
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Di tengah transformasi pendidikan tinggi yang terus bergerak mengikuti arus zaman, pertanyaan mendasar yang seharusnya terus digaungkan adalah: “Apa sebenarnya indikator keberhasilan pembelajaran?” Apakah sekadar nilai A dalam transkrip akademik? Atau sejauh mana mahasiswa mampu menerapkan pengetahuannya dalam konteks dunia nyata? Pergeseran paradigma dari sekadar mengejar skor menuju pencapaian kompetensi sejatinya bukan hanya sebuah wacana, tetapi panggilan untuk berubah. Sebab, dalam dunia kerja yang dinamis dan kompleks saat ini, keberhasilan belajar bukan lagi dinilai dari seberapa banyak yang dihafal, melainkan seberapa dalam seseorang memahami dan mampu menerapkannya.
Psikologi pembelajaran menegaskan bahwa hasil belajar yang bermakna berasal dari proses aktif, konstruktif, dan kontekstual. David Ausubel, misalnya, menekankan pentingnya meaningful learning, di mana informasi yang diterima siswa harus dikaitkan dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki. Sementara itu, teori konstruktivisme menempatkan mahasiswa sebagai subjek aktif dalam membangun pengetahuannya sendiri.
Maka dari itu, bila proses belajar hanya berorientasi pada hasil skor akhir berupa angka, kita telah melewatkan esensi utama dari proses pendidikan.
Baca juga: Bukan Copy-Paste! Begini Cara Bikin Standar Kompetensi Lulusan yang Tajam dan Relevan
Tidak bisa dipungkiri, sistem nilai akademik masih menjadi rujukan utama dalam mengukur pencapaian mahasiswa. Namun, berapa banyak lulusan ber-IPK tinggi yang merasa canggung ketika menghadapi persoalan riil di tempat kerja?
Patut diduga, saat ini ada kesenjangan antara prestasi akademik dan keterampilan praktis di lapangan.
Hal ini bukan karena mahasiswa malas belajar, melainkan karena sistem pembelajarannya tidak memfasilitasi penguasaan kompetensi secara utuh.
Penilaian yang hanya mengandalkan ujian akhir tertulis, misalnya, lebih mengukur daya ingat jangka pendek ketimbang kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah. Padahal, teori kognitif modern seperti taksonomi Bloom yang diperbarui oleh Anderson dan Krathwohl menunjukkan bahwa kemampuan tingkat tinggi seperti menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta jauh lebih bernilai dibanding sekadar mengingat. Jika evaluasi hanya menyentuh ranah dasar, maka wajar bila pembelajaran kita terasa dangkal.
Baca juga: Antara Ideal dan Realitas: Apa Isi Kebijakan SPMI Kampusmu?
Dalam konteks ini, penting untuk mengaitkan pembelajaran dengan realitas dunia kerja dan kehidupan. Mahasiswa perlu mengalami proses belajar yang otentik, berbasis proyek, atau studi kasus yang memungkinkan mereka mengembangkan kompetensi secara kontekstual. Di sinilah tantangan terbesar institusi pendidikan tinggi: merancang pembelajaran yang tidak hanya informatif, tapi juga transformatif.
Kurikulum yang dirancang berbasis capaian pembelajaran (CPL) harus diterjemahkan secara serius dalam strategi dan metode pengajaran.
Dosen tidak cukup hanya menyampaikan materi, melainkan harus menjadi fasilitator belajar yang memicu diskusi kritis, kolaborasi, dan eksplorasi. Ketika proses ini terjadi secara konsisten, maka pembelajaran akan menyentuh lapisan kompetensi yang lebih dalam: bukan hanya tahu, tapi paham dan mampu.
Baca juga: SPMI Bukan Hanya Urusan LPM: Saatnya Kebijakan SPMI Dibaca Semua Civitas Akademika!
Untuk memastikan seluruh proses ini berjalan sistematis dan terarah, maka Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) menjadi kunci utama.
SPMI bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan fondasi untuk membangun budaya mutu di perguruan tinggi. Dalam Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, SPMI ditegaskan sebagai mekanisme otonom yang dimiliki perguruan tinggi untuk menjamin bahwa seluruh proses pendidikan, termasuk pembelajaran, berjalan sesuai standar dan terus meningkat mutunya.
SPMI mendorong dosen dan manajemen program studi untuk tidak hanya menjalankan pembelajaran, tapi juga secara berkala melakukan refleksi dan perbaikan. Ini menjadi alat yang sangat penting untuk memastikan bahwa proses pembelajaran tidak berhenti pada apa yang direncanakan, tetapi benar-benar dievaluasi berdasarkan apa yang dicapai dan bagaimana dampaknya bagi mahasiswa.
Baca juga: Membumikan Strategi Kampus: Semua Unit Paham dan Bergerak Sesuai Arah
Salah satu keunggulan dari SPMI adalah adanya siklus PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan.
Siklus ini bisa dianggap sebagai bentuk konkret dari filosofi kaizen—perbaikan berkelanjutan yang dilakukan secara sistematis dan berbasis data. Dalam konteks proses pembelajaran, PPEPP memberikan kerangka kerja untuk menilai efektivitas metode pengajaran, kualitas asesmen, hingga kepuasan dan capaian belajar mahasiswa.
Kaizen versi PPEPP ini mendorong semua pihak untuk tidak cepat puas. Setelah pembelajaran dilaksanakan, tidak cukup hanya mengecek absensi atau nilai akhir. Harus ada evaluasi mendalam: Apakah mahasiswa benar-benar mencapai kompetensi? Apa hambatannya? Bagaimana perbaikannya? Dengan begitu, kualitas pembelajaran bisa terus ditingkatkan dari waktu ke waktu, sesuai dengan dinamika zaman dan kebutuhan mahasiswa.
Baca juga: Gamifikasi SPMI: Mungkinkah Diterapkan di Perguruan Tinggi?
Kini, saatnya kita semua—dosen, pengelola prodi, hingga pimpinan perguruan tinggi—mengukur ulang bagaimana kita mendefinisikan keberhasilan pembelajaran.
Mari, kita jangan lagi terjebak pada sekadar angka di lembar nilai. Keberhasilan sejati terletak pada kompetensi yang dibentuk, karakter yang dibangun, dan kesiapan mahasiswa menghadapi tantangan nyata.
Dengan memanfaatkan SPMI sebagai pilar mutu dan PPEPP sebagai alat kaizen institusional, perguruan tinggi Indonesia dapat melampaui standar formalitas dan benar-benar menciptakan pembelajaran yang bermakna. Sebab, di dunia nyata, bukan IPK yang diuji, melainkan kapasitas berpikir, bersikap, dan berkontribusi. Stay Relevant!
Baca juga: Mengapa GKM Gagal? Studi Kebutuhan Maslow dalam Manajemen Mutu
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Pernahkah Anda melihat Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dalam dokumen kurikulum yang terasa generik, hampir mirip antar program studi, dan sulit diukur? Kalimat-kalimat seperti “menguasai pengetahuan di bidangnya” atau “mampu berpikir kritis dan bertanggung jawab” sering muncul, tetapi apa artinya dalam konteks nyata—dan bagaimana memastikan itu benar-benar tercapai?
SKL seharusnya bukan sekadar formalitas atau pelengkap administrasi. Ia adalah “roda penggerak” utama dalam pendidikan tinggi.
Jika SKL disusun asal tempel dari dokumen kampus lain, maka risiko besarnya adalah menghasilkan lulusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan zaman, tidak menjawab visi institusi, dan akhirnya kehilangan daya saing. Karena itu, menyusun SKL harus melalui proses yang serius, berbasis data, reflektif terhadap jati diri kampus, dan kontekstual terhadap kebutuhan dunia kerja dan masyarakat.
Baca juga: Integrasi Nilai-Nilai Mutu: Cara Cerdas Menghidupkan SPMI di Kampus
Bukankah semua kampus punya tujuan yang sama—mendidik dan mencetak lulusan? Sekilas iya. Tapi kalau kita lihat lebih dalam, ternyata setiap perguruan tinggi punya DNA yang berbeda. Ada kampus yang berfokus pada riset dan publikasi, ada yang menonjol dalam pengabdian masyarakat, ada pula yang mengusung semangat kewirausahaan, atau berbasis keislaman dan nilai-nilai lokal. Perbedaan ini bukan sekadar identitas, tapi fondasi penting dalam menentukan arah pendidikan dan kompetensi yang harus dibangun.
Karena itulah, menyusun Standar Kompetensi Lulusan (SKL) tidak bisa dilakukan dengan pendekatan satu untuk semua.
SKL harus lahir dari “misi unik” (mission differentiation) institusi—bukan sekadar hasil copy-paste dari dokumen kampus sebelah.
Jika kampus ingin melahirkan lulusan yang benar-benar relevan dan bermakna, maka SKL harus dirancang selaras dengan siapa mereka, ke mana mereka ingin melangkah, dan apa kontribusi khas yang ingin mereka berikan kepada masyarakat dan dunia.
Baca juga: Transformasi Mutu Kampus Melalui Benchmarking Digital: Mungkinkah?
Salah satu kesalahan umum dalam menyusun SKL adalah terlalu normatif dan tidak operasional. Kalimatnya mungkin terdengar elegan, tapi tidak memberikan gambaran konkret tentang kemampuan apa yang harus dimiliki lulusan.
Padahal, SKL harus menjawab pertanyaan sederhana: Apa yang bisa dilakukan lulusan ketika ia keluar dari kampus ini?
Untuk menjawab itu, penyusun SKL harus mengacu pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), melakukan tracer study, berdiskusi dengan alumni, melibatkan asosiasi profesi, dan bahkan melakukan benchmarking ke standar internasional seperti AUN-QA, ABET, atau ACCSB. Dari sanalah akan muncul pemahaman mendalam: kompetensi apa yang benar-benar dibutuhkan. Dari sini pula SKL akan terasa relevan dan tajam, karena berbicara dalam bahasa kebutuhan nyata, bukan bahasa administratif.
Baca juga: SPMI Berkualitas? Mulai dari 10 Pilar TQM Edward Sallis!
Setelah SKL disusun, tugas belum selesai. Dokumen tersebut harus ditanamkan ke dalam seluruh proses pembelajaran, penilaian, dan evaluasi mutu. Di sinilah Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) memainkan peran vital.
SPMI bukan sekadar perangkat akreditasi, tapi sistem hidup yang dirancang untuk menjamin bahwa semua standar mutu—termasuk SKL—benar-benar diterapkan dan tercapai.
Melalui SPMI, kampus bisa membangun siklus mutu yang melibatkan seluruh pihak: dosen, pengelola prodi, mahasiswa, bahkan mitra industri. SKL yang telah ditetapkan akan dievaluasi secara periodik, dikaji apakah masih relevan dengan dinamika global, dan jika perlu, ditingkatkan. Tanpa SPMI, SKL hanya akan jadi dokumen pajangan. Tapi dengan SPMI yang berjalan aktif, SKL akan menjadi kompas utama pembentukan lulusan.
Baca juga: Antara Ideal dan Realitas: Apa Isi Kebijakan SPMI Kampusmu?
SPMI menjadi efektif jika dijalankan dalam kerangka kerja yang sistematis—dan di sinilah siklus PPEPP hadir. Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan adalah lima tahap penting yang memastikan SKL tidak stagnan, tetapi terus tumbuh dan disempurnakan. Ini adalah bentuk nyata dari filosofi kaizen—perbaikan berkelanjutan dalam dunia kampus.
Sebagai contoh, jika evaluasi menunjukkan bahwa lulusan kurang kompeten dalam keterampilan digital, maka prodi bisa merevisi SKL, menambah mata kuliah, atau merancang proyek berbasis teknologi.
Dengan PPEPP, SKL tidak hanya ditetapkan di awal, tetapi juga dijaga dan disesuaikan seiring waktu. Pendidikan pun menjadi dinamis, reflektif, dan benar-benar berorientasi masa depan.
Baca juga: Kebijakan SPMI: Blueprint Masa Depan Kampus yang Sering Diabaikan
Membuat SKL yang tajam dan relevan bukan pekerjaan instan. Ia bukan hasil copy-paste, melainkan hasil dari proses refleksi misi, identifikasi kebutuhan stakeholder, serta penyesuaian dengan regulasi dan standar global. Namun, bila disusun dengan benar, SKL akan menjadi poros utama pendidikan tinggi yang bermakna.
Dengan dukungan SPMI sebagai sistem mutu berbasis regulasi, dan PPEPP sebagai alat kaizen pendidikan, kampus punya fondasi kuat untuk membentuk lulusan yang tidak hanya lulus, tapi benar-benar kompeten.
Karena pada akhirnya, pendidikan tinggi bukan sekadar menghasilkan gelar, tapi membentuk manusia yang mampu menjawab tantangan zaman. Stay Relevant!
Baca juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Coba jujur deh, waktu dengar kata “SPMI”, yang terlintas di benak kita biasanya: laporan, form, rapat, dan segudang dokumen. Padahal, SPMI itu bukan cuma soal tumpukan kertas atau prosedur teknis. Di balik semua itu, ada filosofi penting yang bisa bikin kampus jadi lebih sehat, dinamis, dan berorientasi pada perbaikan berkelanjutan.
SPMI, sesuai dengan pedoman terbaru tahun 2024 dari Ditjen Diktiristek, adalah sistem yang dirancang supaya mutu kampus nggak jalan di tempat.
Tapi kuncinya bukan sekadar “menjalankan prosedur”, melainkan bagaimana kita bisa menginternalisasi nilai-nilai mutu itu ke dalam kebiasaan harian seluruh civitas akademika. Kalau cuma ngisi form tapi nggak ada perubahan nyata, ya percuma juga kan?
Baca juga: Transformasi Mutu Kampus Melalui Benchmarking Digital: Mungkinkah?
Banyak kampus sudah punya dokumen mutu lengkap—dari kebijakan sampai standar operasional. Tapi pertanyaannya, udah bener-bener hidup belum dokumen itu di lapangan? Nah, di sinilah pentingnya internalisasi nilai-nilai mutu. Artinya, semua orang di kampus—dosen, mahasiswa, staf—bener-bener memahami dan menjalankan prinsip-prinsip mutu dalam aktivitas sehari-hari.
Misalnya, standar pelayanan mahasiswa bukan cuma angka di kertas, tapi jadi komitmen bersama. Atau ketika dosen mengajar, mereka sadar bahwa peningkatan kualitas pembelajaran bukan buat akreditasi doang, tapi karena memang peduli sama hasil belajar mahasiswa. SPMI yang hidup ya yang kayak gitu—bukan yang cuma muncul waktu mau reakreditasi.
Baca juga: Antara Ideal dan Realitas: Apa Isi Kebijakan SPMI Kampusmu?
Nah, bicara soal sistem SPMI, pasti ketemu sama siklus PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan.
Mungkin kesannya ribet, tapi sebenarnya PPEPP itu logika kerja yang sederhana dan masuk akal banget.
Kita mulai dari menetapkan standar, jalankan, evaluasi hasilnya, kendalikan deviasinya, lalu perbaiki terus. Gampang kan?
Kalau kampus bisa menjadikan PPEPP sebagai budaya berpikir, maka setiap unit kerja bakal terbiasa berpikir sistematis. Nggak asal-asalan bikin program, dan setiap keputusan didasarkan pada data serta refleksi. Inilah cara cerdas menghidupkan SPMI—bukan lewat banyak aturan, tapi lewat proses berpikir yang konsisten.
Baca juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik
Salah satu kesalahan umum adalah menganggap mutu cuma soal target kuantitatif: angka IPK, jumlah publikasi, lama studi, dan sebagainya. Padahal, nilai mutu itu lebih dalam dari itu. Mutu bicara soal sikap: apakah kita terbuka pada masukan? Mau belajar dari kesalahan? Konsisten dalam pelayanan? Nah, sikap-sikap kayak gitu yang membentuk budaya mutu sejati.
Di sinilah pentingnya pendekatan humanis dalam SPMI. Kampus bukan pabrik, dan mahasiswa bukan produk.
Tapi kalau kita bisa menanamkan semangat perbaikan terus-menerus di semua lini, dari rektor sampai cleaning service, maka kita sudah berada di jalur yang benar untuk menghidupkan SPMI secara menyeluruh.
Baca juga: Membumikan Strategi Kampus: Semua Unit Paham dan Bergerak Sesuai Arah
Kalau kita cuma menjalankan SPMI karena tuntutan regulasi, hasilnya ya biasa-biasa aja. Tapi kalau kita melihatnya sebagai peluang untuk tumbuh dan memperkuat identitas kampus, hasilnya bisa luar biasa.
SPMI yang baik bukan yang paling tebal dokumennya, tapi yang paling terasa dampaknya dalam kehidupan kampus sehari-hari.
Jadi, yuk mulai sekarang kita ubah cara pandang kita. Integrasi nilai-nilai mutu ke dalam budaya kampus bukanlah kerja instan. Tapi dengan pendekatan yang cerdas dan kolaboratif, serta siklus PPEPP yang dijalankan dengan hati, SPMI akan jadi lebih dari sekadar sistem. Ia akan jadi denyut nadi kampus kita. Stay Relevant!
Baca juga: Mission Differentiation: Rahasia Kampus Kecil Bisa Unggul di Tengah Kompetisi Nasional
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Di era revolusi industri 4.0 dan transformasi digital, hampir semua sektor kehidupan bergerak ke arah digitalisasi, termasuk pendidikan tinggi. Salah satu proses penting dalam manajemen mutu kampus yang juga ikut terdampak adalah benchmarking. Jika sebelumnya benchmarking dilakukan secara manual, memerlukan waktu dan tenaga besar untuk mengolah data, kini muncul pertanyaan besar: mungkinkah benchmarking dilakukan secara digital, efisien, dan real-time?
Seiring dengan implementasi Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi (SPM Dikti), setiap perguruan tinggi di Indonesia diwajibkan menerapkan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Dalam konteks ini, benchmarking bukan hanya pelengkap, melainkan alat strategis untuk melihat posisi institusi dan memetakan langkah perbaikan.
Dengan hadirnya teknologi seperti Artificial Intelligence (AI), big data, dan dashboard mutu, benchmarking bisa dioptimalkan menjadi lebih transparan, akurat, dan cepat.
Baca juga: Kebijakan SPMI: Blueprint Masa Depan Kampus yang Sering Diabaikan
Kini, data bukan lagi sekadar catatan, melainkan aset strategis. Perguruan tinggi yang mampu memanfaatkan big data memiliki peluang lebih besar untuk melakukan benchmarking secara cerdas. Sumber data seperti Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti) menyimpan kekayaan informasi tentang jumlah dosen, capaian mahasiswa, akreditasi program studi, dan lainnya yang sangat relevan untuk analisis mutu.
Dengan teknologi dashboard mutu, kampus dapat mengintegrasikan berbagai indikator kinerja dalam satu tampilan yang mudah dipahami. Tidak hanya memudahkan monitoring internal, tetapi juga memfasilitasi pembandingan antar program studi atau bahkan antar perguruan tinggi secara nasional. Teknologi ini memungkinkan pengambilan keputusan berbasis data (data-driven decision making), bukan lagi sekadar intuisi atau dugaan.
Baca juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik
Artificial Intelligence (AI) hadir membawa lompatan besar dalam transformasi mutu. Dalam konteks benchmarking, AI dapat digunakan untuk mengidentifikasi pola, tren, dan anomali dari data mutu yang tersedia. Misalnya, AI dapat mendeteksi bahwa keterlambatan kelulusan mahasiswa terjadi lebih sering pada program studi dengan rasio dosen yang rendah, dan secara otomatis memberikan rekomendasi intervensi.
Otomasi juga membantu menghilangkan proses-proses manual yang rentan terhadap kesalahan dan ketidakefisienan. Dengan sistem yang terotomatisasi, pengumpulan data, validasi, dan visualisasi dapat dilakukan secara berkala dan real-time. Ini mempercepat siklus evaluasi mutu dan memungkinkan kampus melakukan penyesuaian strategi secara dinamis, sejalan dengan prinsip continuous improvement.
Baca juga: Membumikan Strategi Kampus: Semua Unit Paham dan Bergerak Sesuai Arah
Transformasi digital tidak akan bermakna tanpa fondasi sistem mutu yang kuat. Di sinilah peran penting SPMI yang telah ditetapkan sebagai kewajiban oleh Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023. SPMI bukan hanya sekadar kewajiban administratif, tetapi sebuah ekosistem mutu yang dirancang untuk fleksibel dan adaptif, sesuai dengan misi dan karakteristik setiap perguruan tinggi.
Dalam praktiknya, siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan—merupakan mesin utama penggerak mutu di dalam SPMI. Ketika diintegrasikan dengan teknologi digital, siklus ini bisa dijalankan lebih presisi dan berkelanjutan. Dashboard mutu, laporan otomatis, serta analitik cerdas dari benchmarking digital dapat memperkuat setiap tahap PPEPP, menjadikannya alat kaizen yang relevan di abad ke-21.
Baca juga: Gamifikasi SPMI: Mungkinkah Diterapkan di Perguruan Tinggi?
Digitalisasi benchmarking bukan hanya mungkin, tetapi semakin mendesak untuk dilakukan. Di tengah tuntutan akuntabilitas dan daya saing global, perguruan tinggi tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan mutu yang konvensional. Teknologi hadir sebagai solusi yang menjadikan benchmarking lebih cepat, lebih cerdas, dan lebih bermakna.
Dengan SPMI sebagai kerangka kerja yang solid dan siklus PPEPP sebagai alat perbaikannya, kampus Indonesia dapat bergerak menuju mutu yang tidak hanya terjaga, tetapi terus tumbuh. Transformasi mutu melalui benchmarking digital bukan sekadar mimpi—ia adalah masa depan yang tengah terbentuk hari ini. Stay Relevant!
Baca juga: Mutu adalah Kepemimpinan, Bukan Sekadar Administrasi
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Di tengah arus perubahan dan tuntutan akuntabilitas publik yang semakin kuat, mutu pendidikan menjadi topik yang tidak lagi bisa dianggap pelengkap. Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) hadir sebagai jantung dari manajemen mutu di satuan pendidikan, mulai dari sekolah hingga perguruan tinggi. Namun, masih banyak institusi yang memandang SPMI sekadar sebagai dokumen formal atau kewajiban administratif. Padahal, di baliknya terdapat kekuatan untuk mengubah budaya kerja dan hasil pendidikan secara menyeluruh.
Edward Sallis, melalui bukunya Total Quality Management in Education, menawarkan 10 pilar penting yang dapat menjadi inspirasi dalam membangun budaya mutu sejati. Ketika prinsip-prinsip Sallis dipadukan dengan kerangka kerja SPMI yang berbasis siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan), maka lahirlah sinergi kuat antara nilai-nilai universal manajemen mutu dan kerangka regulatif nasional. Siklus PPEPP merupakan bentuk regulasi untuk manajemen mutu perguruan tinggi.
Artikel ini akan mengajak Anda menyelami 10 pilar Sallis yang bisa diintegrasikan ke dalam transformasi budaya mutu SPMI secara nyata.
Baca juga: Antara Ideal dan Realitas: Apa Isi Kebijakan SPMI Kampusmu?
Sallis menekankan pentingnya komitmen moral dan profesional sebagai alasan utama menjalankan manajemen mutu.
Dalam konteks SPMI, komitmen ini bukan hanya soal memenuhi akreditasi, tapi tentang keyakinan bahwa setiap siswa atau mahasiswa berhak mendapat pendidikan terbaik yang bisa diberikan institusi.
Komitmen ini perlu menjadi pondasi dalam siklus Penetapan (P) dalam PPEPP (regulasi untuk perguruan tinggi). Visi mutu yang dilandasi moral dan profesionalitas akan menciptakan standar yang tidak sekadar tinggi, tetapi juga relevan dan bermakna bagi peserta didik dan masyarakat.
Sallis memperkenalkan gagasan penting: pelanggan pendidikan adalah siswa / mahasiswa dan semua pihak yang berkepentingan. Konsep ini merevolusi cara pandang kita terhadap peserta didik—dari yang semula dianggap “hasil produksi” menjadi aktor utama dalam proses peningkatan mutu.
Dalam tahap Pelaksanaan (P) SPMI, institusi harus mendengarkan suara siswa / mahasiswa dan menjadikannya bahan dalam merancang kurikulum, layanan, hingga tata kelola.
Menempatkan siswa / mahasiswa sebagai pelanggan utama berarti memperhatikan kebutuhan mereka secara menyeluruh, bukan hanya mengejar nilai akademik.
Baca juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik
Tidak ada transformasi budaya tanpa kepemimpinan yang kuat. Menurut Sallis, pemimpin lembaga pendidikan harus menjadi role model dalam membangun semangat mutu.
Mereka tidak hanya memimpin dari belakang meja, tetapi juga hadir di lapangan, menyapa siswa / mahasiswa, dan mendengar aspirasi guru / dosen.
Dalam konteks Evaluasi (E) PPEPP, kepemimpinan memiliki peran penting dalam menganalisis capaian, monitoring serta mendampingi tim mutu, dan menjadikan data sebagai dasar pengambilan keputusan. Kepemimpinan dalam mutu bukan tentang kontrol, tapi tentang penggerak perubahan.
Sallis meyakini bahwa tim yang kuat adalah fondasi manajemen mutu yang berkelanjutan. Tim kerja lintas bidang, baik akademik maupun administratif, menjadi wadah inovasi dan pemecahan masalah bersama.
Tahapan Pengendalian (P) dalam PPEPP membutuhkan kerja tim yang solid. Mereka harus bisa mengidentifikasi akar masalah, merancang solusi, dan mengontrol pelaksanaan standar mutu secara terintegrasi. Di sinilah sinergi antar individu diuji—apakah institusi mampu bergerak sebagai satu tubuh? Melakukan integrasi dan sinergi yang solid.
Baca juga: 7 Fakta Menarik Tentang IKU yang Perlu Kamu Tahu Sebagai Mahasiswa
Pilar Sallis yang lain adalah pentingnya membangun budaya belajar—baik bagi siswa / mahasiswa maupun tenaga pendidik. Mutu bukanlah tujuan yang dicapai lalu selesai; ia adalah proses belajar terus-menerus yang melekat dalam keseharian.
Pada tahap Peningkatan (P) dalam PPEPP, semangat belajar ini menjadi roh dari seluruh proses. Evaluasi tidak berhenti pada angka, tapi menjadi bahan refleksi kolektif. Institusi yang belajar adalah institusi yang meningkat dan berkembang.
Sallis memperkenalkan berbagai alat sederhana namun efektif dalam menerapkan TQM: brainstorming, fishbone diagram, flowchart, hingga Pareto analysis. Alat-alat ini tidak hanya cocok dalam industri, tetapi sangat relevan dalam mengelola mutu pendidikan.
Dalam SPMI, alat-alat ini bisa digunakan untuk mengevaluasi indikator mutu, merancang rencana perbaikan, dan mendokumentasikan proses PPEPP secara lebih terstruktur dan partisipatif. Mutu bukan hanya ide, tapi praktik nyata yang bisa dilihat dan diukur.
Baca juga: SPMI dan Ironi Lulusan Menganggur: Mutu di Atas Kertas, Bukan di Lapangan?
Sallis menekankan pentingnya pengukuran mutu yang berorientasi pada value-added—seberapa besar institusi memberi dampak positif bagi siswa / mahasiswa dibanding saat mereka masuk. Ini mendorong kita tidak hanya terpaku pada hasil akhir (output), tetapi juga pada proses transformasi.
SPMI modern tidak cukup hanya dengan mengejar standar, tapi juga harus mengukur seberapa jauh kita telah memperbaiki kualitas pembelajaran dan layanan.
PPEPP menjadi alat refleksi untuk menjawab pertanyaan: “Apakah kita sudah memberi nilai tambah nyata?”
Belajar dari institusi lain bukan berarti rendah diri. Benchmarking adalah cara cerdas untuk mempercepat kemajuan mutu tanpa harus mengulang kesalahan yang sama.
Sallis menyarankan agar lembaga pendidikan aktif membandingkan diri dengan yang terbaik.
Dalam konteks PPEPP, benchmarking relevan dalam Penetapan dan Peningkatan. Kita bisa merumuskan standar yang lebih baik berdasarkan praktik unggul dari institusi lain. Pendidikan adalah ruang kolaborasi, bukan kompetisi kaku.
Salah satu kontribusi besar Sallis adalah menekankan pentingnya self-assessment. Institusi yang sehat adalah yang rutin bercermin—mengevaluasi diri tanpa takut terhadap kekurangan.
Dalam SPMI, penilaian diri adalah ujung tombak tahap Evaluasi dan Pengendalian. Bukan untuk mencari kesalahan, tapi untuk menemukan ruang perbaikan. Dari cermin inilah semangat perbaikan lahir.
Sallis menutup pilar-pilarnya dengan dorongan untuk menyusun strategi mutu jangka panjang.
Mutu yang berkelanjutan tidak bisa lahir dari pendekatan reaktif. Ia butuh visi, misi, dan rencana operasional yang solid.
SPMI mendorong setiap institusi menyusun Quality Policy (Kebijakan SPMI) dan Quality Plan (Penetapan Standar) yang selaras dengan siklus PPEPP. Dengan peta jalan ini, mutu bukan hanya prioritas sesaat, tetapi perjalanan jangka panjang menuju keunggulan.
Baca juga: Gamifikasi SPMI: Mungkinkah Diterapkan di Perguruan Tinggi?
Implementasi SPMI bukan sekadar menjawab permintaan regulasi, melainkan komitmen terhadap keberlangsungan dan keberdayaan institusi pendidikan. Integrasi 10 prinsip Edward Sallis menjadi pintu masuk membangun budaya mutu yang hidup, bukan sekadar tertulis.
Mari kita gerakkan PPEPP bukan sebagai kewajiban administratif, tetapi sebagai siklus belajar institusional yang menghidupkan semangat pelayanan terbaik untuk siswa / mahasiswa dan masyarakat. Karena di era sekarang, mutu bukan lagi pilihan—ia adalah keniscayaan. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Pernah nggak kamu ngerasa dokumen-dokumen kampus itu seperti lukisan mahal — indah, rapi, tapi sayangnya cuma dipajang? Nah, Kebijakan SPMI sering jadi salah satu “lukisan” itu. Bagus banget kalau dibaca… tapi kenyataannya jarang disentuh, apalagi dipahami.
Padahal dokumen ini bukan sekadar formalitas. Di balik lembar-lembar itu, tersimpan arah, semangat, dan strategi bagaimana mutu di kampus ini harus dikelola. Jadi, yuk kita ngobrol bareng, santai saja, tentang seperti apa isi ideal Kebijakan SPMI, dan bagaimana kita bisa jujur membandingkannya dengan praktik nyata di lapangan.
Sesuai pedoman nasional, isi Kebijakan SPMI seharusnya nggak main-main. Dokumen ini mencakup:
Kalau dokumen ini disusun dan dipahami dengan baik, dia bisa jadi peta perjalanan mutu kampus. Tapi… apakah di kampusmu begitu?
Baca juga: SPMI dan Dunia Kerja: Sudahkah Kampus Dengarkan Industri?
Banyak kampus punya Kebijakan SPMI yang sangat ideal di atas kertas — lengkap dengan prinsip-prinsip luhur dan tabel siklus PPEPP yang cantik. Tapi sayangnya, implementasi di lapangan kadang masih seperti nasi goreng tanpa nasi: kelihatan lengkap, tapi nggak terasa inti utamanya.
Misalnya, dokumen bilang “setiap standar harus dievaluasi secara berkala”, tapi di lapangan, evaluasinya baru dilakukan kalau ada jadwal akreditasi. Atau: “pengelolaan mutu dilakukan partisipatif”, tapi dosen dan mahasiswa belum tahu isi standar yang sedang dijalankan.
Siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) seringkali ditulis indah di dokumen. Tapi dalam praktiknya, hanya PP (Penetapan & Pelaksanaan) yang “agak” aktif, sisanya? Kadang lupa, kadang numpang lewat.
Padahal, menurut Edward Sallis dalam buku Total Quality Management in Education, kualitas itu harus dibangun lewat partisipasi semua pihak dan siklus perbaikan terus-menerus. Ia menyebut ini sebagai “continuous improvement embedded into culture”.
PPEPP bukan sekadar flowchart, tapi cara berpikir dan budaya kerja. Dan itu butuh waktu, komitmen, dan ketulusan semua pihak — bukan hanya LPM.
Baca juga: SPMI Tanpa Teknologi Digital? Bersiaplah Hadapi Kegagalan!
Kalau kita ingin mutu kampus benar-benar hidup, maka Kebijakan SPMI harus dibaca, dipahami, dan dijalankan oleh semua lini — bukan hanya segelintir orang. Kebijakan itu bukan hanya milik pimpinan atau LPM, tapi milik kita semua. Karena mutu adalah tanggung jawab kolektif.
W. Edwards Deming menyampaikan pesan yang sangat penting “Quality is everyone’s responsibility,”
Coba bayangkan: bagaimana kalau setiap dosen mengajar berdasarkan standar yang ia pahami? Bagaimana kalau setiap tenaga kependidikan melayani mahasiswa dengan semangat PPEPP? Dan bagaimana kalau mahasiswa ikut terlibat dalam monitoring mutu? Wah, kampus kita bukan cuma akan bagus di akreditasi, tapi juga relevan, adaptif, dan membanggakan setiap hari.
Baca juga: SPMI Gagal Total? Jangan Salahkan Sistem, Perbaiki Komunikasi!
Artikel ini bukan buat menggurui, tapi jadi ajakan ringan untuk kita introspeksi bareng. Idealnya seperti apa, realitasnya seperti apa — itu penting kita refleksikan. Karena mutu nggak bisa dipesan instan. Ia lahir dari proses panjang, kolaboratif, dan terus diperbaiki.
Jadi… sudahkah kamu baca Kebijakan SPMI kampusmu hari ini? Kalau belum, nggak apa-apa. Hari ini bisa jadi awal. Yuk, kita hidupkan semangat PPEPP bukan sebagai slogan, tapi sebagai gaya hidup kampus bermutu. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Pernah nggak sih kamu bayangin bangun gedung pencakar langit… tanpa cetak biru alias blueprint? Mustahil banget, kan? Nah, itu juga yang terjadi saat perguruan tinggi menjalankan kegiatan akademik, penelitian, dan pengabdian — tanpa pedoman kebijakan mutu yang jelas.
Kebijakan SPMI sebenarnya adalah blueprint strategis bagi kampus untuk memastikan semua aktivitasnya bermutu, relevan, dan berkelanjutan.
Sayangnya, banyak yang malah menganggap dokumen Kebijakan SPMI ini cuma formalitas — padahal justru di sanalah arah masa depan mutu perguruan tinggi ditentukan.
Baca juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik
Miris tapi nyata: banyak perguruan tinggi punya dokumen Kebijakan SPMI, tapi tidak tahu isinya. Dokumen ini ada di folder LPM, disahkan rektor, ditandatangani, tapi setelah itu… mengendap seperti tahu di kulkas.
Padahal isinya luar biasa penting. Mulai dari visi dan misi mutu kampus, prinsip dasar SPMI, strategi peningkatan mutu, hingga siapa berbuat apa dalam sistem mutu — semua ada di dalamnya.
Jadi kalau kamu masih bertanya-tanya “arah mutu kampus ini ke mana sih?”, jawabannya: ya di Kebijakan SPMI itu!
Baca juga: 7 Fakta Menarik Tentang IKU yang Perlu Kamu Tahu Sebagai Mahasiswa
Yuk kita intip, apa saja isi penting dalam dokumen Kebijakan SPMI menurut Pedoman SPMI PTA:
Kebijakan SPMI bukan hanya “aturan main” tapi juga “peta jalan” mutu institusi. Maka, makin banyak dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa yang paham, makin efektif implementasinya.
Kalau kamu suka filosofi Jepang semacam Kaizen, kamu pasti cinta PPEPP. SPMI itu bukan sistem stagnan. Ia bergerak, tumbuh, dan menyempurna lewat siklus: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan.
Edward Sallis dalam teorinya tentang Total Quality Management in Education juga menekankan hal yang sama: mutu bukan produk akhir, tapi budaya kolektif yang dibentuk dari proses berulang, reflektif, dan partisipatif.
Bayangkan kalau PPEPP jadi cara berpikir semua unit kampus — setiap kelas, laboratorium, hingga biro administrasi punya semangat memperbaiki terus. Bukan nunggu audit baru sibuk, tapi setiap hari semangat mutu hidup.
Baca juga: Statuta Sudah Usang? Inilah Cara Cerdas Memulai Transformasi Perguruan Tinggi dari Akar
Kampus yang hanya fokus pada akreditasi itu ibarat kereta yang berhenti hanya untuk dinilai di stasiun — tapi lupa bahwa perjalanan mutu itu harus terus berlanjut. Kebijakan SPMI mengingatkan kita bahwa mutu bukan target jangka pendek, tapi komitmen jangka panjang.
“Quality is a journey, not a destination” dipopulerkan secara luas oleh W. Edwards Deming
Dengan memahami isi Kebijakan SPMI, kita akan sadar bahwa mutu adalah bagian dari core values institusi, bukan sekadar proyek tahunan. Ia harus diintegrasikan ke kurikulum, proses belajar, budaya organisasi, bahkan cara melayani mahasiswa di loket!
Kalau kamu bagian dari civitas akademika — dosen, tendik, mahasiswa, atau bahkan pimpinan — kamu punya andil dalam sistem mutu kampus. Jangan cuma menumpang pasif di kereta SPMI, tapi ambil bagian (peran) agar kereta dapat terus melaju cepat.
Baca dan pahami Kebijakan SPMI bukan karena kewajiban, tapi karena kamu peduli pada masa depan kampus ini. Karena kampus bermutu “bukan jatuh dari langit”, tapi dari kesadaran kolektif dan aksi berkelanjutan. Ingat PPEPP, jalani Kaizen, dan jadikan mutu sebagai gaya hidup kampus kita. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Mission differentiation bukan sekadar jargon strategi, melainkan pondasi penting agar perguruan tinggi tidak terjebak dalam kompetisi seragam yang memaksa semua kampus berlomba menjadi “world class university” tanpa mempertimbangkan kekhasan dan potensi lokalnya. Dalam era VUCA dan BANI yang penuh ketidakpastian, justru kekhasan dan otentisitas inilah yang menjadi nilai jual utama kampus.
Kampus yang mampu mengenali siapa dirinya dan siapa yang ia layani, berpeluang lebih besar untuk tumbuh berkelanjutan.
Pedoman Implementasi SPMI 2024 menyatakan bahwa sistem penjaminan mutu tidak dapat diberlakukan secara seragam, tetapi harus dikembangkan sesuai misi perguruan tinggi. Oleh karena itu, rumusan misi yang jelas, berbeda, dan relevan menjadi titik awal dari semua proses peningkatan mutu.
Tidak hanya sebagai tagline, mission differentiation perlu dirancang melalui pendekatan sistemik—yang bisa dijalankan, diukur, dan dijaga melalui siklus PPEPP (penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian dan peningkatan standar).
Baca juga: Mission Differentiation: Rahasia Kampus Kecil Bisa Unggul di Tengah Kompetisi Nasional
Langkah pertama dalam merumuskan mission differentiation adalah menggali DNA institusi. Ini mencakup sejarah berdirinya, nilai-nilai yang dianut, potensi unggulan yang dimiliki, serta kebutuhan masyarakat sekitar. Jangan buru-buru meniru universitas ternama; justru keunggulan Anda bisa tersembunyi dalam kekhasan yang selama ini dianggap biasa.
Menurut pendekatan TQM (Total Quality Management) dari Edward Sallis, pendidikan berkualitas berasal dari pemahaman terhadap pelanggan—dalam hal ini mahasiswa, masyarakat, dan pengguna lulusan.
Maka misi yang baik, lahir dari refleksi jujur terhadap kekuatan internal dan kebutuhan eksternal yang nyata.
Baca juga: SPMI dan Ironi Lulusan Menganggur: Mutu di Atas Kertas, Bukan di Lapangan?
Konsep marketing modern menawarkan alat penting untuk mission differentiation: STP (Segmentation, Targeting, Positioning). Kampus harus memahami siapa segmen utamanya—apakah anak muda dari daerah industri, komunitas pesantren, wirausaha pemula, atau pekerja profesional yang ingin kuliah malam?
Setelah segmen ditentukan, langkah berikutnya adalah memilih target spesifik. Di sinilah kampus perlu realistis dan fokus: tidak semua orang harus dilayani.
Target yang jelas akan memandu strategi akademik, pemilihan dosen, hingga promosi kampus. Kampus kecil bisa besar di hati masyarakat jika tahu untuk siapa ia hadir.
Baca juga: Mutu adalah Kepemimpinan, Bukan Sekadar Administrasi
Misi bukan sekadar kalimat indah. Dalam konteks SPMI, misi harus bisa diturunkan menjadi indikator dan standar mutu. Oleh karena itu, rumusan misi sebaiknya singkat, tajam, dan menyentuh aspek diferensial kampus Anda.
Hindari istilah generik seperti “unggul” atau “berdaya saing global” jika tidak dibarengi arah spesifik.
Dalam PPEPP, misi menjadi bagian dari tahap Penetapan. Misi yang kuat akan memandu seluruh penetapan standar dan dokumen turunan lainnya, seperti RIP, Renstra, dan SPMI. Bahkan, menurut Pedoman Implementasi SPMI 2024, misi harus menjadi referensi utama dalam penyusunan dan evaluasi standar mutu pendidikan tinggi.
Baca juga: GKM di Kampus: Antara Idealitas Mutu dan Realitas Kinerja
Langkah 4: Integrasikan SPMI
Setelah misi ditetapkan, langkah berikutnya adalah menjadikan misi sebagai “roh” dari sistem mutu SPMI (Sistem Penjaminan Mutu Internal).
Di sinilah peran PPEPP sangat krusial. Semua standar dikembangkan dan dieksekusi dengan mempertimbangkan misi kampus. Evaluasi, pengendalian, dan peningkatan mutu pun harus menjawab satu pertanyaan kunci: “Apakah ini mendekatkan kita ke misi?”
Pedoman SPMI 2024 menekankan bahwa standar tidak boleh dilepaskan dari konteks institusi. Kampus vokasi tentu punya indikator mutu yang berbeda dengan kampus riset. Maka, diferensiasi misi bukan hanya branding, tapi juga memengaruhi sistem mutu dan arah pengembangan institusi.
Baca juga: SPMI dan Dunia Kerja: Sudahkah Kampus Dengarkan Industri?
Mission differentiation tidak akan berdampak bila hanya disimpan dalam dokumen. Ia harus dikomunikasikan secara konsisten ke publik—baik melalui situs web, media sosial, maupun dalam narasi akademik sehari-hari.
Inilah positioning sejati: bagaimana kampus ingin diingat dan diakui oleh masyarakat.
Dalam konteks manajemen PPEPP, komunikasi misi adalah bagian dari Pelaksanaan Standar. Masyarakat yang memahami keunikan kampus akan lebih mudah percaya, dan mitra akan lebih tertarik bekerja sama. Bahkan dalam akreditasi, kejelasan misi akan memperkuat kesan bahwa kampus punya arah yang otentik dan realistis.
Baca juga: SPMI Tanpa Teknologi Digital? Bersiaplah Hadapi Kegagalan!
Menjadi otentik tidak berarti menjadi eksklusif. Justru dengan membangun diferensiasi misi yang kuat, kampus akan lebih inklusif—mampu melayani segmen yang tepat dengan cara yang paling relevan.
Di era disrupsi, kekhasan bukan kelemahan. Justru itu kekuatan.
Dengan mengikuti 5 (lima) langkah ini dan menjadikannya bagian dari sistem PPEPP dan SPMI, kampus tidak hanya berbeda, tetapi luar biasa (extraordinary). Seperti yang dikatakan dalam prinsip Blue Ocean Strategy, “The only way to beat the competition is to stop trying to beat the competition.” Maka berhentilah meniru. Mulailah menjadi dirimu sendiri—secara strategis, terukur, dan bermutu. Stay Relevant!
Baca juga: Paradoks Mutu: Saat SPMI Tak Bicara Soal Dunia Kerja
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
SPMI (Sistem Penjaminan Mutu Internal) seringkali dianggap “barang LPM” — urusannya lembaga penjaminan mutu saja. Seolah-olah, selama LPM sibuk dengan akreditasi, kita yang lain tinggal jalanin seperti biasa. Tapi tunggu dulu… bukankah mutu pendidikan itu tanggung jawab semua orang di kampus?
“Quality is everyone’s responsibility,” kutipan terkenal dari Edwards Deming.
Kenyataannya, banyak civitas akademika belum pernah baca, apalagi memahami, isi Kebijakan SPMI. Padahal, dokumen ini bukan cuma pelengkap administrasi — ia adalah kompas strategis bagi seluruh aktivitas akademik dan non-akademik. Kalau kita semua satu visi, kampus bisa melesat lebih cepat!
Baca juga: 7 Fakta Menarik Tentang IKU yang Perlu Kamu Tahu Sebagai Mahasiswa
Ibarat nasi di warteg, Kebijakan SPMI itu ada di mana-mana — di folder, di website, bahkan di laci kantor. Tapi ya itu… kadang keberadaannya dianggap “sekedar ada, sekedar punya”.
Padahal, dokumen ini menjawab pertanyaan mendasar: “Bagaimana kampus ini memahami dan menjalankan mutu?”
SPMI bukan dokumen sakti untuk akreditasi semata. Ia mencerminkan jati diri kampus, mencakup prinsip, strategi, dan cara lembaga menyikapi mutu secara utuh. Kalau hanya LPM yang tahu isinya, bagaimana seluruh civitas bisa bergerak selaras?
Baca juga: Membumikan Strategi Kampus: Semua Unit Paham dan Bergerak Sesuai Arah
Menurut Edward Sallis dalam Total Quality Management in Education, semua orang di kampus punya peran sebagai “penyedia layanan” dalam rantai mutu. Artinya, dosen, tendik, bahkan mahasiswa sendiri — semua adalah aktor mutu.
Kalau hanya LPM yang membaca kebijakan, berarti kita cuma mengandalkan satu supir dalam bus besar. Tanpa keterlibatan aktif dari semua pihak, jangan heran kalau mutu hanya bagus di atas kertas, tapi rapuh di lapangan.
Baca juga: Revisi Dokumen Strategis Kampus: Mana yang Harus Diperbarui Lebih Dulu?
Pernah dengar PPEPP? Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, Peningkatan. Ini bukan sekadar siklus administratif, tapi filsafat mutu yang hidup.
Konsep ini selaras dengan semangat Kaizen dalam TQM — perubahan kecil tapi konsisten. Kalau semua unit kerja menjadikan PPEPP sebagai cara berpikir dan bekerja, maka mutu akan tumbuh dari bawah, bukan dipaksakan dari atas.
Bisakah kehidupan keseharian dalam kampus senantiasa membicarakan standar mutu melalui kerangka kerja PPEPP?
Baca juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik
Sering kali visi-misi lembaga dikemas mewah, tapi cuma dibaca saat visitasi akreditasi. Padahal, kebijakan SPMI harus menjembatani visi besar dengan tindakan nyata di lapangan.
Edward Sallis menekankan pentingnya “constancy of purpose” — konsistensi arah dan tujuan dalam membangun budaya mutu. Tanpa pemahaman dan keterlibatan semua pihak, kebijakan hanya jadi jargon — bukan panduan.
Baca juga: Mission Differentiation: Rahasia Kampus Kecil Bisa Unggul di Tengah Kompetisi Nasional
SPMI bukan proyek eksklusif LPM. Ia adalah gerakan kolektif yang menuntut komitmen dari seluruh civitas akademika. Saatnya kita semua baca dan pahami Kebijakan SPMI, bukan hanya sebagai dokumen, tapi sebagai titik temu visi, tanggung jawab, dan semangat peningkatan berkelanjutan.
Mari kita hidupkan PPEPP dalam aktivitas harian kita. Karena mutu sejati bukan hasil dari inspeksi, tapi buah dari partisipasi. Stay Relevant!
Baca juga: Statuta Sudah Usang? Inilah Cara Cerdas Memulai Transformasi Perguruan Tinggi dari Akar
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Sebagian besar mahasiswa mungkin pernah mendengar istilah “IKU” atau Indikator Kinerja Utama, tapi belum banyak yang benar-benar memahami apa itu IKU dan kenapa kampus kalian begitu gencar membicarakannya. Padahal, IKU bukan hanya urusan rektorat atau dosen—IKU menyangkut langsung kualitas pengalaman belajar kalian, kesiapan kerja setelah lulus, hingga peluang meraih beasiswa atau pekerjaan keren!
Dalam konteks pendidikan tinggi di Indonesia, IKU merupakan salah satu alat ukur performa perguruan tinggi yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). IKU diharapkan menjadi jembatan antara dunia kampus dan kebutuhan nyata di dunia kerja dan masyarakat.
Menariknya lagi, IKU ini juga sejalan dengan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi, atau yang dikenal dengan SPMI (Sistem Penjaminan Mutu Internal), melalui pendekatan siklus PPEPP.
Baca juga: SPMI Bukan Hanya Urusan LPM: Saatnya Kebijakan SPMI Dibaca Semua Civitas Akademika!
IKU terdiri dari 8 indikator yang mencakup aspek lulusan, dosen, pembelajaran, hingga kerja sama internasional.
Artinya, IKU tidak hanya fokus pada “angka kelulusan” tetapi pada kualitas dan dampak proses belajar.
Dalam konteks SPMI, IKU menjadi salah satu komponen penting dalam menetapkan dan mengevaluasi standar mutu internal perguruan tinggi. Melalui pendekatan PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, Peningkatan), IKU membantu kampus memastikan bahwa proses pendidikan berjalan berkelanjutan dan terarah.
Salah satu indikator paling menarik bagi mahasiswa adalah IKU 1, yang mengukur berapa persen lulusan mendapat pekerjaan layak, melanjutkan studi, atau jadi wirausaha dalam waktu 12 bulan setelah lulus.
Bagi kampus, data ini diperoleh dari tracer study dan menjadi acuan kualitas lulusan. Bagi kamu, ini sinyal penting: kampus yang peduli IKU cenderung memfasilitasi lulusannya lebih serius untuk siap kerja atau studi lanjut.
Baca juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik
IKU 2 memberi nilai pada mahasiswa yang punya pengalaman belajar di luar program studi, seperti magang, proyek riset, pertukaran pelajar, atau kegiatan MBKM.
Ini selaras banget dengan prinsip SPMI yang mendorong pembelajaran berbasis capaian, kolaboratif, dan kontekstual. Jadi, kampus yang serius menjalankan SPMI akan membuka ruang sebesar-besarnya bagi kamu untuk belajar langsung dari dunia nyata.
IKU 3 dan IKU 4 mendorong dosen untuk aktif di luar kampus—entah itu mengajar di industri, kampus luar negeri, atau membawa praktisi untuk mengajar di kelas.
Dalam kerangka PPEPP, ini bagian dari upaya peningkatan mutu SDM dan pembelajaran. Kampus yang menjalankan ini berarti kamu akan lebih sering ketemu dosen yang update, aplikatif, dan tahu situasi lapangan.
IKU 5 melihat seberapa besar hasil penelitian atau karya dosen bisa digunakan di masyarakat, industri, atau diakui secara internasional.
Hal ini juga menjadi salah satu indikator utama dalam SPMI untuk mengukur efektivitas dan kebermanfaatan Tridharma Perguruan Tinggi. Kampus yang bagus dalam IKU ini artinya kamu ada di lingkungan akademik yang inovatif dan solutif.
Baca juga: GKM di Kampus: Antara Idealitas Mutu dan Realitas Kinerja
IKU 6 dan IKU 8 menilai seberapa banyak program studi bekerja sama dengan mitra kelas dunia dan memiliki akreditasi internasional.
Fakta ini penting buat kamu yang ingin pengalaman bertaraf global. Di sisi lain, kampus yang serius dalam implementasi SPMI pasti akan mengintegrasikan kemitraan strategis sebagai standar yang ditingkatkan secara terus-menerus.
IKU bukan sekadar alat ukur formal, tapi gambaran nyata bagaimana kampusmu bekerja untuk menjadi lebih baik. IKU sangat erat hubungannya dengan SPMI, yang menjadi sistem penjaminan mutu di dalam kampus, melalui siklus PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan.
Sebagai mahasiswa, kamu nggak perlu menunggu jadi bagian dari birokrat kampus untuk peduli IKU. Karena pada akhirnya, IKU mencerminkan kualitas pengalaman belajarmu hari ini dan peluangmu di masa depan. Jadilah bagian dari budaya mutu kampus! Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi