
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Universitas Sangkuriang (fiktif), sebuah perguruan tinggi di Indonesia, menghadapi tantangan besar dalam penerapan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Sebagai institusi yang berkembang cukup pesat, Universitas Sangkuring merasa bahwa SOP (standard operating procedure) mereka, yang terlampau rinci, kaku dan juga belum terintegrasi dengan SPMI, justru memperlambat proses inovasi. Ketika menghadapi tuntutan akreditasi BAN-PT dan tekanan dari stakeholder untuk menghasilkan lulusan berkualitas, universitas ini memutuskan untuk mengadopsi pendekatan baru, yaitu: “SOP berbasis prinsip”. Langkah ini tidak hanya mengubah cara kerja organisasi, namun juga meningkatkan daya adaptasi transformasional institusi terhadap perubahan dinamika eksternal.
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan elemen penting bagi perguruan tinggi dalam memastikan mutu pendidikan yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti). Dengan kerangka siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar), SPMI bertujuan menumbuhkan proses yang konsisten, berkelanjutan, dan selaras dengan visi misi institusi. Tetapi faktanya, banyak perguruan tinggi yang terjebak dengan SOP tradisional yang terlalu rinci dan kaku sehingga membatasi inovasi dan fleksibilitas organisasi. Pendekatan berbasis prinsip, seperti yang sedang diterapkan Universitas Sangkuriang, menawarkan harapan baru. Dengan mengurangi rincian prosedur yang kaku dan menggantinya dengan panduan strategis, institusi dapat lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan regulasi dan kebutuhan stakeholder. Hal ini juga sangat membantu dalam hal dokumen yang fleksibel, tidak perlu sering di update ketika menghadapi perubahan kebijakan.
Prosedur berbasis prinsip memberikan fokus pada hasil akhir daripada sekadar mematuhi proses tertentu.
Pendekatan ini sesuai dengan semangat Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 yang memberi otonomi kepada perguruan tinggi untuk menyesuaikan implementasi SPMI dengan konteks dan karakteristik institusi. Sebagai contoh, Universitas Sangkuriang memodifikasi SOP mereka dengan menetapkan prinsip fleksibilitas dalam penilaian kinerja dosen. Sebelumnya, evaluasi didasarkan pada sistem rigid dengan indikator kuantitatif yang seragam. Setelah transformasi, prinsip “pembelajaran berpusat pada mahasiswa” menjadi dasar, memungkinkan dosen menyesuaikan metode pembelajaran mereka dengan kebutuhan mahasiswa. Hasilnya, kepuasan pembelajar meningkat, yang tercermin dalam survei internal yang menunjukkan kenaikan kepuasan mahasiswa.
Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!
Kontekstualisasi menjadi pilar utama dalam pendekatan prosedur berbasis prinsip. Setiap SOP harus dirancang untuk mencerminkan dan mendukung visi serta misi institusi, sekaligus menjawab kebutuhan khusus para pemangku kepentingan. Universitas Sangkuriang, sebagai contoh, menempatkan kebutuhan mahasiswa sebagai prioritas utama. Dengan keberagaman (diversity) latar belakang mahasiswa yang dimilikinya, universitas ini mengadopsi pendekatan yang inklusif, memastikan setiap individu merasa diterima dan memiliki kesempatan yang setara untuk meraih keberhasilan akademik.
Fleksibilitas menjadi pilar berikutnya. Prosedur berbasis prinsip memberikan ruang bagi inovasi dan memungkinkan adaptasi terhadap dinamika perubahan eksternal. SOP di Universitas Sangkuriang telah dirancang ulang terintegrasi dengan teknologi pendidikan terkini, menjadikannya lebih relevan dengan kebutuhan zaman tanpa mengorbankan standar mutu. Dengan cara ini, perguruan tinggi tidak lagi dibebani kebutuhan untuk terus-menerus merevisi dokumen ketika konteks dan tantangan berubah, melainkan mampu menyesuaikan diri secara elegan dalam setiap situasi.
Berorientasi hasil (outcome based) melengkapi pilar-pilar tersebut dengan menempatkan capaian sebagai fokus utama. Alih-alih tenggelam dalam kerumitan proses administratif, prosedur ini memastikan bahwa dampak nyata menjadi tolok ukur keberhasilan. Contohnya, keberhasilan suatu kegiatan tidak lagi diukur hanya dari kelengkapan dokumen, melainkan dari bagaimana kegiatan tersebut meningkatkan kompetensi lulusan, menjadikan mereka lebih siap menghadapi dunia kerja dan berkontribusi nyata bagi masyarakat. Dengan pendekatan ini, prosedur (SOP) menjadi lebih bermakna dan relevan bagi tujuan institusi yang lebih besar.
Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI
Misalnya, SOP tradisional (model lama) mengatur bahwa setiap mahasiswa wajib melakukan peminjaman buku secara langsung melalui loket layanan dengan mengisi formulir manual, disertai batas waktu peminjaman selama tujuh hari yang tidak dapat diperpanjang. Buku yang terlambat dikembalikan dikenakan denda sebesar Rp1.000 per hari. Selain itu, pengelolaan koleksi perpustakaan dilakukan dengan inventarisasi fisik setiap tiga bulan, dengan petugas diwajibkan mengikuti daftar ceklis tetap tanpa variasi.
Sebaliknya, SOP berbasis prinsip mengutamakan fleksibilitas dan inovasi. Dalam pendekatan ini, tujuan utama adalah memastikan layanan perpustakaan mudah diakses dan mendukung kebutuhan mahasiswa. Prosedur dipandu oleh prinsip inklusivitas dan adaptasi teknologi. Misalnya, mahasiswa dapat meminjam buku melalui sistem daring atau langsung di perpustakaan. Durasi peminjaman dapat disesuaikan berdasarkan jenis buku dan kebutuhan mahasiswa, dengan opsi perpanjangan yang fleksibel. Koleksi perpustakaan dikelola dengan pendekatan berbasis data, di mana petugas dapat menggunakan analitik digital untuk melacak penggunaan koleksi dan memprioritaskan penambahan buku yang relevan bagi mahasiswa.
Aspek | SOP Tradisional | SOP Berbasis Prinsip |
---|
Fokus | Prosedur teknis rinci, seperti peminjaman manual dan denda tetap. | Prinsip fleksibilitas, teknologi, dan inklusivitas dalam layanan. |
Metode Peminjaman | Harus dilakukan langsung di loket dengan formulir manual. | Dapat dilakukan secara daring melalui sistem aplikasi atau langsung di perpustakaan. |
Durasi Peminjaman | Tetap tujuh hari tanpa fleksibilitas. | Disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa dan jenis koleksi, dengan opsi perpanjangan. |
Pengelolaan Koleksi | Inventarisasi manual setiap tiga bulan. | Menggunakan data analitik untuk memantau penggunaan dan memperbarui koleksi. |
Kelebihan | Konsistensi dan kemudahan implementasi untuk situasi stabil. | Responsif terhadap kebutuhan mahasiswa dan perubahan teknologi. |
Kekurangan | Kaku dan kurang fleksibel menghadapi kebutuhan dinamis. | Membutuhkan kompetensi dan adaptasi staf untuk memahami dan menerapkan prinsip. |
Dalam pengelolaan cuti kerja di perguruan tinggi, SOP tradisional (model lama) yang detail biasanya menetapkan prosedur yang ketat dengan struktur yang kaku. Sebagai contoh, seorang dosen yang ingin mengambil cuti tahunan harus mengajukan permohonan cuti dengan mengisi formulir resmi yang dicetak, disertai dokumen pendukung seperti jadwal perkuliahan dan tanggung jawab akademik. Permohonan ini harus disampaikan minimal 14 hari kerja sebelum tanggal cuti yang diinginkan dan memerlukan tanda tangan berjenjang dari Ketua Program Studi, Dekan, hingga bagian kepegawaian. Setelah semua pihak menyetujui, dokumen tersebut diserahkan ke bagian SDM untuk pencatatan akhir. Proses ini memastikan tidak ada konflik jadwal atau tanggung jawab akademik yang terabaikan, amun sering kali memakan waktu dan kurang fleksibel, terutama jika kebutuhan cuti bersifat mendadak, seperti kondisi kesehatan atau masalah keluarga.
Sebaliknya, SOP berbasis prinsip mengedepankan fleksibilitas dan tanggung jawab profesional tanpa mengabaikan kelancaran tugas operasional perguruan tinggi. Dalam pendekatan ini, dosen dapat mengajukan cuti melalui sistem daring, dengan menyertakan informasi penting seperti tanggal cuti yang diinginkan, rencana pengalihan tugas, dan status perkuliahan. Prinsip tanggung jawab diterapkan dengan memberikan kebebasan kepada dosen untuk merancang solusi pengganti, misalnya, menjadwalkan ulang kelas atau menunjuk dosen lain sebagai pengganti selama periode cuti. Persetujuan dari atasan langsung, seperti Ketua Program Studi atau Dekan, dilakukan melalui platform digital (online) tanpa memerlukan dokumen fisik. Prosedur ini dirancang untuk mempermudah proses administrasi, menjaga kelancaran operasional, dan tetap mempertimbangkan kebutuhan individu dosen.
Aspek | SOP Tradisional | SOP Berbasis Prinsip |
---|
Metode Pengajuan | Mengisi formulir manual dan dokumen fisik. | Pengajuan daring melalui sistem digital. |
Waktu Proses | Minimal 14 hari sebelum cuti. | Fleksibel, memungkinkan pengajuan mendadak sesuai kebutuhan. |
Persetujuan | Berjenjang, membutuhkan tanda tangan fisik dari berbagai pihak. | Persetujuan langsung melalui platform digital. |
Pengalihan Tugas | Harus dirinci dalam dokumen formal. | Dosen diberikan kebebasan mengatur jadwal pengganti. |
Kelebihan | Struktur jelas dan ketat untuk memastikan kepatuhan. | Fleksibel dan responsif terhadap situasi mendesak. |
Kekurangan | Kaku, memakan waktu lama. | Membutuhkan inisiatif dan tanggung jawab dari karyawan. |
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Pendekatan prosedur berbasis prinsip yang diterapkan Universitas Sangkuriang menjadi cermin bahwa inovasi dalam manajemen mutu pendidikan adalah sebuah keniscayaan yang harus diupayakan. Dengan menyesuaikan SOP berdasarkan prinsip fleksibilitas, orientasi hasil, dan kontekstualisasi, perguruan tinggi akan mampu melampaui keterbatasan pendekatan SOP tradisional yang sering kali kaku dan tidak adaptif.
Prosedur berbasis prinsip tidak hanya menghidupkan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) sebagai instrumen perubahan, namun juga memperkuat daya saing institusi dalam menghadapi dinamika global yang terus berubah dan penuh ketidakpastian.
Prinsip-prinsip inovasi dan peningkatan mutu ini selaras dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mendorong umatnya untuk terus belajar dan memperbaiki keadaan. Sebagaimana sabda beliau: “Sesungguhnya Allah menyukai seseorang yang apabila melakukan suatu pekerjaan, ia melakukannya dengan itqan (profesional dan sempurna).” (HR. Thabrani). Hadist ini menggarisbawahi pentingnya kesungguhan dalam bekerja dan dedikasi untuk mencapai hasil terbaik. Dengan menjadikan nilai-nilai ini sebagai landasan, perguruan tinggi tidak hanya meningkatkan kualitas akademiknya tetapi juga memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat dan bangsa. Stay Relevant!
Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Bayangkan sebuah universitas kecil di kepulauan terpencil yang bernama Universitas Sangkuriang (fiktif). Dua tahun yang lalu, institusi ini menghadapi ujian dan tantangan yang cukup besar. Banyak mahasiswa mengeluhkan mutu pembelajaran yang monoton, sementara angka kelulusan turun drastis dan banyak yang drop out. Mitra industri juga mulai mempertanyakan relevansi lulusan terhadap kebutuhan pasar tenaga kerja. Di tengah keterpurukan dan krisis kepercayaan ini, Dr. Fulan, rektor baru membawa visi untuk merombak sistem manajemen internal organisasi. Pak rektor memantapkan diri untuk mengintegrasikan manajemen perguruan tinggi dengan SPMI yang berbasis siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan (PPEPP).
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), semenjak ada peraturan baru yaitu Permendikbudristek 53 Tahun 2023 Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, mewajibkan semua perguruan tinggi untuk mengintegrasikan SPMI ke dalam manajemen perguruan tinggi. Hal ini diatur dalam pasal 69 ayat (1)b yang berbunyi: Perguruan tinggi dalam mengimplementasikan SPMI mempunyai tugas: mengintegrasikan implementasi SPMI pada manajemen perguruan tinggi.
Sejak satu tahun yang lalu, langkah awal yang visioner, Universitas Sangkuriang menetapkan misi unik yang menarik (mission differentiation). Pak Rektor menetapkan standar mutu baru yang mengintegrasikan kebutuhan lokal dengan aspirasi global. Dalam satu tahun, mereka mulai melihat hasil yang menggembirakan. Kurikulum dirancang ulang dengan melibatkan umpan balik dari mahasiswa dan mitra industri. Metode pengajaran di kelas menjadi lebih interaktif, dosen dan karyawan diberikan pelatihan intensif. Evaluasi rutin seperti audit dan monev, tidak hanya menyoroti area yang perlu diperbaiki namun juga merayakan dan mengapresiasi capaian-capaian kecil yang dihasilkan unit kerja, hal ini jelas mendorong semangat dan motivasi banyak pihak.
Kisah ilustrasi ini menggambarkan bagaimana SPMI yang diimplementasikan secara strategis dan efektif mampu mengubah arah sebuah institusi.
Prinsip-prinsip yang disampaikan Edward Sallis dalam Bab 2 bukunya Total Quality Management in Education memberikan fondasi yang relevan untuk memahami esensi kualitas. Manajemen kualitas sebagai konsep dinamis yang dapat diterapkan secara sistemik dalam organisasi pendidikan tinggi. Melalui pendekatan siklus PPEPP yang efektif, Universitas Sangkuriang tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang menjadi institusi yang relevan, berdaya saing, dan adaptif terhadap tuntutan masyarakat di era yang kompetitif ini.
Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!
Menurut konsep SPMI, siklus PPEPP melibatkan tahapan berkesinambungan (iterasi) mulai dari penetapan standar, pelaksanaan operasional berbasis standar, evaluasi pemenuhan standar, pengendalian pelaksanaan standar guna memastikan kepatuhan, hingga peningkatan standar untuk memastikan keberlanjutan kualitas. Siklus ini mencerminkan proses yang dinamis, di mana setiap tahap memberikan masukan berharga untuk perbaikan yang berkelanjutan.
Pendekatan ini sejalan dengan gagasan Edward Sallis bahwa kualitas dalam pendidikan tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang statis, tetapi harus terus berkembang, baik dari perspektif absolut maupun relatif.
Sallis menyoroti bahwa kualitas absolut berkaitan dengan pencapaian standar tertinggi tanpa kompromi. Sebagai contoh, universitas yang memiliki laboratorium berstandar internasional dengan peralatan tercanggih dan dosen yang telah menerima pengakuan global menunjukkan kualitas absolut. Di sisi lain, kualitas relatif berfokus pada kesesuaian tujuan (“fitness for purpose”). Sebagai contoh, perguruan tinggi di daerah terpencil yang mendesain program studi vokasi yang relevan dengan kebutuhan lokal, seperti pertanian atau pariwisata berbasis komunitas, mencerminkan kualitas relatif karena relevansi dan efisiensinya terhadap kebutuhan masyarakat sekitar.
Baca juga: Teori 2 Faktor: Memadukan SPMI dengan Motivasi Intrinsik
Dalam konteks pendidikan tinggi, implementasi SPMI yang kuat memerlukan pemahaman mendalam tentang “konsep kualitas”.
Institusi harus mampu menetapkan standar yang tidak hanya mencerminkan aspirasi akademik tetapi juga relevan dengan kebutuhan stakeholder seperti mahasiswa, industri, dan masyarakat luas.
Konsep Edward Sallis tentang kualitas sebagai kombinasi antara perspektif prosedural dan transformasional memberikan arah yang jelas untuk mengintegrasikan kedua pendekatan ini dalam SPMI. Pendekatan prosedural menekankan kepatuhan terhadap standar dan akuntabilitas, seperti dalam pengelolaan data akademik, penyusunan kurikulum, dan pelaksanaan akreditasi. Di sisi lain, pendekatan transformasional mendorong institusi untuk fokus pada inovasi berkelanjutan, pengembangan kapasitas tenaga pengajar, dan peningkatan pengalaman belajar mahasiswa.
Sebagai ilustrasi, Universitas Sangkuriang (fiktif) menerapkan program “Smart Village Initiative,” yang bertujuan untuk mendukung pembangunan pedesaan dengan inovasi teknologi berbasis lokal. Program MBKM ini memadukan kualitas absolut melalui pengenalan teknologi mutakhir seperti aplikasi pertanian pintar dengan kualitas relatif yang disesuaikan dengan kebutuhan petani lokal. Mahasiswa diberdayakan untuk terjun langsung ke lapangan, mempelajari masalah spesifik masyarakat pedesaan, dan mengembangkan solusi yang praktis serta relevan. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan pengalaman belajar mahasiswa namun juga memberikan dampak nyata kepada masyarakat sekitar, mencerminkan keseimbangan antara kualitas global dan kebutuhan lokal.
Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI
Peran stakeholder dalam menentukan kualitas, sebagaimana digambarkan oleh Sallis, juga menjadi faktor penting dalam penguatan SPMI. Dalam hal ini, mahasiswa sebagai stakeholder utama pendidikan tinggi memegang peran sentral dalam mendefinisikan kualitas layanan akademik dan non-akademik. Proses PPEPP memungkinkan perguruan tinggi untuk secara aktif mengintegrasikan umpan balik mahasiswa ke dalam sistem manajemennya, baik melalui survei kepuasan, evaluasi hasil belajar, maupun keterlibatan mahasiswa dalam pengambilan keputusan akademik. Dengan demikian, kualitas tidak hanya diukur melalui standar formal namun juga melalui persepsi dan tingkat kepuasan para mahasiswa.
Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits
Lebih jauh, Sallis menekankan bahwa “mutu” tidak dapat dicapai melalui kontrol eksternal semata, tetapi memerlukan komitmen internal yang kuat dari seluruh anggota organisasi. Hal ini tercermin dalam prinsip PPEPP yang mensyaratkan “partisipasi kolektif” dalam setiap tahap siklus.
Institusi harus membangun budaya organisasi yang mendorong keterbukaan, akuntabilitas, dan pembelajaran bersama. Budaya seperti ini mendukung implementasi Total Quality Management (TQM), di mana setiap individu memiliki tanggung jawab terhadap kualitas dan diberdayakan untuk berkontribusi dalam pencapaian visi institusi.
Penting pula untuk dicatat bahwa SPMI yang berbasis PPEPP tidak hanya berorientasi pada kepatuhan terhadap regulasi, tetapi juga pada peningkatan berkelanjutan.
Dalam pandangan Edward Sallis, kualitas bukanlah sesuatu yang statis, melainkan harus dinamis dan responsif terhadap perubahan lingkungan eksternal.
Dengan mengadopsi prinsip Total Quality Management (TQM), perguruan tinggi dapat mengembangkan mekanisme yang fleksibel untuk menghadapi tantangan seperti disrupsi teknologi, kebutuhan pasar tenaga kerja yang berubah-ubah, dan meningkatnya persaingan global dalam sektor pendidikan tinggi.
Sebagai contoh, Universitas Sangkuriang (fiktif) menghadapi tantangan ketika pandemi memaksa peralihan mendadak ke pembelajaran daring. Dengan mengandalkan prinsip “Pendidikan harus tetap inklusif dan berkualitas dalam semua situasi,” mereka berhasil merancang platform hybrid yang tidak hanya mendukung mahasiswa dengan akses internet terbatas, tetapi juga memperkenalkan modul pembelajaran adaptif berbasis data. Pendekatan ini memastikan bahwa setiap mahasiswa, terlepas dari latar belakangnya, tetap dapat menerima pendidikan yang bermakna. Universitas ini menunjukkan bahwa dengan prinsip yang kuat, institusi dapat merespons perubahan secara efektif tanpa kehilangan fokus pada esensi kualitas.
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Sebagai penutup, prinsip-prinsip Total Quality Management yang dijelaskan oleh Edward Sallis dapat memberikan manfaat besar dalam penguatan SPMI melalui pendekatan PPEPP.
Kualitas bukanlah sekadar hasil akhir, melainkan sebuah proses yang terus berkembang seiring perubahan zaman dan kebutuhan pemangku kepentingan.
Ilustrasi kisah Universitas Sangkuriang memberikan contoh bagaimana prinsip-prinsip ini dapat diterapkan. Ketika Rektor Universitas Sangkuriang yang baru dilantik menyadari bahwa institusinya tertinggal dalam pengembangan pendidikan digital, ia mengambil langkah berani. Dengan visi yang jelas, ia memimpin transformasi besar dengan mengadopsi pendekatan PPEPP yang fokus pada penguatan mutu pendidikan daring. Melalui kolaborasi dengan dosen, mahasiswa, dan mitra industri, rektor berhasil membangun sistem pembelajaran yang tidak hanya memenuhi standar formal (minimal) namun juga berhasil melampaui standar sehingga dapat memuaskan kebutuhan mahasiswa dan masyarakat lokal.
Ungkapan bijak mengatakan, “Quality in a service or product is not what you put into it. It is what the customer gets out of it.” Kutipan ini menggarisbawahi pentingnya fokus pada dampak yang dirasakan oleh mahasiswa dan masyarakat sebagai penerima manfaat utama dari pendidikan tinggi. Dengan siklus PPEPP yang responsif, evaluasi berbasis data, dan kolaborasi yang erat dengan semua pemangku kepentingan, Universitas Sangkuriang menjadi contoh perguruan tinggi yang mampu menjadi agen perubahan yang relevan di tengah tantangan global. Komitmen terhadap kualitas ini tidak hanya memastikan keberlanjutan, tetapi juga menciptakan nilai yang bermakna bagi semua pihak yang dilayani. Stay Relevant!
Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Alkisah, Politeknik X (fiktif), sebuah institusi pendidikan vokasi di sebuah kepulauan yang tenang, berdiri di bawah kepemimpinan Dr. Fulan, seorang direktur yang berwawasan luas dan bertekad kuat. Meskipun Politeknik X telah memiliki tenaga pengajar berkualitas dan fasilitas sarana prasarana yang memadai, prestasi institusi ini belum sepenuhnya mencerminkan potensinya. Perjalanan panjang Politeknik X masih diwarnai oleh tingkat kelulusan yang stagnan dan keterampilan (skills) lulusan yang belum sepenuhnya menjawab kebutuhan dunia kerja. Setiap tahun, Dr. Fulan menyaksikan dengan kagum bagaimana institusi lain berhasil melahirkan lulusan yang siap kerja, inovatif, dan unggul dalam daya saing global. Di tengah perenungan panjang di ruang kerjanya, Dr. Fulan menyadari bahwa perubahan besar harus dimulai, harus dimulai saat ini. Inspirasi itu datang ketika ia berkenalan dengan konsep benchmarking, sebuah strategi manajemen mutu yang penting untuk diimplementasikan.
Dalam dunia yang semakin begejolak dan kompleks, yang sering disebut sebagai era BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, and Incomprehensible), perguruan tinggi seperti Politeknik X dituntut untuk melakukan peningkatan mutu secara terus menerus atau continuous improvement.
Tuntutan tersebut tidak hanya berasal dari persaingan nasional, namun juga di ranah regional dan internasional. Peningkatan mutu tidak boleh hanya terpaku pada pencapaian akademik saja, namun juga pada ranah non akademik juga. Institusi harus memastikan lulusan yang mampu menjawab tantangan dunia kerja, memenuhi standar industri, dan menjadi pemimpin masa depan yang kompeten. Dalam konteks ini, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) hadir sebagai instrumen strategis, yang diimplementasikan melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar) untuk menjamin proses peningkatan mutu yang sesuai harapan stakeholder.
Untuk memperkuat implementasi SPMI, konsep benchmarking yang diuraikan oleh Edward Sallis dalam Total Quality Management in Education menawarkan solusi efektif dalam mencapai peningkatan mutu yang diharapkan.
Benchmarking memberikan ruang bagi institusi untuk bercermin pada praktik terbaik, mengidentifikasi kesenjangan, dan mengadaptasi solusi inovatif yang relevan. Lebih dari sekadar meniru, benchmarking adalah proses belajar untuk tumbuh bersama, dengan visi menuju institusi pendidikan yang unggul, berkualitas, dan berdaya saing tinggi. Berbekal semangat dan motivasi baru, Dr. Fulan siap memimpin Politeknik X dalam mengoptimalkan strategi benchmarking untuk mewujudkan transformasi yang diharapkan.
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
SPMI adalah sebuah sistem yang disusun secara sistematis untuk memastikan mutu pendidikan dapat terjaga dan meningkat secara terus menerus. Melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar), perguruan tinggi dapat menetapkan standar yang relevan, melaksanakan rencana aksi, mengevaluasi, mengendalikan penyimpangan, serta memperbaiki kualitas sesuai harapan pemangku kepentingan. Lebih dari sekadar prosedur administratif formalitas, siklus PPEPP merupakan langkah penting yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Siklus iterasi PPEPP ini memungkinkan terjadinya perbaikan yang berkelanjutan.
Namun, walaupun kerangka PPEPP telah terbangun dengan baik, tantangan implementasi tak dapat dielakkan. Keterbatasan sumber daya (resources), resistensi dari karyawan, serta ketiadaan tolok ukur yang memadai sering kali menghambat upaya peningkatan mutu.
Di sinilah peran benchmarking menjadi penting. Konsep ini membantu dalam membandingkan kinerja institusi dengan praktik terbaik, serta memberikan inspirasi dan strategi yang tepat.
Dr. Fulan memahami betul tantangan tersebut dan dengan tekad yang kuat, ia berkomitmen untuk mengoptimalkan benchmarking sebagai tools untuk mengejar ketertinggalan.
Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!
Benchmarking adalah proses sistematis untuk membandingkan kinerja organisasi dengan praktik terbaik dari organisasi lain yang lebih unggul.
Melalui benchmarking, perguruan tinggi dapat mengidentifikasi kesenjangan (gaps) kinerja apa saja yang muncul, memahami praktik terbaik, dan mengadaptasi langkah-langkah strategis yang diperlukan. Sallis menjelaskan bahwa benchmarking bukan sekadar proses meniru, melainkan sebuah upaya belajar dari pengalaman pihak lain yang lebih maju (unggul) dalam bidang tertentu.
Sebagai contoh, dalam benchmarking terkait tata kelola, sebuah perguruan tinggi dapat membandingkan sistem manajemen akademik dan keuangan dengan institusi yang diakui unggul dalam efisiensi tata kelola. Misal, Politeknik X belajar dari Universitas Y yang telah berhasil menerapkan sistem tata kelola berbasis teknologi informasi untuk mempermudah proses administrasi akademik dan transparansi anggaran. Hasilnya, Politeknik X dapat mengadaptasi teknologi yang sejenis untuk meningkatkan efisiensi dan layanan yang lebih baik kepada mahasiswa serta stakeholder lainnya.
Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI
Dalam penerapan SPMI berbasis PPEPP, benchmarking hadir sebagai tools penting dalam mengevaluasi efektivitas kebijakan dan program perguruan tinggi. Jenis pertama adalah internal benchmarking, yaitu proses membandingkan kinerja antar fakultas atau program studi di dalam satu institusi. Misalnya, Fakultas Hukum membandingkan tingkat kelulusan mahasiswa dengan Fakultas Farmasi untuk mengevaluasi efektivitas metode pengajaran.
Pendekatan ini membantu perguruan tinggi memahami capaian antar fakultas atau prodi internal, mengidentifikasi kesenjangan (gaps) yang terjadi, dan mendorong terciptanya kompetisi sehat untuk mencapai standar SPMI terbaik.
Selanjutnya functional benchmarking, jenis ini fokus pada perbandingan fungsi-fungsi spesifik dengan institusi lain yang memiliki praktik lebih unggul. Misalnya, pengelolaan kurikulum, sistem penilaian pembelajaran, atau layanan administrasi yang lebih memuaskan. Dengan metode ini, perguruan tinggi dapat belajar dari keberhasilan institusi lain dan melakukan adaptasi metode tersebut sesuai dengan kebutuhan internal.
Terakhir generic benchmarking, jenis ini memungkinkan perguruan tinggi untuk belajar dari organisasi di luar dunia pendidikan, misal ke pabrik, hotel atau kantor-kantor swasta lainnya. Praktik manajemen mutu yang diterapkan di sektor non-pendidikan, seperti marketing, efisiensi sumber daya atau inovasi layanan, sering kali relevan dan dapat diadaptasi sesuai konteks institusi pendidikan. Melalui ketiga jenis ini, institusi memiliki keleluasaan dalam menentukan tolok ukur yang paling strategis guna mendorong peningkatan mutu secara berkelanjutan (continuous improvement).
Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits
Pada tahap Penetapan Standar (dalam PPEPP), benchmarking menjadi tools penting bagi perguruan tinggi untuk menetapkan standar SPMI yang lebih tinggi. Dengan melakukan perbandingan terhadap institusi terbaik, perguruan tinggi dapat merumuskan target kinerja yang tidak hanya realistis, tetapi juga optimis dan ambisius. Data dari benchmarking memberi perspektif baru mengenai target dan potensi yang dapat dicapai, mendorong perguruan tinggi untuk siap berkompetisi dalam menetapkan standar mutu yang lebih unggul.
Memasuki tahap Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP), praktik terbaik yang diperoleh dari hasil benchmarking dapat diadopsi dan disesuaikan dengan konteks lokal perguruan tinggi. Perguruan tinggi dapat belajar dari bagaimana institusi lain melaksanakan standar SPMI mereka secara efektif dan efisien. Adaptasi ini memungkinkan perguruan tinggi untuk merumuskan strategi pelaksanaan yang lebih terukur dan selaras dengan karakteristik internal mereka, sehingga implementasi berjalan optimal dan menghasilkan dampak yang bermanfaat.
Pada tahap Evaluasi Pemenuhan Standar (dalam PPEPP), benchmarking menyediakan data yang diperlukan untuk mengukur kesenjangan antara kinerja aktual dengan target yang telah ditetapkan. Misalnya, jika tingkat kelulusan di suatu perguruan tinggi hanya mencapai 80%, sementara institusi pembanding mencapai 90%, maka benchmarking membantu mengidentifikasi faktor-faktor yang perlu diperbaiki. Analisis kesenjangan (gaps) ini menjadi pijakan (baseline) untuk merancang strategi perbaikan yang lebih tepat sasaran, memastikan kelemahan diatasi dengan pendekatan yang sistematis dan berbasis data. Kegiatan benchmarking di integrasikan dengan kegiatan audit mutu internal, monev dan assessment yang selama ini sudah dijalankan.
Tahap Pengendalian Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) kemudian berfokus pada penerapan tindakan koreksi, korektif dan preventif berdasarkan hasil evaluasi benchmarking. Tindakan ini bukan hanya untuk menutup kesenjangan, namun juga memastikan bahwa pencapaian mutu tidak hanya bersifat sementara, melainkan berkelanjutan. Melalui pengendalian yang efektif, perguruan tinggi dapat menjaga konsistensi dalam mencapai target dan mengantisipasi tantangan yang mungkin muncul di masa depan.
Akhirnya, pada tahap Peningkatan Standar (dalam PPEPP), benchmarking menjadi sumber inspirasi untuk merumuskan kebijakan dan program inovatif, dan untuk meningkatkan standar yang relevan. Dengan memahami praktik terbaik (best practice), perguruan tinggi akan mampu meningkatkan mutu internal, dan juga membangun budaya perbaikan berkelanjutan di setiap unit kerja organisasi. Nilai-nilai seperti keterbukaan dan optimisme terhadap perubahan, kolaborasi antar unit, dan semangat untuk belajar dari keberhasilan pihak lain perlu ditanamkan sebagai shared values. Nilai-nilai inilah yang akan menumbuhkan budaya inovasi yang kokoh dan mendorong perguruan tinggi untuk terus bertransformasi menuju keunggulan yang berkelanjutan (continuous improvement).
Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI
Meskipun benchmarking memberikan manfaat signifikan bagi penguatan SPMI, nyatanya penerapannya tidak selalu berjalan lancar.
Salah satu tantangan terbesar adalah keterbatasan akses terhadap data kinerja institusi lain. Mengapa? Ya, karena hal ini sering dianggap sebagai informasi sensitif dan bersifat tertutup atau rahasia. Situasi ini menuntut adanya semangat kolaborasi dan keterbukaan antar perguruan tinggi untuk berbagi praktik terbaik secara transparan demi kemajuan bersama. Tanpa sinergi dan kepercayaan, proses benchmarking akan sulit mencapai tujuannya kita harapkan bersama.
Tantangan lain, terkait kemampuan adaptasi praktik terbaik dari institusi lain. Setiap perguruan tinggi memiliki budaya, karakteristik, dan konteks lokal yang unik, sehingga penerapan langsung tanpa penyesuaian sering kali tidak efektif dan tidak relevan. Oleh sebab itu, institusi perlu memahami konteksnya secara mendalam dan melakukan modifikasi yang tepat agar praktik tersebut dapat berjalan selaras dengan kebutuhan institusi.
Namun, di balik tantangan semua ini, benchmarking memberi peluang strategis untuk membangun keunggulan kompetitif. Dengan memahami kekuatan dan kelemahan internal melalui siklus PPEPP serta mengambil pelajaran dari keberhasilan institusi lain, perguruan tinggi dapat mengoptimalkan potensi mereka. Pendekatan berbasis data yang sistematis dan inovatif akan membantu perguruan tinggi merumuskan kebijakan, visi dan misi yang lebih efektif dan membawa transformasi nyata. Dengan leadership yang kuat dan visi yang jelas, Politeknik X di bawah arahan Dr. Fulan siap menjawab tantangan era BANI dengan semangat kolaborasi, inovasi dan komitmen menuju unggul.
Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?
Era digital telah membuka jalan baru bagi perguruan tinggi untuk melakukan benchmarking tanpa harus hadir secara fisik, murah dan praktis namun tidak kalah efektif.
Melalui internet, perguruan tinggi dapat mengakses laporan publikasi, studi kasus, dan data dari institusi-institusi terbaik di seluruh dunia, misalnya kampus Harvard, MIT atau Oxford. Platform seperti Google, webaite resmi institusi, dan sumber daring lainnya memungkinkan pengumpulan informasi yang cepat, luas, dan efisien. Teknologi ini memberikan kemudahan dalam membandingkan praktik terbaik secara global dengan biaya yang jauh lebih rendah dibandingkan kunjungan langsung.
Selain itu, penggunaan media digital seperti ChatGPT atau alat kecerdasan buatan lainnya dapat membantu menganalisis tren, menemukan inovasi, dan menyarankan langkah-langkah strategis. Dengan pendekatan ini, perguruan tinggi dapat tetap kompetitif dan relevan di tengah persaingan global, sekaligus mempercepat proses adaptasi dan transformasi terhadap praktik terbaik. Pemanfaatan media digital bukan hanya menjadi alternatif, tetapi juga solusi efektif dan efisien untuk mendorong transformasi menuju unggul.
Baca juga: SPMI Tanpa Knowledge Management? Jurang Kegagalan!
Penguatan SPMI melalui siklus PPEPP merupakan strategi penting untuk memastikan mutu pendidikan di perguruan tinggi. Namun, agar implementasi PPEPP lebih efektif, konsep benchmarking seperti yang diuraikan oleh Edward Sallis menjadi tools penting dalam mengevaluasi kinerja, mengidentifikasi best practice, dan merumuskan langkah perbaikan (koreksi, korektif dan preventif) yang berkelanjutan.
Sinergi dan integrasi antara benchmarking dan siklus PPEPP tidak hanya mendorong peningkatan mutu internal, namun juga memperkuat posisi (mission differentiation) perguruan tinggi dalam persaingan global.
Dengan komitmen yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan, perguruan tinggi dapat mewujudkan visi menjadi institusi yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Dr. Fulan siap melaksanakan benchmarking dengan sebaik-baiknya.
Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Mulk ayat 2, “(Allah) yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” Ayat ini mengingatkan kita bahwa peningkatan mutu dan inovasi adalah bagian dari ikhtiar manusia untuk mencapai amal terbaik di hadapan Allah. Dengan tekad, doa, dan semangat yang sungguh-sungguh, perguruan tinggi dapat menjadi lembaga yang tidak hanya unggul secara akademik, namun juga memberi manfaat luas bagi masyarakat dan bangsa. Stay Relevant!
Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Bayangkan sebuah perguruan tinggi yang baru saja meraih predikat akreditasi A atau Unggul. Namun, hanya dalam waktu tiga tahun, status tersebut mulai goyah dan terancam ditinjau ulang. Keluhan masyarakat meningkat, data penting tidak tersedia ketika dibutuhkan, dan suara ketidakpuasan dari mahasiswa serta orang tua terus menggema. Apa yang sebenarnya terjadi? Banyak faktor bisa menjadi penyebabnya, namun salah satu yang paling mendasar adalah ketiadaan sistem yang jelas untuk mengelola dan mendistribusikan pengetahuan di dalam institusi. Pengetahuan berharga yang dimiliki dosen dan staf karyawan tidak pernah terdokumentasi dengan baik, sehingga saat mereka pensiun, perguruan tinggi kehilangan aset intelektualnya yang tak ternilai—warisan yang seharusnya menjadi pondasi bagi keberlanjutan mutu.
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi hadir sebagai jawaban atas tantangan ini. Berdasarkan Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, SPMI dirancang menjadi instrumen vital untuk memastikan mutu pendidikan selalu terjaga sesuai standar yang telah ditetapkan. Dengan pendekatan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar), SPMI menghidupkan semangat perbaikan berkelanjutan—kaizen—sebuah filosofi yang menanamkan budaya belajar, inovasi, dan peningkatan mutu di setiap lini organisasi.
Tanpa kehadiran Knowledge Management (KM) yang terarah, perguruan tinggi berisiko kehilangan kendali atas aset intelektualnya—warisan tak ternilai yang menopang keberlanjutan. Akibatnya, standar mutu pun goyah, dan organisasi perlahan terjerembap dalam jurang kegagalan.
KM, atau Knowledge Management, menghadirkan pendekatan sistematis untuk menangkap, membagikan, dan memanfaatkan pengetahuan dalam organisasi. Ia bukan sekadar alat, melainkan strategi menyeluruh untuk memastikan bahwa setiap pengetahuan, baik yang tersurat maupun tersirat, tidak hanya tersimpan tetapi juga dimanfaatkan secara optimal demi keberlanjutan dan kemajuan.
Dalam konteks perguruan tinggi, KM menjadi landasan kokoh yang mendukung implementasi siklus PPEPP. Melalui KM, setiap pemangku kepentingan dapat mengakses data, informasi, dan wawasan yang relevan untuk mendukung pengambilan keputusan yang tepat. Tanpa pengelolaan pengetahuan yang baik, institusi berisiko kehilangan efisiensi operasional serta menghadapi ancaman pada kredibilitasnya, sebuah harga mahal yang tidak dapat dibiarkan.
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
Edward Sallis, dalam bukunya Total Quality Management in Education, menekankan pentingnya pengelolaan pengetahuan dalam sebuah organisasi, baik pengetahuan eksplisit yang terdokumentasi maupun pengetahuan tacit yang tersimpan dalam pengalaman dan keahlian individu. Kedua jenis pengetahuan ini memiliki peran yang sangat krusial dalam memastikan keberlanjutan organisasi. Wawasan yang disampaikan oleh Edward Sallis menjadi sumber inspirasi berharga, khususnya bagi perguruan tinggi, untuk menciptakan budaya berbagi pengetahuan yang mendorong inovasi dan perbaikan berkelanjutan.
Sebagai contoh penerapan Knowledge Management (KM), sebuah politeknik berhasil mengembangkan sistem “pelaporan daring berbasis KM”. Sistem ini dirancang untuk mendokumentasikan hasil workshop, seminar, atau pelatihan yang diikuti oleh dosen. Setiap dosen yang hadir dalam kegiatan tersebut diwajibkan untuk mengisi laporan daring yang mencakup ide-ide kreatif, materi pelatihan, serta rekomendasi yang dapat diterapkan di kampus. Laporan ini kemudian tersimpan otomatis dalam database institusi, yang dapat diakses oleh program studi lain sebagai sumber inspirasi untuk inovasi akademik maupun pengembangan kebijakan. Sistem ini memastikan bahwa wawasan dan pengalaman tidak hilang, melainkan terus memberikan manfaat bagi organisasi secara menyeluruh.
Pada tahap Penetapan Standar (dalam PPEPP), perguruan tinggi membutuhkan informasi yang akurat untuk merumuskan standar SPMI yang relevan. KM memungkinkan integrasi semua data yang diperlukan, misalnya kinerja mahasiswa, laporan audit mutu dan kepuasan stakeholder.
Pengetahuan tacit dari tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dapat di konversi menjadi eksplisit melalui diskusi kolektif dan dokumentasi yang baik. Dengan cara ini, institusi dapat memastikan keberhasilan penetapan standar SPMI dengan wawasan yang mendalam.
Sebagai contoh, sebuah politeknik dapat meningkatkan standar kurikulum dengan mengintegrasikan umpan balik mahasiswa dari survei kepuasan. Data ini kemudian dikombinasikan dengan pengalaman dosen senior yang terdokumentasi dalam laporan internal. Manfaat yang diperoleh, perguruan tinggi tersebut mampu merumuskan standar kurikulum baru berbasis kompetensi yang lebih relevan dengan kebutuhan dunia industri.
Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!
Tahap Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) menuntut adanya program kerja dan penerapan standar secara konsisten, efektif dan efisien. KM memungkinkan setiap karyawan memiliki akses ke kebijakan, prosedur, dan sumber daya yang diperlukan.
Pengetahuan eksplisit seperti standar dan SOP dapat didistribusikan melalui platform digital. Di sisi lain, forum kolaboratif antar tim (seperti brainstorming dan design thinking) mendorong berbagi pengetahuan tacit yang menjadi faktor keberhasilan di lapangan.
Sebagai contoh, sebuah universitas dapat menerapkan aplikasi berbasis cloud untuk menyimpan seluruh dokumen kebijakan dan standar SPMI. Staf dosen dan tenaga kependidikan dapat dengan mudah mengakses dokumen ini kapan saja. Aplikasi digital ini juga memungkinkan diskusi daring yang mempercepat solusi terhadap kendala lapangan, outputnya, implementasi standar SPMI dapat berjalan lebih optimal, efektif dan efisien.
Baca juga: Teori 2 Faktor: Memadukan SPMI dengan Motivasi Intrinsik
Tahap Evaluasi Pemenuhan Standar (dalam PPEPP) fokus pada analisis kinerja berdasarkan indikator dan target yang telah tetapkan. Dengan adanya KM, institusi terbantu untuk mengumpulkan data dan menganalisis sehingga menjadi informasi yang relevan bagi pengambilan keputusan.
Sallis menekankan pentingnya menciptakan budaya berbagi pengetahuan agar terwujud transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan evaluasi.
Sebagai contoh, sebuah universitas dapat mengelola audit mutu internal dengan memanfaatkan platform berbasis KM. Semua data penting misal: laporan proses belajar mengajar, capaian kinerja dosen, hasil evaluasi mata kuliah, dan tingkat kelulusan mahasiswa diunggah ke dalam sistem terintegrasi. Data ini kemudian dianalisis oleh tim auditor, yang menghasilkan usulan perbaikan spesifik untuk setiap program studi. Hasil audit juga disosialisasikan secara transparan kepada segenap stakeholder terkait, mendorong akuntabilitas dan partisipasi dalam peningkatan mutu pendidikan.
Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI
Tahap Pengendalian Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) bertujuan untuk memastikan semua proses berjalan sesuai standar. KM mendokumentasikan praktik terbaik dan menyebarkannya informasi kepada unit kerja terkait. KM juga membantu mendeteksi kesenjangan (gaps) pengetahuan dan kebutuhan pelatihan, KM juga mendukung proses pengendalian yang lebih responsif dan adaptif.
Sebagai contoh, sebuah sekolah tinggi dapat menerapkan sistem audit mutu internal berbasis KM untuk memastikan standar SPMI dipatuhi. Data dari laporan audit rutin diunggah ke dalam sistem berbasis web, memungkinkan pimpinan untuk mengidentifikasi fakultas atau prodi mana saja yang memerlukan dukungan untuk perbaikan. Ketika ditemukan kegiatan yang belum sesuai standar, tim langsung mengakses dokumentasi terkait untuk memberikan bimbingan kepada unit kerja yang bersangkutan, sehingga proses perbaikan dapat dilakukan dengan efektif, cepat dan tepat.
Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits
Tahap Peningkatan Standar (dalam PPEPP) merupakan inti dari PPEPP, yaitu tewujudnya perbaikan berkelanjutan atau continuous improvement.
Pengetahuan tacit, seperti intuisi, pengalaman nyata, dan keterampilan staf senior yang sering kali tidak terdokumentasi, sesungguhnya memainkan peran kunci dalam mendorong inovasi. Sementara, pengetahuan eksplisit adalah informasi yang telah terstruktur dan terdokumentasi, seperti kebijakan, standar SPMI atau laporan penelitian, yang dapat diakses dan dibagikan dengan mudah. Melalui proses dokumentasi dan kolaborasi yang sistematis, tacit knowledge dapat dikonversi menjadi eksplisit untuk menciptakan wawasan baru. Demikian juga eksplisit knowledge diinternalisasi kembali menjadi tacit melalui praktik nyata dan pembelajaran organisasi, hal ini mendukung peningkatan berkelanjutan di perguruan tinggi.
Sebagai contoh, sebuah politeknik dapat menggunakan hasil evaluasi mata kuliah dari seluruh program studi untuk menciptakan modul pelatihan untuk dosen-dosen baru. Data eksplisit dari evaluasi digabungkan dengan pengalaman dosen senior (tacit) melalui brainstorming, workshop dan diskusi kelompok. Modul ini selanjutnya diterapkan dalam pelatihan, untuk memastikan bahwa metode pengajaran yang efektif telah diinternalisasi.
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Knowledge Management (KM) adalah pilar utama yang memastikan setiap tahap dalam siklus PPEPP berjalan dengan optimal. Tanpa KM, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) berisiko kehilangan arah dan efektivitasnya, sementara institusi dapat terjebak dalam kesulitan mengelola mutu secara konsisten. Kehilangan kendali atas pengetahuan berarti kehilangan peluang untuk terus berkembang dan menjaga keberlanjutan.
KM bukan sekadar alat teknis. Ia membawa filosofi mendalam yang menanamkan budaya pembelajaran dalam organisasi. Edward Sallis menegaskan bahwa KM mendorong terciptanya pembelajaran organisasi—sebuah elemen yang tidak hanya mendukung inovasi, tetapi juga menjadi fondasi bagi keberlanjutan dan daya saing institusi di masa depan. Dengan KM, perguruan tinggi tidak hanya menjaga mutu, tetapi juga terus bergerak maju sebagai tempat yang menciptakan dampak intelektual dan sosial.
Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi
Di ranah perguruan tinggi, kita berdiri,
Menganyam mimpi dalam jalinan harmoni,
SPMI, penjamin arah yang pasti,
Namun tanpa pengetahuan, apa arti visi? Stay Relevant!
Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Ketika Universitas X (fiktif) menghadapi penurunan peringkat akreditasi, akar permasalahan ternyata bukanlah absennya kebijakan atau kurangnya dokumen Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Setelah diselidiki lebih dalam, masalah utama justru terletak pada implementasi SPMI yang berjalan setengah hati, terfragmentasi, dan tidak menyentuh inti budaya mutu. Siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) yang telah dirancang hanya sekadar rutinitas administratif, tanpa jiwa dan makna substansial yang mampu menggerakkan perubahan. Di tengah kondisi suram ini, hadirnya Dr. Fulan (fiktif) sebagai rektor baru membawa secercah harapan, bak angin segar yang meniupkan semangat baru ke seluruh penjuru kampus. Semua bergembira.
Dr. Fulan, dengan pendekatan kepemimpinan transformasional, memahami bahwa tantangan ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan merevisi dokumen SPMI atau memperbaiki SOP, prosedur teknis semata. Lebih dari itu, ia melihat perlunya menghidupkan kembali “ruh” semangat kolektif komunitas akademik. Melalui program andalannya, “Kampus Unggul 2030”, ia membangun visi bersama yang menginspirasi, sebuah tujuan besar yang mengajak seluruh civitas akademika untuk bergerak bahu membahu dalam satu irama. Tidak berhenti di situ saja, Dr. Fulan turun langsung ke lapangan, berdialog dengan dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan. Dengan penuh semangat, ia menjelaskan pentingnya siklus PPEPP sebagai landasan transformasi, sekaligus memotivasi mereka untuk memandang budaya mutu bukan sebagai beban, namun sebagai bagian dari identitas kampus yang bermartabat.
Edward Sallis, dalam Total Quality Management in Education, menegaskan bahwa kepemimpinan sejati tidak hanya tentang merumuskan visi-misi saja namun juga mewujudkannya melalui aksi nyata. Kisah fiktif Universitas X menjadi ilustrasi bagaimana kepemimpinan transformasional mampu menghidupkan kembali ruh budaya mutu yang sempat pudar.
Melalui sinergi antara visi misi dan tindakan, Dr. Fulan berhasil menjadikan siklus PPEPP sebagai alat perubahan yang nyata, mendorong kampus untuk terus berinovasi dan bertransformasi menuju keunggulan berkelanjutan.
Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI
Tahap pertama dalam siklus PPEPP adalah penetapan standar, sebuah fase sangat penting yang merefleksikan visi dan misi institusi pendidikan tinggi. Lebih dari sekadar memenuhi Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti), standar ini sejatinya harus menjadi landasan untuk melampaui ekspektasi dan meraih keunggulan.
Namun, tidak semua anggota organisasi memiliki keyakinan penuh akan potensi mereka. Dalam situasi ini, hadirnya Dr. Fulan sebagai pemimpin transformasional mengubah pesimisme menjadi optimisme. Dengan caranya yang inspiratif, ia meyakinkan setiap individu bahwa mereka memiliki kekuatan dan potensi luar biasa untuk mendorong perubahan dan menciptakan prestasi gemilang.
Edward Sallis, dalam Total Quality Management in Education, menekankan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang mampu “mengkomunikasikan visi dengan penuh semangat dan keyakinan.”
Bagi Dr. Fulan, visi bukanlah sekadar sederet kata kata tanpa makna dalam dokumen, melainkan nyala api yang menggerakkan hati dan pikiran seluruh komunitas akademik. Dengan komunikasi yang membangkitkan inspirasi, ia menanamkan rasa kepemilikan yang mendalam di antara dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Visi yang kuat ini menyatukan gerak langkah, mengharmoniskan perbedaan (diversity), dan membentuk ekosistem pendidikan yang dinamis, kolaboratif, serta mampu beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah.
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Pelaksanaan standar menjadi tahap kedua dalam siklus PPEPP, di mana visi misi harus bertransformasi menjadi aksi nyata yang efektif. Di tahap ini, kepemimpinan transformasional memainkan peran sentral, berfokus pada pemberdayaan individu dan tim untuk menciptakan solusi inovatif.
Dr. Fulan, dengan semangat yang menular, menghidupkan filosofi kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas, dan kerja ikhlas sebagai prinsip utama yang membimbing seluruh komunitas akademik. Prinsip ini tidak hanya mendorong produktivitas, namun juga menumbuhkan keikhlasan dalam setiap langkah menuju perbaikan.
Sebagai seorang pemimpin transformasional, Dr. Fulan menjalankan peran sebagaimana yang digambarkan Edward Sallis: seorang fasilitator perubahan (change agent) yang menggerakkan institusi dengan strategi dan aksi nyata. Ia memastikan bahwa setiap anggota staf memiliki sumber daya yang memadai, lingkungan kerja yang mendukung, dan kebebasan dari hambatan birokrasi yang kerap menghambat inovasi. Dengan menciptakan atmosfer kolaborasi yang kondusif, ia memfasilitasi perguruan tinggi untuk melaksanakan praktik terbaik dalam pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Pendekatan ini, yang diterapkan secara efektif oleh Dr. Fulan, menjadikan setiap langkah perbaikan tidak hanya sebagai kewajiban, tetapi juga sebagai bagian dari perjalanan bermakna menuju keunggulan. Semua bahagia.
Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI
Tahap Evaluasi dan Pengendalian adalah urat nadi dari siklus PPEPP, memastikan bahwa implementasi SPMI tidak hanya berjalan sesuai rencana tetapi juga terus disempurnakan, harus bisa melampaui target yang telah ditetapkan.
Audit mutu internal, monev dan assessment, bukan sekadar ritual formalitas belaka, namun upaya berkelanjutan untuk menemukan celah perbaikan dan menetapkan langkah strategis. Dalam hal ini, kepemimpinan transformasional berperan sebagai motor penggerak utama yang mendorong evaluasi berbasis data dan dialog terbuka. Di bawah arahan Dr. Fulan, program audit mutu internal dikelola dengan cermat dan efektif. Para auditor didorong untuk menemukan temuan yang substansial, bukan sekadar administratif, sementara setiap rencana tindak lanjut dikawal dengan penuh dedikasi hingga benar-benar terlaksana.
Edward Sallis menegaskan bahwa keberhasilan evaluasi mutu bergantung pada adanya feedback loops yang berkelanjutan. Pemimpin transformasional harus memastikan keterlibatan aktif semua pemangku kepentingan—mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, hingga pengguna lulusan—dalam memberikan umpan balik yang konstruktif. Data dan masukan yang terkumpul menjadi informasi kuat bagi pengambilan keputusan yang lebih efektif. Dr. Fulan membuka berbagai saluran kritik dan saran, dari kotak saran fisik hingga formulir komplain daring, menjadikannya mudah diakses oleh semua pihak. Melalui cara-cara ini, evaluasi tidak hanya menjadi proses pengukuran belaka, namun juga bentuk wujud nyata dari komitmen untuk terus berkembang, berinovasi, dan mencapai keunggulan yang terus menerus (continuous improvement).
Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?
Budaya mutu bukanlah sesuatu yang dapat dicapai dalam semalam. McKinsey menggambarkannya sebagai “shared values”, yakni nilai-nilai yang dianut bersama dan tertanam dalam setiap aspek kehidupan institusi.
Kepemimpinan transformasional menjadi kunci untuk menanamkan nilai-nilai tersebut diatas ke dalam DNA perguruan tinggi. Lebih dari sekadar memberi instruksi, seorang pemimpin harus mampu menghadapi resistensi terhadap perubahan dengan cara-cara yang elegan, inklusif, dan kolaboratif. Pendekatan ini memastikan bahwa setiap karyawan merasa dihormati, didengarkan, dan dilibatkan dalam perjalanan transformasi menuju budaya mutu yang berkelanjutan.
Sallis mencatat bahwa kepemimpinan transformasional tidak hanya menginspirasi visi besar tetapi juga memberdayakan individu untuk mewujudkannya. Pemimpin sejati menciptakan lingkungan yang mendorong kreativitas, inovasi, dan keberanian untuk mencoba hal-hal baru tanpa takut gagal. Hal ini diwujudkan oleh Dr. Fulan dengan memperkenalkan berbagai metode pengambilan keputusan yang kreatif dan partisipatif, seperti mind mapping, design thinking, dan teknik lainnya yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Melalui pendekatan ini, Dr. Fulan berhasil membangun ekosistem akademik yang dinamis, di mana setiap ide memiliki tempat untuk tumbuh dan setiap kontribusi dihargai sebagai bagian dari upaya kolektif menuju peningkatan mutu secara terus menerus (kaizen).
Baca juga: Penguatan SPMI dengan 10 Peran Manajer ala Mintzberg
Kepemimpinan transformasional adalah salah satu pendekatan strategis yang menghubungkan visi dan misi besar dengan aksi nyata dalam implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI).
Dengan merujuk pada prinsip-prinsip yang diuraikan oleh Edward Sallis dalam Total Quality Management in Education, perguruan tinggi harus dapat menjadikan siklus PPEPP sebagai proses yang berkelanjutan. Siklus ini tidak sekadar prosedur, melainkan sebagai landasan kokoh yang mendorong inovasi, kolaborasi, dan peningkatan mutu pendidikan tinggi yang berorientasi pada keunggulan dan keberlanjutan.
Kini, saatnya para pemimpin pendidikan tinggi melangkah dengan penuh keyakinan, memimpin dengan visi yang jelas, dan menggerakkan aksi kolektif yang bermakna. Kepemimpinan yang inspiratif dan inklusif akan membangkitkan semangat seluruh elemen komunitas akademik untuk bekerja bersama demi masa depan yang lebih baik. Pendidikan tinggi Indonesia, dengan semangat kepemimpinan transformasional, memiliki potensi untuk menjadi pilar utama dalam pembangunan sumber daya manusia yang unggul, kompetitif, dan berdaya saing global.
Sejalan dengan itu, kita dapat mengambil hikmah dari firman Allah dalam Surah Ar-Ra’d ayat 11: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” Ayat ini mengajarkan bahwa perubahan sejati harus dimulai dari dalam, baik oleh individu maupun sebuah institusi. Pemimpin transformasional adalah mereka yang mampu menanamkan kesadaran ini, mendorong setiap elemen dalam perguruan tinggi untuk mengambil tanggung jawab dalam proses perbaikan. Dengan tekad yang kuat dan niat yang tulus, perubahan menuju budaya mutu yang berkelanjutan bukanlah sekadar impian kosong, namun sebuah kenyataan yang bisa diwujudkan bersama. Kita harus yakin. Stay Relevant!
Baca juga: Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku: Pilar Utama Budaya Mutu SPMI
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Perguruan tinggi di Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan mutu akademik dan non-akademik. Proses akreditasi oleh BAN-PT atau LAM, yang menjadi tolok ukur mutu perguruan tinggi, menuntut persiapan yang matang dan menyeluruh. Namun, sering kali, kendala muncul meski sumber daya yang tersedia memadai. Salah satu hambatan utama adalah lemahnya koordinasi dan “komunikasi internal,” yang berdampak pada rendahnya pemahaman staf dan dosen terhadap kebijakan serta standar SPMI yang telah ditetapkan. Akibatnya, implementasi sistem penjaminan mutu internal (SPMI) menjadi kurang efektif, menggambarkan bagaimana komunikasi internal dapat menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan SPMI di perguruan tinggi.
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan framework dalam menjaga dan meningkatkan mutu secara berkelanjutan (kaizen) di dunia pendidikan tinggi. Sebagai realisasi dari Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 53 Tahun 2023, SPMI mengintegrasikan siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar (PPEPP). Siklus ini bukan sekadar kerangka kerja, melainkan fondasi strategis yang memastikan perguruan tinggi mampu memenuhi, bahkan melampaui, standar nasional yang telah ditetapkan. Implementasi SPMI menjadi wujud nyata dari komitmen perguruan tinggi terhadap mutu pendidikan tinggi di Indonesia.
Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI
Namun, keberhasilan SPMI tidak dapat dilepaskan dari peran komunikasi internal yang strategis, efektif, dan terstruktur. Komunikasi internal tidak hanya menjadi alat untuk menyampaikan informasi, tetapi juga jembatan yang menyelaraskan visi, meningkatkan partisipasi, dan memastikan setiap elemen organisasi memahami serta menginternalisasi standar SPMI.
Tanpa komunikasi internal yang kuat, SPMI akan kehilangan daya dorongnya. Oleh karena itu, perguruan tinggi harus menjadikan komunikasi internal sebagai prioritas utama, agar sistem penjaminan mutu tidak hanya menjadi sekadar dokumen, tetapi juga budaya yang hidup di seluruh jenjang organisasi.
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dalam pendidikan tinggi memiliki tujuan strategis untuk mengoptimalkan pelaksanaan Tridharma melalui standar pendidikan tinggi yang tidak hanya memenuhi, tetapi juga melampaui Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN-Dikti). Namun, tantangan kerap muncul dalam implementasinya.
Banyak perguruan tinggi di Indonesia menghadapi kesulitan dalam menyelaraskan elemen-elemen organisasi yang terlibat dalam SPMI. Hambatan seperti lemahnya koordinasi, disparitas pemahaman, dan minimnya keterlibatan pemangku kepentingan menjadi kendala yang signifikan.
Oleh sebab itu, diperlukan transformasi fundamental yang mampu menyelaraskan tujuan ideal SPMI dengan praktik operasional di lapangan secara konsisten dan berkelanjutan.
Transformasi tersebut dapat diwujudkan melalui komunikasi internal yang strategis dan terstruktur. Sebagai contoh, penerapan standar baru dalam proses pembelajaran sering kali menghadirkan potensi konflik dan kesalahpahaman di antara pimpinan, dosen, serta staf administrasi. Namun, dengan komunikasi internal yang dirancang dengan matang—melalui forum silaturahmi, pelatihan rutin, hingga pemanfaatan platform digital—pesan dapat tersampaikan dengan jelas, sehingga setiap elemen organisasi dapat terlibat secara optimal.
Komunikasi internal yang efektif tidak hanya menjembatani perbedaan, tetapi juga menjadi katalis dalam membangun budaya mutu yang tangguh di perguruan tinggi.
Dalam konteks Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), komunikasi internal adalah proses penyampaian dan pertukaran informasi, arahan, serta umpan balik yang terjadi di dalam perguruan tinggi untuk memastikan bahwa semua stakeholder, termasuk pimpinan, dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa, memahami dan terlibat aktif dalam implementasi standar mutu yang telah ditetapkan.
Komunikasi internal yang efektif adalah elemen fundamental dalam keberhasilan implementasi kebijakan di perguruan tinggi. Dalam buku Internal Communications: A Manual for Practitioners karya Liam FitzPatrick dan Klavs Valskov, dijelaskan bahwa komunikasi internal yang terencana dapat memperkuat budaya organisasi. Sebagai contoh, ketika perguruan tinggi memperkenalkan metode pembelajaran berbasis proyek, komunikasi yang strategis memastikan setiap pimpinan, dosen dan tenaga kependidikan memahami peran mereka, sehingga proses transisi berjalan lancar tanpa konflik atau miskomunikasi.
Perguruan tinggi dapat mengadopsi berbagai strategi komunikasi internal, mulai dari buletin rutin, media visual seperti poster, hingga diskusi interaktif melalui platform digital.
Keberhasilan perguruan tinggi dalam menjalankan SPMI kerap kali bergantung pada tim komunikasi internal yang kompeten, yang mampu menyusun pesan secara jelas, mendistribusikan informasi dengan efektif, dan mendengarkan masukan dari semua elemen organisasi. Pendekatan ini menciptakan kolaborasi yang produktif dan memperkuat rasa memiliki dalam setiap langkah menuju mutu pendidikan yang berkelanjutan.
Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?
Tahap Penetapan Standar (dalam PPEPP) memerlukan pendekatan komunikasi yang terarah dan terstruktur. Pada tahap ini, perguruan tinggi harus memastikan bahwa semua pemangku kepentingan internal memiliki pemahaman yang sama tentang target dan indikator keberhasilan yang ditetapkan. Sebagai ilustrasi, ketika sebuah perguruan tinggi memperkenalkan standar baru untuk kurikulum berbasis kompetensi, penting untuk mengadakan serangkaian pertemuan yang melibatkan dosen, mahasiswa, dan pemangku kepentingan eksternal. Diskusi ini tidak hanya menjelaskan manfaat kebijakan baru, tetapi juga memberikan panduan langkah-langkah implementasi. Dengan komunikasi yang efektif, resistensi (penolakan) terhadap perubahan dapat diminimalkan, sehingga transisi berjalan lebih lancar.
Tahap Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) adalah momen penting di mana komunikasi internal menjadi penggerak utama (tools) keberhasilan. Dalam perguruan tinggi yang memiliki berbagai unit kerja, risiko fragmentasi dalam implementasi sangat mungkin terjadi tanpa adanya komunikasi yang solid. Sebagai contoh, ketika standar baru untuk metode evaluasi mahasiswa diterapkan, komunikasi yang kurang jelas dapat memicu kebingungan di kalangan dosen. Namun, dengan adanya panduan yang sistematis dan pelatihan yang komprehensif, setiap unit dapat berkontribusi secara harmonis, memastikan bahwa tujuan bersama dapat tercapai dengan optimal.
Tahap Evaluasi Pemenuhan standar (dalam PPEPP) membutuhkan keterbukaan dan transparansi yang maksimal. Perguruan tinggi dapat menggunakan survei internal (melalui monev) sebagai alat untuk mengumpulkan umpan balik dari dosen dan mahasiswa mengenai implementasi standar yang telah berjalan. Sebagai contoh, ketika mengevaluasi efektivitas metode pembelajaran daring (Learning Management System/LMS), data yang diperoleh dari survei dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi kelemahan dan merancang perbaikan yang relevan. Sejalan dengan pandangan FitzPatrick, komunikasi yang jujur selama fase evaluasi menjadi kunci dalam menemukan tantangan dan peluang perbaikan yang berkelanjutan.
Tahap Pengendalian Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) menuntut komunikasi yang responsif dan intensif untuk memastikan setiap penyimpangan dapat segera diatasi. Ketika ditemukan pelanggaran terhadap standar penelitian, misalnya, tim pengelola mutu perlu segera mengadakan diskusi dengan pihak terkait untuk menemukan solusi yang tepat. Komunikasi internal yang responsif memungkinkan identifikasi masalah dilakukan secara cepat, sehingga penyelesaiannya tidak hanya efektif tetapi juga sesuai dengan kebutuhan spesifik perguruan tinggi.
Tahap Peningkatan Standar (dalam PPEPP) adalah fase yang berorientasi pada inovasi dan kolaborasi berkelanjutan. Pada tahap ini, komunikasi internal memainkan peran penting dalam menyebarluaskan informasi tentang praktik terbaik (best practice) yang telah berhasil diterapkan di satu unit untuk direplikasi oleh unit lain. Sebagai contoh, jika sebuah fakultas menemukan metode pembelajaran inovatif yang mampu meningkatkan keterlibatan mahasiswa, metode ini dapat dibagikan kepada fakultas lain melalui forum internal atau publikasi internal. FitzPatrick menegaskan bahwa komunikasi dua arah adalah motor penggerak dalam menciptakan inovasi dan berbagi kesuksesan, mendorong budaya mutu yang progresif di seluruh institusi.
Penguatan SPMI melalui siklus PPEPP memerlukan integrasi komunikasi internal yang efektif dan efisien di setiap tahapannya. Perguruan tinggi yang menghadapi tantangan, seperti meningkatkan peringkat akreditasi, dapat memanfaatkan komunikasi internal untuk membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya pencapaian mutu. Dengan melibatkan semua unit dalam diskusi rutin serta menyediakan informasi yang akurat melalui portal internal dan sistem manajemen pengetahuan (knowledge management), proses perubahan dapat dilaksanakan secara lebih terarah, efisien, dan inklusif.
Pandangan yang disampaikan dalam Internal Communications: A Manual for Practitioners menggarisbawahi bahwa keberhasilan komunikasi internal tidak hanya ditentukan oleh pilihan saluran (communication channels), namun juga oleh kualitas keterlibatan, kejelasan, dan konsistensi pesan yang disampaikan.
Dalam konteks SPMI, komunikasi internal yang dirancang secara strategis mampu menjadi katalisator dalam mendorong perguruan tinggi menuju pencapaian mutu yang unggul dan berkelanjutan, menciptakan budaya mutu yang kokoh dan progresif.
Oleh karena itu, perguruan tinggi harus memprioritaskan pengembangan sistem komunikasi internal yang terencana, adaptif, dan partisipatif. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip SPMI dan praktik komunikasi internal yang efektif, institusi pendidikan tinggi InsyaAllah dapat memenuhi standar nasional, dan juga memperluas daya saing mereka di tingkat nasional, regional maupun global. Komitmen terhadap komunikasi internal yang solid akan memastikan bahwa setiap langkah menuju mutu unggul menjadi bagian dari perjalanan kolektif seluruh elemen perguruan tinggi. Stay Relevant!
Dalam diam data, suara menyala,
Komunikasi internal merajut asa.
SPMI melangkah dengan teguh,
Menyemai mutu di setiap sudut yang utuh.
Baca juga: Penguatan SPMI dengan 10 Peran Manajer ala Mintzberg
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Bayangkan sebuah tim struktural di perguruan tinggi sedang mengerjakan tugas strategis untuk menyusun standar mutu SPMI. Dari luar, sepintas nampak anggota tim aktif berkontribusi. Namun, di balik rapat yang terlihat harmonis, ada anggota tim yang pasif, tidak memberikan kontribusi maksimal, ia berharap rekan-rekan lain akan menuntaskan sebagian besar pekerjaan. Fenomena seperti ini, dikenal dengan istilah kemalasan sosial (social loafing). Fenomena psikologi ini sering kali tidak terlihat di permukaan, namun dapat berdampak signifikan terhadap keberhasilan mutu pendidikan.
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah “tools” untuk menjamin dan meningkatkan mutu pendidikan secara terus-menerus (continuous improvement). Dengan mengoptimalkan siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar (PPEPP), perguruan tinggi diharapkan dapat membangun proses pendidikan yang memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan. Namun, potensi besar dari kerangka kerja PPEPP ini bisa terkikis jika tantangan dinamika kelompok seperti kemalasan sosial tidak bisa dikelola dengan baik.
Dalam buku psikologi berjudul Group Dynamics karya Donelson R. Forsyth diulas tentang fenomena kemalasan sosial (social loafing).
Kemalasan sosial dijelaskan sebagai kecenderungan seseorang untuk mengurangi usaha mereka dalam kelompok dibandingkan ketika bekerja sendiri.
Fenomena ini sering muncul karena tanggung jawab dalam kelompok dibagi secara tidak jelas, sehingga individu merasa kontribusinya tidak penting atau tidak teridentifikasi. Dalam konteks SPMI, jika fenomena ini tidak diantisipasi, kemalasan sosial dapat menjadi ancaman besar bagi keberhasilan SPMI. Perguruan tinggi harus menyadari dan mengelola dinamika ini agar sistem mutu berjalan efektif dan efisien.
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
Tahap penetapan standar SPMI (dalam PPEPP) adalah langkah krusial yang menentukan arah mutu pendidikan di perguruan tinggi. Namun, seperti yang disampaikan Forsyth, kemalasan sosial cenderung muncul ketika tanggung jawab yang diperlukan tidak dibagi dengan jelas. Jika standar mutu dirancang tanpa pembagian tugas yang spesifik, beberapa anggota tim mungkin mengambil sikap pasif (kemalasan sosial).
Untuk mengantisipasi persoalan ini, institusi harus memastikan bahwa setiap anggota tim memiliki peran (role) yang jelas dan target pekerjaan masing-masing harus dapat diukur dengan baik (measurable).
Baca juga: Teori 2 Faktor: Memadukan SPMI dengan Motivasi Intrinsik
Tahap pelaksanaan standar (dalam PPEPP) sering kali melibatkan berbagai unit di perguruan tinggi, mulai dari level universitas, fakultas hingga administrasi. Forsyth menjelaskan bahwa:
Individu cenderung mengurangi usaha mereka dalam tugas kelompok ketika mereka merasa kontribusinya tidak teridentifikasi atau tidak signifikan terhadap hasil keseluruhan kelompok.
Dalam penerapan SPMI, fenomena ini dapat muncul jika unit-unit tidak memiliki sistem pelaporan yang jelas untuk menunjukkan kinerja mereka baik sebagai individu, maupun sebagai tim.
Forsyth berpendapat bahwa upaya peningkatan “norma kolektif” dan “kohesi kelompok” dapat membantu mengurangi kemalasan sosial. Untuk itu institusi harus mampu menciptakan budaya kerja di mana setiap unit memahami dampak langsung kontribusi mereka terhadap keberhasilan SPMI.
Sebagai contoh, sebuah institusi perguruan tinggi dapat menetapkan “norma kolektif” berupa kewajiban setiap unit untuk menyampaikan laporan capaian mutu secara transparan dalam forum bulanan yang melibatkan seluruh stakeholder internal. Dalam forum yang dibuat “bergengsi” ini, keberhasilan unit kerja akan diakui dan dijadikan motivasi bagi unit lain, menciptakan rasa saling mendukung yang memperkuat “kohesi kelompok”. Ketika karyawan merasa bahwa kontribusi mereka diakui, dihargai dan berdampak langsung pada pencapaian tujuan bersama, semangat kolektif ini secara efektif mengurangi kemalasan sosial dan meningkatkan komitmen terhadap pencapaian target-target SPMI.
Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI
Tahap Evaluasi Pemenuhan Standar (dalam PPEPP) bertujuan untuk menilai sejauh mana standar SPMI yang telah ditetapkan, telah dilaksanakan dan dicapai.
Evaluasi pemenuhan standar SPMI, dapat dilakukan dalam berbagai cara misalnya melalui esessment, audit mutu internal maupun dengan monev. Terkait teori kemalasan sosial, difusi tanggung jawab dapat menyebabkan penurunan kinerja evaluasi. Bila anggota tim merasa bahwa tugas mereka hanya bagian kecil dari keseluruhan proses, bisa jadi mereka tidak memberikan upaya terbaik.
Salah satu solusi mengatasi hal ini, manajemen dapat menggunakan “sistem target” untuk mendorong individu yang terlibat menjadi aktif. Target yang jelas dan spesifik dapat mencegah kemalasan sosial dan meningkatkan motivasi kerja. Cara ini tidak hanya meningkatkan akuntabilitas namun memberi kontribusi nyata bagi perbaikan mutu.
Sebagai contoh, dalam kegiatan audit mutu internal (AMI) di sebuah perguruan tinggi, tim auditor dapat diberikan target spesifik yang sesuai dengan bidang atau unit yang mereka tangani, seperti mengevaluasi kurikulum, efektivitas pembelajaran, atau manajemen sarana prasarana. Hasil evaluasi masing-masing anggota harus disampaikan dalam laporan individu yang kemudian dipresentasikan dalam rapat tim auditor. Melalui cara ini, setiap auditor mengetahui bahwa kontribusi mereka tidak hanya dilihat oleh manajemen namun juga oleh rekan-rekan auditor lainnya. Pendekatan ini menciptakan rasa tanggung jawab personal sekaligus kolektif, mendorong mereka untuk memberikan prestasi terbaik dalam proses AMI.
Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits
Pada tahap Pengendalian Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP), perguruan tinggi harus memastikan bahwa penyimpangan dari standar dapat segera diperbaiki melalui tindakan koreksi, korektif, dan preventif. Namun, seperti yang diuraikan dalam teori kemalasan sosial (social loafing), karyawan sering kali menghindari tanggung jawab jika mereka merasa tugas tersebut lebih cocok dilakukan oleh orang lain. Hal ini dapat memperlambat atau bahkan menggagalkan proses pengendalian pelaksanaan standar.
Menurut pendapat Forsyth, norma kelompok yang kuat dapat menjadi solusi untuk masalah ini. Institusi perlu membangun budaya “tanggung jawab kolektif” yang mendorong semua pihak untuk berperan aktif dalam proses pengendalian pelaksanaan standar. Dengan norma ini, setiap individu akan merasa memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa standar yang diterapkan tidak hanya dipatuhi tetapi juga terus diperbaiki seiring waktu. Budaya seperti ini menciptakan rasa saling percaya dan mendukung di antara anggota kelompok, sehingga secara efektif mampu mengurangi kecenderungan kemalasan sosial.
Tahap Peningkatan Standar (dalam PPEPP) merupakan langkah terakhir dalam siklus PPEPP. Tahap ini memerlukan pendekatan yang tidak hanya berorientasi pada kepatuhan tetapi juga inovasi. Untuk itu, institusi perlu menciptakan lingkungan yang memotivasi individu untuk berpikir kreatif dan inovatif. Dalam bukunya Group Dynamics, Forsyth menekankan bahwa inovasi dalam kelompok hanya dapat tercapai jika anggota tim merasa bahwa kontribusi mereka dihargai dan diakui.
Institusi dapat memfasilitasi hal ini dengan memberikan penghargaan terhadap ide-ide baru, mengadakan forum untuk mendiskusikan inovasi, dan menunjukkan bagaimana masukan individu diterjemahkan menjadi kebijakan yang lebih baik. Dengan langkah-langkah tersebut, tahap peningkatan standar tidak hanya menjadi kegiatan formalitas administratif belaka, tetapi juga berfungsi sebagai upaya strategis untuk membawa mutu pendidikan ke arah yang lebih baik.
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
SPMI adalah tools yang penting untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada bagaimana perguruan tinggi mampu mengelola “dinamika kelompok” yang terlibat dalam setiap tahap siklus PPEPP. Salah satu problem yang menonjol dalam dinamika kelompok adalah persoalan “kemalasan sosial”.
Dengan mengenal, memahami dan mengatasi “kemalasan sosial”, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa setiap individu memberikan kontribusi maksimal untuk mencapai tujuan bersama.
Sebagai penutup, semangat kerja sama dalam mengatasi kemalasan sosial sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya tanggung jawab kolektif. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Ma’idah: 2). Ayat ini mengingatkan bahwa setiap individu memiliki kewajiban untuk berkontribusi secara aktif dalam kebaikan bersama, termasuk dalam konteks peningkatan mutu pendidikan. Dengan menginternalisasi nilai-nilai ini, perguruan tinggi dapat membangun budaya kerja yang harmonis, bertanggung jawab, dan bermakna bagi segenap pemangku kepentingan. Stay Relevant!
Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi adalah langkah strategis untuk mencapai standar mutu pendidikan yang unggul dan berkelanjutan. SPMI melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) berusaha memastikan bahwa setiap aspek Tridharma perguruan tinggi—pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat—terjamin mutunya dengan baik.
Siklus PPEPP ini diatur dalam peraturan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbudristek no 53 tahun 2023). Peraturan menteri tersebut mendorong pada terbangunnya otonomi perguruan tinggi. Dengan peraturan tersebut, memungkinkan institusi perguruan tinggi merancang dan mengimplementasikan standar SPMI yang sesuai dengan mission differentiation masing-masing. Standar SPMI dapat terus ditingkatkan dan dikembangkan secara berkesinambungan sesuai keinginan dan harapan stakeholder masing-masing institusi.
Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?
Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?
Buku berjudul Working Knowledge: How Organizations Manage What They Know yang ditulis oleh Thomas H. Davenport dan Laurence Prusak menjelaskan pentingnya pengetahuan sebagai aset strategis bagi organisasi.
Pengetahuan adalah sumber daya strategis dan memiliki nilai sangat penting bagi keberlanjutan organisasi.
Penerapan Manajemen pengetahuan, sangat relevan bagi perguruan tinggi terutama pada pelaksanaan siklus PPEPP. Manajemen Pengetahuan, bila dikembangkan, memerlukan dukungan dan keterlibatan seluruh civitas akademika untuk saling berbagi pengetahuan, serta bersama- sama memanfaatkan informasi dengan sebaik-baiknya.
Dengan “manajemen pengetahuan”, penguatan SPMI diharapkan menjadi lebih efektif dan efisien.
Unit kerja, staf dosen dan staf administrasi dapat saling berbagi pengetahuan (yang relevan) secara terbuka mengenai banyak hal, praktik efektif, hasil evaluasi, dan area yang perlu diperbaiki.
Pendekatan ini menciptakan sinergi, budaya kolaborasi dan keterbukaan informasi, yang pada akhirnya memicu peningkatan mutu institusi.
Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”
Davenport dan Prusak menjelaskan bahwa knowledge flows atau “aliran pengetahuan” lebih bernilai dibandingkan sekadar knowledge stocks atau “stok pengetahuan”.
Pengetahuan yang terus mengalir dan terus di update memungkinkan organisasi mendapat asupan segar tentang informasi, hal ini menyebabkan institusi mampu beradaptasi lebih cepat.
Pada perguruan tinggi, prinsip ini dapat diimplementasikan melalui sistem informasi manajemen yang berbasis digital, yang menjadi pusat dokumentasi dan pengelolaan pengetahuan institusi. Dengan aliran pengetahuan yang terstruktur dan selalu diperbarui, perguruan tinggi memiliki informasi yang lengkap untuk mengelola standar SPMI secara lebih efektif dan efisien.
Davenport dan Prusak menekankan gagasan bahwa knowledge is a critical organizational resource (pengetahuan adalah sumber daya organisasi yang penting) dan bahwa pengelolaan pengetahuan dengan baik dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif. Prinsip ini, bila diterapkan membantu untuk penguatan SPMI, yang tidak hanya fokus pemenuhan standar minimal, namun juga membantu peningkatan standar-standar SPMI terbaik. Integrasi manajemen pengetahuan menjadi sangat relevan untuk membantu institusi mencapai visi dan misi, serta memenuhi ekspektasi para stakeholder.
Melalui manajemen pengetahuan, institusi dapat menciptakan berbagai nilai tambah, termasuk pengembangan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Kondisi ini memungkinkan institusi untuk terus tumbuh, berinovasi dan berkontribusi bagi lingkungan sekitarnya, menjadikan pengetahuan sebagai fondasi utama dalam pencapaian target-target SPMI.
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Davenport dan Prusak menyampaikan pentingnya knowledge sharing (berbagi pengetahuan) sebagai elemen penting strategi organisasi. Hal ini sejalan dengan kebutuhan informasi dalam siklus PPEPP, di mana setiap tahap harus dikelola dengan baik, dicatat dan diarsipkan secara konsisten untuk memastikan efektivitas dan keterlacakan.
Melalui integrasi knowledge sharing, institusi dapat memastikan bahwa standar SPMI tidak hanya diterapkan secara efektif namun juga terus menerus ditingkatkan berdasarkan masukan dari proses evaluasi. Davenport dan Prusak fokus pada ide bahwa pengetahuan harus dapat diakses, dibagikan, dan digunakan untuk mendukung tujuan strategis organisasi.
Untuk mendukung langkah diatas, pengetahuan yang terdokumentasi dan ter-update memungkinkan organisasi untuk beradaptasi lebih baik terhadap perubahan lingkungan. Pendokumentasi pengetahuan dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan cloud storage / sistem informasi manajemen yang bisa diakses secara online.
Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier
Pendokumentasian pengetahuan, memungkinkan SPMI membangun budaya mutu yang kolaboratif dan adaptif. Semua informasi penting tentang praktik terbaik, progress kegiatan dan hasil evaluasi, tersedia dan mudah diakses oleh seluruh elemen institusi pendidikan tinggi.
Berikut contoh integrasi Manajemen Pengetahuan (knowledge management) dalam siklus PPEPP:
Sebagai penutup, implementasi “SPMI berbasis pengetahuan” menjadikan pengetahuan sebagai aset beharga bagi upaya peningkatan mutu perguruan tinggi. Dengan integrasi KM, perguruan tinggi diharapkan lebih mudah melampaui dan meningkatkan standar SPMI, menciptakan lingkungan akademik yang inovatif serta mampu bertransformasi terhadap perubahan lingkungan.
Mengoptimalkan aliran pengetahuan (knowledge flows) di setiap siklus PPEPP mendorong institusi untuk lebih responsif dan terarah dalam mengelola mutu. Setiap elemen dari siklus PPEPP— mulai dari penetapan hingga peningkatan—didukung oleh informasi yang lengkap, akurat dan up-to-date, menciptakan sistem mutu yang berorientasi pada akreditasi sekaligus menjaga dan mempertahankan kepuasan stakeholder.
Pengetahuan (knowledge) bukan hanya sebuah instrumen untuk mencapai akreditasi, melainkan kunci untuk menggapai keunggulan yang berkelanjutan. Sebagai penutup, ijinkan penulis menyampaikan bahwa:
“Pengetahuan yang terjaga laksana cahaya,
Terpancar terang, penuh daya.
Menjadi fondasi yang kokoh dan teguh,
Membawa perguruan tinggi menuju puncak jaya dan teduh”. Stay Relevant!
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) pada perguruan tinggi di Indonesia menjadi fondasi penting dalam mewujudkan pendidikan tinggi yang bermutu. Berdasarkan Pedoman Implementasi SPMI Perguruan Tinggi Penyelenggara Pendidikan Akademik yang diterbitkan Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan, SPMI mencakup lima langkah penting yang dikenal sebagai siklus PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar. Langkah-langkah ini disusun untuk membangun sistem mutu yang berkelanjutan dan adaptif terhadap harapan internal perguruan tinggi serta segenap stakeholder.
Akan tetapi, penerapan SPMI yang efektif tidak hanya bergantung pada struktur dan prosedur formal saja.
Kesuksesan SPMI sangat tergantung pada SDM (sumber daya manusia) yang ada di dalam organisasi. SDM yang memiliki pola pikir, pola sikap, dan pola perilaku yang sesuai dengan budaya mutu.
Buku Psikologi Sosial karya David G. Myers dan Jean M. Twenge, membahas bagaimana teori psikologi sosial dapat memberi wawasan untuk memperkuat pilar budaya mutu yang berbasis pada SPMI.
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
Pola pikir (mindset / cognitive) adalah fondasi penting untuk membangun sistem penjaminan mutu yang efektif. Dalam konteks SPMI, pola pikir strategis menjadi urgen agar seluruh civitas akademika memahami pentingnya standar mutu (quality awareness) sebagai instrumen untuk mencapai mission differentiation institusi. Menurut Pedoman Implementasi SPMI, standar mutu yang ditetapkan harus diupayakan melampaui Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti) dan mencerminkan kebutuhan lokal perguruan tinggi.
David G. Myers dan Jean M. Twenge (dalam Psikologi Sosial) menekankan bahwa pola pikir (mindset) seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor pembelajaran kognitif dan pengalaman sosial.
Pola pikir (mindset / cognitive) yang berorientasi pada mutu dapat dibangun melalui training, workshop dan edukasi lainnya yang menggugah kesadaran kolektif (quality awareness) tentang manfaat serta dampak positif penerapan standar.
Contoh, institusi perguruan tinggi dapat menyelenggarakan topik pelatihan atau lokakarya yang menjelaskan hubungan antara peningkatan standar mutu pendidikan dengan prestasi akademik institusi.
Baca juga: SPMI Berbasis Pengetahuan: Aset Utama Perguruan Tinggi
Sikap (attitude / affective) merupakan refleksi dari keyakinan dan perasaan seseorang terhadap isu-isu tertentu, yang memengaruhi perilaku (behavior) mereka. Dalam tahap Pelaksanaan Standar SPMI (dalam PPEPP), pola sikap menjadi indikator penting bagi keberhasilan implementasi.
Sikap positif (positive attitude) terhadap standar mutu SPMI dapat terbentuk melalui norma sosial yang mendukung dan kebijakan yang menghargai pencapaian mutu.
Menurut konsep dari ilmu Psikologi Sosial, norma kelompok memiliki kekuatan besar dalam membentuk sikap seseorang (karyawan). Norma kelompok dapat terbangun dari level universitas (budaya organisasi), fakultas maupun program studi (menjadi sub budaya). Dalam institusi perguruan tinggi, penerapan regulasi dan kebijakan yang tepat, menjadi sangat penting. Penghargaan (reward system) bagi tenaga pendidik dan staf karyawan yang berkontribusi pada capaian mutu dapat memperkuat “norma positif” dalam organisasi. Selain itu, Pedoman Implementasi SPMI (2024) juga menekankan pentingnya membangun transparansi dan akuntabilitas sebagai bagian dari budaya mutu. Hal ini merupakan prinsip penting tata kelola yang mendukung “perbaikan sikap” ke arah yang semakin baik.
Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!
Perilaku (behavior / psychomotor) merupakan manifestasi konkret dari pola pikir, pola sikap yang telah terbangun.
Dalam tahap Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar (dalam PPEPP), perilaku proaktif dan kolaboratif sangat penting untuk mendukung proses perbaikan berkelanjutan. Contoh, keterlibatan dalam proses evaluasi standar pendidikan tinggi (esesmen, monev atau audit) memerlukan perilaku terbuka (open minded) terhadap feedback (umpan balik) yang telah disampaikan. Manifestasi perilaku positif juga muncul dalam bentuk “komitmen konkret” untuk melakukan perbaikan secara terus menerus.
Myers dan Twenge (2018) menjelaskan bahwa perilaku dapat dibentuk melalui pengaruh situasional dan dukungan sistemik dalam organisasi. Dalam konteks perguruan tinggi di Indonesia, hal ini berarti institusi harus mampu memfasilitasi lingkungan yang mendukung perilaku sesuai dengan prinsip siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan). Manajemen perguruan tinggi dapat berinovasi dengan menciptakan ekosistem yang saling memperkuat, seperti menyediakan akses terhadap data evaluasi mutu melalui platform digital yang terintegrasi, mengadakan pelatihan teknis secara berkala untuk dosen dan staf, serta menerapkan mekanisme penghargaan yang adil bagi program studi atau individu yang menunjukkan kinerja unggul.
Pedoman Implementasi SPMI (2024) juga menekankan bahwa dokumentasi dan pelaporan yang sistematis adalah bagian integral dari pengendalian mutu, yang hanya dapat dicapai melalui perilaku disiplin di setiap tahap siklus PPEPP.
Hal ini terlihat dalam praktik di kampus-kampus, yang secara konsisten mengadakan audit internal untuk memastikan bahwa standar mutu diimplementasikan secara tepat. Hasil audit tidak hanya dilaporkan tetapi juga digunakan sebagai bahan diskusi dalam rapat koordinasi lintas unit untuk mendorong perbaikan mutu. Perilaku disiplin seperti ini menunjukkan bagaimana pelaksanaan SPMI yang terstruktur dapat menciptakan budaya mutu yang berkelanjutan, memastikan bahwa perguruan tinggi mampu memenuhi dan melampaui standar nasional pendidikan tinggi.
Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI
Pola pikir, pola sikap, dan pola perilaku merupakan pilar penting dalam membangun budaya mutu yang unggul di perguruan tinggi.
Pola pikir (mindset) yang strategis memungkinkan perguruan tinggi untuk menyusun standar SPMI yang sesuai dengan “need and want” stakeholder, baik lokal, nasional maupun internasional. Sikap kerja positif (pola sikap) juga bagian yang tak terpisahkan dalam budaya mutu, sikap positif membantu memastikan keberhasilan pelaksanaan standar SPMI. Selain itu, perilaku (behavior) yang konsisten dalam mengevaluasi dan memperbaiki mutu juga menciptakan peningkatan standar dalam siklus PPEPP (kaizen).
Teori psikologi sosial, menawarkan framework untuk memahami bagaimana pola pikir, pola sikap, dan pola perilaku dapat dibentuk untuk mendukung penguatan SPMI. Teori psikologi sosial memberi wawasan tentang pentingnya pengaruh norma sosial dan pengalaman kolektif dalam membentuk budaya organisasi. Contoh dengan kegiatan “Quality Day” , sebagai perayaan yang melibatkan seluruh anggota organisasi. Dalam satu hari ini diisi dengan aneka kegiatan yang menarik seperti lokakarya, diskusi, pelatihan, dan penghargaan terhadap prestasi mutu yang telah dicapai. Hal ini tidak hanya memperkuat sikap positif terhadap standar SPMI namun juga mendorong pride dan keterlibatan aktif dari seluruh elemen organisasi.
Dalam dunia yang terus berubah (Era BANI), perguruan tinggi harus mampu beradaptasi dengan cepat. Prinsip siklus PPEPP menjadi tools untuk mendorong pendidikan tinggi di Indonesia tetap relevan dan menjadi unggul secara global. Integrasi pola pikir, pola sikap, dan pola perilaku dapat menciptakan transformasi budaya yang berkelanjutan dan memperkuat daya saing internasional.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, ia menyempurnakan pekerjaannya” (HR. Thabrani). Hadist ini mengingatkan kita semua bahwa komitmen terhadap mutu dan upaya perbaikan dalam setiap aspek adalah bagian dari nilai spiritual, yang selaras dengan prinsip-prinsip dasar SPMI. Stay Relevant.
Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Dalam dunia pendidikan tinggi yang semakin kompetitif di era BANI, perguruan tinggi dituntut untuk membangun positioning, yaitu memiliki identitas yang unik dan jelas. Mission differentiation adalah strategi penting untuk menciptakan keunggulan institusi yang berkelanjutan. Dengan misi unik yang spesifik, perguruan tinggi dapat memfokuskan segenap energi dan upaya mereka pada pencapaian misi tersebut. Langkah penting ini untuk menjawab harapan stakeholder, dan untuk menghadapi tantangan global yang penuh ketidakpastian (era BANI).
Mission differentiation tidak hanya memperkuat posisi di kancah lokal, namun juga membantu perguruan tinggi untuk mampu bersaing di tingkat nasional dan internasional.
Namun, diduga masih banyak perguruan tinggi yang kesulitan merumuskan mission differentiation yang relevan dengan kondisi internal dan eksternal institusi. Tulisan singkat ini menawarkan langkah-langkah praktis untuk membantu perguruan tinggi menyusun “misi unik” yang unggul, adaptif, dan sesuai dengan tuntutan pemangku kepentingan (stakeholder).
Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?
Langkah pertama dalam merancang mission differentiation yang baik adalah dengan mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan internal yang dimiliki perguruan tinggi.
Institusi perlu menggali potensi potensi apa saja yang dimiliki organisasi, termasuk keunggulan program studi, keunggulan SDM, atau budaya lokal yang dimiliki organisasi. Contoh, politeknik di daerah pesisir dapat memanfaatkan lokasi strategis untuk merancang misi yang fokus pada penelitian kelautan dan keberlanjutan ekosistem laut. Cara ini membantu institusi menemukan “identitas unik” yang sesuai dengan kekuatan dan potensi mereka.
Langkah selanjutnya, perguruan tinggi harus melakukan analisis terhadap peluang dan ancaman dari perubahan lingkungan eksternal.
Lingkungan eksternal bisa meliputi berbagai hal seperti: ekonomi, sosial, budaya, teknologi, demografi, hukum dan lain sebagainya. Pemahaman mendalam tentang perubahan, harapan masyarakat dan tren global sangat penting untuk menetapkan pilihan mission differentiation. Contoh, politeknik yang berada di kawasan industri dapat merespons permintaan tenaga kerja dengan mengembangkan pendidikan vokasi berbasis soft skills dan teknologi otomatisasi.
Langkah berikutnya adalah upaya untuk melibatkan stakeholder dalam proses perumusan “misi unik”.
Misi unik adalah misi yang dirancang bersama dengan melibatkan stakeholder seperti orang tua, mahasiswa, alumni, mitra industri, serta masyarakat publik. Institusi dapat menyelenggarakan fokus group discussion (FGD), workshop atau survei harapan untuk menyerap aspirasi dari berbagai sumber.
Politeknik di daerah agraris misalnya, dapat melibatkan perkumpulan petani untuk merancang penelitian pertanian berbasis teknologi sesuai keinginan dan harapan masyarakat lokal.
Integrasi misi unik ke dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) juga menjadi tantangan yang harus dihadapi. Melalui siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar (PPEPP), misi unik institusi dapat diintegrasikan dalam bentuk kebijakan SPMI, standar mutu, dan pedoman kerja lainnya.
Langkah akhir, misi unik yang telah dirancang harus dikomunikasikan secara efektif dan efisien. Institusi dapat menggunakan berbagai media, seperti radio lokal, media sosial, laporan tahunan, atau poster untuk mempromosikan identitas perguruan tinggi (positioning) pada masyarakat luas. Politeknik di bidang vokasi dapat menggunakan slogan “Pemimpin Pendidikan Vokasi di Era Digital.”
Komunikasi yang terpadu diperlukan untuk memastikan bahwa misi unik tidak hanya menjadi dokumen internal saja namun juga dikenal dan diminati oleh masyarakat luas.
Dengan langkah-langkah diatas, bila dilakukan dengan efektif, perguruan tinggi dapat merancang mission differentiation yang unggul dan relevan.
Michael M. Crow adalah administrator pendidikan tinggi dan inovator akademik dalam manajemen universitas, sedangkan kawannya William B. Dabars adalah seorang sejarawan akademik yang fokus pada studi tentang evolusi universitas riset di Amerika. Mereka berdua bersama-sama memberi wawasan strategis dan akademik untuk merancang model pendidikan tinggi yang relevan dengan tuntutan zaman.
Buku Crow dan Dabars “Designing the New American University” menekankan pentingnya semangat “inovasi” sebagai ujung tombak dari misi perguruan tinggi. Menurut mereka, institusi harus mampu beradaptasi merespons tuntutan pemangku kepentingan secara langsung sambil tetap mempertahankan standar akademik yang tinggi.
Semangat inovasi tidak hanya menjadi elemen tambahan, namun harus terintegrasi dari setiap aspek operasional perguruan tinggi.
Crow mendorong perguruan tinggi untuk merancang misi yang relevan dengan tantangan lokal dan global. Misal, sekolah tinggi yang berlokasi di daerah dengan potensi energi terbarukan dapat mengambil peluang tersebut dan berusaha menyusun misi unik yang relevan.
Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI
Merancang mission differentiation adalah langkah krusial untuk membangun “identitas perguruan tinggi” yang kuat dan relevan. Dengan memahami potensi internal dan tantangan eksternal, institusi dapat memastikan bahwa misi unik mereka tidak hanya berorientasi pada kebutuhan lokal, namun juga memiliki dampak nasional dan internasional.
Integrasi misi ke dalam SPMI memungkinkan pencapaian visi institusi dapat terwujud. Dengan misi unik yang jelas dan terarah, InsyaAllah institusi akan mampu menciptakan inovasi yang berdampak nyata bagi masyarakat luas. Crow menyarankan, Inovasi bukan aktivitas sesaat saja, namun harus menjadi etos kerja yang dilakukan terus menerus.
Sebagai penutup, Nelson Mandela pernah mengatakan, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Dengan misi unik yang spesifik dan fokus pada keberlanjutan, perguruan tinggi dapat menjadi pilar perubahan yang berdampak besar bagi masyarakat dunia. Stay Relevant!
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi