anggaran, waktu, dan fasilitas yang memadai. Akibatnya, banyak program yang berhenti di tengah jalan atau sekadar menjadi laporan tahunan tanpa tindak lanjut konkret.

Antara Idealitas dan Realitas

Secara umum, fungsi GKM, idealnya menjadi forum untuk menciptakan inovasi dan solusi berbasis data dalam perbaikan mutu akademik. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kurangnya budaya mutu (quality culture) menjadi penghambat utama. Di banyak perguruan tinggi, budaya mutu belum tertanam kuat, sehingga inisiatif seperti GKM hanya berjalan di permukaan tanpa dampak jangka panjang.

Selain itu, “komunikasi internal” yang lemah juga berkontribusi terhadap keberhasilan implementasi GKM. Tanpa komunikasi dan koordinasi yang jelas antara pimpinan, tenaga pendidik, dan tenaga kependidikan, sulit untuk menyatukan visi dalam meningkatkan mutu perguruan tinggi. GKM membutuhkan ekosistem yang mendukung, di mana setiap anggota memahami fungsi, peran dan tanggung jawabnya dalam meningkatkan mutu institusi.

Menghidupkan Kembali Peran GKM

Agar GKM dapat berjalan sesuai tujuan idealnya, perguruan tinggi harus mengambil langkah konkret untuk memperkuat sistem, strategi dan mekanisme yang mendukung keberlangsungannya. Pertama, perlu ada sosialisasi yang lebih intensif mengenai pentingnya GKM bagi seluruh sivitas akademika. Jika setiap individu memahami bahwa peningkatan mutu adalah kepentingan bersama, partisipasi akan lebih mudah ditingkatkan.

Kedua, perlu adanya insentif bagi anggota GKM yang aktif berkontribusi. Bentuknya situasional, bisa berupa penghargaan, kredit akademik, atau pengakuan dalam sistem evaluasi kinerja. Selain itu, keterlibatan aktif pimpinan dalam proses GKM juga harus lebih nyata, dengan memberikan arahan strategis serta mendukung rekomendasi dan program-program perbaikan mutu yang dihasilkan oleh tim GKM.

Penutup

GKM di kampus memiliki potensi besar untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan tinggi (kaizen), tetapi tanpa strategi implementasi yang jelas, inisiatif ini hanya akan menjadi sekadar formalitas belaka. Perguruan tinggi harus berkomitmen untuk menjadikan GKM sebagai instrumen nyata dalam transformasi akademik dan operasional.

Dengan mengatasi tantangan partisipasi, memperkuat komunikasi internal, serta memberikan dukungan dari pimpinan, GKM dapat menjadi pilar utama dalam mengawal mutu pendidikan tinggi. Mutu bukan sekadar tujuan, namun merupakan budaya (quality culture) yang harus terus dibangun dan dipelihara di setiap lini perguruan tinggi. Stay Relevant!


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

GKM dan Motivasi Kerja

Mengapa GKM Gagal? Studi Kebutuhan Maslow dalam Manajemen Mutu

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Gugus Kendali Mutu (GKM) diperlukan sebagai strategi dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) Perguruan Tinggi untuk memastikan peningkatan mutu akademik dan non-akademik secara berkelanjutan. Sebagai bagian integral dari SPMI, GKM bertujuan mendorong keterlibatan aktif dosen dan tenaga kependidikan dalam upaya peningkatan mutu institusi. Dengan prinsip partisipatif, GKM mengandalkan kerja sama tim dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan menyelesaikan berbagai tantangan mutu. Meski memiliki potensi besar, implementasi GKM di berbagai perguruan tinggi sering kali mengalami hambatan yang menghambat efektivitasnya. Mari kita kaji lebih lanjut!

GKM dan Maslow
GKM dan Teori Maslow

Apakah Kebutuhan Dasar Telah Terpenuhi?

Menurut Maslow, kebutuhan manusia dimulai dari yang paling mendasar (basic needs): fisiologis dan keamanan. GKM sering kali gagal karena karyawan merasa kebutuhan ini belum terpenuhi. Jika gaji / tunjangan rendah, beban kerja tinggi, atau lingkungan kerja tidak nyaman, partisipasi dalam GKM akan terasa sebagai beban tambahan, bukan peluang pengembangan.

Tanpa rasa aman dalam pekerjaan, baik dalam hal keuangan maupun stabilitas karier, karyawan cenderung lebih fokus pada bagaimana bertahan daripada berkontribusi dalam upaya perbaikan mutu. Oleh karena itu, dalam implementasi SPMI, penting bagi pimpinan perguruan tinggi untuk memastikan kesejahteraan tenaga kependidikan dan akademisi sebelum meminta mereka aktif berpartisipasi dalam GKM.

Kebutuhan Sosial dan Penghargaan Terabaikan?

Setelah kebutuhan dasar terpenuhi, karyawan cenderung mencari kebutuhan yang lebih tinggi, yaitu hubungan sosial dan pengakuan. Sayangnya, GKM sering kali diterapkan tanpa memperhatikan faktor ini. Dosen dan tenaga kependidikan yang merasa tidak dihargai atau tidak memiliki hubungan baik dengan rekan kerja akan cenderung enggan berpartisipasi dalam kegiatan GKM, diskusi dan kolaborasi.

Selain itu, ketika hasil kerja dalam GKM tidak diakui atau dihargai oleh manajemen, motivasi untuk berkontribusi akan terus menurun. Padahal, penghargaan tidak selalu harus berbentuk materi. Pengakuan dalam bentuk apresiasi, promosi, atau sekadar pujian publik bisa menjadi dorongan besar bagi anggota tim dalam sistem SPMI yang efektif. Hal ini yang seringkali tidak disadari oleh pimpinan.

Aktualisasi Diri: Puncak Keberhasilan GKM

Puncak dari Hierarki kebutuhan Maslow adalah aktualisasi diri (self actualization), yaitu dorongan untuk mencapai kreatifitas dan potensi maksimal. Dalam konteks GKM, dosen dan tenaga kependidikan yang merasa dihargai dan diberikan kesempatan berkembang akan lebih bersemangat dalam berinovasi dan menyumbangkan ide-ide kreatif.

Namun, banyak perguruan tinggi tidak menyediakan ruang bagi sivitas akademika untuk mengembangkan segenap potensi diri. Training, kesempatan belajar, atau bahkan kebebasan untuk bereksperimen dalam pekerjaan sering kali diabaikan. Akibatnya, GKM hanya menjadi kegiatan formalitas belaka, tanpa hasil nyata karena anggota tidak merasa ada manfaat yang didapat dari keaktifan mereka.

Penutup

Agar GKM berhasil, pimpinan selaku manajemen perguruan tinggi harus memastikan bahwa kebutuhan dasar tenaga pendidik dan kependidikan telah terpenuhi sebelum meminta mereka berkontribusi dalam peningkatan mutu. Langkah-langkah seperti memastikan kesejahteraan karyawan, membangun lingkungan akademik yang mendukung, memberikan penghargaan yang layak, dan menyediakan peluang pengembangan diri akan meningkatkan efektivitas GKM dalam SPMI.

Pada akhirnya, GKM bukan hanya tools atau tentang teknik manajemen mutu dalam SPMI, tetapi juga bagaimana memahami dan memenuhi kebutuhan psikologis karyawan serta sivitas akademika. Dengan pendekatan yang mempertimbangkan kesejahteraan dan motivasi individu, perguruan tinggi dapat membangun sistem GKM yang lebih berkelanjutan, inovatif, dan berdampak nyata dalam peningkatan mutu akademik dan operasional. Stay Relevant!


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

×

Layanan Informasi

× Hubungi Kami