Audit Mutu Internal (AMI) dalam perguruan tinggi merupakan salah satu elemen penting dalam memastikan dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi.
Ketentuan AMI diatur dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023 Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi pasal 68 ayat 2.
Dalam ayat tersebut berbunyi: Evaluasi pemenuhan standar pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan secara berkala melalui pemantauan, evaluasi diri, audit mutu internal, asesmen, dan/atau cara lain yang ditetapkan perguruan tinggi.
Melalui AMI, institusi pendidikan dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan (SWOT) yang ada dalam implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) serta memastikan bahwa proses akademik dan non-akademik berjalan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Dalam konteks ini, penguatan AMI berbasis SPMI yang mengikuti siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar (PPEPP) menjadi sangat penting dalam mendorong kontinuitas perbaikan dan pencapaian mutu yang berkelanjutan (kaizen).
SPMI merupakan kerangka kerja (framework) yang dirancang untuk memastikan bahwa setiap aktifitas dalam perguruan tinggi, baik di bidang akademik maupun non-akademik, memenuhi standar SPMI yang telah ditetapkan oleh institusi.
Siklus PPEPP berperan penting sebagai fondasi utama dalam operasionalisasi SPMI, di mana setiap tahap harus dilaksanakan secara sistematis, terpadu dan berkelanjutan.
Dalam siklus PPEPP, “Penetapan standar” mengacu pada definisi standar yang harus dicapai, “Pelaksanaan Standar” adalah penerapan standar tersebut dalam operasional sehari-hari, “Evaluasi Pemenuhan Standar” meninjau efektivitas pelaksanaan, “Pengendalian Pelaksanaan Standar” bertujuan memastikan bahwa tindakan korektif dan preventif diambil bila terjadi deviasi, dan “Peningkatan Standar” berfokus pada perbaikan berkelanjutan (kaizen).
Penguatan AMI berbasis PPEPP memberikan beberapa manfaat utama bagi perguruan tinggi.
Pertama, siklus ini memastikan bahwa seluruh proses akademik dan manajerial di kampus didasarkan pada standar mutu yang jelas dan konsisten.
Evaluasi berkala yang dilakukan dalam AMI memastikan bahwa implementasi dari setiap standar tersebut dipantau dan dievaluasi secara ketat.
Ketika terdapat kesenjangan atau ketidaksesuaian (KTS), proses pengendalian dapat diaktifkan untuk memperbaiki kesalahan, yang pada gilirannya mendorong peningkatan mutu secara berkelanjutan.
Untuk itu, AMI yang kuat dan terorganisasi dengan baik dapat membantu perguruan tinggi dalam menjaga akuntabilitas dan meningkatkan daya saing institusi, baik di tingkat nasional, regional maupun internasional.
Baca juga: Kritisi AMI, Dibalik Kegagalan Mutu Perguruan Tinggi
Di sisi lain, peran auditor dalam proses AMI juga sangat krusial. Peran ini harus terus dijaga, diperkuat dan ditingkatkan.
Seorang auditor tidak hanya bertugas untuk menilai kesesuaian antara pelaksanaan dan standar SPMI yang telah ditetapkan, namun juga auditor harus bertindak sebagai agen perubahan (change agent) yang mendorong perbaikan dan inovasi.
Di sinilah pentingnya memahami bahasa tubuh (body language) bagi auditor. Bahasa tubuh adalah salah satu bentuk komunikasi nonverbal yang sering kali lebih jujur, lebih bisa dipercaya dibandingkan kata-kata yang diucapkan.
Dalam konteks audit, seorang auditor yang mampu membaca signal-signal bahasa tubuh dapat menangkap isyarat tersembunyi yang mungkin tidak terucapkan secara verbal oleh auditee.
Contoh, tanda-tanda kegelisahan, ketidaknyamanan, atau keraguan dapat menjadi petunjuk penting bahwa ada hal-hal yang tidak disampaikan secara eksplisit oleh auditee.
Pemahaman tentang bahasa tubuh membantu auditor dalam “membangun hubungan” (human relations) yang lebih baik dengan auditee.
Dengan menyadari dan memahami respons nonverbal, auditor dapat menyesuaikan pendekatan komunikasinya untuk memastikan bahwa proses audit berjalan secara lancar tanpa menciptakan resistensi atau ketegangan.
Auditor yang “peka” terhadap signal bahasa tubuh juga dapat mengidentifikasi situasi di mana auditee mungkin merasa terancam atau cemas, sehingga mereka dapat menyesuaikan teknik building rapport, wawancara atau observasi agar lebih suportif dan efektif.
Kemampuan membaca signal bahasa tubuh juga memberikan keunggulan bagi auditor dalam mengevaluasi kejujuran dan keterbukaan auditee, yang menjadi salah satu aspek kunci dalam keberhasilan audit mutu internal.
Baca juga: Tips Komunikasi Auditor SPMI
Sejalan dengan hal ini, kutipan penting dari Peter Drucker, “The most important thing in communication is hearing what isn’t said,” menekankan pentingnya memperhatikan aspek-aspek komunikasi yang tidak diungkapkan secara eksplisit.
Dalam konteks audit mutu internal, seorang auditor harus memiliki kepekaan tinggi terhadap sinyal-sinyal yang tidak langsung diucapkan, namun mengandung makna yang dalam (makna tersirat).
Terkadang, informasi penting justru terletak pada apa yang “tidak diucapkan” oleh auditee, baik karena ketidaksadaran atau keengganan.
Auditor yang efektif adalah auditor yang mampu “mendengarkan” melalui observasi nonverbal, menangkap suasana hati (mood), dan memahami dinamika interpersonal yang terjadi selama proses audit.
Bahasa tubuh, walau sering diabaikan dalam konteks formal audit, sebenarnya memiliki dampak yang signifikan terhadap keberhasilan audit itu sendiri.
Kepekaan auditor terhadap signal yang tidak terucap memungkinkan mereka menggali lebih dalam, memperjelas ketidakpastian, dan memberikan rekomendasi perbaikan yang lebih relevan dan tepat sasaran.
Sebagai contoh, seorang auditor mungkin memperhatikan bahwa auditee menghindari kontak mata. Tatapan mata selalu kebawah ketika ditanya tentang pelaksanaan prosedur tertentu.
Signal ini menjadi petunjuk bahwa auditee merasa tidak yakin atau tidak nyaman dengan jawaban yang diberikan, hal ini mengindikasikan ada potensi masalah yang perlu digali lebih lanjut.
Contoh lain, misalnya auditee terlihat gelisah, dan sering menggerakkan tangan atau mengetuk-ngetuk kaki saat ditanya tentang kesesuaian implementasi standar mutu.
Bahasa tubuh seperti ini dapat menunjukkan ketegangan, yang bisa jadi terkait dengan area yang masih bermasalah atau belum diimplementasikan dengan baik.
Pada akhirnya, penguatan AMI berbasis SPMI (PPEPP) dan kemampuan auditor dalam memahami komunikasi nonverbal adalah 2 (dua) faktor penting yang saling melengkapi dalam upaya mewujudkan sistem penjaminan mutu yang efektif di perguruan tinggi.
Pemahaman mendalam tentang komunikasi, baik verbal maupun nonverbal, memperkaya proses audit dan membantu institusi dalam mencapai standar SPMI yang lebih tinggi secara berkelanjutan. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Perguruan tinggi saat ini menghadapi tantangan eksternal yang semakin kompleks seiring dengan dinamika perubahan global. Untuk menjaga kualitas, mereka mengandalkan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), yang terdiri dari siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar (PPEPP).
Siklus PPEPP ini berperan sebagai fondasi utama dalam menjaga mutu pendidikan dan memastikan adanya perbaikan yang berkelanjutan. Dengan pendekatan ini, perguruan tinggi diharapkan mampu mempertahankan kualitas yang tinggi meskipun lingkungan terus berubah.
Namun, perubahan global yang begitu cepat menuntut SPMI untuk terus diperkuat. Penguatan ini penting agar perguruan tinggi tetap relevan dan mampu beradaptasi dengan tuntutan zaman. Tanpa kemampuan adaptasi, perguruan tinggi berisiko tertinggal.
Saat ini, lingkungan global sering digambarkan dalam konsep “BANI” yang berarti rapuh (brittle), gelisah (anxious), non-linier, dan sulit dipahami (incomprehensible). Konsep ini mencerminkan ketidakpastian yang semakin besar di berbagai bidang.
Dalam konteks ini, kita diingatkan oleh kata-kata Charles Darwin bahwa keberlangsungan hidup tidak bergantung pada kekuatan atau kecerdasan, melainkan pada kemampuan untuk beradaptasi secara cepat dan efektif terhadap perubahan.
“It is not the strongest of the species that survives, not the most intelligent that survives. It is the one that is the most adaptable to change.” ~ Charles Darwin
PPEPP, sebagai kerangka dalam SPMI, dirancang untuk memastikan bahwa perguruan tinggi dapat menilai, mengevaluasi dan meningkatkan mutu secara terus-menerus.
Namun, tantangan berat di era BANI menuntut lebih dari sekadar penerapan mekanis siklus PPEPP.
Dalam lingkungan yang rapuh (brittle) dan tidak dapat diprediksi, setiap perguruan tinggi harus memiliki kemampuan untuk secara proaktif mengidentifikasi perubahan yang terjadi di sekitarnya dan dengan cepat menyesuaikan “Isi standar” SPMI dengan situasi yang baru.
Baca juga: Mengukir Identitas Perguruan Tinggi: Mission Differentiation
Perguruan tinggi tidak lagi bisa bergantung pada “standar yang stagnan” atau kebijakan dan prosedur yang tidak fleksibel.
Justru, keberhasilan siklus PPEPP kini sangat bergantung pada seberapa responsif perguruan tinggi dalam menghadapi perubahan dan ketidakpastian.
Pada tahap Penetapan Standar, perguruan tinggi harus mampu memahami realitas dunia yang terus berubah. Perguruan tinggi harus mampu melalukan analisis SWOT yang handal dan akurat.
Dunia pendidikan saat ini tidak hanya terpengaruh oleh perkembangan ilmu pengetahuan saja, tetapi juga oleh tantangan ekonomi, sosial, politik, dan teknologi yang bergerak sangat cepat.
Di era BANI, perubahan sering kali bersifat “non-linier”, di mana hubungan sebab-akibat tidak selamanya dapat diprediksi.
Perguruan tinggi harus meninjau kembali standar mutu secara lebih fleksibel dan adaptif, serta menetapkan kebijakan SPMI yang mampu merespons dinamika eksternal dengan cepat.
Dalam tahap Pelaksanaan, kemampuan adaptasi menjadi kunci yang sangat penting.
Perguruan tinggi harus mengembangkan program akademik yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat (Tri Dharma) yang tidak hanya memenuhi standar nasional, namun juga harus mampu merespons tuntutan global.
Era BANI memaksa perguruan tinggi untuk menciptakan lulusan yang benar-benar kompeten, tidak hanya memiliki pengetahuan teknis (hard skills), namun juga keterampilan adaptif, kreativitas, dan daya juang untuk menghadapi ketidakpastian (soft skills).
Pelaksanaan Standar yang berhasil adalah yang mampu mengintegrasikan teknologi dan inovasi untuk menghadirkan fleksibilitas dalam pembelajaran.
Pelaksanaan Standar harus mampu memfasilitasi keterhubungan antara stakeholder akademisi, industri, dan masyarakat.
Tahap Evaluasi Pemenuhan Standar (dalam PPEPP) juga harus mengalami transformasi. Di lingkungan yang rapuh dan sulit dipahami, metode evaluasi konvensional mungkin tidak lagi memadai.
Perguruan tinggi perlu mengembangkan sistem evaluasi yang lebih dinamis dan real-time, memungkinkan monitoring secara terus-menerus (real time) terhadap hasil pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Evaluasi Pemenuhan Standar (dalam PPEPP) harus berfokus pada bagaimana perguruan tinggi beradaptasi dengan perubahan yang cepat dan menilai apakah pendekatan baru yang diambil benar-benar meningkatkan daya saing institusi.
Contoh inovasi program Evaluasi Pemenuhan Standar (dalam PPEPP): Perguruan tinggi menerapkan dashboard real-time berbasis data untuk memantau kinerja mahasiswa, dosen, dan penelitian. Misalnya, data pembelajaran online dipantau terus-menerus untuk menilai efektivitas metode baru dan respons mahasiswa.
Pada tahap Pengendalian Pelaksanaan Standar, tantangan era BANI semakin memperjelas bahwa tidak ada satu pun solusi yang pasti atau berlaku untuk jangka panjang. Pengendalian mutu di perguruan tinggi harus bersifat proaktif, fleksibel dan disesuaikan dengan kondisi terkini.
Jika perguruan tinggi tetap terpaku pada proses pengendalian yang kaku, mereka berisiko tertinggal dalam menghadapi perubahan.
Pengendalian Pelaksanaan Standar di era BANI bukan hanya soal menjaga kesesuaian dengan standar yang ada, tetapi juga tentang bagaimana standar itu dapat diubah atau ditingkatkan untuk menyesuaikan dengan tantangan baru.
Contoh pengendalian fleksibel dalam Pengendalian Pelaksanaan Standar:
Misalnya, saat pembelajaran online (daring) meningkat, perguruan tinggi menambahkan indikator kinerja baru terkait kemampuan dosen dalam mengajar secara online.
Dengan cara ini, standar mutu SPMI dapat terus disesuaikan (adaptasi) untuk merespons perubahan kondisi dan tantangan yang muncul, memastikan institusi tetap relevan di tengah lingkungan era BANI.
Akhirnya, pada tahap Peningkatan Standar SPMI (dalam PPEPP), teori Darwin yang menekankan pentingnya kemampuan adaptasi sangat relevan.
Peningkatan mutu perguruan tinggi tidak boleh hanya berfokus pada peningkatan standar secara bertahap atau linear. Justru, peningkatan di era BANI harus bersifat “responsif, berani, dan radikal”.
Perguruan tinggi harus mampu melakukan inovasi-transformatif yang mendobrak “batas-batas tradisional”, mengadopsi pendekatan multidisiplin, dan memanfaatkan teknologi untuk merespons tuntutan global.
Contoh peningkatan radikal dalam Peningkatan Standar SPMI: Perguruan tinggi meluncurkan program studi baru multidisiplin yang menggabungkan kecerdasan buatan (AI), bisnis, dan etika, merespons kebutuhan global akan tenaga ahli yang mampu memahami teknologi sekaligus dampak sosialnya.
Selain itu, metode pembelajaran berbasis simulasi virtual, Augmented Reality (AR) dan proyek global diterapkan untuk membekali lulusan dengan keterampilan adaptif, menjawab tantangan era BANI dengan inovasi yang berani dan responsif.
Baca juga: Penguatan SPMI melalui Struktur “Agile”
Akhirnya, kutipan dari Charles Darwin, yang menyatakan bahwa keberlangsungan hidup (survival) tidak ditentukan oleh yang paling kuat atau paling cerdas, melainkan oleh yang paling mampu beradaptasi dengan perubahan, sangat relevan bagi perguruan tinggi di era BANI.
Kemampuan untuk merespons perubahan dengan cepat (transformatif) menjadi sangat penting, dan siklus PPEPP harus disesuaikan dengan pemahaman tentang SWOT dan kompleksitas lingkungan sekitar.
Perguruan tinggi yang dapat menerapkan SPMI dengan responsif (PTN dan Swasta) akan lebih siap menghadapi tantangan di dunia yang semakin tidak pasti (non-linier), sehingga mereka dapat terus relevan dan berperan dalam masyarakat global yang terus berkembang.
Dalam ekosistem pendidikan yang rapuh (brittle) dan berubah dengan cepat, perguruan tinggi yang mampu bertahan dan berkembang adalah mereka yang tidak hanya mengandalkan kekuatan tradisional, tetapi juga yang mampu dengan cepat (speed) dan efektif beradaptasi terhadap realitas baru. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Audit Mutu Internal (AMI) adalah alat penting untuk memperkuat Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi.
Melalui AMI, manajemen perguruan tinggi bisa mendapatkan informasi penting tentang sejauh mana standar SPMI diterapkan dan dipatuhi oleh setiap unit kerja.
Dalam SPMI, ada siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) yang bertujuan untuk memastikan terjadinya perbaikan berkelanjutan (kaizen).
AMI berfungsi memastikan bahwa semua proses dan kebijakan berjalan sesuai standar SPMI yang sudah ditetapkan.
Namun, pelaksanaannya tidak selalu mudah. AMI menghadapi berbagai tantangan, salah satunya adalah kesulitan “menuliskan” hasil audit kepada auditee.
Ketidakjelasan dalam penulisan PTKP (Permintaan Tindakan Korektif dan Preventif) seringkali menyebabkan kebingungan di kalangan auditee.
Akibatnya, proses perbaikan bisa terlambat atau bahkan temuan audit diabaikan dan tidak ditindaklanjuti.
Di sinilah relevansi artikel berjudul: “Mengapa Temuan Audit Sering Tak Ditindaklanjuti?” menjadi penting.
SPMI di perguruan tinggi melibatkan lima langkah utama, yaitu PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar).
Dalam proses ini, AMI berperan penting pada tahap evaluasi dan pengendalian.
Evaluasi bertujuan untuk menilai apakah program kerja dan hasilnya sudah berjalan sesuai standar SPMI yang ditetapkan.
Sementara itu, pengendalian dilakukan untuk memastikan bahwa jika ada ketidaksesuaian (KTS), langkah perbaikan bisa segera diambil.
Melalui AMI, perguruan tinggi bisa dengan tepat mengidentifikasi area yang perlu diperbaiki dan mengurangi risiko yang bisa menghambat pencapaian mutu.
AMI yang efektif tidak hanya menemukan masalah, tapi juga memberikan solusi yang jelas untuk meningkatkan kualitas.
Salah satu tantangan penting dalam AMI adalah bagaimana menyampaikan finding (temuan) secara jelas dan mudah dipahami, sehingga auditee merasa nyaman dan tidak kesulitan.
Penulisan finding yang tidak terstruktur, berpotensi menambah kebingungan, mempersulit mencari akar masalah, dan memperlambat proses perbaikan.
Oleh karena itu, salah satu pendekatan yang dapat diterapkan untuk mengatasi hal diatas adalah metode PLOR (Problem, Location, Objective, dan Reference). Metode PLOR membantu memberikan struktur, cara penulisan temuan yang baik dan benar.
Kaidah PLOR, terdiri dari : Problem (masalah yang ditemukan). Location (lokasi/departemen ditemukannya masalah), Objective (bukti temuan yang terjadi/terlihat), Reference (dokumen yang mendasari temuan, seperti standar, SOP/IK, persyaratan teknis, peraturan).
Struktur PLOR membantu menghindari multitafsir dan mempercepat proses rencana tindak lanjut, karena setiap temuan sudah terstruktur dengan baik dan didukung oleh bukti-bukti objektif yang relevan.
Struktur PLOR dalam AMI tidak hanya membantu meningkatkan pemahaman auditee terhadap “isi” temuan, namun juga berdampak langsung terhadap penguatan PPEPP (penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian dan peningkatan standar).
Baca juga: Auditor AMI: Dibenci atau Disayang?
Dengan penyampaian hasil audit yang jelas dan terstruktur, auditee (unik kerja) dapat dengan cepat menindaklanjuti KTS yang ditemukan. Dengan kata lain proses pengendalian dan peningkatan mutu (siklus PPEPP) dapat dilakukan lebih cepat, efektif dan efisien.
Audit Mutu Internal (AMI) merupakan bagian integral dari upaya penguatan SPMI (PPEPP) di lembaga perguruan tinggi.
Untuk memastikan AMI berjalan efektif, pendekatan PLOR (Problem, Location, Objective, dan Reference) dalam penulisan PTKP (permintaan tindakan korektif dan preventif) sangat diperlukan.
Dengan struktur penulisan yang jelas, teraudit (auditee) dapat lebih mudah memahami masalah yang dihadapi, memahami tempat (lokasi) terjadinya masalah, memahami bukti-bukti objektif, serta referensi regulasi yang menjadi acuan.
Demikian, semoga berkah dn bermanfaat. Stay Relevant!
Oleh Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, konsultan mutu pendidikan.
Instagram: @mutupendidikan
Audit Mutu Internal (AMI) di perguruan tinggi telah menjadi instrumen penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas pendidikan. Melalui AMI, institusi akan dapat mencari peluang-peluang untuk melakukan perbaikan secara berkelanjutan (kaizen).
Namun, dalam praktiknya, dibeberapa perguruan tinggi, diduga AMI seringkali masih terjebak pada budaya “koreksi” semata, yakni perbaikan hanya sebatas pada “simtom” atau gejala saja.
Akibatnya, siklus kesalahan akan berulang, masalah yang sama akan ditemukan lagi pada saat kegiatan AMI berikutnya.
Sehingga ada ungkapan: “Lu lagi…lu lagi, itu lagi…itu lagi”. Masalah yang berulang muncul saat AMI dilakukan.
Hal ini terjadi karena tindakan koreksi yang dilakukan, sering bersifat sementara dan tidak disertai perubahan substansi dalam sistem. Ibarat menyapu lantai yang kotor, lalu dimasukkan ke bawah karpet.
Ungkapan “menyapu lantai yang kotor, lalu dimasukkan ke bawah karpet” mengandung makna metaforis bahwa individu berusaha menutupi atau menyembunyikan masalah, tidak berusaha menyelesaikan secara tuntas.
Dalam konteks organisasi, hal ini bisa merujuk pada praktik di mana sebuah masalah diatasi hanya secara “kosmetik”, tanpa tindakan yang substansi untuk memperbaikinya.
Institusi ingin terlihat baik dari luar, namun mengabaikan masalah-masalah mendasar yang memerlukan perhatian serius.
Akibatnya, masalah tersebut berpotensi muncul kembali, berulang dan terus berulang, mungkin dalam skala yang semakin besar.
Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), terutama dalam kerangka PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar), menuntut pendekatan yang lebih menyeluruh (holistik).
SPMI yang ideal bukan hanya bertujuan untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi, namun mencegah terjadinya kesalahan serupa di masa yang akan datang.
Untuk itu, AMI perlu bertransformasi, tidak hanya berhenti pada tindakan koreksi, tetapi berkembang menjadi lebih korektif, sekaligus mengedepankan langkah-langkah proaktif melalui pendekatan preventif yang menyeluruh.
Masih kuatnya budaya koreksi, seringkali disebabkan oleh faktor internal perguruan tinggi.
Tekanan untuk memenuhi persyaratan akreditasi dan regulasi eksternal yang mendorong institusi fokus pada “perbaikan cepat” dan instan terhadap temuan-temuan audit.
Tim auditor dan unit yang diaudit cenderung “kompak” lebih mengutamakan penyelesaian langsung dibandingkan upaya untuk mencegah terulangnya masalah di masa depan.
“Habit” ini semakin mengakar ketika sistem penjaminan mutu internal hanya memprioritaskan hasil-hasil yang sifatnya jangka pendek.
Aristoteles, filsuf Yunani mengatakan: “Quality is not an act, it is a habit.”
Ungkapan “Quality is not an act, it is a habit” berarti mutu bukanlah sesuatu yang dilakukan sesekali atau secara spontan (act), melainkan merupakan hasil dari tindakan konsisten dan berulang (habit) yang dilakukan secara terus-menerus.
Mutu bukanlah hasil dari satu tindakan saja, namun terbentuk melalui kebiasaan yang baik, kerja keras, kerja cerdas dan disiplin yang dilakukan secara berkesinambungan.
Dengan kata lain, untuk mencapai mutu pendidikan, individu atau institusi harus menjadikan “best practice” (praktik terbaik) sebagai bagian integral dari keseharian mereka.
Perguruan tinggi lebih fokus pada pengisian laporan audit dan pemenuhan target administratif, daripada pengembangan sistem yang lebih adaptif dan mampu mengidentifikasi potensi risiko sejak dini.
Akibatnya, langkah-langkah preventif menjadi terabaikan, dan masalah-masalah yang sama kerap muncul di siklus audit berikutnya.
Koreksi: Menghilangkan gejala (simtom). Korektif: Menghilangkan akar masalah. Preventif: Mencegah munculnya masalah
SPMI yang ideal mengharuskan adanya keseimbangan antara tindakan koreksi, korektif, dan preventif. Ketiganya saling melengkapi dan memastikan bahwa sistem mutu di perguruan tinggi terus berkembang.
Namun, untuk mencapai keseimbangan ini, AMI harus berfokus pada aspek-aspek yang lebih mendasar (subtansial) dari sistem penjaminan mutu internal, terutama pada fase pengendalian dan peningkatan.
Pendekatan preventif dalam AMI tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki kesalahan yang telah terjadi, tetapi juga mengidentifikasi potensi risiko (manajemen resiko) yang mungkin muncul dan mengambil langkah-langkah untuk mencegahnya.
Ini membutuhkan perubahan pola pikir, pola sikap dan cara kerja yang lebih proaktif serta integrasi yang lebih baik antara proses PPEPP dalam SPMI.
Berikut adalah beberapa langkah penting dalam menggerakkan AMI dari tindakan koreksii, korektif ke preventif:
Sejalan dengan penguatan SPMI, perguruan tinggi memiliki peran penting dalam menggerakkan perubahan. Perubahan dari budaya hanya koreksi saja, menjadi budaya korektif dan preventif.
Institusi pendidikan tinggi harus melihat AMI sebagai alat (tools) strategis yang tidak hanya memperbaiki kesalahan tetapi juga mencari nilai tambah untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Ini berarti bahwa perguruan tinggi harus berani keluar dari “zona nyaman”, di mana audit hanya digunakan untuk kegiatan formalitas dan menutupi masalah jangka pendek.
Audit mutu internal harus mampu bertransformasi dan mampu memprioritaskan upaya pencegahan yang lebih menyeluruh (holistik).
Dengan mendorong budaya pencegahan (preventif), AMI menjadi lebih dari sekadar instrumen administratif. AMI menjadi bagian integral dari pengembangan sistem penjaminan mutu internal yang berkelanjutan dan mendukung pencapaian target standar pendidikan yang lebih luas.
Audit Mutu Internal (AMI) yang bertransformasi dari tindakan koreksi ke korektif, korektif ke preventif adalah kunci penguatan SPMI di perguruan tinggi.
Dengan membangun budaya yang lebih proaktif, AMI bukan hanya mengatasi masalah yang sudah terjadi saja, AMI dapat dikembangkan menjadi motor penggerak “kaizen”.
Perguruan tinggi harus keluar dari siklus koreksi semata dan mulai membangun sistem yang lebih responsif, adaptif, dan inovatif, demi menjaga mutu pendidikan yang terus berkembang.
Saatnya AMI bergerak maju, dari sekadar koreksi, menjadi korektif, selanjutnya menuju budaya pencegahan, untuk masa depan pendidikan tinggi yang lebih baik. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, tim konsultan mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Dalam rangka penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi, audit mutu internal (AMI) memiliki peran yang sangat krusial.
AMI bukan hanya sekadar alat (tools) untuk mengevaluasi kepatuhan terhadap standar SPMI yang telah ditetapkan, tetapi juga merupakan instrumen penting untuk mendorong peningkatan berkelanjutan (kaizen).
Namun, dalam praktiknya, terdapat hal menarik yang sering menjadi dipertanyakan: mengapa auditor AMI sering dibenci oleh sebagian pihak (auditee) di perguruan tinggi?
Bagaimana menyikapi hal ini?
Penguatan SPMI di perguruan tinggi menuntut adanya siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar). Dalam konsep TQM, siklus ini mirip dengan PDCA yang dipopulerkan oleh Edwards Deming.
Dalam siklus PPEPP, evaluasi dan pengendalian memegang peranan kunci. Di sinilah AMI menjadi titik krusialnya. Selain AMI ada juga aktivitas pelngkap lainnya seperti monev, penilaian (assessment) dan lain sebagainya.
Auditor AMI, sebagai pihak yang melakukan penilaian (assessment) terhadap berbagai kegiatan yang berlangsung di institusi, memiliki peran untuk memastikan bahwa mutu tetap terpenuhi, terjaga dan terlampaui.
Auditor juga harus memastikan, adanya peluang-peluang perbaikan yang diidentifikasi.
Tanpa AMI yang tertib, kuat dan objektif, implementasi SPMI akan kehilangan arah. Tidak ada mekanisme fungsi kontrol (pengendalian) yang memadai untuk memastikan standar SPMI tercapai dan ditingkatkan.
Baca juga: Kritisi AMI: di Balik Gegagalan Mutu Perguruan Tinggi
Sayangnya, di banyak institusi, auditor AMI lebih sering dipersepsi sebagai tim “pemburu kesalahan”, atau tim pencari kesalahan.
Sikap ini muncul, bisa jadi karena auditor “terlalu fokus” pada upaya menemukan kelemahan dan kekurangan dalam sistem yang sedang berjalan.
Ini tercermin dalam sikap auditor yang cenderung mencari-cari kesalahan dan kurang peduli pada aspek positif dari unit kerja yang diaudit.
AMI sering kali hanya dipersepsi sebagai kewajiban administratif, dan hasilnya lebih banyak berisi temuan negatif yang memicu resistensi dari pihak yang diaudit (auditee).
Auditor yang hanya menyoroti kesalahan unit kerja, tanpa peduli dengan prestasi dan karya best practice dari unit kerja, akan dianggap sebagai penghambat, bukan sebagai mitra yang membangun.
Pendekatan (mindset) auditor yang berorientasi pada kesalahan ini tidak jarang menimbulkan gesekan-gesekan dan ketidaknyamanan. Sering kali auditor ini menimbulkan ketakutan di kalangan staf, tim unit kerja dan dosen. Bila ini berlanjut, gak bahaya ta?
Namun, ada pula jenis auditor yang “disayang”, yaitu mereka yang melihat audit sebagai kesempatan untuk menggali peluang dan potensi positif.
Auditor jenis ini tidak fokus mencari kesalahan, melainkan fokus pada keberhasilan dan praktik baik yang dilakukan unit kerja.
Hal baik (best practice) yang dihasilkan unit kerja akan diapresiasi, diumumkan dan dirayakan.
Auditor jenis ini lebih berperan sebagai “mitra strategis” yang membantu perguruan tinggi menemukan area-area yang sudah berjalan baik dan mendorong untuk ditingkatkan lebih baik lagi.
Temuan positif (positive findings) yang diangkat oleh auditor ini membuat mereka dipandang sebagai agen perubahan (change agent) yang mendukung dan mendampingi perkembangan perguruan tinggi.
Auditor jenis ini tidak menimbulkan rasa takut, tidak menimbulkan rasa benci, namun justru sebaliknya dianggap mampu menciptakan suasana kolaboratif, auditee merasa dihormati dan dihargai hasil kerjanya.
Agar auditor AMI dapat berubah dari sosok individu yang dibenci menjadi disayang, bagaimana caranya?
Berikut ada beberapa perubahan mindset/ paradigma yang perlu dilakukan.
Pertama, auditor harus mampu menempatkan dirinya sebagai “agen perubahan” yang fokus pada temuan positif, dan upaya-upaya peningkatan, bukan sekadar mencari-cari kesalahan.
Auditor harus berlatih menjadi komunikator yang efektif. Smart dan trampil umpan balik yang konstruktif.
Auditor harus menjadi motivator, membangun semangat perbaikan di antara dosen, staf dan manajemen perguruan tinggi.
Kedua, auditor perlu terus belajar, memperkaya wawasan dan keterampilan (skills) mereka. Auditor perlu melakukan benchmarking melihat praktik-praktik baik di kampus-kampus lain.
Auditor yang ingin disayang, harus dapat memberikan masukan-masukan, rekomendasi yang lebih relevan dan berbasis pada pengalaman-pengalaman terbaik.
Untuk renungan bersama, auditor AMI sesungguhnya bisa menjadi sosok yang dibenci atau disayang, tergantung pada mindset yang mereka yakini.
Bila auditor hanya fokus pada mencari-cari kesalahan dan kelemahan, tentu mereka akan dibenci dan peluang untuk kolaboratif menjadi semakin kecil.
Auditor bisa juga menjadi disayang jika mampu merubah mindset mereka. Auditor yang fokus mengidentifikasi temuan-temuan positif dan berperan dalam mendorong peningkatan berkelanjutan (kaizen).
Dalam konteks penguatan SPMI, auditor AMI perlu menjalankan tanggung jawab mereka dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan berorientasi pada perbaikan mutu yang berkelanjutan.
Hanya dengan cara ini, auditor AMI akan dicintai, disayangi dan dihargai. Auditor akan menjadi mitra strategis untuk perguruan tinggi yang unggul. Stay Relevant and Stay Agile!
Oleh Bagus Suminar, Dosen UHW Perbanas Surabaya
Instagram: @mutupendidikan
Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas akademik, tata kelola, serta daya saing institusi pendidikan tinggi.
SPMI, dengan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar), memberikan panduan/pedoman bagi perguruan tinggi untuk secara sistematis meningkatkan mutu secara berkelanjutan.
Salah satu filosofi penting yang dapat memperkuat implementasi SPMI adalah penerapan peran “entrepreneurship” dalam manajemen, sebagaimana didefinisikan oleh Henry Mintzberg dalam 10 peran manajernya.
Peran entrepreneur ini memungkinkan manajer perguruan tinggi (rektor, direktur, ketua, dekan, kaprodi dll.) untuk mampu bertindak sebagai agen perubahan, mendorong inovasi, dan mengidentifikasi peluang yang dapat memperkuat sistem mutu internal.
Dalam konteks SPMI, peran entrepreneur dari Mintzberg memainkan peran penting pada Siklus PPEPP:
Mintzberg mengelompokkan 10 peran manajerial ke dalam tiga kategori utama: peran interpersonal, peran informasional, dan peran pengambilan keputusan.
Entrepreneurship masuk dalam kategori peran pengambilan keputusan dan memiliki hubungan erat dengan penguatan SPMI dalam beberapa hal sebagai berikut:
Kendala pimpinan perguruan tinggi yang kurang berani bersikap entrepreneurial sering kali terkait dengan beberapa faktor yang membatasi inisiatif mereka. Berikut penjelasan dari tiga kendala yang Anda sebutkan:
Baca juga: SPMI dan 10 Peran Manajer (Teori Henry Mintzberg)
Ketiga kendala ini menunjukkan pentingnya perubahan pola pikir pada level pimpinan perguruan tinggi agar lebih proaktif, berani, dan inovatif dalam mengelola lembaga pendidikan tinggi.
Entrepreneurship dalam peran manajer sangat penting dalam mendorong perguruan tinggi untuk tetap kompetitif dan relevan di era globalisasi.
Dengan penguatan SPMI yang dipimpin oleh pemikiran entrepreneurial, perguruan tinggi tidak hanya meningkatkan mutu internal mereka tetapi juga mampu beradaptasi dengan perubahan eksternal yang terjadi di sektor pendidikan tinggi. Stay Relevant and Stay Agile!
Instagram: @mutupendidikan
Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perguruan tinggi menjadi aspek fundamental dalam menjamin percapainya mutu pendidikan yang berkelanjutan (kaizen).
SPMI Pendidikan tinggi, terdiri dari 5 siklus PPEPP yang terdiri dari Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar.
PPEPP ini berfungsi sebagai kerangka kerja yang mendorong institusi perguruan tinggi untuk secara sistematis meningkatkan mutu, baik mutu akademik maupun mutu non-akademik.
Salah satu strategi penting dalam implementasi SPMI adalah penerapan “manajemen pengetahuan” atau knowledge management (KM).
Knowledge management menyediakan landasan penting bagi perguruan tinggi untuk mengelola dan memanfaatkan pengetahuan secara efektif. Knowledge management memastikan bahwa informasi dan praktik terbaik (best practice) dikumpulkan, disebarkan dan diterapkan di seluruh organisasi.
Dalam konteks perguruan tinggi, knowledge management mencakup beragam informasi penting, mulai dari best practice, manajemen pendidikan, strategi terbaru, teknologi terbaru, penelitian akademik, praktik pengajaran terbaik, hingga hasil evaluasi mutu, dll.
Implementasi knowledge management, memastikan bahwa pengetahuan penting yang diperoleh anggota organisasi, tidak hanya didokumentasikan namun juga mudah diakses dan digunakan oleh elemen organisasi untuk mendukung proses pengambilan keputusan.
Sebagaimana dijelaskan diatas, PPEPP terdiri dari 5 tahap siklus yaitu penetapan standar, pelaksanaan standar, evaluasi pelaksanaan standar, pengendalian pelaksanaan standar dan peningkatan standar.
Dalam proses Penetapan Standar SPMI, tim SPMI memerlukan akses yang luas terhadap berbagai sumber pengetahuan, baik dari dalam maupun luar institusi.
KM membantu integrasi pengetahuan dari berbagai sumber, seperti penelitian, praktik baik, serta umpan balik dari pemangku kepentingan, sehingga standar mutu yang ditetapkan benar-benar relevan dan dapat diaplikasikan.
Dengan menerapkan knowledge management (KM), perguruan tinggi dapat memanfaatkan data dan informasi yang ada untuk menyusun kebijakan, standar dan prosedur SPMI yang diperlukan.
Pada tahap Pelaksanaan Standar SPMI, knowledge management (KM) membantu memastikan semua staf dan fakultas memiliki pemahaman yang sama tentang standar dan prosedur mutu.
Knowledge management menyediakan platform untuk berbagi pengetahuan dengan mudah melalui sistem informasi, pelatihan, dan dokumentasi.
Platform knowledge management juga berfungsi mempercepat penyebaran informasi ke seluruh bagian di perguruan tinggi.
Selanjutnya, Evaluasi Pelaksanaan Standar, juga merupakan tahap penting dalam PPEPP.
Dengan memanfaatkan knowledge management (KM), perguruan tinggi dapat menyimpan dan menganalisis data dari berbagai sumber secara terstruktur. Knowledge management memungkinkan proses audit, monitoring dan penilaian dapat lebih efektif dan efisien.
Lebih lanjut, pengetahuan yang dihasilkan dari proses evaluasi pelaksanaan standar, dapat didistribusikan kepada pihak-pihak yang relevan untuk mendorong proses perbaikan lebih lanjut.
Knowledge management yang efektif, memungkinkan hasil evaluasi tidak hanya menjadi dokumen yang tersimpan, namun dapat berfungsi sebagai sumber pembelajaran dan perbaikan yang terus-menerus diperbarui (update) dan dimanfaatkan.
Selanjutnya, pada tahap Pengendalian dan Peningkatan standar SPMI, knowledge management menjadi sangat krusial dalam memfasilitasi proses perbaikan berkelanjutan (kaizen).
Sistem knowledge management memungkinkan informasi tentang kelemahan atau kekurangan (weaknesses) yang ditemukan dalam evaluasi diakses dengan mudah oleh semua pihak yang bertanggung jawab.
Pada akhirnya, knowledge management dapat mendukung pengendalian mutu yang lebih efektif karena memungkinkan pemantauan berkelanjutan (monitoring) terhadap implementasi standar dan memberikan umpan balik (feed back) langsung mengenai perubahan yang diperlukan.
Knowledge management juga mampu memfasilitasi peningkatan mutu dengan memberikan akses kepada segenap tim SPMI terdadap pengetahuan baru. Pengetahuan baru dapat digunakan untuk melakukan inovasi dan perbaikan dalam program akademik, dan administrasi perguruan tinggi.
Sistem insentif untuk program knowledge management, juga memainkan peran yang sangat penting bagi keberhasilan SPMI, tanpa adanya penghargaan atau insentif yang jelas, SDM cenderung kurang termotivasi untuk berbagi pengetahuan yang mereka miliki. Berikut beberapa faktor penyebab, seperti:
Inilah tantangan dan kendala yang harus dikelola agar knowledge management dapat berkembang biak.
Dengan memberikan insentif yang jelas, budaya kolaborasi, pengakuan formal, atau kesempatan pengembangan karier, perguruan tinggi insyaAllah akan dapat memotivasi SDM untuk lebih terbuka dan aktif dalam berbagi pengetahuan.
Sebagai penutup, knowledge management mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penguatan SPMI perguruan tinggi bila dikelola dengan baik dan benar. Semua tergantung dari komitmen dan strategi yang tepat dari pimpinan.
Dengan mengintegrasikan knowledge management dalam siklus PPEPP, institusi dapat memastikan pengetahuan yang relevan akan mudah diperoleh, mudah digunakan secara efektif, dan dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan yang berbasis data.
Terakhir, melalui implementasi knowledge management yang baik dan benar, perguruan tinggi dapat membangun budaya mutu (quality culture) yang berkelanjutan, memastikan perbaikan terus-menerus, dan meningkatkan daya saing dalam lingkungan global yang semakin kompetitif. Stay Relevant and Stay Agile!
Oleh : Bagus Suminar, Dosen UHW Perbanas Surabaya / Direktur Mutu Pendidikan
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi merupakan kerangka kerja yang esensial untuk memastikan dan meningkatkan tercapainya mutu pendidikan.
Dokumen Kebijakan SPMI, sebagai payung hukum keberadaan SPMI merupakan dokumen mutu level tertinggi (level 1). Isi dokumen Kebijakan SPMI dianjurkan mencakup berbagai topik penting untuk memastikan efektivitas dan pemahaman yang baik dari semua pihak yang terlibat (stakeholder).
Artikel singkat ini akan menguraikan topik-topik krusial yang dianjurkan ada dalam dokumen kebijakan SPMI di perguruan tinggi di Indonesia.
Dokumen Kebijakan SPMI yang baik harus mencakup berbagai elemen penting untuk mendukung implementasi yang efektif dan efisien. Berikut diuraikan topik penting yang “dianjurkan ada” dalam Kebijakan SPMI di perguruan tinggi di Indonesia.
Dokumen Kebijakan SPMI yang komprehensif adalah kunci untuk menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan di perguruan tinggi.
Dengan mencakup topik-topik penting yang telah disebutkan diatas, Kebijakan SPMI dapat memberikan panduan yang efektif bagi seluruh pihak yang terlibat, memastikan kepatuhan terhadap standar mutu pendidikan, dan mendukung peningkatan mutu secara berkelanjutan. Stay Relevant!
Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi merupakan langkah strategis yang sangat penting untuk memastikan bahwa mutu pendidikan senantiasa terjaga dan terus ditingkatkan (continuous improvement).
Ketentuan SPMI terbaru diatur dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023 Penjaminan Mutu PT, mulai pasal 67 sampai pasal 70.
SPMI berfungsi sebagai alat (tools management) untuk mengelola, mengukur, dan memperbaiki proses-proses yang terjadi di dalam lembaga pendidikan, dari penetapan standar hingga evaluasi dan peningkatan mutu.
Namun, dalam pelaksanaannya, salah satu tantangan (problems) terbesar adalah mengidentifikasi dan mengatasi “pemborosan” atau inefisiensi yang sering kali “tersembunyi” (tidak terlihat) dalam sistem dan proses-proses yang ada di perguruan tinggi.
Di sinilah relevansi ide dan pemikiran Shigeo Shingo, yang terkenal dengan kutipannya, “The most dangerous kind of waste is the waste we do not recognize,” menjadi sangat penting.
Dalam konteks perguruan tinggi, “pemborosan tersembunyi” dapat terjadi di berbagai level dan dalam berbagai bentuk.
Misalnya, dalam proses administrasi, terdapat banyak waktu yang terbuang untuk hal-hal yang tidak produktif, seperti birokrasi yang terlalu panjang, penggunaan sumber daya yang tidak optimal, atau kurangnya pemanfaatan teknologi untuk mempercepat proses.
Pemborosan seperti ini sering kali tidak terlihat karena sudah menjadi bagian dari “rutinitas” harian, sehingga dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
Namun, jika pemborosan tersebut dibiarkan, ia akan menjadi penghambat utama dalam upaya perguruan tinggi untuk mencapai keunggulan mutu.
Pemborosan tersembunyi juga bisa muncul dalam bentuk potensi yang tidak tergali dengan baik, baik dari tenaga pengajar maupun mahasiswa.
Misalnya, dosen-dosen yang memiliki kemampuan penelitian tinggi mungkin tidak dimanfaatkan secara optimal karena terjebak dalam tugas administratif yang sebenarnya bisa disederhanakan melalui digitalisasi atau pengalihan tugas.
Begitu pula dengan mahasiswa yang memiliki bakat atau minat khusus, yang tidak diberdayakan sepenuhnya karena kurangnya program pendukung atau lingkungan yang mendukung pengembangan potensi mereka.
Pemborosan ini sangat berbahaya karena tidak hanya merugikan institusi dalam jangka panjang, tetapi juga merusak tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu untuk mengembangkan manusia seutuhnya.
Berikut adalah contoh 10 pemborosan tersembunyi di perguruan tinggi:
Penguatan SPMI di perguruan tinggi harus dimulai dengan pengenalan dan pengakuan terhadap pemborosan ini.
Tahapan PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar) memberikan kerangka kerja yang ideal untuk memulai proses ini.
Pada tahap evaluasi, penting bagi perguruan tinggi untuk tidak hanya melihat hasil akhir, tetapi juga menggali lebih dalam untuk menemukan inefisiensi yang mungkin terjadi di setiap tahap proses.
Evaluasi ini tidak hanya mencakup pengukuran kinerja berdasarkan standar yang telah ditetapkan, tetapi juga harus mencakup identifikasi pemborosan, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi.
Untuk mengatasi pemborosan yang tidak disadari, diperlukan perubahan paradigma dalam cara perguruan tinggi melihat sistem dan prosesnya.
Pemborosan yang tidak diakui atau tidak diperhatikan sering kali terjadi karena kurangnya pemahaman akan hubungan antara proses dan hasil.
Shingo menekankan bahwa mengabaikan inefisiensi yang tersembunyi adalah ancaman serius, karena hal tersebut menimbulkan kebiasaan untuk menerima “status quo”, alih-alih berupaya melakukan perbaikan terus-menerus.
Oleh karena itu, penguatan SPMI bukan hanya soal menetapkan standar mutu yang tinggi, tetapi juga tentang menciptakan budaya mutu di mana seluruh civitas akademika—dosen, mahasiswa, dan tenaga administrasi—secara aktif terlibat dalam proses pengenalan, pengukuran, dan penghapusan pemborosan tersembunyi.
Salah satu cara untuk mengatasi pemborosan ini adalah dengan menggunakan pendekatan berbasis data.
Dalam dunia pendidikan, data sering kali tidak dimanfaatkan secara maksimal untuk menganalisis inefisiensi yang terjadi.
Dengan penerapan sistem informasi yang terintegrasi, perguruan tinggi dapat secara otomatis memantau dan menganalisis kinerja proses, mengidentifikasi area yang memerlukan peningkatan, dan dengan cepat mengambil tindakan perbaikan.
Digitalisasi proses administratif, misalnya, dapat mengurangi waktu yang terbuang dalam pengumpulan dan analisis data manual, sehingga staf dan dosen bisa fokus pada tugas utama mereka, yaitu pengajaran dan penelitian.
Lebih jauh, pendekatan Lean Management, yang sangat dipengaruhi oleh Shingo, juga relevan dalam konteks penguatan SPMI.
Prinsip Lean yang berfokus pada pengurangan pemborosan dan peningkatan efisiensi dapat diterapkan pada hampir semua proses dalam perguruan tinggi.
Misalnya, dalam pengelolaan kurikulum, pendekatan ini dapat digunakan untuk memangkas proses yang tidak menambah nilai bagi mahasiswa dan menggantinya dengan kegiatan yang lebih bermakna, seperti pengajaran berbasis proyek (project based learning) atau pembelajaran kolaboratif.
Dalam proses evaluasi mutu, Lean dapat membantu perguruan tinggi untuk lebih cepat menemukan masalah yang menghambat pencapaian standar mutu dan menyederhanakan prosedur evaluasi itu sendiri.
Pada akhirnya, penguatan SPMI di perguruan tinggi tidak hanya bergantung pada pengembangan standar yang ketat, tetapi juga pada kemampuan untuk terus menerus menggali, mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan yang tidak disadari.
Kutipan Shigeo Shingo mengingatkan kita bahwa inefisiensi yang paling berbahaya adalah yang tidak kita sadari, karena tanpa pengakuan, tidak ada langkah perbaikan yang bisa diambil.
Oleh karena itu, untuk mencapai peningkatan mutu yang berkelanjutan (kaizen), perguruan tinggi harus berani instropeksi, menggali lebih dalam, mengevaluasi diri secara kritis, dan harus tidak pernah puas atas capaian-capaian yang telah diperoleh. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar. Dosen UHW Perbanas Surabaya dan Direktur Mutu Pendidikan.
Instagram: @mutupendidikan
Dalam era globalisasi dan digitalisasi yang semakin pesat, perguruan tinggi di seluruh dunia menghadapi tantangan yang semakin pelik, mereka berjuang untuk tetap relevan dan kompetitif.
Salah satu strategi yang paling efektif untuk mencapai tujuan tersebut adalah melalui konsep mission differentiation, yakni pengembangan misi yang unik dan spesifik yang “membedakan” satu perguruan tinggi dari yang lain.
Diferensiasi misi ini tidak hanya membantu memperkuat identitas institusi, namun juga memungkinkan perguruan tinggi untuk lebih efektif memenuhi kebutuhan, need & want masyarakat dan industri.
Namun, untuk merancang dan mengimplementasikan misi yang berbeda dan kuat, perguruan tinggi harus mampu mengidentifikasi dan memanfaatkan peluang eksternal yang ada.
Disinilah peran penting pimpinan yang mempunyai skill strategi, intrapreneurship dan ketrampilan untuk mempersuasi segenap bawahan agar memiliki satu tujuan dan arah yang jelas.
Ada banyak cara untuk melakukan mission differentiation, berbagai peluang akan selalu muncul disetiap saat, misalnya dari sisi perubahan sosial budaya, demografi, ekonomi dan lain sebagainya.
Salah satu peluang terbesar yang menarik saat ini adalah “perubahan teknologi digital” yang cepat dan disruptif.
“Teknologi digital telah mengubah cara pendidikan tinggi diselenggarakan, memberikan peluang baru bagi perguruan tinggi untuk mendefinisikan ulang misi mereka dan menawarkan program studi yang relevan dengan kebutuhan pasar”.
Untuk memastikan keberhasilan mission differentiation, pendidikan tinggi harus memiliki sistem yang kuat / unggul untuk menjaga mutu dan konsistensi pelaksanaan misi mereka.
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) berbasis PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar) adalah alat (tools) yang sangat penting dalam mendukung pencapaian misi ini.
SPMI berbasis PPEPP memastikan bahwa semua proses yang terkait dengan diferensiasi misi dilaksanakan secara efektif, terstruktur dan terkontrol.
Melalui tahapan PPEPP, perguruan tinggi dapat menetapkan standar mutu Dikti untuk program-program berbasis teknologi digital. Perguruan tinggi harus melaksanakan proses yang sesuai dengan standar tersebut, serta secara berkala mengevaluasi dan mengendalikan hasil untuk memastikan bahwa misi tercapai dengan efektif dan efisien.
Tahap peningkatan dalam PPEPP memungkinkan perguruan tinggi untuk terus “beradaptasi” dengan perubahan teknologi dan kebutuhan pasar, sehingga misi yang telah ditetapkan tetap relevan dan kompetitif.
“Dont’t just be different. Be extraordinary”. Jangan sekadar berbeda, tapi jadilah luar biasa. Itulah esensi dari mission differentiation perguruan tinggi.
Mission differentiation adalah strategi yang penting bagi perguruan tinggi untuk menghadapi persaingan global dan memanfaatkan peluang-peluang eksternal. Dalam tulisan kali ini, pembahasan khusus untuk menangkap peluang terkait perubahan teknologi digital.
Dengan mengembangkan misi yang fokus pada pendidikan berbasis data, inovasi digital, pembelajaran jarak jauh, kompetensi industri 4.0, dan pendidikan multidisiplin, perguruan tinggi dapat membedakan diri mereka (diferensiasi) dan mencapai keunggulan kompetitif.
SPMI berbasis PPEPP memainkan peran krusial dalam mendukung dan mengoptimalkan keberhasilan mission differentiation ini, memastikan bahwa setiap perguruan tinggi mampu memenuhi misinya dengan mutu dan konsistensi yang tinggi. Stay Relevant!
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi