• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Monthly Archive December 2024

SPMI dan 10 Peran Manajer

Penguatan SPMI dengan 10 Peran Manajer ala Mintzberg

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Pendahuluan

Peningkatan mutu pendidikan tinggi merupakan prioritas strategis dalam menghadapi tantangan globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Berdasarkan Permendikbudristek 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, perguruan tinggi dituntut untuk menjalankan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) secara efektif untuk bidang akademik dan non akademik. Untuk bidang akademik, ditujukan untuk memastikan seluruh aspek Tridharma Perguruan Tinggi—pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat—berjalan sesuai standar yang ditetapkan. Sedangkan untuk bidang non akademik, meliputi penguatan mutu pada organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan, dan sarana prasarana.

Namun, fakta di lapangan, implementasi SPMI tidak semudah membalik telapak tangan. Justru sering kali menghadapi tantangan “leadership dan manajerial” yang kompleks. Dalam konteks ini, teori kepemimpinan dan manajerial yang disampaikan oleh Henry Mintzberg dalam The Nature of Managerial Work memberikan perspektif yang menarik. 10 peran manajer yang dikembangkan oleh Mitzberg, dapat menjadi acuan praktis dalam memperkuat efektivitas SPMI di perguruan tinggi.

Baca juga: Bagaimana Teori X dan Y Membentuk Masa Depan SPMI

SPMI dan 10 Peran manajer
SPMI dan 10 Peran manajer

Memaknai Dinamika Manajerial

Dalam konteks pendidikan tinggi, ketiga kategori peran ini sangat relevan untuk mengelola “kompleksitas” operasional perguruan tinggi, termasuk tantangan strategis yang dihadapi oleh perguruan tinggi, khususnya dalam penguatan SPMI.

Pada peran hubungan antar manusia (interpersonal), pimpinan (manajemen) perguruan tinggi bertindak sebagai pemimpin (leader), simbol organisasi (figurehead), dan penghubung (liaison) antara berbagai stakeholder yang ada. Peran (role) ini penting untuk membantu memastikan komitmen terhadap standar SPMI di semua level (aras) institusi.

Kategori ke dua adalah peran informasional. Peran ini memungkinkan pimpinan perguruan tinggi untuk mengumpulkan data (monitor), menganalisis informasi, dan menyebarkannya data (disseminator) kepada pihak yang membutuhkan. Peran informasional juga melingkup sebagai juru bicara (spokesperson) untuk memberi motivasi dalam pelaksanaan PPEPP.

Kategori yang ke tiga adalah peran pengambilan keputusan (decisional). Peran ini menjadi inti penting dalam pengelolaan SPMI. Pimpinan harus mampu bertindak sebagai inovator dalam tahap penetapan dan peningkatan standar SPMI, penyelesaikan masalah pada tahap evaluasi pemenuhan dan pengendalian pelaksanaan standar, serta pengelola sumber daya yang strategis pada tahap pelaksanaan standar SPMI. Dengan integrasi tiga peran ke dalam siklus PPEPP, perguruan tinggi diharapkan dapat menjalankan SPMI secara lebih fokus, terarah dan adaptif.

Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI

Integrasi 10 Peran Manajer ke dalam PPEPP

Pada “tahap penetapan standar SPMI” (dalam PPEPP), perguruan tinggi memerlukan pimpinan yang dapat berperan sebagai figurehead (tokoh) untuk memberikan semangat dan legitimasi formal dalam menetapkan visi dan misi organisasi. Peran sebagai tokoh yang kharismatik bertujuan memastikan bahwa standar yang dirancang sesuai dengan visi misi perguruan tinggi dan kebutuhan stakeholder. Peran figurehead diperkuat dengan peran leader, di mana pemimpin harus mampu menginspirasi sivitas akademika untuk mendukung dan mengimplementasikan kebijakan SPMI yang telah ditetapkan. Kepemimpinan yang visioner dan paham manajemen mutu, sangat penting untuk menciptakan landasan yang kuat bagi implementasi SPMI.

Baca juga: Integrasi PPEPP dan Goal Setting: Terobosan dalam Penguatan SPMI

Dalam “tahap pelaksanaan standar SPMI” (dalam PPEPP), peran pimpinan sebagai liaison menjadi sangat diperlukan. Peran ini untuk membangun network (hubungan) kerja sama yang solid dan terintegrasi, baik di internal maupun di luar institusi. Pimpinan seperti rektor, ketua atau direktur beserta jajaran manajemen lainnya harus mampu memastikan bahwa seluruh elemen organisasi aktif terlibat dalam pelaksanaan standar SPMI. Selain itu, dalam tahap pelaksanaan standar, peran sebagai resource allocator (alokasi sumber daya) menjadi sangat diperlukan. Pimpinan harus mampu mengelola sumber daya secara strategis, termasuk alokasi SDM, anggaran, dan infrastruktur, guna mencapai tujuan secara efektif dan efisien.

“Tahap evaluasi pemenuhan standar SPMI” (dalam PPEPP) membutuhkan ketelitian dalam mengumpulkan dan menganalisis data. Dalam tahap ini, walau 10 peran dari Mitzberg tetap diperlukan, peran monitor merupakan peran yang sangat diperlukan. Peran monitor membantu pimpinan untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan SPMI dengan baik. Manajemen perlu mengidentifikasi kesenjangan (gap), serta mengevaluasi kesesuaian antara implementasi dan standar SPMI yang telah ditetapkan. Informasi yang diperoleh dari proses ini, baik dari monev, assessment atau audit mutu internal, kemudian disampaikan (disosialisasikan) kepada seluruh pihak yang relevan melalui peran disseminator, sehingga hasil evaluasi dapat dipahami dan digunakan untuk tindakan korektif dan preventif.

Ketika terjadi penyimpangan (ketidaksesuaian/ KTS) dalam pelaksanaan standar SPMI, pimpinan harus aktif untuk melakukan perbaikan. Peran manajer sebagai disturbance handler, menjadi sangat diperlukan. Peran ini digunakan untuk menangani hambatan, masalah dan konflik yang muncul. “Ketangkasan” dalam peran ini memungkinkan “tahap pengendalian pelaksanaan standar SPMI” dilakukan dengan efektif, cepat dan tepat, sehingga “dampak negatif” dapat dihindari. Pimpinan perguruan tinggi (manajemen) harus memiliki kemampuan untuk mengatasi berbagai hambatan, baik yang bersifat teknis maupun strategis, demi menjaga konsistensi pelaksanaan standar SPMI.

Tahap terakhir, yaitu “tahap peningkatan standar SPMI“. Tahap ini tentu saja menuntut inovasi berkelanjutan dari manajemen (pimpinan). Peran pimpinan sebagai entrepreneur menjadi sangat diperlukan. Peran ini memberikan perspektif bagi pimpinan untuk mencari peluang baru (inovasi) yang dapat meningkatkan mutu institusi. Penting sekali untuk meninjau ulang “mission differentiation” perguruan tinggi. Peran entrepreneur, sangat diperlukan untuk membangun “misi unik dan positioning” perguruan tinggi. Contoh, inovasi untuk adopsi teknologi pembelajaran terbaru, pengembangan kurikulum yang relevan terhadap kebutuhan zaman, serta membangun kerja sama global yang strategis.

Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?

Menuju SPMI yang Unggul

Kemampuan (ability) ini menjadi kunci penting dalam menjawab tantangan kompleks SPMI yang muncul. Berbagai tantangan selalu hadir silih berganti baik dari eksternal maupun internal, seperti perubahan regulasi, tuntutan mahasiswa yang semakin beragam, serta tuntutan daya saing di tingkat global.

Keberhasilan implementasi siklus PPEPP “sangat bergantung” dari kemampuan pimpinan untuk mengadaptasi dinamika internal dan eksternal institusi perguruan tinggi. Contoh, dalam menghadapi perubahan regulasi, pimpinan harus mampu mengoptimalkan peran sebagai disseminator untuk menyampaikan (sosialisasi) kebijakan baru kepada seluruh civitas akademika secara efektif. Demikian pula peran disturbance handler, peran ini menjadi krusial saat perguruan tinggi harus menyelesaikan konflik atau hambatan yang muncul secara tidak terduga.

Dengan pendekatan yang komprehensif (holistik), pengelolaan SPMI dapat menjadi lebih relevan tidak sekadar proses formalitas-administratif belaka. Pengelolaan SPMI yang unggul memerlukan budaya mutu yang kuat yang melekat di setiap perilaku anggota organisasi. Integrasi 10 peran Mintzberg ke dalam siklus PPEPP tidak hanya memperkuat landasan manajemen, namun juga mendorong transformasi menuju institusi yang unggul dalam arti yang sebenarnya.z

Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI

Penutup

Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) melalui integrasi 10 peran manajer Henry Mintzberg menawarkan pendekatan yang menyeluruh dan strategis.

Perguruan tinggi yang mampu mengadopsi ide kreatif (wawasan) dari Mintzberg, InsyaAllah akan lebih siap menghadapi tantangan masa depan. 10 Peran manajerial diatas dapat memperkuat daya saing institusi, dan berkontribusi pada peningkatan mutu pendidikan di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Dengan mengedepankan manajemen yang dinamis (multi dimensi), SPMI (siklus PPEPP) dapat menjadi katalisator transformasi, membangun budaya mutu yang terintegrasi dalam setiap aspek Tridharma Perguruan Tinggi.

Sebagai penutup, ayat suci Al-Qur’an menekankan pentingnya upaya dan kerja keras untuk membangun masa depan yang lebih baik:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11).

Ayat ini menegaskan bahwa perubahan yang positif memerlukan usaha dan tindakan nyata dari manusia, sejalan dengan esensi penguatan SPMI yang melibatkan peran aktif pimpinan dalam membangun budaya mutu yang unggul dan berkelanjutan. Stay Relevant!

Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Mintzberg, H. (1973). The nature of managerial work. Harper & Row.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.

Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Goal Setting dan SPMI 1

Integrasi PPEPP dan Goal Setting: Terobosan dalam Penguatan SPMI

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Pendahuluan

Dalam pendidikan tinggi, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) berperan penting untuk menjaga dan meningkatkan mutu Tridharma Perguruan Tinggi yang terdiri dari pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar), perguruan tinggi memiliki “framework” yang sistematis untuk mencapai peningkatan mutu secara berkelanjutan. Akan tetapi, di lapangan, implementasi SPMI sering menghadapi kesulitan, seperti kurangnya komitmen stakeholder, tujuan yang “tidak clear”, atau kesenjangan antara rencana dan pelaksanaan.

Untuk mengatasi problematik diatas, teori motivasi Goal Setting yang ditulis oleh Edwin Locke dan Gary Latham menawarkan solusi alternatif yang dapat dipertimbangkan. Teori Goal Setting menekankan pentingnya penetapan tujuan yang spesifik, terukur, dan relevan untuk memotivasi karyawan serta tim kerja untuk mencapai hasil terbaik. Dengan integrasi prinsip Goal Setting ke dalam siklus PPEPP, institusi dapat meningkatkan kejelasan tujuan (Clarity) dan mendorong komitmen semua pihak dalam mendukung pencapaian target mutu pendidikan.

Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI

Goal Setting: Kunci Motivasi

Dalam siklus PPEPP, tahap Penetapan merupakan “kunci penting” keberhasilan seluruh proses. Penetapan tujuan (target dan indikator) yang kabur sering kali menjadi penghambat besar dalam implementasi SPMI. Jadi perlu ekstra hati-hati dalam tahap ini, karena menjadi patokan utama bagi tahap berikutnya.

Dengan menerapkan prinsip Goal Setting, perguruan tinggi dapat menetapkan tujuan (target dan indikator) mutu yang lebih spesifik dan relevan. Contoh, daripada hanya mencanangkan “meningkatkan layanan akademik,” institusi dapat menentukan target seperti “meningkatkan kepuasan mahasiswa sebesar 15% dalam satu tahun melalui digitalisasi layanan akademik.” Standar ini tidak hanya memberikan fokus yang lebih tajam tetapi juga mempermudah evaluasi pencapaian tujuan.”. Ada 2 metode yang sering digunakan dalam pentetapan standar SPMI yang baik, metode “ABCD” dan metode “KPI”. Kedua metode ini akan dibahas lebih detail dalam artikel berikutnya, InsyaAllah.

Tujuan (Target Standar SPMI) harus cukup menantang (challenge) sehingga memotivasi, tetapi tetap realistis. Tujuan yang sangat mudah tidak akan memberikan motivasi tambahan, sebaliknya tujuan yang terlalu sulit dapat menyebabkan stres dan frustrasi. Tingkat kesulitan yang tepat mendorong tim kerja untuk berusaha lebih keras dan menemukan cara baru (inovasi) untuk berhasil.

Dalam siklus PPEPP, keberhasilan implementasi sangat bergantung pada komitmen dan keterlibatan semua stakeholder internal, mulai dari pimpinan, unit kerja hingga mahasiswa. Partisipasi aktif semua pihak dalam goal setting dapat meningkatkan rasa memiliki, kepuasan dan tanggung jawab terhadap pencapaian mutu.

Tujuan yang diterima secara bersama sama (kolektif) lebih mungkin dicapai dibandingkan dengan tujuan yang dipaksakan. Hal ini sejalan dengan teori Goal Setting yang menegaskan bahwa keterlibatan bersama tidak hanya mendorong komitmen, namun juga menciptakan lingkungan kolaboratif untuk mencapai hasil optimal.

Baca juga: Revolusi Mutu Perguruan Tinggi dan SPMI Digital

Umpan balik (feedback) yang rutin dan berkelanjutan sangat penting untuk memantau progress dan menyesuaikan strategi jika diperlukan. Feedback membantu unit kerja memahami apakah mereka berada di jalur yang benar (on the track) dan memberikan motivasi tambahan ketika mereka mendekati tujuan.

Bila tugas-tugas yang diperlukan untuk mencapai tujuan sangat kompleks (task complexity), penting untuk memberikan sumber daya yang memadai. Tujuan yang sangat rumit dapat dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil untuk membuatnya lebih mudah untuk dikerjakan. Indikator standar SPMI harus mudah dimengerti sehingga mampu mendorong motivasi kerja yang optimal.

PPEPP dan Goal Setting

Tahap Pelaksanaan (dalam PPEPP) sering kali diangap sebagai tantangan terbesar, sebab melibatkan kemampuan untuk penerjemahan tujuan jangka panjang (RIP/ Renstra) menjadi langkah (program kerja) konkret. Dalam hal ini, teori Goal Setting menawarkan panduan yang terukur, sehingga setiap langkah dapat dipantau dengan jelas. Dengan umpan balik yang efektif, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa setiap unit kerja memahami peran (role) mereka dalam mencapai tujuan strategis yang lebih besar.

Tahapan Evaluasi (dalam PPEPP) adalah momen penting untuk menilai kemajuan (progress) terhadap pencapaian tujuan (target). Goal Setting menyarankan agar evaluasi dilakukan secara berkala dengan memberikan umpan balik yang jelas dan konstruktif. Dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023, pasal 68 ayat (2) disebutkan evaluasi dilaksanakan secara berkala melalui pemantauan, evaluasi diri, audit mutu internal, asesmen, dan/atau cara lain yang ditetapkan perguruan tinggi. Hal Ini memungkinkan institusi untuk mengidentifikasi penyimpangan dari tujuan dan mengambil tindakan korektif dan preventif secara cepat. Umpan balik (feedback) yang positif juga dapat meningkatkan motivasi karyawan untuk terus bekerja lebih baik.

Tahap Pengendalian dan Peningkatan (dalam PPEPP), sejalan dengan gagasan Goal Setting tentang pembaruan tujuan (peningkatan standar) yang berkelanjutan. Setelah perguruan tinggi berhasil mencapai satu tujuan (target), standar baru yang lebih tinggi dapat ditetapkan untuk menjaga momentum peningkatan mutu. Dengan demikian, PPEPP tidak hanya menjadi siklus administratif (rutinitas) belaka, namun juga alat strategis untuk mendorong proses kaizen (continuous improvement).

Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan

Penutup

Integrasi teori motivasi Goal Setting ke dalam siklus PPEPP memberikan inspirasi baru dalam memperkuat SPMI. Dengan memastikan setiap tujuan (standar SPMI) dalam PPEPP dirancang secara spesifik, terukur, dan relevan, perguruan tinggi diharapkan dapat mengatasi berbagai tantangan implementasi SPMI.

Integrasi siklus PPEPP dan teori Goal Setting tidak hanya memberikan framework yang sistematis namun juga menginspirasi perbaikan budaya mutu di perguruan tinggi. Ketika tujuan (target dan indikator) dirancang dengan cermat dan didukung oleh komitmen, maka pemenuhan dan peningkatan standar SPMI akan menjadi keniscayaan.

“Clarity in goals creates focus, and focus leads to achievement,” (Kejelasan dalam tujuan melahirkan fokus, dan fokus mengantarkan pada pencapaian). Perguruan tinggi yang mampu menyelaraskan visi-misi dengan prinsip Goal Setting akan menemukan pondasi yang kokoh untuk bersaing di tingkat lokal, regional dan global. Stay Relevant!

Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Locke, E. A., Latham, G. P., Smith, K. J., & Wood, R. E. (1990). A theory of goal setting and task performance. Routledge.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.

Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

×

Layanan Informasi

× Hubungi Kami