Perguruan tinggi di Indonesia diberi otonomi untuk mengelola institusi mereka, namun masih saja diwajibkan untuk menerapkan sistem manajemen tertentu, misalnya Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) sebagai upaya menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan (Permendikbudristek 53 Tahun 2023 pasal 67 sampai pasal 70 tentang SPMI).
Fakta di lapangan, banyak perguruan tinggi di Indonesia mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan SPMI secara efektif. Dokumen SPMI hanya tersedia lengkap di rak lemari, namun tidak difungsikan sebagaimana mestinya, hanya sebagai persyaratan untuk keperluan akreditasi.
Selain itu juga banyak dokumen SPMI yang tidak “update”, padahal sudah banyak peraturan2 baru yang perlu ditindak lanjuti dalam bentuk revisi dokumen. Sering dijumpai dokumen SPMI (Kebijakan, Siklus PPEPP dan Standar) masih menggunakan panduan lama dan tanggal revisi lebih dari 5 tahun yang lalu.
Artikel ini akan mengkaji mengapa implementasi SPMI seringkali menimbulkan kebingungan dan kurang berhasil dalam implementasinya. Partisipasi dari seluruh komponen perguruan tinggi, termasuk dosen, mahasiswa, staf administrasif masih rendah bagi pengembangan SPMI.
Artikel singkat ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih, usulan dan rekomendasi untuk mengatasi tantangan-tantangan diatas.
Salah satu alasan utama perguruan tinggi kesulitan dalam mengimplementasikan SPMI adalah kompleksitas sistem itu sendiri. Banyak unsur manajemen, dosen dan staf karyawan yang kurang paham dengan “big Picture” konsep SPMI.
Masih banyak yang belum paham struktur dokumen SPMI beserta fungsi-fungsinya. Apa fungsi kebijakan SPMI sebagai dokumen level tertinggi? Apa fungsi dokumen PPEPP beserta formulir yang ada didalamnya? Apa fungsi standar SPMI dan bagaimana strategi untuk mencapainya? Ada berapa persen anggota organisasi perguruan tinggi yang dapat menjawab pertanyaan diatas?
Tanpa pemahaman yang utuh tentang setiap komponen diatas, tentu institusi akan kesulitan menerapkan SPMI dengan baik. Banyak perguruan tinggi tidak memiliki sumber daya manusia yang cukup terlatih dalam manajemen mutu, yang membuat mereka kesulitan untuk merancang, mengembangkan dan menerapkan sistem yang efektif.
Selain itu, implementasi SPMI juga memerlukan sumber daya yang signifikan, baik dalam hal waktu, tenaga, maupun biaya. Perguruan tinggi rintisan, terutama yang berada di daerah dengan akses terbatas ke sumber daya, sering kali tidak memiliki infrastruktur yang memadai untuk mendukung penerapan SPMI.
Kurangnya suport / dukungan dari manajemen puncak juga menjadi faktor penghambat, karena tanpa komitmen dari pemimpin, upaya peningkatan mutu sering kali tidak mendapatkan prioritas yang diperlukan.
Pimpinan juga sering punya persepsi bahwa urusan mutu adalah tanggung jawab Unit Jaminan Mutu, padahal Peran Leadership adalah peran penentu / kunci bagi keberhasilan SPMI. Pimpinanlah yang menjadi “pemilik utama” (owner) sistem mutu SPMI, bukan Unit (pusat / lembaga) Jaminan Mutu.
Budaya organisasi yang tidak mendukung juga menjadi tantangan besar dalam implementasi SPMI. Banyak institusi perguruan tinggi yang memiliki budaya birokrasi yang kaku dan resistensi terhadap perubahan.
Penerapan SPMI memerlukan perubahan mendasar dalam cara kerja dan pemikiran manajemen, staf karyawan dan dosen. Jika budaya organisasi tidak kondusif, maka upaya untuk menerapkan sistem ini akan menghadapi hambatan besar.
Budaya kerja yang diharapkan adalah pola pikir, pola sikap dan pola perilaku yang sesuai dengan standar pendidikan tinggi. Semua anggota organisasi harus menerapkan siklus PPEPP dalam setiap langkah dan perbuatannya.
Monitoring dan evaluasi (monev) yang berkelanjutan adalah kunci sukses dalam implementasi SPMI. Namun, banyak perguruan tinggi yang tidak memiliki mekanisme yang efektif untuk melakukan ini.
Tanpa monev yang tepat, sulit untuk mengetahui apakah implementasi SPMI berjalan dengan baik atau memerlukan perbaikan. Ini juga berarti bahwa permasalahan yang ada tidak teridentifikasi dan tidak ditangani dengan baik.
Monev dilakukan oleh perangkat manajemen, Audit Mutu Internal (AMI) dilakukan oleh auditor. Keduanya saling melengkapi untuk mendapatkan temuan (finding) yang dibutuhkan untuk melakukan perbaikan secara berkesinambungan.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan diatas, beberapa langkah dapat diambil:
Meskipun banyak perguruan tinggi di Indonesia mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan SPMI, tantangan-tantangan ini, InsyaAllah dapat diatasi dengan pendekatan yang tepat.
Investasi dalam pelatihan, dukungan manajemen, penyederhanaan proses, penggunaan teknologi, dan peningkatan monitoring dan evaluasi / audit mutu internal adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi implementasi SPMI.
Harapan kita bersama, perguruan tinggi dapat lebih berhasil dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan, sesuai dengan cita-cita / tujuan utama dari penerapan SPMI. Stay relevant!
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi