• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Author Archive admin

SPMI dan Analisis Peluang Eksternal

Inovasi atau Mati: Integrasi PPEPP dengan Strategic Quality Management

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Di sebuah kota kecil yang tumbuh berkembang pesat, Universitas Sangkuriang (fiktif) menghadapi tantangan besar di era yang sering disebut sebagai BANI (Brittle, Anxious, Non-Linear, dan Incomprehensible). Perguruan tinggi ini mendapati dirinya berada di persimpangan kritis. Bingung bagaimana harus berbuat. Sementara jumlah calon mahasiswa menurun terus, teknologi berkembang lebih cepat daripada kemampuan institusi untuk beradaptasi, dan ketidakpastian global semakin terasa.

Dengan berbekal visi yang kuat, ia memutuskan untuk mengintegrasikan PPEPP dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dengan konsep Strategic Quality Management dari Edward Sallis. Langkah ini menjadi batu loncatan yang mengembirakan, membawa Universitas Sangkuriang keluar dari keterpurukan menuju era baru yang lebih inovatif dan menjanjikan. Tetaplah di sini, nikmati secangkir kopi hangat, dan teruslah membaca hingga akhir cerita!

Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits

Mengapa PPEPP Relevan di Era BANI?

Di tengah dunia BANI yang rapuh (brittle) dan kerap sulit diprediksi, PPEPP menjadi penopang yang kokoh. Pendekatan ini tidak hanya membantu institusi pendidikan bertahan, tetapi juga berpeluang tumbuh dan berkembang dalam menghadapi tantangan zaman.

Proses Penetapan Standar (dalam PPEPP) memberikan ruang bagi universitas untuk menetapkan standar yang fleksibel namun tetap berorientasi pada pencapaian hasil yang optimis. Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) yang terencana dengan baik menciptakan program kerja yang terintegrasi, menjaga rasa stabilitas di tengah kegelisahan (anxiousness). Evaluasi Pemenuhan Standar dan Pengendalian Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) memungkinkan perguruan tinggi memahami pola-pola yang tidak linier dalam pendidikan, sementara Peningkatan Standar (dalam PPEPP) berkelanjutan menjadi kunci adaptasi dan transformasi di tengah perubahan yang sering kali tidak dapat dipahami (incomprehensible).

Sebagai contoh, Universitas Sangkuriang menetapkan standar kompetensi lulusan yang mencerminkan kompetensi dan skills abad ke-21, seperti kemampuan berpikir kritis, literasi digital, dan kolaborasi lintas budaya. Dengan optimisme yang terukur, mereka merancang kurikulum yang tidak hanya memenuhi kebutuhan industri saat ini namun juga memberikan ruang untuk inovasi dan kreativitas. Melalui penerapan standar PPEPP, standar ini tidak hanya menjaga visi ideal namun juga peta jalan yang membimbing Universitas Sangkuriang menuju hasil yang terukur, efektif dan efisien.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

Strategi Mengatasi Ketidakpastian

Dalam Bab 14, Sallis memperkenalkan metode “SWOT analysis” sebagai alat strategis yang sangat penting. Dengan memahami kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats), perguruan tinggi dapat merancang rencana strategis yang tidak hanya reaktif namun juga “proaktif” dalam menghadapi tantangan era BANI.

Konsep “Moments of Truth” dari Sallis juga sangat relevan. Dalam konteks pendidikan tinggi, momen-momen ini mencakup pengalaman penting mahasiswa, seperti interaksi dan komunikasi dengan dosen, proses pendaftaran yang mudah, dan layanan akademik yang responsif berbasis online. Momen-momen ini menentukan bagaimana mahasiswa dan stakeholder lain memandang kualitas dan profesional institusi.

Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI

Integrasi PPEPP dan Strategic Quality Management

Dalam tahap Penetapan Standar (dalam PPEPP), analisis SWOT membantu menciptakan standar ideal (optimis) yang sesuai dengan kebutuhan masa kini dan masa depan. Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) berfokus pada penciptaan “Moments of Truth” yang positif, misal melalui pengembangan kurikulum yang relevan, pelatihan dosen, dan penyediaan layanan yang unggul.

Evaluasi Pemenuhan Standar dan Pengendalian Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) memungkinkan perguruan tinggi untuk membaca pola perubahan yang tidak linier dan merancang solusi adaptif. Peningkatan Standar yang berkelanjutan (dalam PPEPP) menjadi jantung dari integrasi ini, memastikan bahwa setiap langkah yang diambil tidak hanya memperbaiki kondisi saat ini namun juga mempersiapkan keunggulan kompetitif untuk masa depan.

Integrasi Budaya Inovasi dengan PPEPP

Sallis juga menegaskan bahwa inovasi adalah hasil dari budaya yang mendukung dan kepemimpinan yang visioner. Dalam era BANI, budaya inovasi harus menekankan partisipasi, komunikasi yang transparan, dan komitmen terhadap pembelajaran berkelanjutan. Universitas Sangkuriang mengadopsi pendekatan ini dengan melibatkan seluruh stakeholder dalam semua tahap siklus PPEPP.

Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?

Penutup: Menemukan Cahaya

“Strategi tanpa taktik adalah jalan paling lambat menuju kemenangan. Taktik tanpa strategi adalah kebisingan sebelum kekalahan,” merupakan interpretasi dari karya Sun Tzu, seorang ahli strategi dalam ilmu peperangan.

Kasus Universitas Sangkuriang mengajarkan bahwa tantangan besar dapat diubah menjadi peluang besar melalui pendekatan yang strategis dan berkelanjutan. Dengan visi dan komitmen yang kuat terhadap mutu, perguruan tinggi dapat menjadi pelopor inovasi di tengah dunia yang rapuh, cemas dan tidak dapat diprediksi. Stay Relevant!

Baca juga: Merancang Mission Differentiation di Era BANI

Di era tak pasti, arah pun kabur,
Mutu jadi lentera, sinarnya tak luntur.
PPEPP dan strategi, menyatu dalam asa,
Mengubah tantangan, jadi cahaya.


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Kesederhanaan

Tools Canggih untuk SPMI: Tips Mengurai Benang Kusut

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Bayangkan sebuah perguruan tinggi fiktif bernama “Universitas Sangkuriang”. Dalam beberapa tahun terakhir, Kampus Sangkuriang menghadapi masalah besar: tingkat kelulusan yang stagnan, keterlibatan mahasiswa yang rendah, dan kritik dari stakeholder terkait relevansi kurikulumnya.

Di sinilah pentingnya “tools canggih” dalam SPMI. Dengan memanfaatkan pendekatan Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar ( 5 Siklus PPEPP) serta alat-alat praktis seperti yang dijelaskan oleh Edward Sallis dalam Total Quality Management in Education, institusi pendidikan seperti Kampus Sangkuriang dapat mengubah tantangan (threats) menjadi peluang (opportunities).

Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI

Mengupas PPEPP: Kerangka Dasar

Setiap langkah dalam siklus PPEPP sejatinya adalah pilar yang menopang keberlanjutan mutu. Tahap Penetapan Standar menjadi kompas yang mengarahkan visi perguruan tinggi, sementara Tahap Pelaksanaan Standar adalah roda yang menggerakkan upaya menuju tujuan. Tahap Evaluasi Pemenuhan Standar berfungsi sebagai cermin, memperlihatkan dengan jujur hasil dari perjalanan yang ditempuh. Tahap Pengendalian Pelaksanaan Standar memberikan kendali atas potensi penyimpangan, dan peningkatan menghadirkan esensi evolusi yang tak henti. Ketika kelima tahapan ini dikelola dengan presisi dan dedikasi, InsyaAllah institusi akan menemukan jalannya menuju kemajuan yang berkelanjutan.

Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits

Analisis Pareto

Menggali Teori Tools

Bab 10 dari buku Edward Sallis memberikan wawasan mendalam tentang berbagai alat yang dapat diterapkan dalam TQM di pendidikan. Berikut penjelasannya:

  • Flowcharts: Alat ini memetakan proses-proses dan membantu semua stakeholder memahami alur kerja. Misalnya, memetakan proses pengelolaan penelitian dari tahap proposal hingga publikasi dapat membantu mempercepat proses kegiatan dan membantu mengurangi hambatan birokrasi.
  • Fishbone (Ishikawa) Diagram: Digunakan untuk menemukan akar masalah dari sebuah problem. Dalam konteks Kampus Sangkuriang, alat ini dapat membantu memahami mengapa keterlibatan mahasiswa rendah—apakah karena kualitas dosen, metode pengajaran, fasilitas, atau faktor lain.
  • Brainstorming: Teknik ini mendorong kolaborasi antar departemen (antar unit kerja) untuk menghasilkan ide-ide inovatif. Dalam kasus Kampus Sangkuriang, brainstorming dapat digunakan untuk merancang kurikulum yang lebih relevan dengan kebutuhan pasar kerja.
  • Pareto Analysis: Berdasarkan prinsip 80/20, tools ini membantu perguruan tinggi fokus pada sedikit penyebab yang memiliki pengaruh / dampak terbesar. Misalnya, 80% keluhan mahasiswa mungkin berasal dari 20% penyebab utama, seperti kurangnya akses internet.
  • 5 Whys: Tools ini digunakan untuk menggali akar penyebab masalah dengan cara mengajukan pertanyaan “mengapa” hingga lima kali atau lebih sampai akar masalahnya dapat ditemukan. Sebagai ilustrasi, dalam kasus tingkat kelulusan yang rendah, bertanya “mengapa” secara berulang dapat mengungkap bahwa masalah ini bermula dari (contoh) kurangnya panduan akademik, yang mungkin disebabkan oleh kurangnya pelatihan bagi dosen pembimbing.

Sallis menekankan bahwa tools ini tidak hanya sekadar alat teknis, tetapi juga katalis untuk perubahan budaya mutu dalam organisasi. Alat-alat diatas mendorong pendekatan berbasis data dan kolaborasi yang memperkuat budaya mutu. Masih banyak alat-alat lain yang dapat digunakan fungsinya, misalnya: Histogram, Control Charts, Decision Matrix, SWOT Analysis, Force Field Analysis, Affinity Diagram, Scatter Diagram, Cause-and-Effect Matrix, Run Chart, Nominal Group Technique (NGT), Cost-Benefit Analysis, Kano Model dan lain sebagainya.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

PPEPP dan Tools untuk Transformasi

Kombinasi ini memungkinkan perguruan tinggi untuk tidak hanya memecahkan masalah (problem solving) namun juga mencegahnya (kegiatan preventif) di masa depan.

Lebih dari sekadar mekanisme, sinergi ini menciptakan ekosistem yang berorientasi pada mutu berkelanjutan. Dengan setiap tools yang digunakan secara strategis, perguruan tinggi dapat menanamkan pola pikir berbasis solusi di seluruh tingkat organisasi. Transformasi ini tidak hanya menyelesaikan persoalan spesifik, namun juga memperkuat komitmen semua stakeholder internal untuk bergerak menuju visi bersama, membangun institusi yang inovatif, adaptif, dan tangguh menghadapi perubahan.

Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI

Penutup

Dengan penerapan PPEPP yang diperkaya oleh tools canggih seperti yang disarankan oleh Edward Sallis, Kampus Sangkuriang dan institusi serupa—dapat melepaskan diri dari belenggu masalah mutu yang kompleks. Transformasi yang sejati mungkin membutuhkan waktu, namun pendekatan yang sistematis dan berbasis data menjadikan setiap langkah, sekecil apa pun, penting sebagai pijakan menuju perubahan besar.

Dengan memadukan alat yang tepat dengan kompetensi yang mendalam, perguruan tinggi dapat terus berinovasi dan bersinar cemerlang di tengah tantangan zaman. Stay Relevant!

Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Conecting the dots dan SPMI

Connecting The Dots: Transformasi SPMI melalui Kolaborasi Tim

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Seorang rektor perguruan tinggi terkemuka duduk di ruang rapat dengan ekspresi yang penuh perenungan. Beliau berpikir bagaimana cara menemukan solusi terbaik untuk penguatan sistem mutu yang ada. Hasil evaluasi program penjaminan mutu menunjukkan tren yang stagnan. Mahasiswa merasa kurang terlibat, dosen mengeluhkan beban administratif yang semakin berat, dan standar mutu hanya sekadar formalitas di atas kertas.

Pertanyaan sederhana ini rupanya menjadi pemicu transformasi besar yang mengubah wajah perguruan tinggi tersebut. Jangan kemana-mana, mari kita ikuti kisah selanjutnya, semangat!

Baca juga: Teori 2 Faktor: Memadukan SPMI dengan Motivasi Intrinsik

Pentingnya Kolaborasi dalam SPMI

Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi adalah kunci keberhasilan dalam meningkatkan mutu pendidikan tinggi. Melalui pendekatan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar), perguruan tinggi dapat memastikan bahwa seluruh aspek Tridharma—pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat—berjalan sesuai standar dan terus dikembangkan agar semakin baik.

Edward Sallis, dalam buku Total Quality Management in Education, menyebutkan bahwa kerja tim adalah blok bangunan kualitas yang fundamental. Melalui kerja tim, setiap individu membawa kontribusi unik yang, jika digabungkan, menciptakan sinergi luar biasa. Pendekatan ini tidak hanya membantu mengatasi masalah, namun juga berkontribusi membangun budaya mutu yang holistik.

Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI

SPMI dan Tim Kerja
SPMI dan Tim Kerja

Memahami Teori Kerja Tim

Ia juga menjelaskan bahwa pembentukan tim melewati beberapa tahap, mulai dari “forming” (pembentukan) hingga “performing” (pelaksanaan). Dalam konteks SPMI, tahap-tahap ini menjadi inspirasi untuk mengintegrasikan berbagai perpustakaan, program studi, unit kerja, seperti biro akademik, fakultas, dan unit penjaminan mutu, ke dalam satu visi besar.

Selain itu, konsep “Quality Circles” (gugus kendali mutu) dari Sallis sangat relevan untuk diaplikasikan dalam evaluasi, inovasi dan peningkatan mutu. Quality Circles adalah kelompok kecil yang secara rutin bertemu untuk mendiskusikan dan memecahkan problem mutu di tempat kerja. Konsep ini sangat cocok diterapkan pada tahap evaluasi dan pengendalian PPEPP, di mana masukan dari berbagai stakeholder menjadi sangat penting.

Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits

Kolaborasi dalam Tahap PPEPP

Pada Tahap Penetapan Standar (dalam PPEPP), kerja tim diperlukan untuk menyelaraskan visi, misi, dan nilai institusi ke dalam standar operasional yang jelas. Standar harus disusun SMART (spesific, measurable, attainable, relevant dan timed). Proses ini membutuhkan diskusi lintas unit untuk memastikan standar yang ditetapkan cukup optimis dan relevan dengan kebutuhan mahasiswa dan dunia kerja.

Tahap Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) memerlukan kepemimpinan (leadership) yang mampu menginspirasi dan memberdayakan tim. Dengan komunikasi dan motivasi yang efektif, tim dapat mengatasi berbagai kendala yang muncul selama implementasi.

Tahap Evaluasi Pemenuhan dan Pengendalian Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) memerlukan analisis data yang mendalam, yang hanya dapat dilakukan melalui kerja sama lintas unit. Forum diskusi dan brainstorming menjadi alat utama untuk menentukan langkah koreksi, korektif dan preventif yang tepat.

Akhirnya, Tahap Peningkatan Standar (dalam PPEPP) memerlukan semangat inovasi. Tim yang solid mampu menciptakan strategi baru, standar baru dan target baru seperti pembelajaran berbasis teknologi atau digitalisasi layanan, untuk meningkatkan pengalaman mahasiswa dan memenuhi kebutuhan dunia industri.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

Penutup

Kolaborasi tim bukan hanya alat teknis semata, namun juga, menjadi dasar dari budaya kualitas. Dengan membangun kerja tim yang solid, perguruan tinggi tidak hanya mencapai target standar SPMI, namun juga menciptakan lingkungan yang produktif, inspiratif dan inovatif. Pemimpin yang memahami dinamika tim mampu menciptakan atmosfer di mana setiap anggota merasa dihargai dan termotivasi untuk memberikan hasil yang terbaik.

Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan SOP Pendidikan

Menghidupkan SPMI dengan SOP Berbasis Prinsip

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Universitas Sangkuriang (fiktif), sebuah perguruan tinggi di Indonesia, menghadapi tantangan besar dalam penerapan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Sebagai institusi yang berkembang cukup pesat, Universitas Sangkuring merasa bahwa SOP (standard operating procedure) mereka, yang terlampau rinci, kaku dan juga belum terintegrasi dengan SPMI, justru memperlambat proses inovasi. Ketika menghadapi tuntutan akreditasi BAN-PT dan tekanan dari stakeholder untuk menghasilkan lulusan berkualitas, universitas ini memutuskan untuk mengadopsi pendekatan baru, yaitu: “SOP berbasis prinsip”. Langkah ini tidak hanya mengubah cara kerja organisasi, namun juga meningkatkan daya adaptasi transformasional institusi terhadap perubahan dinamika eksternal.

Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan

PPEPP vs PDCA

Menghidupkan SPMI dengan Prosedur Berbasis Prinsip

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan elemen penting bagi perguruan tinggi dalam memastikan mutu pendidikan yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti). Dengan kerangka siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar), SPMI bertujuan menumbuhkan proses yang konsisten, berkelanjutan, dan selaras dengan visi misi institusi. Tetapi faktanya, banyak perguruan tinggi yang terjebak dengan SOP tradisional yang terlalu rinci dan kaku sehingga membatasi inovasi dan fleksibilitas organisasi. Pendekatan berbasis prinsip, seperti yang sedang diterapkan Universitas Sangkuriang, menawarkan harapan baru. Dengan mengurangi rincian prosedur yang kaku dan menggantinya dengan panduan strategis, institusi dapat lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan regulasi dan kebutuhan stakeholder. Hal ini juga sangat membantu dalam hal dokumen yang fleksibel, tidak perlu sering di update ketika menghadapi perubahan kebijakan.

Pendekatan ini sesuai dengan semangat Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 yang memberi otonomi kepada perguruan tinggi untuk menyesuaikan implementasi SPMI dengan konteks dan karakteristik institusi. Sebagai contoh, Universitas Sangkuriang memodifikasi SOP mereka dengan menetapkan prinsip fleksibilitas dalam penilaian kinerja dosen. Sebelumnya, evaluasi didasarkan pada sistem rigid dengan indikator kuantitatif yang seragam. Setelah transformasi, prinsip “pembelajaran berpusat pada mahasiswa” menjadi dasar, memungkinkan dosen menyesuaikan metode pembelajaran mereka dengan kebutuhan mahasiswa. Hasilnya, kepuasan pembelajar meningkat, yang tercermin dalam survei internal yang menunjukkan kenaikan kepuasan mahasiswa.

Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!

Pilar-Pilar Pendekatan Prosedur Berbasis Prinsip

Kontekstualisasi menjadi pilar utama dalam pendekatan prosedur berbasis prinsip. Setiap SOP harus dirancang untuk mencerminkan dan mendukung visi serta misi institusi, sekaligus menjawab kebutuhan khusus para pemangku kepentingan. Universitas Sangkuriang, sebagai contoh, menempatkan kebutuhan mahasiswa sebagai prioritas utama. Dengan keberagaman (diversity) latar belakang mahasiswa yang dimilikinya, universitas ini mengadopsi pendekatan yang inklusif, memastikan setiap individu merasa diterima dan memiliki kesempatan yang setara untuk meraih keberhasilan akademik.

Fleksibilitas menjadi pilar berikutnya. Prosedur berbasis prinsip memberikan ruang bagi inovasi dan memungkinkan adaptasi terhadap dinamika perubahan eksternal. SOP di Universitas Sangkuriang telah dirancang ulang terintegrasi dengan teknologi pendidikan terkini, menjadikannya lebih relevan dengan kebutuhan zaman tanpa mengorbankan standar mutu. Dengan cara ini, perguruan tinggi tidak lagi dibebani kebutuhan untuk terus-menerus merevisi dokumen ketika konteks dan tantangan berubah, melainkan mampu menyesuaikan diri secara elegan dalam setiap situasi.

Berorientasi hasil (outcome based) melengkapi pilar-pilar tersebut dengan menempatkan capaian sebagai fokus utama. Alih-alih tenggelam dalam kerumitan proses administratif, prosedur ini memastikan bahwa dampak nyata menjadi tolok ukur keberhasilan. Contohnya, keberhasilan suatu kegiatan tidak lagi diukur hanya dari kelengkapan dokumen, melainkan dari bagaimana kegiatan tersebut meningkatkan kompetensi lulusan, menjadikan mereka lebih siap menghadapi dunia kerja dan berkontribusi nyata bagi masyarakat. Dengan pendekatan ini, prosedur (SOP) menjadi lebih bermakna dan relevan bagi tujuan institusi yang lebih besar.

Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI


Ilustrasi: SOP Berbasis Prinsip Layanan Perpustakaan

Misalnya, SOP tradisional (model lama) mengatur bahwa setiap mahasiswa wajib melakukan peminjaman buku secara langsung melalui loket layanan dengan mengisi formulir manual, disertai batas waktu peminjaman selama tujuh hari yang tidak dapat diperpanjang. Buku yang terlambat dikembalikan dikenakan denda sebesar Rp1.000 per hari. Selain itu, pengelolaan koleksi perpustakaan dilakukan dengan inventarisasi fisik setiap tiga bulan, dengan petugas diwajibkan mengikuti daftar ceklis tetap tanpa variasi.

Sebaliknya, SOP berbasis prinsip mengutamakan fleksibilitas dan inovasi. Dalam pendekatan ini, tujuan utama adalah memastikan layanan perpustakaan mudah diakses dan mendukung kebutuhan mahasiswa. Prosedur dipandu oleh prinsip inklusivitas dan adaptasi teknologi. Misalnya, mahasiswa dapat meminjam buku melalui sistem daring atau langsung di perpustakaan. Durasi peminjaman dapat disesuaikan berdasarkan jenis buku dan kebutuhan mahasiswa, dengan opsi perpanjangan yang fleksibel. Koleksi perpustakaan dikelola dengan pendekatan berbasis data, di mana petugas dapat menggunakan analitik digital untuk melacak penggunaan koleksi dan memprioritaskan penambahan buku yang relevan bagi mahasiswa.

Tabel Perbandingan SOP Tradisional vs. SOP Berbasis Prinsip
AspekSOP TradisionalSOP Berbasis Prinsip
FokusProsedur teknis rinci, seperti peminjaman manual dan denda tetap.Prinsip fleksibilitas, teknologi, dan inklusivitas dalam layanan.
Metode PeminjamanHarus dilakukan langsung di loket dengan formulir manual.Dapat dilakukan secara daring melalui sistem aplikasi atau langsung di perpustakaan.
Durasi PeminjamanTetap tujuh hari tanpa fleksibilitas.Disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa dan jenis koleksi, dengan opsi perpanjangan.
Pengelolaan KoleksiInventarisasi manual setiap tiga bulan.Menggunakan data analitik untuk memantau penggunaan dan memperbarui koleksi.
KelebihanKonsistensi dan kemudahan implementasi untuk situasi stabil.Responsif terhadap kebutuhan mahasiswa dan perubahan teknologi.
KekuranganKaku dan kurang fleksibel menghadapi kebutuhan dinamis.Membutuhkan kompetensi dan adaptasi staf untuk memahami dan menerapkan prinsip.

Ilustrasi SOP Berbasis Prinsip Layanan Cuti Dosen

Dalam pengelolaan cuti kerja di perguruan tinggi, SOP tradisional (model lama) yang detail biasanya menetapkan prosedur yang ketat dengan struktur yang kaku. Sebagai contoh, seorang dosen yang ingin mengambil cuti tahunan harus mengajukan permohonan cuti dengan mengisi formulir resmi yang dicetak, disertai dokumen pendukung seperti jadwal perkuliahan dan tanggung jawab akademik. Permohonan ini harus disampaikan minimal 14 hari kerja sebelum tanggal cuti yang diinginkan dan memerlukan tanda tangan berjenjang dari Ketua Program Studi, Dekan, hingga bagian kepegawaian. Setelah semua pihak menyetujui, dokumen tersebut diserahkan ke bagian SDM untuk pencatatan akhir. Proses ini memastikan tidak ada konflik jadwal atau tanggung jawab akademik yang terabaikan, amun sering kali memakan waktu dan kurang fleksibel, terutama jika kebutuhan cuti bersifat mendadak, seperti kondisi kesehatan atau masalah keluarga.

Sebaliknya, SOP berbasis prinsip mengedepankan fleksibilitas dan tanggung jawab profesional tanpa mengabaikan kelancaran tugas operasional perguruan tinggi. Dalam pendekatan ini, dosen dapat mengajukan cuti melalui sistem daring, dengan menyertakan informasi penting seperti tanggal cuti yang diinginkan, rencana pengalihan tugas, dan status perkuliahan. Prinsip tanggung jawab diterapkan dengan memberikan kebebasan kepada dosen untuk merancang solusi pengganti, misalnya, menjadwalkan ulang kelas atau menunjuk dosen lain sebagai pengganti selama periode cuti. Persetujuan dari atasan langsung, seperti Ketua Program Studi atau Dekan, dilakukan melalui platform digital (online) tanpa memerlukan dokumen fisik. Prosedur ini dirancang untuk mempermudah proses administrasi, menjaga kelancaran operasional, dan tetap mempertimbangkan kebutuhan individu dosen.

Tabel Perbandingan SOP Tradisional vs. SOP Berbasis Prinsip
AspekSOP TradisionalSOP Berbasis Prinsip
Metode PengajuanMengisi formulir manual dan dokumen fisik.Pengajuan daring melalui sistem digital.
Waktu ProsesMinimal 14 hari sebelum cuti.Fleksibel, memungkinkan pengajuan mendadak sesuai kebutuhan.
PersetujuanBerjenjang, membutuhkan tanda tangan fisik dari berbagai pihak.Persetujuan langsung melalui platform digital.
Pengalihan TugasHarus dirinci dalam dokumen formal.Dosen diberikan kebebasan mengatur jadwal pengganti.
KelebihanStruktur jelas dan ketat untuk memastikan kepatuhan.Fleksibel dan responsif terhadap situasi mendesak.
KekuranganKaku, memakan waktu lama.Membutuhkan inisiatif dan tanggung jawab dari karyawan.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

Penutup

Pendekatan prosedur berbasis prinsip yang diterapkan Universitas Sangkuriang menjadi cermin bahwa inovasi dalam manajemen mutu pendidikan adalah sebuah keniscayaan yang harus diupayakan. Dengan menyesuaikan SOP berdasarkan prinsip fleksibilitas, orientasi hasil, dan kontekstualisasi, perguruan tinggi akan mampu melampaui keterbatasan pendekatan SOP tradisional yang sering kali kaku dan tidak adaptif.

Prinsip-prinsip inovasi dan peningkatan mutu ini selaras dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mendorong umatnya untuk terus belajar dan memperbaiki keadaan. Sebagaimana sabda beliau: “Sesungguhnya Allah menyukai seseorang yang apabila melakukan suatu pekerjaan, ia melakukannya dengan itqan (profesional dan sempurna).” (HR. Thabrani). Hadist ini menggarisbawahi pentingnya kesungguhan dalam bekerja dan dedikasi untuk mencapai hasil terbaik. Dengan menjadikan nilai-nilai ini sebagai landasan, perguruan tinggi tidak hanya meningkatkan kualitas akademiknya tetapi juga memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat dan bangsa. Stay Relevant!

Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Kesadaran mutu pendidikan 2

Misi SPMI: Menjadikan Kualitas sebagai DNA Perguruan Tinggi

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Bayangkan sebuah universitas kecil di kepulauan terpencil yang bernama Universitas Sangkuriang (fiktif). Dua tahun yang lalu, institusi ini menghadapi ujian dan tantangan yang cukup besar. Banyak mahasiswa mengeluhkan mutu pembelajaran yang monoton, sementara angka kelulusan turun drastis dan banyak yang drop out. Mitra industri juga mulai mempertanyakan relevansi lulusan terhadap kebutuhan pasar tenaga kerja. Di tengah keterpurukan dan krisis kepercayaan ini, Dr. Fulan, rektor baru membawa visi untuk merombak sistem manajemen internal organisasi. Pak rektor memantapkan diri untuk mengintegrasikan manajemen perguruan tinggi dengan SPMI yang berbasis siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan (PPEPP).

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), semenjak ada peraturan baru yaitu Permendikbudristek 53 Tahun 2023 Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, mewajibkan semua perguruan tinggi untuk mengintegrasikan SPMI ke dalam manajemen perguruan tinggi. Hal ini diatur dalam pasal 69 ayat (1)b yang berbunyi: Perguruan tinggi dalam mengimplementasikan SPMI mempunyai tugas: mengintegrasikan implementasi SPMI pada manajemen perguruan tinggi.

Sejak satu tahun yang lalu, langkah awal yang visioner, Universitas Sangkuriang menetapkan misi unik yang menarik (mission differentiation). Pak Rektor menetapkan standar mutu baru yang mengintegrasikan kebutuhan lokal dengan aspirasi global. Dalam satu tahun, mereka mulai melihat hasil yang menggembirakan. Kurikulum dirancang ulang dengan melibatkan umpan balik dari mahasiswa dan mitra industri. Metode pengajaran di kelas menjadi lebih interaktif, dosen dan karyawan diberikan pelatihan intensif. Evaluasi rutin seperti audit dan monev, tidak hanya menyoroti area yang perlu diperbaiki namun juga merayakan dan mengapresiasi capaian-capaian kecil yang dihasilkan unit kerja, hal ini jelas mendorong semangat dan motivasi banyak pihak.

Prinsip-prinsip yang disampaikan Edward Sallis dalam Bab 2 bukunya Total Quality Management in Education memberikan fondasi yang relevan untuk memahami esensi kualitas. Manajemen kualitas sebagai konsep dinamis yang dapat diterapkan secara sistemik dalam organisasi pendidikan tinggi. Melalui pendekatan siklus PPEPP yang efektif, Universitas Sangkuriang tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang menjadi institusi yang relevan, berdaya saing, dan adaptif terhadap tuntutan masyarakat di era yang kompetitif ini.

Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!

Teori Motivasi Maslow

Siklus PPEPP: Pilar Utama Penguatan SPMI

Menurut konsep SPMI, siklus PPEPP melibatkan tahapan berkesinambungan (iterasi) mulai dari penetapan standar, pelaksanaan operasional berbasis standar, evaluasi pemenuhan standar, pengendalian pelaksanaan standar guna memastikan kepatuhan, hingga peningkatan standar untuk memastikan keberlanjutan kualitas. Siklus ini mencerminkan proses yang dinamis, di mana setiap tahap memberikan masukan berharga untuk perbaikan yang berkelanjutan.

Sallis menyoroti bahwa kualitas absolut berkaitan dengan pencapaian standar tertinggi tanpa kompromi. Sebagai contoh, universitas yang memiliki laboratorium berstandar internasional dengan peralatan tercanggih dan dosen yang telah menerima pengakuan global menunjukkan kualitas absolut. Di sisi lain, kualitas relatif berfokus pada kesesuaian tujuan (“fitness for purpose”). Sebagai contoh, perguruan tinggi di daerah terpencil yang mendesain program studi vokasi yang relevan dengan kebutuhan lokal, seperti pertanian atau pariwisata berbasis komunitas, mencerminkan kualitas relatif karena relevansi dan efisiensinya terhadap kebutuhan masyarakat sekitar.

Baca juga: Teori 2 Faktor: Memadukan SPMI dengan Motivasi Intrinsik

Mengintegrasikan Kualitas Absolut dan Relatif

Dalam konteks pendidikan tinggi, implementasi SPMI yang kuat memerlukan pemahaman mendalam tentang “konsep kualitas”.

Konsep Edward Sallis tentang kualitas sebagai kombinasi antara perspektif prosedural dan transformasional memberikan arah yang jelas untuk mengintegrasikan kedua pendekatan ini dalam SPMI. Pendekatan prosedural menekankan kepatuhan terhadap standar dan akuntabilitas, seperti dalam pengelolaan data akademik, penyusunan kurikulum, dan pelaksanaan akreditasi. Di sisi lain, pendekatan transformasional mendorong institusi untuk fokus pada inovasi berkelanjutan, pengembangan kapasitas tenaga pengajar, dan peningkatan pengalaman belajar mahasiswa.

Sebagai ilustrasi, Universitas Sangkuriang (fiktif) menerapkan program “Smart Village Initiative,” yang bertujuan untuk mendukung pembangunan pedesaan dengan inovasi teknologi berbasis lokal. Program MBKM ini memadukan kualitas absolut melalui pengenalan teknologi mutakhir seperti aplikasi pertanian pintar dengan kualitas relatif yang disesuaikan dengan kebutuhan petani lokal. Mahasiswa diberdayakan untuk terjun langsung ke lapangan, mempelajari masalah spesifik masyarakat pedesaan, dan mengembangkan solusi yang praktis serta relevan. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan pengalaman belajar mahasiswa namun juga memberikan dampak nyata kepada masyarakat sekitar, mencerminkan keseimbangan antara kualitas global dan kebutuhan lokal.

Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI

Peran Stakeholder dalam Menentukan Kualitas

Peran stakeholder dalam menentukan kualitas, sebagaimana digambarkan oleh Sallis, juga menjadi faktor penting dalam penguatan SPMI. Dalam hal ini, mahasiswa sebagai stakeholder utama pendidikan tinggi memegang peran sentral dalam mendefinisikan kualitas layanan akademik dan non-akademik. Proses PPEPP memungkinkan perguruan tinggi untuk secara aktif mengintegrasikan umpan balik mahasiswa ke dalam sistem manajemennya, baik melalui survei kepuasan, evaluasi hasil belajar, maupun keterlibatan mahasiswa dalam pengambilan keputusan akademik. Dengan demikian, kualitas tidak hanya diukur melalui standar formal namun juga melalui persepsi dan tingkat kepuasan para mahasiswa.

Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits

Budaya Organisasi: Kunci Keberhasilan SPMI

Lebih jauh, Sallis menekankan bahwa “mutu” tidak dapat dicapai melalui kontrol eksternal semata, tetapi memerlukan komitmen internal yang kuat dari seluruh anggota organisasi. Hal ini tercermin dalam prinsip PPEPP yang mensyaratkan “partisipasi kolektif” dalam setiap tahap siklus.

Membangun Sistem yang Responsif

Penting pula untuk dicatat bahwa SPMI yang berbasis PPEPP tidak hanya berorientasi pada kepatuhan terhadap regulasi, tetapi juga pada peningkatan berkelanjutan.

Dengan mengadopsi prinsip Total Quality Management (TQM), perguruan tinggi dapat mengembangkan mekanisme yang fleksibel untuk menghadapi tantangan seperti disrupsi teknologi, kebutuhan pasar tenaga kerja yang berubah-ubah, dan meningkatnya persaingan global dalam sektor pendidikan tinggi.

Sebagai contoh, Universitas Sangkuriang (fiktif) menghadapi tantangan ketika pandemi memaksa peralihan mendadak ke pembelajaran daring. Dengan mengandalkan prinsip “Pendidikan harus tetap inklusif dan berkualitas dalam semua situasi,” mereka berhasil merancang platform hybrid yang tidak hanya mendukung mahasiswa dengan akses internet terbatas, tetapi juga memperkenalkan modul pembelajaran adaptif berbasis data. Pendekatan ini memastikan bahwa setiap mahasiswa, terlepas dari latar belakangnya, tetap dapat menerima pendidikan yang bermakna. Universitas ini menunjukkan bahwa dengan prinsip yang kuat, institusi dapat merespons perubahan secara efektif tanpa kehilangan fokus pada esensi kualitas.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

Penutup

Sebagai penutup, prinsip-prinsip Total Quality Management yang dijelaskan oleh Edward Sallis dapat memberikan manfaat besar dalam penguatan SPMI melalui pendekatan PPEPP.

Ilustrasi kisah Universitas Sangkuriang memberikan contoh bagaimana prinsip-prinsip ini dapat diterapkan. Ketika Rektor Universitas Sangkuriang yang baru dilantik menyadari bahwa institusinya tertinggal dalam pengembangan pendidikan digital, ia mengambil langkah berani. Dengan visi yang jelas, ia memimpin transformasi besar dengan mengadopsi pendekatan PPEPP yang fokus pada penguatan mutu pendidikan daring. Melalui kolaborasi dengan dosen, mahasiswa, dan mitra industri, rektor berhasil membangun sistem pembelajaran yang tidak hanya memenuhi standar formal (minimal) namun juga berhasil melampaui standar sehingga dapat memuaskan kebutuhan mahasiswa dan masyarakat lokal.

Ungkapan bijak mengatakan, “Quality in a service or product is not what you put into it. It is what the customer gets out of it.” Kutipan ini menggarisbawahi pentingnya fokus pada dampak yang dirasakan oleh mahasiswa dan masyarakat sebagai penerima manfaat utama dari pendidikan tinggi. Dengan siklus PPEPP yang responsif, evaluasi berbasis data, dan kolaborasi yang erat dengan semua pemangku kepentingan, Universitas Sangkuriang menjadi contoh perguruan tinggi yang mampu menjadi agen perubahan yang relevan di tengah tantangan global. Komitmen terhadap kualitas ini tidak hanya memastikan keberlanjutan, tetapi juga menciptakan nilai yang bermakna bagi semua pihak yang dilayani. Stay Relevant!

Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan budaya kritis

Benchmarking: Membuka Jalan Menuju SPMI Unggul

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Alkisah, Politeknik X (fiktif), sebuah institusi pendidikan vokasi di sebuah kepulauan yang tenang, berdiri di bawah kepemimpinan Dr. Fulan, seorang direktur yang berwawasan luas dan bertekad kuat. Meskipun Politeknik X telah memiliki tenaga pengajar berkualitas dan fasilitas sarana prasarana yang memadai, prestasi institusi ini belum sepenuhnya mencerminkan potensinya. Perjalanan panjang Politeknik X masih diwarnai oleh tingkat kelulusan yang stagnan dan keterampilan (skills) lulusan yang belum sepenuhnya menjawab kebutuhan dunia kerja. Setiap tahun, Dr. Fulan menyaksikan dengan kagum bagaimana institusi lain berhasil melahirkan lulusan yang siap kerja, inovatif, dan unggul dalam daya saing global. Di tengah perenungan panjang di ruang kerjanya, Dr. Fulan menyadari bahwa perubahan besar harus dimulai, harus dimulai saat ini. Inspirasi itu datang ketika ia berkenalan dengan konsep benchmarking, sebuah strategi manajemen mutu yang penting untuk diimplementasikan.

Tuntutan tersebut tidak hanya berasal dari persaingan nasional, namun juga di ranah regional dan internasional. Peningkatan mutu tidak boleh hanya terpaku pada pencapaian akademik saja, namun juga pada ranah non akademik juga. Institusi harus memastikan lulusan yang mampu menjawab tantangan dunia kerja, memenuhi standar industri, dan menjadi pemimpin masa depan yang kompeten. Dalam konteks ini, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) hadir sebagai instrumen strategis, yang diimplementasikan melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar) untuk menjamin proses peningkatan mutu yang sesuai harapan stakeholder.

Benchmarking memberikan ruang bagi institusi untuk bercermin pada praktik terbaik, mengidentifikasi kesenjangan, dan mengadaptasi solusi inovatif yang relevan. Lebih dari sekadar meniru, benchmarking adalah proses belajar untuk tumbuh bersama, dengan visi menuju institusi pendidikan yang unggul, berkualitas, dan berdaya saing tinggi. Berbekal semangat dan motivasi baru, Dr. Fulan siap memimpin Politeknik X dalam mengoptimalkan strategi benchmarking untuk mewujudkan transformasi yang diharapkan.

Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan

Mengapa Perlu Benchmarking?

SPMI adalah sebuah sistem yang disusun secara sistematis untuk memastikan mutu pendidikan dapat terjaga dan meningkat secara terus menerus. Melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar), perguruan tinggi dapat menetapkan standar yang relevan, melaksanakan rencana aksi, mengevaluasi, mengendalikan penyimpangan, serta memperbaiki kualitas sesuai harapan pemangku kepentingan. Lebih dari sekadar prosedur administratif formalitas, siklus PPEPP merupakan langkah penting yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Siklus iterasi PPEPP ini memungkinkan terjadinya perbaikan yang berkelanjutan.

Namun, walaupun kerangka PPEPP telah terbangun dengan baik, tantangan implementasi tak dapat dielakkan. Keterbatasan sumber daya (resources), resistensi dari karyawan, serta ketiadaan tolok ukur yang memadai sering kali menghambat upaya peningkatan mutu.

Dr. Fulan memahami betul tantangan tersebut dan dengan tekad yang kuat, ia berkomitmen untuk mengoptimalkan benchmarking sebagai tools untuk mengejar ketertinggalan.

Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!

Benchmarking: Belajar dari yang Terbaik

Melalui benchmarking, perguruan tinggi dapat mengidentifikasi kesenjangan (gaps) kinerja apa saja yang muncul, memahami praktik terbaik, dan mengadaptasi langkah-langkah strategis yang diperlukan. Sallis menjelaskan bahwa benchmarking bukan sekadar proses meniru, melainkan sebuah upaya belajar dari pengalaman pihak lain yang lebih maju (unggul) dalam bidang tertentu.

Sebagai contoh, dalam benchmarking terkait tata kelola, sebuah perguruan tinggi dapat membandingkan sistem manajemen akademik dan keuangan dengan institusi yang diakui unggul dalam efisiensi tata kelola. Misal, Politeknik X belajar dari Universitas Y yang telah berhasil menerapkan sistem tata kelola berbasis teknologi informasi untuk mempermudah proses administrasi akademik dan transparansi anggaran. Hasilnya, Politeknik X dapat mengadaptasi teknologi yang sejenis untuk meningkatkan efisiensi dan layanan yang lebih baik kepada mahasiswa serta stakeholder lainnya.

Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI

Jenis-Jenis Benchmarking dalam SPMI

Dalam penerapan SPMI berbasis PPEPP, benchmarking hadir sebagai tools penting dalam mengevaluasi efektivitas kebijakan dan program perguruan tinggi. Jenis pertama adalah internal benchmarking, yaitu proses membandingkan kinerja antar fakultas atau program studi di dalam satu institusi. Misalnya, Fakultas Hukum membandingkan tingkat kelulusan mahasiswa dengan Fakultas Farmasi untuk mengevaluasi efektivitas metode pengajaran.

Pendekatan ini membantu perguruan tinggi memahami capaian antar fakultas atau prodi internal, mengidentifikasi kesenjangan (gaps) yang terjadi, dan mendorong terciptanya kompetisi sehat untuk mencapai standar SPMI terbaik.

Selanjutnya functional benchmarking, jenis ini fokus pada perbandingan fungsi-fungsi spesifik dengan institusi lain yang memiliki praktik lebih unggul. Misalnya, pengelolaan kurikulum, sistem penilaian pembelajaran, atau layanan administrasi yang lebih memuaskan. Dengan metode ini, perguruan tinggi dapat belajar dari keberhasilan institusi lain dan melakukan adaptasi metode tersebut sesuai dengan kebutuhan internal.

Terakhir generic benchmarking, jenis ini memungkinkan perguruan tinggi untuk belajar dari organisasi di luar dunia pendidikan, misal ke pabrik, hotel atau kantor-kantor swasta lainnya. Praktik manajemen mutu yang diterapkan di sektor non-pendidikan, seperti marketing, efisiensi sumber daya atau inovasi layanan, sering kali relevan dan dapat diadaptasi sesuai konteks institusi pendidikan. Melalui ketiga jenis ini, institusi memiliki keleluasaan dalam menentukan tolok ukur yang paling strategis guna mendorong peningkatan mutu secara berkelanjutan (continuous improvement).

Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits

Implementasi Benchmarking dalam Siklus PPEPP

Pada tahap Penetapan Standar (dalam PPEPP), benchmarking menjadi tools penting bagi perguruan tinggi untuk menetapkan standar SPMI yang lebih tinggi. Dengan melakukan perbandingan terhadap institusi terbaik, perguruan tinggi dapat merumuskan target kinerja yang tidak hanya realistis, tetapi juga optimis dan ambisius. Data dari benchmarking memberi perspektif baru mengenai target dan potensi yang dapat dicapai, mendorong perguruan tinggi untuk siap berkompetisi dalam menetapkan standar mutu yang lebih unggul.

Memasuki tahap Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP), praktik terbaik yang diperoleh dari hasil benchmarking dapat diadopsi dan disesuaikan dengan konteks lokal perguruan tinggi. Perguruan tinggi dapat belajar dari bagaimana institusi lain melaksanakan standar SPMI mereka secara efektif dan efisien. Adaptasi ini memungkinkan perguruan tinggi untuk merumuskan strategi pelaksanaan yang lebih terukur dan selaras dengan karakteristik internal mereka, sehingga implementasi berjalan optimal dan menghasilkan dampak yang bermanfaat.

Pada tahap Evaluasi Pemenuhan Standar (dalam PPEPP), benchmarking menyediakan data yang diperlukan untuk mengukur kesenjangan antara kinerja aktual dengan target yang telah ditetapkan. Misalnya, jika tingkat kelulusan di suatu perguruan tinggi hanya mencapai 80%, sementara institusi pembanding mencapai 90%, maka benchmarking membantu mengidentifikasi faktor-faktor yang perlu diperbaiki. Analisis kesenjangan (gaps) ini menjadi pijakan (baseline) untuk merancang strategi perbaikan yang lebih tepat sasaran, memastikan kelemahan diatasi dengan pendekatan yang sistematis dan berbasis data. Kegiatan benchmarking di integrasikan dengan kegiatan audit mutu internal, monev dan assessment yang selama ini sudah dijalankan.

Tahap Pengendalian Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) kemudian berfokus pada penerapan tindakan koreksi, korektif dan preventif berdasarkan hasil evaluasi benchmarking. Tindakan ini bukan hanya untuk menutup kesenjangan, namun juga memastikan bahwa pencapaian mutu tidak hanya bersifat sementara, melainkan berkelanjutan. Melalui pengendalian yang efektif, perguruan tinggi dapat menjaga konsistensi dalam mencapai target dan mengantisipasi tantangan yang mungkin muncul di masa depan.

Akhirnya, pada tahap Peningkatan Standar (dalam PPEPP), benchmarking menjadi sumber inspirasi untuk merumuskan kebijakan dan program inovatif, dan untuk meningkatkan standar yang relevan. Dengan memahami praktik terbaik (best practice), perguruan tinggi akan mampu meningkatkan mutu internal, dan juga membangun budaya perbaikan berkelanjutan di setiap unit kerja organisasi. Nilai-nilai seperti keterbukaan dan optimisme terhadap perubahan, kolaborasi antar unit, dan semangat untuk belajar dari keberhasilan pihak lain perlu ditanamkan sebagai shared values. Nilai-nilai inilah yang akan menumbuhkan budaya inovasi yang kokoh dan mendorong perguruan tinggi untuk terus bertransformasi menuju keunggulan yang berkelanjutan (continuous improvement).

Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI

Tantangan dan Penerapan Benchmarking

Salah satu tantangan terbesar adalah keterbatasan akses terhadap data kinerja institusi lain. Mengapa? Ya, karena hal ini sering dianggap sebagai informasi sensitif dan bersifat tertutup atau rahasia. Situasi ini menuntut adanya semangat kolaborasi dan keterbukaan antar perguruan tinggi untuk berbagi praktik terbaik secara transparan demi kemajuan bersama. Tanpa sinergi dan kepercayaan, proses benchmarking akan sulit mencapai tujuannya kita harapkan bersama.

Tantangan lain, terkait kemampuan adaptasi praktik terbaik dari institusi lain. Setiap perguruan tinggi memiliki budaya, karakteristik, dan konteks lokal yang unik, sehingga penerapan langsung tanpa penyesuaian sering kali tidak efektif dan tidak relevan. Oleh sebab itu, institusi perlu memahami konteksnya secara mendalam dan melakukan modifikasi yang tepat agar praktik tersebut dapat berjalan selaras dengan kebutuhan institusi.

Namun, di balik tantangan semua ini, benchmarking memberi peluang strategis untuk membangun keunggulan kompetitif. Dengan memahami kekuatan dan kelemahan internal melalui siklus PPEPP serta mengambil pelajaran dari keberhasilan institusi lain, perguruan tinggi dapat mengoptimalkan potensi mereka. Pendekatan berbasis data yang sistematis dan inovatif akan membantu perguruan tinggi merumuskan kebijakan, visi dan misi yang lebih efektif dan membawa transformasi nyata. Dengan leadership yang kuat dan visi yang jelas, Politeknik X di bawah arahan Dr. Fulan siap menjawab tantangan era BANI dengan semangat kolaborasi, inovasi dan komitmen menuju unggul.

Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?

Benchmarking melalui Media Digital

Melalui internet, perguruan tinggi dapat mengakses laporan publikasi, studi kasus, dan data dari institusi-institusi terbaik di seluruh dunia, misalnya kampus Harvard, MIT atau Oxford. Platform seperti Google, webaite resmi institusi, dan sumber daring lainnya memungkinkan pengumpulan informasi yang cepat, luas, dan efisien. Teknologi ini memberikan kemudahan dalam membandingkan praktik terbaik secara global dengan biaya yang jauh lebih rendah dibandingkan kunjungan langsung.

Selain itu, penggunaan media digital seperti ChatGPT atau alat kecerdasan buatan lainnya dapat membantu menganalisis tren, menemukan inovasi, dan menyarankan langkah-langkah strategis. Dengan pendekatan ini, perguruan tinggi dapat tetap kompetitif dan relevan di tengah persaingan global, sekaligus mempercepat proses adaptasi dan transformasi terhadap praktik terbaik. Pemanfaatan media digital bukan hanya menjadi alternatif, tetapi juga solusi efektif dan efisien untuk mendorong transformasi menuju unggul.

Baca juga: SPMI Tanpa Knowledge Management? Jurang Kegagalan!

Penutup

Penguatan SPMI melalui siklus PPEPP merupakan strategi penting untuk memastikan mutu pendidikan di perguruan tinggi. Namun, agar implementasi PPEPP lebih efektif, konsep benchmarking seperti yang diuraikan oleh Edward Sallis menjadi tools penting dalam mengevaluasi kinerja, mengidentifikasi best practice, dan merumuskan langkah perbaikan (koreksi, korektif dan preventif) yang berkelanjutan.

Dengan komitmen yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan, perguruan tinggi dapat mewujudkan visi menjadi institusi yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Dr. Fulan siap melaksanakan benchmarking dengan sebaik-baiknya.

Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Mulk ayat 2, “(Allah) yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” Ayat ini mengingatkan kita bahwa peningkatan mutu dan inovasi adalah bagian dari ikhtiar manusia untuk mencapai amal terbaik di hadapan Allah. Dengan tekad, doa, dan semangat yang sungguh-sungguh, perguruan tinggi dapat menjadi lembaga yang tidak hanya unggul secara akademik, namun juga memberi manfaat luas bagi masyarakat dan bangsa. Stay Relevant!

Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Knowledge Management

SPMI Tanpa Knowledge Management? Jurang Kegagalan!

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Bayangkan sebuah perguruan tinggi yang baru saja meraih predikat akreditasi A atau Unggul. Namun, hanya dalam waktu tiga tahun, status tersebut mulai goyah dan terancam ditinjau ulang. Keluhan masyarakat meningkat, data penting tidak tersedia ketika dibutuhkan, dan suara ketidakpuasan dari mahasiswa serta orang tua terus menggema. Apa yang sebenarnya terjadi? Banyak faktor bisa menjadi penyebabnya, namun salah satu yang paling mendasar adalah ketiadaan sistem yang jelas untuk mengelola dan mendistribusikan pengetahuan di dalam institusi. Pengetahuan berharga yang dimiliki dosen dan staf karyawan tidak pernah terdokumentasi dengan baik, sehingga saat mereka pensiun, perguruan tinggi kehilangan aset intelektualnya yang tak ternilai—warisan yang seharusnya menjadi pondasi bagi keberlanjutan mutu.

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi hadir sebagai jawaban atas tantangan ini. Berdasarkan Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, SPMI dirancang menjadi instrumen vital untuk memastikan mutu pendidikan selalu terjaga sesuai standar yang telah ditetapkan. Dengan pendekatan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar), SPMI menghidupkan semangat perbaikan berkelanjutan—kaizen—sebuah filosofi yang menanamkan budaya belajar, inovasi, dan peningkatan mutu di setiap lini organisasi.

KM, atau Knowledge Management, menghadirkan pendekatan sistematis untuk menangkap, membagikan, dan memanfaatkan pengetahuan dalam organisasi. Ia bukan sekadar alat, melainkan strategi menyeluruh untuk memastikan bahwa setiap pengetahuan, baik yang tersurat maupun tersirat, tidak hanya tersimpan tetapi juga dimanfaatkan secara optimal demi keberlanjutan dan kemajuan.

Dalam konteks perguruan tinggi, KM menjadi landasan kokoh yang mendukung implementasi siklus PPEPP. Melalui KM, setiap pemangku kepentingan dapat mengakses data, informasi, dan wawasan yang relevan untuk mendukung pengambilan keputusan yang tepat. Tanpa pengelolaan pengetahuan yang baik, institusi berisiko kehilangan efisiensi operasional serta menghadapi ancaman pada kredibilitasnya, sebuah harga mahal yang tidak dapat dibiarkan.

Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan

Edward Sallis, dalam bukunya Total Quality Management in Education, menekankan pentingnya pengelolaan pengetahuan dalam sebuah organisasi, baik pengetahuan eksplisit yang terdokumentasi maupun pengetahuan tacit yang tersimpan dalam pengalaman dan keahlian individu. Kedua jenis pengetahuan ini memiliki peran yang sangat krusial dalam memastikan keberlanjutan organisasi. Wawasan yang disampaikan oleh Edward Sallis menjadi sumber inspirasi berharga, khususnya bagi perguruan tinggi, untuk menciptakan budaya berbagi pengetahuan yang mendorong inovasi dan perbaikan berkelanjutan.

Sebagai contoh penerapan Knowledge Management (KM), sebuah politeknik berhasil mengembangkan sistem “pelaporan daring berbasis KM”. Sistem ini dirancang untuk mendokumentasikan hasil workshop, seminar, atau pelatihan yang diikuti oleh dosen. Setiap dosen yang hadir dalam kegiatan tersebut diwajibkan untuk mengisi laporan daring yang mencakup ide-ide kreatif, materi pelatihan, serta rekomendasi yang dapat diterapkan di kampus. Laporan ini kemudian tersimpan otomatis dalam database institusi, yang dapat diakses oleh program studi lain sebagai sumber inspirasi untuk inovasi akademik maupun pengembangan kebijakan. Sistem ini memastikan bahwa wawasan dan pengalaman tidak hilang, melainkan terus memberikan manfaat bagi organisasi secara menyeluruh.

KM Untuk Menyusun Standar Terbaik

Pengetahuan tacit dari tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dapat di konversi menjadi eksplisit melalui diskusi kolektif dan dokumentasi yang baik. Dengan cara ini, institusi dapat memastikan keberhasilan penetapan standar SPMI dengan wawasan yang mendalam.

Sebagai contoh, sebuah politeknik dapat meningkatkan standar kurikulum dengan mengintegrasikan umpan balik mahasiswa dari survei kepuasan. Data ini kemudian dikombinasikan dengan pengalaman dosen senior yang terdokumentasi dalam laporan internal. Manfaat yang diperoleh, perguruan tinggi tersebut mampu merumuskan standar kurikulum baru berbasis kompetensi yang lebih relevan dengan kebutuhan dunia industri.

Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!

KM Untuk Mendorong Konsistensi

Pengetahuan eksplisit seperti standar dan SOP dapat didistribusikan melalui platform digital. Di sisi lain, forum kolaboratif antar tim (seperti brainstorming dan design thinking) mendorong berbagi pengetahuan tacit yang menjadi faktor keberhasilan di lapangan.

Sebagai contoh, sebuah universitas dapat menerapkan aplikasi berbasis cloud untuk menyimpan seluruh dokumen kebijakan dan standar SPMI. Staf dosen dan tenaga kependidikan dapat dengan mudah mengakses dokumen ini kapan saja. Aplikasi digital ini juga memungkinkan diskusi daring yang mempercepat solusi terhadap kendala lapangan, outputnya, implementasi standar SPMI dapat berjalan lebih optimal, efektif dan efisien.

Baca juga: Teori 2 Faktor: Memadukan SPMI dengan Motivasi Intrinsik

KM Untuk Transparansi Dan Akuntabilitas

Sallis menekankan pentingnya menciptakan budaya berbagi pengetahuan agar terwujud transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan evaluasi.

Sebagai contoh, sebuah universitas dapat mengelola audit mutu internal dengan memanfaatkan platform berbasis KM. Semua data penting misal: laporan proses belajar mengajar, capaian kinerja dosen, hasil evaluasi mata kuliah, dan tingkat kelulusan mahasiswa diunggah ke dalam sistem terintegrasi. Data ini kemudian dianalisis oleh tim auditor, yang menghasilkan usulan perbaikan spesifik untuk setiap program studi. Hasil audit juga disosialisasikan secara transparan kepada segenap stakeholder terkait, mendorong akuntabilitas dan partisipasi dalam peningkatan mutu pendidikan.

Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI

KM Untuk Menjamin Kesesuaian Standar

Sebagai contoh, sebuah sekolah tinggi dapat menerapkan sistem audit mutu internal berbasis KM untuk memastikan standar SPMI dipatuhi. Data dari laporan audit rutin diunggah ke dalam sistem berbasis web, memungkinkan pimpinan untuk mengidentifikasi fakultas atau prodi mana saja yang memerlukan dukungan untuk perbaikan. Ketika ditemukan kegiatan yang belum sesuai standar, tim langsung mengakses dokumentasi terkait untuk memberikan bimbingan kepada unit kerja yang bersangkutan, sehingga proses perbaikan dapat dilakukan dengan efektif, cepat dan tepat.

Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits

KM Untuk Mendorong Inovasi

Pengetahuan tacit, seperti intuisi, pengalaman nyata, dan keterampilan staf senior yang sering kali tidak terdokumentasi, sesungguhnya memainkan peran kunci dalam mendorong inovasi. Sementara, pengetahuan eksplisit adalah informasi yang telah terstruktur dan terdokumentasi, seperti kebijakan, standar SPMI atau laporan penelitian, yang dapat diakses dan dibagikan dengan mudah. Melalui proses dokumentasi dan kolaborasi yang sistematis, tacit knowledge dapat dikonversi menjadi eksplisit untuk menciptakan wawasan baru. Demikian juga eksplisit knowledge diinternalisasi kembali menjadi tacit melalui praktik nyata dan pembelajaran organisasi, hal ini mendukung peningkatan berkelanjutan di perguruan tinggi.

Sebagai contoh, sebuah politeknik dapat menggunakan hasil evaluasi mata kuliah dari seluruh program studi untuk menciptakan modul pelatihan untuk dosen-dosen baru. Data eksplisit dari evaluasi digabungkan dengan pengalaman dosen senior (tacit) melalui brainstorming, workshop dan diskusi kelompok. Modul ini selanjutnya diterapkan dalam pelatihan, untuk memastikan bahwa metode pengajaran yang efektif telah diinternalisasi.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

Penutup

Knowledge Management (KM) adalah pilar utama yang memastikan setiap tahap dalam siklus PPEPP berjalan dengan optimal. Tanpa KM, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) berisiko kehilangan arah dan efektivitasnya, sementara institusi dapat terjebak dalam kesulitan mengelola mutu secara konsisten. Kehilangan kendali atas pengetahuan berarti kehilangan peluang untuk terus berkembang dan menjaga keberlanjutan.

KM bukan sekadar alat teknis. Ia membawa filosofi mendalam yang menanamkan budaya pembelajaran dalam organisasi. Edward Sallis menegaskan bahwa KM mendorong terciptanya pembelajaran organisasi—sebuah elemen yang tidak hanya mendukung inovasi, tetapi juga menjadi fondasi bagi keberlanjutan dan daya saing institusi di masa depan. Dengan KM, perguruan tinggi tidak hanya menjaga mutu, tetapi juga terus bergerak maju sebagai tempat yang menciptakan dampak intelektual dan sosial.

Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi

Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Public Speaking

Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Ketika Universitas X (fiktif) menghadapi penurunan peringkat akreditasi, akar permasalahan ternyata bukanlah absennya kebijakan atau kurangnya dokumen Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Setelah diselidiki lebih dalam, masalah utama justru terletak pada implementasi SPMI yang berjalan setengah hati, terfragmentasi, dan tidak menyentuh inti budaya mutu. Siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) yang telah dirancang hanya sekadar rutinitas administratif, tanpa jiwa dan makna substansial yang mampu menggerakkan perubahan. Di tengah kondisi suram ini, hadirnya Dr. Fulan (fiktif) sebagai rektor baru membawa secercah harapan, bak angin segar yang meniupkan semangat baru ke seluruh penjuru kampus. Semua bergembira.

Dr. Fulan, dengan pendekatan kepemimpinan transformasional, memahami bahwa tantangan ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan merevisi dokumen SPMI atau memperbaiki SOP, prosedur teknis semata. Lebih dari itu, ia melihat perlunya menghidupkan kembali “ruh” semangat kolektif komunitas akademik. Melalui program andalannya, “Kampus Unggul 2030”, ia membangun visi bersama yang menginspirasi, sebuah tujuan besar yang mengajak seluruh civitas akademika untuk bergerak bahu membahu dalam satu irama. Tidak berhenti di situ saja, Dr. Fulan turun langsung ke lapangan, berdialog dengan dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan. Dengan penuh semangat, ia menjelaskan pentingnya siklus PPEPP sebagai landasan transformasi, sekaligus memotivasi mereka untuk memandang budaya mutu bukan sebagai beban, namun sebagai bagian dari identitas kampus yang bermartabat.

Melalui sinergi antara visi misi dan tindakan, Dr. Fulan berhasil menjadikan siklus PPEPP sebagai alat perubahan yang nyata, mendorong kampus untuk terus berinovasi dan bertransformasi menuju keunggulan berkelanjutan.

Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI

Menetapkan Standar yang Melampaui Harapan

Namun, tidak semua anggota organisasi memiliki keyakinan penuh akan potensi mereka. Dalam situasi ini, hadirnya Dr. Fulan sebagai pemimpin transformasional mengubah pesimisme menjadi optimisme. Dengan caranya yang inspiratif, ia meyakinkan setiap individu bahwa mereka memiliki kekuatan dan potensi luar biasa untuk mendorong perubahan dan menciptakan prestasi gemilang.

Bagi Dr. Fulan, visi bukanlah sekadar sederet kata kata tanpa makna dalam dokumen, melainkan nyala api yang menggerakkan hati dan pikiran seluruh komunitas akademik. Dengan komunikasi yang membangkitkan inspirasi, ia menanamkan rasa kepemilikan yang mendalam di antara dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Visi yang kuat ini menyatukan gerak langkah, mengharmoniskan perbedaan (diversity), dan membentuk ekosistem pendidikan yang dinamis, kolaboratif, serta mampu beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

Dari Strategi ke Implementasi

Dr. Fulan, dengan semangat yang menular, menghidupkan filosofi kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas, dan kerja ikhlas sebagai prinsip utama yang membimbing seluruh komunitas akademik. Prinsip ini tidak hanya mendorong produktivitas, namun juga menumbuhkan keikhlasan dalam setiap langkah menuju perbaikan.

Sebagai seorang pemimpin transformasional, Dr. Fulan menjalankan peran sebagaimana yang digambarkan Edward Sallis: seorang fasilitator perubahan (change agent) yang menggerakkan institusi dengan strategi dan aksi nyata. Ia memastikan bahwa setiap anggota staf memiliki sumber daya yang memadai, lingkungan kerja yang mendukung, dan kebebasan dari hambatan birokrasi yang kerap menghambat inovasi. Dengan menciptakan atmosfer kolaborasi yang kondusif, ia memfasilitasi perguruan tinggi untuk melaksanakan praktik terbaik dalam pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Pendekatan ini, yang diterapkan secara efektif oleh Dr. Fulan, menjadikan setiap langkah perbaikan tidak hanya sebagai kewajiban, tetapi juga sebagai bagian dari perjalanan bermakna menuju keunggulan. Semua bahagia.

Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI

Evaluasi dan Pengendalian yang Berkelanjutan

Audit mutu internal, monev dan assessment, bukan sekadar ritual formalitas belaka, namun upaya berkelanjutan untuk menemukan celah perbaikan dan menetapkan langkah strategis. Dalam hal ini, kepemimpinan transformasional berperan sebagai motor penggerak utama yang mendorong evaluasi berbasis data dan dialog terbuka. Di bawah arahan Dr. Fulan, program audit mutu internal dikelola dengan cermat dan efektif. Para auditor didorong untuk menemukan temuan yang substansial, bukan sekadar administratif, sementara setiap rencana tindak lanjut dikawal dengan penuh dedikasi hingga benar-benar terlaksana.

Edward Sallis menegaskan bahwa keberhasilan evaluasi mutu bergantung pada adanya feedback loops yang berkelanjutan. Pemimpin transformasional harus memastikan keterlibatan aktif semua pemangku kepentingan—mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, hingga pengguna lulusan—dalam memberikan umpan balik yang konstruktif. Data dan masukan yang terkumpul menjadi informasi kuat bagi pengambilan keputusan yang lebih efektif. Dr. Fulan membuka berbagai saluran kritik dan saran, dari kotak saran fisik hingga formulir komplain daring, menjadikannya mudah diakses oleh semua pihak. Melalui cara-cara ini, evaluasi tidak hanya menjadi proses pengukuran belaka, namun juga bentuk wujud nyata dari komitmen untuk terus berkembang, berinovasi, dan mencapai keunggulan yang terus menerus (continuous improvement).

Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?

Kepemimpinan yang Menginspirasi Perubahan

Kepemimpinan transformasional menjadi kunci untuk menanamkan nilai-nilai tersebut diatas ke dalam DNA perguruan tinggi. Lebih dari sekadar memberi instruksi, seorang pemimpin harus mampu menghadapi resistensi terhadap perubahan dengan cara-cara yang elegan, inklusif, dan kolaboratif. Pendekatan ini memastikan bahwa setiap karyawan merasa dihormati, didengarkan, dan dilibatkan dalam perjalanan transformasi menuju budaya mutu yang berkelanjutan.

Sallis mencatat bahwa kepemimpinan transformasional tidak hanya menginspirasi visi besar tetapi juga memberdayakan individu untuk mewujudkannya. Pemimpin sejati menciptakan lingkungan yang mendorong kreativitas, inovasi, dan keberanian untuk mencoba hal-hal baru tanpa takut gagal. Hal ini diwujudkan oleh Dr. Fulan dengan memperkenalkan berbagai metode pengambilan keputusan yang kreatif dan partisipatif, seperti mind mapping, design thinking, dan teknik lainnya yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Melalui pendekatan ini, Dr. Fulan berhasil membangun ekosistem akademik yang dinamis, di mana setiap ide memiliki tempat untuk tumbuh dan setiap kontribusi dihargai sebagai bagian dari upaya kolektif menuju peningkatan mutu secara terus menerus (kaizen).

Baca juga: Penguatan SPMI dengan 10 Peran Manajer ala Mintzberg

Penutup

Dengan merujuk pada prinsip-prinsip yang diuraikan oleh Edward Sallis dalam Total Quality Management in Education, perguruan tinggi harus dapat menjadikan siklus PPEPP sebagai proses yang berkelanjutan. Siklus ini tidak sekadar prosedur, melainkan sebagai landasan kokoh yang mendorong inovasi, kolaborasi, dan peningkatan mutu pendidikan tinggi yang berorientasi pada keunggulan dan keberlanjutan.

Kini, saatnya para pemimpin pendidikan tinggi melangkah dengan penuh keyakinan, memimpin dengan visi yang jelas, dan menggerakkan aksi kolektif yang bermakna. Kepemimpinan yang inspiratif dan inklusif akan membangkitkan semangat seluruh elemen komunitas akademik untuk bekerja bersama demi masa depan yang lebih baik. Pendidikan tinggi Indonesia, dengan semangat kepemimpinan transformasional, memiliki potensi untuk menjadi pilar utama dalam pembangunan sumber daya manusia yang unggul, kompetitif, dan berdaya saing global.

Sejalan dengan itu, kita dapat mengambil hikmah dari firman Allah dalam Surah Ar-Ra’d ayat 11: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” Ayat ini mengajarkan bahwa perubahan sejati harus dimulai dari dalam, baik oleh individu maupun sebuah institusi. Pemimpin transformasional adalah mereka yang mampu menanamkan kesadaran ini, mendorong setiap elemen dalam perguruan tinggi untuk mengambil tanggung jawab dalam proses perbaikan. Dengan tekad yang kuat dan niat yang tulus, perubahan menuju budaya mutu yang berkelanjutan bukanlah sekadar impian kosong, namun sebuah kenyataan yang bisa diwujudkan bersama. Kita harus yakin. Stay Relevant!

Baca juga: Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku: Pilar Utama Budaya Mutu SPMI


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  3. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  4. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  5. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Pendaftaran Pelatihan SPMI AMI SOP

Transformasi SPMI: Komunikasi Internal sebagai Game-Changer

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Perguruan tinggi di Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan mutu akademik dan non-akademik. Proses akreditasi oleh BAN-PT atau LAM, yang menjadi tolok ukur mutu perguruan tinggi, menuntut persiapan yang matang dan menyeluruh. Namun, sering kali, kendala muncul meski sumber daya yang tersedia memadai. Salah satu hambatan utama adalah lemahnya koordinasi dan “komunikasi internal,” yang berdampak pada rendahnya pemahaman staf dan dosen terhadap kebijakan serta standar SPMI yang telah ditetapkan. Akibatnya, implementasi sistem penjaminan mutu internal (SPMI) menjadi kurang efektif, menggambarkan bagaimana komunikasi internal dapat menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan SPMI di perguruan tinggi.

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan framework dalam menjaga dan meningkatkan mutu secara berkelanjutan (kaizen) di dunia pendidikan tinggi. Sebagai realisasi dari Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 53 Tahun 2023, SPMI mengintegrasikan siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar (PPEPP). Siklus ini bukan sekadar kerangka kerja, melainkan fondasi strategis yang memastikan perguruan tinggi mampu memenuhi, bahkan melampaui, standar nasional yang telah ditetapkan. Implementasi SPMI menjadi wujud nyata dari komitmen perguruan tinggi terhadap mutu pendidikan tinggi di Indonesia.

Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI

Namun, keberhasilan SPMI tidak dapat dilepaskan dari peran komunikasi internal yang strategis, efektif, dan terstruktur. Komunikasi internal tidak hanya menjadi alat untuk menyampaikan informasi, tetapi juga jembatan yang menyelaraskan visi, meningkatkan partisipasi, dan memastikan setiap elemen organisasi memahami serta menginternalisasi standar SPMI.

Mengapa SPMI Harus Unggul?

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dalam pendidikan tinggi memiliki tujuan strategis untuk mengoptimalkan pelaksanaan Tridharma melalui standar pendidikan tinggi yang tidak hanya memenuhi, tetapi juga melampaui Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN-Dikti). Namun, tantangan kerap muncul dalam implementasinya.

Oleh sebab itu, diperlukan transformasi fundamental yang mampu menyelaraskan tujuan ideal SPMI dengan praktik operasional di lapangan secara konsisten dan berkelanjutan.

Transformasi tersebut dapat diwujudkan melalui komunikasi internal yang strategis dan terstruktur. Sebagai contoh, penerapan standar baru dalam proses pembelajaran sering kali menghadirkan potensi konflik dan kesalahpahaman di antara pimpinan, dosen, serta staf administrasi. Namun, dengan komunikasi internal yang dirancang dengan matang—melalui forum silaturahmi, pelatihan rutin, hingga pemanfaatan platform digital—pesan dapat tersampaikan dengan jelas, sehingga setiap elemen organisasi dapat terlibat secara optimal.

Dalam konteks Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), komunikasi internal adalah proses penyampaian dan pertukaran informasi, arahan, serta umpan balik yang terjadi di dalam perguruan tinggi untuk memastikan bahwa semua stakeholder, termasuk pimpinan, dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa, memahami dan terlibat aktif dalam implementasi standar mutu yang telah ditetapkan.

Daya Dorong Komunikasi Internal

Komunikasi internal yang efektif adalah elemen fundamental dalam keberhasilan implementasi kebijakan di perguruan tinggi. Dalam buku Internal Communications: A Manual for Practitioners karya Liam FitzPatrick dan Klavs Valskov, dijelaskan bahwa komunikasi internal yang terencana dapat memperkuat budaya organisasi. Sebagai contoh, ketika perguruan tinggi memperkenalkan metode pembelajaran berbasis proyek, komunikasi yang strategis memastikan setiap pimpinan, dosen dan tenaga kependidikan memahami peran mereka, sehingga proses transisi berjalan lancar tanpa konflik atau miskomunikasi.

Keberhasilan perguruan tinggi dalam menjalankan SPMI kerap kali bergantung pada tim komunikasi internal yang kompeten, yang mampu menyusun pesan secara jelas, mendistribusikan informasi dengan efektif, dan mendengarkan masukan dari semua elemen organisasi. Pendekatan ini menciptakan kolaborasi yang produktif dan memperkuat rasa memiliki dalam setiap langkah menuju mutu pendidikan yang berkelanjutan.

Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?

Integrasi Komunikasi dalam Siklus PPEPP

Tahap Penetapan Standar (dalam PPEPP) memerlukan pendekatan komunikasi yang terarah dan terstruktur. Pada tahap ini, perguruan tinggi harus memastikan bahwa semua pemangku kepentingan internal memiliki pemahaman yang sama tentang target dan indikator keberhasilan yang ditetapkan. Sebagai ilustrasi, ketika sebuah perguruan tinggi memperkenalkan standar baru untuk kurikulum berbasis kompetensi, penting untuk mengadakan serangkaian pertemuan yang melibatkan dosen, mahasiswa, dan pemangku kepentingan eksternal. Diskusi ini tidak hanya menjelaskan manfaat kebijakan baru, tetapi juga memberikan panduan langkah-langkah implementasi. Dengan komunikasi yang efektif, resistensi (penolakan) terhadap perubahan dapat diminimalkan, sehingga transisi berjalan lebih lancar.

Tahap Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) adalah momen penting di mana komunikasi internal menjadi penggerak utama (tools) keberhasilan. Dalam perguruan tinggi yang memiliki berbagai unit kerja, risiko fragmentasi dalam implementasi sangat mungkin terjadi tanpa adanya komunikasi yang solid. Sebagai contoh, ketika standar baru untuk metode evaluasi mahasiswa diterapkan, komunikasi yang kurang jelas dapat memicu kebingungan di kalangan dosen. Namun, dengan adanya panduan yang sistematis dan pelatihan yang komprehensif, setiap unit dapat berkontribusi secara harmonis, memastikan bahwa tujuan bersama dapat tercapai dengan optimal.

Tahap Evaluasi Pemenuhan standar (dalam PPEPP) membutuhkan keterbukaan dan transparansi yang maksimal. Perguruan tinggi dapat menggunakan survei internal (melalui monev) sebagai alat untuk mengumpulkan umpan balik dari dosen dan mahasiswa mengenai implementasi standar yang telah berjalan. Sebagai contoh, ketika mengevaluasi efektivitas metode pembelajaran daring (Learning Management System/LMS), data yang diperoleh dari survei dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi kelemahan dan merancang perbaikan yang relevan. Sejalan dengan pandangan FitzPatrick, komunikasi yang jujur selama fase evaluasi menjadi kunci dalam menemukan tantangan dan peluang perbaikan yang berkelanjutan.

Tahap Pengendalian Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) menuntut komunikasi yang responsif dan intensif untuk memastikan setiap penyimpangan dapat segera diatasi. Ketika ditemukan pelanggaran terhadap standar penelitian, misalnya, tim pengelola mutu perlu segera mengadakan diskusi dengan pihak terkait untuk menemukan solusi yang tepat. Komunikasi internal yang responsif memungkinkan identifikasi masalah dilakukan secara cepat, sehingga penyelesaiannya tidak hanya efektif tetapi juga sesuai dengan kebutuhan spesifik perguruan tinggi.

Tahap Peningkatan Standar (dalam PPEPP) adalah fase yang berorientasi pada inovasi dan kolaborasi berkelanjutan. Pada tahap ini, komunikasi internal memainkan peran penting dalam menyebarluaskan informasi tentang praktik terbaik (best practice) yang telah berhasil diterapkan di satu unit untuk direplikasi oleh unit lain. Sebagai contoh, jika sebuah fakultas menemukan metode pembelajaran inovatif yang mampu meningkatkan keterlibatan mahasiswa, metode ini dapat dibagikan kepada fakultas lain melalui forum internal atau publikasi internal. FitzPatrick menegaskan bahwa komunikasi dua arah adalah motor penggerak dalam menciptakan inovasi dan berbagi kesuksesan, mendorong budaya mutu yang progresif di seluruh institusi.

Baca juga: Merancang Mission Differentiation di Era BANI

Penutup

Penguatan SPMI melalui siklus PPEPP memerlukan integrasi komunikasi internal yang efektif dan efisien di setiap tahapannya. Perguruan tinggi yang menghadapi tantangan, seperti meningkatkan peringkat akreditasi, dapat memanfaatkan komunikasi internal untuk membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya pencapaian mutu. Dengan melibatkan semua unit dalam diskusi rutin serta menyediakan informasi yang akurat melalui portal internal dan sistem manajemen pengetahuan (knowledge management), proses perubahan dapat dilaksanakan secara lebih terarah, efisien, dan inklusif.

Pandangan yang disampaikan dalam Internal Communications: A Manual for Practitioners menggarisbawahi bahwa keberhasilan komunikasi internal tidak hanya ditentukan oleh pilihan saluran (communication channels), namun juga oleh kualitas keterlibatan, kejelasan, dan konsistensi pesan yang disampaikan.

Oleh karena itu, perguruan tinggi harus memprioritaskan pengembangan sistem komunikasi internal yang terencana, adaptif, dan partisipatif. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip SPMI dan praktik komunikasi internal yang efektif, institusi pendidikan tinggi InsyaAllah dapat memenuhi standar nasional, dan juga memperluas daya saing mereka di tingkat nasional, regional maupun global. Komitmen terhadap komunikasi internal yang solid akan memastikan bahwa setiap langkah menuju mutu unggul menjadi bagian dari perjalanan kolektif seluruh elemen perguruan tinggi. Stay Relevant!

Dalam diam data, suara menyala,
Komunikasi internal merajut asa.
SPMI melangkah dengan teguh,
Menyemai mutu di setiap sudut yang utuh.

Baca juga: Penguatan SPMI dengan 10 Peran Manajer ala Mintzberg


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. FitzPatrick, L., & Valskov, K. (2014). Internal communications: A manual for practitioners. Kogan Page.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Kemalasan Sosial

Kemalasan Sosial: Musuh Tersembunyi SPMI

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Bayangkan sebuah tim struktural di perguruan tinggi sedang mengerjakan tugas strategis untuk menyusun standar mutu SPMI. Dari luar, sepintas nampak anggota tim aktif berkontribusi. Namun, di balik rapat yang terlihat harmonis, ada anggota tim yang pasif, tidak memberikan kontribusi maksimal, ia berharap rekan-rekan lain akan menuntaskan sebagian besar pekerjaan. Fenomena seperti ini, dikenal dengan istilah kemalasan sosial (social loafing). Fenomena psikologi ini sering kali tidak terlihat di permukaan, namun dapat berdampak signifikan terhadap keberhasilan mutu pendidikan.

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah “tools” untuk menjamin dan meningkatkan mutu pendidikan secara terus-menerus (continuous improvement). Dengan mengoptimalkan siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar (PPEPP), perguruan tinggi diharapkan dapat membangun proses pendidikan yang memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan. Namun, potensi besar dari kerangka kerja PPEPP ini bisa terkikis jika tantangan dinamika kelompok seperti kemalasan sosial tidak bisa dikelola dengan baik.

Dalam buku psikologi berjudul Group Dynamics karya Donelson R. Forsyth diulas tentang fenomena kemalasan sosial (social loafing).

Fenomena ini sering muncul karena tanggung jawab dalam kelompok dibagi secara tidak jelas, sehingga individu merasa kontribusinya tidak penting atau tidak teridentifikasi. Dalam konteks SPMI, jika fenomena ini tidak diantisipasi, kemalasan sosial dapat menjadi ancaman besar bagi keberhasilan SPMI. Perguruan tinggi harus menyadari dan mengelola dinamika ini agar sistem mutu berjalan efektif dan efisien.

Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan

Penetapan Standar: Langkah Awal yang Rentan

Tahap penetapan standar SPMI (dalam PPEPP) adalah langkah krusial yang menentukan arah mutu pendidikan di perguruan tinggi. Namun, seperti yang disampaikan Forsyth, kemalasan sosial cenderung muncul ketika tanggung jawab yang diperlukan tidak dibagi dengan jelas. Jika standar mutu dirancang tanpa pembagian tugas yang spesifik, beberapa anggota tim mungkin mengambil sikap pasif (kemalasan sosial).

Untuk mengantisipasi persoalan ini, institusi harus memastikan bahwa setiap anggota tim memiliki peran (role) yang jelas dan target pekerjaan masing-masing harus dapat diukur dengan baik (measurable).

Baca juga: Teori 2 Faktor: Memadukan SPMI dengan Motivasi Intrinsik

Kolaborasi atau Beban Bersama?

Tahap pelaksanaan standar (dalam PPEPP) sering kali melibatkan berbagai unit di perguruan tinggi, mulai dari level universitas, fakultas hingga administrasi. Forsyth menjelaskan bahwa:

Dalam penerapan SPMI, fenomena ini dapat muncul jika unit-unit tidak memiliki sistem pelaporan yang jelas untuk menunjukkan kinerja mereka baik sebagai individu, maupun sebagai tim.

Forsyth berpendapat bahwa upaya peningkatan “norma kolektif” dan “kohesi kelompok” dapat membantu mengurangi kemalasan sosial. Untuk itu institusi harus mampu menciptakan budaya kerja di mana setiap unit memahami dampak langsung kontribusi mereka terhadap keberhasilan SPMI.

Sebagai contoh, sebuah institusi perguruan tinggi dapat menetapkan “norma kolektif” berupa kewajiban setiap unit untuk menyampaikan laporan capaian mutu secara transparan dalam forum bulanan yang melibatkan seluruh stakeholder internal. Dalam forum yang dibuat “bergengsi” ini, keberhasilan unit kerja akan diakui dan dijadikan motivasi bagi unit lain, menciptakan rasa saling mendukung yang memperkuat “kohesi kelompok”. Ketika karyawan merasa bahwa kontribusi mereka diakui, dihargai dan berdampak langsung pada pencapaian tujuan bersama, semangat kolektif ini secara efektif mengurangi kemalasan sosial dan meningkatkan komitmen terhadap pencapaian target-target SPMI.

Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI

Mengapa Evaluasi Sering Gagal?

Evaluasi pemenuhan standar SPMI, dapat dilakukan dalam berbagai cara misalnya melalui esessment, audit mutu internal maupun dengan monev. Terkait teori kemalasan sosial, difusi tanggung jawab dapat menyebabkan penurunan kinerja evaluasi. Bila anggota tim merasa bahwa tugas mereka hanya bagian kecil dari keseluruhan proses, bisa jadi mereka tidak memberikan upaya terbaik.

Salah satu solusi mengatasi hal ini, manajemen dapat menggunakan “sistem target” untuk mendorong individu yang terlibat menjadi aktif. Target yang jelas dan spesifik dapat mencegah kemalasan sosial dan meningkatkan motivasi kerja. Cara ini tidak hanya meningkatkan akuntabilitas namun memberi kontribusi nyata bagi perbaikan mutu.

Sebagai contoh, dalam kegiatan audit mutu internal (AMI) di sebuah perguruan tinggi, tim auditor dapat diberikan target spesifik yang sesuai dengan bidang atau unit yang mereka tangani, seperti mengevaluasi kurikulum, efektivitas pembelajaran, atau manajemen sarana prasarana. Hasil evaluasi masing-masing anggota harus disampaikan dalam laporan individu yang kemudian dipresentasikan dalam rapat tim auditor. Melalui cara ini, setiap auditor mengetahui bahwa kontribusi mereka tidak hanya dilihat oleh manajemen namun juga oleh rekan-rekan auditor lainnya. Pendekatan ini menciptakan rasa tanggung jawab personal sekaligus kolektif, mendorong mereka untuk memberikan prestasi terbaik dalam proses AMI.

Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits

Dari Pasif ke Proaktif

Pada tahap Pengendalian Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP), perguruan tinggi harus memastikan bahwa penyimpangan dari standar dapat segera diperbaiki melalui tindakan koreksi, korektif, dan preventif. Namun, seperti yang diuraikan dalam teori kemalasan sosial (social loafing), karyawan sering kali menghindari tanggung jawab jika mereka merasa tugas tersebut lebih cocok dilakukan oleh orang lain. Hal ini dapat memperlambat atau bahkan menggagalkan proses pengendalian pelaksanaan standar.

Menurut pendapat Forsyth, norma kelompok yang kuat dapat menjadi solusi untuk masalah ini. Institusi perlu membangun budaya “tanggung jawab kolektif” yang mendorong semua pihak untuk berperan aktif dalam proses pengendalian pelaksanaan standar. Dengan norma ini, setiap individu akan merasa memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa standar yang diterapkan tidak hanya dipatuhi tetapi juga terus diperbaiki seiring waktu. Budaya seperti ini menciptakan rasa saling percaya dan mendukung di antara anggota kelompok, sehingga secara efektif mampu mengurangi kecenderungan kemalasan sosial.

Tahap Peningkatan Standar (dalam PPEPP) merupakan langkah terakhir dalam siklus PPEPP. Tahap ini memerlukan pendekatan yang tidak hanya berorientasi pada kepatuhan tetapi juga inovasi. Untuk itu, institusi perlu menciptakan lingkungan yang memotivasi individu untuk berpikir kreatif dan inovatif. Dalam bukunya Group Dynamics, Forsyth menekankan bahwa inovasi dalam kelompok hanya dapat tercapai jika anggota tim merasa bahwa kontribusi mereka dihargai dan diakui.

Institusi dapat memfasilitasi hal ini dengan memberikan penghargaan terhadap ide-ide baru, mengadakan forum untuk mendiskusikan inovasi, dan menunjukkan bagaimana masukan individu diterjemahkan menjadi kebijakan yang lebih baik. Dengan langkah-langkah tersebut, tahap peningkatan standar tidak hanya menjadi kegiatan formalitas administratif belaka, tetapi juga berfungsi sebagai upaya strategis untuk membawa mutu pendidikan ke arah yang lebih baik.

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

Penutup

SPMI adalah tools yang penting untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada bagaimana perguruan tinggi mampu mengelola “dinamika kelompok” yang terlibat dalam setiap tahap siklus PPEPP. Salah satu problem yang menonjol dalam dinamika kelompok adalah persoalan “kemalasan sosial”.

Sebagai penutup, semangat kerja sama dalam mengatasi kemalasan sosial sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya tanggung jawab kolektif. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Ma’idah: 2). Ayat ini mengingatkan bahwa setiap individu memiliki kewajiban untuk berkontribusi secara aktif dalam kebaikan bersama, termasuk dalam konteks peningkatan mutu pendidikan. Dengan menginternalisasi nilai-nilai ini, perguruan tinggi dapat membangun budaya kerja yang harmonis, bertanggung jawab, dan bermakna bagi segenap pemangku kepentingan. Stay Relevant!

Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Forsyth, D. R. (2018). Group dynamics (7th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

×

Layanan Informasi

× Hubungi Kami